MODEL MATEMATIKA SIV (SUSCEPTIBLE,INFECTIOUS,VIRUS) UNTUK PENYEBARAN VIRUS TUNGRO (RICE TUNGRO VIRUS) PADA TANAMAN PADI.

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Perkembangan ilmu pengetahuan di bidang matematika memberikan peranan penting dalam membantu menganalisa permasalahan yang timbul di berbagai bidang, termasuk ilmu pengetahuan alam, kesehatan, ekonomi, dan sosial. Peran matematika pada masalah kehidupan sehari-hari maupun pada ilmu-ilmu lain disajikan dalam pemodelan matematika.

Model matematika merupakan representasi matematika yang dihasilkan dari pemodelan matematika. Pemodelan matematika merupakan suatu proses merepresentasikan dan menjelaskan permasalahan pada dunia nyata ke dalam pernyataan matematis (Widowati & Sutimin, 2007 : 1). Banyak permasalahan di berbagai bidang ilmu dapat di buat model matematikanya. Salah satunya adalah model matematika penyakit tungro.

Tungro merupakan salah satu penyakit penting padi yang mengancam produksi padi nasional. Penyakit tungro disebabkan oleh infeksi ganda dari dua jenis virus yang berbeda, yaitu Rice Tungro Bacilliform Virus (RTBV) ukuran 140x35 mm dan Rice Tungro Spherical Virus (RTSV) dengan diameter 30-33 nm (Hibino et al, 1978 dalam R. Heru Praptana dkk, 2014). Virus tungro ditularkan oleh Nephotettix virescens (wereng hijau) (Hibino & Cabunagan, 1986). Penularan virus tungro dilakukan secara bersamaan oleh wereng hijau tanpa adanya multiplikasi virus dalam tubuh vektor (Hibino, 1996).


(2)

2 Tanaman padi merupakan inang virus tungro. Masa terpanjang vektor (wereng hijau) mampu menularkan virus berkisar antara 5−6 hari (Wathanakul dan Weerapat, 1969 dalam Widiarta, 2005). Periode inkubasi virus dalam tanaman berkisar 6−15 hari (Rivera dan Ou, 1965; Wathanakul dan Weerapat, 1969 dalam Widiarta, 2005).

Penyebaran virus tungro tidak hanya di Indonesia tetapi juga terjadi di India, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam. Rata-rata luasan serangan tungro di Indonesia antara tahun 2001 - 2006 mencapai 3650 ha per tahun. Pada musim tanam (MT) 2010/2011 terjadi serangan seluas 5828 ha dan meningkat menjadi 7177 ha pada MT 2011 yang tersebar di 33 provinsi (Kusprayogie dkk, 2011 dalam Praptana dkk, 2014).

Berikut grafik insidensi penyakit tungro pada daerah endemik tungro Kelurahan Taratara dan Woloan Kecamatan Tomohon Barat Tahun 2015 (Livita dkk, 2015).

Gambar 1.1. Grafik insidensi penyakit tungro Kecamatan Tomohon Barat Salah satu cara untuk pengendalian virus tungro yaitu penggunaan pestisida. Penggunaan pestisida dalam mengendalikan tungro bertujuan untuk eradikasi wereng hijau pada pertanaman yang telah tertular tungro agar tidak menyebar ke


(3)

3 pertanaman lain dan mencegah terjadinya infeksi virus pada tanaman rentan. Mengingat infeksi virus dapat terjadi sejak di pesemaian, ataupun pertanaman. Pemberian pestisida pada saat pertanaman, apabila saat tanaman padi berumur kurang dari 3 MST(Minggu setelah tanam) ditemukan 2 rumpun tanaman terserang virus tungro per 100 rumpun tanaman. Pengendalian virus tungro dengan pestisida hanya efektif menekan populasi wereng hijau pada pertanaman padi yang menerapkan pola tanam serempak.

Terdapat beberapa penelitian mengenai model penyebaran penyakit pada tanaman, diantaranya adalah Lim Abdul Karim (2014) mengenai interaksi antara hama, predator, dan efek pemberian pestisida. Interaksi antara predator dengan hama menggunakan respon fungsional Holling tipe I dan Holling tipe II yaitu ����� ��+. Dari model tersebut kemudian dilakukan analisis mengenai eksistensi dan kestabilan titik ekuilibrium. Dari analisis diperoleh eksistensi titik ekuilibrium �0,�1,�2, dan �3 bergantung nilai �0, sedangkan titik ekuilibrium �4 tidak bergantung nilai �0.

Tongqian Zhang dkk (2012) mengkaji tentang dua strategi kontrol yang berbeda pada penyakit tanaman dengan model epidemiologi tipe SIC (Susceptible, Infectious, Control). Pada model ditentukan angka reproduksi dasar dan titik ekuilibrium endemik. Selanjutnya diberikan perhitungan numerik untuk ilustrasi pengaruh continuous control maupun impulsive cultural control terhadapan kompartemen terinfeksi.Sehingga didapatkan strategi kontrol yang tepat untuk penyakit tanaman tersebut.


(4)

4 Berbeda dengan model yang dikembangkan oleh Lim Abdul Karim (2014), dalam skripsi ini membahas mengenai pembentukan dan analisa model matematika terhadap penyebaran virus tungro. Model yang dibentuk terbagi atas tiga kompartemen yaitu S (Susceptible), I (Infectious) dan V (Virus), yang difokuskan pada penyebaran virus tungro melalui vektor wereng hijau dan pemberian pestisida pada tanaman terinfeksi. Dimana, populasi Susceptible yang disimbolkan dengan S, adalah populasi tanaman yang rentan terhadap virus. Populasi Infectious yang disimbolkan dengan I, adalah populasi tanaman yang telah terinfeksi virus dan dapat menularkan virusnya ke tanaman lain dengan bantuan vektor. Populasi Virus yang disimbolkan dengan V, adalah populasi virus yang menginfeksi tanaman. Selanjutnya dari model yang terbentuk, akan dilihat perilaku solusi disekitar titik ekuilibrium agar dapat dianalisa kestabilan titik ekuilibrium, sehingga dapat diketahui kapan virus ini menghilang dan kapan mulai menyebar.

Penelitian yang membahas model matematika SIV untuk penyebaran virus tungro pada tanaman padi, sejauh ini belum banyak dilakukan di Indonesia. Penelitian ini termasuk dalam ruang lingkup biologi matematika yang mengkaji tentang penyakit tanaman. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi aplikasi nyata matematika dalam pengendalian virus tungro pada tanaman padi. A. Identifikasi Masalah

1. Luasnya serangan penyakit tungro di beberapa wilayah di Indonesia. 2. Virus tungro menyebar dengan cepat di beberapa daerah endemik tungro. 3. Tingginya populasi wereng hijau sebagai vektor virus tungro.


(5)

5 4. Serangan virus tungro pada daerah pertanaman padi yang serentak, terjadi

setelah tanam.

5. Pemberian pestisida sebagai salah satu cara dalam pengendalian penyakit tungro.

B. Batasan Masalah

Batasan masalah perlu dilakukan untuk memfokuskan kajian penelitian sehingga prosesnya menjadi terarah dan hasilnya mampu menjawab pernyataan penelitian. Beberapa masalah yang dipilih sebagaimana dijelaskan di bawah ini yaitu :

1. Model yang dibentuk hanya terdapat 3 kompartemen, yaitu Susceptible (S), Infectious (I), dan Virus (V).

2. Populasi tanaman padi dalam model ini diasumsikan tidak konstan. C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, maka rumusan masalah yang akan diangkat dalam penelitian ini yaitu:

1. Bagaimana model matematika untuk penyebaran virus tungro pada tanaman padi ?

2. Bagaimana analisis kestabilan titik ekuilibrium model matematika penyebaran virus tungro pada tanaman padi ?

3. Bagaimana simulasi model matematika pada penyebaran virus tungro pada tanaman padi ?


(6)

6 D. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan penelitian diatas, yaitu:

1. Membentuk model matematika untuk penyebaran virus tungro pada tanaman padi.

2. Menganalisis kestabilan titik ekuilibrium model matematika mengenai penyebaran virus tungro pada tanaman padi.

3. Mengetahui simulasi kestabilan titik ekuilibrium model matematika mengenai penyebaran virus tungro pada tanaman padi.

E. Manfaat Penelitian

Informasi dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada semua pihak yang berkaitan dengan topik penelitian ini, antara lain:

1. Bagi Penulis

Mengembangkan wawasan disiplin ilmu yang telah dipelajari dalam bidang persamaan diferensial khususnya pemodelan proses penyebaran virus Tungro pada tanaman padi.

2. Bagi Jurusan Matematika FMIPA

Menambah bahan kepustakaan yang dijadikan sebagai sarana pengembangan wawasan keilmuan, perbendaharaan karya ilmiah, khususnya di prodi matematika.


(7)

7 3. Bagi Pembaca

Dapat menambah pengetahuan dan memberikan informasi bidang matematika, khususnya tentang pemodelan proses penyebaran virus Tungro pada tanaman padi.


(8)

8 BAB II

LANDASAN TEORI

Pada bab ini, akan diuraikan definisi-definisi dan teorema-teorema yang akan digunakan sebagi landasan pembahasan untuk bab III. Materi yang akan diuraikan antara lain persamaan diferensial, sistem persamaan diferensial,sistem persamaan diferensial linear dan non linear, nilai eigen dan vektor eigen, linearisasi, titik ekuilibrium, bilangan reproduksi dasar, kestabilan titik ekuilibrium, kriteria kestabilan Routh-Hurwitz, dan pemodelan matematika.

A. Persamaan Diferensial Definisi 2.1 (Ross, 2010: 3)

Persamaan diferensial adalah persamaan yang menyertakan turunan satu atau lebih variabel tak bebas terhadap satu atau lebih variabel bebas.

Contoh 2.1

Berikut terdapat beberapa contoh persamaan diferensial :

�2

��2+ 3�� � �� ���

2

= 0 (2. 1)

�4 ��4+ 4�

�2

��2�+ 2�= cos� (2. 2)

�� �� +

��

�� =� (2. 3)

�2 ��2+

�2 ��2+

�2


(9)

9 Berdasarkan banyaknya variabel bebas yang terlibat dalam persamaan, persamaan diferensial diklasifikasikan menjadi persamaan diferensial biasa dan persamaan diferensial parsial.

1. Persamaan Diferensial Biasa Definisi 2.2 (Ross, 2010: 4)

Persamaan Diferensial Biasa adalah persamaan diferensial yang memuat turuanan biasa dari satu atau lebih variabel tak bebas terhadap satu variabel bebas.

Contoh 2.2

Persamaan (2.1) dan Persamaan (2.2) merupakan persamaan diferensial biasa. Variabel � pada Persamaan (2.1) merupakan variabel bebas tunggal dan � merupakan variabel terikat. Pada Persamaan (2.2) � merupakan variabel bebas dan x sebagai variabel terikat.

2. Persamaan Diferensial Parsial Definisi 2.3 (Ross, 2010)

Persamaan Diferensial Parsial adalah persamaan diferensial yang memuat turunan parsial dari satu atau lebih variabel tak bebas terhadap lebih dari satu variabel bebas.

Contoh 2.3

Persamaan (2.3) dan (2.4) merupakan persamaan diferensial parsial. Variabel bebas pada Persamaan (2.3) berupa variabel � dan �, sedangkan � merupakan variabel tak bebas. Pada Persamaan (2.4) terdapat tiga (3) variabel bebas �,�, dan


(10)

10 B. Sistem persamaan Diferensial

Sistem persamaan diferensial adalah kumpulan beberapa persamaan diferensial. Diberikan vektor ���, dimana � ⊆ ℝ� dengan

�= (�1,�2,�3, … . ,��)� dan (�1,�2,�3, … . ,��) �ℝ�. Fungsi �:� ⟶

ℝ� dengan = (

1,�2,�3, … . ,��)�, � ∈ �1(�) dimana �1(�) merupakan himpunan semua fungsi yang mempunyai turunan pertama yang kontinu di K. Jika

�̇=���� untuk menyatakan turunan pertama x terhadap t, maka

�̇1 = �1(�1,�2,�3, … . ,��)

�̇2 =�2(�1,�2,�3, … . ,��)

�̇3 =�3(�1,�2,�3, … . ,��) (2.5)

�̇� =��(�1,�2,�3, … . ,��).

Sistem pada Persaman (2.5) dapat dituliskan sebagai berikut :

�̇=�(�) (2.6) Berdasarkan kelinearannya sistem persamaan diferensial dibedakan menjadi dua yaitu sistem persamaan diferensial linear dan sistem persamaan diferensial non linear.

1. Sistem Persamaan Diferensial Linear

Secara umum sistem persamaan diferensial linear orde satu dengan variabel tak bebas �1,�2, … ,� dan variabel bebas t dinyatakan sebagai berikut:

��1

�� =�11�1+�12�2+ … +�1��� +�1(�) (2.7)

��2


(11)

11

⋮ ���

�� = ��1�1+��2�2 + … +����� +��(�).

Persamaan (2.7) disebut sistem persamaan linear homogen jika �,�= 1,2, … ,� bernilai nol, sedangkan jika �,� bernilai tak nol, maka Persamaan (2.7) disebut sistem persamaan diferensial linear non homogen. Persamaan (2.7) dapat ditulis dalam persamaan berikut

�̇=��+�(�). (2.8) dengan � adalah matriks ��� yang merupakan matriks koefisien dari variabel tak bebas � ∈ ℝ�, dengan ��� ∈ ℝ,�= 1,2, … ,�,�= 1,2, … ,�, sedangkan �(�) adalah matriks ukuran ��� yang merupakan fungsi dari �.

�̇= �

�11 �12

�21 �22

⋯ �1�

⋯ �2�

⋮ ⋮

��1 ��2

⋱ ⋮

⋯ ��� � �

�1

�2

⋮ ��

�+�

�1(�)

�2(�)

⋮ ��(�)

�.

Contoh 2.4

Diberikan suatu sistem persamaan diferensial linear

� ��

�� =� −2� ��

�� = 2�+ 4�

(2.9)

Sistem persamaan diferensial (2.9) merupakan sistem persamaan diferensial linear homogen.

2. Sistem Persamaan Diferensial Non linear Definisi 2. 4 (Ross, 2010: 5)

Persamaan diferensial non linear adalah persamaan diferensial biasa yang tak linear.


(12)

12 Persamaan diferensial dikatakan non linear jika persamaan diferensial tersebut memenuhi paling sedikit satu dari kriteria berikut :

a. Memuat variabel tak bebas dari turunan-turunannya berpangkat selain satu. b. Terdapat perkalian dari variabel tak bebas dan atau turunan-turunannya. c. Terdapat fungsi transendental dari variabel tak bebas dan turunan-turunannya. Contoh 2.5

Diberikan sistem persamaan diferensial non linear :

� ��1

�� =�1+�1�2

��2

�� = 4�12−2�2

(2. 10)

Persamaan (2.10) merupakan sistem persamaan diferensial non linear dengan variabel bebas � dan variabel tak bebas �1 dan �2. Persamaan (2.10) disebut sistem diferensial non linear karena memuat perkalian antara variabel tak bebas �1 dan �2 pada persamaan pertama dan terdapat kuadrat dari variabel tak bebas �1 pada persamaan kedua.

C. Nilai Eigen dan Vektor Eigen Definisi 2.4 (Anton, 2010: 277)

Jika � matriks ���, maka vektor tak nol � dalam ℝ� disebut vektor eigen dari � jika �� merupakan kelipatan skalar dari �, yaitu:

��= �� (2.11)

untuk skalar �.

Skalar � disebut nilai eigen dari � dan � dinamakan vektor yang bersesuaian dengan skalar �.


(13)

13 Persamaan (2.11) dapat ditulis sebagai

��= ���

(�� − �)�= 0 (2. 12)

dengan I adalah matriks identitas.

Persamaan (2.12) memiliki solusi tak nol jika dan hanya jika

|�� − �| = 0 (2. 13)

Persamaan (2.13) merupakan persamaan karakteristik dari matriks � dan skalar yang memenuhi Persamaan (2.13) adalah nilai eigen dari �.

|�� − �| =�� +�1��−1+�2��−2+⋯+��. Sehingga persamaan karakteristik dari � menjadi

�� +

1��−1+�2��−2+⋯+�� = 0, dengan � ∈ ℝ,�= 1, 2, 3, … ,�.

Contoh 2.6

Diberikan matriks A = �1 −1

−2 0 �

Tentukan nilai eigen,vektor eigen dan solusi umum dari matriks A. Penyelesaian :

a. Akan ditentukan nilai eigen matriks A |�� − �| = 0

���0 0�� −1 2 0 −1 ��= 0

�� −2 1 1��= 0

�2− � −2 = 0 (�+ 1)(� −2) = 0.


(14)

14 Sehingga diperoleh nilai eigen matriks A dalah �1 =−1 dan �2 = 2.

b. Akan ditentukan vektor-vektor eigen yang bersesuaian dengan nilai eigen dari matriks A

Untuk �1 = −1 (�� − �)�= 0

� −2 2 11� ��1

�2�= 0

�−2�1+�2 = 0 2�1 − �2 = 0.

Persamaan −2�1+�2 = 0 ekuivalen dengan 2�1 =�2 Misalkan �1 =� maka �2 = 2�

�=��1

2�=� �2��=� 1 2� �.

Diambil t = 1, maka diperoleh vektor eigen yang bersesuaian dengan �1 =

−1 adalah �=�1 2�. Untuk �1 = 2

�(� − �)� = 0

�1 12 2� ��1

�2�= 0

� �1 +�2 = 0 2�1+ 2�2 = 0.

Persamaan 2�1+ 2�2 = 0 ekuivalen dengan �1 = −�2 Misalkan �2 =� maka �1 = −�

�=��1

2�=�−�� �=�− 1 1 � �.


(15)

15 Diambil t = 1, maka diperoleh vektor eigen yang bersesuaian dengan �1 = 2 adalah � =�−1

1 �. D. Titik Ekuilibrium Definisi 2.5 (Perko, 2000: 102)

Diberikan sebuah sistem Persamaan (2.6) dengan � ∈ ℝ�. �̅ dengan �̅ ∈ ℝ� disebut titik ekuilibrium dari sistem Persamaan (2.6) jika �(�̅ ) = 0.

Contoh 2.7

Diberikan suatu persamaan sebagai berikut :

�̇=�2+ 2� −8.

Akan ditentukan titik ekuilibrium dari persamaan tersebut.

�(�̅ ) = 0

�2+� −8 = 0

(� −2)(�+ 4) = 0

Sehingga didapat dua titik ekuilibrium yaitu �1 =−4 dan �2 = 2. E. Linearisasi

Linearisasi merupakan suatu proses yang digunakan untuk membentuk suatu sistem persamaan diferensial non linear menjadi sistem persamaan diferensial linear. Linearisasi sistem persamaan diferensial non linear dilakukan untuk mengetahui perilaku sistem disekitar titik ekulibrium sistem tersebut. Untuk mencari hasil linearisasi, digunakan Matrik Jacobian. Terlebih dahulu akan diberikan definisi mengenai Matriks Jacobian pada Teorema 2.1 sebagai berikut:


(16)

16 Teorema 2.1 (Perko, 2000:67)

Jika �: ℝ� ⟶ ℝ� terdeferensial di 0 maka turunan parsial ���

���,�,�=

1, 2, 3, … . ,� di �0 ada untuk semua � ∈ ℝ� dan

��(�0)�= ���

���(�0)�� �

�=1 Bukti:

����

�(�0)�� =

⎣ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎡����11

(�0)�1

��2 ��1

(�0)�1

⋮ ��� ��1

(�0)�1

⎥ ⎥ ⎥ ⎤ �

�=1 +

⎣ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎡����12

(�0)�2

��2 ��2

(�0)�2

⋮ ��� ��2

(�0)�2

⎥ ⎥ ⎥ ⎤ + … + ⎣ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢

⎡����1�(�0)�� ��2

���(�0)��

⋮ ���

���(�0)��⎦

⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎤ = ⎣ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢

����11(�0) ��1 ��2

(�0) … ����1

�(�0) ��2

��1(�0) ��2 ��2(�0)

… ��2

���(�0)

⋮ ��� ��1

(�0)

⋮ ��� ��2

(�0)

⋮ ��� ���(�0)⎦

⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎤ � �1 �2 ⋮ �� �

= ��(�0)�.

Matriks ��(�0)� disebut Matriks Jacobian dari fungsi �: ℝ� ⟶ ℝ� yang terdeferensial di �0 ∈ ℝ�, ��(�0) dinotasikan dengan ��(�0). Selanjutnya akan diberikan penjelasan mengenai proses linearisasi dari sistem persamaan diferensial non linear ke dalam sistem persamaan diferensial linear.

Diberikan sistem persamaan diferensial non linear (2.6), dengan � ∈ � ⊆

ℝ�,:� → ℝ, fungsi non linear dan kontinu. Diberikan pula �= (�1,�2, … ,�)�, �= (�1,�2, … ,�)� dan � ∈ ��(�). Misalkan �̅= (�̅1,�̅2, … ,�̅�)� adalah titik ekuilibrium dari Persamaan (2.6), maka pendekatan


(17)

17 linear untuk sistem diperoleh dengan menggunakan ekspansi Taylor disekitar titik ekuilibrium �̅= (�̅1,�̅2, … ,�̅)� yaitu

�1(�1,�2, … ,��)�=�1(�̅1,�̅2, … ,�̅�)�+��1��1(�̅1,�̅2, … ,�̅�)�(�1− �̅1) + … +����1

�(�̅1,�̅2, … ,�̅�)

(

�− �̅�) +��1

�2(�1,�2, … ,��)�=�2(�̅1,�̅2, … ,�̅�)�+��1��2(�̅1,�̅2, … ,�̅�)�(�1− �̅1) + … +����2

�(�̅1,�̅2, … ,�̅�)

(

�− �̅�) +��2

⋮ (2. 14)

��(�1,�2, … ,��)�=��(�̅1,�̅2, … ,�̅�)�+�����1(�̅1,�̅2, … ,�̅�)�(�1− �̅1) + … +

���

���(�̅1,�̅2, … ,�̅�) �(

�− �̅�) +���. Pendekatan linear untuk Sistem (2.6) adalah

�̇1=

��1

��1(�̅1,�̅2, … ,�̅�)�(�1− �̅1) +

��1

��2(�̅1,�̅2, … ,�̅�)�(�2− �̅2) + … +

��1

���(�̅1,�̅2, … ,�̅�)

(

�− �̅�) +��1

�̇2= ��2 ��1

(�̅1,�̅2, … ,�̅�)�(�1− �̅1) + ��2 ��2

(�̅1,�̅2, … ,�̅�)�(�2− �̅2) + … + ��2

���(�̅1,�̅2, … ,�̅�) �(

�− �̅�) +��1

⋮ (2. 15)

�̇�=����1�(�̅1,�̅2, … ,�̅�)�(�1− �̅1) +��2���(�̅1,�̅2, … ,�̅�)�(�2− �̅2) + … +�����

�(�̅1,�̅2, … ,�̅�)

(

�− �̅�) +��� ,

dengan �1,�2, … ,� merupakan bagian non linear dan dapat diabaikan karena nilai �1,�2, … ,�mendekati nol. Sehingga Sistem (2.15) dapat ditulis sebagai matriks seperti berikut :

� �̇1 �̇2 ⋮ �̇� �= ⎣ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎡��1

��1

(�̅1,�̅2, … ,�̅�)�

��2

��1

(�̅1,�̅2, … ,�̅)�

⋮ ���

��1

(�̅1,�̅2, … ,�̅�)�

��1

��2

(�̅1,�̅2, … ,�̅�)�

��2

��2

(�̅1,�̅2, … ,�̅)�

⋮ ���

��2

(�̅1,�̅2, … ,�̅�)� … …

��1

���(�̅1,�̅2, … ,�̅�) �

��2

���(�̅1,�̅2, … ,�̅�) �

⋮ ���

���

(�̅1,�̅2, … ,�̅�)�

⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎤ �

�1− ��1 �2− ��2

��− ���

�.

Misalkan �1 = �1− �̇1, �2 =�2− �̇2, …, � =� − �̇ , maka diperoleh

� �̇1 �̇2 ⋮ �̇� �= ⎣ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎡��1

��1

(�̅1,�̅2, … ,�̅)�

��2

��1

(�̅1,�̅2, … ,�̅)�

⋮ ���

��1

(�̅1,�̅2, … ,�̅)�

��1

��2

(�̅1,�̅2, … ,�̅)�

��2

��2

(�̅1,�̅2, … ,�̅)�

⋮ ���

��2

(�̅1,�̅2, … ,�̅)� … …

��1

���(�̅1,�̅2, … ,�̅�) �

��2

���(�̅1,�̅2, … ,�̅�) �

⋮ ���

���

(�̅1,�̅2, … ,�̅)�

⎦ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎤ � �1 �2 ⋮ �� �


(18)

18 dengan �(�(�̅) = ⎣ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎡����11

(�̅1,�̅2, … ,�̅�)�

��2 ��1

(�̅1,�̅2, … ,�̅�)�

⋮ ���

��1(�̅1,�̅2, … ,�̅�) �

��1 ��2

(�̅1,�̅2, … ,�̅�)�

��2 ��2

(�̅1,�̅2, … ,�̅�)�

⋮ ���

��2(�̅1,�̅2, … ,�̅�) � … … ⋱ … ��1

���(�̅1,�̅2, … ,�̅�) � ��2

���(�̅1,�̅2, … ,�̅�) � ⋮

���

���(�̅1,�̅2, … ,�̅�) � ⎦ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎤ .

�(�(�̅) adalah matriks Jacobian pada titik ekuilibrium

�̅= (�̅1,�̅2, … ,�̅)�. Jika �(�(�̅) tidak memiliki nilai eigen yang bernilai nol pada bagian realnya, maka sifat kestabilan sistem dapat dilihat dari

�̇=�(�(�̅))� . (2.16) Hasil linearisasi sistem dari Persamaan (2.6) berupa Persamaan (2.16). Selanjutnya, perilaku kestabilan sistem non linear di sekitar titik ekuilibrium dapat diselidiki dari perilaku linearisasi di sekitar titik yang sama, jika titik ekuilibrium dari sistem persamaan non linear tersebut hiperbolik. Berikut diberikan definisi titik ekuilibrium hiperbolik.

Definisi 2. 6 (Perko, 2000: 12)

Titik ekuilibrium �̅ ∈ ℝ� disebut titik ekulibrium hiperbolik dari sistem persamaan (2.6) jika bagian real nilai eigen dari �(�(�̅)) tidak sama dengan nol. Contoh 2.8

Diberikan sistem persamaan diferensial non linear

� ��1

�� =�1�2− �1

��2

�� = 4�12−2�2


(19)

19 Sistem (2.17) memiliki tiga titik ekuilibrium yaitu (0,0)�, dan (1,− 2)�. Akan dicari matriks ���(�̅)� dengan �̅1 = (0,0)�, dan �̅2 = (1,−2)�. Selanjutnya akan diidentifikasi untuk setiap titik ekuilibrium.

Penyelesaian :

Matriks Jacobian dari Sistem (2.17) adalah

��

��(�̅)� =� �

2 0 8�1 2�

. Matriks Jacobian untuk �̅1 = (0,0)�

�(�(0,0)�) =�0 0 0 2�. Akan dicari nilai eigen untuk �(�(0,0)�)

�0− �0 2− ��0 = 0 ⟺(1− �)(2− �) = 0.

Didapatkan dua nilai eigen, yaitu �= 0 dan � = 2. Berdasarkan yang diketahui, dapat disimpulkan bahwa titik ekuilibrium �̅1 = (0,0)� adalah titik ekulibrium nonhiperbolik karena ada nilai eigen nol dibagian realnya. Kemudian, Matriks Jacobian untuk �̅2 = (1,− 2)� adalah

�(�(1,−2)�) =�−2 0

8 2�.

Akan dicari nilai eigen untuk �(�(1,− 2)�)

�−2− � 0

8 2− ��= 0

⟺(−2− �)(2− �) = 0

Diperoleh dua nilai eigen, yaitu � =−2 dan � = 2. Dapat disimpulkan bahwa titik ekuilibrium �̅2 = (1,−2)� adalah titik ekulibrium hiperbolik karena tidak ada nilai eigen nol pada bagian realnya.


(20)

20 F. Kestabilan Titik Ekuilibrium

Kestabilan titik ekuilibrium dari suatu sistem persamaan diferensial linear maupun non linear diuraikan dalam definisi berikut.

Definisi 2.7 (Olsder dan Woude, 2004)

Diberikan sistem persamaan diferensial orde satu �̇=�(�) dan �(�,�0) adalah solusinya pada saat dengan kondisi awal �(0) =�0.

1. Vektor �̅ memenuhi �(�̅) = 0 dikatakan sebagai titik ekuilibrium.

2. Titik ekuilibrium �̅ dikatakan stabil jika diberikan � > 0, terdapat � =�(�) > 0 sedemikian sehingga jika ‖�0− �̅‖< � (dengan ‖∙‖ adalah norm pada ℝ�) maka ‖�(�,�0)− �̅‖ <� untuk � ≥0.

3. Titik ekuilibrium �̅ dikatakan stabil asimtotik jika titik-titik ekuilibriumnya stabil dan terdapat 1 > 0 sedemikian sehingga ����→∞‖�(�,�0)− �̅‖= 0, asalkan ‖�0− �̅‖< �1.

4. Titik ekuilibrium �̅ dikatakan tidak stabil jika titik ekuilibrium tidak memenuhi (2).

Berikut potret fase dari kestabilan titik ekuilibrium :

(a) Stabil (b) Tidak Stabil (c) Stabil Asimtotik Gambar 2. 1 Simulasi Kestabilan Titik Ekuilibrium

�̅ � �̅ �

�0

�0

�0

�̅ �

� �(,�0)

�(�,�0)


(21)

21 Matriks Jacobian ���(�̅)� dapat digunakan untuk menyelidiki perilaku kestabilan sistem non linear di sekitar titik ekuilibrium �̅, jika diketahui titik ekuilibrium sistem tersebut adalah titik ekuilibrium hiperbolik. Berikut diberikan teorema mengenai perilaku kestabilan suatu sistem non linear berdasarkan nilai eigen matriks Jacobian ��(�̅)�.

Teorema 2.2 (Olsder and Woude, 2004)

(i) Diberikan semua bagian real nilai eigen matriks Jacobian ���(�̅)� bernilai negatif, maka titik ekuilibrium �̅ dari sistem (2.17) stabil asimtotik lokal. (ii) Sementara, jika terdapat paling sedikit satu nilai eigen matriks Jacobian

���(�̅)� yang bagian realnya positif maka titik ekuilibrium �̅ dari sistem (2.17) tidak stabil.

Bukti :

(i) Diberikan sistem yang terlinearisasi pada titik ekuilibrium �̅ yaitu �̇=

�(�(�̅))� maka solusi sistem tersebut selalu memuat bentuk �ℜ�(��)� sehingga jika semua bagian real dari � bernilai negatif, maka untuk � → ∞ nilai

�ℜ�(�)� akan menuju nol. Dengan kata lain, saat � → ∞ solusi sistem akan menuju titik kesetimbangan, sehingga sistem tersebut stabil asimtotik lokal. (ii)Diberikan sistem yang terlinearisasi pada titik ekuilibrium �̅ yaitu �̇=

�(�(�̅))� maka solusi sistem tersebut selalu memuat bentuk �ℜ�(��)� sehingga

jika ada bagian real dari � bernilai positif ℜ�(�) > 0, maka untuk � → ∞ nilai �ℜ�(��)� akan menuju . Sehingga sistem tersebut tidak stabil.

Selanjutnya, diberikan pula teorema yang menyajikan sifat kestabilan suatu sistem �̇= �� dengan nilai eigen �1,�2, … ,� dimana (� ≤ �).


(22)

22 Teorema 2.3 (Olsder and Woude, 2004)

Diberikan sistem persamaan diferensial �̇=�� , dengan suatu matriks

��� yang mempunyai � nilai eigen berbeda 1,�2, … ,�� dengan (� ≤ �). 1. Titik ekuilibrium �̅= 0 dikatakan stabil asimtotik jika dan hanya jika

ℜ� (�) < 0 untuk setiap � = 1, 2, . . . ,�.

2. Titik ekuilibrium �̅= 0 dikatakan stabil jika dan hanya jika ℜ� (�)≤ 0 untuk setiap � = 1, 2, . . . ,� dan jika setiap nilai eigen , imajiner dengan

ℜ� (�) = 0 , maka multiplisitas aljabar dan geometri untuk nilai eigen

harus sama.

3. Titik ekuilibrium �̅ = 0 dikatakan tidak stabil jika dan hanya jika terdapat paling sedikit satu ℜ�(�) > 0 untuk � = 1, 2, . . .,

Bukti:

1. Bukti ke kanan

Akan dibuktikan bahwa jika titik ekuilibrium �̅= 0 stabil asimtotik, maka

ℜ��� < 0 untuk setiap � = 1, 2, . . . ,�..

Berdasarkan Definisi (2.9), titik ekuilibrium �̅= 0 dikatakan stabil asimtotik jika lim�→∞‖�(�,�0)− �̅‖= 0. Dalam artian untuk � → ∞, �(�,�0)akan menuju �̅ = 0. Karena �(�,�0) merupakan solusi dari sistem persamaan diferensial, maka �(�,�0) memuat �ℜ�(��)�, sehingga � harus bernilai negatif, agar �ℜ�(��)� menuju �̅= 0.

Bukti ke kiri

Akan dibuktikan bahwa jika ℜ�( �) < 0 untuk setiap = 1, 2, . . . ,� , maka titik ekuilibrium �̅= 0 stabil asimtotik.


(23)

23

�(�,�0) merupakan solusi dari sistem persamaan diferensial, maka

�(�,�0) selalu memuat �ℜ�(��)�. Jika ℜ� (

�) < 0, maka untuk � → ∞,

�(�,�0) akan menuju �̅= 0. Berdasarkan Definisi (2.7) dapat disimpulkan titik ekuilibrium �̅= 0 stabil asimtotik.

2. Bukti ke kanan

Akan dibuktikan bahwa jika titik ekuilibrium �̅= 0 stabil, maka ℜ�� ≤ 0 untuk setiap � = 1, 2, . . . ,�

Jika ℜ�( �) > 0, maka solusi persamaan diferensial �(�,�0) yang selalu memuat �ℜ�(��)� akan menuju (menjauh dari titik ekuilibrium �̅= 0) untuk

� → ∞, sehingga sistem tidak stabil. Hal ini sesuai dengan kontraposisi pernyataan jika titik ekuilibrium �̅= 0 stabil, maka ℜ�� ≤ 0 untuk setiap

� = 1, 2, . . . ,�. Jadi terbukti bahwa jika titik ekuilibrium �̅= 0 stabil, maka

ℜ��� ≤ 0 untuk setiap = 1, 2, . . . ,� .

Bukti ke kiri

Akan dibuktikan bahwa titik ekuilibrium �̅= 0 stabil jika dan hanya jika

ℜ� (�) ≤0 untuk setiap � = 1, 2, . . . ,�, dan terdapat ℜ�(�) = 0 dimana multiplisitas aljabar dan geometri untuk nilai eigen harus sama.

�(�,�0) adalah solusi dari sistem persamaan diferensial, maka �(�,�0) selalu memuat �ℜ�(��)�. Jika ℜ� () < 0 , maka titik ekuilibrium �̅= 0 stabil

asimtotik. Jika ℜ� (�) = 0, maka nilai eigen berupa bilangan kompleks murni. Menurut Luenberger (1979:85) dalam multiplisitas aljabar berhubungan dengan nilai eigen sedangkan geometri berhubungan dengan vektor eigen. Oleh karena itu, akan dibuktikan banyak nilai eigen dan vektor eigen adalah sama.


(24)

24 Ambil sembarang sistem pada ℝ2 yang memilki nilai eigen bilangan kompleks murni.

��1̇

�2̇ �= �

0 −�

� 0 � �

�1

�2�, dengan �> 0,�> 0 (2.18) Akan ditentukan nilai eigen dari Sistem (2.18)

|� − ��| = 0

�0 −�0 � − ��0 0��= 0

�−� −� −��= 0.

Diperoleh persamaan karakteristik

�2+��= 0. (2.19)

Akar-akar dari Persamaan (2.19) adalah

�1,2 =

±�−4��

2 =

±2����

2 = ±����

�1 =���� atau �2 =−����. Vektor eigen yang bersesuaian dengan �1. =����,

�−���� −�

� −����� �

�1

�2�= � 0 0� Matriks augmentasi dari sistem yaitu

�−���� −�

� −�����

0

0� �1 → �2

� � −����

−���� −� �

0

0� 1


(25)

25

� 1 −

�√�� �

−���� −� �

0

0� �����1+ �2

�1 −�√���

0 0 �

0 0� diperoleh

�1 −�√���

0 0 � �

�1

�2�= � 0 0�

�1−�√�� �2 = 0

Misalkan �2 =� maka �1 =�√��

� � sehingga, �= ��1

2�= �

���� �

1

� �.

Diambil �= 1 diperoleh ��1 2�=�

�√�� �

1 �

.

Sehingga vektor eigen yang bersesuaian dengan �1 =���� adalah

�= �

�√�� �

1

�.

Vektor eigen yang bersesuaian dengan �2 = −����

����� −�

� ������ �

�1

�2�=� 0 0� Matriks augmentasi dari sistem yaitu

����� −�

� �����

0


(26)

26 � � ���� ���� −� � 0 0� 1

��1

� 1

�√�� �

���� −��

0

0� − �����1+�2

�1 �√���

0 0 �

0 0� Diperoleh,

�1 �√���

0 0

� ��1

�2�=� 0 0�

�1+�√�� �2 = 0

Misalkan �2 =� maka �1 = −�√�� � sehingga

��1

�2�=�−

�√�� �

1 � �

Diambil �=−1 maka diperoleh ��1 2�=�

�√�� � −1�

.

Vektor eigen yang bersesuaian dengan �2 = −���� adalah

�= �

�√�� � −1

�.

Sehingga terbukti banyaknya nilai eigen sama dengan banyaknya vektor eigen. 3. Bukti ke kanan

Akan dibuktikan bahwa jika titik ekuilibrium x�= 0 tidak stabil maka


(27)

27 Titik ekuilibrium tidak stabil apabila � ⟶ ∞,�(�,�0) menuju ∞. Hal tersebut dapat dipenuhi jika ℜ�(�1) > 0.

Bukti ke kiri

Akan dibuktikan ika ℜ�(�1) > 0,∀�= 1, 2, 3, … ,� maka titik ekuilibrium x�= 0 tidak stabil.

Apabila ℜ�(�1) > 0,�(�,�0) yang memuat �ℜ�(�1)� akan selalu menuju ∞. Sehingga itu, titik ekuilibrium x�= 0 tidak stabil.

Titik ekuilibrium �̅�ℝ� disebut stabil asimtotik lokal apabila semua nilai eigen matriks Jacobian mempunyai bagian real negatif.

G. Bilangan Reproduksi Dasar

Bilangan reproduksi dasar merupakan bilangan yang menyatakan banyaknya jumlah individu rentan yang dapat terinfeksi penyakit akibat tertular oleh individu terinfeksi.

Definisi 2.8 (Diekmann & Heesterbeek, 2000)

Bilangan reproduksi dasar didefinisikan sebagai jumlah rata-rata kasus sekunder yang disebabkan oleh satu individu terinfeksi selama masa terinfeksinya dalam keseluruhan populasi rentan.

Bilangan Reproduksi dasar dinotasikan dengan �0. Jika �0 < 1 maka satu tanaman padi yang terinfeksi akan menginfeksi kurang dari satu tanaman padi rentan sehingga virus tungro kemungkinan akan hilang dari populasi. Sebaliknya jika �0 > 1 maka satu tanaman padi yang terinfeksi oleh virus tungro akan menginfeksi lebih dari satu tanaman padi yang rentan sehingga


(28)

28 individu yang terinfeksi virus tungro ada dalam populasi atau virus tungro akan menyebar ke populasi.

Misalkan

�= kelas terinfeksi

�= kelas tidak terinfeksi

Selanjutnya dimisalkan variabel � sebagai subpopulasi kelas terinfeksi dan � sebagai subpopulasi kelas tidak terinfeksi (rentan dan atau sembuh), dan � ∈ ℝ�, dan � ∈ ℝ�, untuk �,� ∈ ℕ , sehingga

�̇=�(�,�)− �(�,�), dengan �= 1, 2, … ,�

�̇=�(�,�), dengan � = 1,2, … ,�

dengan � adalah laju infeksi sekunder yang menambah populasi kelas terinfeksi dan � adalah laju perkembangan penyakit, kematian, dan atau kesembuhan yang mengurangi kelas terinfeksi.

Bilangan reproduksi dasar (�0) dapat ditentukan dengan linearisasi dari sistem persamaan diferensial yang didekati pada titik ekuilibrium bebas penyakit. Persamaan kompartemen terinfeksi yang telah dilinearisasi dapat dituliskan sebagai berikut

�̇= (� − �)� (2.20)

dengan

�, � : matriks berukuran ��� ,

�= ���

���(0,�0)

�= �����

� (0,�0).


(29)

29

�=��−1,

dengan � dinyatakan sebagai next generation matrix. Nilai harapan dari infeksi pada populasi rentan adalah nilai eigen terbesar dari matriks � (Driesse dan Watmough, 2001) sehingga

�0 =�(�) =�(��−1). (2.21)

Contoh 2.9

Diberikan sistem persamaan diferensial berikut

��()

�� =� − ��(�)�(�)− �(�) ��()

�� =��(�)�(�)− ��(�)− ��(�) (2.22)

��()

�� = ��(�)− ��(�)

dengan

�(�) : populasi individu rentan pada saat �

�(�) : populasi individu terinfeksi pada saat t

�(�) : populasi individu sembuh dari infeksi pada saat �

Sistem Persamaan (2.22) memiliki titik ekuilibrium bebas penyakit

�0 = (1, 0, 0). Next generation matrix dapat diperoleh dari kelas �, sehingga kelas

� dapat dituliskan sebagai berikut :

�̇(�) =��(�,�),�� − �((�,�),�) (2.23) dengan

�= [��(�)�(�)]


(30)

30 Maka hasil linearisasi dari � dan � masing-masing adalah � = [��(�)] dan

�= [�+�]. Sehingga diperoleh Next generation matrix berikut

�=��−1 = [��(�)]� 1

�+��=

��()

�+�. (2.24)

Selanjutnya substitusikan nilai titik ekuilibrium bebas penyakit �0 = (1,0,0) ke Persamaan (2.24) diperoleh

�= �

�+� .

Maka diperoleh nilai �0 dari Sistem (2.22) adalah

�0 =�(�) =+ . H. Kriteria Routh-Hurwitz

Nilai eigen dapat diperoleh dengan menentukan akar-akar persamaan karakteristik �(�) = |�� − �| = �� +�1��−1+. . +��. Namun kadang kala, nilai eigen dari sistem persamaan sulit untuk ditentukan. Diperlukan adanya suatu kriteria yang dapat digunakan untuk mengetahui akar-akar persamaan bernilai negatif atau ada akar persamaan yang bernilai positif. Tanda negatif ataupun positif digunakan untuk menentukan kestabilan dari suatu titik ekuilibrium. Analisis kestabilan titik ekuilibrium dapat menggunakan kriteria Routh-Hurwitz sebagai alternatif menentukan tanda bagian real dari nilai-nilai eigen Matrik Jacobian.

Diberikan suatu persamaan karakteristik dari matriks ����,

�(�) =�0�� +�1��−1+⋯+��−1�+��, (2.25) dengan � ≠0,�= 1,2, 3, … ,� .


(31)

31 Menurut Olsder (2004:60), kriteria Routh-Hurwitz dipakai untuk mengecek kestabilan secara langsung dengan mempertimbangkan nilai koefisien � tanpa menghitung akar-akar dari Persamaan (2.25). Koefisien-koefisien dari Persamaan (2.25) dapat disusun ke dalam sebuah tabel Routh-Hurwitz berikut ini.

Tabel 2.1 Tabel Routh-Hurwitz

�0 �2 �4 …

�1 �3 �5 …

�1 �2 �3 …

�1 �2 �3 …

⋮ ⋮ ⋮

Dimana koefisien �1,�2,�1,�2 didefinisikan sebagai

1

=

1�2−�0�3

�1

2

=

�1�4−�0�5 1

1

=

�1�3−�1�2

�1

2

=

�1�5−�1�3

�1

.

Perhitungan pada tabel Routh-Hurwitz terus dilakukan sampai kolom pertama tabel Routh-Hurwitz bernilai nol. Matriks ��� memiliki nilai eigen yang bagian realnya negatif, jika dan hanya jika semua nilai atau elemen pada kolom pertama tabel Routh-Hurwitz bertanda sama. Berdasarkan biimplikasi di atas dapat disimpulakan jika ada elemen pada kolom pertama Tabel 2.1 bertanda tidak sama maka Matriks ���� memiliki nilai eigen yang bagian realnya positif dan jika


(32)

32 Matriks ���� memiliki nilai eigen yang bagian realnya positif maka ada elemen pada kolom pertama Tabel 2.1 bertanda tidak sama.

Menurut Olsder (2004: 61) akar-akar dari Polinomial (2.25) semuanya mempunyai bagian real bernilai negatif jika dan hanya jika Tabel 2.1 terdiri dari n+1 baris dan semua elemen pada kolom pertama dari tabel bertanda sama (semua elemen dari kolom pertama bernilai positif atau negatif).

Contoh 2.10

�(�) =�3+ 5�2+ 2� −4. (2.26)

Selidiki apakah persamaan karakteristik diatas termasuk kriteria Routh-Hurwitz. Penyelesaian

Berdasarkan Persamaan (2.26) maka �0 = 1,�1 = 5,�2 = 2 dan �3 =−4. Akan dibuktikan semua matriks Routh-Hurwitznya adalah positif.

�0 = 1 > 0

�1 = 5 > 0

�1 = �1�2−�0�3 1

= 5(2)−1(−4)

1

�1 = 14 > 0

1

=

�1�3−�1�2 1

= 14(−4)−0

14


(33)

33 Karena �1 < 0 maka persamaan karakteristik di atas tidak memenuhi kriteria Routh-Hurwitz.

Contoh 2.11

�(�) =�3+ 5�2+ 2�+ 5. (2.27)

Selidiki apakah persamaan karakteristik diatas termasuk kriteria Routh-Hurwitz. Penyelesaian

Berdasarkan Persamaan (2.27) maka �0 = 1 �1 = 5,�2 = 2 dan �3 = 5. Akan dibuktikan semua matriks Routh-Hurwitznya adalah positif.

�0 = 1 > 0

�1 = 5 > 0

�1 = �1�2−�0�3 1

= 5(2)−1(5) 1

�1 = 5 > 0

1

=

�1�3−�1�2 1

= 5(5)−0

5

�1 = 5 > 0.

Karena �0 > 0,�1, > 0�1, > 0�1 > 0 , maka berdasarkan Tabel 2.1 persamaan karakteristik diatas memenuhi kriteria Routh-Hurwitz.


(34)

34 I. Model Matematika

Definisi 2.9 (Widowati & Sutimin, 2007: 1)

Model matematika merupakan representasi matematika yang dihasilkan dari pemodelan matematika. Pemodelan matematika merupakan suatu proses merepresentasikan dan menjelaskan permasalahan pada dunia nyata ke dalam pernyataan matematis.

Menurut Widowati & Sutimin (2007:3) proses pemodelan Matematika dinyatakan dalam diagram alur sebagai berikut :

Dunia Nyata Dunia Matematika

Berdasarkan Gambar 2.2, diberikan langkah-langkah pemodelan matematika menurut Widowati & sutimin (2007:3-5)

1. Menyatakan Permasalahan Nyata Ke Dalam Permasalahan Matematika

Memodelkan permasalahan dunia nyata ke dalam bahasa matematis. Langkah ini meliputi identifikasi variabel permasalahan dan membentuk beberapa hubungan antar variabel yang dihasilkan dari permasalahan tersebut.

Masalah dunia nyata

Solusi dunia matematika

Interpretasi Hasil Masalah dalam

matematika

Menyelidiki sifat dari solusi Formulasi Persamaan

/ pertidaksamaan Membuat Asumsi


(35)

35 2. Membuat Asumsi

Asumsi dalam pemodelan matematika memperlihatkan proses berpikir sehingga mendapatkan model yang sistematis.

3. Formulasi persamaan/pertidaksamaan

Formulasi model merupakan langkah yang terpenting, oleh karena itu diperlukan pengujian kembali asumsi-asumsi yang digunakan, agar didapatkan formulasi model yang tepat dan realistis.

4. Menyelidiki sifat dari solusi

Menyelidiki sifat dari solusi diartikan sebagai pengecekan apakah solusi sistem stabil atau tidak stabil.

5. Interpretasi Hasil

Interpretasi hasil merupakan proses menghubungkan formula matematika dengan permasalahan dunia nyata. Interpretasi hasil dapat berupa grafik yang digambarkan berdasarkan solusi yang diperoleh dan selanjutnya diinterpretasikan sebagai solusi permasalahan dalam dunia nyata.


(36)

36 BAB III

PEMBAHASAN

A. Formulasi Model Matematika

Secara umum virus merupakan partikel yang tersusun atas elemen genetik (genom) yang mengandung salah satu asam nukleat yaitu asam deoksiribonukleat (DNA) atau asam ribonukleat (RNA) yang dapat berada dalam dua kondisi yang berbeda, yaitu secara intraseluler dalam tubuh inang dan ekstrseluler diluar tubuh inang.

Virus dapat menyerang manusia, hewan maupun tanaman. Salah satu virus pada tanaman yaitu virus Tungro yang menjadi penyebab penyakit Tungro pada tanaman padi. Virus Tungro ditularkan oleh wereng hijau (Nephotetix Vireschens) secara bersamaan tanpa multiplikasi virus dalam tubuh vektornya (Hibino, 1996). Masa terpanjang vektor mampu menularkan virus berkisar antara 5−6 hari (Wathanakul dan Weerapat, 1969 dalam Widiarta, 2005). Lama waktu yang dibutuhkan serangga untuk memperoleh virus berkisar 5−30 menit (Rivera dan Ou ,1965; Singh 1969 dalam Widiarta, 2005), sedangkan waktu yang dibutuhkan untuk menularkan virus juga singkat, hanya 7−30 menit (Ling, 1968; Lim, 1969 dalam Widiarta, 2005). Periode inkubasi virus dalam tanaman berkisar 6−15 hari (Rivera dan Ou, 1965;Wathanakul dan Weerapat, 1969 dalam Widiarta, 2005).

Model matematika pada penyebaran virus tungro ini, populasi tanaman pada waktu t terbagi dalam 3 populasi, yaitu susceptible (rentan), infectious


(37)

37 (terinfeksi) dan virus. Populasi Susceptible yang disimbolkan dengan S, adalah populasi tanaman yang rentan terhadap virus. Populasi Infectious yang disimbolkan dengan I, adalah populasi tanaman yang telah terinfeksi virus dan dapat menularkan virusnya ke tanaman lain dengan bantuan vektor. Populasi Virus yang disimbolkan dengan V, adalah populasi virus yang menginfeksi tanaman.

Untuk mempermudah proses memodelkan penyebaran virus Tungro, diperlukan asumsi-asumsi. Berikut asumsi-asumsi yang digunakan:

1. Hanya tanaman padi rentan yang menghasilkan 18 anakan padi selama masa tanam.

2. Anakan padi masuk ke dalam kelompok tanaman rentan. 3. Infeksi virus tungro terjadi secara internal pada tanaman padi. 4. Tidak ada mikroorganisme lain yang menyerang tanaman padi. 5. Tanaman padi terinfeksi virus tungro pada umur < 3 mst 6. Pemberian pestisida dilakukan pada tanaman umur < 3 mst

7. Kepadatan tanaman rentan bertambah dengan laju konstan sebesar α.

8. Suatu tanaman rentan (S) akan terinfeksi virus tungro yang melalui vektor dengan laju sebesar β, jika terjadi kontak dengan virus (V).

9. Jika tanaman sudah terinfeksi, maka tanaman berada pada kelas I.

10.Virus bebas berkembang biak dari tanaman yang terinfeksi dengan laju sebesar μn.

11.Pestisida dapat menghambat penyebaran virus tungro oleh vektor wereng hijau.


(38)

38 Berikut ini didefinisikan variabel dan parameter yang digunakan dalam model penyebaran virus tungro pada tanaman padi.

Tabel 3.1. Daftar Variabel

Variabel Keterangan Sayarat Satuan

S(t) Banyaknya rumpun

tanaman yang rentan pada waktu t

S(t) ≥ 0 ������

I(t) Banyaknya rumpun

tanaman yang terinfeksi virus pada waktu t

I(t) ≥ 0 ������

V(t) Banyaknya virus tungro pada rumpun tanaman pada waktu t

V(t) ≥ 0 �����

Tabel 3.2. Daftar Parameter

Parameter Keterangan Syarat Satuan

α Laju kelahiran alami

tanaman rentan per hari.

α > 0 ������

ℎ��� β Laju perpindahan satu virus

tungro ke tanaman rentan yang melalui vektor per hari.

β > 0 ℎ���−1×�����−1

δ Laju kematian alami

tanaman rentan per hari.

δ > 0 ℎ���−1

� Laju kematian tanaman

terinfeksi per hari.

� > 0 ℎ���−1

μ Peluang virus tungro pada tanaman terinfeksi terduplikasi per hari.

0<μ ≤1 ℎ���−1 n Banyaknya duplikasi virus

tungro.

n > 0 �����

������

1 Laju kematian alami virus tungro per hari.

1> 0 ℎ���−1

2 Laju kematian virus tungro akibat pestisida per hari.


(39)

39 Berdasarkan karakteristik penyebaran virus dan masalah yang diasumsikan, dapat dibentuk model penyebaran virus tungro pada tanaman padi seperti berikut :

Gambar 3.1. Diagram model penyebaran virus tungro pada tanaman padi

Berdasarkan diagram model pada Gambar 3.1 dapat ditentukan hal-hal yang mempengaruhi proses penyebaran virus tungro. Selanjutnya akan dijelaskan proses pembentukan model penyebaran virus tungro pada tanaman padi untuk tiap-tiap kelas.

1. Perubahan banyaknya tanaman susceptible terhadap waktu (t)

Pertambahan banyaknya tanaman kelas susceptible dipengaruhi oleh bertambahnya tanaman rentan sebesar �. Sementara itu, pengurangan banyaknya tanaman dipengaruhi oleh kematian alami dari tanaman susceptible per satuan waktu (δS) dan banyaknya tanaman susceptible

α

I

μ

nI

μ

nI

β

SV

β

SV

(

1

+

2

)V

δ

S

I

V

S


(40)

40 yang terinfeksi virus tungro per satuan waktu (βSV). Oleh karena itu diperoleh persamaan diferensial berikut

��

�� = � − ��� − ��. (3.1)

2. Perubahan banyaknya tanaman infectious terhadap waktu (t)

Tanaman susceptible yang mulai terinfeksi virus tungro per satuan waktu (βSV) mempengaruhi pertambahan populasi infectious (terinfeksi). Banyaknya tanaman terinfeksi yang mati per satuan waktu (�I) mempengaruhi pengurangan populasi infecious. Sehingga diperoleh persamaan diferensial berikut

��

�� = ��� − ��. (3.2)

3. Perubahan banyaknya partikel virus terhadap satuan waktu (t)

Banyaknya virus tungro akan bertambah dari banyaknya tanaman yang terinfeksi, yang dinyatakan dengan � dikalikan dengan banyaknya duplikasi virus tungro baru per rumpun dalam t hari yang dinyatakan dengan �. Sementara itu, kematian alami virus yang dinyatakan dengan

1 , kematian virus akibat pestisida yang dinyatakan dengan

2 dan partikel virus yang menginfeksi tanaman rentan yang melalui vektor sebesar � akan mengurangi populasi virus pada tanaman terinfeksi. Sehingga diperoleh persamaan diferensial berikut

��

�� = ��� −

1� −

2� − ���. (3.3)


(41)

41 penyebaran virus tungro pada tanaman padi dapat dimodelkan dalam bentuk sistem persamaan diferensial non linear orde satu seperti berikut:

a. ��

�� = � − ��� − ��

b. ��

�� = ��� − ��

c. ��

�� = ��� −

1� −

2� − ���. (3.4)

B. Titik Ekuilibrium

Titik ( S,I,V) merupakan titik-titik ekuilibrium dari Sistem (3.4) jika memenuhi persamaan ��

�� =

�� �� =

��

�� =0. Titik-titik ekuilibrium dari Sistem (3.4)

disajikan dalam teorema berikut : Teorema 3.2.1

(i) Jika I= 0 maka Sistem (3.4) memiliki titik ekuilibrium bebas penyakit yaitu

�0 = (�,�,�) =� �,0,0 �.

(ii) Jika I 0 maka Sistem (3.4) memiliki titik ekuilibrium endemik 1 = (�∗,�∗,�∗)dengan

�∗ = �(�1+�2)

�(�� −�)

�∗ =��(�� −� )−�� (�1+�2)

��(�� −� )

�∗ =��(�� −� )−�� (�1+�2)

�� (�1+�2) .

Bukti

Sistem (3.4) akan mencapai titik ekuilibrium jika ��

�� =

�� �� =

��

�� =0, maka Sistem


(42)

42

� − ��� − ��=0. (3.4.1)

��� − � � =0. (3.4.2)

��� −

1� −

2� − ��� =0. (3.4.3) (i) Jika I= 0, maka dari Persamaan (3.4.2) diperoleh

���=0

�= 0, (3.5)

didapat nilai V= 0.

Substitusi Persamaan (3.5) ke Persamaan (3.4.1) diperoleh

� − ��=0

��= �

�=�

� , (3.6)

diperoleh nilai �= � .

Sehingga didapat titik ekuilibrium bebas penyakit �0 = (�,�,�) =��

�,0,0�.

Jadi terbukti bahwa I = 0 pada Sistem (3.4) memiliki titik ekuilibrium bebas penyakit yaitu �0 = (�,�,�) =��

�,0,0�.

(ii)Jika I≠ 0, maka dari Persamaan (3.4.1) diperoleh

� − ��� − ��=0

� − ��=���

�= �−��

�� . (3.7)

Berdasarkan Persamaan (3.7) diperoleh �= �−��

�� . Jika I≠ 0 dan � = �−��

��


(43)

43

��� − ��= 0

�� ��−���� � − ��= 0

� − �� − ��= 0

��= � − ��

�=�−��

� . (3.8)

Substitusikan Persamaan (3.7) dan (3.8) ke Persamaan (3.4.3), maka diperoleh

��� −

1� −

2� − ��� =0

�� ��−�� � −(

1+

2)��−���� � − �� ��−���� �= 0

��

� (� − ��)− �

�1+�2

�� �(� − ��)−(� − ��) (� − ��)���

� −1� − �

�1+�2

�� �(� − ��) =0 (� − ��)��� −�

� � − �

�1+�2

�� �(� − ��) =0 (� − ��)���� −�

� � − �

�1+�2

�� ��=0.

Saat ���� −�

� � − �

�1+�2

�� �� ≠ 0 maka (� − ��) =0,yaitu �= �

� . Ini berarti I =

0 dan V = 0, sehingga diperoleh �0 pada bagian (i). Selanjutnya, (� − ��)≠ 0 maka ���� −�

� � − �

�1+�2

�� ��=0 ���� −� � − ��1+�2

�� ��= 0 ��� −� �=��1+�2

�� � ��= �(�1+�2)


(44)

44

�= 1 ��

�(�1+�2)

�� −� � �=�(�1+�2)

�(�� −�) . Sehingga diperoleh

�∗ =�(�1+�2)

�(�� −�) . (3.9)

Selanjutnya, substitusikan Persamaan (3.9) ke Persamaan (3.7), diperoleh

=

�−��

��

=

�−��

�(1+2)

�(�� −�)� ���(�1+�2)

�(�� −�)�

=

�(�(�� −�))−�(�(�1+2))

�(�� −�)

�(1+2) (�� −�)

=

��(�� −�)−��(1+2)

�(�� −�)

�(1+2) (�� −�)

=���(�� −�)−��(�1+�2)

�(�� −�) � �

�� −� �(�1+�2)�

=���(�� −�)−��(�1+�2)

� � �

1 �(�1+�2)�

=���(�� −�)−��(�1+�2)

(�1+�2) �. (3.10)

Substitusikan Persamaan (3.9) ke Persamaan (3.8), sehingga diperoleh

� =�−��

=

�−���

(1+2)

�(�� −�)�

=

��(�� −�)−�(�(1+2))

�(�� −�)


(45)

45

=

��(�� −�)−�(�(�1+�2))

��(�� −�)

=

��(�� −�)−��(�1+�2)

��(�� −�)

.

(3.11)

Berdasarkan Persamaan (3.9), (3.10), (3.11) di dapatkan titik ekuilibrium endemik �1 = (�∗,�∗,�∗)dengan

�∗ =�(�1+�2)

�(�� −�)

�∗ =��(�� −�)−��(�1+�2)

��(�� −�)

�∗ =��(�� −�)−��(�1+�2)

��(�1+�2) . (3.12)

Jadi terbukti bahwa I ≠ 0 pada Sistem (3.4) memiliki titik ekuilibrium endemik �1 = (�∗,�∗,�∗)

= ��(�1+�2)

(�� −�),

��(�� −�)−��(�1+�2)

��(�� −�) ,

��(�� −�)−��(�1+�2)

��(�1+�2) �.

C. Bilangan Reproduksi Dasar

Bilangan reproduksi dasar merupakan angka harapan dari suatu kasus baru (sekunder) yang disebabkan oleh individu yang terinfeksi (kasus primer) dalam suatu populasi individu rentan. Jika �0 < 1, tidak akan terjadi endemik. Dalam artian, penyakit tidak menyerang populasi, namun jika �0 >1 akan terjadi endemik. Dalam artian, penyakit sangat mungkin untuk menyebar.

Penentuan bilangan reproduksi dasar (�0) digunakan metode next generation matrix dari Sistem (3.4). Pada model ini, kelas terinfeksi adalah Infectious dan Virus, sehingga persamaan diferensial yang digunakan sebagai berikut:


(46)

46

��

�� = ��� −

� (3.4.2)

��

�� = ��� −

1� −

2� − ���, (3.4.3)

maka diperoleh

�= ����

���� dan �=�−���+ (

�1+

2)��. Dimana

� = Laju infeksi yang menambah populasi kelas terinfeksi..

� = Laju perkembangan virus, dan kematian yang

mengakibatkan berkurangnya populasi dari kelas terinfeksi.

Kemudian � dan � dilinearisasi. Hasil masing-masing linearisasinya dengan titik ekuilibrium disease free �0 = (�,0,0) adalah

�= �0 ��

0 ��� dan � =�−��

1+0

2� . Sehingga didapat �−1

�−1= 1 �(�1+�2)�

1+

2 0

��

= � �1+�2

�(�1+�2) 0

��

�(�1+�2)

� �(�1+�2)

= � 1

� 0

��

�(�1+�2)

1 (�1+�2)

�.


(47)

47 �=��−1=�0 ��

0 ���

⎣ ⎢ ⎢ ⎢

1 0

��

(

1+

2)

1

(

1

+

2

)

⎥ ⎥ ⎥ ⎤

=

��(��)

�(�1+�2)

��

(�1+�2)

��(��)

�(�1+�2)

��

(�1+�2)

.

(3.13)

Pada awal kemunculan virus dalam populasi, hampir semua tanaman rentan terhadap penyakit, sehingga nilai S pada Persamaan (3.6) dapat didekati menggunakan titik ekuilibrium S saat bebas penyakit. Dengan mensubstitusi Persamaan (3.6) ke dalam Persamaan (3.13), diperoleh

=

��−1

=

��(��)

��(�1+�2)

�� �(�1+�2)

��(��)

��(�1+�2)

�� �(�1+�2)

.

Akan ditentukan nilai eigen dari �= ��−1 �� − ��−1 = �� 0

0 �� − �

��(��)

��(�1+�2)

�� �(�1+�2)

��(��)

��(�1+�2)

�� �(�1+�2)

�� − ��−1 = � −

��(��)

��(�1+�2) −

�� �(�1+�2)

− ��(��)

��(�1+�2) � −

�� �(�1+�2)

� .

Maka persamaan karakteristik �� − ��−1 adalah

det(�� − ��−1) =0

det(�� − ��−1) =�� −

��(��)

��(�1+�2) −

�� �(�1+�2)

− ��(��)

��(�1+�2) � −

�� �(�1+�2)

�=0.

Didapat

�� −��((��)

1+�2)� �� −

��

�(�1+�2)� − �−

��(��)

��(�1+�2)� �−

��

�(�1+�2)�= 0


(48)

48

�2 ���(��)

��(�1+�2)−

���

�(�1+�2)=0

� �� −��(��()−��(�)

1+�2) �=0.

Maka � =0 atau

�= ��(��)−��(�) ��(�1+�2)

.

Menurut Definisi (2.8), bilangan reproduksi dasar didefinisikan sebagai nilai eigen terbesar dari next generation matrix, maka diperoleh bilangan reproduksi dasar dari Sistem 3.4 yaitu:

�0 =�(�) =��(��()−��(�)

1+�2)

. (3.14)

Ini artinya, satu tanaman terinfeksi memproduksi �(�� −�)

�(�1+�2) virus tungro selama periode infeksi 1

� . Sedangkan satu partikel virus tungro menginfeksi

��(�� −�)

�(1+�2)

tanaman rentan selama periode infeksi 1

�1+�2.

D. Kestabilan Titik Ekuilbrium

Pada bagian ini akan dilakukan analisa kestabilan titik ekuilibrium Sistem (3.4). Kestabilan titik ekuilibrium dari Sistem (3.4) disajikan dalam teorema berikut:

Teorema 3.2.2

(i) Jika 0 < 1maka titik ekuilibrium bebas penyakit 0 = (�,�,�) = ��,0,0� stabil asimtotik lokal.

(ii) Jika 0 > 1maka titik ekuilibrium bebas penyakit 0 = (�,�,�) = ��,0,0� tidak stabil.


(49)

49 Bukti

Sistem (3.4) didefinisikan sebagai :

�(�,�,�) =� − ��� − ��

�(�,�,�) =��� − � �

ℎ(�,�,�) =��� − �1� − �2� − ���. Maka matriks jacobian dari sistem di atas adalah :

�= ⎣ ⎢ ⎢ ⎢ ⎡��(���,�,�) ��(�,�,�) �� ��(�,�,�) �� ��(�,�,�) �� ��(�,�,�) �� ��(�,�,�) �� �ℎ(�,�,�)

��

�ℎ(�,�,�)

��

�ℎ(�,�,�)

�� ⎦ ⎥ ⎥ ⎥ ⎤ =�

−�� − � 0 −��

�� −� ��

−�� �� −(�1+�2)− ��

�. (3.15)

Akan ditunjukkan bahwa jika �0 < 1maka titik ekuilibrium bebas penyakit

�0 = (�,�,�) =��,0,0� stabil asimtotik lokal.

Substitusi titik ekuilibrium bebas penyakit �0 = (�,�,�) =��

�,0,0�

ke Persamaan (3.15), maka diperoleh matriks Jacobian disekitar titik ekuilibrium

�0

�(�0) = ⎣ ⎢ ⎢ ⎢

⎡−� 0 −���

0 −� ��

0 �� −(�1+�2)−�� ⎦⎥

⎥ ⎥ ⎤

.

Nilai eigen dari matriks �(�0), dapat dicari dengan menentukan ���(�(�0)− ��) =0, dengan � adalah nilai eigen dan � adalah matriks identitas. Sehingga diperoleh:


(50)

50 ⟺ �� ⎣ ⎢ ⎢ ⎢

⎡−� 0 −���

0 −� ��

0 �� −(�1+�2)−�� ⎦⎥

⎥ ⎥ ⎤

− � �10 0 01 0 0 0 1���

=0 ⟺ �� ⎣ ⎢ ⎢ ⎢

⎡−� 0 −���

0 −� ��

0 �� −(�1+�2)−�� ⎦⎥

⎥ ⎥ ⎤

− �� 0 00 � 0 0 0 ����

=0

⟺ �

�−� − � 0 −

�� �

0 −� − � ��

0 �� −(�1+�2)−

�� � − �

� �

= 0

⟺ −( �+�)�(−� − �)�−(�1+�2)−�� − �� − �� ��� ��=0

⟺ −( �+�)����1+��2+�� �

� + ��+��1+��2+

�� � � +�

2� −����

� �= 0 ⟺ −( �+�)��2+��+

1+�2+�� � �+ (�1+�2)�+�� � −���� �= 0 ⟺ −( �+�)��2+��+

1+�2+�� � �+�(�1+�2)−�� (�� −�)

� �=0.

(3.16)

Persamaan (3.16) dapat ditulis menjadi

−( �+�)(�2+

1�+�2) =0 (3.17)

dengan

�1 = �+�1+�2+��

�2 = �(�1+�2)−

��(�� −�)

� .

Berdasarkan Persamaan (3.16), diperoleh nilai eigen � = −�. Karena � bernilai positif, maka bagian real dari kedua nilai eigen tersebut adalah negatif.


(51)

51 Sementara untuk nilai eigen yang lainnya, akan digunakan kriteria Routh-Hurwitz untuk melihat tipe kestabilan dari persamaan karakteristik

�0�2+�1�+�2, (3.18)

dengan

�0 = 1 �1 = �1

�2 =�2.

Akan ditunjukkan Persamaan (3.18) memenuhi syarat kriteria Routh-Hurwitz dimana �0 > 0,�1 > 0,�2 > 0.

Terdapat

�0 = 1 , jelas �0 > 0. �1 = �1

�1 = �+�1+�2+��

�1 > 0, karena parameter �,�1,�2,�,�,� bernilai positif.

�2 =�2

�2 =�(�1+�2)−�� (�� −�)

=�(�1 +�2)−(�(�1+�2)�0)

=�(�1 +�2)(1− �0).

Menurut yang diketahui �0 < 1, diperoleh �0 > 0,�1 > 0 dan �2 > 0. Karena �0,�1dan �2 bernilai positif, maka semua nilai eigen dari Persamaan (3.18) bagian realnya bernilai negatif, sehingga titik ekuilibrium bebas penyakit �0 = (�,�,�) =��


(52)

52 Sementara itu, jika diketahui, �0 >1, maka diperoleh �2< 0. Akar-akar persamaan (3.18) akan berbeda tanda yaitu �1 <0 dan �2 > 0 atau sebaliknya. Sehingga, dapat dikatakan bahwa jika �0 > 1, maka Persamaan (3.18) terdapat nilai eigen yang bagian realnya bernilai positif. Oleh karena itu, titik ekuilibrium bebas penyakit �0 = (�,�,�) =��

�,0,0� tidak stabil.

Teorema 3.2.3

Jika 0 > 1maka titik ekuilibrium endemik 1 = (�∗,�∗,�∗)stabil asimtotik lokal dengan

�∗ = �(�1+�2)

�(�� −�)

�∗ =��(�� −�)−��(�1+�2)

��(�� −�)

�∗ =��(�� −�)−��(�1+�2)

��(�1+�2)

. Bukti

Substitusi titik ekuilibrium dalam kondisi endemik �1 = (�∗,�∗,�∗) =��(�1+�2)

(�� −�),

��(�� −�)−��(1+�2)

��(�� −�) ,

��(�� −�)−��(1+�2)

��(�1+�2) �, ke Persamaan (3.15), diperoleh :

�(�1) = ⎣ ⎢ ⎢ ⎢

⎡ −���((1�� −+�2�)) 0 −

�(1+�2)

(�� −�)

��(�� −�)

�(1+�2) − � −

�(�1+�2) (�� −�)

− ���((�� −�)

1+�2) − �� �� −

(�1+�2)−�

(1+�2)

(�� −�)⎦

⎥ ⎥ ⎥ ⎤

. (3.19)

Diperhatikan Persamaan (3.12) yaitu persamaan untuk �0, dimana

�0 = ��

(��)− ��(

)

(

1+�2) ⟺ �

(�� −

) =��0

� � �

(

�1+�2). Maka Persamaan (3.19) dapat dinyatakan sebagai berikut :


(53)

53

�(�1) =

⎣ ⎢ ⎢ ⎢

⎡ −�

0 0 −0

�(

0

1

) −� ��

0

−�(

0

1

) �� −(�1+�2)−��

0�⎦ ⎥ ⎥ ⎥ ⎤

.

Nilai eigen dari matriks �(�1), dapat dicari dengan menentukan ������ −

�(�1)�=0, dengan � adalah nilai eigen dan � adalah matriks identitas. Sehingga diperoleh:

������ − �(�1)�= 0

⟺ ����10 0 01 0

0 0 1

� − ⎣ ⎢ ⎢ ⎢

⎡ −�

0 0 −0

�(

0

1

) −� ��

�0� −�(

0

1

) �� −(�1+�2)− ��

�0�⎦ ⎥ ⎥ ⎥ ⎤ � � =0

⟺ ���� 0 00 � 0

0 0 �� −

⎣ ⎢ ⎢ ⎢

⎡ −�

0 0 −0

�(

0

1

) −� ��

�0� −�(

0

1

) �� −(�1+�2)−��

0�⎦ ⎥ ⎥ ⎥ ⎤ � � = 0 ⟺ ��−

�+�

0 0 ��

�0�

�(

0

1

) �+� −��

0� �(

0

1

) −�� �+ (�1+�2) +��

0� � �=0

⟺�(�+��0)(�+�)��+ (�1+�2) +��

0��+�−

��

�0�� ��(�0−1)�(−��)−

����

0��(�+�)��(�0−1)�+ (�+��0)�−

��

�0��(−��)� �= 0

⟺ ��(�+�

0)��2+ (

1+�2)�+���

0�

+

��+ (�1+�2)�+

���

�0��+ ���� �

0 �(

0

1

)� − ��

��(+�)

�0 �(

0

1

) +�

��� �


(54)

54

⟺ ���3+ (

1+�2)�2+�

��2

�0�

+

��

2+ (

1+�2)��+�

�� �

�0�

+

0�

2+

0(�1+�2)�+�

0��+�

0�(�1+�2) +

��+

��� −��� �

0 � − �

�(�+�)− ���(�+�)

�0 �+�

��� ��

�0�

+

����� � =0

⟺ ��3+(

1+�2) +��

0� +�+��0� �

2+(

1+�2)�+���

0� +��0(�1+�2) +

��+��0�� �+ (�1+�2)���0+���+���� −����

0 − ��� − ���+ ��(�+�)

�0 − ���� �

�0� − �����=0

⟺ ��3+(

1+�2) +�0��� +�+��0� �2+�(�1+�2)�+����0 +��0(�1+�2) +

��+��0� − �� −����

�0� + ��

�0� �+ (�1+�2)���0+���+���� − ����

�0 −

���+���

�0 − �����=0

⟺ ��3+(

1+�2) +��

0� +�+��0� �

2+(

1+�2)�+���

0� +��0(�1+�2) +

��0� −����0 +��0� �+ (�1+�2)���0−����

0 + ���

�0 �=0

(3.20)

Persamaan karakteristik dari Sistem (3.20) adalah

�3+

1�2+�2�+�3, (3.21)

dengan

�0 = 1 �1 = �1


(55)

55

�1 = (�1+�2) +��

0�+�+��0

�2 =�2

�2 = (�1+�2)�+

���

�0� +��0(�1+�2) +��0� −

���� �0� +

�� �0

�3 =�3

�3 = (�1+�2)���0 −����

0 +

��� �0 .

Diperhatikan Persamaan (3.12) yaitu persamaan untuk �0, dimana

�0 =����(��()1−��+2()�)⇔ ��(�� − �) =�0��(�1+�2)

⇔ ��(� − ��) =−�0��(�1+�2). Maka �2 dapat dinyatakan sebagai

�2 = (�1+�2)�+���

0�+�

0(�1+�2) +�

0� −

����

0

+

���0

�2 = (�1+�2)�+�� (�−��)

�0� +�

0(�1+�2) +�

0�

+

��

�0

�2 = (�1+�2)�+

��(�−��)

�0� +�

0

(

(�1+�2)�)

+

��

�0

�2 = (�1+�2)� −�0��

(1+�2)

�0� +�

0

(

(�1+�2) +�)

+

��

�0

�2 =�

0

(

(�1+�2)�)

+

0

.

Kemudian �3 dapat dinyatakan sebagai

�3 = (�1+�2)��

0−����

0 +

���

0

�3 = (�1+�2)��

0+�� (�−��)

0

�3 = (�1+�2)��

0−�0�� (�1+�2)

�0


(56)

56

�3 = (�1+�2)��

(

0−1).

Untuk mengetahui nilai eigen dari Persamaan (3.21) dapat dicari menggunakan tabel Routh-Hurwitz yang ditunjukan pada Tabel 2.1.

Berdasarkan kriteria Routh-Hurwitz, pembuat nol dari Persamaan (3.21) akan bernilai negatif jika tidak ada perubahan tanda pada kolom pertama Tabel 2.1. Diketahui bahwa �0 dan �1 bernilai positif. Agar kolom pertama pada Tabel 2.1 bertanda sama maka �1 dan �1 haruslah positif.

�1 =

�1�2−�0�3

�1 =

�1�2−�3

�1

�1 = �1�3

1 = �3

Agar �1 bernilai positif maka �12 > �3 ⟺ �12− �3 > 0, karena �1 > 0. Perhatikan bahwa jika �0 > 1, maka diperoleh

⟺ �(�1+�2) +

��

�0�+�+��0 � ���0((�1+�2) +�) +

�� �0� −

(�1+�2)��(�0−1) > 0

⟺ �(�1+�2) + ��

�0�+�+��0 � ���0((�1+�2) +�) +

�� �0� −

(�1+�2)���0+ (�1+�2)�� > 0

⟺ �(�1+�2) + ��

�0�+�+��0 � ���0(�1+�2) +��0�+

�� �0� −

(�1+�2)���0+ (�1+�2)�� > 0

⟺ ��0(�1+�2)2+ (�1+�2)��0�+ (�1+�2)��

0 +��(�1+�2) +

���+���2�2

02+ (�1+�2)��0�+��0�

2+��

�0 +�

2

02(�1+�2) +

�2


(1)

xiv DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Program Maple 17 untuk gambar proyeksi potret fase solusi-solusi S,I,V terhadap t dengan � < 1…………...………....69 Lampiran 2. Program Maple 17 untuk gambar proyeksi masing-masing potret

fase populasi susceptible, infectious, dan virus, dengan �<1..70 Lampiran 3. Program Maple 17 untuk gambar proyeksi potret fase solusi-solusi

S,I,V terhadap t dengan �> 1, �= 200 ,� = �

��dan

=

28

3

………....71

Lampiran 4. Program Maple 17 untuk gambar proyeksi potret fase solusi-solusi S,I,V terhadap t dengan �> 1, �= 300 ,� = �

��dan

=

28


(2)

(3)

69 LAMPIRAN

Lampiran 1.

Program Maple 17 untuk gambar proyeksi potret fase solusi-solusi S,I,V terhadap t dengan < 1.

> > > > >

> > >

>

> >

> > >


(4)

70 Lampiran 2.

Program Maple 17 untuk gambar proyeksi masing-masing potret fase populasi susceptible, infectious, dan virus, dengan < 1.

> > > > > > >

> >

> >

>


(5)

71 Lampiran 3.

Program Maple 17 untuk gambar proyeksi potret fase solusi-solusi S,I,V terhadap t dengan > 1, �= 200 ,�= �

�� dan

=

28

3

.

> > > > >

> > >

>

> >

> > >


(6)

72 Lampiran 4.

Program Maple 17 untuk gambar proyeksi potret fase solusi-solusi S,I,V terhadap t dengan � > 1, �= 300 ,�= �

�� dan ��= 28

3.

> > > > >

> > >

>

> >

> > >