PEMAKNAAN LIRIK LAGU “SUSIS” (Studi Semiologi Pemaknaan Pada Lirik Lagu “Susis (Suami Sieun Istri)” oleh “Sule” dari Album “Prikitiew”).

(1)

i

PEMAKNAAN LIRIK LAGU “SUSIS”

(Studi Semiologi Pemaknaan Pada Lirik Lagu “Susis (Suami Sieun Istri)” oleh “Sule” dari Album “Prikitiew”)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi sebagai persyaratan memperoleh Gelar Sarjana pada FISIP UPN : “Veteran” Jawa Timur

Oleh :

Luciawaty Setyaningsih

(0643310403)

YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

SURABAYA 2012

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(2)

ii

PEMAKNAAN LIRIK LAGU “SUSIS”

(Studi Semiologi Pemaknaan Pada Lirik Lagu “Susis (Suami Sieun Istri)” oleh “Sule” dari Album “Prikitiew”)

Disusun oleh :

LUCIAWATY SETYANINGSIH NPM. 0643310403

Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skripsi.

Menyetujui,

Pembimbing Utama

Dra.Herlina Suksmawati,Msi. NIP. 19641225 199309 2001

Mengetahui, DEKAN

Dra. Hj. Suparwati, Msi NIP. 195507181983022001

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(3)

iii

PEMAKNAAN LIRIK LAGU “SUSIS”

(Studi Semiologi Pemaknaan Pada Lirik Lagu “Susis (Suami Sieun Istri)” oleh “Sule” dari Album “Prikitiew”)

Oleh :

LUCIAWATY SETYANINGSIH NPM. 0643310403

Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Pada tanggal 13 Juni 2012

Pembimbing Utama Tim Penguji,

1. Ketua

Dra.Herlina Suksmawati, M.Si Ir. H. Didiek Tranggono, M.Si NIP. 19641225 199309 2001 NIP. 195812251990011001

2. Sekretaris

Dra.Herlina Suksmawati, M.Si NIP. 19641225 199309 2001

3.Anggota

Dra. Dyva Claretta, M.Si NPT. 3 6601 94 0025 1 Mengetahui,

DEKAN

Dra. Hj. Suparwati, M.Si NIP. 195507181983022001

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(4)

iv

KATA PENGANTAR

Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul : PEMAKNAAN LIRIK LAGU “SUSIS” (Studi Semiologi Pemaknaan Pada Lirik Lagu “Susis (Suami Sieun Istri)” oleh “Sule” dari Album “Prikitiew”)

Pada kesempatan ini penulis ingin menghaturkan rasa terima kasih sedalam-dalamnya kepada Ibu Dra. Herlina Suksmawati, Msi, selaku Dosen Pembimbing Utama penulisan skripsi ini. Ucapan terima kasih ini juga tidak lupa penulis ucapkan kepada seluruh pihak yang sangat membantu penulis baik secara moril maupun materil, yaitu kepada:

1. Ibu Dra. Hj. Suparwati, Msi selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

2. Bapak Juwito, S.Sos, Msi selaku Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

3. Bapak Drs. Saifuddin Zuhri, Msi selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Komunikasi.

4. Bapak dan Ibu Dosen Pengajar Program Studi Ilmu Komunikasi yang telah memberikan ilmu serta bimbingannya kepada penulis selama menempuh studi. 5. Keluarga tercinta yang selalu memberikan dukungan terhadap penyelesaian

skripsi.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(5)

v

6. Kokoku tercinta, Hendi yang selalu membantu dalam setiap kesulitan dalam memperoleh informasi dan menyelesaikan skripsi.

7. Sahabat terbaikku Kartikasari dan Putri yang selalu memberikan dukungan, semangat dan motivasi demi keberhasilan atas selesainya skripsi ini.

8. Serta semua pihak yang belum disebutkan oleh penulis, terima kasih atas segala kontribusi yang telah diberikan pada penulis dalam penyelesaian skripsi.

Penulis menyadari bahwa apa yang telah disajikan masih banyak kekurangan, untuk itu kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat diharapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Apabila dalam penyampaian dan penulisan terdapat kesalahan, peneliti memohon maaf yang sebesar-besarnya dan atas segala perhatiannya, penulis ucapkan terima kasih.

Surabaya, 2012

Penulis

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(6)

vi

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI... ii

HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN SKRIPSI...... iii

KATA PENGANTAR... iv

DAFTAR ISI... vi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 14

1.3 Tujuan Penelitian... 14

1.4 Manfaat Penelitian... 14

BAB II KAJIAN PUSTAKA... 15

2.1 Landasan Teori... 15

2.1.1. Musik sebagai Media Komunikasi………... 15

2.1.2. Gender……….. 16

2.1.3. Patriarki……… 20

2.1.4. Definisi “Susis” (Suami Sieun Istri)”……….. 22

2.1.5. Lirik Lagu……….... 24

2.1.6. Perilaku Menyimpang……….. 26

2.1.7. Sumber Penyimpangan……….... 28

2.1.8. Sifat-sifat Perilaku Menyimpang………... 29

2.1.9. Semiologi Roland Barthes……… 31

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(7)

vii

Halaman

2.1.10.Kode Pembacaan………. 40

2.2 Kerangka Berfikir………... 42

BAB III METODE PENELITIAN………... 45

3.1. Metode Penelitian……… 45

3.2. Corpus………. 46

3.3. Unit Analisis………... 49

3.4. Teknik Pengumpulan Data………. 50

3.5. Metode Analisis Data……….. 50

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN………. 54

4.1. Gambaran Umum Objek Peneliti……… 54

4.2. Lirik Lagu “Susis (Suami Sieun Istri)”………... 59

4.3. Penyajian dan Analisis Data……… 61

4.3.1. Penyajian Data……… 61

4.3.2. Analisis Data………... 62

4.4. Sistem Mitos……… 94

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 100

5.1. Kesimpulan………. 100

5.2. Saran……… 101

DAFTAR PUSTAKA ……….. 102

LAMPIRAN……….. 104

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(8)

viii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1.1 Gambar Peta Tanda Roland Barthes ...……...……… 33

Gambar 2.1.2 Gambar Dua Tatanan Petandaan Peta Barthes……...…... 39

Gambar 2.2 Gambar Kerangka Berpikir... 45

Gambar 4.2 Gambar Peta Roland Barthes... 60

Gambar 4.2.1a Gambar Peta Tanda Roland Barthes Judul Lagu... 63

Gambar 4.2.1 Gambar Peta Tanda Roland Barthes bait 1 kalimat 1 ... 64

Gambar 4.2.2 Gambar Peta Tanda Roland Barthes bait 1 kalimat 2... 66

Gambar 4.2.3 Gambar Peta Tanda Roland Barthes bait 2 kalimat 1... 68

Gambar 4.2.4 Gambar Peta Tanda Roland Barthes bait 2 kalimat 2... 70

Gambar 4.2.5 Gambar Peta Tanda Roland Barthes bait 2 kalimat 3... 71

Gambar 4.2.6 Gambar Peta Tanda Roland Barthes bait 2 kalimat 4... 73

Gambar 4.2.7 Gambar Peta Tanda Roland Barthes bait 3 kalimat 1... 75

Gambar 4.2.8 Gambar Peta Tanda Roland Barthes bait 3 kalimat 2... 76

Gambar 4.2.9 Gambar Peta Tanda Roland Barthes bait 3 kalimat 3... 77

Gambar 4.2.10 Gambar Peta Tanda Roland Barthes bait 3 kalimat 4... 78

Gambar 4.2.11 Gambar Peta Tanda Roland Barthes bait 4 kalimat 1... 80

Gambar 4.2.12 Gambar Peta Tanda Roland Barthes bait 4 kalimat 2... 82

Gambar 4.2.13 Gambar Peta Tanda Roland Barthes bait 4 kalimat 3... 83

Gambar 4.2.14 Gambar Peta Tanda Roland Barthes bait 4 kalimat 4... 85

Gambar 4.2.15 Gambar Peta Tanda Roland Barthes bait 5 kalimat 1... 87

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(9)

ix

Halaman

Gambar 4.2.16 Gambar Peta Tanda Roland Barthes bait 5 kalimat 2... 88

Gambar 4.2.17 Gambar Peta Tanda Roland Barthes bait 5 kalimat 3... 90

Gambar 4.2.18 Gambar Peta Tanda Roland Barthes bait 5 kalimat 4... 92

Gambar 4.2.19 Gambar Peta Tanda Roland Barthes kalimat ke 19... 93

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(10)

x

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1 Profil “Sule” ...104 Lampiran 2 Lirik lagu “Susis (Suami Sieun Istri)” ...107

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(11)

xi

ABSTRAK

LUCIAWATY SETYANINGSIH, PEMAKNAAN LIRIK LAGU (Studi Semiologi Pemaknaan Pada Lirik Lagu “Susis (Suami Sieun Istri)”

oleh “Sule” dari Album “Prikitiew”)

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pemaknaan lirik lagu “Susis (Suami Sieun Istri)” atau “Suami Takut Istri” Dimana di lirik ini tercermin fenomena penyimpangan perilaku oleh istri didalam menjalankan peran sosialnya dalam kehidupan berumah tangga, yaitu sebagai sosok yang menguasai dan mengendalikan suaminya.

Metode analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian yang bersifat kualitatif – interpretatif semiologi Roland Barthes, yaitu menggunakan metode signifikasi dua tahap (two of

signifikasi) yang dianalisis menggunakan lima macam kode pembacaan

menurut Barthes, yaitu kode hermeneutik, kode proaretik, kode gnomik (cultural), kode semik dan kode simbolik, untuk pemaknaan sebuah tanda yang berupa bahasa dan tulisan sehingga dapat mengetahui tanda denotatif dan tanda konotatifnya.

Melalui pandangan Roland Barthes tersebut kemudian dijelaskan lewat penafsiran menggunakan teori perspektif perilaku menyimpang, yang pada akhirnya akan ditarik suatu makna yang sebenarnya tentang perilaku menyimpang dan perilaku yang muncul, sebagai akibat dari perilaku menyimpang tersebut. Dalam tahap kedua dari tanda denotatif dan tanda konotatif akan muncul mitos dan kontramitos yang menandai masyarakat yang berkaitan dengan budaya sekitarnya.

Kesimpulan dalam lirik lagu “Susis (Suami Sieun Istri)” yang dipopulerkan Sule sebagaimana adanya merupakan suatu perilaku menyimpang istri dari peran sosialnya dalam kehidupan berumah tangga. Perilaku menyimpang tersebut merupakan wujud dari kontramitos pada budaya patriarki. Dikatakan sebagai perilaku menyimpang dikarenakan perilaku istri yang dominan dan menguasai suami sehingga membuat suaminya ketakutan tersebut adalah perilaku yang belum dapat diterima oleh nilai dan norma yang berlaku di masyarakat pada umumnya. Adanya pergeseran budaya patriarki ke matriarki juga tersirat secara implisit dalam lirik lagu “Susis”.

Kata Kunci : Pemaknaan Lirik Lagu “Susis (Suami Sieun Istri)”

yang dipopulerkan oleh Penyanyi Solo “Sule” dari album “Prikitiew” dengan metode semiologi Roland Barthes

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(12)

PEMAKNAA}I

LIRIK

LAGU "SUSIS"

(studisemiorogi*iilf;

Hl*1,-;l;:Hf*?.?:,ffi

H{suamisieunlstri)"

Oleh:

LUCIAWATY SETYAMNGSIH NPM.0643310403

Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Pembangunan Nasional 6'Veteran" Jawa Timur

Pada Tanggal 13 Juni 2012

Pembimbing Utama Tim Penguji,

Ir. H. DidiekTranseono. M.Si nrP.1958121519m1r001

2. Sekretaris

tu Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(13)

PEMAKNAAN

LIRIK

LAGU

"SUSIS"

(Studi Semiologi Pemaknaan Pada Lirik Lagu 'oSusis (Suami Sieun Istri)" oleh 6'Sule" dari Album ooPrikitiew")

Disusun oleh :

LUCIAWATY SETYANINGSIII NPM. 06433fi443

Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skripsi.

Menyetujui,

Pembimbing Utama

Dra.Herlina Sulsmawati.Msi. NIP.t964-l225tWsW2fr0t

Mengetahuio DEKAN

NrP. 1 9550 7 18L983022001 Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(14)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Perkembangan musik di Indonesia tidak pernah surut. Banyaknya hasil karya musik yang dilahirkan para pencipta musik atau musisi karya seni memberikan kontribusi yang menarik untuk industri musik tanah air. Musik merupakan konsumsi publik, secara psikologis merupakan kebutuhan hiburan dan bisa menjadi semangat kehidupan. Musik juga dapat diartikan sebagai media ekspresi diri masyarakat dan mampu menyatukan banyak kalangan masyarakat, baik itu kalangan bawah hingga sampai lapisan paling atas.

Musik memiliki efek yang besar dan berperan penting dalam sosialisasi ide, gagasan dalam tradisi kebudayaan. Bagi pencipta musik ini adalah ungkapan yang berkaitan dengan komunikasi ekspresif yang artinya musik dapat mengekspresikan perasaan, kesadaran, bahkan pandangan hidup manusia. Musik sendiri menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia memiliki makna bunyi-bunyian yang ditata enak dan rapi.

Musik dapat tercipta karena didorong oleh kondisi sosial, politik, dan ekonomi masyarakat. Musik adalah cermin dari masyarakat, musik juga diilhami oleh perilaku umum masyarakat. Sebaliknya, perilaku masyarakat dapat terilhami oleh musik tertentu. Perilaku umum masyarakat dapat berupa permasalahan sosial, peristiwa monumental, kebutuhan dan tuntutan bersama, kritikan ataupun harapan yang diidamkan (Ayuningtyas, 2006:9).

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(15)

2

Musik merupakan bagian dari komunikasi, seperti yang dikemukakan oleh William I. Gorden bahwa komunikasi itu mempunyai empat fungsi. Keempat fungsi tersebut yakni komunikasi sosial, komunikasi ekspresif, komunikasi ritual dan instrumental, tidak saling meniadakan (mutually exclusive).

Fungsi komunikasi sebagai komunikasi sosial setidaknya mengisyaratkan bahwa komunikasi itu penting untuk membangun konsep diri kita, aktualisasi diri, untuk kelangsungan hidup, untuk memperoleh kebahagiaan, terhindar dari tekanan dan ketegangan, antara lain lewat komunikasi yang bersifat menghibur dan memupuk hubungan dengan orang lain (Mulyana, 2005 : 5).

Erat kaitannya dengan komunikasi sosial adalah komunikasi ekspresif yang dapat dilakukan baik sendirian ataupun dalam kelompok. Komunikasi Ekspresif tidak otomatis bertujuan mempengaruhi orang lain, namun dapat dilakukan sejauh komunikasi tersebut menjadi instrument untuk menyampaikan perasaan – perasaan (emosi kita). Perasaan tersebut terutama dikomunikasikan melalui pesan – pesan non verbal. Emosi kita juga dapat kita salurkan lewat bentuk – bentuk seni seperti novel, puisi, musik, tarian atau lukisan. Harus diakui musik juga dapat mengekspresikan perasaan, kesadaran, dan bahkan pandangan hidup (ideology) manusia (Mulyana, 2005 : 21 – 22).

Dari sisi psikologis humanistis, lagu atau musik bisa menjadi sarana untuk memenuhi salah satu kebutuhan manusia dalam pemenuhannya akan hasrat seni melalui musik. Manusia sebagai homovalens atau makhluk yang Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(16)

3

memiliki keinginan, memiliki kemampuan untuk menyalurkan identifikasinya terhadap kebudayaan. Dari sisi sosial lagu biasa disebut sebagai cermin dari tatanan sosial yang ada dalam masyarakat saat dimana lagu tersebut diciptakan. Dari segi ekonomis, lagu merupakan sebuah komoditi yang sangat menguntungkan (Rahmat, 1993 : 19).

Lagu merupakan salah satu budaya manusia yang menarik diantara budaya – budaya manusia yang lain. Lagu identik dengan musik dan musik adalah bahasa dunia. Banyak hal menarik yang dapat diamati dari budaya yang satu ini. Sebuah lagu biasanya terdiri dari tiga komponen. Komponen tersebut antara lain paduan alat musik atau instrument. Suara atau vokal dan yang terakhir lirik lagunya. Instrument dan kekuatan vokal penyanyi adalah sebagai tubuh sedangkan lirik lagu adalah jiwa atau nyawa dalam penggambaran musik itu sendiri.

Lagu tanpa syair disebut musik lagu adalah sekumpulan lirik yang diberi instrumen akor dan melody. Meskipun terlihat sederhana, namun proses pembuatan sebuah lagu dibutuhkan keahlian, baik itu keahlian memainkan alat musik, keahlian menulis lirik hingga keahlian dalam berimajinasi, meskipun dalam prakteknya lirik tersebut berdasarkan pengalaman pribadi atau keadaan masyarakat disekitarnya. Lirik lagu biasanya memiliki muatan pesan tertentu, kadang-kadang pesannya hanya sekedar ungkapan cinta kasih, tapi kadang – kadang juga bermuatan politis, filosofi dan membelah kehidupan (Ayuningtyas, 2006 :25).

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(17)

4

Lirik lagu dalam musik yang sebagaimana bahasa dapat menjadi sarana atau media komunikasi untuk mencerminkan realitas sosial yang beredar di masyarakat. Lirik lagu dapat sebagai sarana untuk bersosialisasi dan pelestarian terhadap sikap dan nilai. Oleh karena itu, ketika sebuah lirik lagu diaransir dan diperdengarkan kepada khalayak juga mempunyai tanggung jawab yang besar atas tersebar luasnya keyakinan, nilai – nilai, bahkan prasangka tertentu (Setianingsih, 2003 : 7-8).

Lirik lagu merupakan sebuah media komunikasi verbal yang memiliki makna pesan didalamnya, sebuah lirik lagu bila tepat memilihnya bisa memiliki nilai yang sama dengan ribuan kata atau peristiwa, juga secara individu mampu memikat perhatian. Dalam proses penciptaan lirik lagu dapat terjadi berdasarkan pengalaman – pengalaman si pencipta dengan dunia sekitarnya. Dapat pula dari hasil perenungan si pencipta terhadap suatu gejala yang dilihat atau yang dirasakannya.

Komunikasi verbal adalah sarana utama menyatakan pikiran, perasaan dan maksud kita. Komunikasi menggunakan kata – kata yang mempresentasikan berbagai aspek realitas individu kita, konsekuensinya kata – kata adalah abstraksi realitas yang tidak mampu menimbulkan reaksi yang merupakan totalitas objek atau konsep yang diwakili kata – kata (Mulyana, 2000 : 238).

Sebuah lirik lagu bukanlah rangkaian kata-kata indah semata, melainkan representasi dari realitas yang dilihat dan dirasakan oleh pencipta. Realita inilah yang mengilhami seorang pencipta dalam membuat lirik lagu. Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(18)

5

Salah satu realitas yang ada di masyarakat kita saat ini dan yang menarik perhatian penulis adalah fenomena.

Pesan yang disampaikan oleh seorang pencipta lagu bersumber dari pola pikirnya serta frame of reference dan field of experience yang terbentuk dari hasil interaksinya dengan lingkungan social disekitarnya. Menurut Soeriono dan Rahmawati (2000 : 1) yang menyatakan :

Musik berkaitan erat dengan setting social kemasyaratan tempat dia berada. Musik merupakan gejala yang khas yang dihasilkan akibat adanya social dalam interaksi tersebut manusia menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Disinilah kedudukan lirik sangat berperan, sehingga dengan demikian musik tidak hanya bunyi suara belaka, karena juga menyangkut perilaku manusia sebagai individu maupun kelompok social dalam wadah pergaulan hidup dengan wadah bahasa atau lirik sebagai penunjangnya.

Melalui lirik lagu pencipta atau biasa disebut musisi dapat menyampaikan pesan yang merupakan ekspresi terhadap apapun yang dirasakan terhadap fenomena – fenomena yang terjadi di lingkungan sekitar, dimana pencipta tersebut ikut berinteraksi didalamnya.

Pada saat ini fenomena grup band, boyband, girlband menjamur di Indonesia. Selain grup band, boyband, girlband, penyanyi solo pun juga marak di pasaran musik Indonesia. “Sule” adalah salah satu penyanyi solo dengan

salah satu judul lagunya, yaitu “Susis (Suami Sieun Istri)” dari album “Prikitiew”. Lirik lagu tersebut berkisah tentang fenomena atau realita sosial diluar diri pencipta lagu, pada masyarakat tertentu yaitu suami – suami yang takut istri.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(19)

6

Serial suami takut istri sebelumnya pernah ditayangkan di Trans TV setiap Senin hingga Jumat pukul 18.00 WIB sejak 15 Oktober 2007. Serial ini digarap oleh rumah produksi Multivision Plus di bawah arahan sutradara Sofyan De Surza. Serial ini mengangkat fenomena suami-suami yang tinggal di suatu area perumahan. Mereka semua memiliki kesamaan yaitu berada di bawah dominasi istri-istri mereka. Perasaan "senasib sepenanggungan" ini tumbuh makin kuat, sehingga mereka membentuk aliansi tidak resmi bagi suami-suami yang takut istri ini.

(http://id.wikipedia.org/wiki/Suami-suami_Takut_Istri).

Tidak dapat dipungkiri, Indonesia yang masih kental dengan budaya patriarki ternyata juga dapat ditemukan adanya fenomena suami takut istri. Memang tidak semua pria takut pada istrinya, tetapi keberadaan suami takut istri sendiri merupakan salah satu realitas sosial yang saat ini ternyata ada dan masih dianggap menyimpang dari nilai-nilai sosial masyarakat terutama bila diliat dari sudut pandang patriarki. Fenomena ini dianggap menarik dan pada akhirnya disajikan dalam serial suami takut istri di Trans TV. Selain ditayangkan dalam bentuk serial, Dose Hudaya sebagai salah satu pencipta lagu di Indonesia menampilkan kembali fenomena suami takut istri yang dituangkan dalam lirik-lirik lagu “Susis” dinyanyikan oleh Sule.

Dose Hudaya mengatakan, ide membuat lagu “Susis” berasal dari Sule. “Dia cerita, dirinya sering diledek sesama personel OVJ seperti Azis dan Parto dengan sebutan lelaki takut istri. Memang benar, Sule memang takut sama istrinya. Saya sudah melihatnya sendiri. Ha ha ha,” ujar Dose. Dose sendiri, Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(20)

7

mengaku tidak merasa kesulitan memenuhi permintaan Sule. “Begitu mendengar ceritanya, saya lalu menghubungkannya dengan kondisi masyarakat pada umumnya. Saya pikir, bukan cuma Sule yang takut istri. Banyak lelaki yang takut sama istrinya, enggak peduli profesinya. Mau preman, sopir, pejabat, bahkan teroris sekalipun, tetap sieun atau takut sama istri-istrinya.”. (http://www.tabloidnova.com/Nova/Selebriti/Profil-Selebriti/Suksesnya-Susis-Sule-Berawal-dari-Ledekan).

Menurut konselor dari Jagadnita Consulting Service ini, banyak faktor yang bisa membuat suami takut terhadap istri. Beberapa di antaranya adalah dari segi psikologis, suami punya sikap submisif yaitu sikap yang sering mengalah, menunggu, tidak punya inisiatif, dan tidak kreatif. Pola hubungan antara suami dan istri tidak seimbang, biasanya juga datang dari faktor sosial, seperti suami merasa rendah diri karena berasal dari keluarga yang jauh lebih miskin, berpendidikan jauh lebih rendah, penghasilan lebih kecil. Bisa juga karena si istri merupakan sosok yang sangat terkenal, sedangkan suami bukan apa-apa. Sikap takut bisa berasal dari si suami yang merasa kalah segala-galanya. Ketakutan suami pun bisa muncul karena perbedaan ras dan suku. Berbeda dengan istri yang terbiasa hidup di suku dan lingkungan yang keras. Kata-kata yang keluar pun seringkali ketus, kasar, atau menghujat. Ketika si suami bertemu dengan model istri seperti ini, mungkin saja dia akan merasa takut bila berhadapan dengan istrinya. Saat ini di masyarakat sudah terjadi banyak pergeseran nilai. Bila dahulu hanya suami yang mencari nafkah, kini istri pun sah saja bekerja di luar rumah. Tujuannya agar beban ekonomi keluarga bisa Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(21)

8

ditanggung berdua, sehingga rasanya jadi lebih ringan. Bila pada kenyataannya istri lebih sukses dalam berkarier, bisa jadi suami merasa rendah diri.

(http://www.tabloidnova.com/Nova/Keluarga/Pasangan/Bila-Suami-Takut-Istri) Kisah suami takut istri ternyata tidak hanya digambarkan ada dalam cerita sinetron. Nyatanya secara jamak, kisah ini juga marak terjadi di sekitar kita. Peran istri yang lebih dominan, berhasil menguasai suami yang submisif. Rumah yang diharapkan penuh kedamaian, tak lagi jadi tempat yang meneduhkan. Dalam siklus keluarga, hubungan setiap manusia pada dasarnya memiliki sifat mendominasi satu dengan yang lain. Namun semua tergantung pada pribadi masing-masing, jika satu lebih kuat dan mendominasi, bukan tidak mungkin pihak lain akan kalah. Faktor yang terus tumbuh subur dalam satu keluarga inilah yang kemudian memicu timbulnya bibit-bibit baru yang juga turut mendominasi. Bukan tanpa alasan, sistem patriarki yang sudah mengakar kuat dan kini semakin bergeser karena emansipasi, membuat suami seakan rela mengalah posisinya yang dulu dominan kini direbut istri. Berkat emansipasi semakin menyadarkan wanita agar ia harus bisa setara dan tidak dilecehkan kaum pria. Pihak yang dominan biasanya akan suka mendikte, padahal di dalam sebuah pernikahan, posisi suami istri harus setara dan saling mengisi. Sayangnya sifat mendominasi ini cenderung akhirnya menyebabkan pihak yang tertekan terpaksa mengalah, meski setengah hati menolak.

(http://cybertech.cbn.net.id/cbprtl/cyberwoman/detail.aspx?x=love&y=cyberwo man0091181).

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(22)

9

Emansipasi yang sebenarnya adalah bentuk pemberian hak kepada wanita untuk mengembangkan diri dan kemahiran profesional agar bisa bergandeng bahu dengan lelaki dalam pembangunan negara. Tidak ada maksud negatif yang tersembunyi dibalik gerakan emansipasi. Jikapun ada, itu kembali ke niat orang atau kumpulan yang memperjuangkannya dan apa latar belakang yang memotivasinya. Emansipasi juga tidak menyeru perempuan untuk membangkang dari ayahnya, walinya, orang tuanya, dan suaminya (http://ppium.wordpress.com/2012/04/).

Pada para wanita dengan pemikiran dan pemahaman yang keliru dalam memaknai arti emansipasi membuat para wanita akhirnya bertindak dominan pada suami dan mengganggap perilaku yang dominan tersebut adalah hal yang benar sebagai bagian dari tindakan emansipasi. Dominasi terhadap patriarki mengakibatkan bergesernya sedikit demi sedikit konsep patriarki yang sudah mengakar kuat sekian lama. Menurut mereka, sistem patriarki dapat diruntuhkan dengan menonjolkan kualitas feminin. Dengan cara inilah, sistem patriarki yang membuat peran pria dominan dapat diubah menjadi sistem matriarki yang lebih egaliter dan berkeadilan. Egalitarianisme matriarki adalah jawaban atas dominasi patriarki. Kelompok ini memang telah mendorong banyaknya wanita masuk ke dalam dunia maskulin, sehingga banyak wanita yang berhasil menempati posisi strategis di sektor publik.

Matriarki merupakan suatu bentuk masyarakat dalam mana ibu dijadikan pemimpin dan bertindak sebagai garis keturunan perempuan. Secara ideologis, matriarki mengasumsikan bahwa kekuatan perempuan dan kasih ibu Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(23)

10

merupakan kekuatan yang kohesif secara sosial. Dalam pandangan feminis, matriarki juga dicirikan dengan kedamaian, keselamatan dan kebersamaan.

Selain beberapa hal diatas, ketertarikan peneliti terhadap lirik lagu tersebut juga didasarkan pada unsur metafora yaitu pemakaian kata atau ungkapan lain untuk objek atau konsep lain berdasarkan kiasan atau persamaan (Sobur, 2003 : 155). Penampilan sebuah lirik lagu tidak hanya menyajikan kata-kata sederhana yang hanya melengkapi. Efektifitasnya tidak terletak pada teks yang lekat bersama lirik lagu itu sendiri. Lirik lagu itu sendiri akan terbukti bahwa ia mampu berperan positif terhadap objek yang dimaksud. Itulah sebabnya mengapa lirik lagu dapat dikatakan sebagai sebuah sarana fungsi komunikasi verbal. Persepsi di kalangan masyarakat yang dibentuk oleh lirik lagu tersebut dapat memberikan dukungan atau sebaliknya, dapat memberikan cemoohan serta antisipasi terhadap subjek ataupun objek tertentu.

Sangat dibutuhkan pengetahuan dan wawasan dalam melakukan intrepretasi terhadap sebuah lirik lagu musik tersebut supaya sesuai dengan konteksnya, sehingga mendapatkan pemahaman yang menyeluruh terhadap pesan yang disampaikan.

Dalam lirik lagu “Susis (Suami Sieun Istri)” menggambarkan seorang suami atau pria yang menjadi pasangan hidup resmi seorang wanita (istri) yang selalu ketakutan terhadap istri (wanita yang telah bersuami). Suami tersebut muncul sebagai sosok yang lemah dan tidak mampu berbuat apa-apa (tidak berperan sebagai suami atau kepala keluarga sebagaimana mestinya), sedang istrinya muncul sebagai sosok yang menguasai dan memegang kendali atas Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(24)

11

suaminya. Seorang suami pada hakekatnya memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan berkeluarga, yaitu memberikan bimbingan, wibawa, pengambil keputusan dan menjadi panutan sebagai kepala keluarga kepada istrinya, namun yang terjadi sebaliknya.. Arti kata “Sieun” dalam judul lagu “Suami Sieun Istri” dalam kamus bahasa Sunda adalah “takut”, jadi arti kata “Suami Sieun Istri” adalah “Suami takut Istri”. Contoh beberapa penggal lirik lagu “Suami Sieun Istri” adalah :

Picingkan mata, cari aman saja

Kalo membangkang, urusan bakal panjang

Dalam penggalan lirik lagu diatas adalah ketakutan seorang suami, terhadap istrinya dalam kehidupan berumah tangga yang secara eksplisit telah nampak dalam lirik lagu tersebut. Namun tidak berhenti hanya pada makna eksplisit, peneliti bermaksud melihat makna implisit dalam pemaknaan pada lirik lagu “Susis (Suami Sieun Istri)”. Dimana dalam lirik lagu tersebut suatu cerminan dari suatu realitas yang munculnya wanita (istri) yang mendominasi, memegang kendali atas suaminya. Melalui lirik lagu “Susis”, peneliti melihat adanya tindakan menyimpang dari istri terhadap suami, yang merupakan suatu bentuk kontramitos istri dari budaya patriarki. perilaku tersebut bila diterima dan sebagai pembelajaran baru bagi wanita lain secara luas, maka akan menimbulkan bergesernya sedikit demi sedikit budaya patriarki menjadi matriarki dalam proses alih budaya atau cultural transmission dalam kurun waktu perlahan.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(25)

12

Hal yang dimaksudkan diatas adalah bila dalam proses peralihan budaya dari patriarki ke matriarki ternyata para wanita yang dominan dalam pergaulannya mempengaruhi wanita lain yang awalnya tidak dominan menjadi dominan, dan bila kebiasaan tersebut akhirnya diikuti dan ditiru oleh banyak wanita yang lain dan diterima sebagai suatu kebiasaan yang baru dalam kelompok dan latar belakang dengan motivasi tertentu. Pada akhirnya budaya tersebut sedikit demi sedikit merembet kemudian meluas dan mulai menggeser konsep patriarki yang telah lama mengakar kuat di Indonesia, sangat dimungkinkan muncul kebudayaan baru yang disertai mitos yang baru pula.

Saat ini, tindakan istri yang mendominasi, mengendalikan, menguasai suami sehingga suaminya menjadi takut terhadap istri dalam kehidupan berumah tangga dianggap sebagai perilaku yang menyimpang terutama bila dilihat dari sudut pandang patriarki. Menurut James W.Van der Zanden ukuran perilaku menyimpang bukan pada ukuran baik buruk atau benar salah menurut pengertian umum, melainkan berdasarkan ukuran norma dan nilai sosial suatu masyarakat tertentu.

Bila dihubungkan dengan hakekat agama, peran sosial, nilai sosial, norma sosial, juga pandangan masyarakat pada umumnya, tidak sepantasnya pihak istri menjadi sosok dominan, mengendalikan, menguasai dan ditakuti oleh suaminya.

Menurut Dra. Clara Istiwidarum Kriswanto, MA., lebih melihat persoalan itu sebagai tidak adanya kesetaraan hubungan antara suami dan istri. Menurutnya, ketakutan suami terhadap istri akan terlihat dari ungkapan-Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(26)

13

ungkapannya, seperti, "Aku harus menunggu istriku, karena kalau aku yang memutuskan, takut salah." Rasa takut membuat suami tidak berani mengambil keputusan sendiri, tidak punya ide, selalu menunggu istri, takut dimarahi istri,

tidak berani mengungkapkan alasan, dan

sebagainya.(http://www.tabloidnova.com/Nova/Keluarga/Pasangan/Bila-Suami-Takut-Istri).

Dengan adanya pemaknaan lirik lagu “Susis” memberikan pesan moril yang baik dan suatu pembelajaran, semoga adanya lirik lagu tersebut dapat berdampak positif bagi pelaku maupun yang bukan pelakunya untuk memberikan kesadaran terhadap perannya masing-masing dalam kehidupan berumah tangga, supaya saling menghormati baik antara istri maupun suami. bertindak dengan hakekat dan kodrat selain sesuai aturan agama yang diyakini. Berdasarkan latar belakang di atas peneliti tertarik melakukan sebuah studi semiologi untuk mengetahui adanya proses alih budaya atau pergeseran dari konsep patriarki ke konsep matriarki, tersirat adanya kontramitos yang berwujud penyimpangan perilaku istri (dominan dan menguasai suami) yang mengakibatkan suami takut terhadap istri dalam lirik lagu “Susis (Suami Sieun Istri)” yang dipopulerkan oleh Sule. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan semiologi Roland Barthes karena menekankan pada interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi yang dialami dan diharapkan penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order of Signification”, mencakup denotasi (makna sebenarnya Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(27)

14

sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal).

1.2Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah : Bagaimana Pemaknaan lirik lagu “Susis (Suami Sieun Istri)” yang dipopulerkan oleh Sule?

1.3Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mengetahui pemaknaan lirik lagu “Susis (Suami Sieun Istri)”.

1.4Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis

Hasil dari penelitian diharapkan dapat memberikan masukan pada perkembangan serta pemahaman studi komunikasi mengenai analisis semiologi pada lirik lagu.

2. Manfaat Praktis

Membantu pembaca dan penikmat musik dalam memahami dan pemaknaan lirik lagu “Susis (Suami Sieun Istri)” yang dipopulerkan Sule dan diharapkan dapat menjadi kerangka acuan bagi pencipta musik agar semakin kreatif dalam menggambarkan lirik lagu.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(28)

15

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Musik sebagai Media Komunikasi

Pada dasarnya musik dan lagu juga merupakan kegiatan komunikasi, karena didalamnya terdapat proses penyampaian pesan dari si pencipta lagu kepada khalayak pendengarnya. Pesan yang terkandung dalam sebuah lagu merupakan representasi dari pikiran atau perasaan dari si pencipta lagu sebagai orang yang mengirim pesan terhadap fenomena dan realita sosial yang terjadi diluar diri si pencipta lagu. Artinya bahwa pesan tersebut bersumber dari pola pikirnya serta frame of reference dan field of experience yang terbentuk dari hasil interaksinya dengan lingkungan sosial.

Musik dan lagu merupakan salah satu budaya manusia yang menarik diantara budaya – budaya manusia yang lain. Dari sisi psikologis humanistis, musik dan lagu bisa menjadi sarana untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam hasrat akan seni dan kreasi. Dari sisi sosial, lagu bisa disebut sebagai cermin dari tatanan sosial yang ada dalam masyarakat saat lagu diciptakan. Dari sisi ekonomi, lagu merupakan sebuah komoditi yang sangat menguntungkan (Rahmat, 1993 :19).

Musik diartikan sebagai suatu ungkapan perasaan yang dituangkan dalam bentuk bunyi-bunyian atau suara. Ungkapan yang dikeluarkan melalui suara manusia disebut vokal, sedangkan ungkapan yang

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(29)

16

dikeluarkan melalui bunyi alat musik disebut instrumental (Subagyo, 2006:4).

Perjalanan proses berkarya seni musik setiap seniman memiliki keunikan yang berbeda-beda. Untuk menciptakan karya musik dipengaruhi oleh beberapa hal seperti latar belakang seniman, lingkungan, pengetahuan serta pengalamannya. Selain itu juga untuk memunculkan ide perlu adanya renungan, pengamatan dan penghayatan terhadap lingkungan sekitar (Subagyo, 2006:27).

2.1.2 Gender

Kata “Gender” berasal dari Bahasa Inggris, berarti jenis kelamin. Gender yaitu perbedaan yang tampak pada laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari tingkah laku. Dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultura, berupaya membuat perbedaan dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Hillary M. Lips dalam bukunya Sex and Gender : an introduction mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (Cultural Expectation for Women and Men). Misalnya perempuan dikenal dengan lemah lembut, cantik, emosional dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ciri-ciri dari sifat itu merupakan sifat yang dapat dipertukarkan, misalnya ada laki-laki yang lemah lembut, ada perempuan yang kuat, rasional dan perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(30)

17

itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain (Fakih, 1999 : 8-9).

Gender bukanlah sesuatu yang kita dapatkan semenjak lahir dan bukan juga sesuatu yang kita miliki, melainkan sesuatu yang kita lakukan (West, Candance and Zimmerman, Don. 1987.”Doing Gender”. Gender and Society), sesuatu yang kita tampilkan (Judith Butler.1990.Gender Trouble : Feminism and Subversion of Identity. New York and London Routledge). (sugihastuti, 2007 :4).

Menurut Morris gender sebagai pembedaan perempuan dan laki-laki berdasarkan social construction tercermin dalam kehidupan sosial yang berawal dari keluarga. Perempuan disosialisasikan dan diasuh secara berbeda denga laki-laki. Ini juga menunjukkan adanya ekspektasi sosial yang berbeda terhadap anak perempuan dan laki-laki. Sejak dini anak perempuan disosialisasi bertindak lembut, tidak agresif, halus, tergantung, pasif dan bukan pengambil keputusan. Sebaliknya laki-laki disosialisasi, agresif, aktif, mandiri, pengambil keputusan, dan dominan. Kontrol sosial terhadap perempuan jauh lebih ketat dibandingkan dengan laki-laki (Sihite, 2007:230). Hendy Shri Ahimsa Putra (2000) dalam Mufidah (2003 : 3-6), menegaskan bahwa istilah gender dapat dibedakan ke dalam beberapa pengertian berikut ini :

1. Gender sebagai suatu istilah asing dengan makna tertentu

Gender berasal dari istilah asing gender yang maknanya tidak banyak diketahui orang secara baik, maka sangat wajar jika istilah gender

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(31)

18

menimbulkan kecurigaan tertentu pada sebagian orang yang pernah mendengar istilah tersebut. Sering orang berpandangan bahwa perbedaan gender disamakan dengan perbedaan seks sehingga menimbulkan pengertian yang keliru. Jika hal itu terjadi maka diskusi yang berlangsung tidak akan membawa manfaat.

2. Gender sebagai suatu fenomena sosial budaya

Perbedaan seks adalah alami dan kodrati dengan ciri-ciri fisik yang jelas, tidak dapat dipertukarkan. Penghapusan diskriminasi gender tanpa mengindahkan perbedaan seks yang ada sama halnya dengan mengingkari suatu kenyataan yang jelas. Bahkan kehidupan di muka bumi tidak akan dapat bertahan karena tidak ada lagi fungsi reproduksi perempuan, jika itu pun melalui rekayasa. Sebagai fenomena sosial, gender bersifat relatif dan kontekstual. Gender yang dikenal orang Bali berbeda dengan yang dikenal di daerah Minang, berbeda pula di masyarakat Jawa. Hal itu diakibatkan konstruksi sosial budaya yan membedakan peran atas dasar jenis kelaminnya. 3. Gender sebagai suatu kesadaran sosial

Pemahaman gender dalam wacana akademik perlu diperhatikan pemaknaannya sebagai suatu kesadaran sosial. Pembedaan seks di masyarakat merupakan konstruksi sosial. Dari sini masyarakat mulai menyadari bahwa perbedaan tersebut produk sejarah dan kontak warga masyarakat dengan komunitasnya. Manusia kemudian menyadari bahwa ada banyak hal yang perlu diubah agar hidup ini menjadi lebih baik, harmonis dan berkeadilan. Mereka sadar akan adanya jenis kelamin tertentu yang lebih

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(32)

19

unggul dan terjadi dominasi jenis kelamin tertentu terhadap jenis kelamin lainnya. Disinilah gender menjadi persoalan sosial budaya.

4. Gender sebagai suatu persoalan sosial budaya

Fenomena perbedaan laki-laki dan perempuan sesungguhnya bukan menjadi masalah bagi mayoritas orang. Pembedaan tersebut menjadi bermasalah ketika menghasilkan ketidakadilan, dimana jenis kelamin tertentu memperoleh kedudukan yang lebih unggul dari jenis kelamin lainnya. Untuk menghapus ketidakadilan gender tersebut, tidak akan berarti tanpa membongkar akar permasalahan yang ada, yaitu pembedaan atas dasar seks. Dalam term ini, perjuangan terhadap ketidakadilan gender tidak hanya menyentuh persoalan praktis, tetapi telah memasuki wilayah filosofi dan agama.

5. Gender sebagai sebuah konsep untuk analisis

Dalam ilmu sosial, definisi gender tidak lepas dari asumsi-asumsi dasar yang ada pada sebuah paradigma, dimana konsep analisis merupakan salah satu komponennya. Asumsi-asumsi dasar itu umumnya, merupakan pandangan-pandangan filosofi dan juga ideologis. Gender sebagai suatu konsep untuk analisis merupakan gender yang digunakan oleh seorang ilmuwan dalam mempelajari gender sebagai fenomena sosial budaya.

6. Gender sebagai sebuah perspektif untuk memandang suatu kenyataan Dalam tema ini, gender menjadi sebuah paradigma atau kerangka teori lengkap dengan asumsi dasar, model dan konsep-konsepnya. Seorang peneliti menggunakan ideologi gender untuk mengungkap

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(33)

20

pembagian peran atas dasar jenis kelamin serta implikasi-implikasi sosial budayanya, termasuk ketidakadilan yang ditimbulkannya.

2.1.3 Patriarki

Masyarakat Indonesia masih menganut budaya patriarki di berbagai daerah, terutama di daerah pedesaan. Budaya patriarki merupakan budaya dimana lelaki mempunyai kedudukan lebih tinggi dari wanita. Dalam budaya ini, ada perbedaan yang jelas mengenai tugas dan peranan wanita dan lelaki dalam kehidupan bermasyarakat, khususnya dalam keluarga (http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=12&jd=Janda%2C+Stigma+ dan+Budaya+Patriarki&dn=20110605083817).

Ideologi patriarki melestarikan wujud kekuasaan dan dominasi laki-laki yang terealisasi dalam berbagai tatanan sosial termasuk dalam keluarga. Ideologi patriarki mencirikan bahwa laki-laki merupakan kepala rumah tangga, pencari nafkah (bread winner) yang terlihat dalam pekerjaan produktif di luar rumah maupun sebagai penerus keturunan (Sihite, 2007 :231).

Menurut Millet (1972: 26), ideologi patriarki disosialisasikan ke dalam tiga kategori. Pertama, temperament, merupakan komponen psikologi yang meliputi pengelompokan kepribadian seseorang berdasar pada kebutuhan dan nilai-nilai kelompok yang dominan. Hal itu memberikan kategori stereotype kepada laki-laki dan perempuan; seperti kuat, cerdas, agresif, efektif merupakan sifat yang melekat pada laki-laki, sedangkan

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(34)

21

tunduk (submissive), bodoh (ignorant), baik (virtuous), dan tidak efektif merupakan sifat yang melekat pada perempuan. Kedua, sex role, merupakan komponen sosiologis yang mengelaborasi tingkah laku kedua jenis kelamin. Hal ini membedakan gesture dan sikap pada setiap jenis kelamin. Sehingga terjadi pelekatan stereotype pada perempuan sebagai pekerja domestik (domestic service) dan laki-laki sebagai pencari nafkah. Ketiga, status yang merupakan komponen politis dimana laki-laki memiliki status superior dan perempuan inferior.

Menurut Masudi seperti yang dikutip Faturochman (2002: 16), sejarah masyarakat patriarki sejak awal membentuk peradaban manusia yang menganggap bahwa laki-laki lebih kuat (superior) dibandingkan perempuan baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, maupun bernegara. Kultur patriarki ini secara turun-temurun membentuk perbedaan perilaku, status, dan otoritas antara laki-laki dan perempuan di masyarakat yang kemudian menjadi hirarki gender.

Perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan dianggap sebagai awal pembentukan budaya patriarki. Masyarakat memandang perbedaan biologis antara keduanya merupakan status yang tidak setara. Perempuan yang tidak memiliki otot dipercayai sebagai alasan mengapa masyarakat meletakkan perempuan pada posisi lemah (inferior).

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(35)

22

2.1.4 Definisi “Susis (Suami Sieun Istri)”

Dalam judul lagu “Susis” yang merupakan singkatan dari kata “Suami Sieun Istri,” terdapat tiga kata yang perlu untuk didefinisikan oleh peneliti, yaitu : “suami”, “sieun”, dan “istri”.

Menurut kamus Bahasa Indonesia arti kata suami adalah pria yang menjadi pasangan hidup resmi seorang wanita (istri) sedangkan arti kata istri adalah wanita (perempuan) yg telah menikah atau yg bersuami (http://www.artikata.com/arti-331193-istri.html).

Dalam kehidupan rumah tangga, menurut Chaniago (2002) Suami adalah pasangan hidup istri (ayah dari anak-anak), suami mempunyai suatu tanggung jawab yang penuh dalam suatu keluarga tersebut dan suami mempunyai peranan yang penting, dimana suami sangat dituntut bukan hanya sebagai pencari nafkah akan tetapi suami sebagai motivator dalam berbagai kebijakan yang akan di putuskan termasuk merencanakan keluarga. Tanggung jawab seorang suami tidak sekedar memberi nafkah kepada istrinya. Menurut Thalib (1995) tugas, fungsi dan posisi suami ditetapkan sebagai orang yang mengatur, mendidik, meluruskan masalah yang terjadi dalam rumah tangga dan memberi komando dalam rumah tangganya. Jadi, seorang suami bertanggung jawab atas pemenuhan materi dan kehidupan istri. Menghayati norma tanggung jawab suami terhadap istri merupakan kunci untuk dapat membangun perkawinan yang penuh dengan perasaan cinta dan kasih sayang.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(36)

23

Sedangkan untuk seorang wanita (istri) sejak dini wanita disosialisasikan bertindak lembut, tidak agresif, halus, tergantung, pasif dan bukan pengambil keputusan. Kontrol sosial terhadap wanita jauh lebih ketat dibandingkan laki-laki. Apabila seorang istri melakukan perannya dengan benar maka dapat dipastikan kesuksesan suami dalam pekerjaan dan peranan dalam kehidupan sosial, sangat dipengaruhi oleh istrinya, dari sinilah munculnya kutipan terkenal “Behind Every Great Man There’s A Great Woman”. (http://sosbud.kompasiana.com/2012/04/10/ibu-rumah-tangga-puncak-prestasi-karier-seorang-wanita/).

Jika Suami dan istri menjalankan peranannya masing-masing sesuai kapasitasnya, maka akan tercipta hubungan keluarga yang harmonis, tetapi Fenomena yang dituangkan dalam lirik lagu Sule dalam judul lagu Susis (Suami Sieun Istri) memiliki makna sebaliknya yang menunjukkan tindakan istri yang mendominasi dan menguasai suami. Arti kata “Sieun” dalam judul lagu “Suami Sieun Istri” dalam kamus bahasa Sunda adalah “takut”, jadi arti kata “Suami Sieun Istri” adalah “Suami takut Istri”. Menurut kamus Bahasa Indonesia definisi kata takut adalah merasa cemas dan gentar (ngeri) menghadapi sesuatu yg dianggap akan mendatangkan bencana.

Rasa takut merupakan reaksi manusiawi yang secara biologis merupakan mekanisme perlindungan bagi seseorang pada saat menghadapi bahaya. Ketakutan adalah emosi yang muncul pada saat orang menghadapi suatu ancaman yang membahayakan hidup atau salah satu bidang kehidupan

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(37)

24

tertentu. Ketakutan biasa disebut dengan tanda peringatan terhadap hidup, peringatan agar berhenti, melihat atau mendengarkan.

Setiap manusia dihadapkan pada peringatan serta ancaman yang sangat menuntut perhatian. Rasa takut betul-betul memperlambat dan mengendalikan sejumlah besar emosi psikosomatis. Salah satu tujuan dari pengendalian adalah untuk membantu seseorang untuk menghindarkan diri dari bahaya dan mengatasinya(http://www.duniapsikologi.com/rasa-takut-apakah-anda-phobia/).

2.1.5 Lirik Lagu

Lirik lagu dalam musik yang sebagaimana bahasa, dapat menjadi sarana atau media komunikasi untuk mencerminkan realitas sosial yang beredar dalam masyarakat. Lirik lagu dapat pula sebagai sarana untuk sosialisasi dan pelestarian terhadap suatu sikap atau nilai. Oleh karena itu, ketika sebuah lirik lagu diaransir dan diperdengarkan kepada khalayak juga mempunyai tanggung jawab yang besar atas tersebar luasnya keyakinan, nilai – nilai bahkan prasangka tertentu (Setianingsih, 2003 : 7-8).

Termasuk realitas sosial yang menggambarkan masyarakat yang melakukan perilaku menyimpang sebagai suatu tindakan kontramitos. Yaitu fenomena istri yang mendominasi, mengendalikan dan menguasai suami, seharusnya masing –masing peran baik suami maupun istri bertindak sesuai hakekat dan kodratnya. Hal itu dapat menimbulkan sikap saling

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(38)

25

menghormati dan saling mengasihi untuk keharmonisan kehidupan berumah tangga.

Sejalan dengan pendapat Soerjono dalam Rachmawati (2000 :1) yang menyatakan :

Musik berkaitan erat dengan setting sosial kemasyarakatan tempat dia berada. Musik merupakan gejala yang khas yang dihasilkan akibat adanya interaksi sosial, dimana dalam interaksi tersebut manusia menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Disinilah kedudukan lirik sangat berperan, sehingga dengan demikian musik tidak hanya bunyi suara belaka, karena juga menyangkut perilaku manusia sebagai wadah individu maupun ekelompok sosial dalam wadah pergaulan hidup dengan wadah bahasa atau lirik sebagai penunjangnya.

Berdasarkan kutipan diatas sebuah lirik lagu dapat berkaitan erat dengan realitas soasial dan isu-isu sosial yang sedang berlangsung dalam masyarakat. Lirik lagu memiliki kedudukan yang penting dalam sebuah lagu. Lagu merupakan suatu alat penyampaian pesan dari si pencipta lagu kepada khalayak.

Teks atau lirik sendiri definisikan oleh Roland Barthes “Bukanlah sebaris kata-kata, melainkan sebuah jaringan unsur kebudayaan”. Lirik lagu dapat pula sebagai sarana untuk sosialisasi dan pelestarian terhadap suatu sikap atau nilai. Oleh karena itu, ketika sebuah lirik lagu mulai diaransir dan diperdengarkan kepada khalayak, lirik lagu tersebut mempunyai tanggung jawab yang besar atas tersebar luasnya sebuah keyakinan, nilai-nilai bahkan prasangka tertentu. Dapat dikatakan bahwa

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(39)

26

musik merupakan bagian dari suatu budaya manusia, tidak terpisahkan selama hidup manusia, dari lahir hingga akhir hayat, musik menyentuh segala lapisan sosial dari bawah hingga atas. Mantle Hood, seorang pelopor ethnomusiclogy dari USA memberikan definisi tentang Ethnomusicology sebagai studi musik dari segi sosial dan kebudayaan (Bandem, 1981).

2.1.6 Perilaku Menyimpang

Perilaku menyimpang adalah apabila tidak sesuai dengan nilai-nilai dan norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Menurut kajian sosiologi, penyimpangan bukan sesuatu yang melekat pada bentuk perilaku tertentu, melainkan diberi ciri penyimpangan melalui definisi sosial. Berikut beberapa teori yang menyatakan bahwa penyimpangan adalah perilaku yang didefinisikan secara sosial :

1. Menurut Korblum

Penyimpangan tidak hanya dapat dikategorikan kepada individu atau masyarakat dengan kategori deviance (penyimpangan) dan deviant (penyimpang), tetapi akan dijumpai pula yang disebut dengan institusi menyimpang atau Deviant Institution.

2. Menurut James W.Van der Zanden

Menurut Zanden, penyimpangan perilaku merupakan tindakan yang oleh sejumlah besar orang dianggap sebagai hal yang tercela dan diluar batas toleransi. Ukuran perilaku menyimpang bukan pada ukuran baik buruk

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(40)

27

atau benar salah menurut pengertian umum, melainkan berdasarkan ukuran norma dan nilai sosial suatu masyarakat tertentu.

3. Menurut Robert M.Z. Lawang

Menurut Lawang, perilaku menyimpang adalah norma tindakan yang tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam suatu sistem sosial. Perilaku tersebut menurut lawang menimbulkan usaha dari mereka yang berwenang dalam sistem itu untuk memperbaikinya (Kun Maryati dan Juju Suryawati dalam sosiologi, 2006 : 121-122).

Menurut Dr. Arief Budiman, Ph.D seorang sosiolog pengkritik nasionalisme (2009:134), Relativitas perilaku menyimpang, juga dapat terjadi karena situasi dan kondisi. Sesuatu yang dahulu di anggap tidak layak, sekarang dapat dianggap layak.Misalnya, pada zaman dahulu wanita Indonesia (pribumi) dinilai tidak pantas mengenakan celana seperti laki-laki. Mereka harus mengenakan kain dan kebaya. Akan tetapi, sekarang hal itu sudah tidak berlaku lagi. Relativitas nilai sosial dipengaruhi pula oleh tempat atau lingkungan sosial budaya.

Antara masyarakat desa dan kota mungkin memiliki nilai dan norma yang berbeda pula. Masyarakat desa mempertahankan tradisi turun-temurun dari nenek moyang. Orang desa yang meninggalkan tradisi di desanya dianggap tidak layak atau menyimpang. Akan tetapi, masyarakat kota menganut nilai keterbukaan, sehingga cepat menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan. Nilai-nilai tradisional tidak lagi mengikat mereka.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(41)

28

Perubahan di berbagai penjuru dunia cepat mempengaruhi perilaku orang-orang kota, apalagi dengan dibantu oleh sarana teknologi komunikasi yang seolah telah menghilangkan batas ruang dan waktu.

2.1.7 Sumber Penyimpangan Edward H. Sutherland

Suherland mengemukakan sebuah teori yang

dinamakan differential association. Menurutnya, penyimpangan bersumber pada pergaulan yang berbeda. Penyimpangan dipelajari melalui proses alih (cultutal transmission). Melalui proses belajar ini, seseorang mempelajari suatu budaya yang menyimpang.

Edwin M.Lemert

Lemert menamakan teorinya (Labelling Theory). Menurutnya, seseorang menjadi penyimpang karena adanya proses labelling (pemberian julukan, cap, etiket atau merek) yang diberikan masyarakat kepadanya. Proses Labelling ini bisa membuat seseorang yang tadinya tidak memiliki kebiasaan menyimpang menjadi terbiasa. Lebih jauh Lemert membagi perilaku menyimpang ke dalam dua bentuk yaitu :

a. Penyimpangan Primer (Primary Deviation), yaitu perbuatan menyimpang yang dilakukan seseorang namun sang pelaku masih dapat diterima secara sosial. Ciri penyimpangan primer adalah sifatnya sementara, tidak terulang, dan dapat ditolerir masyarakat.

b. Penyimpangan Sekunder (Secondary Deviation), yaitu perbuatan yang dilakukan seseorang yang secara umum dikenal sebagai perbuatan atau

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(42)

29

perilaku menyimpang. Penyimpangan demikian bisa dilakukan secara individu maupun kelompok. Masyarakat pada umumnya tidak bisa menerima dan tidak menginginkan orang-orang semacam ini berada dalam lingkungannya. (Kun Maryati dan Juju Suryawati dalam sosiologi, 2006 :122).

2.1.8 Sifat-Sifat Perilaku Menyimpang

Secara umum terdapat dua sifat penyimpangan, yaitu penyimpangan yang bersifat positif dan penyimpangan yang bersifat negatif:

1. Penyimpangan yang bersifat positif

Penyimpangan yang bersifat positif adalah penyimpangan yang mempunyai dampak positif terhadap sistem sosial karena mengandung unsur inovatif, kreatif dan memperkaya alternatif. Penyimpangan demikian umumnya dapat diterima masyarakat karena sesuai dengan perubahan zaman.

Menurut Dr. Arief Budiman, Ph.D seorang sosiolog pengkritik nasionalisme (2009:134), perilaku menyimpang tidak selalu berdampak negatif. Penyimpangan dalam bentuk pemberontakan terhadap nilai-nilai yang sudah mapan kadang-kadang melahirkan pemikiran-pemikiran baru. Misalnya, R.A. Kartini memelopori penerobosan nilai-nilai kehidupan yang dia rasa tidak adil bagi kaumnya, sehingga lahirlah gerakan emansipasi wanita di Indonesia. Padahal nilai-nilai yang berlaku

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(43)

30

saat itu mendukung pengekangan terhadap kaum wanita. Biasanya penyimpangan seperti itu mendapat tentangan dari masyarakat namun ketika „pemberontakan‟ itu dirasakan ada manfaatnya, lama-kelamaan diterima dan menjadi nilai dan norma baru. Tidak semua pemberontakan melahirkan pahlawan-pahlawan seperti R.A. Kartini. Tetapi, selalu ada orang atau sekelompok orang yang mendobrak nilai-nilai yang sudah mapan.

2. Penyimpangan yang bersifat negatif

Dalam penyimpangan yang bersifat negatif, pelaku bertindak ke arah nilai-nilai sosial yang dipandang berakibat buruk serta mengganggu sistem sosial. Tindakan dan pelakunya akan dicela atau dicemooh dan tidak diterima oleh masyarakat.

Menurut Hera Farina (Anggota DPRD Partai Demokrat di Banjarmasin) sehubungan dengan hari Kartini 21 April 2012 ini. Ia mencontohkan bentuk emansipasi yang berlebih-lebihan atau melampaui kodrat seorang kaum hawa, “Sikap seorang wanita yang mau mengatasi atau mengendalikan suami selaku kepala rumah tangga, itu keliru. Wanita Indonesia patut bersyukur bisa berkarir serta melanjutkan pendidikan sampai jenjang yang lebih tinggi, atas perjuangan RA. Kartini bersama kawan-kawan pejuang wanita lainnya seperti Tjut Nyak Dien (Aceh), Dewi Sartika (Jawa Barat), dan Maria Walanda Maramis (Sulawesi Utara)”. (http://kalsel.antaranews.com/berita/6416/maknai-emansipasi-jangan-berlebihan).

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(44)

31

Bila dihubungkan dengan bab 4 yaitu pembahasan analisis lirik

lagu “Susis (Suami Sieun Istri)” terjadi suatu perilaku menyimpang itu sendiri, pria yang menjadi pasangan hidup resmi seorang wanita (istri) menjadi sosok yang lemah dan tidak mampu berbuat apa-apa dalam perannya sebagai kepala keluarga terhadap istri, sedangkan Istri menjadi pemegang kekuasaan dan memegang kendali atas suaminya dalam perannya di kehidupan berumah tangga. Perilaku tersebut termasuk penyimpangan negatif, pelaku bertindak ke arah nilai-nilai sosial yang dipandang berakibat buruk serta mengganggu sistem dan nilai sosial masyarakat pada umumnya, dimana seorang istrinya tidak seharusnya memegang kendali atas suaminya. Tindakan dan pelakunya akan dicela atau dicemooh dan tidak diterima oleh masyarakat, apalagi budaya patriarki di Indonesia masih mengakar kuat selama ini.

2.1.9 Semiologi Roland Barthes

Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir struktualis yang getol mempraktekkan model linguistik dan semiologi Saussurean. Ia juga intelektual dan kritikus sastra Perancis yang ternama, ekspones penerapan struktualisme dan semiotika pada studi sastra menyebutkan sebagai tokoh yang memainkan peranan central dalam struktualisme tahun 1960-1970 an. Barthes berpendapat bahasa adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Ia mengajukan pendapat ini

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(45)

32

dalam Writing Degree Zero 1953 terjemahan Bahasa Inggris tahun 1977 dan Critical Essays 1964 terjemahan Bahasa Inggris 1972 (Sobur,2004:63).

Sedangkan pendekatan karya struktualis memberikan perhatian terhadap kode-kode yang digunakan untuk menyusun makna. Struktualisme merupakan suatu pendekatan yang secara khusus memperhatikan struktur karya atau seni. Fenomena kesastraan dan estetika didekati sebagai sistem tanda-tanda (Budiman, 2003:11).

Linguistik merupakan ilmu tentang bahasa yang sangat berkembang menyediakan metode dan peristilahan dasar yang dipakai oleh seorang semiokus dalam mempelajari semua sistem-sistem sosial lainnya. Semiologi adalah ilmu tentang bentuk, sebab ia mempelajari pemaknaan secara terpisah dari kandungannya (Kurniawan, 2001 : 156). Didalam semiologi, seseorang diberikan kebebasan dalam memaknai sebuah tanda. Dalam pengkajian tekstual, Barthes menggunakan analisis naratif struktual yang dikembangkannya. Analisis naratif struktural secara metodologis berasal dari perkembangan awal atas apa yang disebut linguistik struktural sebagaimana perkembangan akhirnya dikenal sebagai semiologi teks atau semiotika. Jadi secara sederhana analisis naratif struktural dapat disebut juga sebagai semiologi teks karena memfokuskan diri pada naskah. Intinya sama yakni mencoba memahami makna suatu karya dengan menyusun kembali makna-makna yang tersebar dengan suatu cara tertentu (Kurniawan 2001:89).

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(46)

33

Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar berfungsi. Barthes secara panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai sistem pemaknaan tataran kedua yang dibangun diatas sistem lain yang telah ada sebelumnya (Sobur, 2004:68-69).

Sastra merupakan contoh paling jelas sistem pemaknaan tatanan kedua yang dibangun di atas bahasa sebagai sistem pertama. Sistem kedua ini oleh Barthes disebut konotatif, yang dalam Mythologiesnya secara tegas ia bedakan dari denotatif atau sistem pemaknaan tatanan pertama Barthes menggambarkannya dalam sebuah peta tanda.

1. Signifier (Penanda)

2. Signified (Petanda) 3. Denotative (Tanda Denotatif) 4. Connotative Signifier (Penanda Konotatif)

5. Connotative Signified (Petanda Konotatif) 5. Connotative Sign(Tanda Konotatif)

Sumber : Paul Cobley & Litza Jansa, 1999 dalam Alex Sobur, 2004 : 69 Gambar 2.1.1 Peta Tanda Roland Barthes

Dari peta Barthes diatas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2), akan tetapi pada saat bersamaan tanda denotatif adalah juga petanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material : hanya jika anda mengenal tanda

“singa” barulah konotatif seperti harga diri, kegarangan dan keberanian

menjadi mungkin (Cobley &Janz, 1999 :51 dalam Sobur, 2004:69).

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(47)

34

Jadi dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak hanya sekedar memiliki makna tambahan. Namun, juga mengandung makna kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan semiologi Saussure, yang hanya berhenti pada tatanan denotatif.

Pada dasarnya ada perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam pengertian secara umum serta denotasi dan konotasi yang dimengerti oleh Barthes. Dalam pengertian umum, denotasi biasanya

dimengerti sebagai makna harfiah, makna “sesungguhnya”, bahkan kadang

kala juga dirancukan dengan referensi atau acuan. Proses Signifikasi yang secara tradisional disebut juga sebagai denotasi ini biasanya mengacu pada penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai dengan apa yang terucap.

Akan tetapi, didalam semiologi Roland Bathes dan para pengikutnya, denotasi merupakan sistem Signifikasi tingkat pertama sementara, sementara konotatif merupakan tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi justru lebih disosialisasikan dengan ketertutupan makna dan demikian, sensor atau represi politis, sebagai reaksi yang paling ekstrim melawan keharfiahan denotasi yang bersifat opresif ini, Barthes mencoba menyingkirkan dan menolaknya. Baginya yang ada hanyalah konotasi semata-mata.

Penolakan ini mungkin terasa berlebihan, namun ia tetap berguna bagi sebuah koreksi atas kepercayaan bahwa makna “harfiah”

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(48)

35

merupakan sesuatu yang bersifat alamiah (Budiman, 1999:22 dalam Sobur, 2004:0-71). Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideology yang disebut sebagai “mitos”, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu (Budiman, 2001 :28 dalam Sobur, 2004:1). Didalamnya mitos juga terdapat pola tiga dimensi, penanda, petanda, dan tanda. Namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan tatanan kedua. Didalam mitos pula petanda dapat memiliki beberapa penanda, sehingga dalam praktiknya terjadilah pemunculan sebuah konsep secara berulang-ulang dalam bentuk-bentuk yang berbeda. Mitologi mempelajari bentuk-bentuk-bentuk-bentuk tersebut (Sobur,2004:71).

Menurut Barthes (2001) tanda adalah suatu kesatuan dari suatu bentuk penanda atau petanda. Penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”. Jadi penanda adalah aspek material dari bahasa apa yang dikatakan, apa yang didengar, dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran atau konsep. Jadi petanda adalah aspek mental dari bahasa. Yang haus diperhatikan adalah bahwa dalam tanda bahasa yang kongkret kedua unsur tersebut tidak dapat dilepaskan. Tanda bahasa selalu mempunyai dua segi Signifier (penanda) dan Signified (petanda). Suatu penanda tanpa petanda tidak berarti apa-apa dan karena itu tidak merupakan tanda. Sebaliknya suatu petanda, tidak mungkin disampaikan atau ditangkap lepas dari penanda, petanda atau yang

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(49)

36

ditandakan itu termasuk tanda sendiri dan dengan demikian merupakan suatu faktor linguistik. “Penanda dan petanda merupakan, seperti dua sisi dari sehelai kertas” (Sobur, 2004:46). Setiap tanda kebahasaan, menurut Saussure pada dasarnya menyatukan sebuah konsep dan suatu citra suara (sound image), bukan menyatakan sesuatu sebagai nama. Suara yang muncul dari sebuah kata yang diucapkan merupakan penanda (signifier), sedang konsepnya adalah petanda (signified). Dua unsur ini tidak dapat dipisahkan, memisahkannya hanya akan menghancurkan “kata” tersebut Sobur,2004 :47).

Semiologi Roland Barthes tersusun tingkatan-tingkatan sistem bahasa. Umumnya Barthes membuatnya dalam dua tingkatan bahasa, bahasa pada tingkat pertama sebagai objek dan bahasa pada tingkatan kedua yang disebut metabahasa. Bahasa ini merupakan suatu sistem tanda yang memuat penanda dan petanda tingkat pertama sebagai petanda baru nada taraf yang lebih tinggi. Sistem tanda yang pertama kadang disebutnya sebagai konotasi atau sistem retoris atau mitologi. Fokus kajian Barthes terletak pada sistem tanda tingkat kedua atau metabahasa (Kurniawan, 2001:115).

Tatanan penandaan pertama adalah landasan kerja Saussure, tatanan ini menggambarkan relasi antara penanda dan petanda didalam tanda, dan antara tanda dengan referennya dalam realitas eksternal. Barthes menyebutkan tatanan ini sebagai denotasi. Hal ini mengacu pada anggapan umum, maka jelaslah tentang tanda. Sebuah contoh foto tentang

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(50)

37

keadaan jalan mendenotasi jalan tertentu; kata jala mendenotasi jalan pertokoan yang membentang diantara bangunan (Fiske, 2006 :118). Denotasi menurut Barthes merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, dan lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna (Sobur,2004:70).

Konotasi dan metabahasa adalah cerminan yang berlawanan satu sama lain. Metabahasa adalah operasi yang membentuk mayoritas bahasa-bahasa ilmiah yang berperan sistem riil, dan dipahami sebagai petanda di luar kesatuan penanda-penanda asli, di luar alam deskriptif. Sedangkan konotasi meliputi bahasa-bahasa yang sifat utamanya sosial dalam hal pesan literatur memberikan dukungan bagi makna kedua dari sebuah tatanan artifisila atau ideologis secara umum (Kurniawan, 2001:68).

Mengenai bekerjanya tanda dalam tatanan kedua adalah melalui mitos. Mitos biasanya mengacu pada pikiran bahwa mitos itu keliru, namun pemakaiannya yang biasa itu adalah bagi penggunaan oleh orang tak percaya. Barthes menggunakan mitos sebagai seorang yang percaya dalam artian orisonal.

Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek dari realitas suatu alam. Mitos primitive berkenaan dengan hidup dan mati, manusia dan dewa, baik dan buruk. Mitos kita yang lebih bertaktik-taktik adalah tentang maskulinitas dan feminitas, tentang keluarga, tentang keberhasilan atau tentang ilmu. Bagi Barthes, mitos merupakan cara berfikir dari suatu kebudayaan tentang

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(51)

38

sesuatu, cara untuk mengkonseptualisasikan atau memahami sesuatu. Barthes memikirkan mitos sebagai mata rantai dari konsep-konse terkait. Bila konotasi merupakan pemaknaan tatanan kedua dari penanda, maka mitos pemaknaan tatanan kedua dari petanda (Fiske, 2006:121).

Sesungguhnya kehidupan manusia, dan dengan sendirinya hubungan antar manusia, dikuasai oleh mitos-mitos. Sikap kita terhadap sesuatu ditentukan oleh mitos yang ada dalam diri kita. Mitos ini menyebabkan kita menyukainya atau membencinya. Dengan demikian mitos akan menyebabkan mempunyai prasangka tertentu terhadap sesuatu hal yang dinyatakan dalam mitos. Hanya lewat persentuhan diri kita dengan hal tertentu tadi, kita dapat mengetahui kebenaran ataukah kesalahan dari mitos tadi. Persentuhan itu mungkin dapat memperkuat mitos itu, atau mungkin pula dapat meniadakannya. Ini selanjutnya mungkinkan kita berbeda anggapan dari yang terdapat dalam satu mitos yang pernah kita hidupi, meskipun ia tidak selalu mengambil arah demikian. Namun yang pasti, perkenalan dengan sesuatu akan dapat saja menghasilkan mitos-mitos baru, yang berbeda dari mitos yang ada sebelumnya.

Betapapun dominannya suatu mitos, ia akan selalu akan didampingi oleh suatu mitos lain yang merupakan kontramitos. Ini barangkali dapat dikatakan sifat yang biasanya terdapat pada masyarakat sebuah masyarakat yang telah terbuka (kepada dunia lain). Hanya dalam masyarakat yang benar-benar tertutup akan ditemui kemutlakan suatu mitos. Dengan

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(52)

39

begitu mitos-mitos tadi akan ditentang oleh mitos-mitos yang lain pula, ketika itu, yang merupakan kontramitos (Sobur, 2001 : 130-131).

Pada tatanan kedua, sistem tanda dari tatanan pertama disisipkan ke dalam sistem nilai budaya.

Sumber : Fiske, 2006 :121-123

Gambar 2.1.2 Dua Tatanan Petandaan Barthes

Barthes menegaskan bahwa cara kerja pokok mitos adalah untuk menaturalisasikan sejarah ini. Ini menunjukkan kenyataan bahwa mitos sebenarnya merupakan produk kelas sosial yang mencapai dominasi melalui sejarah tertentu. Mitos menunjukkan maknanyasebagai alami, dan bukan bersifat historis atau sosial. Mitos memistifikasi atau mengaburkan asal-usulnya sehingga memiliki dimensi, sambil

meng-Denotasi

Penanda Petanda

Mitos Konotasi Bentuk

Isi

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(53)

40

universalisasikannya dan membuat mitos tersebut tidak bisa diubah, tapi juga cukup adil (Fiske, 2006:123).

Untuk membuat ruang atensi yang lebih lapang bagi deseminasi makna dan pluralitas teks, maka Barthes mencoba memilah-milah penanda-penanda pada wacana naratif ke dalam serangkaian fragmen ringkas dan beruntun yang disebutnya sebagai leksi-leksi (lexias), yaitu satuan-satuan pembacaan (unit of reading) dengan panjang pendek yang bervariasi.

Sepotong bagian teks yang apabila dibandingka dengan teks lain disekitarnya adalah sebuah leksia. Akan tetapi sebuah leksia sesungguhnya bisa berupa apa saja, kadang hanya berupa satu-dua patah kata, kadang kelompok kata, kadang beberapa kalimat, bahkan sebuah

paragraph, tergantung pada ke”gampang”annya (convenience) saja.

Dimensinya tergantung kepada kepekatan dari konotasi-konotasinya yang bervariasi sesuai dengan momen-momen teks. Dalam proses pembacaan teks, leksia-leksia tersebut dapat ditemukan baik pada tatanan kontak pertama diantara pembaca dan teks maupun pada satuan-satuan itu dipilah-pilah sedemikian rupa sehingga diperoleh aneka fungsi pada tatanan-tatanan pengorganisasian yang lebih tinggi (Budiman, 2003:54).

Dalam memaknai sebuah “teks” kita akan diharapkan pada pilihan-pilihan pisau analisi mana yang bisa dipakai dari sekian jumlah, pendekatan yang begitu melimpah. Ketika kita sampai pada pilihan tertentu semestinya “setia” dengan satu pilihan, namun bisa juga

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(54)

41

mencampuradukkan dengan beberapa pilihan tersebut, tergantung kepentingan dari tujuan “pembaca” dalam membeda pembacaannya. Bisa pula benar-benar hanya memfokuskan pada teks dan “melupakan” sang pengarang, “pembaca” kemudian dapat melakukan interpretasi terhadap suatu karya.

Dalam hal ini “pembacalah” yang memberikan makna dan penafsiran. “Pembaca” mempunyai ekuasaan absolut untuk memaknai sebuah hasil karya (lirik lagu) yang dilihatnya, bahkan tidak harus sama dengan maksud pengarangnya. Semakin cerdas pembaca itu menafsirkan, semakin cerdas pula karya lirik dalam lagu itu memberikan maknanya. Wilayah kajian “teks” yang dimaksud Barthes memang sangat luas, mulai bahasa verbal seperti karya sastra hingga fashion atau cara berpakaian. Barthes melihat seluruh produk budaya merupakan teks yang bisa dibaca secara otonom dari pada penulisannya.

2.1.10 Kode Pembacaan

Segala sesuatu yang bermakna tergantung pada kode. Menurut Roland Barthes didalam teks setidaknya beroperasi lima kode pokok yang didalamnya semua penanda tekstual (baca : leksia) dapat dikelompokkan. Setiap atau masing-masing leksia dapat dimasukkan ke dalam salah satu dari lima buah kode ini. Kode-kode ini menciptakan sejenis jaringan. Adapun kode-kode pokok tersebut yang dengannya seluruh aspek tekstual yang signifikasi dapat dipahami, melalui aspek sintagmatik dan semantik

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(55)

42

sekaligus, yaitu menyangkut bagaimana bagian-bagiannya berkaitan satu sama lain dan terhubung dengan dunia luar teks.

Lima kode yang ditinjau oleh Barthes adalah kode hermeneutika (kode teka-teki), kode proaretik, kode budaya, kode semik, dan kode simbolik (Kurniawan, 2001 :69).

1. Kode Hermeneutika atau kode teka-teki berkisar pada harapan untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Kode teka-teki merupakan unsur terstruktur yang utama dalam narasi tradisional. Didalam narasi ada suatu kesinambungan antara pemunculan suatu peristiwa teka-teki dan penyelesaian didalam cerita (Sobur, 2004 :65). 2. Kode Proaretik atau kode tindakan/ perlakuan dianggapnya sebagai

perlengkapan utama teks yang dibaca orang, artinya antara lain, semua teks yang bersifat naratif (Sobur, 2004 :66).

3. Kode Gnomik atau kode kultural (budaya) banyak jumlahnya. Kode ini merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya. Menurut Barthes, realism tradisional didefinisikan oleh acuan kepada yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau sub budaya adalah hal-hal kecil yang telah dikodifikasikan (Sobur, 2004 :66).

4. Kode Semik atau konotatif menawarkan banyak sisi. Dalam proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan konotasi kaa atau frase yang mirip. Jika melihat kumpulan satuan konotasi

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(56)

43

melekat, kita menemukan suatu tema didalam cerita. Perlu dicatat bahwa Barthes mengganggap bahwa denotasi sebagai konotasi yang paling kuat dan paling akhir (Sobur, 2004 :65-66).

5. Kode Simbolik (tema) merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas bersifat struktural, atau tepatnya menurut konsep Barthes, pascastruktural. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa makna berasal dari beberapa oposisi biner atau pembedaan baik dalam taraf bunyi menjadi fenom dalam proses produksi wicara, maupun taraf oposisi psikoseksual yang melalui proses (Sobur,2004:66).

2.2 Kerangka Berfikir

Setiap individu memeiliki latar belakang pengalaman (field of experience) dan pengetahuan (frame of reference) yang berbeda satu dengan lainnya. Dapat terlihat saat bagaimana seseorang atai individu tersebut menciptakan pesan komunikasi, dalam hal ini pesan disampaikan dalam bentuk lirik lagu, maka pencipta lagu juga tidak terlepas dari dua hal tersebut.

Begitu pula peneliti dalam memaknai tanda dan lambang lirik lagu sebagai objek yang diteliti, berdasarkan dari pengalaman dan pengetahuan yang diteliti oleh peneliti dalam melakukan pemaknaan tanda dan lambang berbentuk tulisan, kata, kalimat dalam lirik lagu “Susis (Suami Sieun Istri)” yang dipopulerkan oleh Sule dengan menggunakan

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(57)

44

metode semiologi Roland Barthes, sehingga akhirnya dapat diperoleh dari pemaknaan yang berupa sebuah lirik lagu tersebut.

Dari data-data yang diteliti berupa lirik lagu “Susis (Suami

Sieun Istri)”, kata dan rangkaian kata dalam lirik lagu kemudian dianalisis

dengan menggunakan metode signifikasi dua tahap (two order of signification)dari Roland Barthes. Dimana pada tatanan pertama tanda denotatif (denotative sign) terdiri atas penanda dan petanda (signifier-signified) dan pada tatanan kedua tanda denotatif (denotative sign) juga merupakan penanda konotatif (connotative signifier) sehingga muncul petanda konotatif (connotative sign). Dalam tahap kedua dari tanda konotatif akan muncul mitos yang menandai masyarakat yang berkaitan dengan budaya sekitar.

Dalam memaknai kata dalam teks lirik lagu “Susis (Suami

Sieun Istri)” menggunakan lima macam kode Roland Barthes yaitu kode hermeneutik, kode proaretik, kode gnomik, kode semik, kode simbolik untuk memaknai dalam pembacaan dari kode-kode tersebut akan

diungkapkan substansi dari pesan di balik lirik lagu “Susis (Suami Sieun Istri)”.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(58)

45

(Gambar 2.2)

Bagan kerangka berfikir peneliti tentang pemaknaan lirik lagu “Susis (Suami Sieun Istri)” oleh “Sule”.

Analisis semiologi Barthes yang terdiri lima macam kode :

1.Kode Hermeneutik 2.Kode Proaretik 3.Kode Gnomik 4.Kode Semik 5.Kode Simbolik

Pemaknaan dari pembacaan kode-kode yang ada dalam lirik lagu

“Susis (Suami Sieun Istri)” Lirik lagu :

“Susis (Suami Sieun Istri)” oleh “Sule”

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(1)

103

NON BUKU

(http://cybertech.cbn.net.id/cbprtl/cyberwoman/detail.aspx?x=love&y=cyberwoman0 091181).

http://ppium.wordpress.com/2012/04/.

http://www.tabloidnova.com/Nova/Keluarga/Pasangan/Suami-Takut-Istri-1. http://id.wikipedia.org/wiki/Normal_%28perilaku%29.

http://www.tabloidnova.com/Nova/Keluarga/Pasangan/Bila-Suami-Takut-Istri.

(http://phianzsotoy.blogspot.com/2009/03/analisis-matriarki-dan-hidden-women.html)

http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=12&jd=Janda%2C+Stigma+dan+Bu daya+Patriarki&dn=20110605083817.

http://www.artikata.com/arti-331193-istri.html.

http://sosbud.kompasiana.com/2012/04/10/ibu-rumah-tangga-puncak-prestasi-karier-seorang-wanita/.

http://www.duniapsikologi.com/rasa-takut-apakah-anda-phobia/

http://kalsel.antaranews.com/berita/6416/maknai-emansipasi-jangan-berlebihan. http://www.tabloidnova.com/Nova/Selebriti/Profil-Selebriti/Suksesnya-Susis-Sule-Berawal-dari-Ledekan

http://www.youtube.com/watch?v=R6JYqZ2v-4U


(2)

104

PROFILE SULE

Sule terlahir dengan nama asli Entis Sutisna, lahir di Cimahi, Jawa Barat, 15 November 1976. Sule adalah anak kedua dari empat bersaudara. Komedian dengan slogan "Prikitiew" ini melejit setelah menjadi pelawak di acara "OVJ (Opera Van Java)" (2008). Ia memilih nama panggung Sule, yang merupakan akronim dari Sunda Bule, karena rambutnya yang disemir kuning terang menjuntai bak seorang bule.

Sule berangkat dari keluarga pas-pasan. Ayahnya seorang penjual bakso keliling dan sudah menekuni pekerjaannya selama 35 tahun. Sejak kecil, Sule sudah mencintai musik, terutama lagu-lagu milik Rhoma Irama. Sule sama sekali tak menyadari bahwa dirinya memiliki bakat melawak. Yang ia tahu,

banyak orang terbahak-bahak mendengar celetukan spontan yang

dilontarkannya. Bahkan Sule mengaku kebiasaannya melucu itu diturunkan dari

sang ayah yang juga memiliki kepribadian banyol.

Sejak kecil, Sule sudah terbiasa hidup tak enak. Menjadi penjual ayam

goreng, jagung rebus, hingga kebaya pernah dilakoninya. Karena himpitan ekonomi setelah menikahi Lina pada 1997, Sule mencoba peruntungannya


(3)

105

dengan mengikuti audisi pelawak, "API" (2004). Kala itu, Sule tergabung di grup lawak SOS bersama dua kawannya, Ogi Suwarna dan Obin Wahyudin. Tak disangka, grupnya keluar sebagai juara. Sule juga menjadi juara pertama di acara variety show, "Superstar Show" (2005). Masalah keuangan yang dialaminya pun sedikit terpecahkan, karena dari kompetisi tersebut Sule memenangkan hadiah mobil.

Peraih penghargaan "Komedian Terfavorit" di "Panasonic Gobel

Awards 2011" dan "Indonesia Kids' Choice Awards 2011" ini dikaruniai empat orang anak dari pernikahan yang sudah dibinanya sejak 1997 dengan Lina. Tiga anak laki-laki dan satu anak perempuan tersebut bernama Rizky Febrian Adriansyach Sutisna, Putry Delina Andriyani Sutisna, Rizwan Adriansyach

Sutisna dan Ferdinan Ardiansyach Sutisna.

Tawaran melawak pun mulai membanjiri agenda Sule, salah satunya

dari "Opera Van Java". Acara komedi yang juga dibintangi Andre Taulany, Parto Patrio dan Azis Gagap tersebut meraih rating yang cukup tinggi berkat banyolan-banyolan spontan yang dilontarkan Sule. Perlahan tapi pasti, pria yang memiliki semangat hidup tinggi ini meraih kesuksesan hingga disebut sebagai pelawak termahal 2010. Betapa tidak, Sule, yang diganjar Rp 4 juta per episode OVJ, bisa mengantongi Rp 100 juta per bulannya. Itu pun belum termasuk honor dari sitkom "Awas Ada Sule" (2009) dan talk show hiburan, "PAS Mantab" (2010), yang juga dibintanginya. Tak ayal, jika di penghujung tahun 2010, Sule sudah bisa memiliki satu rumah, dua mobil dan dua sepeda motor. Sule, yang memang menyukai musik, melebarkan sayapnya ke dunia tarik suara


(4)

106

dengan merilis single "Susis (Suami Sieun Istri)" dan "Bola Salju" pada tahun 2010. (http://www.wowkeren.com/seleb/sule/bio.html)

Pria kelahiran Bandung, 15 November 1976 ini sukses meluncurkan

lagu yang berjudul “Susis”. Lagu tersebut memang memiliki lirik yang jenaka

sehingga mudah diingat masyarakat. Sule sendiri rupanya merasa menjadi bagian dari lagu tersebut. Ia termasuk suami yang takut istri.

(http://www.cumicumi.com/posts/2010/10/27/15035/26/sukses-dengan-susis-sule-coba-prikitiew.html).


(5)

107

Lirik lagu Sule “Susis (Suami Sieun Istri)” What am I going to do (apa yang dapat aku lakukan)

But I can‟t do anything (tapi aku tidak dapat berbuat apa-apa) Tak punya taring, tak punya cakar loh ko takut? Cantik dan anggun, lemah gemulai loh ko takut? Kalo nyerocos, kalo ngedumel aku takut

Kalo cemberut, diam membisu juga takut Susis wo wo wo susis

Suami sieun istri Susis wo wo wo susis Suami takut istri

*) **) What am I going to do (apa yang dapat aku lakukan)

But I can‟t do anything (tapi aku tidak dapat berbuat apa-apa) What am I going to do (apa yang dapat aku lakukan)

But I can‟t I can‟t do anything

(tapi aku tidak dapat,tidak dapat berbuat apa-apa) * Pilih Mengalah, takut kena salah

Apalagi salah, jadi salah tingkah Picingkan mata, cari aman saja

Kalo membangkang, urusan bakal panjang

Uyeee uyeee prikitiewww

1. Repeat *) 2. Repeat **)


(6)

Dokumen yang terkait

PEMAKNAAN LIRIK LAGU “SUSIS”(Studi Semiologi Pemaknaan Pada Lirik Lagu “Susis (Suami Sieun Istri)” oleh “Sule” dari Album “Prikitiew”).

0 2 119

PEMAKNAAN LIRIK LAGU “SELAMANYA INDONESIA”(Studi Semiologi Pemaknaan Lirik Lagu “Selamanya Indonesia” yang dipopulerkan oleh 21st Night).

0 6 95

Pemaknaan Lirik Lagu “ Drama Keadilan “ (Studi Semiologi Terhadap Pemaknaan Lirik lagu “Drama Keadilan Yang Dipopulerkan Oleh Saykoji”).

3 13 117

PEMAKNAAN LIRIK LAGU (Studi Semiologi pemaknaan lirik lagu “Bobrokisasi Borokisme” dari Slank dalam Album Jurustandur No. 18).

0 0 105

PEMAKNAAN LIRIK LAGU (Studi Semiologi Pemaknaan Lirik Lagu “Mata Keranjang” dari Aura Kasih).

1 3 97

PEMAKNAAN LIRIK LAGU”JANGAN BILANG SIAPA-SIAPA”(Studi Semiologi Pemaknaan Lirik Lagu”Jangan Bilang Siapa-siapa” yang dipopulerkan oleh aura Kasih feat.Aliya Sachi.

0 9 80

PEMAKNAAN LIRIK LAGU”JANGAN BILANG SIAPA-SIAPA”(Studi Semiologi Pemaknaan Lirik Lagu”Jangan Bilang Siapa-siapa” yang dipopulerkan oleh aura Kasih feat.Aliya Sachi

0 0 23

DAFTAR ISI - PEMAKNAAN LIRIK LAGU (Studi Semiologi Pemaknaan Lirik Lagu “Mata Keranjang” dari Aura Kasih).

0 0 10

Pemaknaan Lirik Lagu “ Drama Keadilan “ (Studi Semiologi Terhadap Pemaknaan Lirik lagu “Drama Keadilan Yang Dipopulerkan Oleh Saykoji”)

0 0 19

PEMAKNAAN LIRIK LAGU “SELAMANYA INDONESIA”(Studi Semiologi Pemaknaan Lirik Lagu “Selamanya Indonesia” yang dipopulerkan oleh 21st Night)

0 0 23