EFEKTIVITAS KONSELING KOGNITIF PERILAKU DENGAN TEKNIK RESTRUKTURISASI KOGNITIF UNTUK MEREDUKSI KEJENUHAN BELAJAR PESERTA DIDIK : Penelitian Eksperimen Kuasi terhadap Peserta Didik Kelas XII MA Al-Inayah Bandung Tahun Ajaran 2013/2014.
KEJENUHAN BELAJAR PESERTA DIDIK
(Penelitian Eksperimen Kuasi terhadap Peserta Didik Kelas XII MA Al-Inayah Bandung Tahun Ajaran 2013/2014)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan
Oleh
DIAN RAMADHANI 0901186
JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2013
(2)
DENGAN TEKNIK RESTRUKTURISASI KOGNITIF UNTUK MEREDUKSI KEJENUHAN BELAJAR PESERTA DIDIK
(Penelitian Eksperimen Kuasi terhadap Peserta Didik Kelas XII MA Al-Inayah Bandung Tahun Ajaran 2013/2014)
Oleh Dian Ramadhani
Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Ilmu Pendidikan
© Dian Ramadhani 2013 Universitas Pendidikan Indonesia
Desember 2013
Hak Cipta dilindungi undang-undang.
Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhnya atau sebagian, dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa ijin dari penulis.
(3)
(4)
Dian Ramadhani. (2013). Efektivitas Konseling Kognitif Perilaku dengan Teknik Restrukturisasi Kognitif untuk Mereduksi Kejenuhan Belajar Peserta Didik (Penelitian Eksperimen Kuasi terhadap Peserta Didik Kelas XII MA Al-Inayah Bandung Tahun Ajaran 2013/2014).
Penelitian dilatarbelakangi oleh tingkat kejenuhan belajar pada peserta didik Madrasah Aliyah. Penelitian ini bertujuan menguji efektivitas konseling kognitif perilaku dengan teknik restrukturisasi kognitif untuk mereduksi kejenuhan belajar peserta didikkelas XII MA Al-Inayah Bandung. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah kuantitatif dengan metode eksperimen kuasi. Alat yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah angket kejenuhan belajar, dan teknik analisis data yang digunakan adalah dengan statistik uji t. Hasil penelitian menunjukkan: (1) secara umum profil tingkat kejenuhan belajar berada pada kategori jenuh; (2) rancangan intervensi berfokus pada penurunan gejala kejenuhan belajar; dan (3) konseling kognitif perilaku dengan teknik restrukturisasi kognitif efektif untuk mereduksi kejenuhan belajar. Rekomendasi penelitian ditujukan: (1) bagi konselor, agar secara aplikatif dapat melakukan langkah-langkah intervensi; (2) bagi pihak sekolah, perlu berperan aktif dalam pencegahan terjadinya kejenuhan belajar pada peserta didik; dan (3) bagi peneliti selanjutnya, untuk mengeksplorasi dinamika, faktor-faktor yang memengaruhi kejenuhan belajar, serta mencoba penggunaan teknik konseling lainnya dalam menangani kejenuhan belajar.
Kata kunci: kejenuhan belajar, konseling kognitif perilaku, teknik restrukturisasi kognitif.
(5)
Dian Ramadhani. (2013). Effectiveness of Cognitive Behavior Counseling Using Cognitive Restructuring Technique to Reduce Students’ Burnout. (A Quasi Experimental Research on Students in Grade XII MA Al-Inayah Bandung Academic Year of 2013/2014).
The reason underlying this research was the Madrasah Aliyah students’ burnout level. The purpose of this research is to test effectiveness of Cognitive Behavior Counseling using Cognitive Restructuring technique to reduce the burnout level of XII grade students at MA Al-Inayah Bandung. This research employed quantitative approach with quasi experiment method. To collect the data, the students’ burnout questionnaire was distributed to the students. Besides, this research also used t test statistical data analysis. The result shows that: (1) generally, the profile of students’ burnout was on burnout; (2) the intervention program implemented in this research was focused on reducing the tendency of
students’ burnout level; and (3) the Cognitive Behavior Counseling using
Cognitive Restructuring technique was effective in reducing students’ burnout. In regard to the results above research, recommendation is intended to: (1) counselor, for practically, they can take the steps of interventions immediately; (2) for the school, so that they can significantly for contribute to prevent the burnout happen to the students; and (3) for the further researcher, need to explore the dynamics, the factor affects of students' burnout, and try to use another counseling technique to handle the burnout level.
Key word: students’ burnout, cognitive behavior counseling, cognitive Restructuring technique.
(6)
KATA PENGANTAR………...………..…….. iii
UCAPAN TERIMA KASIH ………...……… iv
DAFTAR ISI………...………..……….…….... vi
DAFTAR TABEL………...………..……….... vii
DAFTAR GRAFIK………...………..……….. ix
DAFTAR GAMBAR………...………..……… x
DAFTAR LAMPIRAN………...………..…… xi
BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Penelitian……… B.Identifikasi dan Perumusan Masalah………... C.Tujuan Penelitian.. ………...……… D.Manfaat Penelitian………...………... E.Asumsi dan Hipotesis Penelitian ……… F. Struktur Organisasi Skripsi ………...……… 1 9 12 12 13 14 BAB II KONSEP KEJENUHAN BELAJAR DAN TEKNIK RESTRUKTURISASI KOGNITIF A.Konsep Kejenuhan Belajar………...……….. B.Konsep Konseling Kognitif Perilaku………...………... C.Konseling Kognitif Perilaku dengan Teknik Restrukturisasi Kognitif untuk Mereduksi Kejenuhan Belajar………..... D.Hasil-hasil Penelitian Terdahulu………...……….. 15 31 43 46 BAB III METODE PENELITIAN A.Lokasi dan Subjek Penelitian ……….. B.Desain Penelitian………...……….. C.Metode Penelitian ….………..……… D.Definisi Operasional Variabel Penelitian………...………….. E.Instrumen Penelitian………...……… F. Proses Pengembangan Instrumen ………..………. G.Teknik Analisis Data ………...……….. 50 52 53 53 56 58 62 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A.Hasil Penelitian ………..…...…... B.Pembahasan Hasil Penelitian ………...…………... C.Keterbatasan Penelitian ….………..……… 65 94 152 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A.Kesimpulan ………..…...………… B.Rekomendasi ………..…...………. 154 155 DAFTAR PUSTAKA………...……… 157
(7)
A.Latar Belakang Penelitian
Kemajuan suatu bangsa merupakan cita-cita bagi seluruh negara. Salah satu faktor pendukung kemajuan suatu bangsa adalah pendidikan. Pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting bagi perkembangan dan perwujudan diri individu, terutama bagi pembangunan bangsa dan negara. Pendidikan merupakan usaha yang terencana untuk mengembangkan potensi yang dimiliki oleh peserta didik demi mencapai masa depan yang sukses dan berprestasi. Di dalam UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, tercantum pengertian pendidikan sebagai berikut:
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya sehingga memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan oleh dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Sesuai dengan pengertian pendidikan nasional tersebut, secara umum pendidikan bertujuan untuk menyediakan lingkungan yang memungkinkan peserta didik untuk mengembangkan bakat dan kemampuannya secara optimal sehingga dapat mewujudkan diri sesuai potensi dirinya. Kapasitas intelektual merupakan bagian dari potensi yang dimiliki oleh peserta didik yang perlu dikembangkan. Makmun (2009:102) mengungkapkan bahwa pada usia 13 tahun kapasitas intelektual akan mengalami peningkatkan yang signifikan, dimana persentase taraf kematangan dan kesempurnaan IQ (Intelegence quotient) seseorang mencapai 92 %. Pendidikan sudah seharusnya mampu mengeksplorasi kapasitas intelektual yang dimiliki peserta didik yang dimanifestasikan dengan wawasan informasi yang luas dan berkembangnya kapasitas berpikir.
Kegiatan belajar merupakan kegiatan yang paling pokok dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah. Berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan banyak bergantung pada bagaimana proses belajar yang dialami oleh peserta didik (Slameto, 2010:1). Indikator keberhasilan proses belajar ditandai dengan keikut
(8)
sertaan dan semangat dari peserta didik selama proses pembelajaran berlangsung. Menurut DePorter (2008:14) faktor pendukung keberhasilan proses pembelajaran adalah suasana yang tidak membosankan serta aktivitas belajar yang membuat peserta didik senang dan bahagia. Hal ini menunjukkan bahwa proses pembelajaran hendaknya memenuhi kebutuhan dan harapan yang diinginkan oleh peserta didik, dalam bentuk lancarnya proses pembelajaran serta tingginya minat dan prestasi belajar peserta didik. Dalam rangka mengembangkan potensi peserta didik secara optimal maka diselenggarakannya serangkaian kegiatan pembelajaran yang bersifat formal, nonformal maupun informal dengan berbagai jenjang.
Madrasah Aliyah (MA) merupakan salah satu jenjang pendidikan yang ditempuh oleh peserta didik dalam mengikuti kegiatan pembelajaran secara formal. Madrasah Aliyah berada di bawah koordinasi Departemen Pendidikan Nasional dan pengelolaannya dilakukan oleh Kementerian Agama. Usia peserta didik pada jenjang MA umumnya berusia 16-18 tahun. Peserta didik usia 16-18 tahun tergolong kedalam masa remaja. Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata latin adolescere yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa” (Hurlock, 1994:206).
Santrock (2004:26) menjelaskan adolescence sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional. Pikunas (Yusuf, 2008:184) menyatakan periode
remaja dipandang sebagai masa “strom and stres”, frustrasi dan penderitaan, konflik dan krisis penyesuaian, mimpi dan melamun tentang cinta, dan perasaan teralineasi (tersisihkan) dari kehidupan sosial budaya orang dewasa. Berdasarkan pendapat tersebut remaja yang sedang dalam masa transisi menuju dewasa akan banyak mengalami perubahan dalam dirinya, yang memungkinkan remaja terlibat pada permasalahan-permasalahan dan rentan untuk terjadinya stres sehingga bisa menjadi hambatan bagi remaja dalam berkembang.
Menurut Steinberg (Nasution, 2007:7) bahwa remaja sekitar usia 15–18 tahun mengalami banyak perubahan dari sisi kognitif, emosional, dan sosial, berpikir lebih kompleks, secara emosional lebih sensitif, dan lebih sering menghabiskan waktu dengan teman sebayanya. Sehingga perubahan-perubahan
(9)
yang terjadi pada remaja membuat remaja mengalami konflik diri yang membuat stres dan dituntut untuk dewasa dalam menyikapi setiap permasalahan yang dialaminya. Hambatan dan konflik dalam kehidupan remaja akan sangat mengganggu kesehatan fisik dan emosi, menghancurkan motivasi dan kemampuan menuju sukses di sekolah serta akan merusak hubungan pribadi remaja. Senada dengan pendapat Hurlock (1994:221) sebagai berikut :
Remaja menunjukkan ketidaksenangannya terhadap tuntutan pendidikan dengan menjadi orang yang berprestasi rendah, dan bekerja dibawah kemampuan dalam setiap mata pelajaran atau dalam mata pelajaran yang tidak disukai. Terdapat remaja yang melakukan bolos sekolah dan berusaha memperoleh izin dari orang tua untuk berhenti sekolah sebelum waktunya atau berhenti sekolah ketika duduk di kelas terakhir tanpa merasa perlu untuk memperoleh ijazah.
Konflik diri yang membuat remaja stres pada proses belajar di sekolah banyak dikarenakan adanya tuntutan dan harapan yang harus dipenuhi. Menurut Hastuti (Setiawati, 2010:2) menjadi pelajar merupakan hal yang berat karena banyak tuntutan dan tugas yang dibebankan oleh sekolah kepadanya. Tuntutan dan harapan yang tinggi terhadap remaja untuk berprestasi di sekolah membuat remaja tertekan dan mengalami ketegangan. Penelitian Walker (Nasution, 2007:6) terhadap 60 orang remaja membuktikan bahwa beberapa penyebab utama ketegangan dan masalah yang ada pada remaja berasal dari hubungan dengan teman dan keluarga, tekanan dan harapan dari diri mereka sendiri dan orang lain, serta tekanan di sekolah oleh guru dan pekerjaan rumah. Salah satu beban belajar yang dapat menimbulkan stres pada remaja adalah jam belajar yang padat. Hal ini sesuai dengan pendapat Musrofi (2010:13):
Kepadatan jam belajar peserta didik di Indonesia menempati peringkat 1 dengan 242 jumlah hari sekolah/tahun di atas Korea Selatan dengan 220 hari/tahun. Beban belajar ini dinilai sangat padat dan membebani peserta didik. Padahal kemampuan peserta didik dalam menerima dan menyerap pelajaran hanya 1/6 x /24 jam atau lebih kurang 4 jam dalam sehari. Jika peserta didik menerima beban belajar melebihi batas maksimum yang dapat mereka tangkap, maka yang timbul adalah stres.
Tuntutan jam belajar yang padat dapat menambah beban belajar bagi peserta didik. Dan dapat dikatakan bahwa sekolah ikut berperan terhadap timbulnya stres pada peserta didik itu sendiri. Senada dengan penelitian Yulianto (Setiawati,
(10)
2010:2) terhadap peserta didik SMAN 5 Bandung tahun pelajaran 2006/2007 yang menunjukkan stresor yang dominan pada peserta didik adalah aspek lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah. Hal ini menunjukkan bahwa tekanan atau stres dapat dialami remaja yang memiliki tugas sebagai seorang pelajar. Tingginya tingkat stres terutama di sekolah menengah merupakan hal yang tidak menguntungkan bagi peserta didik karena sebagian waktu mereka dihabiskan di sekolah.
Bagi sebagian peserta didik, sekolah dengan segala elemennya justru menjadi sesuatu yang menakutkan sehingga menimbulkan tekanan dan stres pada peserta didik. Elemen yang dimaksudkan antara lain kurikulum yang dirasa terlalu berat, cara mengajar atau perlakuan guru yang menekan, dan lingkungan pergaulan sebaya yang tidak sehat (Munawaroh, 2011:4). Tekanan atau stres yang berasal dari lingkungan sekolah inilah yang akan menghambat perkembangan peserta didik, yang seharusnya menjadikan sekolah sebagai tempat yang nyaman dan sehat bagi perkembangan fisik dan psikis peserta didik itu sendiri.
Stres yang tidak dikelola dengan baik dalam jangka waktu lama akan menimbulkan kejenuhan. Sesuai dengan pendapat Silvar (2001:26) yang menyatakan bahwa stres yang berkepanjangan akan menyebabkan seseorang mengalami kejenuhan. Secara harfiah kejenuhan ialah padat atau penuh sehingga tidak mampu lagi memuat apapun. Maslach & Leiter (1993:17) mendefinisikan kejenuhan adalah hasil dari tekanan emosional yang konstan dan berulang, yang diasosiasikan dengan keterlibatan yang intensif dalam hubungan antar personal untuk jangka waktu yang lama. Chernis (1980:34) menjelaskan bahwa kejenuhan (burnout) muncul dari adanya tuntutan kerja yang mengakibatkan ketegangan dan stres yang lama sehingga menyebabkan kelelahan emosi, depersonalisasi, dan menurunnya motivasi.
Menurut Schaufeli & Hu (2009:397) kejenuhan pada intinya adalah bekerja. Peserta didik sebagai pelajar juga memiliki aktivitas bekerja yaitu belajar sehingga rentan memiliki kecenderungan mengalami kejenuhan. Kejenuhan yang terjadi dalam setting akademik yang sering dialami oleh peserta didik disebut sebagai kejenuhan belajar. Silvar (2001:22) menjelaskan kejenuhan belajar
(11)
sebagai suatu kondisi dimana peserta didik mengalami keletihan fisik, emosional, dan mental diakibatkan intensitas yang lama terhadap tuntutan akademis. Penelitian yang dilakukan Skovholt (2003) menunjukkan sebagian besar faktor pemicu kejenuhan pada kegiatan belajar adalah karena rutinitas yang tidak banyak berubah dan cenderung monoton. Sehingga dapat disimpulkan bahwa adanya beban akibat tuntutan akademis dan keterlibatan intensif yang berulang pada kegiatan belajar dalam kurun waktu tertentu merupakan kunci dalam menjelaskan fenomena kejenuhan belajar yang dapat menimbulkan kelelahan secara emosional, depersonalilsasi, dan menurunnya keyakinan akademik pada peserta didik. Penelitian paling mutakhir tentang kejenuhan belajar di sekolah dilakukan oleh Sugara (2011) dan Firmansyah (2012).
Penelitian mengenai fenomena kejenuhan belajar dilakukan oleh Sugara (2011:97) pada peserta didik kelas XI SMA di SMA Angkasa Bandung tahun pelajaran 2010/2011 ditemukan intensitas kejenuhan belajar peserta didik sebanyak 15,32 % termasuk kategori tinggi, 72,97 % termasuk ke dalam kategori sedang, dan 11,71 % termasuk ke dalam kategori rendah. Selanjutnya, penelitian kejenuhan belajar dilakukan oleh Firmansyah (2012) terhadap peserta didik kelas VIII di SMPN 1 Lembang tahun pelajaran 2011/2012 menggambarkan bahwa 14,6 % peserta didik berada pada tingkat kejenuhan belajar kategori tinggi, 72,9 % peserta didik berada pada tingkat kejenuhan belajar kategori sedang, dan 12,5 % peserta didik berada pada tingkat kejenuhan belajar kategori rendah.
Berdasarkan fenomena kejenuhan belajar yang banyak dialami peserta didik pada jenjang sekolah menengah, tidak menutup kemungkinan kejenuhan belajar juga dialami oleh peserta didik di Madrasah Aliyah. Pada Madrasah Aliyah (MA) selain seperti sekolah menengah pada umumnya, muatan pendidikan agama Islam yaitu Fiqih, Akidah, Akhlak, Al Quran, Hadits, Bahasa Arab dan Sejarah Islam (Sejarah Kebudayaan Islam) merupakan porsi pelajaran tambahan di MA yang dapat menambah beban tuntutan belajar dan keterlibatan yang intensif pada kegiatan pembelajaran MA. Dan jenjang pada tingkat sekolah menengah yang rentan mengalami kejenuhan belajar adalah kelas XII, sebab merupakan puncak keterlibatan terhadap proses pembelajaran serta mulai adanya harapan tinggi dari
(12)
diri dan lingkungan peserta didik untuk kesuksesan akademik yaitu lulus sekolah dan kelanjutan pendidikan pada tingkat yang lebih tinggi ataupun bekerja, yang tak jarang dipersepsi sebagai tuntutan bagi peserta didik itu sendiri Kejenuhan belajar yang dialami akan menimbulkan permasalahan-permasalahan belajar bagi peserta didik itu sendiri.
Permasalahan belajar pada peserta didik di MA Al-Inayah Bandung dirasakan oleh guru Bimbingan dan Konseling sebagai penghambat keberhasilan akademik peserta didik. Terlebih lagi MA Al-Inayah Bandung merupakan sekolah dalam naungan yayasan, yang sebagian muridnya juga harus belajar di Pesantren. Sekolah yang memadukan antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum ini menuntut peserta didik mengikuti berbagai aktivitas sekolah dengan segala tuntutan akademik dan juga mengikuti kegiatan keagamaan. Salah satu kegiatan keagamaan dalam pondok pesantren Al-Inayah adalah mengajarkan Al-Qur’an oleh peserta didik pada jenjang atas kepada peserta didik pada jenjang bawahnya. Hal tersebut membuat peserta didik mengalami keterlibatan secara intensif terhadap situasi emosional dan segala tuntutan lingkungan, sehingga rentan menjadi penyebab peserta didik MA Al-Inayah Bandung mengalami kejenuhan belajar.
Ketahanan dari setiap individu terhadap tuntutan lingkungan akan berbeda-beda, namun setiap individu memiliki peluang yang sama besar mengalami burnout (Sugara, 2013:97). Peserta didik yang tidak tahan dan tidak dapat beradaptasi dengan tuntutan belajar akan berimbas pada timbulnya permasalahan dan performa akademik. Hal ini terbukti dengan penuturan guru BK MA Al-Inayah saat diwawancarai, mengatakan pada Tahun Ajaran 2012/2013 terdapat 10% peserta didik yang tertinggal dan memutuskan untuk pindah sekolah karena berat mengikuti sistem sekolah ini. Penuturan wakasek kurikulum MA Al-Inayah mengungkapkan bahwa setiap tahun ada saja permasalahan yang dirasakan peserta didik terhadap kurikulum MA, seperti peserta didik yang bermasalah dalam bidang akhlak, daya juang yang rendah dalam tugas terutama menghafal hadis-hadis Al-Qur’an dan masih takutnya peserta didik terhadap Bahasa Arab.
(13)
Lebih lanjut, studi pendahuluan terhadap permasalahan peserta didik di kelas XII MA Al-Inayah Bandung adalah sebagai berikut: (1) malas belajar/menghafal/membaca: 82,9%; (2) tidak konsentrasi/memperhatikan: 80 %; (3) mengantuk di kelas: 52,8 %; (4) kurang percaya diri saat ulangan/belajar di kelas: 30 %; (5) tidak memahami materi yang diajarkan guru: 28,6 %; (5) kurang senang terhadap penyampaian guru: 28,6%; (6) suasana hati yang buruk saat belajar: 27,1%; (7) menunda tugas: 25,7%; (8) makan sambil belajar di kelas: 12,9 %; (9) mencontek tugas teman: 11,4 %; (10) merasa lelah dengan waktu sekolah hingga sore: 10% (11) bosan di kelas/pelajaran yang tidak disukai: 10% (12) terbebani dengan pilihan setelah lulus: 10% (13) menganggap enteng suatu pelajaran: 7,1 %; (14) memainkan HP saat belajar: 7,1 %.
Permasalahan tersebut merupakan kondisi serius yang dialami peserta didik, terutama dalam proses pembelajaran di sekolah. Bimbingan dan konseling sebagai bagian integral dari pendidikan, memiliki peranan yang sangat penting dalam membantu peserta didik menemukan berbagai alternatif penyelesaian masalah yang dirasakan. Dalam permasalahan akademik, upaya bimbingan dan konseling yang diperlukan harus memiliki tujuan untuk mengatasi hambatan dan kesulitan yang dihadapi peserta didik dalam proses pelaksanaan kegiatan belajar dan penyesuaian dengan lingkungan pendidikan dengan segala tuntutannya.
Peserta didik yang mengalami kejenuhan belajar memerlukan penangan dengan segera karena dapat menimbulkan perilaku-perilaku destruktif dan menurunnya prestasi belajar. Bentuk rancangan layanan bimbingan dan konseling yang dilakukan untuk menangani masalah kejenuhan belajar adalah layanan yang bersifat responsif. Layanan responsif adalah layanan bimbingan yang bertujuan untuk membantu memenuhi kebutuhan yang dirasakan sangat penting oleh peserta didik saat ini (Nurihsan, 2005:33). Bantuan terhadap peserta didik yang mengalami kejenuhan belajar merupakan kebutuhan penting dalam mengatasi masalah belajar peserta didik. Strategi bimbingan dan konseling dalam menangani kejenuhan belajar adalah melalui konseling akademik. Menurut Nurihsan (2003:21) konseling akademik yaitu upaya membantu klien mengatasi kesulitan belajar, mengembangkan cara belajar yang efektif, membantu mereka supaya
(14)
sukses dalam belajar dan agar mampu menyesuaikan diri terhadap semua tuntutan pendidikan.
Konseling diorientasikan kepada peserta didik agar dapat mengelola stimulus yang datang, direspon dengan pikiran yang positif dan perilaku yang lebih sesuai. Sesuai dengan pendapat Slameto (2010:4) yang menyatakan pandangan seseorang tentang belajar akan mempengaruhi tindakan-tindakannya yang berhubungan dengan belajar. Tuntutan akademik dipersepsi peserta didik yang mengalami kejenuhan belajar sebagai sesuatu yang mengancam diri. Sehingga salah satu cara menangani kejenuhan belajar adalah dengan menggunakan pendekatan yang berfokus pada aspek kognitif, mengubah pandangan negatif terhadap tuntutan akademik menjadi pikiran yang positif merupakan intervensi yang dapat dilakukan.
Menurut Schaufeli & Enzman (1998:135) salah satu strategi konseling yang dapat membantu menangani kejenuhan belajar adalah dengan menggunakan pendekatan konseling kognitif perilaku. Diperkuat oleh penelitian yang dilakukan Agustin (2009:251) menunjukkan bahwa model konseling kognitif perilaku merupakan salah satu strategi intervensi yang efektif dalam menangani kejenuhan belajar. Secara umum, konseling kognitif perilaku adalah suatu bentuk konseling yang memadukan prinsip dan prosedur konseling kognitif dan konseling perilaku dalam upaya membantu konseli mencapai perubahan perilaku yang diharapkan (Ramli, 2005:43). Perubahan struktur kognitif pada diri peserta didik yang mengalami kejenuhan belajar merupakan fokus intervensi yang utama dalam konseling kognitif perilaku.
Salah satu teknik dalam konseling kognitif perilaku yang berfokus pada aspek kognitif individu adalah restrukturisasi kognitif. Teknik restrukturisasi kognitif digunakan untuk konseli yang memiliki masalah emotional distress, disfungsi perilaku, mengalami distorsi kognitif, dan bagi konseli yang memperlihatkan resistensi terhadap perubahan perilaku (Dobson & Dobson, 2009: 117). Pandangan negatif terhadap tuntutan akademik dari peserta didik yang mengalami kejenuhan belajar merupakan bukti adanya distorsi kognitif yang menimbulkan perilaku destruktif berupa keengganan terhadap belajar. Gejala
(15)
kejenuhan identik dengan distress, discontent, dan perasaan gagal untuk mencapai tujuan ideal (Agustin, 2009:21). Teknik restrukturisasi kognitif memiliki asumsi kejenuhan yang terjadi pada individu merupakan konsekuensi dari pikiran yang salah suai. Hal ini sesuai dengan pernyataan Dobson (2001: 12) bahwa restrukturisasi kognitif didasarkan pada asumsi emotional distress merupakan akibat dari pikiran-pikiran yang salah suai. Dapat dikatakan bahwa perasaan dan perilaku merupakan keterkaitan yang ditentukan oleh bagaimana peserta didik dalam mengkonstruksi pikiran terhadap lingkungannya.
Penelitian yang dilakukan oleh Nurmalasari (2011:172) menunjukkan bahwa teknik restrukturisasi kognitif efektif menangani stres akademik. Diperkuat oleh penelitian West et al. (Scaufeli & Enzman, 1998:137) menunjukkan hasil yang positif terhadap penggunaan restrukturisasi kognitif sebagai salah satu teknik yang dapat mengurangi gejala kejenuhan. Sehingga intervensi konseling kognitif perilaku dengan teknik restrukturisasi kognitif dirancang untuk membantu peserta didik yang mengalami kejenuhan belajar dengan memperbaiki konseptualisasi dan kepercayaan yang tidak fungsional. Sehingga perlu dikembangkan penelitian mengenai efektivitas konseling kognitif perilaku dengan teknik restrukturisasi kognitif dalam mereduksi kejenuhan belajar peserta didik.
B.Identifikasi dan Perumusan Masalah
Proses pembelajaran yang dilakukan secara berulang dan terus-menerus oleh peserta didik, serta tekanan-tekanan baik dari dalam diri maupun lingkungannya untuk mencapai prestasi belajar yang maksimal, membawa peserta didik pada batas kemampuan jasmaniahnya. Peserta didik yang mengalami kejenuhan belajar merasa terbebani dengan tuntutan akademik, merasa seakan-akan pengetahuan dan kecakapan yang diperoleh dari belajar tidak ada kemajuan, dan kerapkali menyebabkan peserta didik tidak bisa berkonsentrasi dalam belajar.
Menurut Pines (Maslach & Leiter, 1993:12) kejenuhan merupakan hasil dari kegagalan dalam mencari makna terhadap pekerjaan. Kegagalan pencarian makna terhadap belajar bagi peserta didik erat kaitannya dalam penggunaan pikiran Hal tersebut sesuai dengan pendapat Schaufeli dan Enzman (1998:131) menjelaskan
(16)
kejenuhan sebagai pekerjaan terkait pikiran pada individu yang terutama ditandai oleh kelelahan yang disertai dengan tekanan, rasa menurunnya efektivitas dan penurunan motivasi, serta pengembangan sikap dan perilaku disfungsional. Oleh karena itu kesalahan dalam mempersepsi tuntutan akademik dan keterlibatan yang intensif pada peserta didik dalam kegiatan belajar, yang pada akhirnya berpengaruh terhadap kinerja dan prestasi belajar yang menurun. Diperkuat oleh Makmun (2009:169) yang menjelaskan kejenuhan belajar sebagai ketidakmampuan daya ingatan mengakomodasikan informasi atau pengalaman baru, serta adanya perasaan bahwa hasil belajar tidak ada kemajuan untuk beberapa waktu tertentu. Dalam pandangan pendekatan kognitif-perilaku, kejenuhan belajar adalah bentuk respon dari hasil olah pemikiran dan perasaan individu dalam mempertahankan diri dari stres yang berkepanjangan (defensive coping) (Sugara, 2011:18).
Pines & Aronson (Silvar, 2001:22) menjelaskan kejenuhan sebagai keletihan fisik, emosi, mental yang terjadi dalam waktu yang panjang atas keterlibatan dengan orang-orang dalam berbagai situasi emosional yang menegangkan. Peserta didik yang mengalami kejenuhan merasa kelelahan dalam menghadapi keterlibatan yang intensif dari proses pembelajaran disertai beban belajar yang berat dalam jangka waktu yang lama sehingga peserta didik merasa tidak mengalami perubahan dari apa yang dipelajari. Kelelahan yang terjadi diakibatkan dari persepsi negatif atau terjadi kekeliruan pemikiran peserta didik dalam menginterpretasi tuntutan akademik dalam kurun waktu tertentu sehingga menimbulkan ketegangan.
Peserta didik yang mengalami kejenuhan belajar menampilkan gejala lelah secara emosi akibat adanya tuntutan belajar seperti perasaan tidak berdaya dalam belajar, mengalami depersonalisasi atau berperilaku sinis seperti merasa tidak adanya manfaat dari belajar, dan menurunnya keyakinan akademik seperti berpikir tidak mampu dan berdaya sebagai pelajar. Kejenuhan yang terjadi pada individu merupakan konsekuensi dari pikiran yang salah suai. Dapat dikatakan bahwa perasaan dan perilaku merupakan keterkaitan yang ditentukan oleh bagaimana peserta didik dalam mengkonstruksi pikiran terhadap keterlibatan yang
(17)
intensif dan juga tuntutan lingkungan. Sehingga gejala kejenuhan belajar termasuk kedalam permasalahan emosional dan perilaku akibat adanya keyakinan yang salah suai. Selanjutnya, Bush (2007) mengungkapkan “..cognitive behavior therapy has become the preferred treatment for most emotional and behavior problems”. Bush (2007) mengemukakan bahwa masalah-masalah emosi dan perilaku yang cocok diintervensi dengan menggunakan konseling kognitif-perilaku seperti stres, depresi, ‘burnout’, phobia, dan lain-lain.
Persepsi negatif terhadap tuntutan akademik diubah menjadi pikiran yang lebih adaptif merupakan fokus intervensi dalam menangani permasalahan kejenuhan belajar. Oleh karena itu layanan responsif yang tepat adalah melalui konseling yang berfokus pada aspek kognitif. Agustin (2009:251) menjelaskan konseling kognitif-perilaku merupakan strategi intervensi yang efektif dalam menangani kejenuhan belajar. Konseling kognitif perilaku didasarkan pada asumsi bahwa kognisi merupakan penentu utama mengenai bagaimana seseorang merasakan dan berbuat (Corey, 1995:486).
Restrukturisasi kognitif merupakan teknik dalam konseling kognitif perilaku yang berfokus pada proses kognitif yang akan menjadi faktor penentu dalam menjelaskan bagaimana manusia berpikir dan bertindak. Teknik restrukturisasi kognitif digunakan untuk konseli yang memiliki masalah emotional distress, disfungsi perilaku, mengalami distorsi kognitif, dan bagi konseli yang memperlihatkan resistensi terhadap perubahan perilaku (Dobson & Dobson, 2009: 117). Menurut Agustin (2009:21) gejala kejenuhan identik dengan distress, discontent, dan perasaan gagal untuk mencapai tujuan ideal. Titik inti dari restrukturisasi kognitif adalah perubahan tingkah laku melalui interaksi dengan diri sendiri dan perubahan struktur kognitif.
Berdasarkan uraian diatas, teknik restrukturisasi kognitif dapat menjadi kunci dalam melakukan treatment terhadap peserta didik yang mengalami kejenuhan belajar. Maka rumusan masalah dalam penelitian adalah “Apakah konseling kognitif perilaku dengan teknik restrukturisasi kognitif efektif digunakan untuk mereduksi kejenuhan belajar pada peserta didik kelas XII MA Al-Inayah Bandung Tahun Ajaran 2013/2014?”
(18)
Permasalahan tersebut diuraikan ke dalam bentuk pertanyaan penelitian yang dirinci sebagai berikut:
1. Bagaimana profil kejenuhan belajar peserta didik kelas XII MA Al-Inayah Bandung Tahun Ajaran 2013/2014?
2. Bagaimana rancangan intervensi melalui konseling kognitif perilaku dengan teknik restrukturisasi kognitif untuk mereduksi kejenuhan belajar peserta didik kelas XII MA Al-Inayah Bandung Tahun Ajaran 2013/2014?
3. Bagaimana efektivitas intervensi konseling kognitif perilaku dengan teknik restrukturisasi kognitif untuk mereduksi kejenuhan belajar peserta didik kelas XII MA Al-Inayah Bandung Tahun Ajaran 2013/2014?
C.Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian adalah memperoleh gambaran empiris efektivitas intervensi melalui teknik restrukturisasi kognitif untuk mereduksi kejenuhan belajar peserta didik kelas XII MA Al-Inayah Bandung Tahun Ajaran 2013/2014.
Adapun tujuan khusus penelitian yaitu sebagai berikut:
1. Memperoleh data profil kejenuhan belajar yang dialami peserta didik kelas XII MA Al-Inayah Bandung Tahun Ajaran 2013/2014.
2. Memperoleh rancangan intervensi konseling kognitif perilaku dengan teknik restrukturisasi kognitif untuk mereduksi kejenuhan belajar peserta didik kelas XII MA Al-Inayah Bandung Tahun Ajaran 2013/2014.
3. Memperoleh efektivitas konseling kognitif perilaku dengan teknik restrukturisasi kognitif untuk mereduksi kejenuhan belajar peserta didik kelas XII MA Al-Inayah Bandung Tahun Ajaran 2013/2014.
D.Manfaat Penelitian
1. Secara Teoretik
Menguji empirik penggunaan intervensi melalui konseling kognitif perilaku dengan teknik restrukturisasi kognitif untuk mereduksi kejenuhan belajar peserta didik.
(19)
2. Secara Praktis
a. Bagi Guru BK/Konselor
Konselor mampu memahami dan menerapkan prosedur-prosedur yang tepat dalam melaksanakan intervensi melalui konseling kognitif perilaku dengan teknik restrukturisasi kognitif dalam mereduksi kejenuhan belajar peserta didik.
b. Bagi Sekolah
Dapat menjadi gambaran bagi pihak sekolah dalam mengantisipasi kejenuhan belajar pada peserta didik di sekolah.
c. Bagi Peneliti Selanjutnya
Prosedur pelaksanaan intervensi melalui teknik restrukturisasi kognitif dalam mereduksi kejenuhan belajar peserta didik dapat digunakan oleh peneliti selanjutnya untuk memperdalam kajian kejenuhan belajar dan intervensi penanganannya.
E.Asumsi dan Hipotesis Penelitian 1. Asumsi Penelitian
a. Jacobs et al. (2003) yang mengatakan bahwa beban akademis yang berlebihan memiliki hubungan yang positif dengan kejenuhan belajar yang dialami oleh peserta didik.
b. Kejenuhan digambarkan sebagai sindrom yang terdiri dari tiga dimensi yaitu kelelahan emosional (emotional exhaustion), Sinisme (cynicism), dan menurunnya keyakinan (low efficacy) (Maslach, Jackson, & Leiter 1996). c. Gejala kejenuhan identik dengan distress, discontent, dan perasaan gagal untuk
mencapai tujuan ideal (Agustin, 2009:21).
d. Restrukturisasi kognitif didasarkan pada asumsi emotional distress merupakan akibat dari pikiran-pikiran yang salah suai. (Dobson, 2001: 12)
e. Restrukturisasi kognitif digunakan untuk konseli yang memiliki masalah emotional distress, disfungsi perilaku, mengalami distorsi kognitif, dan bagi konseli yang memperlihatkan resistensi terhadap perubahan perilaku. (Dobson & Dobson, 2009: 117).
(20)
f. Penggunaan restrukturisasi kognitif menunjukkan hasil yang positif sabagai salah satu teknik yang dapat mengurangi gejala kejenuhan (West et al.; Scaufeli & Enzman, 1998:137).
2. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut, maka hipotesis penelitian adalah:
“konseling kognitif perilaku dengan teknik restrukturisasi kognitif efektif digunakan untuk mereduksi kejenuhan belajar peserta didik”.
F.Struktur Organisasi Skripsi
Rancangan penulisan skripsi terdiri dari 5 bab, sebagai berikut: Bab I pendahuluan, yang mengungkapkan latar belakang penelitian, identifikasi dan rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, asumsi dan hipotesis penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II konsep teori, berisi tinjuan pustaka mengenai teori-teori yang berhubungan dengan variabel permasalahan yang diteliti. Bab III metode penelitian, yang meliputi lokasi dan subjek penelitian, desain penelitian, metode penelitian, definisi operasional variabel, instrumen penelitian, proses pengembangan instrumen, serta teknik analisis data. Bab IV hasil penelitian dan pembahasan, yang terdiri dari hasil penelitian, pembahasan hasil penelitian, dan juga keterbatasan penelitian. Bab V kesimpulan dan rekomendasi, yang berisi uraian kesimpulan dari hasil penelitian serta rekomendasi bagi konselor, sekolah, dan peneliti selanjutnya.
(21)
A.Lokasi dan Subjek Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Madrasah Aliyah Al Inayah Kota Bandung yang berlokasi di Jalan Cijerokaso No. 63 Kel. Sarijadi Kec. Sukasari. Populasi pada penelitian adalah seluruh peserta didik yang secara administratif terdaftar dan aktif dalam pembelajaran di kelas XII MA Al Inayah Bandung. Berikut disajikan mengenai populasi penelitian.
Tabel 3.1 Populasi Penelitian
Tahun
Ajaran Kelas Jumlah
2013/2014
XII IPA 26
XII IPS 1 21 XII IPS 2 23
Total 70
Pertimbangan pemilihan lokasi dan populasi adalah sebagai berikut.
1. Ditemukannya permasalahan belajar yang dialami peserta didik melalui studi pendahuluan yang menunjukkan perilaku dari gejala kejenuhan belajar seperti malas belajar/menghafal/membaca, tidak konsentrasi/memperhatikan, mengantuk di kelas, kurang percaya diri saat ulangan/belajar di kelas, tidak memahami materi yang diajarkan guru, suasana hati yang buruk saat belajar, menunda tugas, terbebani dengan pilihan setelah lulus.
2. Adanya fenomena peserta didik yang tertinggal dan memutuskan untuk pindah sekolah karena tidak dapat mengikuti sistem sekolah MA pada Tahun Ajaran 2012/2013 yang mencapai 10% peserta didik.
3. Intensitas waktu pembelajaran yang padat, mengingat adanya porsi tambahan muatan pendidikan agama dalam pembelajaran MA. Muatan pendidikan agama Islam tersebut yaitu Fiqih, akidah, akhlak, Al Quran, Hadits, Bahasa Arab dan Sejarah Islam (Sejarah Kebudayaan Islam) yang menambah tuntutan belajar dan keterlibatan yang intensif pada peserta didik. Terlebih di MA Al-Inayah
(22)
merupakan sekolah dalam naungan yayasan, yang sebagian muridnya juga harus belajar di Pesantren membuat peserta didik rentan mengalami kejenuhan. 4. Belum adanya program BK secara khusus untuk menangani kejenuhan belajar
di MA Al Inayah Bandung.
5. Belum pernah dilakukan penelitian sejenis di MA Al Inayah Bandung.
6. Peserta didik pada jenjang kelas XII berada pada masa remaja yang rentan terhadap perilaku salah suai dalam menyikapi segala tuntutan akademik yang diberikan. Senada dengan pendapat Hurlock (1994:221) bahwa remaja menunjukkan ketidaksenangannya terhadap tuntutan pendidikan dengan menjadi orang yang berprestasi rendah, dan bekerja dibawah kemampuan dalam setiap mata pelajaran atau dalam mata pelajaran yang tidak disukai. 7. Serta pada kelas XII merupakan puncak keterlibatan terhadap proses
pembelajaran dan mulai adanya harapan tinggi dari diri dan lingkungan peserta didik untuk kesuksesan akademik yaitu lulus sekolah dan kelanjutan pendidikan pada tingkat yang lebih tinggi ataupun bekerja, yang tak jarang dipersepsi sebagai tuntutan bagi peserta didik itu sendiri.
Sampel dalam penelitian adalah sebagian atau wakil dari populasi yang diteliti. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling/ atau sampel bertujuan. Purposive sampling (sampel bertujuan) yaitu teknik pengambilan sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2012:124). Pengambilan sampel melalui teknik purposive sampling dilakukan dengan cara mengambil subjek bukan berdasarkan strata, random atau daerah tetapi berdasarkan adanya tujuan tertentu (Arikunto, 2010:183). Dengan menggunakan teknik purposive sampling, peneliti dapat mengambil sampel dengan tujuan tertentu, tetapi ada syarat-syarat yang harus dipenuhi (Arikunto, 2010:183).
1. Pengambilan sampel harus didasarkan atas ciri-ciri, sifat-sifat atau karakteristik tertentu, yang merupakan ciri-ciri pokok populasi.
2. Subjek yang diambil sebagai sampel benar-benar merupakan subjek yang paling banyak mengandung ciri-ciri yang terdapat pada populasi (key subjectis).
(23)
3. Penentuan karakteristik populasi dilakukan dengan cermat didalam studi pendahuluan.
Sampel yang dimaksutkan dalam penelitian ini adalah peserta didik Kelas XII MA Al-Inayah Bandung Tahun Ajaran 2013/2014 yang secara umum memiliki skor tingkat kejenuhan belajar termasuk dalam kategori tinggi berdasarkan hasil analisis pretest instrumen kejenuhan belajar.
Berikut disajikan tabel mengenai subjek penelitian:
Tabel. 3.2 Subjek Penelitian
Keterangan Total
Peserta Didik
Populasi 70
Sampel 38
Kelompok Eksperimen 15
Kelompok Kontrol 15
B.Desain Penelitian
Desain yang digunakan adalah pre- and posttest design by control group. Terdapat dua kelompok yang dibentuk berdasarkan hasil pre-test peserta didik yang termasuk pada kategori jenuh, kemudian dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Adapun kelompok kontrol merupakan kelompok pembanding. Kelompok eksperimen diberi perlakuan intervensi melalui konseling kognitif perilaku dengan teknik restrukturisasi kognitif. Kedua kelompok dikenakan oleh pengukuran sebanyak dua kali sebelum dan sesudah diberikan perlakuan (Creswell, 2012:310).
Data pretest dan posttest diambil melalui instumen untuk mengungkap tingkat gejala kejenuhan belajar peserta didik. Skema model penelitian kuasi eksperimen dengan pre- and posttest design by control group adalah sebagai berikut.
(24)
Sumber: Creswell (2012:310)
Keterangan:
O = kondisi Pre-test kelompok eksperimen X = tindakan intervensi (eksperimental treatment) O = kondisi Post-test kelompok eksperimen O = kondisi Pre-test kelompok kontrol
O = kondisi Post-test kelompok kontrol
C.Metode Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Penelitian kuantitatif menurut Sugiyono (2013:118) yaitu:
Digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu, teknik pengambilan sampel pada umumnya dilakukan secara random, pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat kuantitatif/statistik dengan tujuan untuk mebguji hipotesis yang telah ditetapkan.
Pendekatan kuantitatif digunakan untuk memperoleh data mengenai tingkat kejenuhan belajar peserta didik dan efektivitas konseling kognitif perilaku dengan menggunakan teknik restrukturisasi kognitif sebagai intervensi untuk mereduksi gejala kejenuhan belajar peserta didik.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Quasi Experimental. Bentuk eksperimen ini merupakan pengembangan dari True Experimental Design. Metode Kuasi Eksperimen ini mempunyai kelompok kontrol, tetapi tidak dapat berfungsi sepenuhnya untuk mengontrol variabel-variabel luar yang mempengaruhi pelaksanaan eksperimen (Sugiyono, 2013: 114).
D.Definisi Operasional Variabel (DOV) Penelitian
Terdapat dua variabel utama penelitian yaitu kejenuhan belajar dan teknik restrukturisasi kognitif. Definisi variabel diuraikan sebagai berikut.
O X O ...
(25)
1. Definisi Konseptual Kejenuhan Belajar
Menurut Maslach, Jackson & Leiter (1996:209) burnout is a state of exhaustion in which one is cynical about the value of one's occupation and doubtful of one's capacity to perform. Kejenuhan dijelaskan Maslach, Jackson & Leiter sebagai keadaan kelelahan yang mana seseorang bersikap sinis terhadap nilai pekerjaan dan meragukan kapasitas diri untuk mengerjakannya. Maslach (1993:20) menjelaskan kejenuhan sebagai sindrom yang terdiri dari tiga dimensi yaitu kelelahan emosional (emotional exhaustion), depersonalisasi (depersonalization), dan menurunnya prestasi pribadi (reduced personal accomplishment). Menurut Cherniss (1980) kejenuhan adalah suatu keadaan kelelahan fisik, mental, sikap dan emosi individu karena keterlibatan yang intensif dengan pekerjaan dalam jangka waktu yang panjang. Dalam Maslach Burnout Inventory Student Survey (MBI-SS) kejenuhan belajar ditandai oleh gejala merasa kelelahan (exhaustion) akibat tuntutan akademik, bersikap sinis (Cynism) berupa jarak mental terhadap yang berkaitan dengan belajar serta keyakinan akademik (Academic Efficacy) yang menurun.
2. Definisi Operasional Kejenuhan Belajar
Kejenuhan belajar dalam penelitian ini, didefinisikan sebagai kondisi psikologis yang dialami oleh peserta didik Kelas XII MA Al-Inayah Bandung Tahun Ajaran 2013/2014 akibat adanya keterlibatan yang intensif dalam jangka panjang terhadap tuntutan akademik yang memunculkan kelelahan emosional, depersonalisasi atau sikap sinis dan menurunnya keyakinan akademik yang ditandai dengan indikator-indikator sebagai berikut.
a. Kelelahan emosional: merasa bersalah terhadap hasil belajar; merasa gagal dalam belajar; mudah tersinggung terhadap yang berkaitan dengan belajar; mudah cemas dalam belajar; menyalahkan orang lain terhadap hasil belajar; merasa dikejar-kejar waktu dalam mengerjakan tugas belajar; dan merasa lelah dengan kegiatan belajar
b. Sinis atau Depersonalisasi: enggan terlibat aktif dalam kegiatan belajar; menganggap enteng suatu pealajaran; merasa terbebani dengan banyaknya
(26)
tugas belajar; ragu terhadap yang dipelajari; dan mengalihkan diri dari kegiatan belajar.
c. Menurunnya keyakinan akademik: berkurangnya motivasi dalam belajar; kehilangan semangat belajar; usaha belajar berkurang; dan merasa tidak percaya diri dalam belajar.
3. Definisi Konseptual Restrukturisasi Kognitif
Restrukturisasi kognitif merupakan salah satu teknik yang berfokus pada modifikasi pikiran-pikiran yang maladaptif pada individu (Dobson & Dobson, 2009:115). Penggunaan teknik restruturisasi kognitif menurut Dobson, Keith S. (2010:381) pertama membantu konseli menyadari pernyataan diri, harapan, atau keyakinan yang menggambarkan cara berpikir yang tidak membantu tentang diri, dunia, dan/atau masa depan, kemudian membimbing konseli untuk mempertimbangkan hubungan antara pikiran negatif dan pengalaman emosional konseli. Akhirnya, konselor dan konseli bekerja sama dalam berbagai cara untuk mengidentifikasi, membuat, dan menguji cara berpikir yang lebih adaptif.
4. Definisi Operasional Restrukturisasi Kognitif
Teknik restrukturisasi kognitif pada penelitian ini merupakan upaya yang dilakukan oleh peneliti terhadap konseli peserta didik Kelas XII MA Al-Inayah Bandung Tahun Ajaran 2013/2014 yang berfokus pada modifikasi pikiran-pikiran yang menimbulkan respon-respon perilaku dan emosi yang tidak adaptif akibat dipengaruhi oleh keyakinan dan persepsi negatif terhadap tuntutan akademis dengan pemikiran yang lebih adaptif dan positif. Tahapannya adalah sebagai berikut:
a. identifikasi pikiran-pikiran negatif.
Konselor membantu peserta didik untuk menyadari disfungsi pikiran-pikiran yang peserta didik miliki dan memberitahukan secara langsung kepada konselor. Peserta didik didorong untuk kembali pada pengalaman dan melakukan refleksi diri terhadap pengalaman-pengalaman yang sudah dilalui.
(27)
b. pengumpulan pikiran negatif
Konselor mendorong peserta didik untuk menemukan hubungan antara pikiran negatif dan pengalaman emosional dengan cara mengumpulkan dan merekam pikiran serta respon perasaan dan juga tindakan yang dilakukan peserta didik dalam suatu situasi yang menimbulkan kejenuhan dalam belajar. Berikut format rekaman pikiran yang dapat diisi oleh peserta didik dan dapat dimodifikasi sesuai kebutuhan.
Tabel 3.3
Format Rekaman Pikiran
Situasi Pikiran Otomatis
Emosi (diberi tingkat intensitas 0-100)
Kecenderungan Tindakan
c. intervensi pikiran negatif agar menjadi positif.
Intervensi pikiran-pikiran negatif bertujuan untuk memodifikasi pikiran peserta didik. Diberikan kepada peserta didik apabila konselor sudah mendapatkan banyak informasi mengenai pikiran-pikiran negatif peserta didik yang telah terkumpul dalam thought record yang kemudian diuji dengan pertanyaan yang sokratik oleh konselor. Dalam hal ini konselor dan peserta didik bekerja sama dalam menguji cara berpikir yang negatif, yang selanjutnya dimodifikasi menjadi pikiran yang lebih positif dan konstruktif. Pengujian tersebut mengacu pada bukti pikiran negatif, penyadaran hubungan pikiran negatif dengan reaksi emosi, penemuan pikiran-pikiran yang berkaitan dengan pola respon perilaku/tindakan yang dilakukan konseli. Dan pada akhirnya peserta didik dapat menemukan alternatif-alternatif pikiran yang lebih adaptif dan menemukan pengaruh dari cara berpikir positif.
E.Instrumen Penelitian 1. Penyusunan Instrumen
Instrumen yang digunakan sebagai alat pengumpulan data dalam penelitian ini berupa angket yakni sejumlah pernyataan tertulis yang digunakan untuk
(28)
mengungkap gejala kejenuhan belajar peserta didik kelas XII MA Al-Inayah Bandung. Setiap pernyataannya dikembangkan dari definisi operasional variabel dalam bentuk pernyataan yang menggambarkan dinamika gejala kejenuhan belajar peserta didik.
Angket yang digunakan adalah angket berstruktur dengan bentuk jawaban tertutup. Angket bentuk ini merupakan angket yang jawabannya telah tersedia dan responden hanya menjawab setiap pernyataan dengan cara memilih alternatif jawaban yang telah disediakan (Arikunto, 2010:195). Pengumpulan data dilakukan menggunakan angket berupa skala guttman dengan alternatif jawaban
“ya-tidak” atas pertimbangan bahwa perlu ketegasan untuk menentukan tingkat kejenuhan belajar yang dialami oleh peserta didik. Menurut Sugiyono (2013:139) pengukuran dengan skala guttman akan didapati jawaban yang tegas sehingga diperoleh data interval atau rasio dikhotomi (dua alternatif).
2. Pengembangan Kisi-kisi
Kisi-kisi instrumen untuk mengungkap gejala kejenuhan belajar, dikembangkan dari definisi operasional variabel penelitian. Kisi-kisi instrumen Gejala Kejenuhan Belajar disajikan dalam tabel berikut.
Tabel 3.4
Kisi-kisi Instrumen Gejala Kejenuhan Belajar
Variabel Aspek Indikator No.Item Σ
Kejenuhan Belajar
Kelelahan Emosi
1. Merasa bersalah terhadap hasil
belajar 1,2,3 3
2. Merasa gagal dalam belajar 4,5,6,7 4 3. Mudah tersinggung terhadap
yang berkaitan dengan belajar 8,9,10,11 4 4. Mudah cemas dalam belajar 12,13,14,15 4 5. Menyalahkan orang lain terhadap
hasil belajar 16,17,18 3
6. Merasa dikejar-kejar waktu
dalam mengerjakan tugas belajar 19,20,21,22 4 7. Merasa lelah dengan kegiatan
belajar 23,24,25 3
Sinis atau depersonalisasi
8. Enggan terlibat aktif dalam
kegiatan belajar 26,27,28,29 4
9. Menganggap enteng suatu pelajaran
30,31,32,33,
(29)
10.Merasa terbebani dengan
banyaknya tugas belajar 35,36,37 3 11.Ragu terhadap yang dipelajari 38,39,40,41 4 12.Mengalihkan diri dari kegiatan
belajar. 42,43,44,45 4
Menurunnya Keyakinan Akademik
13. Berkurangnya motivasi dalam
belajar 46,47,48,49 4
14.Kehilangan semangat belajar 50,51,52,53 4 15.Usaha belajar berkurang 54,55,56,57 4 16.Merasa tidak percaya diri dalam
belajar
58,59,60,61, 62 5
Jumlah seluruh item 62
3. Pedoman Skoring
Instrumen gejala kejenuhan belajar menggunakan skala Ya (YA) dan Tidak (TDK). Menurut Agustin (2009:86) pertimbangan menggunakan ya dan tidak adalah karena perlu adanya ketegasan untuk menentukan kadar kejenuhan belajar seseorang. Selain itu, kritik yang disampaikan oleh Scaufeli et al. (2002) terhadap instrumen kejenuhan yang dikembangkan oleh Maslach yang cenderung tidak tegas sehingga menyebabkan hasil yang diperoleh menjadi bias dan tidak sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Keseluruhan instrumen menggunakan pernyataan positif dengan penyekoran alternatif jawaban yaitu jawaban “YA” diberi skor 1
dan “TDK” diberi skor 0. Kriteria penyekoran instrumen gejala kejenuhan belajar sebagai berikut.
Tabel 3.5
Kriteria Penyekoran Instrumen Gejala Kejenuhan Belajar
Alternatif Jawaban Skor
YA 1
TDK 0
F.Proses Pengembangan Instrumen 1. Uji Validitas
Validitas merupakan tingkat kesesuaian hasil yang dimaksudkan instrumen dengan tujuan yang diinginkan oleh suatu instrumen (Creswell, 2012). Sebuah instrumen dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan (Arikunto, 2010:211). Uji validitas dalam penelitian terdiri dari uji kelayakan instrumen, uji keterbacaan instrumen, dan uji coba butir item instrumen.
(30)
a. Uji Kelayakan Instrumen
Instrumen yang telah disusun diuji untuk mengetahui kelayakannya dari segi bahasa, konstruk dan isi. Penimbangan uji kelayakan Instrumen dilakukan oleh tiga dosen ahli, yaitu dengan meminta pendapat dosen ahli untuk memberikan penilaian pada setiap item dengan kualifikasi Memadai (M) dan Tidak Memadai (TM). Item yang diberi nilai M berarti item tersebut bisa digunakan dan item yang diberi nilai TM memiliki dua kemungkinan yaitu item tersebut tidak bisa digunakan atau masih bisa digunakan dengan revisi.
Hampir seluruh item pada angket gejala kejenuhan belajar termasuk memadai. Terdapat item-item yang perlu diperbaiki dari segi bahasa dan isi. Secara konstruk, indikator kelelahan fisik dihilangkan atas pertimbangan sulit diukur karena terlalu klinis. Hasil penimbangan dari tiga dosen ahli dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya item-item pernyataan dapat digunakan dengan beberapa perbaikan redaksi agar mudah dipahami peserta didik. Selain itu, penimbangan lain adalah mengenai alternatif jawaban yang diubah menjadi dua alternatif jawaban yaitu Iya dan Tidak atas pertimbangan bahwa perlu ketegasan untuk menentukan tingkat kejenuhan belajar yang dialami oleh peserta didik.
b. Uji Keterbacaan
Uji keterbacaan instrumen dilakukan terhadap empat orang peserta didik Kelas XII MA Negeri 1 Bandung yang tidak diikutsertakan dalam sampel penelitian dan memiliki karakteristik yang hampir sama dengan sampel penelitian. Uji keterbacaan dimaksudkan untuk melihat sejauhmana keterbacaan instrumen oleh responden peserta didik Kelas XII sebelum digunakan untuk kebutuhan penelitian. Hasil uji keterbacaan oleh empat orang peserta didik menunjukkan bahwa item pada angket gejala kejenuhan belajar sudah dapat dipahami.
c. Uji Coba Butir Item Instrumen
Pengujian validitas dilakukan terhadap seluruh butir item pada instrumen yang mengungkap gejala kejenuhan belajar peserta didik. Pengujian vaiditas butir item dilakukan dengan menghitung koefisien korelasi skor setiap butir item menggunakan rumus korelasi biserial titik. Korelasi ini merupakan salah satu
(31)
bentuk korelasi dari Pearson yang digunakan dalam situasi peubah prediktor yang bersifat dikhotomus (Furqon, 2008:107).
Rumus:
Sumber: Furqon (2008:107) Dengan keterangan:
: koefisien korelasi biserial titik : rata-rata kelompok p
: rata-rata seluruh subjek
: simpangan baku untuk seluruh subjek : proporsi subjek kelompok p
: proporsi subjek kelompok q
Semakin tinggi nilai validitas soal menunjukkan semakin valid instrument tersebut digunakan dilapangan. Signifikansi diperoleh dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
Sumber: Furqon (2008:223) Dengan keterangan :
t = harga thitung untuk tingkat signifikansi r = koefisien korelasi
n = banyaknya subjek
Setelah diperoleh nilai thitung, langkah selanjutnya adalah membandingkan dengan ttabel untuk mengetahui tingkat signifikansinya dengan ketentuan thitung > ttabel.
Pengujian validitas instrumen kejenuhan belajar dilakukan dengan menggunakan bantuan program Microsoft Excel 2007. Hasil pengujian validitas instrumen gejala kejenuhan belajar peserta didik dengan menggunakan rumus
(32)
korelasi biserial didapati dari 62 item pernyataan yang disusun, 48 item yang dinyatakan valid pada tingkat kepercayaan 95%. Hasil uji validitas instrumen adalah sebagai berikut.
Tabel 3.6
Hasil Uji Validitas Item
KESIMPULAN ITEM JUMLAH
Memadai 1, 4, 5, 6, 7, 11, 12, 15, 16, 17, 19, 20, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 35, 36, 37, 40, 41, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62
48
Tidak memadai 2, 3, 8, 9, 10, 13, 14, 18, 21, 33, 34, 38, 39, 42
14
Secara lebih jelas, hasil perbandingan uji signifikansi antara nilai thitung dengan ttabel (Terlampir).
2. Uji Reliabilitas
Relabilitas merujuk pada suatu pengertian bahwa suatu instrumen cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data karena instrumen tersebut sudah baik (Arikunto, 2010:221). Pengujian reliabilitas bertujuan untuk mengukur sejauh mana suatu instrumen mampu menghasilkan skor-skor secara konsisten. Uji reliabilitas instrumen gejala kejenuhan belajar peserta didik menggunakan rumus K-R20.
Rumus:
Sumber: Arikunto (2010:231) Dengan keterangan:
: reliabilitas instrumen k : banyaknya butir pertanyaan : varians total
p : proporsi subjek kelompok p banyak subjek yang skornya 1 N
q : proporsi subjek kelompok q : banyak subjek yang skornya 0
(33)
Pengujian reliabilitas instrumen kejenuhan belajar dilakukan dengan menggunakan bantuan program Microsoft Excel 2007. Hasil uji reliabilitas terhadap instrumen gejala kejenuhan belajar peserta didik menunjukkan relibilitas sebesar 0,855. Sebagai tolok ukur, digunakan klasifikasi rentang koefisien reliabilitas sebagai berikut (Sugiyono, 2012: 257) :
Tabel 3.7
Interpretasi Reliabilitas
Koefisien Korelasi Kriteria reliabilitas 0,00 – 0,199 Sangat rendah 0,20 – 0,399 Rendah
0,40 – 0,599 Cukup
0,60 – 0,799 Tinggi 0,80 – 1,00 Sangat tinggi
Sehingga tingkat derajat keterandalan instrumen gejala kejenuhan belajar peserta didik setelah dilakukan uji reliabilitas adalah sangat tinggi, oleh karena itu instrumen gejala kejenuhan belajar peserta didik mampu menghasilkan skor secara konsisten.
G.Teknik Analisis Data
Pada penelitian ini dirumuskan tiga pertanyaan penelitian. Secara berurutan, masing-masing pertanyaan penelitian dijawab dengan cara sebagai berikut.
1. Pertanyaan penelitian pertama mengenai gambaran tingkat kejenuhan belajar pada peserta didik MA Al-Inayah Bandung Tahun Ajaran 2013/2014 dijawab dengan menggunakan persentase dari jawaban peserta didik terahadap angket kejenuhan belajar. Dilakukan dengan cara menjumlahkan skor pada setiap peserta didik kemudian mencari rata-rata (µ) untuk memberikan makna diagnostik terhadap skor. Langkah ini dilakukan untuk memberikan kategori kejenuhan belajar peserta didik dengan kategori jenuh dan tidak jenuh seperti pada Tabel 3.8.
(34)
Tabel 3.8
Kriteria Skor Kejenuhan Belajar
No Kriteria Kategori
1 x ≥ 19 Jenuh 2 x < 19 Tidak Jenuh
2. Pertanyaan penelitian dua mengenai rancangan intervensi konseling kognitif perilaku dengan teknik restrukturisasi kognitif dalam mereduksi kejenuhan belajar peserta didik disusun berdasarkan hasil pre-test. Rancangan intervensi melalui teknik restrukturisasi kognitif terdiri atas rasional, tujuan program, asumsi intervensi, prosedur teknik restrukturisasi kognitif, langkah-langkah implementasi pelaksanaan program, sasaran intervensi, pelaksanaan sesi intervensi, evaluasi dan indikator keberhasilan, serta tindak lanjut program. Uji kelayakan (judgement) dilakukan untuk rancangan intervensi yang telah dibuat.
3. Pertanyaan penelitian tiga dirumuskan ke dalam hipotesis:
“Konseling kognitif perilaku dengan teknik restrukturisasi kognitif efektif dalam mereduksi kejenuhan belajar”
Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan statistik uji t, yaitu melalui analisis statistik uji t independen (independent sample t-test) dengan menggunakan SPSS 20.0 for windows. Sebelum dilakukan uji t, langkah pengujian efektifitas dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas varians dengan menggunakan SPSS 20.0 for windows.
Uji normalitas untuk mengetahui apakah hasil penelitian berdistribusi normal atau tidak, pengujian normalitas data pada penelitian ini adalah Kolmogrov–Smirnov atau Shapiro-Wilk Test. Uji homogenitas varians dilakukan dengan tujuan melihat apakah varians kedua kelompok sama yaitu apakah peserta didik berasal dari populasi dengan karakteristik yang sama, pengujian homogenitas varians kedua kelas dengan menggunakan uji Levence’s Test dengan taraf signifikansi 5%. Pengambilan keputusan untuk mengetahui perbedaan dilakukan dengan cara, membandingkan nilai probabilitas (Asymptotic Significance) yaitu jika probabilitas > 0,05 maka
(35)
data yang digunakan berdistribusi normal atau homogen dan jika probabilitas < 0,05 maka data yang digunakan tidak berdistribusi normal atau tidak homogen.
Pengujian efektivitas konseling kognitif perilaku dengan teknik restrukturisasi kognitif dalam mereduksi kejenuhan belajar peserta didik diuji dengan metode indenpendent sample t-test menggunakan software SPSS 20.0 for windows. Dasar pengambilan keputusan efektivitas adalah dengan melihat perbandingan nilai Sig. (2-tailed) α, yaitu jika nilai Sig. (2-tailed) < α (0,05). Dan diperkuat melalui pengujian dari perubahan tiap kelompoknya dengan menggunakan metode paired sample t-test menggunakan software SPSS 20.0 for windows. Adapun dasar pengambilan keputusan efektivitas adalah dengan melihat perbandingan hasil t hitung dengan t tabel, dimana terdapat penurunan yang signifikan apabila t hitung lebih besar dari t tabel (thitung > ttabel)
Selain itu, dilakukan juga perbandingan capaian skor kejenuhan belajar peserta didik kelompok eksperimen sebelum dan sesudah diberi perlakuan (treatment) melalui konseling kognitif perilaku dengan teknik restruktrisasi kognitif dengan capaian skor sebelum dan sesudah pada kelompok kontrol.
(36)
154
A.Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Secara umum profil kejenuhan belajar yang dialami peserta didik kelas XII MA Al-Inayah Bandung Tahun Ajaran 2013/2014 berada pada kategori jenuh. Artinya kejenuhan belajar sudah menjadi gejala faktual yang ada dalam kehidupan akademis khusunya di sekolah Madrasah Aliyah.
2. Rancangan intervensi melalui konseling kognitif perilaku dengan teknik restrukturisasi kognitif dalam mereduksi kejenuhan belajar terdiri atas rasional, tujuan program, asumsi intervensi, prosedur teknik restrukturisasi kognitif, langkah-langkah implementasi pelaksanaan program, sasaran intervensi, pelaksanaan sesi intervensi, evaluasi dan indikator keberhasilan, serta tindak lanjut program.
3. Intervensi melalui konseling kognitif perilaku dengan teknik restrukturisasi kognitif dalam mereduksi kejenuhan belajar menunjukkan hasil yang efektif. Terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata akhir kelompok eksperimen dengan rata-rata akhir kelompok kontrol. Terdapat penurunan yang signifikan pada kelompok eksperimen. Adanya juga perbedaan yang signifikan hampir di semua indikator gejala kejenuhan belajar, kecuali indikator mudah tersinggung terhadap yang berkaitan dengan belajar, sikap menyalahkan orang lain dalam belajar, perasaan terbebani dengan banyaknya tugas belajar, dan sikap mengalihkan diri dari kegiatan belajar.
B.Rekomendasi
Berdasarkan hasil penelitian mengenai penanganan kejenuhan belajar melalui konseling kognitif perilaku dengan teknik restrukturisasi kognitif, direkomendasikan hal-hal sebagai berikut.
(37)
1. Bagi Konselor
Berdasarkan hasil penelitian, intervensi melalui konseling kognitif perilaku dengan teknik restrukturisasi kognitif efektif dalam mereduksi gejala kejenuhan belajar. Agar lebih aplikatif, konselor perlu melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
a. konselor mengawali langkah dengan melakukan need assesment terhadap peserta didik melalui angket kejenuhan belajar untuk melihat bagaimana profil kejenuhan yang dialami peserta didik.
b. program konseling dibuat berdasarkan hasil need asessment sehingga rancangan program sesuai dengan kebutuhan peserta didik.
c. konselor perlu melakukan kontrak konseling dengan peserta didik (konseli) supaya mampu berkomitmen untuk mengikuti proses konseling dari tahap awal sampai tahap akhir.
d. konselor melatih konseli dalam mengidentifikasi pikiran-pikiran negatif konseli yang berkaitan dengan situasi belajar yang menimbulkan kejenuhan, selanjutnya mampu memonitor pikiran dan perasaan, hingga akhirnya dapat melakukan intervensi pikiran negatif dengan menguji cara berpikir yang negatif yang selanjutnya dimodifikasi menjadi pikiran yang lebih positif dan konstruktif.
e. setelah itu langkah terakhir, konselor mengukur kembali tingkat kejenuhan belajar setelah dilakukan intervensi dengan penyebaran angket kejenuhan belajar kepada peserta didik untuk mengetahui perubahan yang terjadi.
2. Bagi Pihak Sekolah
Hasil penelitian menunjukkan peserta didik Kelas XII MA Al-Inayah Bandung mengalami kejenuhan belajar yang didominasi pada kategori tinggi. Sekolah perlu berperan aktif dalam pencegahan terjadinya kejenuhan belajar pada peserta didik. Sentuhan yang diberikan pengajar kepada peserta didik ternyata tidak cukup hanya yang bersifat pengembangan intelektual saja tetapi pendekatan yang lebih menyentuh psikologis. Setiap pengajar perlu melakukan kreativitas dan
(38)
inovasi dalam melakukan pengajaran dan bimbingan agar belajar tidak terasa monoton bagi peserta didik.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil skor gejala kejenuhan belajar peserta didik menunjukkan penurunan yang signifikan setelah pemberian intervensi konseling kognitif perilaku dengan teknik restrukturisasi kognitif. Agar semakin lengkap dan terpercaya, peneliti selanjutnya perlu untuk lebih detail mengeksplorasi dinamika dan faktor-faktor yang mempengaruhi kejenuhan belajar dengan melakukan wawancara dan observasi terhadap karakteristik pribadi, faktor dukungan sosial, pola asuh, dan faktor beban akademis dari masing-masing peserta didik, serta perlu sekiranya diteliti mengenai perbedaan gender dalam mengalami kejenuhan belajar. Peneliti selanjutnya juga perlu menindaklanjuti variabel penelitian mengenai faktor penyebab terjadinya kejenuhan belajar sehingga menjadi tema penelitian yang utuh. Eksplorasi dan analisis perubahan kondisi peserta didik akan lebih optimal apabila peneliti selanjutnya dapat melakukan intervensi dalam adegan individual, sehingga pemilihan metode single subject research dan sampel yang lebih sempit dalam case study sangat direkomendasikan bagi peneliti selanjutnya. Disamping itu, peneliti selanjutnya dapat mencoba penggunaan model terapi kognitif perilaku lainnya dalam menangani kejenuhan belajar seperti stress inoculation training, behavioral rehearsal, relaxation techniques, maupun rational emotive approaches.
(39)
Aderanti, R.A. & Hassan, T. (2011). Differential Effectiveness of Cognitive Restructuring and Self-Management in the Treatment of Adolescents’ Rebelliousness. The Romanian Journal of Psychology, Psychotherapy and Neuroscience, 1(1), 193-217
Agustin, M. (2009). Model Konseling Kognitif-Perilaku Untuk Menangani Kejenuhan Belajar pada Mahasiswa. Disertasi Program Pasca Sarjana Bimbingan Dan Konseling Universitas Pendidikan Indonesia: Tidak Diterbitkan.
Al-Makahleh & Ziadat. (2012). Social Intelligence and Personal Characteristics of Talented Secondary School Student in King Abdullah II School for Excellence, Jordan. Educational Research (ISSN: 2141-5161) Vol. 3(10) pp. 785-798.
Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian Suatu pendekatan Pendekatan Praktik. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Astuti, et al. (2010). Pengaruh Terapi Kognitif Restrukturisasi Terhadap Penurunan Skor Depresi Pada Pesien Gangguan Jiwa. Jurnal Keperawatan Soedirman, Vol. 5 No. 3.
Bakker, A., Schaufeli, W.B., Sixma, H.J., Bosveld, W. & Van Dierendonck, D. (2000). Patient demands, lack of reciprocity and burnout: A five year longitud'il study among general practitioners. Journal of Organisational Behavior, 56,12-34.
Blanc, P. & Scaufeli, W. (2008). Burnout Interventions: An Overview And Illustration. In: Handbook of Stress and Burnout in Health Care, Nova Science Publisher, Inc.
Borritz, M. (2006). Burnout and Human Service Work: Causes and Consequences. Results of 3 Years of Follow up of the PUMA Study among Human Service. Denmark: National Institute of Occupational Health.
Burke, Koyuncu, & Fiksenbaum. (2010). Burnout, Work Satisfaction And Psychological Well Being Among Nurses In Turkish Hospitals. Europe’s Journal of Psychology: Pp. 63-81.
Bush, J.W. (2007). Cognitive Behaviour Theraphy : The Basics. (online). Tersedia : www.cognitivetherapy.com/basic.html. [20 Maret 2013].
(40)
Caputo, J. S. (1991). Stress and Burnout in Library Service. Canada : The Oryx Press.
Cherniss. (1980). Staff Burnout Job Stress in the Human Services. London : Sage Publications.
Corey, G. (1995). Teori dan Praktek dari Konseling dan Psikoterapi. Semarang: IKIP Semarang Press.
Creswell, J. W. (2012). Research Design : Qualitative, Quantitative and Mixed Methods Approaches. California : Sage Publication Inc.
Depdiknas. (2008). Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
DePorter, B., & Mike H. (2008). Quantum Learning : Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan. Alih Bahasa oleh Alwiyah Abdurrahman. Bandung : Penerbit Kaifa.
Dobson, K. S. (2001). Hand Book of Cognitive-Behavioral Therapies. (Second Ed.). New York: The Guilford Press.
Dobson, D., & Dobson, K. S. (2009). Evidance-based Practice of Cognitive Behavioral Therapy. New York: The Guilford Press.
Dobson, K. S. (2010). Hand Book of Cognitive-Behavioral Therapies. (Third Ed.). New York: The Guilford Press.
Eturgut, R. & Sayuekerci. (2010). An Empirical Analysis On Burnout Levels Among Second Year Vocational Schools Students. Procedia Social and Behavioral Sciences 2: Pp. 1399–1404.
Evers, Will. J.G. et al. (2002). Burnout and self-efficacy: A Study On Teachers’ Beliefs When Implementing An Innovative Educational System In The Netherlands. Brtish Journal of Educational Psychology. No. 72. PP. 227– 243.
Farber, B. A. (1991). Crisis in Education: Stress and Burnout in the American Student. San Fransisco: Jossey-Bass Publishers.
Firmansyah, R. (2012). Efektivitas Teknik Self Instruction Untuk Mereduksi Gejala Kejenuhan Belajar Siswa. Skripsi Program Studi Bimbingan Dan Konseling Universitas Pendidikan Indonesia: Tidak Diterbitkan.
(41)
Hui, Y. J. (2004). International Journal of Educational Development. No. 24. PP. 283–301. National Chin-Yi Institute of Technology
Hurlock, E. B. (1994). Psikologi Perkembangan. Alih bahasa oleh Istiwidayanti dan Soedjarwo. Jakarta: Erlangga.
Ilfiandra. (2002). Program Pelatihan untuk Membantu Guru yang Mengalami Kejenuhan Kerja (Burnout). Tesis Program Studi Bimbingan dan Penyuluhan Program Pasca Sarjana Universitas Pendidikan Indonesia: tidak diterbitkan.
Jacobs, et al. (2003). Student Burnouts a Function of Personality, Social Support, and Workload. Journal of College Development. [Online]. Tersedia: http. // findarticles.com./p/articles/mi. [23 Maret 2013].
Jonker, B. E. (2004). Burnout, Job Stress And Personality Traits In The South African Police Service. Mini-dissertation Magister Artium in Industrial Psychology at the North-West University.
Karabiyik, et al. (2009). Determining The Factors That Affect Burnout Among Academicians. Journal of Ankara University. Vol. 63. No. 2. PP. 92-114
Khairun, D. Y. (2011). Efektivitas Teknik Restrukturisasi Kognitif untuk Mereduksi Perilaku Merokok Remaja. Skripsi Program Studi Bimbingan Dan Konseling Universitas Pendidikan Indonesia: Tidak Diterbitkan.
Makmun, A. (2009). Psikologi Kependidikan. Cetakan kesepuluh. Bandung: PT.Remaja Rosdakarya.
Maslach. (1982). Understanding Burnout: Definitional Issues in Analyzing a Complex Phenomenon. In W. S. Paine (Ed.), Job Stress and Burnout. Beverly Hills: Sage Punblication.
Maslach, C. (1993). Burnout: A Multidimensional Perspective. In W. B. Schaufeli, C. Maslach, & T. Marek (Eds.), Profesional Burnout: Recent Developments in Theory and Research. Washington, DC: Taylor & Francis: Pp. 19-32.
Maslach, C., & Leiter, P.M. (1993). The Truth About Burnout. How to Organizations Cause Personal Stress and What to Do About it. San Francisco : Jossey-Bass Publishers.
Maslach, C., Jackson, S. E & Leiter, P.M. (1996). Maslach Burnout Inventory (3rd ed.). Palo Alto, CA: Counsulting Psychologists Press.
(1)
Aderanti, R.A. & Hassan, T. (2011). Differential Effectiveness of Cognitive
Restructuring and Self-Management in the Treatment of Adolescents’ Rebelliousness. The Romanian Journal of Psychology, Psychotherapy and
Neuroscience, 1(1), 193-217
Agustin, M. (2009). Model Konseling Kognitif-Perilaku Untuk Menangani
Kejenuhan Belajar pada Mahasiswa. Disertasi Program Pasca Sarjana
Bimbingan Dan Konseling Universitas Pendidikan Indonesia: Tidak Diterbitkan.
Al-Makahleh & Ziadat. (2012). Social Intelligence and Personal Characteristics
of Talented Secondary School Student in King Abdullah II School for Excellence, Jordan. Educational Research (ISSN: 2141-5161) Vol. 3(10)
pp. 785-798.
Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian Suatu pendekatan Pendekatan Praktik. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Astuti, et al. (2010). Pengaruh Terapi Kognitif Restrukturisasi Terhadap
Penurunan Skor Depresi Pada Pesien Gangguan Jiwa. Jurnal Keperawatan
Soedirman, Vol. 5 No. 3.
Bakker, A., Schaufeli, W.B., Sixma, H.J., Bosveld, W. & Van Dierendonck, D. (2000). Patient demands, lack of reciprocity and burnout: A five year
longitud'il study among general practitioners. Journal of Organisational
Behavior, 56,12-34.
Blanc, P. & Scaufeli, W. (2008). Burnout Interventions: An Overview And
Illustration. In: Handbook of Stress and Burnout in Health Care, Nova
Science Publisher, Inc.
Borritz, M. (2006). Burnout and Human Service Work: Causes and
Consequences. Results of 3 Years of Follow up of the PUMA Study among Human Service. Denmark: National Institute of Occupational Health.
Burke, Koyuncu, & Fiksenbaum. (2010). Burnout, Work Satisfaction And
Psychological Well Being Among Nurses In Turkish Hospitals. Europe’s
Journal of Psychology: Pp. 63-81.
Bush, J.W. (2007). Cognitive Behaviour Theraphy : The Basics. (online). Tersedia : www.cognitivetherapy.com/basic.html. [20 Maret 2013].
(2)
Caputo, J. S. (1991). Stress and Burnout in Library Service. Canada : The Oryx Press.
Cherniss. (1980). Staff Burnout Job Stress in the Human Services. London : Sage Publications.
Corey, G. (1995). Teori dan Praktek dari Konseling dan Psikoterapi. Semarang: IKIP Semarang Press.
Creswell, J. W. (2012). Research Design : Qualitative, Quantitative and Mixed
Methods Approaches. California : Sage Publication Inc.
Depdiknas. (2008). Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan
Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional.
DePorter, B., & Mike H. (2008). Quantum Learning : Membiasakan Belajar
Nyaman dan Menyenangkan. Alih Bahasa oleh Alwiyah Abdurrahman.
Bandung : Penerbit Kaifa.
Dobson, K. S. (2001). Hand Book of Cognitive-Behavioral Therapies. (Second Ed.). New York: The Guilford Press.
Dobson, D., & Dobson, K. S. (2009). Evidance-based Practice of Cognitive
Behavioral Therapy. New York: The Guilford Press.
Dobson, K. S. (2010). Hand Book of Cognitive-Behavioral Therapies. (Third Ed.). New York: The Guilford Press.
Eturgut, R. & Sayuekerci. (2010). An Empirical Analysis On Burnout Levels
Among Second Year Vocational Schools Students. Procedia Social and
Behavioral Sciences 2: Pp. 1399–1404.
Evers, Will. J.G. et al. (2002). Burnout and self-efficacy: A Study On Teachers’
Beliefs When Implementing An Innovative Educational System In The Netherlands. Brtish Journal of Educational Psychology. No. 72. PP. 227–
243.
Farber, B. A. (1991). Crisis in Education: Stress and Burnout in the American
Student. San Fransisco: Jossey-Bass Publishers.
Firmansyah, R. (2012). Efektivitas Teknik Self Instruction Untuk Mereduksi
Gejala Kejenuhan Belajar Siswa. Skripsi Program Studi Bimbingan Dan
Konseling Universitas Pendidikan Indonesia: Tidak Diterbitkan. Furqon. (2008). Statistik Terapan Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.
(3)
Hui, Y. J. (2004). International Journal of Educational Development. No. 24. PP. 283–301. National Chin-Yi Institute of Technology
Hurlock, E. B. (1994). Psikologi Perkembangan. Alih bahasa oleh Istiwidayanti dan Soedjarwo. Jakarta: Erlangga.
Ilfiandra. (2002). Program Pelatihan untuk Membantu Guru yang Mengalami
Kejenuhan Kerja (Burnout). Tesis Program Studi Bimbingan dan
Penyuluhan Program Pasca Sarjana Universitas Pendidikan Indonesia: tidak diterbitkan.
Jacobs, et al. (2003). Student Burnouts a Function of Personality, Social Support,
and Workload. Journal of College Development. [Online]. Tersedia: http. //
findarticles.com./p/articles/mi. [23 Maret 2013].
Jonker, B. E. (2004). Burnout, Job Stress And Personality Traits In The South
African Police Service. Mini-dissertation Magister Artium in Industrial
Psychology at the North-West University.
Karabiyik, et al. (2009). Determining The Factors That Affect Burnout Among
Academicians. Journal of Ankara University. Vol. 63. No. 2. PP. 92-114
Khairun, D. Y. (2011). Efektivitas Teknik Restrukturisasi Kognitif untuk
Mereduksi Perilaku Merokok Remaja. Skripsi Program Studi Bimbingan
Dan Konseling Universitas Pendidikan Indonesia: Tidak Diterbitkan.
Makmun, A. (2009). Psikologi Kependidikan. Cetakan kesepuluh. Bandung: PT.Remaja Rosdakarya.
Maslach. (1982). Understanding Burnout: Definitional Issues in Analyzing a
Complex Phenomenon. In W. S. Paine (Ed.), Job Stress and Burnout.
Beverly Hills: Sage Punblication.
Maslach, C. (1993). Burnout: A Multidimensional Perspective. In W. B. Schaufeli, C. Maslach, & T. Marek (Eds.), Profesional Burnout: Recent
Developments in Theory and Research. Washington, DC: Taylor & Francis:
Pp. 19-32.
Maslach, C., & Leiter, P.M. (1993). The Truth About Burnout. How to
Organizations Cause Personal Stress and What to Do About it. San
Francisco : Jossey-Bass Publishers.
Maslach, C., Jackson, S. E & Leiter, P.M. (1996). Maslach Burnout Inventory
(4)
Maslach, C. (1998). A multidimensional view of burnout. In C.L. Cooper (Ed.), Theories of organizational stress (pp. 68-85), Oxford: Oxford University Press.
Maslach, C., Scaufeli, W. & Leiter, M. (2001). Job Burnout. In S. T. Fiske, D. L. Schacter & C. Zahn-Waxer (Eds.), Annual Review of Psychology, 53, 397-422.
Matson, J. & Ollendick. (1988). Enhancing Children’s Sosial Skill: Assessment and Training. New York: Pergamon Press.
Munawaroh, E. (2011). Program Bimbingan Belajar Untuk Mengembangkan
Resiliensi Akademik Siswa Boarding School. Skripsi Program Studi
Bimbingan Dan Konseling Universitas Pendidikan Indonesia: Tidak Diterbitkan.
Musrofi, M. (2010) Melesatkan Prestasi Akademik Siswa. Yogyakarta: PT Pustaka Insan Madani.
Nasution, I. K. (2007). Stress Pada Remaja. Medan : Publikasi Program Studi Psikologi Universitas Sumatera Utara.
Nevid, et al. (2005). Psikologi Abnormal Edisi Kelima Jilid I.
Noushad, P.P. (2008). From Teacher Burnout to Student Burnout. [Online]. Tersedia : http//www.eric.go.id/from-teacher-burnout-to student-burnout.pdf. [5 Maret 2013]
Nurihsan, J. (2003). Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Bandung: Mutiara. Nurihsan, J. (2005). Strategi Layanan Bimbingan dan Konseling. Bandung:
Refika Aditama.
Nurmalasari, Y. (2011). Efektifitas Restrukturisasi Kognitif dalam Menangani
Stres Akademik Siswa. Skripsi Program Studi Bimbingan Dan Konseling
Universitas Pendidikan Indonesia: Tidak Diterbitkan.
Oemarjoedi, A. K. (2004), Pendekatan Cognitive Behavior Dalam Psikoterapi. Jakarta : Kreatif Media
Pham, J. (2007). Burnout Afflict Students: the Life of a College Student. Articles [online]. Tersedia: www.findarticles.com. [05 Agustus 2013].
Pines & Aronson. (1989). Career Burnout: Causes and Cures. New York: The Free Press, A Division of Macmillan, Inc.
(5)
Qinyi, T., & Yao. (2012). An Analysis of the Reasons on Learning Burnout of
Junior High School Students from the Perspective of Cultural Capital Theory: A Case Study of Mengzhe Town In Xishuangbanna,China. Procedia
- Social and Behavioral Sciences 46 , 3727 – 3731.
Ramli, A. (2005). Terapi Kognitif Perilaku. Bandung : Rizqi Press.
Roberts & Greene. (2008). Buku Pintar Pekerja Sosial - Jilid 1. BPK Gunung Mulia.
Santrock. J. W. (2004). Adolescence: Perkembangan Remaja. Jakarta: Erlangga. Schaufeli, W. B., & Enzmann, D. (1998). The Burnout Companion to Study and
Research: a Critical Analysis. London: Taylor & Francis.
Schaufeli, W. et al. (2002). Burnout and Engagement in University Student. Western, Washington University: Journal of Cross Cultural Psychology, Vol. 33 No. 55, P. 464-481.
Schaufeli, W.B. & Hu, Q. (2009). The Factorial Validity of The Maslach Burnout
Inventory Student Survey In China. Journal of Psychological Report.
No.105. PP. 394-408.
Setiawati, T. (2010). Program Bimbingan Dan Konseling
Untuk Meningkatkan Kemampuan Manajemen Stress
Siswa Sekolah Menengah Atas . Skripsi Program Studi Bimbingan Dan
Konseling Universitas Pendidikan Indonesia: Tidak Diterbitkan.
Silvar, B. (2001). The syndrome of burnout, self-image, and anxiety with grammar
school students. Journal of Psychology. Vol. 10. No. 2. PP. 21-32. Board of
Education of the Republic of Slovenia.
Skovholt. (2003). Student Learning Burnout Studied. Families in Society : The Journal of Contemporary Human Service. 1 Oct 2003.
Slameto. (2010). Belajar & Faktor-faktor yang Mempengaruhi. Jakarta: PT. Asdi Mahasatya.
Solihat, I. S. (2011). Efektivitas Teknik Restrukturisasi Kognitif untuk Mereduksi
Kecemasan Sosial Remaja. Skripsi Program Studi Bimbingan Dan
Konseling Universitas Pendidikan Indonesia: Tidak Diterbitkan.
Sugara, G. S. (2011). Efektivitas Teknik Self Instruction Dalam Menangani
Kejenuhan Belajar Siswa . Skripsi Program Studi Bimbingan Dan
(6)
Sugara, G. S. (2013). Terapi Self-Hypnosis Seni Memprogram Ulang Pikiran
Bawah Sadar. Jakarta: PT Indeks.
Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Pendidikan (Cet. Ke-15). Bandung: Alfabeta.
Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Pendidikan : Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif, dan R&D. Bandung : Alfabeta.
Uludag, O. & Yaratan, H. (2010). The Effect of Burnout On engagement: An
Empirical Study on Tourism Students. Journal of Hospitality, Leisure, Sport
and Tourism Education, Vol. 9. No. 1. PP. 13 – 23.
Van Dierendonck, D., Schaufeli, W.B. & Buunk, B.P. (2001). Towards a process
model of burnout: Results from a secondary analysis. European Journal
of Work and Organizatioml Psychology, 10,41-52.
Yusuf, S. (2008). Psikologi Perkembangan Anak & Remaja. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.