KEWENANGAN KOMISI APARATUR SIPIL NEGARA DALAM PROSES "LELANG JABATAN" TERKAIT SISTEM MERIT BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA.

(1)

i

NEGARA DALAM PROSES “LELANG JABATAN”

TERKAIT SISTEM MERIT BERDASARKAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2014

TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA

I GUSTI MADE AGUS MEGA PUTRA NIM. 1203005028

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

ii

KEWENANGAN KOMISI APARATUR SIPIL

NEGARA DALAM PROSES “LELANG JABATAN”

TERKAIT SISTEM MERIT BERDASARKAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2014

TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

I GUSTI MADE AGUS MEGA PUTRA NIM. 1203005028

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(3)

(4)

(5)

v

KATA PENGANTAR

Om Swastyastu,

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa karena berkat Asung Kertha Wara Nugraha-Nya, penulisan skripsi ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya guna memenuhi syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan dalam bidang hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana. Adapun judul yang dipilih dalam

penulisan skripsi ini adalah “KEWENANGAN KOMISI APARATUR SIPIL

NEGARA DALAM PROSES “LELANG JABATAN” TERKAIT SISTEM

MERIT BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA”.

Keberhasilan penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bimbingan dan bantuan secara moril maupun materiil dari berbagai pihak. Untuk itu melalui kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH.,MH, Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana.

2. Bapak I Ketut Sudiarta, SH.,MH, Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Udayana.

3. Bapak I Nyoman Bela Sikilayang, SH.,MH, Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Udayana.

4. Bapak I Wayan Suardana, SH.,MH, Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Udayana.


(6)

vi

5. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH.,MH, Pembimbing I yang telah memberikan petunjuk dan bimbingan dengan penuh kesabaran dalam penulisan skripsi ini.

6. Ibu Ni Gusti Ayu Dyah Satyawati , SH.,M.Kn.,LLM, Pembimbing II yang telah memberikan petunjuk dan bimbingan dengan penuh kesabaran dalam penulisan skripsi ini.

7. Ibu Ni Made Ari Yuliartini Griadhi, SH.,MH, Pembimbing Akademik yang

telah memberikan waktu dan petunjuk selama mengikuti perkuliahan.

8. Bapak I Ketut Suardita,SH.,MH, Ketua Bagian Hukum Administrasi Negara di Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah menyetujui skripsi saya ini.

9. Bapak dan Ibu Dosen serta segenap Staf Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah memberikan pengetahuan dan bimbingan yang sangat berharga kepada saya, serta membantu dalam mengurus segala keperluan administrasi selama saya kuliah.

10. Bapak Kadek Sarna, SH., M.Kn, yang telah memberikan inspirasi dan pencerahan kepada saya.

11. Orang Tua tercinta, Bapak I Gusti Rai Wirata, dan Ibu I Gusti Ayu Ketut Rai Kerti , serta kakak saya I Gusti Ayu Putu Yuliari dan Adik saya I Gusti Nyoman Agus Aprianto Edi Putra atas segala dukungan, perhatian dan kasih sayangnya.

12. Terima kasih untuk LMFH, para senior, rekan seperjuangan dan junior di organisasi serta teman-teman Penulis, Aik, Adel, Cida, Cintya, Diska,


(7)

vii

Noving, Indra, Gek Emik, Maria, dan teman-teman Kelas A, KKN Tenganan, serta teman-teman Penulis di angkatan 2012 yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu.

13. Dan tentunya sahabat-sahabat Penulis, Gungde Manik, Tigor, Moje, Koling, Gung We, Taka, dan Boldes yang telah banyak memberikan bantuan, dukungan dan hiburan serta warna tersendiri selama penulis kuliah di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Semoga atas segala jasa dan budi baik yang telah diberikan dengan tulus ikhlas mendapat imbalan yang setimpal dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, maka dari itu kritik dan saran sangat diharapkan untuk kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap kelak terdapat penelitian-penelitian empiris terhadap topik tulisan ini sehingga tidak hanya kebenaran normatif atau teoritis yang didapat namun juga kebenaran empiris. Akhirnya saya berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Denpasar, 6 Januari 2016 Penulis


(8)

(9)

ix DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DALAM ... i

HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... iii

HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI ... iv

HALAMAN KATA PENGANTAR ... v

HALAMAN SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... viii

HALAMAN DAFTAR ISI ... ix

ABSTRAK ... xii

ABSTRACT ... xiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 10

1.3 Ruang Lingkup Masalah ... 10

1.4 Tujuan Penulisan ... 10

1.4.1 Tujuan umum ... 11

1.4.2 Tujuan khusus ... 11

1.5 Manfaat Penulisan ... 11

1.5.1 Manfaat teoritis ... 11

1.5.2 Manfaat praktis ... 12

1.6 Landasan Teoritis ... 12

1.7 Metode Penelitian ... 21


(10)

x

1.7.2 Jenis pendekatan ... 22

1.7.3 Sumber bahan hukum ... 23

1.7.4 Teknik pengumpulan bahan hukum ... 26

1.7.5 Teknik analisa bahan hukum ... 26

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEWENANGAN, KOMISI APARATUR SIPIL NEGARA, “LELANG JABATAN”, SISTEM MERIT, APARATUR SIPIL NEGARA 2.1 Tinjauan Umum Tentang Kewenangan ... 28

2.1.1 Asas Legalitas dan Wewenang Pemerintahan ... 28

2.1.2 Sumber dan Cara Memperoleh Wewenang Pemerintahan .. 30

2.2 Tinjauan Umum Tentang Komisi Aparatur Sipil Negera (KASN) ... 32

2.2.1 Latar Belakang Pembentukan KASN ... 32

2.2.2 Kedudukan, Fungsi, dan Kewenangan KASN ... 33

2.3 Tinjauan Umum Tentang “Lelang Jabatan” ... 36

2.3.1 Peristilahan dan Perkembangan Istilah “Lelang Jabatan” ... 36

2.3.2 Konsep dan Kebijakan “Lelang Jabatan” ... 40

2.4 Tinjauan Umum Tentang Sistem Merit ... 42

2.4.1 Pengertian Sistem Merit ... 42

2.4.2 Sistem Merit Dalam Politik Hukum Kepegawaian di Indonesia ... 45


(11)

xi

BAB III PENGATURAN “LELANG JABATAN” SERTA KAITANNYA DENGAN SISTEM MERIT DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA

3.1 Pengaturan “Lelang Jabatan” Terkait Sistem Merit Sebelum

Berlakunya UU ASN ... 49 3.2 Pengaturan “Lelang Jabatan” Terkait Sistem Merit Setelah

Berlakunya UU ASN ... 63

BAB IV RUANG LINGKUP KEWENANGAN KOMISI APARATUR

SIPIL NEGARA DALAM PELAKSANAAN “LELANG JABATAN”

4.1 Kewenangan Komisi Aparatur Sipil Negara pada Setiap

Tahapan dalam Proses “Lelang Jabatan” ... 71

4.2 Kewenangan KASN dalam Menerima dan Sekaligus

Menindaklanjuti Pengaduan Terkait Hasil “Lelang Jabatan” ... 83

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan ... 93 5.2 Saran ... 94 DAFTAR PUSTAKA ... 96


(12)

xii ABSTRAK

Mekanisme pengangkatan PNS dalam jabatan struktural dalam UU Kepegawaian lama belum diatur secara tegas sehingga dalam pelaksanaanya sering terjadi politisasi dalam pengangkatanya yang berimplikasi pada rendahnya kompetensi pejabat terpilih. Hal inilah yang menyebabkan reformasi birokrasi menjadi terhambat. Untuk mengatasi celah hukum ini maka diterapkanlah “lelang jabatan” dalam pengangkatan PNS dalam jabatan struktural. “Lelang jabatan” sebelum berlakunya UU ASN menuai perdebatan karena hanya didasarkan pada surat edaran. Masih hangatnya perdebatan tentang “lelang jabatan” tahun 2014 disahkan UU ASN yang membawa perubahan besar dalam bidang kepegawaian. Poin penting dalam UU ASN yaitu manajemen ASN harus berdasarkan pada Sistem Merit termasuk keberadaan KASN sebagai lembaga pengawas Sistem Merit. Berdasarkan uraian diatas relevan untuk dibahas bagaimanakah pengaturan dari “lelang jabatan” serta kaitanya dengan sistem merit dalam UU ASN dan

bagaimanakah ruang lingkup kewenangan KASN dalam pelaksanaan “lelang

jabatan”. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan pemahaman mengenai

pengaturan “lelang jabatan” serta kewenangan KASN dalam proses “lelang jabatan”.

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan analisis konsep hukum, dan pendekatan sejarah.

Hasil dari penelitian ini yaitu pengaturan “lelang jabatan” sebelum berlakunya UU ASN belum memiliki dasar hukum yang kuat karena hanya

berdasarkan surat edaran sedangkan setelah berlakunya UU ASN “lelang jabatan”

telah memiliki dasar hukum yang kuat dan dalam pelaksanaanya juga akan diawasi KASN. Adapun kewenangan KASN yaitu berwenang mengawasi dan memberikan rekomendasi yang mengikat kepada PPK pada setiap tahapan proses

“lelang jabatan”. KASN juga berwenang menerima dan menindaklanjuti

pengaduan masyarakat terkait hasil “lelang jabatan” yang sudah selesai. Dengan pengaturan yang ada sekarang KASN perlu melibatkan partisipasi masyarakat dan membentuk peraturan terkait mekanisme penyampaian pengaduan dan laporan masyarakat.


(13)

xiii

ABSTRACT

The mechanism of the appointment of government employees in a structural positions based on the previous Employment Act has not been regulated explicitly, as a result the implementation of the appointment tend to be subjective, which implicate to the low competencies of the elected officials. This causes the reformation of bureaucracy become obstructed. In order to close the gap in that law “lelang jabatan” or open bidding is implemented in the appointment of government employees in structural positions. Before enactment of Civilian State Apparatus Act “lelang jabatan”or Open Bidding was debated because it’s only based on circular letter. In the midst of the debate concerning “lelang jabatan”, in 2014 Civilian State Apparatus Act was authorized which brought about a significant changes in the employment sector. An important point in the Civilian State Apparatus Act is that the management of Civilian State Apparratus must be done based on a Meryt System including the existence of Commission Civil State Apparatus as an institution which monitors the Meryt System. Based on the above explanation, it is relevant to be researched that how the regulatory regime of the Open Bidding associated with the Meryt System and how the scope of authority of Commission Civil State Apparatus in the open bidding process. This research conducted to gain an understanding of Open Bidding process and the scope of authority of the Commission Civilian State Apparatus in the Open Bidding process.

This research uses normative legal research with statute approach, analytical & conceptual approach, and historical approach.

The results of this research are the regulatory regime of Open Bidding before the enactment of Civilian State Apparatus Act does not have a strong legal basis because it is based on circular letter meanwhile after the enactment of Civilian State Apparatus Act the Open Bidding had has a strong legal basis and in it’s process will be overseen by Commission Civil State Apparatus. Commission Civil State Apparatus has the authority to supervise and provide binding recommendations to Staf Development Officer at each stage of the Open Bidding process. Commission Civil State Apparatus also has the authority to receive, inspect and handle public complaints related to completed Open Bidding results. With the current regulatory regime, Commission Civil State Apparatus need to involve public participation and establish regulation about the delivery mechanisms of public complaint.


(14)

1

1.1 Latar Belakang

Praktek kesewenang-wenangan dari para penguasa dan penyelenggara negara yang cenderung melanggar dan merugikan hak-hak warga negara akan senantiasa terjadi karena kekuasaan itu akan cenderung disalahgunakan oleh orang yang memegang kekuasaan itu sendiri. Sikap otoriter atau korupsi penguasa ini niscaya terjadi berdasar hukum besi politik yang didalilkan oleh Lord Acton bahwa kekuasaan itu akan cenderung korup dan kekuasaan yang absolut kecenderungan

korupnya absolut pula (power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely). 1

Pemikiran tentang negara hukum kemudian menjadi sebuah jawaban untuk dapat membatasi kekuasaan penguasa dan penyelenggara negara yang cenderung melahirkan kesewenang-wenangan tersebut.

Konsep negara hukum kesehjateraan (welfare state) muncul sebagai reaksi

atas kegagalan konsep negara hukum formal atau yang dikenal juga dengan negara

penjaga malam nachtwachtersstaat. Ciri utama negara ini adalah munculnya

kewajiban pemerintah untuk mewujudkan kesehjateraan umum bagi warganya.

Dengan kata lain, ajaran welfare state merupakan bentuk konkret dari peralihan

staatsonthouding, yang mambatasi peran negara dan pemerintah untuk mencampuri

kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat, menjadi staatsbemoeienis yang

1

Moh. Mahfud MD, 2010, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Rajawali Pers, Jakarta, h.143.


(15)

menghendaki negara dan pemerintah terlibat aktif dalam kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat, sebagai langkah untuk mewujudkan kesehjateraan umum,

disamping menjaga ketertiban dan keamanan (rust en orde).2

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945) menyatakan bahwa “Negara Indonesia

adalah negara hukum”. Merujuk pada bunyi Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945, menunjukan bahwa Negara Indonesia telah menyatakan dirinya sebagai sebuah negara hukum yang berarti bahwa setiap penyelenggaraan kehidupan bernegara harus

berdasarkan atas hukum (everything must be done according to the law). Negara

Indonesia tergolong sebagai negara hukum kesejahteraan sebagaimana termaktub dalam alinea keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 yang kemudian ditetapkan sebagai tujuan nasional bangsa Indonesia, yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Dianutnya konsepsi negara hukum kesehjateraan (welfare state) menimbulkan

konsekuensi bahwa suatu negara harus benar-benar memiliki perangkat administrasi negara yang handal dalam mengemban tugas pelayanan umum dalam rangka

mewujudkan kesehjateraan umum sebagai pelaksanaan welfare state. Terlebih lagi

untuk mewujudkan tujuan nasional Negara Indonesia sebagaimana termaktub dalam alinea keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, diperlukan sarana-prasarana

2


(16)

pendukung, baik berupa sumber daya manusia maupun sarana yang berbentuk benda. Salah satu sarana-prasarana pendukung yang sangat penting dalam rangka pencapaian tujuan nasional tersebut adalah sistem administrasi negara yang baik. Hubunganya dengan sumber daya manusia, sistem administrasi pemerintahan terbagi menjadi dua yaitu pegawai negeri dan masyarakat yang merupakan dua organisasi aktivitas manusia yang mempunyai tujuan yang sama, namun di dalamnya terdapat perbedaan

wewenang dalam pemerintahan. 3

Suatu hal yang tidak dapat kita pungkiri adalah adanya dinamika kemasyarakatan yang terus berkembang serta semakin bertambah kompleksnya kebutuhan masyarakat sehingga menuntut terjadinya perkembangan dalam tindakan pemerintah dalam mewadahi kompleksitas kebutuhan masyarakat tersebut dan juga peningkatan kualitas pegawai negeri dalam menyelenggarakan fungsi pelayanan umum. Untuk menjawab tuntutan tersebut maka perlu dilakukan perubahan-perubahan dalam aspek pemerintahan guna mengoptimalkan kinerja pemerintah di dalam masyarakat. Salah satu perkembangan atau perubahan mendasar, dilakukan melalui reformasi birokrasi dalam bidang tata kelola pemerintahan di Indonesia.

Pembenahan dalam sistem administrasi negara merupakan salah satu hal terpenting yang perlu dilakukan dalam pencapaian tujuan negara. Salah satu unsur penyelenggaraan pemerintahan yang perlu untuk mendapatkan perhatian adalah penataan aparatur pemerintah yang meliputi penataan kelembagaan birokrasi

3

Sri Hartini, Hj. Setiajeng Kadarsih, dan Tedi Sudrajat, 2010, Hukum Kepegawaian di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, h. 6.


(17)

pemerintahan, sistem, dan penataan manajemen sumber daya pegawai (PNS).4 Berkaitan dengan penataan aparatur pemerintah tersebut, dewasa ini telah terjadi perubahan dalam tata kepemerintahan menuju tata kepemerintahan yang demokratis

dan baik (democratic and good governance).

Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk dapat mewujudkan tata pemerintahan yang baik dan demokratis tersebut. Lahirnya Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (selanjutnya disebut UU Kepegawaian) beserta seluruh peraturan pelaksanaanya dapat dikatakan sebagai suatu upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk mewujudkan pembenahan dalam tata kepemerintahan termasuk penataan manajemen kepegawaian yang seragam melalui penetapan norma, standar, dan prosedur yang jelas dalam pelaksanaan manajemen kepegawaian. Pasca reformasi upaya yang juga dilakukan oleh pemerintah adalah dengan mendengungkan sebuah kebijakan reformasi birokrasi. Reformasi Birokrasi adalah langkah-langkah strategis untuk membangun aparatur negara agar lebih berdayaguna dan berhasil guna dalam mengemban tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional.

Apa yang menjadi harapan kita dalam mewujudkan good governance (das

sollen) dengan upaya yang sudah dilakukan pemerintah, pada tataran praktek (das

sein) masih belum berjalan sesuai harapan. Masih banyak ditemukan praktek

penyelenggaraan pemerintahan yang menyimpang seperti misalnya praktek korupsi,

4

Miftah Thoha, 2010, Manajemen Kepegawaian Sipil di Indonesia, Cet.4, Kencana, Jakarta,


(18)

kolusi, dan nepotisme yang dilakukan oleh para penyelenggara negara dan aparatur negara lainya, maraknya pungutan liar, praktek suap, penggelembungan anggaran belanja, dan sebagainya. Salah satu penyebab terjadinya permasalahan diatas yaitu

kurangnya pemahaman dari aparatur pemerintahan terhadap konsep dari good

governance itu sendiri, dalam artian bahwa penerapan konsep good governance itu sendiri tidak dibarengi dengan kapasitas dan kapabilitas dari aparatur pemerintahan. Hal ini tentunya akan kembali pada upaya kita untuk melakukan peningkatan kualitas dan kemampuan dari aparatur pemerintahan itu sendiri. Oleh karena itu, untuk menyempurnakan reformasi birokrasi yang dikehendaki, perlu dilakukan upaya untuk menempatkan orang-orang atau aparatur yang tepat dalam mengisi jabatan dalam

struktur pemerintahan tersebut (the right man on the right place). Untuk mencapai

reformasi birokrasi yang tepat, maka diperlukan mekanisme pengisian jabatan-jabatan secara tepat pula.

Jabatan sebagai sebuah organ yang menentukan dalam suatu pemerintahan pada dasarnya dibagi kedalam jabatan fungsional dan jabatan struktural. Baik jabatan fungsional maupun jabatan struktural sudah seharusnya diisi dengan cara-cara yang baik, jujur dan adil sehingga tidak melanggar hak asasi setiap orang untuk memperoleh kesempatan yang sama untuk ikut serta dalam pemerintahan. Secara konstitusional hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan telah mendapat jaminan yang kuat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 27 ayat (1) UUD NRI 1945.


(19)

Khusus mengenai pengisian jabatan struktural atau pengangkatan PNS dalam jabatan struktural, secara normatif telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 2002 tentang Perubahan Pertama Peraturan Pemerintah No. 100 tahun 2000 Tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural (selanjutnya disebut PP No. 13 Tahun 2002). Namun peraturan ini tidak mengatur secara jelas mengenai mekanisme dan prosedur pengangkatan PNS dalam jabatan struktural melainkan hanya mengatur syarat dan pihak yang berwenang melakukan pengangkatan. Celah hukum inilah yang kemudian menimbulkan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme dalam pengangkatan PNS dalam jabatan. Untuk mengatasi masalah dalam pengaturan pengangkatan PNS dalam jabatan struktural ini, pemerintah kemudian mengeluarkan Surat Edaran Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KEMENPAN-RB) No. 16 Tahun 2012 Tentang Tata Cara Pengisian Jabatan Struktural yang Lowong Secara Terbuka di Instansi Pemerintah (selanjutnya disebut dengan S.E. KEMENPAN-RB No. 16 Tahun 2012). Dalam S.E. KEMENPAN-RB No. 16 Tahun 2012 terdapat bagian kalimat yang menyebutkan “…., guna lebih menjamin para pejabat struktural memenuhi kompetensi jabatan yang diperlukan oleh jabatan tersebut, perlu diadakan promosi PNS atau pengisian lowongan jabatan berdasarkan sistem merit dan terbuka, dengan mempertimbangkan kesinambungan karier PNS yang bersangkutan”. Poin penting yang patut dicermati dalam S.E. KEMENPAN-RB No. 16 Tahun 2012 ini disamping memuat himbauan mengenai mekanisme pengangkatan PNS dalam jabatan struktural juga mengamanahkan bahwa pengangkatan PNS dalam


(20)

jabatan struktural dapat dilakukan secara terbuka dengan tetap memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam PP No. 13 Tahun 2002.

Mekanisme dan prosedur pengangkatan PNS dalam jabatan struktural ini kemudian mulai diterapkan oleh beberapa daerah di Indonesia, salah satunya Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta pada saat dipimpin oleh Joko Widodo yang saat ini sedang menjabat Presiden Republik Indonesia. Penerapan mekanisme pengangkatan PNS dalam jabatan struktural secara terbuka yang dikenal luas dengan istilah “lelang jabatan“ oleh Joko Widodo ini kemudian menimbulkan reaksi yang beragam di tengah masyarakat. Ada yang mendukung kebijakan ini namun ada juga yang kontra terhadap penerapan sistem ini.

Pengangkatan PNS dalam jabatan struktural secara terbuka atau “lelang

jabatan” dapat dikatakan sebagai sebuah terobosan dan kebijakan yang bersifat reformis dalam memutus mata rantai nepotisme dalam bidang kepegawaian. Pengangkatan jabatan secara terbuka ini dinilai dapat lebih menjamin terwujudnya penempatan orang pada jabatan yang tepat sesuai dengan kualifikasi dan kompetensi yang dimiliki. Di sisi lain pengangkatan PNS dalam jabatan struktural secara terbuka ini juga dinilai akan menghasilkan sebuah kebijakan yang cacat hukum karena “lelang jabatan” dianggap tidak memiliki dasar hukum yang kuat mengingat hanya didasarkan pada surat edaran yang tidak dapat diklasifikasikan sebagai peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 dan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.


(21)

Dengan kata lain, hal ini berkaitan dengan keabsahan atau legitimasi pengaturan “lelang jabatan” ini.

Masih hangatnya pro kontra mengenai pengangkatan PNS dalam jabatan

struktural secara terbuka atau “lelang jabatan”, pada tahun 2014 pemerintah

membentuk dan mengesahkan sebuah undang-undang baru di bidang kepegawaian yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (selanjutnya disebut UU ASN). Pengesahan terhadap UU ASN membawa perubahan yang cukup besar dalam hal pengaturan kepegawaian di Indonesia. UU Kepegawaian yang selama ini menjadi landasan hukum dan regulasi utama dalam hal kepegawaian dirasa telah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan paradigma yang hendak dibangun dan diwujudkan dalam manajemen sumber daya aparatur sipil negara, sehingga perlu disusun undang-undang baru yang juga sesuai dengan tuntutan global. Pandangan baru dalam bidang kepegawaian muncul dalam substansi UU ASN ini. Beberapa pengertian baru juga muncul seperti Manajemen Aparatur Sipil Negara (selanjutnya disebut Manajemen ASN) dan adanya penerapan Sistem Merit dalam kebijakan dan manajemen ASN. Terdapat dua poin penting dalam UU ASN yang erat kaitanya dengan reformasi birokrasi dalam rangka mewujudkan tata pemerintahan yang baik dan demokratis yaitu adanya penerapan Sistem Merit dalam kebijakan dan manajemen ASN dan dibentuknya sebuah Komisi Aparatur Sipil Negara (selanjutnya disebut KASN) yang merupakan lembaga nonstruktural yang mandiri dan bebas dari intervensi politik.


(22)

Pasal 1 angka 5 UU ASN menyatakan bahwa “ Manajemen ASN adalah pengelolaan ASN untuk menghasilkan Pegawai ASN yang professional, memiliki nilai dasar, etika profesi, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Adapun yang dimaksud dengan Sistem Merit sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 22 UU ASN yaitu kebijakan dan Manajemn ASN yang berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi dan kinerja secara adil dan wajar dengan tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur, atau kondisi kecacatan. Manajemen ASN yang di dalamnya meliputi juga aspek pengadaan, pangkat dan jabatan serta promosi sebagaimana diatur dalam Pasal 51 UU ASN harus berdasarkan Sistem Merit.

Persoalan yang kemudian relevan untuk dibahas adalah memahami keterkaitan antara mekanisme pengangkatan PNS dalam jabatan struktural secara terbuka atau “lelang jabatan” dengan Manajemen ASN yang harus diselenggarakan berdasarkan Sistem Merit serta ruang lingkup dari kewenangan KASN dalam pelaksanaan “lelang jabatan”. Pembahasan mengenai sistem merit dalam kaitannya dengan promosi jabatan secara terbuka didalam UU No 5 Tahun 2014 tentang ASN dan kewenangan dari KASN dalam hal ini merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari agenda reformasi birokrasi dalam rangka mewujudkan tata pemerintahan yang baik dan demokratis.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk

membuat sebuah tulisan yang berjudul “KEWENANGAN KOMISI APARATUR


(23)

SISTEM MERIT BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN

2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA”.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah pengaturan dari “lelang jabatan” serta kaitanya dengan sistem merit dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara ?

2. Bagaimanakah ruang lingkup kewenangan Komisi Aparatur Sipil Negara

dalam pelaksanaan “lelang jabatan” ?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Ruang lingkup masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini perlu dibatasi untuk menghindari terjadinya penyimpangan dalam pembahasan penelitian serta pembahasannya lebih sistematis, metodelogis dan tidak terlalu luas sehingga nantinya menjadi terarah dan benar-benar tertuju pada pokok bahasan yang diinginkan. Adapun ruang lingkup masalah dalam penulisan ini yaitu :

1. Yang pertama akan dibahas mengenai bagaimana pengaturan dari

“lelang jabatan” serta kaitanya dengan sistem merit dalam UU ASN.

2. Yang kedua akan dibahas mengenai kewenangan dari KASN serta

ruang lingkup kewenangan KASN dalam pelaksanaan “lelang jabatan.

1.4 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:


(24)

1.4.1 Tujuan Umum

Tujuan umum penulisan ini adalah untuk memberikan kontribusi keilmuan secara ilmiah terkait pengembangan hukum administrasi negara dan juga terkait penyelenggaraan tata kelola pemerintahan yang baik dalam bidang kepegawaian termasuk didalamnya manajemen ASN.

1.4.2 Tujuan Khusus

Terdapat beberapa tujuan khusus yang hendak dicapai dari penulisan hukum ini, yakni :

1. Untuk mengetahui pengaturan dari “lelang jabatan” serta kaitanya

dengan sistem merit dalam UU ASN.

2. Untuk mengetahui kewenangan dari KASN serta ruang lingkup

kewenangan KASN dalam pelaksanaan “lelang jabatan”.

1.5 Manfaat Penulisan 1.5.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum di bidang hukum administrasi negara, khususnya pemahaman mengenai tata kelola pemerintahan yang baik dalam bidang kepegawaian dalam hal ini manajemen ASN.


(25)

1.5.2 Manfaat Praktis

Secara praktis, penulisan ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dan sumbangan pemikiran serta dapat memberikan kontribusi dan solusi konkret kepada pihak-pihak terkait yang terlibat dalam bidang kepegawaian. Terutama dalam hal manajemen ASN yang berkaitan dengan pengangkatan maupun promosi jabatan secara terbuka atau “lelang jabatan” serta pengawasan terhadap manajemen ASN sehingga dapat mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik dan demokratis.

1.6 Landasan Teoritis

1.6.1 Konsep Wewenang Pemerintahan

Wewenang menurut S.F. Marbun mengandung arti kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik, atau secara yuridis adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan

hubungan-hubungan hukum.5 Wewenang (bevoegheid) merupakan bagian yang

sangat penting dan bagian awal dari hukum administrasi, karena pemerintah baru dapat melaksanakan fungsinya atas dasar wewenang yang diperolehnya. Wewenang menjadi dasar bagi pemerintah untuk melakukan tindak pemerintahan. Keabsahan tindakan pemerintah didasarkan pada wewenang yang

5.

Sadjijono, 2011, Bab-Bab Pokok Hukum Administrasi, Cet. II, Edisi II, LaksBang,

Yogyakarta, h. 57, dikutip dari S.F. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif


(26)

diatur dalam peraturan perundang-undangan atau wewenang yang diperoleh dari

peraturan perundang-undangan (legaliteit beginsel).6

Dalam berbagai kepustakaan terdapat pembagian mengenai sifat wewenang

pemerintahan (bestuurbevoegheid), yakni :

a. Wewenang pemerintahan bersifat terikat, berarti bahwa wewenang

harus sesuai dengan peraturan dasarnya yang menentukan waktu dan dalam keadaan bagaimana wewenang tersebut dapat digunakan, termasuk ketentuan isi dan keputusan yang harus diambil, dengan kata lain, terjadi apabila peraturan dasar yang menentukan isi dari keputusan yang harus diambil secara terinci, maka wewenang wewenang pemerintahan semacam itu merupakan wewenang yang terikat;

b. Wewenang pemerintahan yang bersifat fakultatif, berarti bahwa

wewenang yang dimiliki oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan tidak wajib atau tidak ada keharusan untuk menggunakan wewenang tersebut atau sedikit banyak masih ada pilihan lain walaupun pilihan tersebut hanya dapat dilakukan dalam hal-hal dan keadaan tertentu sebagaimana ditentukan dalam peraturan dasarnya;

c. Wewenang pemerintahan yang bersifat bebas, berarti bahwa

wewenang yang dimiliki oleh badan atau pejabat tata usaha negara dapat menggunakan wewenangnya secara bebas untuk menentukan sendiri mengenai isi dari suatu keputusan yang akan dikeluarkannya karena peraturan dasarnya memberi kebebasan kepada penerima wewenang tersebut atau peraturan dasarnya memberikan ruang lingkup

kebebasan kepada pejabat tata usaha negara yang bersangkutan. 7

Secara teoritik terdapat tiga cara untuk memperoleh wewenang

pemerintahan (bestuurbevoegheid), yakni atribusi, delegasi dan mandat.

Wewenang atribusi adalah wewenang pemerintah yang diperoleh dari peraturan

perundang-undangan. Wewenang ini dapat didelegasikan atau dimandatkan.8

6

Ibid., h. 56.

7.


(27)

Wewenang delegasi adalah wewenang yang diperoleh berdasarkan pelimpahan wewenang dari badan/organ pemerintahan yang lain. Wewenang delegasi merupakan pelimpahan dari wewenang atribusi yang diberikan oleh

pemberi wewenang (delegans) kepada penerima wewenang (delegataris).

Setelah terjadi pelimpahan maka tanggung jawab beralih kepada delegataris dan

bersifat tidak dapat ditarik kembali oleh delegans. 9

Wewenang mandat adalah pelimpahan wewenang yang pada umumnya dalam hubungan rutin antara atasan dengan bawahanya. Setelah terjadi

pelimpahan kepada penerima mandat (mandataris), tanggung jawab tetap ada

pada pemberi mandat (mandans)dan sewaktu-waktu dapat ditarik dan digunakan

kembali oleh mandans.10

1.6.2 Konsep Reformasi Birokrasi

Riyadi menjelaskan bahwa birokrasi merupakan salah satu unsur administrasi negara yang menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan seperti regulasi, perijinan, pelayanan publik dan pengawasan terhadap pemanfaatan sumber daya yang ada. Peran, fungsi dan otoritas yang dimiliki inilah yang menjadikan birokrasi sebagai

organisasi yang sangat strategis.11 Keberadaan birokrasi di Indonesia dapat

dikatakan memegang peranan yang penting termasuk dalam proses pembuatan kebijakan mulai dari perumusan, pelaksanaan, pengawasan serta dalam evaluasi 8. Sadjijono, op. cit, h. 66.

9. Sadjijono, loc.cit. 10. Sadjijono, loc.cit.

11

Bambang Tryono et.al., 2013, Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi, h.27, URL : http://www.bappenas.go.id/files/ekps/2013/4.Evaluasi%20Kebijakan%20Reformasi%20Birokrasi.pdf., diakses tanggal 15 Oktober 2015.


(28)

terhadap kebijakan tersebut. Keberhasilan dari program pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintah sangat ditentukan oleh peranan birokrasi.

Birokrasi secara leksikal berarti alat kelengkapan negara, terutama meliputi bidang kelembagaan, ketatalaksanaan, dan kepegawaian, yang mempunyai tanggung jawab melaksanakan roda pemerintahan sehari-hari. Secara umum, pembangunan birokrasi mencakup berbagai aktivitas terencana yang berkelanjutan yang ditujukan untuk meningkatkan efektivitas pemerintahan

dalam menjalankan fungsi-fungsinya. 12

Secara terencana pembangunan Birokrasi pun dilakukan melalui sebuah proses multidimensi yang disebut Reformasi Birokrasi. Secara khusus Presiden

telah menetapkan Perpres No.81/2010 tentang Grand Design Reformasi

Birokrasi 2010 – 2025. Upaya penataan pembangunan birokrasi yang

komprehensif seperti inilah yang secara substansi oleh Sofian Effendi disebut

juga sebagai reformasi birokrasi. 13

Konsep tentang reformasi birokrasi ini seringkali diperhadapkan vis-a-vis

dengan konsep tentang reformasi administrasi. Namun, reformasi birokrasi pada dasarnya merupakan bagian dari reformasi administrasi negara. Dalam

pengertian yang luas, Wallis mengemukakan bahwa “Administrative reform

means an induced, permanent improvement in administration”.14

12

Ibid., h.28.

13

Ibid.

14


(29)

1.6.3 Konsep Aparatur Sipil Negara

Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat ASN adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah. Sedangkan Pegawai ASN adalah pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan.

1.6.4 Konsep Sistem Merit

Sistem ini berdasarkan atas jasa kecakapan seseorang pegawai dalam usaha mengangkat dan mendudukan pada jabatan tertentu. Sistem ini lebih bersifat objektif, karena dasar pertimbangan kecakapan yang dinilai secara objektif dari pegawai yang bersangkutan. Karena dasar pertimbangan seperti ini yang berlandaskan pada jasa kecakapan, maka acapkali sistem ini di Indonesia

dinamakan sistem jasa. Penilaian objektif tersebut, pada umumnya ukuran yang

dipergunakan ialah ijasah pendidikan.15

1.6.5 Konsep Komisi Aparatur Sipil Negara

KASN merupakan sebuah lembaga baru yang dibentuk dalam rangka penetapan kebijakan Manajemen ASN. KASN adalah lembaga nonstruktural yang mandiri dan bebas dari intervensi politik. Pembentukan KASN ini untuk

15

Miftah Thoha, 1987, Administrasi Kepegawaian Daerah, Cet. 2, Ghalia Indonesia, Jakarta,


(30)

melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan Manajemen ASN, untuk menjamin penerapan sistem merit serta pengawasan terhadap penerapan asas, kode etik, dan kode perilaku ASN.

1.6.6 Konsep Jabatan, Pengisian Jabatan, dan “Lelang Jabatan”

Secara teoritis yang dimaksud dengan jabatan ialah suatu lingkungan

pekerjaan tetap (kring van vaste werkzaamheden) yang diadakan dan dilakukan

guna kepentingan negara (kepentingan umum). Tiap jabatan adalah suatu lingkungan pekerjaan tetap yang dihubungkan dengan organisasi sosial tertinggi,

yang diberi nama negara.16

Lebih lanjut Utrecht menyatakan bahwa jabatan itu merupakan sebuah subjek hukum. Sebagai subjek hukum, yaitu badan hukum maka jabatan itu dapat menjamin kontinuitas dari hak dan kewajiban dalam artian jabatan itu bersifat tetap namun yang berganti adalah pejabat yang menduduki jabatan tersebut. Oleh karena jabatan itu merupakan pendukung hak dan kewajiban, yaitu suatu subjek

hukum ( person) maka dengan sendirinya jabatan itu dapat melakukan perbuatan

hukum (rechtshandelingen). Perbuatan itu dapat diatur oleh hukum publik

maupun hukum privat.17

Seperti telah disebutkan di muka bahwa jabatan itu bersifat tetap dan yang berganti adalah pejabatnya. Dengan demikian jabatan itu perlu diisi dengan mekanisme pengisian jabatan yang sesuai. Prinsip penempatan menurut A.W.

16

E. Utrecht, 1986, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, h. 200.

17


(31)

Widjaja adalah the right man on the right place (penempatan orang yang tepat pada tempat yang tepat). Untuk dapat melaksanakan prinsip ini dengan baik, ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu :

1. Adanya analisis tugas jabatan (job analisys) yang baik, suatu analisis

yang menggambarkan tentang ruang lingkup dan sifat-sifat tugas yang dilaksanakan sesuatu unit organisasi dan syarat-syarat yang harus dimiliki oleh pejabat yang akan menduduki jabatan di dalam unit organisasi itu.

2. Adanya Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (kecakapan pegawai) dari

masing-masing pegawai yang terpelihara dengan baik dan terus-menerus. Dengan adanya penilaian pekerjaan ini dapat diketahui tentang sifat, kecakapan, disiplin, prestasi kerja, dan lain-lain dari masing-masing

pegawai.18

Terdapat cara-cara atau metode yang dapat digunakan dalam melakukan pengisian jabatan negara yaitu dengan pemilihan dan/atau pengangkatan pejabat negara secara perorangan maupun berkelompok yang bertugas baik di lembaga pemerintah maupun lembaga negara, baik di pusat maupun di daerah.

Kemudian adapun “lelang jabatan” atau sering disebut dengan istilah job

tender sebenarnya bukan hal baru dalam perspektif administrasi publik. Dalam konsep New Public Management (NPM), lelang jabatan sudah dikenalkan dan dipraktekkan di negara-negara Barat, dengan istilah yang berbeda-beda.

18


(32)

Tujuannya adalah untuk memilih aparatur yang memiliki kapasitas, kompetensi dan integritas yang memadai untuk mengisi posisi/jabatan tertentu sehingga dapat menjalankan tugas yang lebih efektif dan efisien. Lelang jabatan merupakan salah satu cara untuk memperkecil potensi korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) karena rekrutmen jabatan dilakukan secara transparan, menggunakan indikator tertentu dan dilakukan oleh pihak yang netral dan

kompeten melakukan seleksi.19

1.6.7 Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik

AAUPB dapat dipahami sebagai asas-asas umum yang dijadikan sebagai dasar dan tata cara dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik, yang dengan cara demikian penyelenggaraan pemerintahan itu menjadi baik, sopan, adil, dan terhormat, bebas dari kezaliman, pelanggaran peraturan,tindakan penyalahgunaan

wewenang, dan tindakan sewenang-wenang.20 Menurut Philipus M Hadjon,

AAUPB harus dipandang sebagai norma-norma hukum tidak tertulis, yang senantiasa harus ditaati oleh pemerintah, meskipun arti yang tepat dari AAUPB bagi tiap keadaan tersendiri tidak selalu dapat dijabarkan dengan teliti. Dapat pula dikatakan, bahwa AAUPB adalah asas-asas hukum tidak tertulis, darimana

19

Mahmun Syarif Nasution, 2013, Lelang Jabatan Dalam Perspektif Kebijakan Publik, h. 2,

URL : http://sumut.kemenag.go.id/file/file/TULISANPENGAJAR/vdyr1370450043.pdf, diakses tanggal 5 November 2015.

20


(33)

untuk keadaan-keadaan tertentu dapat ditarik aturan-aturan hukum yang dapat

diterapkan.21

AAUPB merupakan sebuah konsep terbuka dalam bidang hukum administrasi sehingga jenis dan macam dari AAUPB yang berkembang dan diterapkan di masing-masing negara bisa saja berbeda. Adapun macam-macam AAUPB , khususnya yang dikemukakan oleh Koentjoro Purbopranoto dan SF. Marbun

adalah sebagai berikut. 22

a. Asas kepastian hukum (principle of legal security) ;

b. Asas keseimbangan (principle of proportionality) ;

c. Asas kesamaan dalam mengambil keputusan (principle of equality) ;

d. Asas bertindak cermat (principle of carefulness) ;

e. Asas motivasi untuk setiap keputusan (principle of motivation) ;

f. Asas tidak mencampuradukan kewenangan (principle of nonmisuse of

competence) ;

g. Asas permainan yang layak ( principle of pair play) ;

h. Asas keadilan dan kewajaran (principle of reasonable or prohibition of

arbitrariness) ;

i. Asas kepercayaan dan menanggapi pengharapan yang wajar (principle of

meeting raised expectation) ;

21

Ibid. h.237.

22


(34)

j. Asas meniadakan akibat suatu keputusan yang batal (principle of undoing the concequences of an annulled decision) ;

k. Asas perlindungan atas pandangan atau cara hidup pribadi (principle of

protecting the personal may of life) ;

l. Asas kebijaksanaan (sapientia) ;

m. Asas penyelenggaraan kepentingan umum (principle of public service).

1.7 Metode Penelitian 1.7.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem hukum mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan,

perjanjian serta doktrin (ajaran).23

Perlunya penelitian normatif dilakukan dalam penulisan ini adalah beranjak dari dikeluarkanya S.E. KEMENPAN-RB No. 16 Tahun 2012 Tentang Tata Cara Pengisian Jabatan Struktural yang Lowong Secara Terbuka di Instansi Pemerintah sehingga dijadikan pedoman oleh instansi pemerintah termasuk instansi pemerintah di daerah dalam melakukan pengangkatan maupun promosi jabatan secara terbuka yang belakangan dikenal luas dengan istilah “lelang jabatan”. Menjadi relevan kemudian untuk dikaji secara normatif pengaturan

23.

Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 34.


(35)

“lelang jabatan” kaitanya dengan sistem merit berdasarkan UU ASN serta bagaimana kewenangan dari KASN dalam proses “lelang jabatan” ini.

1.7.2 Jenis Pendekatan

Dalam penelitian hukum terdapat beberapa jenis pendekatan, antara lain:

1. Pendekatan kasus (the case approach),

2. Pendekatan perundang-undangan (the statutory approach),

3. Pendekatan Fakta (the fact approach),

4. Pendekatan Analisis Konsep Hukum (analytical and conceptual

approach),

5. Pendekatan Frasa (word and phrase approach),

6. Pendekatan Sejarah (historical approach),

7. Pendekatan Perbandingan (comparative approach).

Penulisan ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (the statutory

approach), pendekatan analisis konsep hukum (analitical and conseptual approach) dan pendekatan frasa (word and phrase approach), serta Pendekatan

Sejarah (historical approach).

Pendekatan perundang-undangan (the statutory approach) digunakan untuk

menelaah aturan hukum terkait pengaturan dari “lelang jabatan” dan kewenangan

daripada KASN. Pendekatan analisis konsep hukum (analitical and conseptual

approach) digunakan untuk memahami konsep-konsep yang terkandung dalam manajemen kepegawaian yang sekarang disebut dengan manajemn ASN termasuk penerapan sistem merit kedalam kebijakan dan manajemn ASN.


(36)

Sedangkan pendekatan frase (word and phrase approach) digunakan untuk menganalisis makna dari teks rumusan pasal-pasal dalam peraturan

perundang-undangan terkait, dan pendekatan Sejarah (historical approach) digunakan untuk

menganilisis perubahan-perubahan yang ada dalam UU ASN dari UU Kepegawaian yang lama.

1.7.3 Sumber Bahan Hukum

Bahan hukum merupakan sumber-sumber penelitian hukum normatif. Bahan hukum yang dipakai dalam penulisan ini yakni:

1) Sumber bahan hukum primer

Sumber bahan hukum primer adalah sumber bahan hukum yang mengikat yakni berupa norma, kaidah dasar dan peraturan yang

berkaitan, yang bersifat mengikat.24 Adapun bahan hukum primer yang

digunakan dalam penulisan ini adalah :

- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1974 tentang

Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3041).

- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999

tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian

24.

Soerjono Soekanto dan Sri Mahmmudji, 1988, Penulisan Hukum Normatif, Rajawali Press,


(37)

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3890).

- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 tentang

Aparatur Sipil Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 20014 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5494).

- Undang-Undang RI Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi

Pemerintahan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 292, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5601).

- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 100 Tahun 2000

Tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 197, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor )

- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2002

Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 Tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4194 )


(38)

- Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2014 Tentang Tata Cara Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi Secara Terbuka Di Lingkungan Instansi Pemerintah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 477)

- Surat Edaran Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan

Reformasi Birokrasi (KEMENPAN-RB) No. 16 Tahun 2012 Tentang Tata Cara Pengisian Jabatan Struktural yang Lowong Secara Terbuka di Instansi Pemerintah.

2) Sumber bahan hukum sekunder

Sumber bahan hukum sekunder yakni bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Meliputi buku-buku, literatur, makalah, skripsi, tesis, dan bahan-bahan hukum

tertulis lainnya yang berhubungan dengan permasalahan penelitian.25

Selain itu, bahan hukum yang diperoleh melalui internet juga termasuk sebagai bahan hukum sekunder dengan mencantumkan alamat situsnya.

3) Sumber bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder,


(39)

seperti kamus besar bahasa Indonesia dan kamus hukum serta

ensiklopedia hukum.26

1.7.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan-bahan hukum yang digunakan dalam penulisan

ini adalah teknik studi dokumen (study document). Penelusuran bahan hukum

dilakukan dengan sistem kartu (card system) yaitu melalui proses membaca,

mencatat dan memahami isi dari masing-masing informasi yang diperoleh dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder secara sistematis sesuai dengan permasalahan penelitian.

1.7.5 Teknik Analisa Bahan Hukum

Setelah bahan-bahan hukum terkumpul kemudian dilakukan analisis terhadap bahan hukum tersebut. Teknik analisis bahan hukum yang digunakan dalam penulisan ini, yaitu:

- Teknik Deskripsi, berupa uraian terhadap suatu kondisi hukum

maupun non-hukum.

- Teknik Interpretasi, berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran

dalam ilmu hukum seperti penafsiran gramatikal, historis, sistematis, teleologis, kontektual, dan lain-lain.

- Teknik Evaluasi, berupa penilaian tepat tidak atau tepat, setuju

atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah terhadap

26.

Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penulisan Hukum, Rajagrafindo


(40)

suatu pandangan, pernyataan rumusan norma baik yang terdapat dalam bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder.

- Teknik Argumentasi, berupa penilaian yang bersifat penalaran

hukum.

- Teknik Sistematisasi, berupa upaya mencari kaitan rumusan

suatu konsep hukum antara perundang-undangan yang sederajat maupun yang tidak sederajat.


(41)

1

SIPIL NEGARA, “LELANG JABATAN”, SISTEM MERIT, APARATUR SIPIL NEGARA

2.1 Tinjauan Umum Tentang Kewenangan

2.1.1 Asas Legalitas dan Wewenang Pemerintahan

Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan sebagai dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan di setiap negara

hukum terutama bagi negara-negara hukum dalam sistem Kontinental.1 Asas

legalitas ini juga terdapat dalam hukum pidana yang terkenal dengan ungkapan nullum delictum sine praevia lege poenali. Kemudian asas legalitas ini digunakan dalam bidang Hukum Administrasi Negara yang memiliki makna, “Dat het bestuur aan de wet is onder worpen” (bahwa pemerintah tunduk kepada undang-undang). Asas legalitas ini merupakan prinsip negara hukum yang sering dirumuskan dengan ungkapan “Het beginsel van wetmatigheid van bestuur” yakni

prinsip keabsahan pemerintahan.2

Kaitanya dengan kewenangan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa asas legalitas merupakan dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan. Dengan kata lain, setiap penyelenggaraan kenegaraan dan

1

Ridwan H.R., op. cit, h. 90.

2


(42)

pemerintahan harus memiliki legitimasi, yaitu kewenangan yang diberikan oleh undang-undang. Dengan demikian substansi dari asas legalitas adalah wewenang, yakni “Het vermogen tot het verrichten van bepaalde rechtshandelingen”, yaitu

kemampuan untuk melakukan tindakan- tindakan hukum tertentu.3

Kita perlu membedakan antara kewenangan (authority, gezag) dan wewenang (competence, bevoegheid), walaupun dalam praktek pembedaanya tidak selalu dirasa perlu. Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari Kekuasaan Legislatif (diberi oleh undang-undang) atau

Kekuasaan Ekskutif Administratif.4

Pengertian mengenai wewenang dan kewenangan secara yuridis juga telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (selanjutnya disebut UU AP). Berdasarkan Pasal 1 angka 5 UU AP yang dimaksud dengan wewenang adalah hak yang dimiliki oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainya untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kemudian yang dimaksud dengan kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 6 UU AP adalah kekuasaan badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainya untuk bertindak dalam ranah hukum publik.

3

Ibid., h. 97-98. 4

Prajudi Atmosudirdjo, 1994, Hukum Administrasi Negara, Cet. 10, Ghalia Indonesia,


(43)

2.1.2 Sumber dan Cara Memperoleh Wewenang Pemerintahan

Seiring dengan pilar utama negara hukum, yaitu asas legalitas (legaliteitsbeginsel atau het beginselen van wetmatigheid van bestuur), maka berdasarkan prinsip ini tersirat bahwa wewenang pemerintahan berasal dari peraturan perundang-undangan, artinya sumber wewenang bagi pemerintah adalah

peraturan perundang-undangan.5 Telah disebutkan dan dijelaskan di muka bahwa

kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-perundangan itu secara teoritik, dapat diperoleh melalui tiga cara yaitu dengan cara atribusi, delegasi, dan mandat.

Pengertian mengenai atribusi, delegasi, dan mandat secara normatif dapat kita temukan dalam UU AP. Atribusi sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 22 UU AP yaitu pemberian kewenangan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan oleh Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau Undang-Undang. Adapun yang dimaksud dengan delegasi sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 23 UU AP adalah pelimpahan kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat beralih sepenuhnya kepada penerima delegasi. Sedangkan yang dimaksud dengan mandat sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 24 UU AP yaitu pelimpahan kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan

5


(44)

dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat tetap berada pada pemberi mandat.

Philipus M. Hadjon membuat perbedaan delegasi dan mandat yang dapat

dijelaskan ke dalam tabel berikut ini.6

Mandat Delegasi

a. Prosedur Pelimpahan Dalam hubungan rutin

atasan–bawahan : hal

biasa kecuali dilarang

secara tegas

Dari suatu organ

pemerintahan kepada

organ lain : dengan

peraturan

perundang-undangan b. Tanggung jawab dan

tanggung gugat

Tetap pada pemberi

mandat

Tanggung jawab dan

tanggung gugat beralih kepada delegataris

c. Kemungkinan si

pemberi menggunakan wewenang itu lagi

Setiap saat dapat

menggunakan sendiri

wewenang yang

dilimpahkan itu.

Tidak dapat

menggunakan kembali

wewenang itu lagi kecuali setelah ada pencabutan dengan berpegang pada asas “contrarius actus”.

6


(45)

2.2 Tinjauan Umum Tentang Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) 2.2.1 Latar Belakang Pembentukan KASN

KASN merupakan sebuah lembaga baru dalam sistem kepegawaian di Indonesia yang diamanatkan pembentukanya oleh UU ASN. KASN sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 19 UU ASN adalah sebuah lembaga nonstruktural yang mandiri dan bebas dari intervensi politik. Lebih lanjut dalam Pasal 27 UU ASN

menyebutkan bahwa “KASN merupakan lembaga nonstruktural yang mandiri dan

bebas dari intervensi politik untuk menciptakan Pegawai ASN yang profesional dan berkinerja, memberikan pelayanan secara adil dan netral, serta menjadi perekat dan pemersatu bangsa”.

Keberadaan dari lembaga KASN ini dirasa sangat diperlukan ditengah-tengah ketidakpercayaan masyarakat terhadap profesionalisme dari aparatur pemerintahan serta kinerja birokrasi pemerintah baik di instansi pusat maupun daerah. Salah satu persoalan mendasar dalam sistem kepegawaian di Indonesia saat ini adalah pekerjaan tempat PNS mengabdi saat ini belum dipandang sebagai sebuah profesi yang mulia, harus dihormati, dijaga, dan dijadikan dasar dalam berbagai kebijakan dan manajemen Sumber Daya Manusia (SDM). Keadaan inilah yang melatarbelakangi pembentuk undang-undang untuk mengamanatkan pembentukan KASN dalam UU ASN. Kehadiran KASN dalam sistem kepegawaian di Indonesia juga dapat memberikan perlindungan kepada PNS yang selama ini kerapkali menjadi korban dari kesewenang-wenangan pejabat atasan. Terutama pada instansi daerah seringkali terjadi politisasi terhadap jabatan birokrasi. Banyak pejabat


(46)

struktural yang menduduki jabatan tanpa kompetensi serta kemampuan yang mumpuni melainkan hanya mengandalkan kedekatan dengan kepala daerah selaku

Pejabat Pembina Kepegawaian (selanjutnya disebut PPK). Sehingga prinsip the

right man on the right place tidak pernah terwujud. Selain itu proses pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian PNS dengan alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum juga sering menimpa PNS. Disinilah kemudian KASN memiliki peran yang sangat strategis dalam rangka menghadang kesewenang-wenangan dari pejabat atasan sehingga agenda reformasi birokrasi diharapkan dapat terwujud.

Hal ini sesuai dengan apa yang menjadi tujuan dibentuknya KASN. Adapun tujuan dibentuknya KASN yaitu untuk menjamin terwujudnya Sistem Merit dalam kebijakan dan Manajemen ASN; mewujudkan ASN yang profesional, berkinerja tinggi, sejahtera, dam berfungsi sebagai sebagai perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia; mendukung penyelenggaraan pemerintahan negara yag efektif, efisien, dan terbuka, serta bebas dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme; mewujudkan Pegawai ASN yang netral dan tidak membedakan masyarakat yang dilayani berdasarkan suku, agama, ras, dan golongan; menjamin terbentuknya profesi ASN yang dihormati pegawainya dan masyarakat; dan mewujudkan ASN yang dinamis dan berbudaya pencapaian kinerja.

2.2.2 Kedudukan, Fungsi, dan Kewenangan KASN

KASN berkedudukan di ibukota negara. KASN berfungsi untuk mengawasi pelaksanaan norma dasar, kode etik, dan kode perilaku ASN, serta penerapan


(47)

Sistem Merit dalam kebijakan dan Manajeman ASN pada Instansi Pemerintah. Untuk menjalankan semua fungsi dan tugasnya tersebut maka KASN diberikan kewenangan. Berdasarkan Pasal 32 ayat (1) UU ASN menyatakan bahwa KASN berwenang :

a. mengawasi setiap tahapan proses pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi mulai dari pembentukan panitia seleksi instansi, pengumuman lowongan, pelaksanaan seleksi, pengusulan nama calon, penetapan, dan pelantikan Pejabat Pimpinan Tinggi ;

b. mengawasi dan mengevaluasi penerapan asas, nilai dasar serta kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN ;

c. meminta informasi dari pegawai ASN dan masyarakat mengenai laporan pelanggaran norma dasar serta kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN;

d. memeriksa dokumen terkait pelanggaran norma dasar serta kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN; dan

e. meminta klarifikasi dan/atau dokumen yang diperlukan dari Instansi Pemerintah untuk pemeriksaan laporan atas pelanggaran norma dasar serta kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN.

KASN terdiri dari 7 (tujuh) orang komisioner yang diseleksi secara kompetitif baik dari unsur pemerintah dan/atau unsur non pemerintah. Setiap warga negara dapat menjadi anggota KASN apapun latar belakangnya, apakah dari LSM, akademisi, profesional, birokrat, atau aktifis sepanjang memenuhi persyaratan dapat mencalonkan diri sebagai anggota KASN.

Untuk menjamin independensi dan netralitas KASN, anggota KASN harus memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat (2) UU ASN. Pasal

38 ayat (2) UU ASN menyatakan bahwa “Anggota KASN harus memenuhi

persyaratan sebagai berikut : a. warga negara Indonesia;


(48)

b. setia dan taat kepada Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

c. berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun pada saat mendaftarkan diri sebagai calon anggota KASN;

d. tidak sedang menjadi anggota partai politik dan/atau tidak sedang menduduki jabatan politik;

e. mampu secara jasmani dan rohani untuk melaksanakan tugas;

f. memiliki kemampuan, pengalaman, dan/atau pengetahuan di bidang manajemen sumber daya manusia;

g. berpendidikan paling rendah strata dua (S2) di bidang administrasi negara, manajemen sumber daya manusia, kebijakan publik, ilmu hukum, ilmu pemerintahan, dan/atau strata dua (S2) di bidang lain yang memiliki pengalaman di bidang manajemen sumber daya manusia;

h. tidak merangkap jabatan pemerintahan dan/atau badan hukum lainnya; dan

i. tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.

KASN dalam melaksanakan tugas dan kewenanganya juga dibantu oleh asisten dan Pejabat Fungsional keahlian. Disamping itu KASN juga dibantu oleh sekretariat yang dipimpin oleh seorang kepala sekretariat. Untuk percepatan operasionalisasi KASN, telah diterbitkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 118 Tahun 2014 Tentang Sekretariat, Sistem Dan Manajemen Sumber Daya Manusia, Tata Kerja, Serta Tanggung Jawab Dan Pengelolaan Keuangan Komisi Aparatur Sipil Negara (selanjutnya disebut Perpres No. 118). Perpres ini telah ditindaklanjuti dengan Peraturan Ketua KASN Nomor 1 Tahun 2015 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Sekretariat KASN.

Eksistensi lembaga seperti KASN sebenarnya sudah ada dalam UU Kepegawaian, yaitu disebut dengan Komisi Kepegawaian Negara. Sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (3) UU Kepegawaian bahwa untuk membantu Presiden dalam merumuskan kebijaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan


(49)

memberikan pertimbangan tertentu, dibentuk Komisi Kepegawaian Negara yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Dalam penjelasan dari Pasal 13 ayat (3) UU Kepegawaian ini menyebutkan bahwa Komisi Kepegawaian Negara untuk dapat melaksanakan tugas pokoknya secara objektif, maka kedudukanya bersifat independen. Kalau kemudian kita bandingkan dengan KASN yang ada sekarang maka KASN juga dibentuk sebagai sebuah lembaga yang independen. Namun karena berbagai faktor, sejak diberlakukannya UU Kepegawaian sampai dengan dicabutnya Undang- Undang tersebut, Komisi Kepegawaian Negara sebagaimana dimaksud tidak pernah terbentuk. Hal ini harus menjadi catatan bagi pemerintah dan seluruh stakeholders untuk bersama-sama mengawal jangan sampai KASN bernasib sama dengan Komisi Kepegawaian Negara.

2.3 Tinjauan Umum Tentang “Lelang Jabatan”

2.3.1 Peristilahan dan Perkembangan Istilah “Lelang Jabatan”

Penting bagi penulis untuk terlebih dahulu memberikan penjelasan yang gamblang terhadap istilah “lelang jabatan” dalam tinjauan umum ini sekadar untuk menghindari kesalahan persepsi di kemudian hari. Peristilahan dalam dunia hukum merupakan suatu hal yang harus benar-benar diperhatikan, terlebih ketika kita membahasakan ke dalam konteks peraturan perundang-undangan.

Pada dasarnya istilah “lelang jabatan” bukan merupakan bahasa hukum. Istilah “lelang jabatan” tidak akan kita temukan secara eksplisit (letterlijk) dalam peraturan undangan yang berlaku khususnya peraturan perundang-undangan di bidang hukum kepegawaian. Istilah lelang jabatan semakin populer di


(50)

kalangan masyarakat, terutama sejak Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo

mewacanakan lelang jabatan camat dan lurah di wilayahnya.7 Kalau kita mencoba

untuk mencarikan padananya dalam perspektif administrasi publik maka istilah “lelang jabatan” yang dipopulerkan oleh Joko Widodo pada saat menjabat sebagai

Gubernur DKI Jakarta, memiliki pengertian yang sama dengan open recruitment

atau open bidding. Baik open recruitment maupun open bidding atau ada yang

menyebut dengan lelang jabatan sebenarnya bukan hal baru dalam perspekif

administrasi publik. Dalam konsep New Public Management (NPM), metode ini

sudah dikenalkan dan dipraktekkan di negara-negara barat, seperti Singapura dan New Zealand, namun dengan penyebutan istilah dan nama yang berbeda-beda di

masing-masing negara.8

Seperti yang telah disebutkan di muka bahwa istilah “lelang jabatan”

bukanlah bahasa hukum. “Lelang jabatan” merupakan sebuah cara atau

mekanisme yang digunakan dalam melakukan pengangkatan dan penempatan PNS dalam jabatan struktural atau jabatan yang lebih tinggi melalui seleksi yang sifatnya terbuka. Penempatan PNS tidak selalu berarti penempatan pegawai baru tetapi bisa pula berarti sebagai promosi, mutasi, dan demosi. Promosi adalah

7

Samiaji, 2014, Open Recruitment Pengisian Jabatan Struktural : Pengalaman Dki Jakarta

Dan Kota Samarinda, h. 51, URL : http://inovasi.lan.go.id/uploads/download/1424446500_Bunga-Rampai_6.samiaji.4.pdf, diakses tanggal 5 November 2015.

8


(51)

penempatan pegawai pada jabatan yang lebih tinggi dengan wewenang dan

tanggung jawab yang lebih tinggi dan penghasilan yang lebih tinggi pula.9

Dalam konteks hukum kepegawaian yang di dalamnya mencakup manajemen kepegawaian sebagaimana diatur dalam UU Kepegawaian yang telah dicabut maupun Manajemen ASN sebagaimana diatur dalam UU ASN maka istilah “lelang jabatan” ini sebenarnya memiliki pengertian yang sama dengan

promosi jabatan yaitu promosi jabatan secara terbuka. Jadi istilah “lelang jabatan”

dalam konteks hukum sebenarnya lebih tepat disebut dengan istilah promosi jabatan secara terbuka. Walaupun demikian, dalam perkembangannya, promosi jabatan secara terbuka ini mengalami serangkaian perubahan istilah namun tetap memiliki pengertian yang sama. Sejauh pengamatan penulis setidaknya terdapat beberapa istilah yang digunakan untuk menyebut promosi jabatan secara terbuka yang tersebar ke dalam beberapa instrumen hukum dan peraturan perundang-undangan.

Promosi jabatan secara terbuka dalam PP No. 13 Tahun 2002 digunakan istilah Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural, pada Kementrian Keuangan pernah juga melakukan promosi jabatan secara terbuka yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.01/2008 tentang Pengangkatan Dalam Jabatan Struktural melalui Pencalonan Terbuka di Lingkungan Departemen Keuangan. Adapun di Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) serta Lembaga

9


(52)

Administrasi Negara (LAN) juga pernah melakukan promosi terbuka, terutama untuk Eselon I. Promosi jabatan dilakukan pula untuk memilih kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan kepala LAN. Bupati Jembrana Prof. I Gede Winasa dan Walikota Samarinda Syaharie Ja’ang menerapkan promosi jabatan eselon II, III dan IV secara terbuka. Kemudian dalam S.E. KEMENPAN-RB No. 16 Tahun 2012 menggunakan istilah pengisian jabatan struktural yang lowong secara terbuka. Namun perkembangan yang paling menarik tatkala Gubernur DKI Joko Widodo menggunakan istilah “Lelang Jabatan” terhadap seleksi terbuka bagi Camat dan Lurah. Istilah “lelang jabatan” ini kemudian menjadi sangat terkenal di

kalangan masyarakat dan menjadi istilah bagi the man in the street tatkala

menyebut promosi jabatan secara terbuka. Perkembangan terakhir setelah pemerintah melakukan perubahan besar dalam bidang hukum kepegawaian dengan mengesahkan UU ASN maka muncul istilah baru untuk menyebut promosi secara terbuka khusus untuk Jabatan Pimpinan Tinggi (selanjutnya disebut JPT) yang dalam BAB IX UU ASN menggunakan judul Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi. Pasal 108 ayat (1) UU ASN menyatakan bahwa,

“Pengisian jabatan pimpinan tinggi utama dan madya pada kementerian, kesekretariatan lembaga negara, lembaga nonstruktural, dan Instansi Daerah dilakukan secara terbuka dan kompetitif di kalangan PNS dengan memperhatikan syarat kompetensi, kualifikasi, kepangkatan, pendidikan dan latihan, rekam jejak jabatan, dan integritas serta persyaratan lain yang dibutuhkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Berdasarkan uraian singkat mengenai peristilahan dari “lelang jabatan” atau promosi jabatan secara terbuka yang telah diuraikan dimuka, terlepas dari


(53)

perkembanganya, fenomena “lelang jabatan” di DKI menginspirasi penulis untuk menggunakan istilah “lelang jabatan” dalam judul tulisan ini. Mengingat istilah “lelang jabatan” sudah begitu dikenal luas di kalangan masyarakat (the man in the street) sehingga dalam tulisan ini untuk menyebut istilah open recruitment maupun open bidding, promosi jabatan secara terbuka, pengangkatan PNS dalam jabatan

struktural, dan pengisian JPT secara terbuka akan digunakan istilah “lelang

jabatan” dengan menempatkan pada konteksnya. 2.3.2 Konsep dan Kebijakan “Lelang Jabatan”

Konsep “lelang jabatan” atau open recruitment maupun open bidding

sebelumnya sudah sempat disinggung secara singkat. Pada uraian sebelumnya

telah dijelaskan bahwa “lelang jabatan” sebenarnya bukan hal baru dalam

perspektif administrasi publik. Dalam konsep New Public Management (NPM),

metode ini sudah dikenalkan dan dipraktekkan di negara-negara Barat, seperti

Singapura dan New Zealand. Kita sering mendengar istilah fit and proper test

dalam hal pengangkatan seseorang kedalam jabatan-jabatan yang tergolong level pimpinan. Demikian halnya dengan konsep “lelang jabatan” ini sebenarnya tidak

jauh berbeda dengan fit and proper tersebut.

Tujuannya adalah untuk memilih aparatur yang memiliki kapasitas, kompetensi dan integritas yang memadai untuk mengisi posisi/jabatan tertentu

sehingga dapat menjalankan tugas yang lebih efektif dan efisien.10 “Lelang

Jabatan” merupakan salah satu cara untuk memperkecil potensi korupsi, kolusi dan

10


(54)

nepotisme (KKN) karena rekrutmen jabatan dilakukan secara transparan, menggunakan indikator tertentu dan dilakukan oleh pihak yang netral dan

kompeten melakukan seleksi. Tujuan lain dari “lelang jabatan” ini adalah untuk

mengikis image negatif PNS yang selama ini melekat di masyarakat, yaitu PNS

malas dan berkinerja rendah yang diakibatkan budaya birokrasi yang masih primordial dan cenderung feodal, budaya dilayani bukan melayani sehingga

membuat PNS berorientasi kekuasaan.11

Euphoria reformasi yang telah membawa perubahan besar dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dimana salah satunya kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat, hal ini secara tidak langsung akan membuat PNS yang ada di daerah menjadi terkotak-kotak. Kepala Daerah terpilih akan cenderung memilih dan menempatkan orang-orang yang menjadi tim pemenanganya untuk duduk dalam jabatan-jabatan struktural di birokrasi pemerintah daerah.

Namun ketika persyaratan untuk menduduki jabatan ditentukan dengan jelas prosesnya, terbuka, melalui proses kompetisi terbuka tentunya dapat menghindarkan dari praktek politisasi birokrasi dan apabila ini dapat lakukan dengan sungguh-sungguh, maka insentif bagi PNS untuk terlibat dalam politik

praktis dalam rangka memenangkan calon kepala daerah bisa kita hindarkan.12

11

Ibid., h. 54.

12


(55)

Disamping itu apabila pola “lelang jabatan” dilakukan dengan benar, maka akan

dapat mendorong mobilitas PNS antar tingkat pemerintahan dan antar sektor.13

Berkaitan dengan kebijakan “lelang jabatan” ini di Indonesia mulai diterapkan dengan dikeluarkanya S.E. KEMENPAN-RB No. 16 Tahun 2012 yang dalam

salah satu bagianya menyatakan bahwa sesuai Grand Design Reformasi Birokrasi

yang dipertajam dengan rencana aksi Program Percepatan Reformasi Birokrasi salah satu diantaranya adalah Program Sistem Promosi PNS secara terbuka. Sehubungan dengan ketentuan sebagaimana tersebut di atas, guna lebih menjamin para pejabat struktural memenuhi kompetensi jabatan yang diperlukan oleh jabatan tersebut, perlu diadakan promosi PNS atau pengisian jabatan berdasarkan sistem merit dan terbuka, dengan mempertimbangkan kesinambungan karier PNS yang bersangkutan. Perkembangan terakhir setelah disahkanya UU ASN maka kebijakan “lelang jabatan” ini telah diadopsi pula dalam UU ASN ini khususnya dalam mekanisme pengisian JPT sebagaimana diatur dalam BAB IX UU ASN mulai dari Pasal 108 sampai dengan Pasal 115.

2.4 Tinjauan Umum Tentang Sistem Merit 2.4.1 Pengertian Sistem Merit

Lahirnya UU ASN dianggap sebagai keberhasilan reformasi birokrasi yang membawa perubahan mendasar dalam manajemen sumber daya ASN. Perubahan tersebut membawa konsekuensi bahwa pegawai ASN merupakan suatu profesi yang memiliki kewajiban untuk melakukan pengembangan diri dan wajib

13


(1)

mempertanggungjawabkan kinerja serta menerapkan prinsip merit dalam pelaksanaan manajemen ASN. Lalu apa yang dimaksud dengan sistem merit tersebut.

Selama ini kita mengenal sistem merit itu diterapkan di kalangan birokrasi. Sistem ini menekankan kepada profesionalisme bagi pengisian jabatan-jabatan birokrasi. Seseorang yang mempunyai kompetensi dan keahlian sesuai yang dibutuhkan oleh suatu jabatan bisa diangkat untuk menduduki jabatan tersebut. Cara semacam ini lazimnya dipergunakan untuk memilih seseorang untuk jabatan-jabatan karier birokrasi, semisal dirjen, sekjen, deputi, kepala biro, dan lain sebagainya.14

Secara normatif pengertian dari sistem merit dapat kita temukan dalam Pasal 1

angka 22 UU ASN. Pasal 1 angka 22 UU ASN menyatakan bahwa “Sistem Merit

adalah kebijakan dan Manajemen ASN berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar dengan tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur, atau kondisi kecacatan”.

Sistem merita (Merit System) merupakan salah satu sistem yang terdapat dalam administrasi kepegawaian. Secara teoritik sistem merit berdasarkan atas jasa kecakapan seseorang pegawai dalam usaha mengangkat dan mendudukan pada jabatan tertentu. Sistem ini lebih bersifat objektif, karena dasar pertimbangan

14

Miftah Thoha, 2012, Birokrasi & Politik di Indonesia, Cet. 9, Rajawali Pers, Jakarta, h. 107.


(2)

kecakapan yang dinilai secara objektif dari pegawai yang bersangkutan. Karena dasar pertimbangan seperti ini yang berlandaskan pada jasa kecakapan, maka acapkali sistem ini di Indonesia dinamakan sistem jasa. Penilaian objektif tersebut, pada umumnya ukuran yang dipergunakan ialah ijasah pendidikan.15

Adapun lawan dari sistem merit ini adalah sistem patronit (Patronage System) atau yang biasa dikenal dengan spoil system. Penjelasan mengenai spoil system ini penting untuk dijelaskan sekadar untuk membandingkan dengan sistem merit dalam rangka memperdalam pemahaman terhadap sistem merit tersebut.

Sistem patronit ini di Indonesia dikenal sebagai sistem kawan, karena dasar pemikiranya dalam rangka melakukan kegiatan administrasi kepegawaian berdasarkan kawan. Dalam sistem ini kurang memperhatikan keahlian dan keterampilan seorang pegawai.16 Seorang pegawai untuk dapat menduduki suatu jabatan maka yang menjadi pertimbangan adalah kedekatan karena yang bersangkutan masih kawan dekat, sanak famili, dan ada juga karena daerah asal yang sama. Sistem kawan ini ada yang atas dasar perjuangan politik. Karena berasal dari satu aliran politik, ideologi, dan keyakinan maka seorang pegawai yang mulanya tidak mempunyai keahlian dan keterampilan bisa menduduki jabatan dan tugas tertentu dalam birokrasi pemerintahan.17 Sistem kawan atas dasar kesamaan politik inilah yang kemudian kita kenal dengan spoil system.

15

Miftah Thoha II, op.cit., h. 25. 16

Ibid., h. 24.

17


(3)

Istilah ini pada mulanya dikenal ketika presiden Amerika Serikat yang ketujuh Andrew Jackson mengadakan pergantian pejabat/ pegawai dalam pemerintahanya secara besar-besaran. Pejabat yang bukan dari golongan partainya diganti dan kemudian didudukan pejabat- pejabat dari partainya.18 Karena keadaan semacam ini senator William L. Marcy (New York) melontarkan sindiran dengan ucapanya

yang terkenal : “to the victor belong the spoils of war” (kepada pemenanglah

semua rampasan perang ini dikuasai). Dari istilah spoils atau rampasan ini maka dalam sistem kepegawaian yang mengikuti tindakan Andrew Jackson ini dinamakan sistem spoil(spoil system).19

2.4.2 Sistem Merit Dalam Politik Hukum Kepegawaian di Indonesia

Pencapaian tujuan negara sebagaimana termaktub dalam alinea keempat Pembukaan UUD NRI memerlukan birokrasi yang handal dan ideal. Berkaitan dengan tipe ideal birokrasi dapat dikemukakan pendapat dari Max Weber seorang sosiolog Jerman. Menurut Weber tipe ideal birokrasi itu ingin menjelaskan bahwa suatu birokrasi atau administrasi itu mempunyai suatu bentuk yang pasti dimana semua fungsi dijalankan dalam cara-cara yang ideal.20 Selanjutnya menurut Weber salah satu cara dalam melakukan tipe ideal birokrasi yang rasional yaitu setiap pejabat harus diseleksi atas dasar kualifikasi profesionalitasnya, idealnya hal

18

Ibid. 19

Ibid. 20

Miftah Thoha, 2011, Birokrasi Pemerintah Indonesia di Era Reformasi, Cet. 3, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h.17.


(4)

tersebut dilakukan melalui ujian yang kompetitif.21 Dengan demikian dapat dikatakan pemahaman tentang tipe ideal birokrasi tidak dapat kita pisahkan dari konsep merit system. Bahkan secara teoritis selalu disebutkan bahwa merit system merupakan suatu conditio sine quanon dalam mewujudkan tipe ideal birokrasi.

Sebagai konsekuensi maka Indonesia juga mewacanakan dan menerapkan sistem merit dalam penataan birokrasinya yang tercermin dalam politik hukum kepegawaian di Indonesia. Politik hukum adalah legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara.22 Pembahasan mengenai sistem merit dalam konteks politik hukum kepegawaian di Indonesia dapat dibagi kedalam dua rezim yaitu sistem merit dalam rezim hukum kepegawaian yang telah dicabut dan sistem merit dalam rezim UU ASN.

Cita-cita dan semangat untuk menerapkan sistem merit sebenarnya sudah ada pada rezim hukum kepegawaian. Secara implisit kalau kita baca rumusan Pasal 17 ayat (2) UU Kepegawaian telah mencerminkan adanya prinsip merit. Pasal 17 ayat (2) UU Kepegawaian menyebutkan bahwa pengangkatan PNS dalam suatu jabatan dilaksanakan berdasarkan prinsip profesionalisme sesuai dengan kompetensi, prestasi kerja, dan jenjang pangkat yang ditetapkan untuk jabatan itu serta syarat obyektif lainnya tanpa membedakan jenis kelamin, suku, agama, ras, atau

21

Ibid., h. 18.

22


(5)

golongan. Namun dalam tataran praktek, ketentuan Pasal 17 ayat (2) UU Kepegawaian tersebut tidak ditrasformasikan dengan baik dalam tataran manajemen secara terintegrasi, sehingga terjadi kesenjangan antara das sollen

dengan das sein dalam artian pengisian jabatan dilakukan justru tidak berbasis merit. Hal ini terjadi karena peraturan pelaksanaan dari UU Kepegawaian yang belum menekankan kompetensi dan kinerja dalam manajemen PNS, dalam praktik kita temukan bahwa kepangkatan (senioritas), dan kedekatan politik justru menjadi syarat yang menentukan dalam setiap pengisian jabatan (closed career system) yang mengarah pada spoil system.

Kemudian perwujudan dan penerapan sistem merit pada rezim UU ASN mulai mendapatkan tempat, ketegasan serta kebulatan tekad untuk mewujudkanya. Pasal 51 UU ASN menyatakan bahwa “Manajemen ASN diselenggarakan

berdasarkan Sistem Merit”. Bahkan UU ASN mengamanatkan pembentukan

sebuah lembaga khusus bernama KASN yang bersifat nonstruktural, independen, serta bebas dari intervensi politik untuk mengawasi penerapan sistem merit dalam manajemen ASN. Dengan menerapkan sistem merit yang terintegrasi dalam seluruh tahapan manajemen SDM, UU ASN meletakkan beberapa perubahan dasar yaitu pertama, perubahan dari pendekatan personel administration yang hanya berupa pencatatan administratif kepegawaian kepada human resource management

yang menganggap aparatur negara adalah SDM dan sebagai aset negara yang harus dikelola, dihargai, dan dikembangkan dengan baik. Kedua, perubahan dari pendekatan closed career system yang sangat berorientasi kepada senioritas dan


(6)

kepangkatan, kepada open career system yang mengedepankan kompetisi dan kompetensi ASN dalam promosi dan pengisian jabatan, dan Ketiga meningkatkan perlindungan ASN dari intervensi politik.23

2.5 Tinjauan Umum Tentang Aparatur Sipil Negara

ASN sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU ASN adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah. Adapun yang dimaksud dengan Pegawai ASN adalah pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian pegawai ASN terdiri dari PNS dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja.

Berdasarkan pengertian ASN sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU ASN maka UU ASN menetapkan bahwa ASN merupakan sebuah profesi. Hal ini juga terlihat dalam bagian konsideran menimbang huruf c UU ASN yang menyatakan “Bahwa untuk mewujudkan aparatur sipil negara sebagai bagian dari reformasi birokrasi, perlu ditetapkan aparatur sipil negara sebagai profesi yang memiliki kewajiban mengelola dan mengembangkan dirinya dan wajib mempertanggungjawabkan kinerjanya dan menerapkan prinsip merit dalam pelaksanaan manajemen aparatur sipil negara.”

23

Eko Prasojo, 2013, Seputar RUU Aparatur Sipil Negara, URL : http:// http://www.kopertis12.or.id/2013/04/29/seputar-ruu-aparatur-sipil-negara-oleh-eko-prasojo-wamen-kemenpan-rb.html, diakses tanggal 5 November 2015.