Studi Petrologi Batuan Dasar Gunung Belanda Daerah Tebingsiring, Kecamatan Pelaihari, Kabupaten Tanah laut, Provinsi Kalimantan Selatan.

(1)

34

Untuk mendukung suatu penelitian, khususnya kegiatan lapangan, diperlukan aspek-aspek penting, selain dari mengetahui kondisi geologi daerah penelitian. Dalam bab ini akan dibahas mengenai materi atau objek penelitian, alat-alat yang digunakan, data yang akan dikumpulkan, langkah – langkah penelitian, dan analisis data (gambar 3.1).


(2)

3.1 Objek Penelitian

Objek-objek yang diteliti dalam pelaksanaan kegiatan tugas akhir khususnya dalam kegiatan lapangan ini adalah :

1. Batuan, meliputi singkapan batuan yang tersingkap dipermukaan, mengamati dan mendeskripsi singkapan dilapangan.

2. Unsur-unsur tekstur dan struktur batuan beku, tekstur dan struktur batuan beku ini dapat menjelaskan proses pembentukan batuan tersebut dan asal dari batuan tersebut. Pada batuan metamorf unsur tekstur dan struktur dapat menjelaskan pembentukan batuan asal dan temperatur serta tekanan pembentukan batuan tersebut dengan korelasi dari komposisi mineral penyusun batuan tersebut.

3. Pengaruh atau hubungan antara batuan yang satu dengan yang lain. 3.2 Alat-Alat yang Digunakan

Alat-alat yang digunakan untuk melakukan pengambilan data di lapangan diantaranya adalah :

1. Peta dasar skala 1 : 12.500, hasil perbesaran peta rupabumi skala 1 : 25.000 yang diterbikan BAKOSURTANAL, lembar Bantarujeg (1309-112), dan Talaga (1309-121)

2. Kompas Geologi. Merupakan kompas yang dapat digunakan untuk mengukur komponen arah seperti azimut,jurus, dan sebagainya,juga


(3)

untuk mengukur komponen besar sudut seperti dip, slope,dan sebagainya.

3. Palu Geologi. Meliputi palu batuan beku, dan palu batuan sedimen, yang kegunaan utamanya adalah untuk mengambil sampel

4. Lup. Lup atau lensa pembesar yang umum digunakan yang memiliki pembesaran 8%,10%,15%, dan. 20%. Digunakan untuk memperbesar objek agar lebih mudah diamati dan diteliti,seperti mineral,butiran,fosil,dll.

5. Buku Catatan Lapangan, dibuat dari kertas tahan air yang berkualitas tinggi ,diberi sampul yang kuat ,serta dilem atau yang lebih kuat dijahit. Buku ini harus tahan banting dan dapat tetap digunakan dalam cuaca buruk. Sampul buku yang keras memiliki kegunaan lain yaitu dapat digunakan sebagai alas untuk melakukan pengukuran unsur-unsur struktur yang merupakan bidang yang tidak rata.

6. Alat-Alat Tulis , berupa :

 Pensil , digunakan untuk mensketsa atau mencatat

 Pensil Warna, digunakan untuk memperjelas simbol litologi pada buku catatan lapangan maupun pada peta.

 Penghapus,untuk menghapus pensil atau pensil warna.

 Mistar Panjang dan Segitiga,digunakan untuj membantu pengeplotan posisi di peta dan untuk mengukur jarak di peta.


(4)

 Busur derajat, digunakan untuk mengukur besarnya arah (azimut) pada peta

 Peruncing Pensil atau Rautan ,untuk meruncingkan pensil yang tumpul atau patah.

 Spidol Tahan Air (Water Proof), Digunakan untuk menulis nomor contoh batuan dan keterangan lainnya pada kantong sample batuan.

7. HCL 0,1 N. Digunakan untuk menguji kandungan karbonat dari contoh batuan yang diamati (terutama batuan sedimen). Caranya dengan meneteskan larutan HCL 0,1 N tersebut ke contoh batuan. Bila terjadi reaksi /berbuih berarti batuan tersebut mengandung karbonatan (CaCO3).

8. Komparator Batuan. Komparator yang digunakan adalah komparator batuan beku dan komparator batuan sedimen (skala Wentworth). Komparator berguna untuk membantu pemberian nama batuan , dengan cara membandingkan contoh batuan dan mineral dengan yang terdapat pada komparator.

9. Pita atau Tali Ukur. Digunakan untuk mengukur jarak antar lokasi pengamatan .Jenis pita ukur yang biasa digunakan adalah yang berukuran panjang 30-100 m dan pita ukur pendek (meteran) dengan panjang 3-5 m.


(5)

10.Clip Board. Digunakan untuk mempermudah pencatatan data di lapangan atau sebagai alas kompas geologi pada saat melakukan pengukuran unsur struktur pada bidang lapisan batuan yang tidak rata. 11.Kantong Contoh Batuan atau Kantong Sampel. Digunakan untuk

membungkus contoh batuan yang akan dibawa. Kantong diberi tanda untuk tiap batuan ,nomor stasiun (titik pengamatan), dengan menggunakan spidol tahan air dan ditutup rapat guna menghindari kontaminasi dengan udara bebas.

12.Kamera, digunakan untuk mengambil gambar singkapan dan kenampakan geomorfologi

13.Tas Lapangan/Ransel. Digunakan untuk membawa peralatan geologi dan perlengkapan lapangan. Sebaiknya dibedakan antara tas untuk peralatan dan tas untuk perbekalan. Ukuran tas sebaiknya disesuaikan dengan kondisi lapangan .

14.Global Positioning System (GPS) merek Garmin

3.3 Tahapan Penelitian

Penelitian ini dibagi menjadi beberapa tahap pelaksanaan untuk memperlancar pelaksanaan pemetaan. Tahap-tahap pekerjaan secara garis besar meliputi tahap persiapan, survey lapangan, analisis data, dan penyusunan laporan.


(6)

Tahap persiapan meliputi kajian pustaka untuk mengetahui gambaran keadaan daerah pemetaan baik secara regional, maupun lokal dan untuk inventarisasi data sekunder yang dapat diperoleh untuk mempelajari pustaka-pustaka geologi, diktat-diktat pekuliahan, laporan-laporan peneliti terdahulu, serta peta geologi regional. Tahap persiapan lainnya sebelum terjun langsung ke lapangan adalah :

1. Pembuatan peta dasar dengan skala 1 : 12.500, dari sebagian lembar Peta Rupabumi No.1309-112 dan 1309-121

2. Pengadaan perlengkapan penelitian lapangan serta penyusunan rencana kegiatan lapangan.

3.3.2 Tahap Survei Lapangan

Di lapangan penulis melakukan pengumpulan data melalui pengamatan dan pengukuran singkapan di sungai-sungai dan di luar sungai, termasuk bukit bila ada batuan yang tersingkap. Untuk penelusuran singkapan-singkapan tersebut tentu saja melibatkan metoda dan teknik tertentu antara lain :

 Teknik Penentuan Titik Stasiun  Teknik Pengambilan Sampel

3.3.2.1 Teknik Penentuan Stasiun Pengamatan (ploting)

Penentuan lokasi pengamatan di lapangan yang akan dituangkan ke dalam peta secara benar menentukan ketepatan dalam penggambaran pada peta dasar. Teknik yang digunakan adalah teknik bidik, yaitu mengambil titik-titik patokan di sekitar titik pengamatan dan pada peta topografi, lalu membidik titik-titik patokan


(7)

tersebut dengan menggunakan kompas. Sudut yang diperoleh kemudian diubah menjadi back azimuthnya dan ditarik perpotongannya sebagai titik pengamatan. Teknik tersebut digunakan tanpa menggunakan GPS, jika kita menggunakan GPS, maka kita melihat koordinat yang tertera pada GPS, dan mencari koordinat tersebut di peta, lalu kita dapat mengetahui posisi dimana kita berdiri.

3.3.2.2 Teknik Pengambilan Sampel

Penulis melakukan pengambilan sampel batuan pada setiap singkapan. Sampel batuan diambil pada setiap singkapan agar selanjutnya dapat dipilih mana yang sekiranya akan diteliti secara mikroskopis di laboratorium, sehingga menghindari tidak teramatinya sampel pada singkapan yang bagus.

3.3.3 Analisis Data

Pada tahap ini dilakukan lima langkah analisis data yaitu :

1. Analisis Petrografi 2. Analisis Petrokimia 3. Analisis Petrogenesis

3.3.3.1 Analisis Petrografi

Analisis petrografi dilakukan untuk menentukan jenis batuan. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui tekstur batuan dan sifat optik mineral yang dapat


(8)

menunjukkan komposisi mineraloginya. Pada akhirnya, jenis dan paragenesis suatu batuan dapat ditentukan berdasarkan komposisi jenis dan persentase mineraloginya.

Tekstur batuan beku menggambarkan keadaan yang mempengaruhi pembentukan batuan itu sendiri, misalnya :

1. Tekstur faneritik menggambarkan proses pembekuan mineral yang lambat, 2. Tekstur memberikan arti bahwa terjadi dua kali proses pembentukan

mineral,

3. Tekstur afanitik menggambarkan proses pembekuan mineral yang cenderung cepat.

Adapun dalam penelitian ini klasifikasi petrografi yang digunakan adalah klasifikasi batuan beku menurut Travis (1955). Klasifikasi menurut Travis lebih mudah digunakan dengan tingkat kerincian yang sama dibandingkan dengan klasifikasi lainnya seperti misalnya klasifikasi menurut Strekeisen (1967).

3.3.3.2Analisis Petrokimia

Perlu diketahui bahwa batuan beku yang sama penamaannya tidak mustahil akan memberikan komposisi kimia yang berbeda. Oleh karena itu, pengklasifikasian batuan tidak cukup hanya dengan menggunakan analisis kimia. Namun demikian, analisis kimia dianggap penting sebagai pengontrol terhadap ketepatan pemerian petrografi. Analisis kimia juga dapat menentukan jenis magma secara normatif ke


(9)

dalam kriteria jenis magma asal, tahapan diferensiasi, dan pendugaan temperatur magma pada saat kristalisasi pertama terbentuk.

Dalam analisis kimia batuan beku, diasumsikan bahwa batuan beku tersebut mempunyai komposisi kimia yang sama dengan magma sebagai pembentuknya. Untuk itu telah dilakukan analisis persentase berat senyawa oksida utama terhadap batuan yang diangga mewakili seluruh tubuh batuan.

Secara megaskopis, batuan yang dianalisis – yaitu batuan basalt yang terdapat pada batuan malihan memiliki teksturnya afanitik, selain itu terdapat batuan ultrabasa yang telah mengalami serpentinisasi, dan batuan metamorf yaitu amfibolit. Untuk batuan basalt merupakan batuan ekstrusif berbuitr halus, sehingga klasifikasi jenis batuan yang digunakan untuk batuan ekstrusi berbutir halus yaitu klasifikasi menurut Hutchinson (1970), Carlmichael (1974), dan Le Bas (1986).

Karena data kimia yang tersedia adalah peresentase berat 12 senyawa oksida utama, maka klasifikasi jenis magma yang mudah dan dapat dilakukan meliputi klasifikasi menurut Mc Donald dan Katsura (1964), Middlemost (1975), dan Kuno (1966). Serupa dengan hal di atas, maka penentuan asal magma yang dapat dilakukan meliputi penentuan asal magma menurut Pearce (1977 a dan b) dan Mullen (1983). Dengan pertimbangan yang sama maka dalam penelitian ini digunakan penentuan kedalaman magma asal (van Padang, 1951; dll)


(10)

1. Klasifikasi jenis batuan menurut Le Bas (1986), 2. Klasifikasi jenis batuan menurut Carlmichael (1974),

3. Klasifikasi jenis magma menurut Mc Donald dan Katsura (1964), 4. Klasifikasi jenis magma menurut Peccerillo dan Taylor (1976), 5. Klasifikasi jenis magma menurut Middlemost (1975),

6. Penentuan asal magma berdasarkan kandungan TiO2, K2O, dan P2O5 menurut Pearce (1977),

7. Penentuan asal magma menurut Mullen (1983),

8. Penentuan kedalaman magma asal menurut van Padang (1951), dkk.

3.3.3.2.1Klasifikasi Jenis Batuan Menurut Le Bas (1986)

Dalam penelitian ini digunakan diagram TAS untuk batuan beku berukuran kristal halus menurut Le Bas (1986). Sebelum melakukan penempatan hasil analisis kimia pada diagram TAS, hasil analisis harus dihitung dulu menjadi 100% tanpa H2O dan CO2. Berdasarkan kandungan silikanya, batuan beku berukuran kristal halusdibedakan menjadi empat kelompok, yaitu batuan ultrabasa, basa, menengah, dan asam (Gambar 3.2)


(11)

Gambar 3.2 Klasifikasi jenis batuan menurut Le Bas (1986)

3.3.3.2.2Klasifikasi Jenis Batuan Menurut Carlmichael (1974)

Carmichael (1974) mengelompokkan jenis batuan berdasarkan jumlah kandungan silikanya mengikuti aturan berikut :

1. Kandungan silica (SiO2) > 66% = batuan asam 2. Kandungan silica (SiO2) 52% - 66% = batuan menengah 3. Kandungan silica (SiO2) 45% - 52% = batuan basa 4. Kandungan silica (SiO2) < 45% = batuan ultrabasa

3.3.3.2.3Klasifikasi Jenis Magma Menurut Mc Donald dan Katsura (1964)

Klasifikasi ini berdasarkan atas kandungan silica dan seluruh alkalinya. Seluruh alkali meliputi jumlah Na2O dan K2O. Dalam klasifikasi ini terdapat dua


(12)

jenis magma, yaitu magma alkali basalt dan magma tholeiite (gambar 3.3). Pada jenis magma alkali basalt hanya terdapat satu jenis komposisi magma, yaitu alkali basalt. Sedangkan dalam jenis tholeiite terdapat dua komposisi magma, yaitu picrite dan olivine tholeiite. Dalam proses fraksinasi, magma yang berkomposisi olivine tholeiite dapat berubah menjadi magma yang berkomposisi olivine basalt.

Gambar 3.3 Klasifikasi jenis magma menurut Mc Donald dan Katsura (1964)

3.3.3.2.4Klasifikasi Jenis Magma Menurut Peccerillo dan Taylor (1976)

Peccerillo dan Taylor (1976) mengelompokkan jenis magma berdasarkan kandungan potassium (K2O) dan silica (SiO2) menjadi empat golongan (Gambar 3.4), yaitu :


(13)

Memiliki kandungan potassium yang sangat rendah. Berdasarkan kandungan silikanya golongan ini dapat dibedakan menjadi empat jenis dengan urutan : Low K Tholeiite, Low K Basltic Andesitic, Low K Andesite, dan Low K Dacite. Semakin ke arah low K dacite, kandungan silikanya semakin besar. 2. Golongan Calc-Alkaline

Memiliki kandungan potassium yang relatif lebih besar dari golongan tholeiite. Berdasarkan kandungan silikanya, golongan ini dapat dibedakan menjadi empat jenis dengan urutan : Basalt, Basaltic Andesite, Andesite, dan Dacite. Semakin ke arah dacite, kandungan silikanya semakin besar.

3. Golongan High K Calc-Alkaline

Memiliki kandungan potassium yang tinggi. Berdasarkan kandungan silikanya, golongan ini dapat dibedakan menjadi tiga jenis dengan urutan : High K basaltic Andesite, High K andesite, dan Latite. Semakin ke arahlatite, kandungan silikanya semakin besar.

4. Golongan Shoshonite

Memiliki kandungan potassium yang sangat tinggi. Berdasarkan kandungan silikanya, golongan ini dapat dibedakan menjadi tiga jenis dengan urutan : Absarokite, Shoshonite, dan Banakite. Semakin ke arah banakite, kandungan silikanya semakin besar.


(14)

Gambar 3.4 Klasifikasi jenis magma menurut Peccerillo dan Taylor (1976)

3.3.3.2.5Klasifikasi Jenis Magma Menurut Middlemost (1975)

Middlemost (1975) mengelompokkan magma sub-alkali berdasarkan kandungan alumina (Al2O3) dan indeks alkali menjadi dua kelompok, yaitu basalt tholeiite dan high alumina basalt; dengan kandungan alumina yang meningkat pada kelompok high alumina basalt (Gambar 3.5). Nilai indeks alkali diperoleh dari persamaan di bawah ini.

Indeks Alkali = Na2O + K2O (SiO2 – 43) x 0,17


(15)

Gambar 3.5 Klasifikasi jenis magma menurut Middlemost (1975)

3.3.3.2.6Penentuan Asal Magma Menurut Pearce (1977) Berdasarkan Kandungan K2O, TiO2, dan P2O5

Pearce (1977) mengemukakan penentuan asal magma suatu batuan beku berdasarkan perbandingan nilai persentase berat senyawa K2O, TiO2, dan P2O5. Oleh karena melibatkan tiga buah variable, klasifikasi ini ditampilkan dalam bentuk diagram segitiga. Berdasarkan analisis ini dapat diketahui asal magma suatu batuan beku, apakah berasal dari kerak banua atau dari kerak samudera (gambar 3.6).


(16)

Gambar 3.6 Penentuan asal magma menurut Pearce (1977) berdasarkan kandungan K2O, TiO2, dan P2O5

3.3.3.2.7Penentuan Asal Magma Menurut Mullen (1983)

Penentuan asal magma ini berdasarkan pada pertimbangan nilai persentase berat senyawa TiO2, 10 X MnO, dan 10 X P2O5, Berdasarkan analisis ini dapat diketahui asal magma suatu batuan basaltic, apakah berasal dari pematang tengah samudera, dari busur kepulauan, atau dari pulau samudera (Gambar 3.7). Batuan busur kepulauan meliputi jenis tholeiite, calc alkaline basalt, dan boninite. Batuan pulau samudera meliputi jenis tholeiite dan alkaline basalt.


(17)

Gambar 3.7 Penentuan asal magma menurut Mullen (1983)

3.3.3.2.8Penentuan Kedalaman magma asal menurut Neuman van Padang (1951), Hadikusumo (1961), dan Whitford (1975)

Persamaan – persamaan dalam pentuan kedalaman magma asal ini berlaku untuk batuan yang bersifat andesit basaltic dan andesit dimana kandungan silikanya sebesar 52 % - 63 %. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbandingan antara persentase kandungan potassium dan persentase kandungan silica dengan kedalaman magma asal untuk setiap jalur orogenesa adalah berbeda.

Berdasarkan perbandingan antara kandungan potassium dan silica, Whitford (1975) membuat suatu persamaan untuk menentukan kedalaman Zona Benioff, yaitu :


(18)

Dalam hal ini H merupakan kedalaman Zona Benioff (dalam km).

Menurut Neuman van Padang (1951) dan Hadikusumo (1961), Kedalaman Zona Benioff dapat ditentukan dengan persamaan :

H = 284 – (2,75 x % SiO2) + (16,82 x %K2O),

Dua persamaan di atas dapat dikombinasikan menjadi :

H = 320 – (3,65 x %SiO2) + (22,52 x % K2O).

Persamaan di atas dapat ditampilkan dalam Tabel di bawah ini.

Tabel 3.1 Hubungan Zona Benioff dengan kedalaman magma asal

Persamaan SE (km) CC

Data menurut Whitford (1975) Kedalaman Zona Benioff (km)

397 – (5.26 x % SiO2) + 35.04 x % K2O) 373 – (4.36 x % SiO2) + (0.73 x ppm Rb) 110 – (0.03 x % SiO2) + (0.14 x % ppm Sr)

26 32 30 0.87 0.80 0.83 Data menurut Neuman van Padang (1951) dan

Hadikusumo (1961)

Kedalaman Zona Benioff (km)

284 – (2.75 x % SiO2) + (16.82 x % K2O) 19 0.67 Kombinasi data Whitford (1975), Neuman van Padang

(1951), dan Hadikusumo (1961) Kedalaman Zona Benioff (km)


(19)

SE : Standard error of estimate (km) CC : Correlation coefecient.

Semakin dalam Zona Benioff, maka besarnya unsur K dan Na yang terjadi pada pencairan akan meningkat, Maka dapat disimpulkan bahwa nilai senyawa K2O dan N2O berbanding lurus dengan kedalaman Zona Benioff.

3.3.3.3 Analisis Petrogenesis

Dalam kajian petrogenesis akan dibahas kemungkinan genesis batuan beku berdasarkan hasil analisis petrografi dan analisis petrokimianya berdasarkan klasifikasi tertentu yang sesuai. Kemungkinan petrogenesis yang meliputi aspek petrografi dan geokimia ini antara lain menyinggung :

1. Asosiasi mineral pencermin tingkat kristalisasi

2. Hubungan batuan beku dengan magma pembentuknya

3.3.3.3.1 Asosiasi Mineral Pencermin Tingkat Kristalisasi

Sifat yang paling mudah diamati dari suatu batuan adalah struktur dan teksturnya secara megaskopis. Selain itu, sifat lain yang relatif mudah untuk diamati dari suatu batuan adalah struktur dan komposisi mineraloginya, yang dapat diamati dengan mikroskop polarisasi. Berangkat dari komposisi mineraloginya, seorang peneliti dapat menceritakan tingkat kristalisasi batuan yang diamati. Ada beberapa jenis basalt menurut klasifikasi Yoder dan Tilley (1962). Namun demikian, hanya ada dua jenis basalt yang sangat umum dijumpai pada berbagai lingkungan tektonik.


(20)

Kedua jenis basalt itu adalah basalt tholeiitic dan basalt alkali olivine, yang juga dapat dibedakan berdasarkan kenampakan petrografinya (Tabel 3.2)

Tabel 3.2 Perbandingan Jenis Magma Tholeiitic Basalt dan Alkali Olivine Basalt Tholeiitic Basalt Alkali Olivine Basalt Umumnya berbutir halus,

intergranular

Umumnya agak kasar, intergranular sampai ophitic

Tidak ada olivin Olivin umum ditemukan

Klinopiroksen berupa augite Klinopiroksen berupa titaniferrous augite

Ortopiroksen umumnya ditemukan Ortopiroksen tidak ada

Tidak ada alkali feldspar Alkali feldspar atau feldspathoid pengisi celah dapat ditemukan Terdapat gelas ataupun kuarsa

pengisis celah

Gelas pengisi celah jarang ditemukan, dan kuarsa tidak ada

Olivin jarang ada Olivin umum ditemukan

Ortopiroksen jarang ada Ortopiroksen tidak ada Plagioclase umum ditemukan Plagioclase jarang ditemukan Klinopiroksen berupa augite cokelat

muda

Klinopiroksen berupa titaniferrous augite kemerahan

Shand (1944) mengemukakan proses kristalisasi magma yang mengalami perubahan temperatur melalui beberapa tingkatan. Konsep ini berlaku dengan asumsi bahwa magma mengalami perubahan temperatur secara lambat hingga agak cepat, tidak dengan tiba – tiba. Proses kristalisasi ini meliputi tiga tingkat magmatic, yaitu :

M as sa Das ar P h en oc ry st


(21)

1. Tingkat magmatik awal

Dicirikan oleh pengkristalan magma yang miskin air pada temperatur 7000C – 1.1000C, dan pembentukan mineral – mineral pirogenetik seperti olivin dan piroksen.

2. Tingkat magmatik menengah

Dicirikan oleh pengkristalan magma yang kaya air pada temperatur 5000C – 7000C, dan pembentukan mineral – mineral pirogenetik yang kaya akan kandungan air seperti amfibol dan biotit.

3. Tingkat magmatik akhir

Dibedakan menjadi dua bagian berdasarkan temperaturnya, yaitu :

a. Tingkat hidrotermal tinggi atau tingkat deuterik, terjadi pada temperatur 3000C – 5000C dan menghasilkan mineral – mineral bersifat hidroksil. b. Tingkat hidrotermal rendah, terjadi pada temperatur 1000C – 3000C,

dimana peranan gas sangat dominan dan terbantuk mineral – mineral ubahan seperti karbonat, mineral – mineral yang berserabut, atau mineral yang banyak mengandung air.

3.3.3.3.2 Hubungan Batuan Beku dengan Magma Pembentuknya

Evolusi magma tercermin pada variasi komposisi kimia dan mineralogi batuan beku yang dihasilkan evolusi tersebut, berjalan mengikuti salah satu jalur kristalisasi yang bermula dari satu jenis magma induk yang bersifat basaltis dan ditentukan pula oleh keadaan lingkungan serta proses tektonik daerah yang


(22)

bersangkutan sehingga menghasilkan komposisi tertentu. Secara umum, aspek tekstur hanya dianggap sebagai cerminan proses kristalisasi, dank arena itu dianggap tidak dapat mencerminkan sifat magma asal.

Berdasarkan data analisis petrografi, asosiasi mineral dapat mencerminkan tingkat kristalisasi; dan berdasarkan data analisis kimia, beberapa gambaran mengenai hipotesis magma dapat mencerminkan proses evolusi magma. Seperti telah diungkapkan sebelumnya, komposisi batuan beku dianggap sama dengan komposisi magma pembentuknya.

Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap evolusi dan diferensiasi magma asal menjadi batuan beku diantaranya adalah :

1. Keadaan tempat dan cara magma terbentuk

2. Keadaan tempat yang dilalui magma yang bergerak ke permukaan 3. Keadaan tempat dimana magma mengalami tingkat akhir pembekuan.


(1)

Gambar 3.7 Penentuan asal magma menurut Mullen (1983)

3.3.3.2.8Penentuan Kedalaman magma asal menurut Neuman van Padang (1951), Hadikusumo (1961), dan Whitford (1975)

Persamaan – persamaan dalam pentuan kedalaman magma asal ini berlaku untuk batuan yang bersifat andesit basaltic dan andesit dimana kandungan silikanya sebesar 52 % - 63 %. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbandingan antara persentase kandungan potassium dan persentase kandungan silica dengan kedalaman magma asal untuk setiap jalur orogenesa adalah berbeda.

Berdasarkan perbandingan antara kandungan potassium dan silica, Whitford (1975) membuat suatu persamaan untuk menentukan kedalaman Zona Benioff, yaitu :


(2)

Dalam hal ini H merupakan kedalaman Zona Benioff (dalam km).

Menurut Neuman van Padang (1951) dan Hadikusumo (1961), Kedalaman Zona Benioff dapat ditentukan dengan persamaan :

H = 284 – (2,75 x % SiO2) + (16,82 x %K2O),

Dua persamaan di atas dapat dikombinasikan menjadi :

H = 320 – (3,65 x %SiO2) + (22,52 x % K2O).

Persamaan di atas dapat ditampilkan dalam Tabel di bawah ini.

Tabel 3.1 Hubungan Zona Benioff dengan kedalaman magma asal

Persamaan SE (km) CC

Data menurut Whitford (1975) Kedalaman Zona Benioff (km)

397 – (5.26 x % SiO2) + 35.04 x % K2O) 373 – (4.36 x % SiO2) + (0.73 x ppm Rb) 110 – (0.03 x % SiO2) + (0.14 x % ppm Sr)

26 32 30

0.87 0.80 0.83 Data menurut Neuman van Padang (1951) dan

Hadikusumo (1961)

Kedalaman Zona Benioff (km)

284 – (2.75 x % SiO2) + (16.82 x % K2O) 19 0.67 Kombinasi data Whitford (1975), Neuman van Padang

(1951), dan Hadikusumo (1961) Kedalaman Zona Benioff (km)


(3)

SE : Standard error of estimate (km) CC : Correlation coefecient.

Semakin dalam Zona Benioff, maka besarnya unsur K dan Na yang terjadi pada pencairan akan meningkat, Maka dapat disimpulkan bahwa nilai senyawa K2O dan N2O berbanding lurus dengan kedalaman Zona Benioff.

3.3.3.3 Analisis Petrogenesis

Dalam kajian petrogenesis akan dibahas kemungkinan genesis batuan beku berdasarkan hasil analisis petrografi dan analisis petrokimianya berdasarkan klasifikasi tertentu yang sesuai. Kemungkinan petrogenesis yang meliputi aspek petrografi dan geokimia ini antara lain menyinggung :

1. Asosiasi mineral pencermin tingkat kristalisasi

2. Hubungan batuan beku dengan magma pembentuknya

3.3.3.3.1 Asosiasi Mineral Pencermin Tingkat Kristalisasi

Sifat yang paling mudah diamati dari suatu batuan adalah struktur dan teksturnya secara megaskopis. Selain itu, sifat lain yang relatif mudah untuk diamati dari suatu batuan adalah struktur dan komposisi mineraloginya, yang dapat diamati dengan mikroskop polarisasi. Berangkat dari komposisi mineraloginya, seorang peneliti dapat menceritakan tingkat kristalisasi batuan yang diamati. Ada beberapa jenis basalt menurut klasifikasi Yoder dan Tilley (1962). Namun demikian, hanya ada dua jenis basalt yang sangat umum dijumpai pada berbagai lingkungan tektonik.


(4)

Kedua jenis basalt itu adalah basalt tholeiitic dan basalt alkali olivine, yang juga dapat dibedakan berdasarkan kenampakan petrografinya (Tabel 3.2)

Tabel 3.2 Perbandingan Jenis Magma Tholeiitic Basalt dan Alkali Olivine Basalt

Tholeiitic Basalt Alkali Olivine Basalt Umumnya berbutir halus,

intergranular

Umumnya agak kasar, intergranular sampai ophitic

Tidak ada olivin Olivin umum ditemukan

Klinopiroksen berupa augite Klinopiroksen berupa titaniferrous augite

Ortopiroksen umumnya ditemukan Ortopiroksen tidak ada

Tidak ada alkali feldspar Alkali feldspar atau feldspathoid pengisi celah dapat ditemukan Terdapat gelas ataupun kuarsa

pengisis celah

Gelas pengisi celah jarang ditemukan, dan kuarsa tidak ada Olivin jarang ada Olivin umum ditemukan

Ortopiroksen jarang ada Ortopiroksen tidak ada Plagioclase umum ditemukan Plagioclase jarang ditemukan Klinopiroksen berupa augite cokelat

muda

Klinopiroksen berupa titaniferrous augite kemerahan

Shand (1944) mengemukakan proses kristalisasi magma yang mengalami perubahan temperatur melalui beberapa tingkatan. Konsep ini berlaku dengan asumsi bahwa magma mengalami perubahan temperatur secara lambat hingga agak cepat, tidak dengan tiba – tiba. Proses kristalisasi ini meliputi tiga tingkat magmatic, yaitu :

M as sa Das ar P h en oc ry st


(5)

1. Tingkat magmatik awal

Dicirikan oleh pengkristalan magma yang miskin air pada temperatur 7000C – 1.1000C, dan pembentukan mineral – mineral pirogenetik seperti olivin dan piroksen.

2. Tingkat magmatik menengah

Dicirikan oleh pengkristalan magma yang kaya air pada temperatur 5000C – 7000C, dan pembentukan mineral – mineral pirogenetik yang kaya akan kandungan air seperti amfibol dan biotit.

3. Tingkat magmatik akhir

Dibedakan menjadi dua bagian berdasarkan temperaturnya, yaitu :

a. Tingkat hidrotermal tinggi atau tingkat deuterik, terjadi pada temperatur 3000C – 5000C dan menghasilkan mineral – mineral bersifat hidroksil. b. Tingkat hidrotermal rendah, terjadi pada temperatur 1000C – 3000C,

dimana peranan gas sangat dominan dan terbantuk mineral – mineral ubahan seperti karbonat, mineral – mineral yang berserabut, atau mineral yang banyak mengandung air.

3.3.3.3.2 Hubungan Batuan Beku dengan Magma Pembentuknya

Evolusi magma tercermin pada variasi komposisi kimia dan mineralogi batuan beku yang dihasilkan evolusi tersebut, berjalan mengikuti salah satu jalur kristalisasi yang bermula dari satu jenis magma induk yang bersifat basaltis dan ditentukan pula oleh keadaan lingkungan serta proses tektonik daerah yang


(6)

bersangkutan sehingga menghasilkan komposisi tertentu. Secara umum, aspek tekstur hanya dianggap sebagai cerminan proses kristalisasi, dank arena itu dianggap tidak dapat mencerminkan sifat magma asal.

Berdasarkan data analisis petrografi, asosiasi mineral dapat mencerminkan tingkat kristalisasi; dan berdasarkan data analisis kimia, beberapa gambaran mengenai hipotesis magma dapat mencerminkan proses evolusi magma. Seperti telah diungkapkan sebelumnya, komposisi batuan beku dianggap sama dengan komposisi magma pembentuknya.

Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap evolusi dan diferensiasi magma asal menjadi batuan beku diantaranya adalah :

1. Keadaan tempat dan cara magma terbentuk

2. Keadaan tempat yang dilalui magma yang bergerak ke permukaan 3. Keadaan tempat dimana magma mengalami tingkat akhir pembekuan.