Kata-Kata Kunci: China, Zimbabwe, kerjasama, bilateral, kepentingan, dan strukturasi Abstract - ANALISIS TEORI STRUKTURASI DALAM MEMAHAMI HUBUNGAN KERJASAMA CHINA DENGAN ZIMBABWE PASKA ISOLASI KOMUNITAS INTERNASIONAL (2003-2012) Repository - UNAIR REPOSIT

  

ANALISIS TEORI STRUKTURASI DALAM MEMAHAMI HUBUNGAN KERJASAMA

CHINA DENGAN ZIMBABWE PASKA ISOLASI KOMUNITAS INTERNASIONAL

(2003-2012)

Wulan An Nuuru-070912063

  

Program Studi Sarjana Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Airlangga

Abstrak

  Pada tahun 2000, Zimbabwe mencetuskan program reformasi tanah yang cukup kontroversial. Hal ini mendapat kecaman dan sorotan dari dunia internasional akibat penerapan kebijakan yang melanggar HAM dan rule of Law.Berlanjut dengan praktik korupsi dan penyalahgunaan bantuan internasional yang diberikan dari negara partner serta Institusi Finansial Internasional. Kondisi yang tidak stabil secara terus-menerus berdampak di berbagai aspek kehidupan masyarakat. Tak dapat dihindari terjadinya Krisis ekonomi yang merambah ke krisis politik dan sosial. Bermula di tahun 2001, Amerika Serikat mengeluarkan kebijakan yang dikenal dengan sebutan ZDERA sebagai platform sanksi yang ditujukan kepada Zimbabwe. Di susul oleh sanksi Uni Eropa pada tahun 2002 dan diikuti oleh berbagai Institusi Finansial Internasional baik itu IMF, World Bank, dan AfDB. Dalam kondisi terisolasi oleh komunitas internasional, Mugabe mencanangkan “Look East Policy” guna menarik minat negara Timur dalam menjalin kerjasama yang kondusif dengan pemerintahannya terutama untuk pembangunan Zimbabwe. Menggunakan konsep kerjasama internasional, kepentingan nasional dan teori strukturasi, penelitian ini menyimpulkan bahwa komitmen China dalam memberikan bantuan kepada Zimbabwe melalui kerangka Strategic

  

Partnership menggantikan peranan Institusi Finansial Internasional adalah bentuk kerjasama

  bilateral dengan dasar untuk mencapai kepentingan ekonomi, kedaulatan maupun ideologi di Zimbabwe khususnya dan Afrika secara umum akibat adanya strukturasi dalam hubungan kerjasama bilateral antara China dan Zimbabwe paska terisolasinya Zimbabwe di komunitas internasional awal tahun 2000 serta dicetuskannya FOCAC pada tahun 2000. Pemenuhan sumber bahan mentah untuk produktivitas manufaktur, ekspansi pasar dan investasi, peng akuan “One

  China Policy” dan penyebaran ideologi model perekonomian China yang menggabungkan kapitalisme dan otoritarian menjadi fokus utama China dengan Zimbabwe.

  Kata-Kata Kunci : China, Zimbabwe, kerjasama, bilateral, kepentingan, dan strukturasi

Abstract

  In 2000 , the Zimbabwe ’s land reform program is quite controversial. It gets criticism and spotlight from the world due to its policy implementation that violate human rights and the rule of law. Continuing with the corruptions and misuse of international aid that is granted from the State-partner as well as the financial institutions International. Unstable conditions continuously impact on various aspects to people. Cannot be avoided the onset of the economic crisis which penetrated into the political and social crisis. Commencing in the year 2001, the United States issued a policy known as ZDERA as platforms to Zimbabwe sanctions. Later Zimbabwe got another sanctions by the European Union in 2002 and was followed by International Financial institutions which are World Bank, IMF and AfDB. In conditions of isolation by the international community, Mugabe declared "Look East Policy" in order to attract the interest of Eastern countries in partnership with his Government particular ly conducive for the development of Zimbabwe. Using the concept of international cooperation, national interest and the theory of Structuration, the study concluded that China's commitment in providing aid to Zimbabwe through the framework of the Strategic Partnership replaces the role of the Institutions International financial is a form of bilateral cooperation with the Foundation for achieving sovereignty, economic interests or ideologies in Zimbabwe in particular and Africa in general due to the Structuration in the relationship between China and bilateral cooperation Zimbabwe Zimbabwe terisolasinya post in the international community earlier in the year 2000 as well as Proust's FOCAC in 2000. Fulfillment source of raw materials for manufacturing productivity, expansion of markets and investment, the recognition of the "One China Policy" and the spread of the ideology of the Chinese economy model that combines capitalism and otoritarian became the primary focus China Zimbabwe.

  : China, Zimbabwe, cooperation, bilateral, interest, and structuration.

  Keywords

  Zimbabwe merupakan negara berkembang yang menjadi sorotan internasional karena Krisis berkelanjutan yang dialaminya. Krisis yang bermula dari krisis ekonomi ini berkembang semakin meluas hingga menjadi krisis politik dan sosial. Permasalahan yang kompleks di dalam pemerintahan Mugabe tersebut mendorong berbagai kecaman dari komunitas internasional terhadap segala bentuk kebijakan yang dibuatnya. Puncaknya ialah dijatuhkannya sanksi terhadap Zimbabwe oleh Amerika Serikat (AS) sejak tahun 2001 dan Uni Eropa (UE) tahun 2002 secara berturut-turut (Ndakaripa 2014, 135). Sanksi yang diberlakukan meliputi larangan bepergian atas nama individual, pembekuan aset dan dana individu, pembatasan bantuan finansial, embargo tentara, dan pembatasan perdagangan terhadap perusahaan-perusahaan yang terkait dengan Presiden Robert Mugabe maupun partainya yaitu Zimbabwe African National Union-Patriotic (ZANU-PF) (Ndakaripa 2014, 135).

  Front

  Di tahun 2000, pemerintah mengeluarkan kebijakan ekstrem terkait dengan pengambil alihan lahan yang disebut dengan the Fast Track Land Reform Programme (FTLRP) yang mana lahan pertanian kulit putih diambil secara paksa tanpa kompensasi apapun oleh veteran perang, militan ZANU-PF dan petani kulit hitam. FTLRP merupakan praktik tindakan illegal dimana kebijakan ini dianggap sebagai tindak kejahatan terhadap hak milik properti dan praktik kekerasan melalui intimidasi dan pemukulan. Selain itu, praktik korupsi oleh para elite pemerintah dimana banyaknya bukti kepemilikan lahan yang diambil paksa mayoritas di bawah kepemilikan anggota senior ZANU-PF, pemerintah dan militer. Land reform dan penanganan perekonomian yang salah dianggap sebagai penyebab utama terjadinya inflasi yang tinggi dan menurunnya perekonomian negara (Marongwe 2004, 25). Tepatnya pada 21 Desember 2001, pemerintahan AS mengeluarkan kebijakan luar negerinya yang dikenal dengan Zimbabwe Democracy and Economic Recovery Act of 2001 (ZDERA 2001) yang bertujuan untuk mendukung rakyat Zimbabwe dalam mewujudkan perdamaian, perubahan demokratik, mencapai pertumbuhan ekonomi yang wajar dan meluas, serta memperbaiki aturan- aturan hukum. Bahkan dalam undang-undang yang dikeluarkan oleh AS tersebut juga mencanangkan beberapa restriksi terkait dengan bantuan-bantuan berupa keringanan hutang dan pinjaman baru dari institusi-institusi finansial internasional kepada Zimbabwe (Congress 2001).

  IMF berhenti memberikan bantuan dana sejak tahun 2000, World Bank berhenti menyuntikkan dana pada tahun 2002 dan AfDB sejak tahun 1999. Pada tahun 2000-an, institusi finansial internasional yang dikontrol oleh AS dan UE seperti World Bank, IMF, dan African Development Bank (AfDB) menjatuhkan sanksi kepada Zimbabwe sejak keterlibatannya dalam perang DRC dan FTLRP. Sanksi-sanksi yang diberikan meliputi suspensi bantuan neraca pembayaran (Balance

  /BOP), asistensi tekhnis, hak pilih dalam IMF, deklarasi penolakan untuk dapat

  of Payment mengakses sumber dana bantuan (Gono 2007, 7). Sejak tahun 2000-an, Zimbabwe tidak menerima bantuan dari institusi finansial internasional dan pemerintah hanya bergantung pada sumber domestik saja. Terisolasi dari komunitas internasional terutama negara-negara barat dan Institusi Finansial internasional yang dipelopori oleh negara Barat semakin memperparah kondisi perekonomian Zimbabwe dengan berhentinya bantuan dana dari berbagai pihak. Angka pertumbuhan rata-rata Produk Domestik Bruto (PDB) Zimbabwe merupakan nilai pertumbuhan ekonomi terendah di kawasan Afrika Selatan yang dapat ditilik dari gambar sebagai berikut.

  

Gambar 1. Tabel Angka Pertumbuhan Rata-Rata GDP Negara-negara di Kawasan Afrika

Selatan tahun 1961-2007 (%)

Sumber: AFDB 2016

  Untuk menanggulangi permasalahan krisis yang semakin kompleks, pada tahun 2003 Presiden Mugabe mencetuskan kebijakan baru yang disebutnya “Look East Policy” yang dimaksudkan untuk meningkatkan jalinan kerjasama investasi dari negara-negara Asia termasuk Malaysia, Singapura dan China (Oxford 2007). Di saat negara-negara Barat dan Institusi finansial internasional menolak untuk memberikan pinjaman ataupun kerjasama ekonomi dengan Zimbabwe, justru China merespon pernyataan Mugabe tersebut dengan muncul sebagai “mitra pilihan” bagi Zimbabwe dengan memberikan berbagai bantuan bahkan bersifat “unconditional aid” guna mengatasi permasalahan dan mendorong pembangunan ekonomi di Zimbabwe melalui kerangka kerja Strategic Partnership menggantikan peranan International Monetary Fund (IMF) dan World Bank (Bank Dunia) bagi Zimbabwe. Hubungan kerjasama di antara keduanya semakin meningkat dengan semakin intensnya kerjasama di berbagai sektor baik perdagangan, militer, bantuan pembangunan, dll. Volume perdagangan dan bantuan yang diberikan China kepada Zimbabwe mengalami peningkatan signifikan yang dapat dilihat pada gambar sebagai berikut.

  Gambar 2. Grafik China-Zimbabwe Aid+Trade tahun 2000-2010 Sumber: Thompson, 2012.

  Hubungan kerjasama China-Zimbabwe telah terjalin bahkan sebelum Zimbabwe memperoleh kemerdekaan di mana China memberikan bantuan pelatihan militer kepada ZANU-PF dalam rangka merebut kemerdekaan Zimbabwe dari penjajahan Inggris (Eisenmen 2005). Hubungan diplomatik antara China dan Zimbabwe terbentuk dengan segera setelah kemerdekaan Zimbabwe diumumkan. Sejak saat itu, hubungan diantara keduanya semakin diperkuat dengan kunjungan- kunjungan resmi kenegaraan. Akan tetapi kedekatan hubungan politik di antara keduanya tidak dilanjutkan dalam bentuk kerja sama ekonomi yang cukup signifikan hingga tahun 2003. Ketika Zimbabwe sedang mengalami krisis ekonomi yang kompleks hingga mempengaruhi berbagai sektor dalam kehidupan pemerintahan Zimbabwe dan bahkan ditinggalkan oleh negara-negara Barat serta Institusi Finansial Internasional pada awal tahun 2000-an, justru pemerintahan China pada saat itu dengan senang hati memberikan uluran bantuan kepada pemerintahan ZANU-PF. Jika dilihat dari kondisi perekonomian negara yang terpuruk hingga mengalami hiper inflasi, memiliki utang yang cukup banyak, tata kelola pemerintahan yang buruk, praktik pelanggaran HAM tinggi, praktik korupsi banyak terjadi, dan pelanggaran rule of law dalam pemerintahan Mugabe menjadi faktor penting bagi negara-negara lain untuk menghentikan bantuan pembangunan dalam berbagai bentuk apapun serta menjalin kerjasama ekonomi dengannya. Tetapi hal ini tidak mempengaruhi China dalam memutuskan jalinan kerjasama bilateral diantara keduanya. Peranan China yang semula sangat terbatas di Zimbabwe selama periode Structural

  Adjusment Programs (SA

  P’s) antara tahun 1991-1996 dan hal ini berubah sejak tahun 2003 di mana China lebih proaktif untuk menjadi mitra dagang, investor, dan pendonor bantuan utama dalam pembangunan di Zimbabwe. Diaspora China semakin terekspos publik internasional dengan terealisasinya sejumlah pembangunan infrastruktur, transportasi, pembangkit listrik, telekomunikasi, perumahan dan mega proyek lainnya di Zimbabwe (Fathiraini 2015, 6). Tulisan ini membahas faktor penyebab China menjalin kerjasama bilateral yang intensif dan memiliki peranan Strategic Partnership menggantikan IMF dan World Bank kepada Zimbabwe.

  

Teori Strukturasi

  Asas utama negara melakukan kerjasama internasional ialah guna memenuhi kebutuhan kepentingan nasionalnya yang tidak dapat dipenuhi oleh dirinya sendiri. Hubungan kerjasama yang terjalin antara China dengan Zimbabwe dapat dikategorikan sebagai bentuk hubungan bilateral. Kerjasama dapat tumbuh dari suatu komitmen negara terhadap kesejahteraan bersama atau sebagai usaha pemenuhan kepentingan nasional. Adanya teori strukturasi sebagai pisau analisis dalam mendukung konsep kerjasama internasional sebagai suatu struktur yang mengikat China dan Zimbabwe. Agen merupakan aktor yang bertindak aktif. Aktor disini diyakini memiliki lebih dari satu pilihan dan memiliki kemampuan melihat banyak peluang untuk menciptakan pertentangan (Ritzer 2003, 510). Agen dalam persepsi Giddens secara bertukar memiliki aspek inheren tentang apa yang mereka lakukan sambil mereka sendiri juga melakukan sesuatu. Setiap aktor merupakan agen yang bertujuan (purposive agen) karena sebagai aktor, dirinya memiliki alasan-alasan untuk tindakan-tindakannya dan kemudian mengelaborasi alasan-alasan ini secara terus-menerus atau berulang-ulang. Dengan kata lain aktor melakukan tindakan yang bertujuan, bermaksud dan bermotif. Adapun struktur yang dimaksud ialah sifat-sifat yang terstruktur yang mana merupakan aturan dan sumber daya. Sifat yang memungkinkan praktik sosial serupa dapat dijelaskan untuk berlangsung disepanjang ruang dan waktu, sehingga kedua proses ini membuat bentuk hubungan menjadi lebih sistemik. Pada penelitian ini yang dimaksud dengan agen dan struktur adalah sebagai berikut,

  Gambar 3. Tabel Agen dan Struktur, Agen (China/Zimbabwe) --------

Struktur (kerjasama China-Zimbabwe)

  China (PRC) dalam memutuskan 1.

  Kerjasama bilateral  ekspor- kerjasama dengan Zimbabwe impor, bantuan luar negeri, militer, dll.  Unconditional Aid 2.

  Partnership Kepentingan Nasional 

   Strategic

  defense interest, economic

  menggantikan peranan IMF dan

  interest, world interest,

  World Bank bagi Zimbabwe

  ideology interest

Sumber: sintesis teori penulis dalam menggabungkan kerjasama internasional dengan teori

strukturasi.

  Inti pada strukturasi terletak pada dimensi dualitas struktur yang menjelaskan bahwa agen tidak hanya mampu memonitor aktivitas-aktivitas mereka sendiri dan aktivitas-aktivitas orang lain dalam perulangan perilaku sehari-hari, mereka juda mampu mengamati (monitoring) itu didalam keadaan diskursif. Skema interpretatif yang dijelaskan dalam dualitas struktur merupakan cara- cara penjenisan (typification) yang tersimpan dalam gudang pengetahuan para aktor dan diterapkan secara refleksif ketika melangsungkan komunikasi. Bekal pengetahuan yang para aktor gunakan dalam produksi dan reproduksi interaksi sama seperti bekal pengetahuan yang membuat mereka mampu membuat cerita-cerita, mengemukakan alasan-alasan (Putri 2014, 8). Dalam hal ini negara China sebagai agen yang saling berintegrasi yaitu melakukan hubungan timbal balik dengan struktur kerjasama internasional dengan Zimbabwe melalui tiga gugus besar oleh Giddens yaitu Signifikasi, Legitimasi dan Dominasi sehingga dapat menghasilkan dan mendukung temuan peneliti nantinya mengenai alasan China untuk tetap menjalin kerjasama dengan Zimbabwe pasca Krisis Zimbabwe. Berikut gambar untuk digunakan dalam menganalisis rumusan masalah dalam penelitian ini,

  Gambar 4. Tabel Dualitas Struktur Sumber: Giddens, 2010.

  Dari skema gambar di atas, nantinya dapat dijelaskan ketika China sebagai agen yang saling berintegrasi dengan kerjasama China-Zimbabwe sebagai struktur. Dimana China sebagai agen yang bertujuan, bermaksud dan bermotif untuk tiap tindakanya yang kemudian dielaborasikan alasan tersebut secara terus-menerus dan berulang-ulang dalam rentang lintas dan waktu dengan asas kesadaran praktis, terlibat interaksi dengan struktur yang menghasilkan unintended sehingga mempengaruhi tindakan China selanjutnya. Tindakan China diperkuat

  consequences

  oleh struktur pemahaman, moralitas, dan kekuasaan di dalam hubungan kerjasama China- Zimbabwe.

  

Kepentingan Nasional

  Hans J. Morgenthau menyamakan kepentingan nasional sebagai usaha negara untuk mengejar ‘power’, di mana power adalah segala sesuatu yang bisa mengembangkan dan memelihara kontrol suatu negara terhadap negara lain. Sementara hubungan power dan kontrol tersebut bisa dicapai melalui teknik-teknik pemaksaan dan teknik kooperatif (Couloumbis & Wolfe 1990, 114). Teknik kooperatif inilah yang sebagian besar dilakukan oleh negara-negara untuk mengejar power yakni melalui jalinan kerjasama dengan negara-negara lain baik dalam bentuk kerjasama multilateral maupun bilateral. Pada umumnya kepentingan nasional melindungi negara dari ancaman keamanan serta meningkatkan perdagangan dan sektor ekonomi atau dengan kata lain guna mencapai stabilitas politik, ekonomi, sosial dan budaya. Dari pemahaman tersebut, maka pilihan tertentu yang menjadi prilaku suatu negara sebagai agen merupakan refleksi dari kebutuhan negara pada waktu tertentu.

  Donald Neuchterelein membedakan kepentingan nasional suatu negara ke dalam empat kategori, yakni, 1) defense interest, kepentingan melindungi negara dan warga negaranya dari ancaman luar; 2) economic interest, kepentingan untuk meningkatkan ekonomi melalui hubungan dengan negara lain; 3) world order interest, kepentingan untuk memelihara suatu sistem politik dan ekonomi internasional di mana di dalamnya negara dapat merasan aman dan perdagangan dapat berjalan secara aman di luar batas wilayahnya; dan 4) ideological interest, kepentingan akan perlindungan dan penyebaran sejumlah nilai dan kepercayaan kepada pihak lain (Edwards1985, 508)

  

Sejarah Hubungan China dan Zimbabwe Membentuk Persepsi Identitas Dengan berdirinya

  the People’s Republic of China (PRC/China) pada tahun 1949, diiringi dengan

  meningkatnya pergerakan upaya pembebasan nasional baik di Asia, Afrika maupun Latin Amerika telah memberikan kesempatan bagi China untuk dapat menghindar dari pengaruh kapitalis di tahun 1950 maupun pengaruh di antara kubu kapitalis dan Uni Soviet di tahun 1960-an pada masa Perang Dingin. Dengan lingkungan internasional yang tidak menguntungkan tersebut yang mendorong terjalinnya hubungan persahabatan antara China dan Zimbabwe, yang mana keduanya memiliki pemahaman yang sama atas pembebasan nasional melalui suatu perjuangan. Di sisi lain dihadapan Negara Ketiga, China digambarkan sebagai ‘kindred spirit’, yang juga berjuang dalam penindasan (Mazrui 1977, 121). Di awal tahun 1960-an, China menyediakan bantuan militer tanpa syarat kepada Zimbabwe untuk melawan kolonialisme. Selama masa Rhodesian Bush War, ZAPU memperoleh bantuan militer dari Uni Soviet (Taylor 2006). Sementara China memberikan bantuan militer kepada ZANU dalam bentuk asistensi strategis untuk membentuk ZANU menjadi

  

liberation movement yang sangat kuat (Chun 2009, 6). Bahkan PRC juga memfasilitasi pelatihan

  gerilya untuk sayap militer ZANU, the Zimbabwe African National Liberation Army (ZANLA) (Johnson 1982, 88). Di bawah pelatihan China, strategi militer ZANLA mengalami transformasi fundamental hingga menjadi faktor kemenangan ZANU (Lan D 1985, 127).

  Pada tanggal 18 April 1980, secara resmi Zimbabwe menyatakan kemerdekaannya dari praktik kolonialisme Inggris. Hubungan diplomatic antara China dan Zimbabwe terbentuk dengan segera setelah kemerdekaan Zimbabwe diumumkan. Pada dasarnya hubungan yang terbentuk antara China-Zimbabwe tumbuh melalui aspek pinjaman negara, proyek dan kunjungan. China memperoleh undangan untuk membangun dan rumah sakit dan Stadium Olahraga Nasional pada tahun 1980-an. Mugabe melakukan kunjungan ke China pada tahun 1985 dan menerima dana pinjaman sebesar $55 juta (Kweku&Sansusha 2008). Terjadinya kerusuhan politik di Beijing pada t ahun 1989 yakni tragedi pembantaian di “Tiananmen Square” justru memberikan kesempatan penting bagi Mugabe untuk memperlihatkan peranannya kepada China, yang mana dirinya dengan senang hati menyediakan dukungan dan bantuan sehingga membuat pemerintahannya semakin dekat dengan rezim yang terisolasi tersebut. Awal abad ke-21 merupakan titik balik bagi hubungan Zimbabwe-China dalam memulai jalinan kerjasama yang semakin signifikan bagi satu sama lain. Hal ini tidak terlepas dari dua momentum penting yaitu konv ergensi kebijakan “Look East” yang dicetuskan oleh Mugabe dan terbentuknya

  

China’s forum on China-Africa Co-operation (FOCAC) yang berdampak luar biasa dalam

  memunculkan ‘special relationship’ di anatara keduanya. Setelah 20 tahun China di abaikan akhirnya dirinya memperoleh perhatian kembali di kawasan Afrika, bukan hanya untuk menyediakan dukungan politik tetapi juga kesempatan menjalin hubungan ekonomi, sumber daya alam dan potensi pasar (K&Chun 2009, 5).

  China berperan penting dalam krisis politik Zimbabwe untuk tiga alasan utama yaitu China memiliki hak veto di Dewan Keamanan PBB, status China sebagai negara berkembang, dan kebijakan non-interfensi yang dilakukan oleh China. Pada tahun 2005 dan 2008, bersama dengan Rusia menghentikan upaya negara Barat melalui rapat UN Security Council (UNSC) untuk menjatuhkan sanksi kepada Zimbabwe dengan memveto keputusan tersebut. Untuk merespon krisis Zimbabwe, China secara konsisten mengedepankan solusi melalui dialog, menyarankan bahwa bentuk intervensi justru tidak akan membantu bagi permasalahan domestik di Zimbabwe. China yang memiliki kesamaan dengan negara-negara berkembang dan salah satunya ialah Zimbabwe menilai bahwa praktik-praktik kolonialisme dan imperialisme yang dilakukan negara- negara Barat sangat merugikan bagi negara-negara miskin. Adanya kesamaan nilai ideologi dan rasa kesamaan sejarah mendorong keduanya untuk saling memahami dan mendukung satu sama lain. Zimbabwe melihat China sebagai negara sahabat yang dapat diandalkan pada saat kondisi- kondisi genting dengan memberikan bantuan baik militer, ekonomi dan sosial kepada pemerintahan Zimbabwe. Begitu sebaliknya dengan China yang turut serta memperoleh dukungan dari negara sahabat di Afrika dan khususnya Zimbabwe selama dalam kondisi yang terkucilkan di konstelasi global.

  

China Sebagai Kekuatan Ekonomi Baru (A New Rising Power)

  Memasuki awal abad ke 21, China menjadi sorotan internasional menilik pertumbuhan perekonomiannya yang sangat pesat sejak pemerintahannya melakukan pembaharuan sistem ekonomi pada tahun 1979 (Kompas 2006). Hal ini dibuktikan dengan pertumbuhan PDB China dari tahun 1979-2014 mencapai rata-rata 10% tiap tahunnya (Morrison 2015). Meskipun pasca krisis global, pertumbuhan ekonomi China mengalami penurunan secara perlahan bukan berarti bahwa posisi ini menjadikan Negara ini semakin lemah di kancah perekonomian global. Sebab dibandingkan dengan Negara-negara besar pendahulunya, seperti Amerika Serikat, Kanada, Jepang dan G7 Eurozone (Perancis, Jerman, Italia dan Inggris), pertumbuhan ekonomi China lebih signifikan daripada Negara-negara tersebut di masa-masa krisis global (Ardiansyah 2015).

  Angka pertumbuhan ekonomi Negara-negara anggota G7 lebih rendah dibandingkan dengan angka pertumbuhan China baik itu mulai dari tahun 2001 hingga 2015. Pertumbuhan rata-rata GDP negara anggota G7 antara tahun 2001-2007 masih di bawah angka 2,5% dan pasca krisis global semakin rendah lagi dengan Kanada memiliki rata-rata pertumbuhan GDP tertinggi yakni 1,5% selama 2008-2015 di bandingkan Negara anggota G7 lainnya. Dengan kata lain, meskipun China mengalami penurunan angka pertumbuhan ekonomi pasca krisis global, tidak mempengaruhi peranannya dalam perekonomian dunia serta tetap menjadikannya sebagai partner penting bagi Negara-negara di kancah internasional untuk menjalin kerja sama ekonomi dan dianggap sebagai kekuataan ekonomi terbesar dunia pada era globalisasi. Hal ini dapat ditilik dari gambar sebagai berikut.

  

Gambar 5. Grafik Pertumbuhan Ekonomi Negara anggota G7 2001-2015 (persen)

Sumber: Keightley, Labonte & Stupak, 2016.

  

Forum on China African Cooperation (FOCAC)

  Munculnya China sebagai kekuatan ekonomi baru di Afrika mendorong terjadinya peningkatan aktivitas-aktivitas kerjasama dengan negara-negara Afrika. Untuk mengakomodasi kepentingan- kepentingan China yang semakin terintegrasi dengan negara-negara di Afrika maka dibentuklah

  (FOCAC) pada saat Ministreal Conference di Beijing pada

  Forum on China-Africa Cooperation

  tahun 2000. Forum ini beranggotakan China, 50 negara Afrika dan Komisi Uni Afrika. Pertemuan ini dilaksanakan sekali dalam tiga tahun, dengan tuan rumah yang berganti-ganti antara China dan negara-negara Afrika. Tujuan utama dari forum ini ialah untuk membina rasa solidaritas dan kerjasama dalam basis persamaan, konsultasi, consensus, persahabatan, kemitraan dan mutual

  (Enuka 2011, 222). Forum ini direncanakan tetap berjalan dalam jangka waktu yang lama.

  benefit

  Semangat solidaritas dan common interest menjadi dua isu utama yang disuguhkan dalam Konferensi. Hasil dari forum pertama ini ialah the Beijing Declaration dan the Program for China- yang meletakkan dasar-dasar strategic

  Africa Cooperation in Economic and Social Development di era millennium (Enuka 2011, 223). partnership

  Kebijakan Luar Negeri China periode tahun 2002- 2012: “All Around/All-Directional

Policy”

  Dalam periode tahun 2002- 2012, China mengadaptasi kebijakan “all around/all-directional” dalam menjalankan berbagai aktivitas hubungan internasionalnya. Untuk dapat mengerti jalur perspektif

  China dalam menjalankan aktivitas kenegaraannya, harusdipahami terlebih dahulu maksud dari kebijakan “all around/all-directional” itu sendiri. Kebijakan ini secara mendasar memperlihatkan bahwa tidak adanya diferensiasi regional geografis atau negara untuk China melakukan aktivitas dan berinteraksi dengan aktor lain (Xinhua 2006). Para analisis China melihat bahwa kebijakan luar negeri China ini tidak menjelaskan mengenai arti secara khusus terkait dengan wilayah ataupun negara tertentu tetapi China menekankan adanya diplomasi yang seimbang dan melihat bahwa untuk mengikatkan diri dengan semua kekuatan-kekuatan penting di dunia menjadi harapan dan tujuan China (Global Magazine 2009).

  Pada periode ini, pemerintahan China mengutamakan untuk menjalin hubungan dengan negara- negara lain secara umum dan tidak memfokuskan pada negara atau wilayah kawasan tertentu. Sebab Hu melihat bahwa menjalin dengan semua negara merupakan suatu kebutuhan. Sesuai dengan peta hubungan antat negara yang dapat dipahami dalam kebijakan “all around/all- directional” ialah untuk menjalin hubungan dengan negara-negara besar yang memiliki posisi kuat di kancah internasional itu merupakan kunci bagi China dalam membina hubungan. Namun China juga tetap harus memprioritaskan negara-negara periphery-nya atau negara yang bergantung kepadanya baik secara ekonomi, politik dan sosial dalam aktivitas internasionalnya. Sementara negara berkembang lain dianggap sebagai fondasi ketika dirinya menjalankan berbagai aktivitas di platform multilateral yang dianggapnya sebagai panggung.

  

Kepentingan Kedaulatan China di Zimbabwe

  Satu karakter utama dalam hubungan China-Zimbabwe ialah saling mendukung di arena internasional dan saling menghargai dalam urusan domestik (non-interfere) (Chun 2009).

  

Diplomatic support dan asas non-interfere menjadi pedoman diantara keduanya untuk berinteraksi

  secara bilateral maupun internasional. Tidak terselesaikannya reunifikasi antara pemerintah China dan Taiwan selalu menjadi momok bagi PRC. Kepentingan politik utama inilah yang selalu diintegrasikan China ke dalam setiap kerjasama internasionalnya ialah dukungan dan pengakuan “One China Policy”. Di dalam setiap kesempatan Zimbabwe selalu mendukung dan menyatakan persetujuannya terhadap eksistensi China hanya ada satu di bawah pemerintahan CCP. Contohnya, pada tahun 2005, ketika diumumkannya Hukum Anti-Pemisahan China, pemerintahan ZANU-PF mendukung apapun upaya yang dilakukan oleh China untuk mencapai reunifikasi baik melalui upaya damai ataupun paksaan. Dukungan diplomatik dan non-interfere lain yang diberikan Zimbabwe kepada PRC ialah saat Tragedi Tiananmen 1989.

  

Kepentingan Ekonomi China di Zimbabwe

Tidak dapat dipungkiri bahwa aspek utama dalam kepentingan China di Zimbabwe salah satunya ialah faktor ekonomi. Kombinasi FOCAC dan “Look East Policy” mendorong pilar ekonomi

  kerjasama China-Zimbabwe berkembang sangat pesat. Hubungan perdagangan China-Zimbabwe semakin kuat melalui berbagai kunjungan level tinggi oleh delegasi-delegasi negara dimana berbagi pengalaman di berbagai sektor berbeda. China merupakan partner dagang terbesar ketiga di Zimbabwe setelah Afrika Selatan dan UE (Maodza 2012, 15). Meskipun Zimbabwe dalam kondisi perekonomian yang sangat terpuruk di tahun 2000, akan tetapi China tetap melaksanakan aktivitas perdagangan atas berbagai komoditas di Zimbabwe. Perdagangan antara China- Zimbabwe mayoritas didominasi oleh sumber mineral dan bahan mentah (Edingur & Burke 2000). Hubungan perdagangan keduanya semakin meningkat dengan disepakatinya economic and pada tahun 2004. China berkomitmen untuk membantu meningkatkan

  technical agreement produksi tembakau Zimbabwe, sebagai salah satu sektor yang terpengaruh oleh land reform.

  Dengan adanya komitmen China dalam memfasilitasi sumber-sumber yang dibutuhkan dapat saling menguntungkan kedua negara. Pola perdagangan bilateral antara China dan Zimbabwe dapat dikarakterisasikan dengan ekspor bahan mentah sebagai gantinya yaitu barang manufaktur (baju, tekstil dan sepatu), kendaraan ( mobil, bus, traktor dan pesawat), mesin eletronik dan peralatan lainnya (Chun 2009). Mayoritas komoditas ekspor Zimbabwe ke China ialah hasil tanaman seperti tembakau serta kapas dan mineral secara khusus nikel serta bahan tambang lain. Tembakau sendiri merupakan produk ekspor utama Zimbabwe ke China (Manyeruke & Mangwanya 2014, 45). Zimbabwe merupakan produsen tembakau terbesar di Afrika dan produsen terbesar keempat setelah China, Brasil, dan AS (FAO 2000).

  Perkembangan iklim investasi China di Zimbabwe cenderung tumbuh lamban hingga turning poit tahun 2003 saat Zim babwe mencanangkan “Look East Policy”. Dari tahun 1994 hingga 2003, hanya ada tiga perusahaan yang berinvestasi di Zimbabwe meliputi: 1) China Building Material

  

Industrial Corporation for Foreign Econo-Technical Cooperation , berinvestasi sesebar US$ 5,8

  juta kepemilikan saham sebesar 65% di the Sino-Zimbabwe Cement Company; 2) Zimna Tractor , berinvestasi sebesar ZIM$ 4,8 juta dengan kepemilikan saham senilai 58% di

  Assembly Factory

Dwala Enterprises (PVT) Ltd; dan 3) Hongda Intertexture Factory, berinvestasi sebesar

  US$810.000 dengan kepemilikan saham 50% di perusahaan swasta Super Garments (Embassy of China 2002).

Hal ini berubah setelah “Look East Policy” dikeluarkan, investasi China di Zimbabwe berkembang secara pesat. Semula hanya tiga perusahaan berubah menjadi 29 perusahaan yang beroperasi di

  Zimbabwe di tahun 2005 (Embassy of China 2012). Semenjak itu pertumbuhan investasi meningkat sangat drastis hingga terdapat 45 perusahaan di tahun 2013 (Embassy of China 2005). Hal tersebut dapat dilihat dalam gambar berikut

  Gambar 6. Grafik Perusahaan China berinvestasi di Zimbabwe 2002-2013 Sumber: Embassy of China in Zimbabwe 2012

  

Kepentingan Ideologi China di Zimbabwe

  Kepentingan ideologi China di Zimbabwe merupakan pergeseran prioritas negara untuk pembangunan ekonomi. Hal ini bertujuan untuk mendukung legitimasi China dalam menyebarkan dan mempromosikan model pembangunan China. Sehingga banyak negara yang mengadopsi pendekatan Beijing dan membuat China semakin tidak terisolasi. China ingin melihat pemerintah non-Barat dan non-demokratis dapat berkembang dan makmur seperti kasus di Zimbabwe. Dengan China membantu Zimbabwe di masa saat terisolasi komunitas internasional dengan itu menunjukkan bahwa demokrasi Barat bukanlan nilai universal dan sistem demokrasi Barat tidak dapat diaplikasikan ke semua negara. Oleh karena itu, keberhasilan pemerintahan otoriter Zimbabwe di bawah kepemimpinan Presiden Mugabe dilihat sebagai dukungan untuk legitimasi CCP. Sehingga China dengan tangan terbuka membantu Zimbabwe sebagai partner serta negara sahabat yang telah turut membantu China diberbagai permasalahan internasional salah satunya terisolasi paska Tragedi Tiananmen.

  

Kondisi Struktur yang Mendorong China Berperan Sebagai Strategic Partnership bagi

Zimbabwe

Tabel 4.1 Dualitas Struktur Kerjasama China-Zimbabwe Negara Pandangan Pemahaman Untuk Bentuk

  (Aktor) Terhadap Partner Mencapai Kerjasama Partner Kerjasama Kerjasama

Terhadap Partner

  Memiliki pandangan  Kunjungan  Pemberian bantuan luar negeri bahwa: kenegaraan teknikal dan

   Asistensi Zimbabwe ekonomi  Pembentukan China merupakan fondasi di

  FOCAC  Military sharing di dalam multilateral

   Diplomatic  Perdagangan dan Invstasi platform Support dan Non- Interfere

   The New Rising Economy Memiliki pandangan  Mengakui “One  Perdagangan Ekspor-Impor bahwa:

  China Policy” Zimbabwe

  China merupakan “all  Kunjungan weather friend” kenegaraan  Pencetusan “Look East Policy”  Diplomatic Support

  

Kesimpulan

  Faktor atau penyebab pemerintahan China semakin intens menjalin hubungan kerjasama bilateral dengan pemerintahan ZANU-PF di tahun 2003 pasca dijatuhkanya sanksi dan pemutusan kerjasama ekonomi baik embargo ekonomi maupun bantuan luar negeri secara berturut-turut dari AS, UE, IMF, World Bank dan AfDB ialah terjadinya strukturasi dalam hubungan kerjasama bilateral di antara kedua negara. Ruang gerak Zimbabwe dalam menjalin kerjasama dengan negara Barat terbatasi akibat isolasi komunitas internasional, sehingga struktur memaksa Zimbabwe untuk menjalin hubungan dengan negara-negara lain kecuali Barat. Pemaknaan hubungan China dengan Zimbabwe sangat erat ditinjau dari hubungan historis keduanya. Kedekatan pemerintahan Mugabe dengan China mendorong masing-masing negara untuk mencapai kepentingan nasionalnya semakin mudah. Baik kepentingan nasional Zimbabwe untuk memperoleh dukungan dari negara lain paska terisolasi terutama untuk memperoleh bantuan dana guna penyelenggaraan pembangunan tidak terhenti serta menanggulangi krisis Zimbabwe yang mencapai hiper inflasi sangat tinggi. Sementara China memandang isolasi terhadap Zimbabwe tersebut memberikan keuntungan baginya untuk dapat menjalin kerjasama lebih intensif dengan Zimbabwe guna memenuhi kebutuhannya atas sumber bahan mentah, ekspansi pasar, keamanan dan dukungan di kancah internasional. Dengan latar belakang persepsi identitas sebagai negara sahabat serta keinginan untuk mencapai kepentingan nasional masing-masing dan kondisi Zimbabwe yang terisolasi, interaksi di antara keduanya justru mendorong terciptanya strukturasi atau perubahan struktur kerjasama bilateral yang lebih intensif sehingga China mampu berkomitmen untuk menyalurkan “unconditional aid” dalam kerangka Strategic Partnership menggantikan peranan

  IMF dan World Bank.

  

Daftar Pustaka

Buku dan Jurnal:

  Bond, B and M. Manyanya. 2003. Zimbabwe’s Plunge:Exhausted Nationalism, Neoliberalism and the search for Social Justice. Harare: Weaver Press Ltd. Brautigam, Deborah. 2011. The Dragon’s Gift: The Real Story of China in Africa. Oxford:Oxford University Press. Brown, K dan Chun, Zhang. 2009. ‘China and Africa-Preparing for the Next Forum for China- Africa Cooperation’, dalam Asia Programme Briefing Note ASP 2009/02. London: Chatham House.

  China Council For the Promotion of Internastional Trade (CCPIT). 2000. China Business Guide 2000. Couloumbis, Theodore A. dan James H. Wolfe. 1990. Pengantar Hubungan Internasional

Keadilan dan Power.Bandung: Abardin

  D, Lan. 1985. Guns and Rain: Guerillas and Spirit Mediums in Zimbabwe. Berkeley: University of California Press.

  D, Martin dan Johnson, P.1982. The Struggle for Zimbabwe: The Chimurenga War. Harare:Zimbabwe Publishing Company.

  Dam, Sjamsumar dan Riswandi. 1995. Kerajasama ASEAN, Latar Belakang, Perkembangan, dan Masa Depan. Jakarta: Ghalia Indonesia. Edwards, David V. 1985. The American Political Experience, an Introduction to Government. New Jersey: Patience Hall, Inc. Eisenman, Joshua . 2005. ‘Zimbabwe: China’s African Ally’, dalam Jamestown Foundation China

Brief Vol. V 5 Juli 2005 Giddens, A. 2010. Sosiologi: Introductory Readings.Cambridge: Polity Press

  Giddens, A. 2010. Buku Metode Sosiologi: Kaidah-Kaidah Baru.Jakarta: Pusataka Belajar. Giddens, A. 2011. The Constitution of Society. Cetakan Keempat. Yogyakarta: Pedati. Holsti, K.J. 1988. Politik Internasional, Kerangka Untuk Analisis, Jilid II, Terjemahan M. Tahrir Azhari. Jakarta:Erlangga, Hoslti, K.J. 1992. International Politics, A Framework for Analysis. New Jersey: Prentice-Hall.

  Kartasasmita, Koesnadi. 1977. Administrasi Internasional. Bandung: Lembaga Penerbitan Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Bandung. Kegley, Charles W. dan Eugene R Wittkopf. 2004. The Global Agenda: Issues and Perspectives. New York: St. Martin’s Press. Macridis, Roy C. dan Thompson, Kenneth W. 1976. Foreign Policy in World Politics. New Jersey: Prentice-Hall, Inc. Mankiw, N. Gregory. 2006. Makroekonomi. Jakarta: Erlangga. Manyeruke, C. dan Mangwanya, F. 2014. An Analysis of China-Zimbabwe Tobacco Trade. Global Review. Marcia, J.E., Waterman, A.S. dll. 1993. Ego Identity A Handbook for Psychosocial Research. New York: Springer-Verlag.

  Marongwe, N. 2004. ‘Socio-economic conflicts of the Fast Track resettlement Programme’, in (ed.) Masiiwa, Post-independence land reform in Zimbabwe:Controversies and Impact on the economy. Harare:Friedrich Eber Stiftung and Institute of Development Studies.

  Maroodza, RG. 2012. China-Zimbabwe Relations: An Analysis of the Bilateral Cooperation since 1980. China: Jilin University. Mazrui, A. 1977. Africa’s International Relations.London: Heinemann. Moyo, S. 1994. “Land Tenure Bidding Among Black Agrarian Capitalist in Zimbabwe”, dalam Southern African Political and Economic Monthly. Moyo, S. 1999. Land and Democracy in Zimbabwe, Monograph Series No. 7. Harare: SAPES Books. Moyo, S. 2000. Land Reform Under Structural Adjusment in Zimbabwe: Land Use Change in the

Masonaland Provinces. Uppsala: Nordiska Afrika Intstitute

  Ndakaripa, Musiwaro. 2014. “United States/European Union ‘Sanctions’ and the Contestation for Political Space in Zimbabwe, 2000 to 2012", dalam American International Journal of Contemporary Research Vol. 4 No. 4, April 2014.

  Nuchterlein, Donald E dalam David V Edwarsd. 1985. The American Political Experience, an Introduction to Government. New Jersey: Patience-Hall, Inc. Putri, Gayana Royana . 2014. Analisis Teori Strukturasi Pada Proses Pembentukan Pandangan, Pemahaman, dan Minat Terhadap Profesi Pustakawan. Surabaya: Universitas Airlangga. Rizter, G. dan D. Goodman. 2003. Teori Sosiologi Modern, terjemahan Alimandan. Jakarta:Prenada Media. Sachikonye, L. 2008. ‘Crouching tiger, hidden agenda? Zimbabwe-China relations’, dalam Naidu S & A Kweku (eds), Crouching Tiger, Hidden Dragon? Africa and China. Scottsville: Uninversity of Kwazulu-Natal Press. Santrock, J.W. 2002. Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup (edisi kelima). (Penerj. Achmad Chusairi, Juda Damanik; Ed. Herman Sinaga, Yati Sumiharti). Jakarta: Erlangga. Silalahi, Ulber . 2009. Metode penelitian Sosial. Bandung: PT. Refika Aditama Singarumbun, Irawati. 2000. Penggunaan Perpustakaan Dalam dan Ilmiah, Metode Penelitian Survey. Jakarta: LP3ES. Sitepu, P. Anthonius. 2011. Studi Hubungan Internasional.Yogyakarta: Graha Ilmu. Taylor, Ian. 2006. China and Africa: Engagement and Compromise. London: Routledge.

  

African Development Bank (AFDB). 2016. Zimbabwe Reporrt: From Stagnation to Economic

Recovery, (2016) dalam

  s tanggal 11 November 2016 Chun, Zhang. 2014. ‘China-Zimbabwe Relations: A Model of China-Africa Relations?’, South dalam

African Institute of International Affairs Occasional Paper 205

  s tanggal 18 Juli 2017 Congress. 2001. Zimbabwe Democracy and Economic Recovery Act of 2001, dalam diakses tanggal 11 Agustus 2016 Coopers, Price Waterhouse. 2009. Strategic Partnerships: The Real Deal ?, , dalam diakses tanggal 27 September 2017 Czechoswka, Lucyna. 2013. ‘The Concept of Strategic Partnership As An Input’, dalam the

  

Modern Alliance Theory, The Copernicus Journal of Political Studies 2013 No. 2 (4), dalam

  diakses tanggal 15 November 2017 Edinger, Hannah dan Christopher Burke. 2008. AERC Scoping Studies on China-Africa Relations:

  

A Research Report on Zimbabwe , dalam

  s tanggal 16 Juli 2017 Enuka, Chuka. 2011. The Forum on China-Africa Cooperation (FOCAC): A Framework For

  st

China’s Re-engagement with African in The 21 Century, Vol. 6 No. 2, dalam

  es tanggal 21 September 2017 Fathiraini, N. 2015. Politik Luar Negeri Hu Jintao Terhadap Zimbabwe Sebuah Pandangan Konstruktivis, dalam s tanggal 7 November 2017 Gono, G. 2007. Impact of Sanction, dalam diakses tanggal 04 November 2016 Government of Zimbabwe. 2013. Zimbabwe Agenda for Sustainable Socio-Economic

Transformation (Zim Asset): “Towards an Empowered Society and a Growing Economy”, dalam

  diakses tanggal 17 Oktober 2017 Haryatmoko, Dr. . 2016. Critical Discourse Analysis (Analisis Wacana Kritis) Landasan Teori, Metodologi, dan Penerapan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

  IMF. 2015. World Economic Outlook: Adjusting to Lower Commodity Prices, 6 Oktober2015, daiakses tanggal 6 November 2016 Keightley, Mark P. , Marc Labonte, & Jeffrey M. Stupak. 2016. Slow Growth in the Current U.S.

Economic Expansion, dalam https://fas.org/sgp/crs/misc/R44543.pdf diakses tanggal 04

  November 2016 Kompas. 2006. Cermin dari Cina Geliat Sang Naga di Era Globalisasi. Jakarta: Buku Kompas. Li, Xiaojun. 2012. China’s Geoeconomic Strategy: China as a Trading Superpower. London: LSE

  IDEAS, dalam

  s tanggal 6 November 2016 Mazingi, Lucy dan Richard Kamidza. 2011. Inequality in Zimbabwe dalam Tearing Us Apart: dalam

  Inequalities in Southern Africa,

  diakses tanggal 03 Juli 2017 hal 323 Morisson, Wayne M. 2015. China’s Economic Rise: History, Trends, Challenges, and Implications

  

for the United States, dalam diakses tanggal 04

  November 2016 Shurong, Wang dan Yanxiao, Yu. 2010. The Foundation for the Legitimacy of Chinese Communist

  

Party as the Ruling Party, dalam diakses

  tanggal 9 September 2017 Stein, Janice G. 2013. Threat Perception in International Relations dalam The Oxford Handbook

  nd

of Political Psychology, 2 ed. Oxford: Oxford University Press, dalam

   diakses tanggal 27 September 2017 Stiftung, Friedrich Ebert. 2004. The Look East Policy of Zimbabwe now focuses on China, dalam s tanggal 11 Juli 2017 Sun, Yun. 2014. Africa in Chinas’s Foreign Policy, dalam es tanggal 5 Mei 2017 Thompson, Reagan. 2012. Assessing the Chinese Influence in Ghana, Angola, and Zimbabwe:The

  

Impact of Politics, Partners, and Petro, dalam

  diakses tanggal 22 Agustus 2017

  Online: