PERKEMBANGAN KESENIAN TRADISIONAL CALUNG DI KABUPATEN BANDUNG : Kajian Historis Tahun 1970-2013.

(1)

No. 2091/UN.40.2.3/PL/2014

PERKEMBANGAN MUSIK TRADISIONAL CALUNG DI KABUPATEN BANDUNG

(Kajian Historis Tahun 1970-2013) SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Pendidikan Jurusan Pendidikan Sejarah

Oleh Hasan Basri

0907202

JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA


(2)

PERKEMBANGAN MUSIK TRADISIONAL CALUNG

DI KABUPATEN BANDUNG

(Kajian Historis Tahun 1970-2013)

Oleh:

HASAN BASRI

Sebuah Skripsi Yang Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan pada Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

© Hasan Basri 2014 Universitas Pendidikan Indonesia

Juni 2014

Hak Cipta dilindungi Undang-undang.

Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian, dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa ijin dari penulis.


(3)

HASAN BASRI

Perkembangan Kesenian Tradisional Calung Di Kabupaten Bandung (Kajian Historis Dari Tahun 1970-2013)

DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH PEMBIMBING:

PEMBIMBING I

Drs. H. Ayi Budi Santosa, M.Si. NIP. 19630311 198901 1001

PEMBIMBING II

Drs. Syarif Moeis NIP. 19590305 198901 1001

Mengetahui

Ketua Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

Prof. Dr. H. Dadang Supardan, MPd. NIP. 19570408 198403 1 003


(4)

ABSTRAK

Perkembangan Kesenian Tradisional Calung di Kabupaten Bandung (Kajian Historis Tahun 1970-2013)

Oleh Hasan Basri

0907202

Masyarakat Sunda dan bambu (awi) adalah dua hal yang sangat erat kaitannya. Mulai dari rumah, perkakas, bahkan hingga alat-alat kesenian dan ritual pun banyak yang terbuat dari bambu. Alat musik bambu seperti calung sudah menjadi kesenian khas Sunda yang tidak hanya berfungsi sebagai wahana hiburan melainkan pula sarana ritual. Pada dasarnya ada 3 tahapan yang harus dilalui untuk menjadikan sebuah tradisi menjadi suatu kesenian yang bahkan bisa bersifat komersil. Menurut Van Peursen (1988) tiga tahapan yaitu tahapan mistis, ontologis, serta fungsional. Dari hal tersebut kemudian muncul pertanyaan bagaimana kesenian calung dapat bertahan seiring perkembangan zaman dari tahun 1970-2009. Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode historis yang dimuali dari tahapan pengumpulan data, analisis sumber, interpretasi hingga penulisan dalam sebuah historiografi. Dari hasil penelitian ini terdapat perubahan peran dan fungsi kesenian calung dari kesenian yang dikhususkan untuk ritual menjadi sarana hiburan yang digemari oleh masyarakat. Meskipun demikian kesenian calung modern pun banyak mengalami pasang surut seiring dengan berubahnya selera masarakat terhadap kesenian daerah yang kian tergerus kebudayaan asing.


(5)

ABSTRAK

Perkembangan Kesenian Tradisional Calung di Kabupaten Bandung (Kajian Historis Tahun 1970-2013)

Oleh Hasan Basri

0907202

bamboo (awi) has a philosophy for Sunda. bamboo is used as a building material, tools and art tools. bamboo art serves not only for entertainment but also ritual too. there are 3 stages to the traditional arts to be a commercial art. There are three stages according to Van Peursen (1988) that is a mystical stage, stage ontological and functional stages. From this arises the question how art calung art survive over the times in 1970-2013. The method used in this study is the historical method which starts from Heuristics, critics, interpretation and historiography. From the results of this study is a change in the role and function of art calung art. Arts ritual function calung art turned into entertainment favored by the people. However modern calung art have ups and downs along with the changing tastes of their community to the local arts.


(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK i

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iv

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vii

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah 1

1.2.Perumusan Masalah 5

1.3.Tujuan Penelitian 6

1.4.Manfaat Penelitian 6

1.5.Metode Penelitian 7

1.6.Struktur Organisasi Skripsi 9

Bab II KAJIAN PUSTAKA

2.1.KAJIAN PUSTAKA 11

2.1.1. Konsep kebudayaan 11

2.1.1.1.Pengertian kebudayaan 11

2.1.1.2.Pewarisan kebudayaan 13

2.1.1.3.Perkembangan kebudayaan 15

2.1.1.4.Inovasi atau pembaruan 16

2.1.2. Konsep kesenian 18

2.1.2.1. Pengertian kesenian 18

2.1.2.2. Kesenian tradisional 20

2.1.2.3. Kesenian modern 22

2.2.Keterkaitan kepercayaan dan seni 22

2.3.Penelitian terdahulu 26

2.3.1. Calung rantay di kecamatan banjaran Kabupaten Bandung 26 2.3.2. Calung pertanian UNPAD sebagai cikal bakal seni pertunjukan calung 27

2.3.3. Khasanah musik bambu 28

BAB III METODE PENELITIAN

3.1.Metode Penelitian 29

3.2.Teknik Pengumpulan Data 32

3.3.Persiapan Penelitian 33


(7)

BAB IV KESENIAN CALUNG: ANTARA SENI RITUAL DAN SENI MODERN

4.1.Gambaran Umum 40

4.1.1. Lokasi Penelitian 40

4.1.2. Kepercayaan masyarakat Sunda 41

4.1.3. Fungsi Kesenian Calung Bagi Masyarakat 42

4.1.4. Seni Masyarakat Sunda 43

4.2.Sejarah Muncul Dan Berkembang Kesenian Calung 46

4.2.1. Calung Rantay 46

4.2.2. Calung Jinjing UNPAD 48

4.2.3. Calung Darso 50

4.3.Dari Seni Religi Hingga Seni Tradisi 55

4.3.1. Calung Sebagai Sarana Ritual 56

4.3.2. Pergeseran Nilai Tradisi 63

4.4.Pelestarian Kesenian Calung 70

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

5.1.kesimpulan 77

5.2.Saran 79

DAFTAR PUSTAKA 81

LAMPIRAN-LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 kerangka Kluckhohn Mengenai Lima Masalah Dasar Dalam Hidup


(9)

DAFTAR GAMBAR


(10)

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

Masyarakat Sunda dan bambu (awi) adalah dua hal yang sangat erat kaitannya. Mulai dari rumah, perkakas, bahkan hingga alat-alat kesenian dan ritual pun banyak yang terbuat dari bambu. Sebuah tradisi sering kali hadir karena adanya penyesuaian antara masyarakat dengan alam. Dilihat dari kondisi alam tatar Sunda yang banyak ditumbuhi oleh pohon bambu, tidak heran jika kemudian tradisi atau kesenian yang dihasilkan oleh masyarakat Sunda menggunakan bambu sebagai bahan utamanya.

Alat musik bambu seperti calung sudah menjadi kesenian khas Sunda. Namun jika ditelusuri lebih jauh, alat musik ataupun alat kesenian lainnya bukan hanya menjadi sebuah alat penghibur yang bisa dimainkan kapan saja. Pada dasarnya ada 3 tahapan yang harus dilalui untuk menjadikan sebuah tradisi menjadi suatu kesenian yang bahkan bisa bersifat komersil. Menurut Peursen (1988) tiga tahapan yaitu tahapan mistis, ontologis, serta fungsional.

Tahapan mistis merupakan awal lahirnya kesenian tersebut. Biasanya, pada tahapan ini kesenian dijadikan sebagai buah pemikiran yang ditujukan untuk menyenangkan roh leluhur ataupun dewa-dewa yang mereka puja. Setelah pemikiran mulai berkembang dan masyarakat sudah memiliki pemahaman nalar, masyarakat akan bisa memisahkan benda untuk sebuah ritual yang dijaga kesakralannya dengan benda serupa yang tidak digunakan untuk ritual. Dengan demikian masyarakat dapat mengembangkan dan menciptakan sebuah kreasi dari benda yang awalnya hanya digunakan sebagai alat ritual. Pada perkembangan selanjutnya, pada akhirnya masyarakat menjadikan kesenian tersebut menjadi sebuah hiburan bahkan


(11)

2

menjadikannya sebagai sumber penghasilan. Pada masa inilah Peursen mengatakan bahwa tahapan ini adalah tahapan fungsional.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya mengenai tahapan sebuah kesenian, alat musik bambu pada awalnya digunakan masyarakat Sunda menjadi sarana untuk mengucap syukur kepada yang kuasa. Kesenian bambu menjadi elemen yang paling penting dalam upacara adat di bidang pertanian. Perubahan sosiokultural yang terjadi di dalam masyarakat menyebabkan seakin tergerusnya nilai-nilai tradisional. Beberapa alat musik bambu yang kini masih bertahan diantaranya angkung, calung, badeng, dodod dan gonggong. Namun dalam penulisan ini saya fokuskan terhadap kesenian calung.

Hampir sama dengan alat musik bambu lainnya, calung merupakan salah satu benda yang selalu digunakan dalam upacara pertanian (Somawijaya, 1986a). Menurut ibu Uum Juarsih (78 tahun) dalam upacara pertanian biasanya menggunakan lagu kindung pangayun nyimas pakaci. Kedudukan calung adalah alat yang disakralkan dan dalam memainkannya ada irama serta tembang tertentu. Selain itu juga, memainkan calung dipercaya dapat mencegah bala (musibah) dan juga dipercaya dapat menyembuhkan penyakit. Calung merupakan salah satu kesenian yang masih bisa bertahan hingga kini bersama dengan angklung. Sedangkan tiga kesenian lainnya tidak bisa lagi menjaga eksistensinya dan bahkan dikategorikan kedalam warisan budaya Sunda yang hampir punah.

Kepunahan suatu kesenian menandakan hilangnya separuh identitas masyarakat. kepunahan sebuah kesenian ataupun budaya bisa terjadi karena faktor pewarisan yang bersifat keturunan ataupun kekerabatan. Perubahan sosio-kultural masyarakat juga bisa menjadi faktor yang mempercepat hilangnya sebuah seni. Pada masyarakat Sunda khususnya, kesenian calung yang ada dalam masyarakat mulai tergerus dengan adanya perubahan sosio-kultural ini. Perubahan dari masyarakat


(12)

3

pertanian menjadi masyarakat industri menyebabkan calung kehilangan tempatnya dalam masyarakat.

Eksistensi calung itu sendiri dikarenakan inovasi yang dilakukan para seniman sehingga peran serta fungsi calung yang lebih fleksibel. Calung dikembangkan menjadi kesenian yang tidak hanya digunakan sebagai sarana ritual saja, melainkan sebagai pengiring tebang-tembang yang tujuannya untuk menghibur. Perubahan yang dialami oleh calung tidak menghilangkan budaya asalanya (Sunda). Calung masih menggunakan standar nada yang identik dengan kesenian Sunda lainnya yaitu pentatonis.

Hasil persinggungan antara kesenian kontemporer akan membentuk sebuah karya yang menarik. Kesenian kontenporer yang mengadopsi nilai-nilai tradisi hanya akan menjadikan kesenian tersebut dibalut dengan kemasan menarik dari etnis atau tradisi tertentu. Sedangkan kesenian tradisional yang mengambil unsur-unsur kontenporer ataupun nilai-nilai asing adalah sebuah terobosan ataupun inovasi dari kebudayaan tersebut. Dengan tetap mengedepankan identitas kelokalan dan tradisi, inovasi tersebut akan tetap dipandang sebagai kesenian tradisional bukan kesenian kontenporer.

Proses perubahan calung yang seperti layaknya perkusi menjadi sebuah kesenian yang memiliki tangga nada tidak lepas dari kreatifitas kelompok kesenian Fakultas Pertanian UNPAD. Untuk membentuk nada calung, Ekik Barkah Dkk menyamakan nada calung dengan nada yang ada pada piano (Suwarna, 1986b). Calung yang sudah dimodifikasi tersebut kemudian menjadi salah satu instrumen musik yang digunakan dalam pertunjukan musk yang mereka sajikan. Musik calung pada saat ini masih belum menyebar secara luas karena hanya dipertontonkan dalam pagelaran yang mereka adakan. Calung jinjing mulai mendapatkan tempatnya di masyarakat setelah dipopulerkan oleh Questa dalam acara “Saba Desa” yang diadakan oleh RRI.


(13)

4

Salah satu seniman yang tergabung dalam Questa adalah Hendarso (1970) atau yang lebih dikenal sebagai Darso. Perubahan dari calung rantay menjadi calung jinjing telah mengubah fungsi calung yang asalnya sebagai alat ritual menjadi sebuah kesenian yang memiliki nilai komersial. Pergeseran fungsi ini menjadi kontroversi bagi inahong atau pupuhu Sunda diawal kemunculannya. Kreatifitas yang tinggi dari seorang Darso dalam memainkan calung dan mentransformasikan irama serta nada calung ini dinilai telah menyalahi pakem serta adat yang sudah ada secara turun temurun. Di sisi lain, kreatifitas Darso ini dinilai sebagai upaya yang ampuh serta efektif untuk melestarikan musik calung yang mulai ditinggalkan.

Kesenian calung biasanya ditabuh dan diperdengarkan dengan menggunakan kidung yang dianggap memiliki kekuatan mistis. Di tangan Darso calung menjadi pengiring lagu yang sangat harmonis dan inilah yang mengantarkannya pada pengembangan musik calung dalam lagu-lagu pop Sunda. Selain itu juga muncul berbagai sanggar seni Sunda yang fokus dengan pengembangan seni pertunjukan calung. Dalam perkembangannya, musik calung ini banyak menyita perhatian publik dengan lahirnya berbagai macam lagu pop Sunda yang diiringi alat ini. Calung tidak lagi menjadi musik penghibur semata tetapi calung juga menjelma sebagai seni pertunjukan yang memberikan banyak keuntungan finansial bagi mereka yang kreatif dalam mengembangkannya.

Seiring meningkatnya popularitas Darso dan produktifitas lagu-lagu Sunda andalannya, calung kembali mendapatkan tempat di masyarakat sebagai kesenian tradisional yang dapat memberikan hiburan tersendiri bagi para pendengarnya. Pada perkembangan selanjutnya, muncul berbagai sanggar seni sebagai sarana pelatihan yang secara tidak langsung turut serta dalam upaya pelestarian budaya khususnya kesenian daerah. Dalam sanggar seni ini inovasi-inovasi mulai bermunculan dan terus dikembangkan. Tidak hanya melulu dalam hal musik, seni pertunjukan calung ini juga dipadukan dengan lawakan-lawakan dan hiburan yang lebih entertain.


(14)

5

Kreatifitas Darso ini memang memiliki tujuan komersil sebagai musik alternatif. Tranformasi musik calung sebagai musik pengiring upacara adat kini berubah menjadi musik yang memiliki keunikan dan nilai jual yang menjanjikan. Dengan kreatifitas yang terus dikembangkan pertunjukan ini tidak monoton dengan calung sebagai alat pengiring utama dan lagu-lagu serta penyanyi saja yang dimunculkan. Namun dalam pertunjukannya kini sudah mengalami banyak perubahan dengan memadukan elektone sebagai nada pengiring lainnya tetapi tidak menghilangkan unsur calung sebagai alat yang paling utama.

Pengambilan periode yang dimulai pada tahun 1970 dilihat dari kebangkitan kembali musik calung yang sempat terlupakan. Kemunculan kembali calung tidak lagi sebagai alat ritual melainkan sebagai kesenian daerah yang memiliki daya tarik tersendiri. Sedangkan batasan tahun hingga 2013 sebagai pembanding kesenian calung pada saat ini. Selama periode 1970-2013 penulis mengkaji mengenai bagaimana perkembangannya, kemundurannya serta usaha-usaha untuk tetap melestarikannya. Selain itu juga pemilihan Kabupaten Bandung dikarenakan di daerah ini teradapat dua jenis kesenian calung yang akan dikaji oleh penulis. Kedua jenis kesenian tersebut ialah kesenian calung rantay dan kesenian calung jinjing. Atas dasar itu maka skripsi ini diberi judul “Perkembangan Kesenian Tradisional Calung di Kabupaten Bandung (Kajian Historis Tahun 1970-2013)”.

1.2.Perumusan Masalah

Permasalah utama yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah adalah

“Bagaimana kesenian calung dapat bertahan seiring perkembangan zaman pada tahun 1970-2013?” Agar kajian penelitian ini dapat menjadi lebih fokus, maka rumusan masalah tersebut dibatasi dengan pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana peranan kesenian calung bagi masyarakat Kabupaten Bandung? 2. Bagaimana perkembangan calung sebagai seni religi dan seni tradisi?


(15)

6

3. Bagaimana peran seniman Sunda dalam mengembangkan calung menjadi kesenian tradisional yang bersifat komersil?

4. Bagaimana upaya yang dilakukan untuk melestarikan calung sebagai alat kesenian tradisional?

1.3.Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan

dilaksanakannya penulisan yang berjudul “Perkembangan Kesenian Tradisional Calung Di Kabupaten Bandung (Kajian Historis dari Tahun 1970-2013)”. Adapun tujuan yang hendak dicapai penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mendeskripsikan kesenian tradisoinal calung sebagai warisan budaya jawa barat. 2. Mendeskripsikan peranan seniman Sunda dalam melestarikan dan

mengembangkan kesenian calung.

3. Mendeskripsikan tanggapan serta peran masyarakat dalam mempertahankan dan melestarian kesenian tradisional calung.

1.4.Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang berhubungan secara langsung ataupun tidak langsung. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini secara khusus adalah dapat:

1. Meningkatkan kesadaran generasi muda dalam melestarikan kesenian calung sebagai salah satu warisan budaya masyarakat Sunda dan juga budaya nasional Indonesia.

2. Meningkatkan motivasi untuk terus berkreasi dan bereksperimen dengan kesenian daerah agar identitas bangsa tidak tergerus dengan kebudayaan dan kesenian asing yang kini jauh lebih banyak menarik minat generasi muda.


(16)

7

3. Bagi sekolah, skripsi ini bisa menjadi bahan pengembangan ekstrakulikuler sebagai upaya pelestarian kesenian daerah.

1.5.Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini merupakan metode yang lazim digunakan dalam penelitian sejarah, yaitu metode historis. Metode Historis adalah suatu proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau (Gottschalk, 1986: 35). Adapun langkah-langkah penelitian ini mengacu pada proses metodologi penelitian dalam penelitian sejarah, yang mengandung empat langkah penting, adalah sebagai berikut:

1. Heuristik, merupakan upaya mencari dan mengumpulkan sumber-sumber yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji. Dalam proses mencari sumber-sumber ini, penulis mendatangi berbagai perpustakaan, seperti perpustakaan UPI, PUSDA, dan perpustakaan STSI dan wawancara langsung kepada Asep Darso (anak dari alm. Darso). Selain itu penulis pun mencari buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji, seperti membeli buku-buku di Gramedia, Palasari, Gunung Agung, pameran buku dan mencari sumber-sumber melalui internet.

2. Kritik, yaitu dengan melakukan penelitian terhadap sumber-sumber sejarah, baik isi maupun bentuknya (internal dan eksternal). Kritik internal dilakukan oleh penulis untuk melihat layak tidaknya isi dari sumber-sumber yang telah diperoleh tersebut untuk selanjutnya dijadikan bahan penelitian dan penulisan. Kritik eksternal dilakukan oleh penulis untuk melihat bentuk dari sumber tersebut. Dalam tahap ini, penulis berusaha melakukan penelitian terhadap sumber-sumber yang berkaitan dengan topik penelitian ini.


(17)

8

3. Interpretasi, setelah melalui tahapan kritik maka berbagai sumber tersebut diberikan komentar dan tanggapan dalam rangka menyusun interpretasi yang disesuaikan dengan tujuan penulisan. Dalam hal ini penulis memberikan penafsiran terhadap sumber-sumber yang telah dikumpulkan selama penelitian berlangsung. Kegiatan penafsiran ini dilakukan dengan jalan menafsirkan fakta dan data dengan konsep-konsep dan teori-teori yang telah diteliti oleh penulis sebelumnya. Penulis juga melakukan pemberian makna terhadap fakta dan data yang kemudian disusun, ditafsirkan, dan dihubungkan satu sama lain. Fakta dan data yang telah diseleksi dan ditafsirkan selanjutnya dijadikan pokok pikiran sebagai kerangka dasar penyusunan proposal ini.

4. Historiografi, tahapan ini merupakan tahapan akhir dalam langkah-langkah penulisan dengan cara merangkaikan berbagai interpretasi sebelumnya menjadi sebuah karya tulis sejarah. Dalam hal ini penulis menyajikan hasil temuannya pada tiga tahap yang dilakukan sebelumnya dengan cara menyusunnya dalam suatu tulisan yang jelas dalam bahasa yang sederhana dan menggunakan tata bahasa penulisan yang baik dan benar.

Adapun mengenai teknik penulisan skripsi yang berjudul “Perkembangan Kesenian Tradisional Calung Di Kabupaten Bandung (kajian historis dari tahun 1970-2013)”. ini akan menggunakan teknik studi literatur dan wawancara. Teknik studi literatur ini dilakukan dengan membaca dan mengkaji dari berbagai buku yang dapat membantu penulis dalam memecahkan permasalahan yang dikaji. Diharapkan dengan studi literatur ini akan diperoleh keobjektifan dan kemudahan dalam penyusunan skripsi.

Wawancara merupakan salah satu bentuk teknik pengumpulan data yang banyak digunakan dalam penelitian deskriptif kualitatif dan deskriptif kuntitatif. Wawancara dilaksanakan secara lisan dalam pertemuan tatap muka secara individual


(18)

9

1.6.Struktur Organisasi Skripsi

Agar penulisan skripsi ini tersusun secara sistematis, maka penulisan skripsi ini disusun berdasarkan sistematika sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan, pada bab ini, penulis berusaha untuk memaparkan dan menjelaskan mengenai latar belakang masalah yang menjadi alasan penulis untuk melakukan penelitian dan penulisan skripsi, rumusan masalah yang menjadi beberapa permasalahan untuk mendapatkan data-data temuan di lapangan, pembatasan masalah guna memfokuskan kajian penelitian sesuai dengan permasalahan utama, tujuan penelitian dari penelitian yang dilakukan, metode dan tekhnik penelitian serta struktur organisasi dalam penyusunan skripsi.

Bab II Kajian Pustaka, di sini akan dijabarkan mengenai daftar literatur yang dipergunakan yang dapat mendukung dalam penulisan terhadap permasalahan yang dikaji. Pada bagian bab kedua, berisi mengenai suatu pengarahan dan penjelasan mengenai topik permasalahan yang penulis teliti dengan mengacu pada suatu tinjauan pustaka melalui suatu metode studi kepustakaan, sehingga penulis mengharapkan tinjauan pustaka ini bisa menjadi bahan acuan dalam penelitian yang penulis lakukan serta dapat memperjelas isi pembahasan yang diuraikan berdasarkan data-data temuan di lapangan.

Bab III Metode Penelitian, dalam bab ini mengkaji tentang langkah- langkah yang dipergunakan dalam penulisan berupa metode penulisan dan teknik penelitian yang menjadi titik tolak penulis dalam mencari sumber serta data-data, pengolahan data dan cara penulisan. Dalam bab ini juga, penulis memaparkan metode yang digunakan untuk merampungkan rumusan penelitian, metode penelitian ini harus mampu menjelaskan langkah-langkah serta tahapan- tahapan apa saja yang digunakan dalam penelitian yang dilakukan. Semua prosedur serta tahapan-tahapan penelitian mulai dari persiapan hingga penelitian berakhir harus diuraikan


(19)

10

secara rinci dalam bab ini. Hal ini dilakukan untuk memudahkan penulis dalam memberikan arahan dalam pemecahan masalah yang akan dikaji.

Bab IV Perkembangan Calung: Antara Seni Dan Ritual, pada bab ini, yaitu bab hasil penelitian dan pembahasan berisi mengenai keterangan-keterangan dari data-data temuan di lapangan. Data-data temuan tersebut penulis paparkan secara deskriptif untuk memperjelas maksud yang terkandung dalam data-data temuan tersebut, khususnya baik bagi saya sebagai penulis dan umumnya bagi pembaca. Penulis berusaha mencoba mengkritisi data-data temuan di lapangan dengan membandingkannya kepada bahan atau sumber yang mendukung pada permasalahan yang penulis teliti. Selain itu juga dalam bab ini dipaparkan pula mengenai pandangan penulis terhadap permasalahan yang menjadi titik fokos dalam penelitian yang penulis lakukan.

Bab V Simpulan dan Saran, bab terakhir ini berisi suatu kesimpulan dari pembahasan pada bab empat dan hasil analisis yang penulis lakukan merupakan kesimpulan secara menyeluruh yang menggambarkan perkembangan Kesenian Tradisional Calung Tahun 1970-2013 berdasarkan rumusan masalah yang penulis ajukan dalam penelitian ini. Adapun saran yang penulis tujukan kepada masyarakat kepada umumnya dan pemerintah khususnya untuk turut serta dalam upaya pelestarian kesenian tradisional.


(20)

BAB III

METODE PENELITIAN

Dalam bab ini, penulis akan mendeskripsikan mengenai metode penelitian dalam mengkaji skripsi yang berjudul “Perkembangan Kesenian Tradisional Calung di Kabupaten Bandung (Kajian Historis dari Tahun 1970-2013)”. Penulis akan memaparkan mengenai tahapan dalam proses penulisan skripsi ini. Pada bagian pertama penulis akan menjelaskan mengenai metode serta teknik penelitian yang digunakan. Selanjutnya penulis juga akan memaparkan tentang tahap-tahap persiapan dalam penulisan skripsi ini. Dimulai dari tahap pencarian data atau sumber (heuristik), menyeleksi sumber (kritik), serta interpretasi penulis hingga pada akhirnya disusn menjadi sebuah historiografi sebagai laporan tertulis dari penelitian yang telah dilakukan.

3.1. Metode Penelitian

Banyak para ahli yang menjelaskan mengenai metode sejarah. Di sini penulis akan mengutip beberapa ungkapan para ahli mengenai metode sejarah :

1. Menurut Gottstchalk (1985:32) metode sejarah ialah suatu kegiatan mengumpulkan, menguji dan menganalisis data yang diperoleh dari peninggalan-peninggalan masa lampau kemudian direkonstruksikan berdasarkan data yang diperoleh sehingga menghasilkan kisah sejarah. 2. Menurut Sjamsuddin (2007:3) metode sejarah adalah sebagai salah satu

cara bagaimana mengetahui sejarah.

3. Menurut Sukardi (2003:203) metode sejarah ialah salah satu penelitian mengenai pengumpulan dan evaluasi data secara sistematik berkaitan dengan kejadian masa lalu untuk menguji hipotesis yang berhubungan dengan faktor-faktor penyebab, perkembangan kejadian yang mungkin


(21)

30

membantu dengan memberikan informasi pada kejadian sekaran dan mengantisipasi kejadian yang akan datang.

4. Sedangkan menurut Nazir (2003:48-49) metode sejarah adalah sebagai sistem prosedur yang benar untuk mencapai kebenaran sejarah.

Tujuan penelitian sejarah tidak dapat dilepaskan dengan kepentingan masa kini dan masa mendatang. Oleh karena itu beberapa ciri-ciri khas dari metode sejarah yaitu:

1. Metode sejarah lebih banyak menggantungkan diri pada data yang diamati orang lain di masa-masa lampau.

2. Data yang digunakan lebih banyak bergantung pada data primer dibandingkan dengan data sekunder. Bobot data harus dikritik, baik secara internal maupun secara eksternal.

3. Metode sejarah mencari data secara lebih tuntas serta menggali informasi yang lebih tua yang tidak diterbitkan ataupun yang tidak dikutip dalam bahan acuan yang standar.

4. Sumber data harus dinyatakan secara definitif, baik nama pengarang, tempat dan waktu. Sumber tersebut harus diuji kebenaran dan ketulenannya. Fakta harus dibenarkan oleh sekurang-kurangnya dua saksi yang tidak pernah berhubungan (Nazir, 2003:48-49).

Adapun tahapan yang harus ditempuh dalam penelitian sejarah menurut Wood Gray (Sjamsuddin, 2007:89) yaitu:

1. Memilih suatu topik yang sesuai.

2. Mengusut semua evidensi (bukti) yang relevan dengan topik.

3. Membuat catatan yang dianggap penting dan relevan dengan topik yang ditemukan ketika penelitian sedang berlangsung.

4. Mengevaluasi secara kritis semua evidensi yang telah dikumpulkan (kritik sumber)

5. Menyusun hasil-hasil penelitian kedalam suatu pola yang benar dan berarti.

6. menyajikan dalam suatu cara yang menarik perhatian dan mengkomunikasikannya kepada para pembaca sehingga dapat dimengerti


(22)

31

Ernst Bernsheim (Ismaun, 2005:32) mengungkapkan ada beberapa langkah yang harus dilakukan dalam melakukan penelitian sejarah, yaitu:

1. Heuristik, yaitu menemukan jejak-jejak atau sumber-sumber dari sejarah suatu peristiwa kemudian dirangkai menjadi satu. Heuristik bisa dikatakan sebagai proses pencarian sumber tertulis maupun lisan. Pada tahap heuristik ini penulis mengumpulkan data-data dari buku, jurnal serta wawancara langsung dengan pelaku kesenian calung di Bandung dan sekitarnya. Dalam proses mencari sumber-sumber ini, penulis mendatangi berbagai perpustakaan, seperti perpustakaan UPI, PUSDA, dan perpustakaan STSI dan wawancara langsung kepada Asep Darso (anak dari alm. Darso).

2. Kritik, yaitu dengan melakukan penelitian terhadap sumber-sumber sejarah, baik isi maupun bentuknya (internal dan eksternal). Kritik internal dilakukan oleh penulis untuk melihat layak tidaknya isi dari sumber-sumber yang telah diperoleh tersebut untuk selanjutnya dijadikan bahan penelitian dan penulisan. Kritik eksternal dilakukan oleh penulis untuk melihat bentuk dari sumber tersebut. Dalam tahap ini, penulis berusaha melakukan penelitian terhadap sumber-sumber yang berkaitan dengan topik penelitian ini.

3. Interpretasi, Setelah melalui tahapan kritik maka berbagai sumber tersebut diberikan komentar dan tanggapan dalam rangka menyusun interpretasi yang disesuaikan dengan tujuan penulisan. Dalam hal ini penulis memberikan penafsiran terhadap sumber-sumber yang telah dikumpulkan selama penelitian berlangsung. Kegiatan penafsiran ini dilakukan dengan jalan menafsirkan fakta dan data dengan konsep-konsep dan teori-teori yang telah diteliti oleh penulis sebelumnya. Penulis juga melakukan pemberian makna terhadap fakta dan data yang kemudian disusun, ditafsirkan, dan dihubungkan satu sama lain. Fakta dan data yang telah diseleksi dan ditafsirkan selanjutnya dijadikan pokok pikiran sebagai kerangka dasar penyusunan skripsi ini.


(23)

32

4. Historiografi, tahapan ini merupakan tahapan akhir dalam langkah-langkah penulisan dengan cara merangkaikan berbagai interpretasi sebelumnya menjadi sebuah karya tulis sejarah. Dalam hal ini penulis menyajikan hasil temuannya pada tiga tahap yang dilakukan sebelumnya dengan cara menyusunnya dalam suatu tulisan yang jelas dalam bahasa yang sederhana dan menggunakan tata bahasa penulisan yang baik dan benar.

3.2. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini penulis menggunakan studi kepustakaan dan wawancara. Studi kepustakaan dilakukan dengan mengkaji beberapa buku, artikel serta penelitian terdahulu mengenai kesenian calung serta teori-teori yang mendukung penelitian ini. Data-data dalam melakukan studi kepustakaan ini penulis peroleh dari perpustakaan daerah, STSI, UPI serta UNPAD.

Adapun teknik wawancara yang digunakan penulis yaitu wawancara terstruktur dan wawancara tidak terstruktur. Wawancara terstruktur ialah wawancara yang sudah direncanakan dengan mempersiapkan pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan kepada responden. Sedangkan wawancara tidak terstruktur adalah wawancara yang bersifat spontan dan diajukan kepada orang-orang yang terlibat langsung dalam kesenian calung ini.

Selain itu ada juga teknik wawancara campuran. Wawancara ini menggabungkan teknik wawancara terstuktur dengan teknik wawancara tidak terstruktur. Wawancara terstruktur yang dilakukan sebagai umpan untuk mengembangkan pertanyaan yang kemudian dilanjutkan dengan wawancara tidak terstruktur. Teknik wawancara ini sebagai metode untuk menggali sejarah lisan (oral history). Sejarah lisan ialah ingatan yang dituturkan secara lisan oleh orang-orang yang diwawancarai oleh penulis (Sjamsuddin, 2007:78). Berdasarkan data-data yang sudah diperoleh tersebut maka penulis menyusunnya dalam penulisan skripsi yang sesuai dengan tuntutan keilmuan.


(24)

33

3.3. Persiapan Penelitian

3.3.1. Penentuan dan Pengajuan

Langkah awal yang dilakukan oleh penulis sebelum melakukan penelitian yaitu menentukan tema, sebelum diserahkan kepada Tim Pertimbangan Penulisan Skripsi (TPPS). Tema tersebut didapatkan selama mata kuliah seminar penulisan karya ilmiah. Penentuan tema tersebut disebabkan oleh ketertarikan penulis terhadap kesenian tradisional Sunda khususnya calung. Kemudian tema tersebut dijabarkan dahulu dalam bentuk judul. Judul yang diajukan pada saat itu

ialah ”Perkembangan Musik Tradisional Calung di Bandung dan Sekitarnya (Kajian Historis dari Tahun 1970-2013)”. Setelah judul yang diajukan disetujui oleh TPPS Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI, penulis mulai menyusun suatu rancangan penelitian dalam bentuk Proposal.

3.3.2. Penyusunan Rancangan Penelitian

Penulis memulai dengan mengumpulkan data-data serta melakukan wawanacara kepada orang-orang yang mengerti tentang kesenian calung ini. Wawancara dilakukan kepada ibu Uum Juarsih dan juga Asep Darso. Kemudian penulis menjabarkannya menjadi sebuah proposal penelitian yang selanjutnya diajukan kepada TPPS jurusan pendidikan sejarah. Proposal tersebut kemudian diseminarkan dan disetujui pada tanggal 27 Februai 2013. Proposal penelitian yang telah disetujui itu kemudian ditetapkan dengan surat keputusan yang ditandatangani oleh Ketua TPPS dan Ketua jurusan Pendidikan Sejarah Universitas Pendidikan Indonesia.

3.3.3. Proses Bimbingan

Dalam tahapan ini dilakukan Proses Bimbingan dengan Pembimbing I bapa Drs.H. Ayi Budi Santoso, M.Pd. dan Pembimbing II Drs. Syarif Moeis. Proses Bimbingan merupakan proses yang sangat diperlukan, karena dalam proses ini dapat berdiskusi mengenai berbagai masalah yang dihadapi oleh penulis.


(25)

34

Dengan begitu, penulis dapat berdiskusi dan berkonsultasi kepada Pembing I dan Pembimbing II sehingga penulis akan mendapatkan arahan, komentar dan perbaikan dari kedua Pembimbing. Proses bimbingan dengan Pembimbing II dilakukan setiap hari kamis. Sedangkan dengan pembimbing I dilakukan sesuai kesepakatan sebelumnya.

3.4. Pelaksanaan Penelitian 3.4.1. Heuristik

Heuristik adalah proses pengumpulan data atau sumber-sumber sejarah yang dianggap relevan dengan topik yang dipilih. Heuristk merupakan langkah awal yang dilakukan oleh penulis dalam penyusunan skripsi ini. Cara yang penulis lakukan yaitu mencari buku-buku maupun artikel yang berhubungan dengan prmasalahan yang dikaji. Penulis menemukan beberapa buku yang relevan dan mendukung judul yang penulis kaji, diantaranya :

1. Perpustakaan STSI Bandung

Dalam kunjungan ke perpustakaan STSI Bandung penulis memperoleh buku Deskripsi kesenian Jawa Barat karya Ganjar Kurnia. Calung Rantay Di Kecamatan Banjaran Kabupaten Bandung karya Cici Suwarna. Calung Pertanian UNPAD Sebagai Cikal Bakal Seni Pertunjukan Calung karya Cici Suwarna. Khasanah Musik Bambu karya Abun Somawijaya. Serta jurnal panggung edisi 17.

2. Perpustakaan Provinsi Jawa Barat

Penulis melakukan pencarian ke perpustakaan Jawa Barat dan penulis menemukan buku Strategi Kebudayaan karya Van Peursen. Manusia dan Kebudayaan karya Ernst Cassirer. Ilmu Budaya Dasar karya Widagdo. 3. Perpustakaan UPI dan UNPAD

Penulis tidak terlalu banyak menemukan buku yang relevan pada kedua perpustakaan ini. Namun penulis menemukan beberapa buku yang mendukung tentang teori kebudayaan seperti Antropologi Jilid I karya


(26)

35

Antropologi karya Koentjaraningrat.

Selain mencari sumber tertulis, penulis juga melakukan wawancara dengan beberapa pihak terkait. Hal ini dilakukan untuk mendapakan tambahan informasi agar dapat mengisi kekurangan dari sumber tertulis. Dalam pengumpulan sumber lisan, penulis mencari narasumber yang menguasai dan memahami tentang permasalahan yang penulis kaji.

Narasumber dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu pelaku dan saksi. Pelaku ialah orang yang benar-benar mengalami atau terlibat dalam kejadian yang menjadi bahan kajian seperti seniman yang mengikuti perkembangan kesenian calung dari waktu ke waktu. Sedangkan saksi ialah mereka yang melihat dan mengetahui bagaimana peristiwa itu terjadi seperti misalnya masyarakat sekitar maupun institusi pemerintah terkait.

Hasil wawancara dengan narasumber kemudian disalin kedalam bentuk tulisan untuk memudahkan peneliti dalam pengkajian yang akan dibahas pada bagian selanjutnya. Setelah semua sumber yang telah diperoleh yang berhubungan dengan masalah penelitian ini dikumupulkan kemudian menginterpretasikan terhadap sumber- sumber informasi, sehingga benar-benar diperoleh dengan sumber yang relevan dengan penelitian yang akan dikaji oleh penulis. Narasumber yang sudah diwawancara oleh penulis antara lain ibu Uum Juarsih, Asep Darso, Pa Momo dan Suyitno.

3.4.2. Kritik Sumber

Kritik merupakan proses kajian mengenai sumber yang didapatkan oleh penulis. Proses kajian ini meliputi isi serta bentuk dari sumber-sumber yang telah diperoleh sebelumnya. Kririk sumber dilakukan untuk sebagai langkah antisipasi dari pemalsuan sumber ataupun sumber yang bersifat subjektif dan tidak relevan dengan fakta yang ada. Kritik terbagi menjadi dua, yaoutu kritik internal dan kritik eksternal.


(27)

36

Kritik ekstrenal menguji tentang keaslian suatu sumber agar memperoleh sumber yang benar-benar asli dan bukan tiruan maupun palsu. Sumber yang asli biasanya waktu dan tempatnya diketahui. Makin luas dan makin dapat dipercaya pengetahuan penulis mengenai suatu sumber sehingga terlihat jelas dan asli. Hubungannya dengan Historiografi otentisitas (keaslian) suatu sumber mengacu pada sumber primer dan sumber sekunder. Sehingga konsep otentisitas (keaslian) suatu sumber yaitu asli, sebagian asli dan tidak asli. Setelah itu diinterpretansikan bahwa sumber primer yaitu sepenuhnya asli, dan sumber sekunder memiliki derajat keaslian.

Penulis melakukan kritik eksternal terhadap sumber tertulis maupun sumber lisan. Dalam melakukan kritik eksternal terhadap sumber-sumber tertulis, penulis memperhatikan beberapa aspek dalam akademis dari penulis yaitu : melihat latar belakang penulis buku tersebut untuk melihat keasliannya, memperhatikan aspek tahun penerbitan, serta tempat buku diterbitkan. Sehingga, penulis menyimpulkan bahwa sumber literatur tersebut merupakan sumber tertulis yang dapat digunakan dipenelitian ini.

Kritik terhadap sumber tertulis dilakukan oleh penulis terhadap sumber-sumber utama. Dalam laporan penelitian Cici Suwarna yang berjudul Rantay Di Kecamatan Banjaran Kab.Bandung peneliti melakukan kritik dengan membandingkan isi laporan ini dengan kondisi lapangan. Dari hasil kritik ini ditemukan perbedaan dari hasil tulisan dengan apa yang diungkapkan oleh narasumber. Perbedaan tersebut ialah adanya pewaris calung rantay yang dikemukakan dalam laporan ini sedangkan menurut istri dari pewaris calung rantay ini sudah tidak memiliki pewaris setelahnya.

Dalam jurnal pun terdapat perbedaan-perbedaan yang ditemukan penulis dari hasil membaca dengan hasil wawancara dengan pelaku maupun saksi sejarah yang berkaitan. Dalam artikel Perkembangan Calung Jinjing karya Cici Suwarna dalam Jurnal Panggung edisi 17 juga terdapat perbedaan seperti urutan grup calung yang dibesarkan darso dan juga perbedaan dalam peristiwa-peristiwa yang


(28)

37

dilalui setiap grup calung tersebut. Meskipun terdapat beberapa perbedaan dari hasil wawancara dengan laporan penelitian maupun artikel yang ditulis oleh Cici Suwarna, penulis hanya mengambil teori yang digunakan dalam laporan ini dan tidak menggunakan hasil wawancara yang ada dilaporan ini.

Buku sumber yang ditulis oleh Van Peursen, digunakan penulis sebagai teori utama yang digunakan oleh penulis. Sedangkan buku yang ditulis oleh Koentjaraningrat, Umar Kayam, Bastomi, Usman Pelly dan Asih Menanti, serta buku-buku lainya, menjadi pendukung dari teori utama yang ada dalam buku Van Peursen. Buku-buku tersebut dianggap relevan dengan kajian penulis dan juga beberapa buku tersebut juga menjadikan teori Van Peursen menjadi bagian dalam kajiannya.

Kritik terhadap sumber lisan penulis lakukan dengan menelusuri keterkaitan antara narasumber dengan objek yang dikaji. Di sini penulis baru menemukan tiga sumber lisan yang memiliki keterkaitan yang sangat kuat dengan kesenian calung di Kabupaten Bandung. narasumber yang pertama dipilih karena mrupakan pewaris terakhir dari calung rantay yang dulu digunakan sebagai alat ritual pertanian. Bukti yang menguatkan ibu Uum Juarsih sebagai pewaris calung rantay tersebut ialah dilihat dari hubungan kekerabatan antara Abah Nurhaji dengan alm. Mama Sukma yang merupakan suami dari ibu Uum Juarsih. Selain itu juga terdapat calung rantay merupakan peninggalan alm. Mama Sukma. Calung rantay yang dimiliki oleh ibu Uum Juarsih dikatakannya merupakan calung rantay satu-satunya yang tersisa. Namun menurut Pa Momo (68 tahun) calung rantay yang demikian ada juga di daerah Cibolang, Tasikmalaya.

Narasumber kedua ialah Asep Darso sebagai keturunan dari (alm) H.Darso. Narasumber ini dipilih karena Asep Darso merupakan pewaris sanggar calung Darso di Soreang Kabupaten Bandung. Darso merupakan murid langsung dari ibu Uum Juarsih pewaris calung rantay. Asep Darso menjadi pelatih dan juga pengerajin calung menggantikan Alm.Darso. Asep Darso juga dipilih karena


(29)

38

calung yang dimainkan oleh sanggar calung Darso adalah calung modern yang berbeda dengan calung yang ada pada ibu Uum Juarsih. Narasumber yang ketiga yaitu warga disekitar sanggar calung Darso sebagai saksi dari eksistensi kesenian calung di Kabupaten Bandung. Kesaksian warga sekitar dipilih untuk menilai eksistensi dari kesenian calung itu sendiri. Ada beberapa warga sekitar yang diwawancarai penulis. Namun wawancara ini hanya sebatas menanyakan eksistensi kesenian calung di daerah tersebut. Proses wawancara ini tidak berkaitan langsung dengan sejarah perkembangan kesenian calung ini. Pemilihan ini dilihat dari berapa lama narasumber tersebut tinggal di daerah itu, serta yang paling utama adalah beliau memiliki relasi yang cukup kuat dengan asep Darso maupun alm.Darso.

Setelah melakukan kritik eksternal, penulis kemudian melakukan kritik Internal terhadap sumber lisan dilakukan dengan cara membandingkan hasil wawancara dari narasumber satu dengan lainnya. Setelah penulis melakukan kaji banding terhadap narasumber antara satu dengan lainnya, kemudian penulis membandingkan dengan sumber tertulis. Kaji banding bertujuan untuk mendapatkan kebenaran dari fakta yang telah didapat dari sumber tertulis maupun sumber lisan yang digunakan dalam penelitian.

4.4.3. Interpretasi

Setelah melalui tahapan kritik maka berbagai sumber tersebut diberikan komentar dan tanggapan dalam rangka menyusun interpretasi yang disesuaikan dengan penulisan. Dalam hal ini penulis memberikan penafsiran terhadap sumber-sumber selama penelitian berlangsung. Kegiatan ini dilakukan dengan jalan menafsirkan fakta dan data dengan konsep-konsep dan teori-teori yang telah diteliti oleh penulis.

Interpretasi diperlukan karena bukti-bukti sejarah dan fakta-fakta sebagai saksi-saksi sejarah tidak dapat berbicara sendiri mengenai apa yang telah terjadi di masa lampau . Langkah awal yang dilakukan oleh penulis dalam


(30)

39

setelah itu fakta yang diperoleh dirangkaikan dan dihubungkan sehingga menjadi satu kesatuan yang selaras dengan peristiwa satu dimasukan kedalam konteks peristiwa lain yang melingkupinya (Ismaun, 2005:131).

4.4.4. Historiografi

Tahap ini ialah tahap akhir dari keseluruhan penulisan laporan penelitian prosedur penelitian merupakan kegiatan intelektual dan cara utama dalam memahami sejarah (Sjamsuddin, 2007:153). Penulisan skripsi ini disajikan kedalam karya tulis ilmiah yang disebut dengan skripsi. Skripsi ini disusun dengan gaya bahasa yang sederhana, karya ilmiah dan menggunakan cara penulisan yang seseuai dengan ejaan yang telah disempurnakan, sedangkan sistematika penulisan yang digunakan mengacu kepada buku podoman karya tulis ilmiah 2013 yang dikeluarkan oleh Universitas Pendidikan Indonesia. Dalam aturan pengutipan juga menggunakan sistem Harvard sesuai dengan buku pedoman penulisan karya ilmiah Universitas Pendidikan Indonesia.


(31)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari pembahasan yang sudah dikaji pada bab sebelumnya, ada beberapa poin penting dalam kesenian calung ini.

1. Kesenian calung memiliki peran serta fungsi tersendiri bagi masyarakat sunda khususnya Kabupaten Bandung. Bagi masyarakat Kabupaten Bandung, kesenian calung merupakan kesenian yang memiliki nilai religi di dalamnya. Kesenian ini tidak serta merta digunakan sebagai media hiburan saja. Kesenian calung digunakan sebagai media ritual pada awal pembuatannya. Ritual yang diselenggarakan ialah ritual selametan padi atau yang lebih dikenal dengan istilah ngaruat pare.

Penggunaan calung sebagai media ritual banyak digunakan ketika masyarakat masih kental dengan nuansa animisme-dinamisme. Meskipun masyarakat sudah memeluk agama monotheisme, penggunaan calung sebagai media ritual masih digunakan oleh sebagian masyarakat yang masih memegang teguh nilai tradisi. Biasanya penggunaan kesenian calung ini selain untuk ruwatan padi, juga digunakan untuk ngaruat imah atau selametan rumah yang akan ditempati. Ada juga yang menggunakannya dalam acara pernikahan ataupun hajatan yang lain.

Meskipun demikian, penggunaan kesenian calung sebagai sarana ritual sudah semakin jarang dilakukan. Selain karena kepercayaan baru yang masyarakat yakini, hal ini juga dikarenakan pola pikir masyarakat yang sudah berubah.

2. Setelah tidak lagi digunakan sebagai media ritual, kesenian calung kemudian terbagi menjadi dua jenis. Jenis yang pertama adalah kesenian calung yang masih menjaga nilai-nilai kesakralan di dalamnya. Kesenian ini


(32)

78

permainannya, kesenian calung ini sudah digunakan sebagai media hiburan pula.

Jenis yang kedua ialah calung jinjing. Kesenian calung ini sudah berubah secara total dari bentuk asalnya. Kesenian calung ini digunakan sebagai media hiburan dan sudah tidak lagi mengandung-nilai-nilai kesakralan. Kesenian ini menjadi kesenian calung yang lebih menghibur dan memiliki vareasi nada yang lebih banyak dibandingkan calung rantay. Perkembangan kesenian calung jinjing ini sejalan dengan eksistensi keluarga alm.Darso sebagai maestro kesenian calung.

Inovasi yang ada pada kesenian calung jinjing ini banyak dilakukan oleh Darso. Meskipun ada juga sanggar-sanggar calung yang bermunculan, namun sosok Darso ini yang kemudian dijadikan panutan dan juga mentor. Calung jinjing memiliki nilai komersial dibandingkan dengan calung rantay. Sehingga kesenian calung rantay tidak lagi dikenal oleh masyarakat. Kesenian calung jinjing yang lebih banyak digelar dan dipertontonkan menjadikan masyarakat Sunda khususnya Kabupaten Bandung lebih mengenal kesenian yang satu ini.

3. Sebagai kesenian tradisional yang terus dikembangkan, kesenian calung memiliki nilai komersial. Minat masyarakat untuk mementaskan kesenian calung pada saat pesta memunculkan grup-grup calung yang menggantukan hidup dari kesenian ini. Era tahun 1970an menjadi puncak kekayaan kesenian calung. Hal ini dikarenakan tidak adanya hiburan lain yang lebh menarik daripada kesenian calung pada saat itu. Kesenian modern seperti lagu pop sunda maupun dangdut belum begitu diminati oleh masyarakat.

Questa grup menjadi kelompok kesenian calung yang banyak di undang

pada acara “Saba Desa” di RRI Bandung. Dengan semakin dikenalnya grup ini maka panggilan untuk mementaskan kesenian calung ini dalam acara pemerintahan maupun acara lainnya semakin banyak. Agar pertunjukan kesenian ini semakin menarik maka dalam penyajiannya kesenian ini juga ditambahkan dengan beberapa waditra lainnya. Penggunaan kendang dan gitar menjadi pengisi kekurangan nada pada calung. Dengan semakin


(33)

79

berkembangnya zaman, pengunaan perangkat elektronik lainnya seperti keyboard digunakan agar pertunjukan calung ini semakin meriah.

Dengan menambahkan beberapa waditra lainnya, kesenian calung tidak hanya kepada lagu-lagu sunda saja. Kesenian calung juga bisa dipadukan

dengan lagu dangdut sehingga muncullah istilah “caldut” atau calung dangdut. Selain dangdut, kesenian calung juga dapat dipadukan dengan genre musik lainnya. Kesenian calung bisa menjadi lebih hidup dan bisa menyesuaikan diri dengan selera pasar. Inovasi-inovasi yang demikian ini sebagai langkah untuk mengikuti selera penonton.

4. Sebagai upaya pelestarian kesenian calung ini, inovasi dari permainannya harus tetap dilakukan. Pengenalan kesenian ini dari panggung ke panggung oleh Asep Darso menjadi salah satu cara untuk mengenalkan kembali kesenian calung ini. Hal ini ditujukan untuk menarik minat generasi muda terhadap kesenian tradisional khususnya calung. Selama ini kesenian calung cenderung lebih banyak dinikmati oleh orang tua. Sedangkan generasi muda lebih tertarik pada kesenian modern yang datang dari luar.

Dengan menarik perhatian generasi muda diharapkan kesenian ini bisa menunda kepunahannya. Sebagai media untuk mengenalkan kembali kesenian calung ini pada masyarakat, maka media elektronik dinilai oleh Asep Darso sebagai media yang efektif. Pembuatan stasiun televisi lokal yang sedang dikerjakan oleh Asep Darso diharapkan bisa menjadi sarana bagi para seniman sunda untuk bisa menampilkan kembali kesenian-kesenian sunda yang sudah terancam punah.

5.2. Saran

Hilangnya minat masyarakat terhadap kesenian daerah menjadi faktor yang menyebabkan punahnya kesenian tradisional. Agar kesenian daerah tidak punah begitu saja, kita sebagai masyarakat harus bisa memberikan apresiasi yang lebih terhadap kesenian tradisional dibandingkan dengan kesenian asing. Kesenian tradisional bisa menjadi bahan ekstrakulikuler untuk sekolah sekaligus


(34)

80

Menumbuhkan rasa kecintaan terhadap kesenian tradisional sejak kecil diharapkan akan mampu untuk memperlambat laju kepunahan. Promosi besar-besaran juga bisa menjadi alternatif dalam melestarikn kesenian tradisional ini. Seperti halnya angklung yang bisa menembus dunia Internasional, kesenian calung pun dengan kesenian tradisional lainnya harus bisa menacapai prestasi yang sama dengan itu. Meskipun kesenian calung lebih sulit dimainkan dari pada kesenian angklung.

Kesenian tradisional merupakan kesenian yang kampungan dan ketinggalan zaman. Anggapan ini selalu dikeluarkan oleh generasi muda yang lebih banyak mengemari kesenian asing dari pada kesenian daerah mereka masing-masing. Padahal kesenian tradisional kita adalah kesenian yang disukai oleh bangsa lain. Sehingga banyak kesenian daerah yang kemudian diakui oleh mereka. Ini menjadi dilematis tersendiri, di sisi lain kita tidak mau kesenian kita diakui bangsa lain. Namun bangsa kita sendiri juga yang tidak mau mempelajari atau paling tidak memberikan apresiasi kepada kesenian daerah untuk tampil sebagai hiburan.

Meskipun masih ada lingkung seni yang masih aktif, namun tidak adanya panggilan untuk pentas menjadikan hal itu hanya sebatas hiburan untuk kalangan mereka sendiri. Adanya rasa bangga dan penghargaan terhadap kesenian tradisional adalah bentuk apresiasi yang dibutuhkan agar kesenian tradisional bisa terus bertahan. Kesenian calung memang masih ada di beberapa desa bahkan di sekitar Kota pun masih ada yang melestarikan calung. Namun kesenian calung ini tidak nampak ke permukaan karena tidak adanya pagelaran.

Peran pemerintah sangat diperlukan dalam pelestarian kesenian tradisional khususnya calung. Namun perlu diingat bahwa ada dua jenis kesenian calung pada saat ini. Ada kesenian calung rantay dan ada juga kesenian calung jinjing. Seringkali yang mendapatkan apresiasi dari masyarakat maupun pemerintah ialah kesenian calung jinjing. Sedangkan kesenian calung rantay sudah sangat jarang sekali ditemukan. Untuk wilayah Kabupaten Bandung, kesenian calung rantay


(35)

81

masih dapat ditemukan di wilayah Banjaran. Sedangkan kesenian calung jinjing masih tersebar diberbagai tempat di Kota maupun Kabupaten Bandung.

Kesenian tradisional harus diberi perhatian khusus terutama kesenian-kesenian tradisional yang hampir punah seperti calung rantay. Kesenian calung rantay yang ada di Kabupaten Bandung pun sudah tidak lagi memiliki generasi penerus yang bisa diandalkan untuk melestarikan kesenian ini kelak. Pemain calung rantay yang ada pada saat ini sudah sangat tua dan belum ada penerus selanjutnya. Dari anak-anak maupun kerabat ibu Uum Juarsih tidak ada yang berminat untuk mempelajari calung rantay. Kesenian yang masih mereka kembangkan yaitu ketuk tilu dan kendang penca yang dianggap lebih menguntungkan dan masih ada peminatnya. Sedangkan untuk calung rantay sudah tidak lagi ada yang mengundang untuk mengisi acara di hajatan atau pesta lainya.


(36)

DAFTAR PUSTAKA

Bastomi, S. (1988). Apresisasi Kesenian Tradisional. Semarang: IKIP Semarang Press.

Cassirer, E. (1990). Manusia dan Kebudayaan. Jakarta: Gramedia. Damayanti, I. (2006). Psikologi Seni. Bandung: Kiblat Buku Utama.

Effendi, R. (2006). Pendidikan Lingkungan Sosial Budaya Dan Teknologi. Bandung: UPI Press.

Fathoni, A. (2006). Antropologi Sosial Budaya. Jakarta: PT Rineka Cipta. Gottschalk, L. (1985). Mengerti Sejarah. Jakarta: Yayasan Penerbit UI. Ihromi, TO. (1980). Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: PT Gramedia. Ismaun. (2005. Sejarah Sebagai Ilmu. Bandung: Historia Utama Press.

Kayam, U. (1981). Seni Tradisi Masyarakat. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Koentjaraningrat. (1967). Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakjat.

Koentjaraningrat. (2004). Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia

Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Kurnia, (G. 20030. Deskripsi Kesenian Jawa Barat. Bandung: Dinas Kebudayaan

& Pariwisata Jawa Barat.

Pelly, U dan Menanti, A. (1994). Teori-Teori Sosial Budaya. Jakarta: Proyek Pembinaan Dan Peningkatan Mutu Tenaga Kependidikan, Dikti.

Peursen.V. (1988). Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

Rosidi.A. (2006). Kajian tentang Falsafah Sunda. Makalah Pada Pelatihan Kepemimpinan Putra Sunda, Bandung.

Sjamsudin, H. (2007). Metodelogi Sejarah. Jakarta: Depdikbud Direktorat Pendidikan Tinggi Proyek Tenaga Akademik.


(37)

82

Somawijaya, A. (1996). Khasanah Musik Bambu. Laporan Penelitian Dosen STSI Bandung: Tidak Diterbitkan..

Soekanto, S. (2009). Sosiologi Suatu pengantar. Jakarta: Rajawali Pers. Sumardjo, Y. (2000). Filsafat Seni. Bandung: ITB.

Suwarna, C. (1986a). Calung Rantay Di Kecamatan Banjaran Kab.Bandung. Laporan Penelitian Dosen STSI Bandung: Tidak Diterbitkan..

Suwarna, C. (1986b). Calung Pertanian Unpad Sebagai Cikal Bakal Seni Pertunjukan Calung. Laporan Penelitian Dosen STSI Bandung: Tidak Diterbitkan..

Waridi. (2005). Seni Pertunjukan Indonesia: Menimbang Pendekatan Etnik Nusantara. Surakarta: The Ford Foundation & Program Pendidikan Pascasarjana STSI.

Widagdo, J. (2004). Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Bumi Aksara. Sumber Jurnal

Suwarna, C. (2007. “Perkembangan Calung Jinjing”. Jurnal panggung dan budaya. 17, (3). 355-370.

Sumber Internet

www.googlemap.com

www.bandungkab.go.id/page/content/type/module/id/263/title/geografi-dandemografi.


(1)

permainannya, kesenian calung ini sudah digunakan sebagai media hiburan pula.

Jenis yang kedua ialah calung jinjing. Kesenian calung ini sudah berubah secara total dari bentuk asalnya. Kesenian calung ini digunakan sebagai media hiburan dan sudah tidak lagi mengandung-nilai-nilai kesakralan. Kesenian ini menjadi kesenian calung yang lebih menghibur dan memiliki vareasi nada yang lebih banyak dibandingkan calung rantay. Perkembangan kesenian calung jinjing ini sejalan dengan eksistensi keluarga alm.Darso sebagai maestro kesenian calung.

Inovasi yang ada pada kesenian calung jinjing ini banyak dilakukan oleh Darso. Meskipun ada juga sanggar-sanggar calung yang bermunculan, namun sosok Darso ini yang kemudian dijadikan panutan dan juga mentor. Calung jinjing memiliki nilai komersial dibandingkan dengan calung rantay. Sehingga kesenian calung rantay tidak lagi dikenal oleh masyarakat. Kesenian calung jinjing yang lebih banyak digelar dan dipertontonkan menjadikan masyarakat Sunda khususnya Kabupaten Bandung lebih mengenal kesenian yang satu ini.

3. Sebagai kesenian tradisional yang terus dikembangkan, kesenian calung memiliki nilai komersial. Minat masyarakat untuk mementaskan kesenian calung pada saat pesta memunculkan grup-grup calung yang menggantukan hidup dari kesenian ini. Era tahun 1970an menjadi puncak kekayaan kesenian calung. Hal ini dikarenakan tidak adanya hiburan lain yang lebh menarik daripada kesenian calung pada saat itu. Kesenian modern seperti lagu pop sunda maupun dangdut belum begitu diminati oleh masyarakat.

Questa grup menjadi kelompok kesenian calung yang banyak di undang pada acara “Saba Desa” di RRI Bandung. Dengan semakin dikenalnya grup ini maka panggilan untuk mementaskan kesenian calung ini dalam acara pemerintahan maupun acara lainnya semakin banyak. Agar pertunjukan kesenian ini semakin menarik maka dalam penyajiannya kesenian ini juga ditambahkan dengan beberapa waditra lainnya. Penggunaan kendang dan gitar menjadi pengisi kekurangan nada pada calung. Dengan semakin


(2)

79

Hasan Basri, 2014

Perkembangan Kesenian Tradisional Calung di Kabupaten Bandung

berkembangnya zaman, pengunaan perangkat elektronik lainnya seperti keyboard digunakan agar pertunjukan calung ini semakin meriah.

Dengan menambahkan beberapa waditra lainnya, kesenian calung tidak hanya kepada lagu-lagu sunda saja. Kesenian calung juga bisa dipadukan dengan lagu dangdut sehingga muncullah istilah “caldut” atau calung dangdut. Selain dangdut, kesenian calung juga dapat dipadukan dengan genre musik lainnya. Kesenian calung bisa menjadi lebih hidup dan bisa menyesuaikan diri dengan selera pasar. Inovasi-inovasi yang demikian ini sebagai langkah untuk mengikuti selera penonton.

4. Sebagai upaya pelestarian kesenian calung ini, inovasi dari permainannya harus tetap dilakukan. Pengenalan kesenian ini dari panggung ke panggung oleh Asep Darso menjadi salah satu cara untuk mengenalkan kembali kesenian calung ini. Hal ini ditujukan untuk menarik minat generasi muda terhadap kesenian tradisional khususnya calung. Selama ini kesenian calung cenderung lebih banyak dinikmati oleh orang tua. Sedangkan generasi muda lebih tertarik pada kesenian modern yang datang dari luar.

Dengan menarik perhatian generasi muda diharapkan kesenian ini bisa menunda kepunahannya. Sebagai media untuk mengenalkan kembali kesenian calung ini pada masyarakat, maka media elektronik dinilai oleh Asep Darso sebagai media yang efektif. Pembuatan stasiun televisi lokal yang sedang dikerjakan oleh Asep Darso diharapkan bisa menjadi sarana bagi para seniman sunda untuk bisa menampilkan kembali kesenian-kesenian sunda yang sudah terancam punah.

5.2. Saran

Hilangnya minat masyarakat terhadap kesenian daerah menjadi faktor yang menyebabkan punahnya kesenian tradisional. Agar kesenian daerah tidak punah begitu saja, kita sebagai masyarakat harus bisa memberikan apresiasi yang lebih terhadap kesenian tradisional dibandingkan dengan kesenian asing. Kesenian tradisional bisa menjadi bahan ekstrakulikuler untuk sekolah sekaligus sebagai sarana untuk tetap melestarikan kesenian tradisional yang ada.


(3)

Menumbuhkan rasa kecintaan terhadap kesenian tradisional sejak kecil diharapkan akan mampu untuk memperlambat laju kepunahan. Promosi besar-besaran juga bisa menjadi alternatif dalam melestarikn kesenian tradisional ini. Seperti halnya angklung yang bisa menembus dunia Internasional, kesenian calung pun dengan kesenian tradisional lainnya harus bisa menacapai prestasi yang sama dengan itu. Meskipun kesenian calung lebih sulit dimainkan dari pada kesenian angklung.

Kesenian tradisional merupakan kesenian yang kampungan dan ketinggalan zaman. Anggapan ini selalu dikeluarkan oleh generasi muda yang lebih banyak mengemari kesenian asing dari pada kesenian daerah mereka masing-masing. Padahal kesenian tradisional kita adalah kesenian yang disukai oleh bangsa lain. Sehingga banyak kesenian daerah yang kemudian diakui oleh mereka. Ini menjadi dilematis tersendiri, di sisi lain kita tidak mau kesenian kita diakui bangsa lain. Namun bangsa kita sendiri juga yang tidak mau mempelajari atau paling tidak memberikan apresiasi kepada kesenian daerah untuk tampil sebagai hiburan.

Meskipun masih ada lingkung seni yang masih aktif, namun tidak adanya panggilan untuk pentas menjadikan hal itu hanya sebatas hiburan untuk kalangan mereka sendiri. Adanya rasa bangga dan penghargaan terhadap kesenian tradisional adalah bentuk apresiasi yang dibutuhkan agar kesenian tradisional bisa terus bertahan. Kesenian calung memang masih ada di beberapa desa bahkan di sekitar Kota pun masih ada yang melestarikan calung. Namun kesenian calung ini tidak nampak ke permukaan karena tidak adanya pagelaran.

Peran pemerintah sangat diperlukan dalam pelestarian kesenian tradisional khususnya calung. Namun perlu diingat bahwa ada dua jenis kesenian calung pada saat ini. Ada kesenian calung rantay dan ada juga kesenian calung jinjing. Seringkali yang mendapatkan apresiasi dari masyarakat maupun pemerintah ialah kesenian calung jinjing. Sedangkan kesenian calung rantay sudah sangat jarang sekali ditemukan. Untuk wilayah Kabupaten Bandung, kesenian calung rantay


(4)

81

Hasan Basri, 2014

Perkembangan Kesenian Tradisional Calung di Kabupaten Bandung

masih dapat ditemukan di wilayah Banjaran. Sedangkan kesenian calung jinjing masih tersebar diberbagai tempat di Kota maupun Kabupaten Bandung.

Kesenian tradisional harus diberi perhatian khusus terutama kesenian-kesenian tradisional yang hampir punah seperti calung rantay. Kesenian calung rantay yang ada di Kabupaten Bandung pun sudah tidak lagi memiliki generasi penerus yang bisa diandalkan untuk melestarikan kesenian ini kelak. Pemain calung rantay yang ada pada saat ini sudah sangat tua dan belum ada penerus selanjutnya. Dari anak-anak maupun kerabat ibu Uum Juarsih tidak ada yang berminat untuk mempelajari calung rantay. Kesenian yang masih mereka kembangkan yaitu ketuk tilu dan kendang penca yang dianggap lebih menguntungkan dan masih ada peminatnya. Sedangkan untuk calung rantay sudah tidak lagi ada yang mengundang untuk mengisi acara di hajatan atau pesta lainya.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Bastomi, S. (1988). Apresisasi Kesenian Tradisional. Semarang: IKIP Semarang Press.

Cassirer, E. (1990). Manusia dan Kebudayaan. Jakarta: Gramedia. Damayanti, I. (2006). Psikologi Seni. Bandung: Kiblat Buku Utama.

Effendi, R. (2006). Pendidikan Lingkungan Sosial Budaya Dan Teknologi. Bandung: UPI Press.

Fathoni, A. (2006). Antropologi Sosial Budaya. Jakarta: PT Rineka Cipta. Gottschalk, L. (1985). Mengerti Sejarah. Jakarta: Yayasan Penerbit UI. Ihromi, TO. (1980). Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: PT Gramedia. Ismaun. (2005. Sejarah Sebagai Ilmu. Bandung: Historia Utama Press.

Kayam, U. (1981). Seni Tradisi Masyarakat. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Koentjaraningrat. (1967). Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakjat.

Koentjaraningrat. (2004). Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia

Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Kurnia, (G. 20030. Deskripsi Kesenian Jawa Barat. Bandung: Dinas Kebudayaan

& Pariwisata Jawa Barat.

Pelly, U dan Menanti, A. (1994). Teori-Teori Sosial Budaya. Jakarta: Proyek Pembinaan Dan Peningkatan Mutu Tenaga Kependidikan, Dikti.

Peursen.V. (1988). Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

Rosidi.A. (2006). Kajian tentang Falsafah Sunda. Makalah Pada Pelatihan Kepemimpinan Putra Sunda, Bandung.

Sjamsudin, H. (2007). Metodelogi Sejarah. Jakarta: Depdikbud Direktorat Pendidikan Tinggi Proyek Tenaga Akademik.


(6)

82

Hasan Basri, 2014

Perkembangan Kesenian Tradisional Calung di Kabupaten Bandung

Somawijaya, A. (1996). Khasanah Musik Bambu. Laporan Penelitian Dosen STSI Bandung: Tidak Diterbitkan..

Soekanto, S. (2009). Sosiologi Suatu pengantar. Jakarta: Rajawali Pers. Sumardjo, Y. (2000). Filsafat Seni. Bandung: ITB.

Suwarna, C. (1986a). Calung Rantay Di Kecamatan Banjaran Kab.Bandung. Laporan Penelitian Dosen STSI Bandung: Tidak Diterbitkan..

Suwarna, C. (1986b). Calung Pertanian Unpad Sebagai Cikal Bakal Seni Pertunjukan Calung. Laporan Penelitian Dosen STSI Bandung: Tidak Diterbitkan..

Waridi. (2005). Seni Pertunjukan Indonesia: Menimbang Pendekatan Etnik Nusantara. Surakarta: The Ford Foundation & Program Pendidikan Pascasarjana STSI.

Widagdo, J. (2004). Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Bumi Aksara. Sumber Jurnal

Suwarna, C. (2007. “Perkembangan Calung Jinjing”. Jurnal panggung dan budaya. 17, (3). 355-370.

Sumber Internet www.googlemap.com

www.bandungkab.go.id/page/content/type/module/id/263/title/geografi-dandemografi.