Analisis Kesintasan Perbedaan Laju Kesembuhan Pasien Katarak Menurut Jenis Operasi Yang Dilakukan.

(1)

UNIVERSITAS UDAYANA

ANALISIS KESINTASAN PERBEDAAN WAKTU KESEMBUHAN PASIEN KATARAK MENURUT JENIS OPERASI YANG DILAKUKAN

MADE INTAN SHANTIVANI

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA 2016


(2)

UNIVERSITAS UDAYANA

ANALISIS KESINTASAN PERBEDAAN WAKTU KESEMBUHAN PASIEN KATARAK MENURUT JENIS OPERASI YANG DILAKUKAN

MADE INTAN SHANTIVANI NIM. 1220025084

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA 2016


(3)

UNIVERSITAS UDAYANA

ANALISIS KESINTASAN PERBEDAAN WAKTU KESEMBUHAN PASIEN KATARAK MENURUT JENIS OPERASI YANG DILAKUKAN

Skripsi ini diajukan sebagai

Salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT

MADE INTAN SHANTIVANI NIM. 122025084

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN


(4)

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah dipresentasikan dan diujikan dihadapan Tim Penguji Skripsi

Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Denpasar, 15 Juli 2016

Tim Penguji Skripsi Ketua (Penguji I)

(dr. I Ketut Tangking Widarsa, MPH) NIP.194801201979031001

Anggota (Penguji II)

(dr. I Wayan Artawan Eka Putra, M. Epid) NIP. 198104042006041005


(5)

Skripsi ini telah disetujui dan diperiksa dihadapan Tim Penguji Skripsi

Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Denpasar, 15 Juli 2016

Pembimbing,

(Ketut Hari Mulyawan, S.Kom.,MPH) NIP. 197601011 200604 1 003


(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmatNya penyusunan skripsi penelitian yang berjudul Analisis Kesintasan Perbedaan Waktu Kesembuhan Pasien Katarak Menurut Jenis Operasi yang Dilakukan dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis mendapat bantuan, dorongan, dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan kepada :

1. dr. I Made Ady Wirawan, MPH., PhD, selaku Ketua Program Studi Kesehatan

Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana ;

2. Ni Made Dian Kurniasari, SKM., MPH. dan Ketut Hari Mulyawan, S.Kom., MPH.,

selaku pembimbing yang telah banyak memberikan waktu, pikiran serta tenaga dalam membimbing serta mengarahkan penulis selama penyusunan proposal penelitian;

3. dr. Putu Ayu Swandewi Astuti, MPH, selaku dosen pengajar peminatan biostatistika

yang telah banyak berbagi ilmu, saran, dan nasihat, serta selalu sabar menjelaskan setiap pertanyaan sejak peminatan hingga penyusunan skripsi ini;

4. Kepada Rumah Sakit Mata Bali Mandara yang telah mengijinkan penulis melakukan

penelitian dan mengambil data pasien katarak yang melakukan operasi pada bulan Oktober-Desember;

5. Kepada Orang Tua dan keluarga yang senantiasa menemani dan membantu serta


(7)

6. Lucky 7 yang selalu meluangkan waktu dan tenaga untuk membantu merevisi, serta tidak pernah berhenti mengingatkan dan memberikan motivasi dalam penyusunan skripsi ini.

7. Teman-teman angkatan 2012 PS. Kesehatan Masyarakat FK Unud, yang senantiasa

memberikan semangat dan motivasi dalam penyusunan skripsi ini.

Demikian skripsi ini disusun, semoga dapat memberikan manfaat bagi diri kami sendiri dan pihak lain yang menggunakan.

Denpasar, Juni 2016


(8)

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA PEMINATAN BIOSTATISTIK DAN KEPENDUDUKAN SKRIPSI

JUNI 2016

Made Intan Shantivani

ANALISIS KESINTASAN PERBEDAAN LAJU KESEMBUHAN PASIEN KATARAK MENURUT JENIS OPERASI YANG DILAKUKAN

ABSTRAK

Prevalensi katarak di Indonesia adalah sebesar 1,8% dan di Bali sebesar 2,7%.

Katarak dapat disembuhkan melalui operasi katarak baik menggunakan

Phacoemulsification (Phaco) atau Small Incision Cataract Surgery (SICS), target waktu sembuh pasca operasi selama 4 minggu. Namun waktu sembuh pasien katarak pasca operasi adalah selama 4-8 minggu. Perbedaan waktu tersebut dapat dipengaruhi oleh teknik operasi yang digunakan. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melihat perbedaan laju kesembuhan pasien katarak menurut jenis operasi yang dilakukan.

Penelitian ini bersifat observasional analitik dengan rancangan study cohort retrospective. Sebanyak 212 pasien katarak yang melakukan operasi katarak digunakan sebagai kohort. Penelitian ini menggunakan data sekunder meliputi umur, jenis kelamin, riwayat penyakit, komplikasi, tanggal melakukan operasi dan tanggal mencapai

kesembuhan yang diambil dari berkas rekam medis. Data dianalisis dengan metode Life

Table, Kaplan Meier, Logrank Test, dan uji Cox Regression.

Hasil penelitian ini menunjukkan Phaco membutuhkan waktu sembuh lebih

singkat dibandingkan dengan SICS, dimana median waktu yang dibutuhkan pasien untuk

sembuh adalah 25 hari pada kelompok SICS dan hanya 8 hari pada kelompok Phaco yang

bermakna secara statistik (p=0,0011). Pasien dengan jenis operasi Phaco lebih mungkin untuk sembuh dalam waktu 4 minggu (HR 1,70; 95%CI 1,18-2,47) dibandingkan pasien dengan operasi SICS, setelah dikontrol dengan kelompok umur, jenis kelamin, komplikasi dan riwayat penyakit.

Pasien pada kelompok Phaco memiliki waktu kesembuhan pasca operasi yang lebih cepat dibandingkan dengan kelompok SICS yang bermakna secara statistik. Jenis operasi memiliki hubungan bermakna terhadap waktu kesembuhan pasien katarak dalam 4 minggu pasca operasi.


(9)

SCHOOL OF PUBLIC HEALTH

FACULTY OF MEDICINE UDAYANA UNIVERSITY

MAINSTREAM OF BIOSTATISTICS AND DEMOGRAPHY MINI THESIS

JUNE 2016

Made Intan Shantivani

THE DIFFERENCE IN RECOVERY TIME OF CATARACT PATIENTS ACCORDING TO THE TYPE OF SURGERY PERFORMED : A TIME TO

EVENT ANALYSIS ABSTRACT

The prevalence of cataract in Indonesia in 2013 was 1.8% and in Bali was 2.7%. Cataracts can be treated through a surgery, and postoperative recovery time target is for 4 weeks. But normaly, postoperative recovery time of cataract patients was varied 4-8 weeks. The time difference at the recovery time can be influenced by the surgical technique performed. Therefore, the aimed of the study id to identify the difference in recovery time of cataract patients according to the type of surgery performed.

This was an analytic observational study with retrospective cohort study design. A sample of 212 cataract patients was derived from a cohort of cataract patients who were undergone cataract surgery in 2015 in Rumah Sakit Mata Bali Mandara. Data of the patien regarding age, sex, history of disease, complications, surgery date and the date when patient fully recover from postoperative were collected from medical record file. Data was analysed by Life Table, Kaplan Meier, Logrank Test, and Cox Regression.

The results of this study indicated that Phaco takes shorter time to recover from postoperative treatment than that in SICS. The median of the recovery time in SICS group was 25 days, which was higher than that in Phaco group with was only 8 days of recovery time. The difference of the recovery time in both groups were statistically significant (p = 0.0011). Patients who undergone Phaco operating technique were more likely to recover within 4 weeks after surgery than those in SICS group after adjusted by age group, gender, complications and history of disease (adjusted HR = 1.70 ; 95% CI HR = 1.18 to 2.47; p = 0.004).

Patients in Phaco group had faster postoperative recovery time than the SICS group. In addition, the type of surgery performed between Phaco and SICS was associated with 4 weeks of postoperative recovery time.


(10)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERNYATAAN PERSETUJUAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

DAFTAR LAMBANG DAN SINGKATAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Pertanyaan Penelitian ... 5

1.4 Tujuan Penelitian ... 5

1.4.1 Tujuan Umum ... 5

1.4.2 Tujuan Khusus ... 5

1.5 Manfaat Penelitian ... 6

1.5.1 Manfaat Teoritis ... 6

1.5.2 Manfaat Praktis ... 6

1.6 Ruang Lingkup Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Katarak ... 7

2.2 Operasi Katarak ... 8

2.3 Kesembuhan Katarak ... 11

2.4 Faktor yang Mempengaruhi Kesembuhan ... 11

2.5 Waktu Kesembuhan ... 15

2.6 Metode Analisis Kesintasan ... 16


(11)

2.6.2 Fungsi Kesintasan dan fungsi Hazard ... 19

2.7 Lifetable ... 21

2.8 Kaplan-Meier ... 22

2.9 Uji Log Rank ... 22

2.10 Cox Regression ... 23

BAB III KERANGKA KONSEP ... 25

3.1 Kerangka Konsep ... 25

3.2 Hipotesis Penelitian ... 26

3.3 Variabe dan Definisi Operasional ... 26

3.3.1 Variabel ... 26

3.3.2 Definisi Operasional Variabel ... 27

BAB IV METODE PENELITIAN ... 30

4.1 Desain Penelitian ... 30

4.2 Populasi dan Sampel ... 30

4.2.1 Populasi ... 30

4.2.2 Sampel ... 31

4.3 Pengumpulan Data ... 32

4.4 Teknik Analisis Data ... 32

4.4.1 Pengolahan Data ... 32

4.4.2 Analisis Data ... 33

BAB V HASIL PENELITIAN ... 35

5.1 Gambaran Situasi Rumash Sakit Mata Bali Mandara ... 35

5.2 Karakteristik Responden ... 35

5.3 Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Jenis Operasi ... 37

5.4 Analisis Waktu Kesembuhan Pasien Katarak di Rumah Sakit Mata Bali Mandara ... 38

5.5 Analisis Perbedaan Waktu Kesembuhan Pasien Katarak menurut Jenis Operasi yang Dilakukan di Rumah Sakit Mata Bali Mandara ... 39

5.6 Pengaruh Jenis Operasi yang dilakukan terhadap Waktu Kesembuhan Pasien Katarak selama 4 Minggu Pasca Operasi ... 40


(12)

6.1 Perbedaan Waktu Kesembuhan Pasien Katarak menurut Jenis Operasi yang Dilakukan di Rumah Sakit Mata Bali Mandara pada Bulan Oktober-Desember

2015. ... 43

6.2 Pengaruh Jenis Operasi Terhadap Waktu Kesembuhan Pasien Katarak yang melakukan Operasi di Rumah Sakit Mata Bali Mandara pada Bulan Oktober-Desember 2015. ... 46

6.3 Kelemahan dan Keunggulan Penelitian ... 49

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ... 50

7.1 Simpulan ... 50

7.2 Saran ... 50 DAFTAR PUSTAKA


(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Kriteria Tajam Penglihatan Menurut World Health Organization ... 8 Tabel 2.2 Komponen Life Table ... 21 Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel... 27 Tabel 5.1 Karakteristik Pasien Katarak yang Melakukan Operasi Katarak di Rumah Sakit

Mata Bali Mandara pada Bulan Oktober-Desember 2015 ... 36 Tabel 5.2 Karakteristik Responden berdasarkan Jenis Operasi ... 37 Tabel 5.3 Pengaruh Jenis Operasi terhadap Waktu Kesembuhan Pasien Katarak selama 4 Minggu Pasca Operasi ... 41


(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Gambaran Data Tersensor ... 18

Gambar 2.2 Kurva Fungsi Kesintasan ... 20

Gambar 2.3 Kurva Fungsi Hazard ... 21

Gambar 3.1 Kerangka Konsep ... 25

Gambar 5.1 Pengambilan Sampel Penelitian ... 36

Gambar 5.2 Waktu Kesembuhan Pasien Katarak yang Melakukan Operasi Katarak di Rumah Sakit Mata Bali Mandara pada Bulan Oktober-Desember 2015 ... 38

Gambar 5.3 Waktu Kesembuhan Pasien Katarak menurut Jenis Operasi yang Dilakukan di Rumah Sakit Mata Bali Mandara pada Bulan Oktober-Desember 2015 .. 39


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Rencana Jadwal Penelitian

Lampiran 2 Formulir Data Sekunder

Lampiran 3 Hasil Analisis Data


(16)

DAFTAR LAMBANG DAN SINGKATAN

Daftar Lambang

% : Persen

> : Lebih besar

< : Lebih kecil

≥ : Lebih dari sama dengan

≤ : Kurang dari sama dengan.

= : Sama dengan

α : Alpha

p : Nilai p

Daftar Istilah

SICS : Small Incision Cataract Surgery

Phaco : Phacoemulsicfication

Perdami : Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia

Miopia : Rabun jauh

HR : Hazard Ratio


(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit katarak merupakan penyebab utama kebutaan di seluruh dunia, yaitu sebesar 51% (WHO, 2012). Perkiraan insiden katarak di Indonesia adalah 0,1%/tahun atau setiap tahun di antara 1.000 orang terdapat seorang penderita baru katarak (Kemenkes RI, 2005). Dari hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, prevalensi katarak di Indonesia adalah sebesar 1,8%, tertinggi di Provinsi Sulawesi Utara (3,7%), diikuti oleh Jambi sebesar 2,8%, kemudian Bali sebesar 2,7% dan terendah di DKI Jakarta sebesar 0,9% (Riskesdas, 2013).

Katarak dapat disembuhkan melalui operasi katarak yang merupakan prosedur yang paling umum dilakukan dalam oftalmologi dan didukung dengan sepasang kacamata (Tabin dkk, 2008). Hampir sebagian besar penglihatan normal dapat dikembalikan melalui operasi pengangkatan lensa opacifier, difasilitasi oleh implantasi lensa intraokular (IOL) (Schwiegerling, 2010). Untuk mengatasi beban kebutaan dari katarak dibutuhkan cakupan bedah yang cukup dan hasil bedah yang baik, yaitu keselamatan, rehabilitasi visual awal dan emetropia pasca operasi (Tabin dkk, 2008).

Waktu sembuh pasien katarak pasca operasi ditargetkan selama 4 minggu dengan 85% pasien memiliki tajam penglihatan tanpa koreksi adalah ≥6/18 (Perdami, 2013). Namun berdasarkan hasil hasil studi pendahuluan di Rumah Sakit mata Bali Mandara pada


(18)

belum mencapai kesembuhan dalam waktu 4 minggu. Dengan kesembuhan terlama mencapai 8 minggu. National Health Service (2015) juga mencatat variasi waktu kesembuhan pasca operasi adalah antara 4-8 minggu. Variasi lama waktu kesembuhan pasien tersebut dapat berkaitan dengan teknik operasi yang digunakan (Limburg, dkk, 2005).

Tidak hanya teknik operasi, faktor lain juga dapat mempengaruhi waktu kesempuhan pasien katarak. Pada penelitian sebelumnya, faktor demografi, variable klinis dikatakan dapat mempengaruhi kesembuhan pasien (Fermont, dkk, 2014). Selain itu, riwayat penyakit mata selain katarak seperti glaukoma, miopia tinggi, degenerasi makula dan ablasio retina serta riwayat penyakit sistemik, seperti diabetes mellitus juga dapat mempegaruhi waktu sembuh pasien katarak pasca operasi (Limburg, dkk, 2005).

Rumah Sakit Mata Bali Mandara merupakan rumah sakit khusus kelas A yang menjadi tujuan utama penderita katarak dalam melakukan operasi katarak di Bali. Rumah Sakit Mata Bali Mandara memiliki 2 teknik operasi katarak, yaitu teknik Phacoemusification dan Small Incision Cataract Surgery (SICS) (RS Mata Bali Mandara 2014).

Phacoemulsification (Phaco) dalam beberapa tahun terakhir merupakan prosedur yang paling populer untuk mengobati katarak pada pasien di negara berkembang. Alasan

untuk popularitas ini adalah bahwa Phaco aman dan memberikan hasil visual yang lebih

baik, seperti rehabilitasi visual awal dan emetropia (Tabin, dkk., 2008). Pengguna Small Incision Cataract Surgery (SICS) menawarkan keuntungan yang sama dengan manfaat


(19)

penerapan yang lebih cepat, lebih sedikit bergantung pada teknologi dan biaya yang lebih rendah (Vekantesh, dkk, 2010 dalam (NCC & AVRI, 2012).

Menurut beberapa penelitian, dibandingkan dengan Phaco ada risiko

antigmatisme yang lebih pada SICS. Pada hari pertama pasca operasi juga memberikan risiko yang lebih di edema kornea (Tabin, dkk., 2008). Menurut Ruit, dkk (2007) kekeruhan kapsul posterior lebih sering terjadi pada kelompok yang menggunakan teknik

SICS dibandingkan dengan Phaco. Resiko umum pada SICS adalah terjadinya luka pada

iris mata (Boughton B, 2009). Sejauh ini di RS Mata Bali Mandara belum diketahui apakah terdapat perbedaan waktu kesembuhan yang signifikan dari kedua teknik operasi

baik menggunakan Phaco atau SICS.

Pada bulan oktober-desember 2015, Rumah Sakit Mata Bali Mandara telah melakukan operasi katarak sebanyak 356 pasien. Dimana pasien yang menggunakan

teknik Phaco sebanyak 199 (56%) dan yang menggunakan teknik SICS sebanyak

180(157%). Sejauh ini di RS Mata Bali Mandara belum memiliki informasi tentang

perbedaan waktu kesembuhan dari kedua teknik operasi yang dilakukan yaitu Phaco dan

SICS.

Waktu kesembuhan dapat diketahui dengan analisis kesintasan (analisis survival). Analisis kesintasan adalah kumpulan dari prosedur statistik untuk menganalisis data dimana variabel outcome yang diteliti adalah waktu (time) sampai suatu peristiwa (event) terjadi (Kleinbaum & Klein, 2005: 4). Analisis kesintasan juga mempertimbangkan penyensoran. Data dikatakan tersensor apabila kejadian suatu individu tidak dapat diamati


(20)

secara lengkap. Hal ini disebabkan oleh kejadian tak terduga yang mengakibatkan obyek keluar dari penelitian (Collet, 1994).

Menurut Kleinbaum (1997), tujuan analisis kesintasan adalah mengestimasi atau

menginterpretasi fungsi hazard dan fungsi kesintasan dari data kesintasan,

membandingkan fungsi kesintasan dan fungsi hazard pada dua kelompok atau lebih, dan

untuk mengetahui hubungan antara waktu kesintasan dengan variabel-variabel yang diduga mempengaruhi waktu kesintasan.

Berdasarkan uraian tersebut, peneliti ingin membandingkaan waktu sembuh pasien katarak menurut jenis operasi yang dilakukan dan melihat pengaruh jenis operasi terhadap waktu kesembuhan tersebut menggunakan teknik analisis kesintasan.

1.2 Rumusan Masalah

Waktu sembuh pasien katarak pasca operasi ditargetkan selama 4 minggu dengan

85% pasien mencapai tajam penglihatan tanpa koreksi adalah ≥6/18. Studi pendahuluan

di RS Mata Bali Mandara menunjukkan bahwa 40,39% dari 100 pasien yang melakukan operasi katarak belum mencapai kesembuhan dengan tajam penglihatan tanpa koreksi ≥6/18 dalam waktu 4 minggu pasca operasi. Waktu terlama kesembuhan mencapai 8 minggu. Adanya variasi waktu sembuh tersebut kemungkinan disebabkan oleh teknik operasi yang dilakukan, karena teknik operasi tersebut memiliki perbedaan dari segi proses, biaya, keamanan, hasil visual, risiko dan komplikasi. Selain dari teknik operasi, faktor lain seperti faktor demografi, riwayat penyakit dan komplikasi juga kemungkinan memiliki pengaruh dalm perbedaan waktu kesembuhan tersebut. Sampai saat ini, masih terbatas penelitian yang membandingkan kedua teknik ini berdasarkan waktu


(21)

kesembuhannya. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melihat perbedaan waktu kesembuhan pada pasien katarak berdasarkan jenis operasi yang dilakukan.

1.3 Pertanyaan Penelitian

 Apakah ada perbedaan waktu kesembuhan pada pasien katarak berdasarkan

jenis operasi yang dilakukan?

 Apakah ada pengaruh dari jenis operasi terhadap waktu kesembuhan pada pasien katarak?

1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum

Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui beda waktu kesembuhan pada pasien katarak berdasarkan jenis operasi yang dilakukan.

1.4.2 Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1) Mengetahui waktu kesembuhan pasien katarak yang melakukan operasi

katarak di Rumah Sakit Mata Bali Mandara berdasarkan jenis operasi yang dilakukan.

2) Mengetahui pengaruh jenis operasi terhadap waktu kesembuhan pasien

katarak yang melakukan operasi katarak di Rumah Sakit Mata Bali Mandara sebelum dan setelah dikontrol dengan variabel perancu.


(22)

1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoritis

Adapun manfaat teoritis dari penelitian ini adalah agar dapat menambah pengetahuan mengenai teknik operasi katarak dilihat dari waktu kesembuhan.

1.5.2 Manfaat Praktis

Adapun manfaat praktis dari penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai perbedaan waktu kesembuhan pasien katarak berdasarkan jenis operasinya sehingga dapat menjadi pertimbangan dalam memilih jenis operasi katarak yang akan digunakan.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah mengenai beda waktu kesembuhan pasien katarak di Rumah Sakit Mata Bali Mandara berdasarkan jenis operasi yang dilakukan dan pengaruh jenis operasi terhadap waktu sembuh. Penelitian ini dilaksanakan pada tahun 2016 dengan menggunakan data pasien katarak yang melakukan operasi pada bulan Oktober-Desember 2015.


(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Katarak

Kata katarak berasal dari bahasa Latin cataracta, yang berarti air terjun, karena orang menderita katarak mempunyai pengelihatan yang kabur seolah-olah dibatasi oleh air terrjun (Anies, 2006). Jika ini terjadi, jalannya sinar akan berkurang atau terhambat, sehingga lensa tidak apat difokuskan (Ali, 2003). Katarak adalah kekeruhan yang terjadi pada lensa mata, yang menghalangi pengelihatan yang jelas (WHO, 2012 ; Anies, 2006). Sebagian kasus katarak berkaitan dengan proses penuaan, namun juga dapat terjadi pada anak-anak yang lahir dengan kondisi tersebut. Katarak juga dapat terjadi setelah cedera mata, inflamasi atau penyakit mata lainnya (WHO, 2012).

Katarak tidak menimbulkan nyeri atau bengkak, tetapi bisa mengakibatkan kehilangan penglihatan yang progresif atau kebutaan total. Gejala yang umum terjadi adalah semua cahaya yang masuk ke mata memasuki lensa, sehingga bagian lensa yang tersumbat akan mengaburkan cahaya, lalu menyebabkan terganggunya penglihatan yang parahnya ditentukan oleh lokasi dan kematangan katarak (Ali, 2003)

Katarak merupakan penyakit degeneratif yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor intrinsik maupun faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik yang berpengaruh antara lain adalah umur, jenis kelamin dan faktor genetik, sedangkan faktor ekstrinsik yang berpengaruh antara lain adalah pendidikan dan pekerjaan yang berdampak langsung pada status sosial ekonomi dan status kesehatan seseorang serta faktor lingkungan, dalam


(24)

Gejala katarak dini dapat diperbaiki dengan kacamata baru, pencahayaan yang terang, kacamata anti-silau, atau lensa pembesar. Jika tindakan ini tidak membantu, operasi adalah satu-satunya pengobatan yang efektif (NIH, 2014).

2.2 Operasi Katarak

Katarak dapat disembuhkan melalui operasi katarak yang merupakan prosedur yang paling umum dilakukan dalam oftalmologi dan didukung dengan sepasang kacamata (Tabin, dkk, 2008). Hampir penglihatan normal dapat dikembalikan melalui operasi pengangkatan lensa opacifier, difasilitasi oleh implantasi lensa intraokular (IOL) (Schwiegerling, 2010). Untuk mengatasi beban kebutaan dari katarak dibutuhkan cakupan bedah yang cukup dan hasil bedah yang baik, yaitu keselamatan, rehabilitasi visual awal dan emetropia pasca operasi. Pembedahan dilakukan bila tajam penglihatan sudah menurun sedemikian rupa sehingga mengganggu pekerjaan sehari-hari atau bila telah menimbulkan penyulit seperti glaukoma dan uveitis (Arif, 2000).

Sebagian besar hasil operasi katarak dilaporkan hanya dalam tajam penglihatan (RCOphth, 2010). Tajam penglihatan normal rata-rata bervariasi antara 6/4 hingga 6/6 (20/15 atau 20/20 kaki). Apabila penglihatan kurang maka diukur dengan menentukan kemampuan melihat jumlah jari (hitung jari) ataupun proyeksi sinar (Ilyas, 2000).

Tabel 2.1 Kriteria Tajam Penglihatan Menurut World Health Organization

Kriteria Tajam Penglihatan

Snellen LogMAR

Baik 6/6 - 6/18 0,00-0,48

Sedang <6/18 – 6/60 >0,48 – 1,00


(25)

Bedah katarak sudah berubah dalam 20 tahun terakhir, yang prinsipnya disebabkan oleh diperkenalkannya mikroskop operasi, instrumentasi yang lebih baik, benang jahit yang lebih baik, serta lebih baiknya lensa intraokuler (Tabin dkk., 2008). Rumah Sakit Mata Bali Mandara menggunakan 2 teknik operasi katarak, yaitu Phacoemulsification (Phaco) dan Small Incision Cataract Surgery (SICS).

Prosedur fakoemulsifikasi pertama kali dilakukan pada mata manusia oleh Charles Kelman pada tahun 1967. Ini adalah awal dari Phaco untuk mengatasi masalah yang

terkait dengan penyembuhan, peradangan, dan astigmatisme (Jha & Brig, 2006). Phaco

adalah teknik yang digunakan untuk menghilangkan katarak menggunakan mesin dan mikro-bedah instrument. Teknik Phaco biasanya dilakukan dengan membuat sayatan skleral sementara (3,0 mm) dan memisahkan kornea yang jelas untuk tindakan sewaktutnya (Venkatesh, dkk, 2009). Operasi katarak fakoemulsifikasi merupakan teknik operasi dengan memecah nukleus lensa menjadi fragmen-fragmen kecil dengan memanfaatkan energi ultrasonik intensitas tinggi, kemudian diikuti dengan aspirasi fragmen-fragmen lensa (Bellarinatasari, 2011). Setelah membersihkan katarak, kantong kapsuler diisi dengan hydroxypropy. Prosedur ini diikuti dengan implan lensa ke dalam kantong kapsuler (Venkatesh, dkk, 2009).

Pada Teknik Small Incision Cataract Surgery (SICS), insisi dilakukan di skleral sekitar 5.5 mm – 7.0 mm. Ada 2 aspek dari incisi SICS yang harus di pertimbangkan, yang pertama self sealing nature dari luka dan yang kedua induksi astigmatisma, dimana astigmatisma harus minimal dan jika memungkinkan meniadakan keberadaan astigmatisma (Istiantoro S & Johan AH, 2004). Kontruksi luka sclerocorneal pocket


(26)

nucleus sangat tergantung pada arsitektur dari luka. Keuntungan konstruksi irisan pada sklera kedap air sehingga membuat katup dan isi bola mata tidak prolaps keluar. Dan karena incisi yang dibuat ukurannya lebih kecil dan lebih posterior, kurvatura kornea hanya sedikit berubah (Venkatesh, dkk, 2010).

Banyak hasil penelitian yang telah membandingkan kedua teknik tersebut. Berdasarkan hasil penelitian Kwartika (2015) menyatakan bahwa terdapat perbedaan bermakna pada sensitivitas kornea pasca operasi katarak dengan teknik SICS dan fakoemulsifikasi sampai hari ke-28 dengan penurunan lebih besar pada teknik SICS dibandingkan fakoemulsifikasi. Sitompul dkk (2008), juga melaporkan bahwa pada fakoemulsifikasi terjadi penurunan sensitivitas kornea yang berlangsung lebih lama dibandingkan dengan SICS.

SICS memiliki waktu operasi yang lebih cepat, lebih murah dan kurang

bergantung pada teknologi dibandingkan dengan Phaco (Venkatesh, 2005).

Dibandingkan dengan Phaco ada risiko antigmatisme yang lebih pada SICS. Pada

hari pertama pasca operasi juga memberikan risiko yang lebih di edema kornea (Tabin, dkk., 2008). Menurut Ruit, dkk (2007) kekeruhan kapsul posterior lebih sering terjadi pada

kelompok yang menggunakan teknik SICS dibandingkan dengan Phaco. Resiko umum

pada SICS adalah terjadinya luka pada iris mata (Boughton B, 2009).Jika dilihat dari hasil ketajaman visual, Singh, dkk (2009) mencatat hasil visual yang buruk lebih besar pada Phaco (6% dari pasien) dibandingkan dengan SICS (1% dari pasien). Ketajaman visual rata-rata adalah 0,43 ± 0,27 pada kelompok fakoemulsifikasi dan 0,47 ± 0,24 pada kelompok SICS. Menyimpulkan bahwa SICS lebih baik dalam menghasilkan ketajaman


(27)

visual. Sedangkan Cook dkk (2011) menyatakan tidak ada perbedaan hasil ketajaman visual pada hari pertama, namun pada minggu ke 8 ada perbedaan ketajaman pengelihatan yang diukur dengan menggunakan kacamata (p=0,03) dan tanpa menggunakan kacamata (p=0,02), diamana Phaco lebih baik dari SICS.

2.3 Kesembuhan Katarak

Menurut Perdami Kesembuhan katarak ditandai dengan tajam penglihatan tanpa koreksi adalah ≥6/18 pada 4 minggu pasca operasi. Kesembuhan katarak dapat juga di tandai dengan pemberian kacamata pada minggu keempat kunjungan pasca operasi. Pada kunjungan ketiga refraksi dapat dilakukan. Jika mata sudah tenang dan stabil maka pasien akan di berikan kacamata (AOA, 2004).

2.4 Faktor yang Mempengaruhi Kesembuhan

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi sebuah waktu kesembuhan penyakit. Pada penelitian sebelumnya, faktor demografi, variable klinis dan teknik operasi diakatakan dapat mempengaruhi kesembuhan pasien (Fermont, dkk, 2014). Menurut Effendy (1998), rendahnya angka kesembuhan berkaitan dengan karakteristik penderita diantaranya umur, jenis kelamin, dan tipe penyakit karena terjadinya perubahan keadaan fisiologis, imunitas, dan perubahan kebiasaan makanan atau perilaku hidup sehat.

Kesembuhan pasien katarak ditandai dengan tajam pengelihatan yang dihasilkan pasca operasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi tajam pengelihatan pasca operasi katarak adalah riwayat penyakit mata selain katarak seperti glaukoma, miopia tinggi, degenerasi makula dan ablasio retina serta riwayat penyakit sistemik, seperti diabetes


(28)

mellitus. Teknik operasi dan komplikasi pasca operasi juga mempengaruhi kesembuhan pasien (Limburg, dkk, 2005).

Belum ada penelitian mengenai faktor-faktor yang mepengaruhi waktu kesembuhan pasien katarak pasca operasi katarak, namun ada beberapa penelitian terkait faktor-faktor yang mempengaruhi waktu kesembuhan penyakit lain, diantaranya :

1. Jenis Operasi

Variasi kesmbuhan katarak dapat dipengaruhi oleh teknik operasi yang dilakukan. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya didapatkan bahwa waktu sembuh kelompok Phacoemulsification 8,1 kali lebih cepat di bandingkan dengan kelompok control (Rotchford, 2007). Gogate dkk (2005) menyimpulkan bahwa fakoemulsifikasi dan SICS aman dan efektif untuk rehabilitasi visual pasien katarak. Mereka juga menyimpulkan bahwa fakoemulsifikasi memberikan ketajaman penglihatan yang diukur tanpa menggunakan kacamata atau lensa kontak lebih baik dalam proporsi yang lebih besar dari pasien pada 6 minggu.

Berdasarkan hasil penelitian Ruit, dkk (2007), pada enam bulan, pada kelompok fakoemulsifikasi hasil visual lebih baik, dengan lebih banyak pasien memiliki lebih dari atau sama dengan 20/30 hasil visual yang baik dengan koreksi (94%) dan tanpa koreksi (54%). Sedangkan pada kelompok SICS 32% tanpa koreksi dan 89% dari pasien dengan kacamata melihat lebih baik dari atau sama dengan 20/30. Ada beberapa kemungkinan alasan untuk hasil visual yang lebih baik pada kelompok fakoemulsifikasi dibandingkan dengan kelompok SICS. Penjelasan yang paling mungkin karena tingkat kekeruhan kapsul posterior yang lebih besar terjadi pada kelompok SICS.


(29)

2. Umur

Umur adalah lamanya waktu hidup yaitu terhitung sejak lahir sampai dengan sekarang. Penentuan umur dilakukan dengan menggunakan hitungan tahun (Chaniago, 2002). Menurut Hurlock (1998) semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja. Menurut Suryabudhi (2003) seseorang yang menjalani hidup secara normal dapat diasumsikan bahwa semakin lama hidup maka pengalaman semakin banyak, pengetahuan semakin luas, keahliannya semakin mendalam dan kearifannya semakin baik dalam pengambilan keputusan tindakannya. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa kesembuhan penyakit lebih kecil 1,6 kali pada umur muda dibandingkan dengan umur tua (Zubaidah, 2013).

Umur diidentifikasi sebagai faktor yang berhubungan signifikan dengan hasil visual yang lebih buruk (Norregaard et al., 1998), dengan pasien berusia 90 tahun ke atas memiliki empat kali risiko hasil visual yang buruk bila dibandingkan dengan mereka yang berusia 50 sampai 59 tahun (Desai, Minassian & Reidy, 1999).

Khanna, dkk (2012) menyatakan bahwa kelompok umur memilik pengaruh bermakna terhadap waktu kesembuhan dilihat dari hasil ketajaman visual pasca operasi (p<0,001). Hal ini mungkin disebabkan oleh fakta bahwa semakin tua umur semakin akan dikaitkan dengan tingginya prevalensi riwayat penyakit yang diderita, seperti penyakit penyerta mata miopia, diabetes militus dan hipertensi (Hashemi dkk, 2012).

3. Jenis Kelamin

Menurut Hungu (2007) jenis kelamin (seks) adalah perbedaan antara perempuan dengan laki-laki secara biologis sejak seseorang lahir. Perempuan cenderung lebih


(30)

Pakistan dan studi dari Rajasthan di India menunjukkan bahwa perempuan memiliki hasil visual yang lebih buruk dibandingkan dengan laki-laki (Bourne et al., 2007;Murthy et al., 2001). Ruit, ddk (2007) juga menyatakan bahwa laki-laki memiliki kencenderungan yang lebih untuk mencapai ketajaman visual terbaik, 6/18 dalam 40 hari dibandingkan perempuan.

Khanna, dkk (2012) yang menyatakan bahwa perempuan memiliki kecenderungan terhadap waktu kesembuhan yang lebih lama jika dilihat dari ketajaman visual pasca operasi, sehingga jenis kelamin tetap dimasukkan kedalam model. Jika dilihat dari distribusinya, perempuan cenderung menggunakan jenis operasi SICS, sehingga ada kemungkinan komplikasi yang lebih banyak terjadi pada perempuan yang membuat perempuan memiliki waktu kesembuhan lebih lama dibandingkan dengan laki-laki (Khanna dkk 2012 ; Hashemi dkk, 2012).

4. Riwayat Penyakit

Riwayat penyakit lain yang di derita pasien dapat mempengaruhi waktu kesembuhan, seperti jika pasien menderita penyakit Diabetes Mellitus (DM). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Puspitasari (2011), pasien dengan riwayat penyakit DM 6,264 kali lebih lama penyembuhannya dibandingkan dengan pasien yang tidak memiliki riwayat DM.

Pemeriksaan mengungkapkan bahwa 127 dari 177 mata (71,7%) setelah 12 sampai 18 bulan dari ekstraksi katarak memiliki hasil visual yang buruk karena gangguan mata pra operasi. Berbagai kondisi mata pra operasi yang bertanggung jawab untuk pencapaian visual yang buruk di 127 mata adalah climatic droplet keratopathy (CDK) dan


(31)

trachomatous corneal scarring, mewakili 40,9% kasus, glaucoma, penyakit makula dan retina merupakan 25,9% dari kasus (Salem, 1987).

5. Komplikasi

Sebanyak 31 mata (15,8%) setelah 12 sampai 18 bulan dari ekstraksi katarak memiliki hasil visual yang buruk karena komplikasi bedah. Jenis komplikasi yang dialami adalah ablasi retina (32,3%), vitreous heamorrhage (25,8%), Cystoid Macular Edema (CME) dan endophthalmitis masing-masing sebesar 9,7% (Salem, 1987).

Pada dasarnya, Phaco dan SICS menghasilkan komplikasi yang sedikit. Namun,

jika dibandingkan dengan Phaco, ada risiko antigmatisme dan edema kornea yang lebih

pada SICS (Bougton B, 2009). Ruit, dkk (2010) menambahkan bahwa lebih banyak risiko

kekeruhan posterior kapsular pada kelompok SICS dibandingan dengan kelompok Phaco

dan juga sering terjadi luka iris pada teknik SICS. Hal ini disebabkan karena ukuran sayatan pada teknik SICS lebih besar dibandingkan dengna Phaco yaitu sekitar 6 mm dan seringkali memerlukan jahitan. Berdasarkan hal tersebut, seringkali terjadinya kesalahan saat membuat sayatan (Bougton B, 2009).

2.5 Waktu Kesembuhan

Waktu kesembuhan adalah waktu yang diperlukan untu kembali ke keadaan normal atau mendekati normal setelah mengalami suatu penyakit atau trauma (White, 2007). Kesembuhan dapat di peroleh melalu suatu pengobatan atau tindakan berupa operasi. Waktu kesembuhan suatu operasi sangat penting untuk diketahui. Dengan mengetahui waktu kesembuhan dapat melakukan monitoring dan evaluasi keefektivan dari operasi tersebut serta merupakan komponen penting dari sistem survailans untuk


(32)

pertimbangan dalam mengurangi beban pasien dan keluarga untuk melakukan perawatan pasca operasi sampai pasien dinyatakan sembuh (Jamison, dkk., 2006).

2.6 Metode Analisis Kesintasan

Analisis kesintasan (survival) adalah suatu metode yang berhubungan dengan waktu, mulai dari time origin atau start point sampai dengan terjadinya suatu kejadian

khusus atau end point. Data yang diperoleh di bidang kesehatan merupakan pengamatan

terhadap pasien yang diamati dan dicatat waktu terjadinya kegagalan dari setiap individu (Collet, 1994).

Dalam analisis kesintasan, ada istilah failure, yaitu suatu kejadian dimana tercatatnya kejadian yang diinginkan. Dalam menentukan waktu kesintasan, ada tiga faktor yang dibutuhkan yaitu :

1. Waktu awal pencatatan (start point).

Waktu awal pencatatan adalah waktu awal dimana dilakukannya pencatatan untuk menganalisis suatu kejadian.

2. Waktu akhir pencatatan (end point).

Waktu akhir pencatatan adalah waktu pencatatan berakhir. Waktu ini berguna untuk mengetahui status tersensor atau tidak tersensor seorang pasien untuk bisa melakukan analisis.

3. Dan skala pengukuran sebagai batas dari waktu kejadian dari awal sampai akhir kejadian. Skala diukur dalam hari, minggu, atau tahun.


(33)

Menurut (Kleinbaum, 1997) ada beberapa tujuan analisis kesintasan:

1. Mengestimasi/memperkirakan dan menginterpretasikan fungsi kesintasan atau hazard

dari data kesintasan.

2. Membandingkan fungsi kesintasan dan fungsi Hazard pada dua atau lebih kelompok.

3. Menilai hubungan variabel-variabel explanatory dengan kesintasan waktu ketahanan.

2.6.1 Data Tersensor

Yang membedakan antara analisis kesintasan dengan analisis statistik lainnya adalah adanya data tersensor. Data tersensor adalah data tercatat saat adanya informasi tentang waktu kesintasan individual, tetapi tidak tahu persis waktu kesintasan yang sebenarnya (Kleinbaum & Klein, 2011: 5-6). Menurut Catala dkk., (2011) ada 3 alasan terjadinya data tersensor :

1. Seseorang tidak mengalami suatu peristiwa dari awal pencatatan sampai akhir pencatatan.

2. Sesorang hilang tanpa ada alasan ketika pencatatan sampai akhir pencatatan.

3. Seseorang tercatat keluar dari penelitian karena kematian atau beberapa alasan lain

seperti reaksi obat yang merugikan objek.

Sedangkan menurut Pyke &Thompson (1986) data dikatakan tersensor jika pengamatan waktu kesintasan hanya sebagian, tidak sampai failure event. Penyebab terjadinya data tersensor antara lain:

1. Loss to follow up, terjadi bila obyek pindah, meninggal atau menolak untuk berpartisipasi.


(34)

3. Termination, terjadi bila masa penelitian berakhir sementara obyek yang diobservasi belum mencapai failure event.

Situasi ini diilustrasikan dengan grafik di bawah ini. Grafik menggambarkan

beberapa orang atau objek yang diikuti. � menyatakan orang atau objek yang

mendapatkan peristiwa.

Dalam bukunya Crowder dkk (1991) mengatakan bahwa ada 3 jenis penyensoran, yaitu:

1. Left-censored, observasi dikatakan left-cencored jika objek yang diobservasi mengalami peristiwa di bawah waktu yang telah ditetapkan atau ketika masa observasi belum selesai.

2. Right-censored, obsevasi dikatakan right-cencored jika objek masih hidup atau masih beroperasi ketika masa observasi telah selesai.

X

X hilang

Penelitian berakhir dikeluarkan

Penelitian berakhir

2 4 6 8 10 12

A

B

C

D

E

F


(35)

3. Interval-censored, ketika objek mengalami peristiwa diantara interval waktu tertentu maka observasi dikatakan interval-censored

Menurut Lee dan Wang (2003) ada 3 tipe penyensoran data, yaitu:

1. Tipe I, jika objek-objek diobservasi selama waktu tertentu, namun ada beberapa objek yang mengalami peristiwa setelah periode atau masa observasi selesai, dan sebagian lagi mengalami peristiwa diluar yang ditetapkan.

2. Tipe II, masa observasi selesai setelah sejumlah objek yang diobservasi diharapkan mengalami peristiwa yang ditetapkan, sedang objek yang tidak mengalami peristiwa disensor.

3. Tipe III, jika waktu awal dan waktu berhentinya observasi dari objek

berbeda-beda. Sensor tipe III ini sering disebut sebagai random-censored. 2.6.2 Fungsi Kesintasan dan fungsi Hazard

Pada analisis kesintasan ada dua hal yang mendasar yaitu fungsi kesintasan dan fungsi Hazard. Fungsi kesintasan merupakan dasar dari analisis ini, karena meliputi probabilitas kesintasan dari waktu yang berbeda-beda yang memberikan informasi penting tentang data kesintasan.

Secara teori, fungsi kesintasan dapat digambarkan dengan kurva mulus dan memiliki karakteristik sebagai berikut (Kleinbaum dan Klein, 2005):

1. Tidak meningkat, kurva cenderung menurun ketika � meningkat

2. Untuk �=0, � = 0 =1 adalah awal dari penelitian, karena tidak ada objek yang mengalami peristiwa, probabilitas waktu kesintasan 0 adalah 1


(36)

3. Untuk �=∞, � = ∞ =0; secara teori, jika periode penelitian meningkat tanpa limit maka tidak ada satu pun yang bertahan sehingga kurva kesintasan mendekati nol

Gambar 2.2 Kurva Fungsi Kesintasan

Berbeda dengan fungsi kesintasan yang fokus pada tidak terjadinya peristiwa, fungsi Hazard fokus pada terjadinya peristiwa. Oleh karena itu fungsi Hazard dapat dipandang sebagai pemberi informasi yang berlawan dengan fungsi kesintasan.

Sama halnya dengan kurva fungsi kesintasan, kurva fungsi Hazard juga memiliki karakteristik, yaitu (Kleinbaum dan Klein, 2005):

1. Selalu nonnegatif, yaitu sama atau lebih besar dari nol

2. Tidak memiliki batas atas

Selain itu fungsi Hazard juga digunakan untuk alasan:

1. Memberi gambaran tentang keadaan failure rate


(37)

3. Membuat model matematik untuk analisis kesintasan biasa

Gambar 2.3 Kurva Fungsi Hazard

2.7 Life table

Metode Life Table adalah metode yang umum digunakan dalam analisis

kesintasan. Tabel ini bisa dianggap sebagai tabel frekuensi distribusi, dimana distribusi dari survival time dibagi menjadi beberapa interval. Pada masing-masing interval tersebut dihitung jumlah proporsi dari objek yang hidup dari keseluruhan sampel dan proporsi dari kejadian yang janggal dalam rentang interval tersebut. Adapun komponen life table adalah sebagai berikut:

Tabel 2.2 Komponen Life Table

No. Komponen Formula

1. Interval start time (x)

2. Number entering interval (nx) n(x+1) =nx-wx-dx

3. Number withdrawal (wx)


(38)

6. Proportion terminating (qx) qx=dx/n’x

7. Proportion surviving (px) px=1-qx

8. Cum. proport. surviving (Lx) Lo=px

Lx=L(x-t) x px

9. Probability density =dx/(t x n’x)

10. Hazard Ade = dx/{t x (nx+nx+1)/2}

Akan dapat dilihat bahwa komponen yang berubah pada life table hanya pada sampel awal, dan jumlah sampel yang mencapai end point dan tersensor pada tiap interval. Adapun dari komponen tersebut yang dilihat adalah Lx sebagai pembentuk fungsi kurva kesintasan, density, dan Hazard.

2.8 Kaplan-Meier

Kaplan-Meier merupakan suatu metode untuk membuat tabel dan grafik fungsi harapan hidup (survival function) atau fungsi kematian kasar (hazard function) untuk lama waktu terjadinya suatu kondisi yang diteliti dari saat pengamatan dimulai (time to event data). Metode ini pertama kali diperkenalkan oleh Kaplan dan Meier (1985) untuk menganalisis harapan hidup untuk periode waktu tertentu dari sebuah penelitian kohort atau eksperimental (follow-up study).

Analisis Kapaln-Meier digunakan untuk menganalisis perbedaan survival time dua kelompok atau lebih dengan asumsi variasi survival time hanya ditentukan oleh faktor waktu dan tidak dipengaruhi oleh variabel perancu atau covariate (Widarsa, 2014).

2.9 Uji Log Rank

Menurut (Peto & Peto) asumsi yang sedikit berbeda dalam jumlah data dari yang diobservasi dan analisis kesintasan disebut Log Rank. Uji Log Rank digunakan untuk


(39)

melihat kesesuaian atau ketidak sesuaian diantara grup 1 dan grup 2 dalam analisis

kesintasan . Caranya adalah dengan membandingkan estimasi Hazard function dari grup

yang diobservasi dalam waktu tertentu. Uji Log Rank diperluas untuk analisis stratifikasi, sebagai contoh, pengaruh variabel prognostik yang patut diperhitungkan, dan untuk membandingkan 3 kelompok atau lebih (Machin dkk, 2006).

2.10 Cox Regression

Model regresi Cox diperkenalkan oleh D.R. Cox (1972) dan pertama kali diterapkan pada data kesintasan. Pada model tersebut variabel peyerta dimasukkan dalam model sebagai variabel bebas dan waktu kesintasan sebagai variabel tak bebas. Dengan menerapkan model regresi Cox, maka akan diketahui bentuk hubungan antar variabel (Kontz and Johnson, 1982).

Model regresi ini dikenal juga dengan istilah Proportional Hazard Model karena

asumsi proporsional pada fungsi Hazardnya. Secara umum, model regresi Cox

dihadapkan pada situasi dimana kemungkinan kegagalan individu pada suatu waktu yang dipengaruhi oleh satu atau lebih variabel penjelas. (Collet, 1994)

Hazard (h) dalam regresi survival adalah risiko terjadinya endpoint (kematian) pada periode waktu berikutnya berdasarkan baseline pada awal periode tersebut (Widarsa,

2015). Hazard Ratio adalah perbandingan hazard kelompok terpapar dengan kelompok

tidak terpapar. Bila variabel X adalah variabel paparan dengan kategori 1=terpapar dan 0=tidak terpapar, maka penghitungan HR dapat dilakukan dengan cara berikut (Widarsa, 2014).


(40)

Dari perhitungan tersebut dapat diringkas, bahwa HR dari variabel paparan (X) adalah sama dengan expotensial koefisien regresi () dari varaiabel paparan (X) tersebut. Jadi, HR dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut.

�� = ��� �

Note:

HR > 1, artinya variabel bebas meningkatkan risiko

HR = 1, artinya variabel bebas tidak berpengaruh


(1)

3. Interval-censored, ketika objek mengalami peristiwa diantara interval waktu tertentu maka observasi dikatakan interval-censored

Menurut Lee dan Wang (2003) ada 3 tipe penyensoran data, yaitu:

1. Tipe I, jika objek-objek diobservasi selama waktu tertentu, namun ada beberapa objek yang mengalami peristiwa setelah periode atau masa observasi selesai, dan sebagian lagi mengalami peristiwa diluar yang ditetapkan.

2. Tipe II, masa observasi selesai setelah sejumlah objek yang diobservasi diharapkan mengalami peristiwa yang ditetapkan, sedang objek yang tidak mengalami peristiwa disensor.

3. Tipe III, jika waktu awal dan waktu berhentinya observasi dari objek berbeda-beda. Sensor tipe III ini sering disebut sebagai random-censored.

2.6.2 Fungsi Kesintasan dan fungsi Hazard

Pada analisis kesintasan ada dua hal yang mendasar yaitu fungsi kesintasan dan fungsi Hazard. Fungsi kesintasan merupakan dasar dari analisis ini, karena meliputi probabilitas kesintasan dari waktu yang berbeda-beda yang memberikan informasi penting tentang data kesintasan.

Secara teori, fungsi kesintasan dapat digambarkan dengan kurva mulus dan memiliki karakteristik sebagai berikut (Kleinbaum dan Klein, 2005):

1. Tidak meningkat, kurva cenderung menurun ketika � meningkat

2. Untuk �=0, � = 0 =1 adalah awal dari penelitian, karena tidak ada objek yang mengalami peristiwa, probabilitas waktu kesintasan 0 adalah 1


(2)

3. Untuk �=∞, � = ∞ =0; secara teori, jika periode penelitian meningkat tanpa limit maka tidak ada satu pun yang bertahan sehingga kurva kesintasan mendekati nol

Gambar 2.2 Kurva Fungsi Kesintasan

Berbeda dengan fungsi kesintasan yang fokus pada tidak terjadinya peristiwa, fungsi Hazard fokus pada terjadinya peristiwa. Oleh karena itu fungsi Hazard dapat dipandang sebagai pemberi informasi yang berlawan dengan fungsi kesintasan.

Sama halnya dengan kurva fungsi kesintasan, kurva fungsi Hazard juga memiliki karakteristik, yaitu (Kleinbaum dan Klein, 2005):

1. Selalu nonnegatif, yaitu sama atau lebih besar dari nol 2. Tidak memiliki batas atas

Selain itu fungsi Hazard juga digunakan untuk alasan: 1. Memberi gambaran tentang keadaan failure rate 2. Mengidentifikasi bentuk model yang spesifik


(3)

3. Membuat model matematik untuk analisis kesintasan biasa

Gambar 2.3 Kurva Fungsi Hazard 2.7 Life table

Metode Life Table adalah metode yang umum digunakan dalam analisis kesintasan. Tabel ini bisa dianggap sebagai tabel frekuensi distribusi, dimana distribusi dari survival time dibagi menjadi beberapa interval. Pada masing-masing interval tersebut dihitung jumlah proporsi dari objek yang hidup dari keseluruhan sampel dan proporsi dari kejadian yang janggal dalam rentang interval tersebut. Adapun komponen life table adalah sebagai berikut:

Tabel 2.2 Komponen Life Table

No. Komponen Formula

1. Interval start time (x)

2. Number entering interval (nx) n(x+1) =nx-wx-dx 3. Number withdrawal (wx)

4. Number exposed to risk (n’x) n’x = nx -1/2wx


(4)

6. Proportion terminating (qx) qx=dx/n’x 7. Proportion surviving (px) px=1-qx 8. Cum. proport. surviving (Lx) Lo=px

Lx=L(x-t) x px

9. Probability density =dx/(t x n’x)

10. Hazard Ade = dx/{t x (nx+nx+1)/2}

Akan dapat dilihat bahwa komponen yang berubah pada life table hanya pada sampel awal, dan jumlah sampel yang mencapai end point dan tersensor pada tiap interval. Adapun dari komponen tersebut yang dilihat adalah Lx sebagai pembentuk fungsi kurva kesintasan, density, dan Hazard.

2.8 Kaplan-Meier

Kaplan-Meier merupakan suatu metode untuk membuat tabel dan grafik fungsi harapan hidup (survival function) atau fungsi kematian kasar (hazard function) untuk lama waktu terjadinya suatu kondisi yang diteliti dari saat pengamatan dimulai (time to event data). Metode ini pertama kali diperkenalkan oleh Kaplan dan Meier (1985) untuk menganalisis harapan hidup untuk periode waktu tertentu dari sebuah penelitian kohort atau eksperimental (follow-up study).

Analisis Kapaln-Meier digunakan untuk menganalisis perbedaan survival time dua kelompok atau lebih dengan asumsi variasi survival time hanya ditentukan oleh faktor waktu dan tidak dipengaruhi oleh variabel perancu atau covariate (Widarsa, 2014).

2.9 Uji Log Rank

Menurut (Peto & Peto) asumsi yang sedikit berbeda dalam jumlah data dari yang diobservasi dan analisis kesintasan disebut Log Rank. Uji Log Rank digunakan untuk


(5)

melihat kesesuaian atau ketidak sesuaian diantara grup 1 dan grup 2 dalam analisis kesintasan . Caranya adalah dengan membandingkan estimasi Hazard function dari grup yang diobservasi dalam waktu tertentu. Uji Log Rank diperluas untuk analisis stratifikasi, sebagai contoh, pengaruh variabel prognostik yang patut diperhitungkan, dan untuk membandingkan 3 kelompok atau lebih (Machin dkk, 2006).

2.10 Cox Regression

Model regresi Cox diperkenalkan oleh D.R. Cox (1972) dan pertama kali diterapkan pada data kesintasan. Pada model tersebut variabel peyerta dimasukkan dalam model sebagai variabel bebas dan waktu kesintasan sebagai variabel tak bebas. Dengan menerapkan model regresi Cox, maka akan diketahui bentuk hubungan antar variabel (Kontz and Johnson, 1982).

Model regresi ini dikenal juga dengan istilah Proportional Hazard Model karena asumsi proporsional pada fungsi Hazardnya. Secara umum, model regresi Cox dihadapkan pada situasi dimana kemungkinan kegagalan individu pada suatu waktu yang dipengaruhi oleh satu atau lebih variabel penjelas. (Collet, 1994)

Hazard (h) dalam regresi survival adalah risiko terjadinya endpoint (kematian) pada periode waktu berikutnya berdasarkan baseline pada awal periode tersebut (Widarsa, 2015). Hazard Ratio adalah perbandingan hazard kelompok terpapar dengan kelompok tidak terpapar. Bila variabel X adalah variabel paparan dengan kategori 1=terpapar dan 0=tidak terpapar, maka penghitungan HR dapat dilakukan dengan cara berikut (Widarsa, 2014).


(6)

Dari perhitungan tersebut dapat diringkas, bahwa HR dari variabel paparan (X) adalah sama dengan expotensial koefisien regresi () dari varaiabel paparan (X) tersebut. Jadi, HR dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut.

�� = ��� � Note:

HR > 1, artinya variabel bebas meningkatkan risiko HR = 1, artinya variabel bebas tidak berpengaruh