Gagasan Semaoen tentang Partai Komunis Indonesia dalam novel Hikayat Kadiroen karya Semaoen : kajian sosiologi sastra - USD Repository

  

GAGASAN SEMAOEN

TENTANG PARTAI KOMUNIS INDONESIA

DALAM NOVEL HIKAYAT KADIROEN KARYA SEMAOEN

KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

  

Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

  Oleh

  

Dimas Rizky Chrisnanda

NIM : 054114006

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

  

2009

  

GAGASAN SEMAOEN

TENTANG PARTAI KOMUNIS INDONESIA

DALAM NOVEL HIKAYAT KADIROEN KARYA SEMAOEN

KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

  

Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

  Oleh

  

Dimas Rizky Chrisnanda

NIM : 054114006

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

  

2009

  

P E R S E M B A H A N

Sang Hyang Bapa, Gusti, dan Bunda Maria. Nafas ini mengalir tanpa-

Nya; memberi suasana merdeka yang dicari.

  

Keluargaku; Bpk. Djum dan Ibu Chris. Memang sudah sendiri, tetapi

semaian pupuk membuat pohon semakin kuat bukan?

Kekasih hati, Fransiska Firlana. Mata ini membelalak kedewasaan.

Bersama atas nama peristiwa. Bagiku, kau tetap segitiga kehidupan

yang selalu hadir…trimakasih Jeng…trimakasih Gusti

  

Setiap apa dan siapa yang pernah hadir. Ini bagian ”hutang” yang

masih terus kan terbayar.

  

Motto

Me nya tuka n ka ta d a n p ikira n d a la m tind a ka n a d a la h

b ukti ya ng te re ka m d a n te rliha t o le h ma ta .

Ing a t! Tia p o ra ng me mp e rha tika n g e ra k-g e rik ke ma na

la ng ka h p e rg i.

  

Kita tid a k se nd iri…

  Surat Pernyataan Keaslian

  Dengan ini saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi berjudul “Gagasan Semaoen tentang Partai Komunis Indonesia dalam Novel Hikayat

  Kadiroen Karya Semaoen Kajian Sosiologi Sastra” ini tidak memuat karya

  atau bagian dari orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagai layaknya karya ilmiah.

  Yogyakarta, 28 September 2009 Penulis,

  (Dimas Rizky Ch.) LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Yang bertandatangan di bawah ini, saya mahasiswa Sanata Dharma: Nama : Dimas Rizky Chrisnanda NIM : 054114006

  Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

  

GAGASAN SEMAOEN TENTANG PARTAI KOMUNIS INDONESIA

DALAM NOVEL HIKAYAT KADIROEN KARYA SEMAOEN KAJIAN

SOSIOLOGI SASTRA, beserta perangkat yang diperlukan.

  Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lainnya untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya ataupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

  Dengan pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal 28 September 2009 Yang menyatakan, Dimas Rizky Chrisnanda

  

ABSTRAK

  Chrisnanda, Dimas Rizky. 2009. Gagasan Semaoen Tentang Partai Komunis

  Indonesia Dalam Novel Hikayat Kadiroen Karya Semaoen Kajian Sosiologi Sastra. Skripsi Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan

  Sastra Indonesia, Fakultas Sastra. Universitas Sanata Dharma. Yogyakarta.

  Pergerakan menjadi sumbu utama bangsa Indonesia untuk keluar dari penjajahan kolonial Belanda. Ajakan dan dorongan untuk berkumpul bersama dalam pergerakan menjadi pegangan bagi para intelektual untuk mengkritisi keadaan yang terjadi di masyarakat. Semaoen sebagai salah satu pemuda intelektual pada era 1920an, juga menyatakan hal serupa dalam novelnya

  

Hikayat Kadiroen . Hal yang kemudian dijadikan bahan penelitian untuk

  menangkap tujuan penelitian, yaitu menganalisis dan mendeskripsikan gagasan Semaoen tentang Partai Komunis Indonesia dalam novel yang dikarangnya. Metode penelitian deskripsi analisis digunakan dalam penelitian ini, sedangkan pendekatan yang digunakan adalah struktural dan sosiologi sastra.

  Politik yang diterapkan pemerintah Belanda, telah membentuk sedemikian rupa kondisi masyarakat di Hindia. Kebijakan-kebijakan yang merugikan rakyat Hindia mau tidak mau membuka kesadaran agar rakyat harus merdeka. Berkumpul dalam wadah pergerakan adalah salah satunya. Itulah yang diceritakan Semaoen melalui tokoh Kadiroen yang tertarik bergabung bersama Partai Komunis. Secara sadar, Kadiroen lebih memilih menanggalkan pangkatnya dan memilih sebagai seorang penulis yang menjadi alat perjuangannya kemudian.

  Adapun gagasan Semaoen tentang Partai Komunis Indonesia yang diungkapkan melalui tokoh Kadiroen dalam novel ini adalah gagasan PKI sebagai pembangun kesadaran baru dan faktor penghambat cita-cita bangsa yang merdeka dari sudut pandang PKI, yang meliputi faktor kekuasaan dan faktor kaum bermodal. Sebagai pembangun kesadaran baru, PKI berusaha menyadarkan rakyat Hindia bahwa dengan menjadi pintar, kuat dan berkuasa maka rakyat dapat hidup merdeka. Caranya yaitu dengan rukun bersatu atau mendirikan perkumpulan. Atas kesadaran itulah Kadiroen akhirnya bergabung bersama Partai Komunis sebagai penulis dan meninggalkan pekerjaannya sebagai pejabat pemerintah. Hal ini sekaligus ajakan untuk rakyat Hindia bergabung bersama PKI yang mencita-citakan bangsanya yang merdeka.

  Cita-cita tersebut bukanlah tanpa hambatan. Kekuasaan yang dipegang pemerintah kolonial Belanda, hanya digunakan untuk kepentingan sendiri. Pengalaman Kadiroen terhadap atasannya yang semena-mena terhadap rakyat membuatnya semakin yakin bahwa rakyat tidak akan merdeka jika terus hidup seperti itu. Kadiroen menyadari kekuasaan yang seharusnya digunakan untuk melindungi rakyat, sudah tidak berlaku lagi. Tidak hanya itu, kekuasan pun telah digunakan untuk melindungi para kaum bermodal agar mereka memperoleh keuntungan maksimal. Rakyat hanya dijadikan pekerja murah agar dapat meminimalkan pengeluaran, sekaligus dijadikan konsumen yang membuat mereka semakin menderita. Kedua faktor inilah yang dinilai oleh Semaoen sebagai penghambat cita-cita bangsa yang merdeka yang tertuang dalam novelnya.

  ABSTRACT

  Chrisnanda, Dimas Rizky. 2009. The Idea of Semaoen on Indonesian

  Communist Party in Semaoen’s Hikayat Kadiroen. A Literary Sociological Approach. A Thesis. Indonesian Letters Study

  Programme, Indonesian Letters Department, Faculty Of Letters, Sanata Dharma University. Yogyakarta.

  A Movement has been a main course of Indonesian in their struggle for independence under the Dutch colonization. The Invitation and encouragement to make a group of movement are the principles that used by the intellectuals to criticize the situation on the society. Semaoen as the intellectual youth in the 1920s said the same point in his novel, Hikayat Kadiroen. The object that is taken as the research material is the processes of analysis and describing the idea of Semaoen on Indonesian Communist Party in his Novel. The method of description analysis research is use in this study and a structural and literature sociology were used as the approach.

  The politic system that applied by the Dutch has created certain condition of people in Indies. The harmful decisions give nothing but the people’s awakening to be independent. Gathering in the group of movement is one of the ways of struggling. This was the point that Semaoen written about. It was told through the character of Kadiroen who exited to join the Communist Party. Kadiroen consciously abandoned his profession and became a writer which functioned as a tool of his next struggling.

  The idea of Semaoen on Indonesian Communist Party which was told through the character of Kadiroen in the novel is the idea of the party as the builder of a new consciousness. Based on the point of view of the party there are obstacle factors of the independent country’ hope. There are the power factor, and wealth class factor. As the builder of new consciousness the party tried to awake the people of Indies that by living in high intellectual quality, strong and powerful condition the people could live independently. To achieve those conditions the people should live peacefully united or by assembling a gathering. Based on this awareness Kadiroen became the member of the communist party as a writer and left his employment where he was a government officer. This point is also an invitation for the people of Indies to join the Indonesian Communist Party who dreamed for its independent country.

  This dream is not in the easy path. The power of controlling was in the side of the Dutch and it was used for their own benefits. Kadiroen’s experience of seen his employer who has a full authority on the people makes him became more convince that the people will never reach their independence if continually living in such condition. Kadiroen realized that the power to protect the people is no longer exist. The power also has been used to protect the wealth class in order to make them able to produce a maximum profit. The people were treated as a cheap worker to decrease the payment and they also were made as consumers which resulted in their sufferer life. These two factors, according to Semaoen, are the obstacle of the dream of an independent nation as revealed in his novel.

KATA PENGANTAR

  Ungkapan syukur kepada Gusti patut diucapkan setelah terselesaikannya penelitian ini. Walaupun begitu, penelitian ini tidak secara utuh dikatakan selesai karena adanya kekurangan dalam penulisan penelitian ini. Untuk itu, kritik dan saran akan sangat diperlukan agar penelitian ini menjadi cukup sempurna. Terhadap segala pihak yang membantu dalam tersusunnya penelitian ini, peneliti mengucapkan banyak terima kasih, di antaranya yaitu:

  1. S.E. Peni. Adji, S. S., M. Hum dosen pembimbing I sebagai tempat berkeluh dalam ketidaktahuan peneliti.

  2. Drs. B. Rahmanto, M. Hum, semoga bapak tidak kaget esok hari.

  3. Dra. Fr. Tjandrasih Adji, M. Hum sebagai dosen pembimbing angkatan 2005. Tenang, itu yang tergambar tentang ibu.

  4. Segenap dosen Fakultas Sastra Drs. Hery Antono, M. Hum., Drs. P. Ari Subagyo, M. Hum., Dr. I. Praptomo Baryadi, M. Hum., Drs. Yosef Yapi Taum, M. Hum., dan Drs. F.X. Santosa.

  5. Segala pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.

  Penulis berharap penelitian ini dapat berguna bagi masyarakat sastra, tidak terkecuali masyarakat awam sekalipun. Jika terjadi kesalahan dalam penulisan, baik sengaja maupun tidak sengaja, penulis mengucapkan mohon maaf. Akhir kata, selamat membaca. Terima kasih.

  Penulis

  DAFTAR ISI

  HALAMAN JUDUL....................................................................................... i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................ ii HALAMAN PENGESAHAN......................................................................... iii PERSEMBAHAN ........................................................................................... iv MOTTO …………………………………………………………………… v SURAT PERNYATAAN KEASLIAN........................................................... vi LEMBAR PERSETUJUAN.………………………………………………. vii ABSTRAK ...................................................................................................... viii

  

ABSTRACT ………………………………………………………………… x

  KATA PENGANTAR..................................................................................... xii DAFTAR ISI ................................................................................................... xiii BAB I PENDAHULUAN .............................................................................

  1 1. 1 Latar Belakang ..........................................................................

  1 1. 2 Rumusan Masalah ......................................................................

  5 1. 3 Tujuan Penelitian .......................................................................

  6 1. 4 Manfaat Penelitian .....................................................................

  6 1. 5 Tinjauan Pustaka .......................................................................

  7 1. 6 Landasan Teori ……….……………………………………...

  8 1. 7 Metode Penelitian .………………………………………

  12 1. 8 Sistematika Penyajian .………………………………………

  13

  BAB II KONDISI SOSIAL MASYARAKAT INDONESIA SEBELUM TERBENTUKNYA PARTAI KOMUNIS INDONESIA (PKI) ...

  14

  2.1

  14 Pengantar ....................................................................................

  2.2 Keadaan Sosial Masyarakat Indonesia Sebelum Masuknya Sneevliet ke Hindia ...................................................................

  16

  2.3 Keadaan Sosial Masyarakat Indonesia Sesudah Masuknya Sneevliet ke Hindia ..................................................................

  21 2.4 Media Massa Sebagai Alat Perjuangan ………………...……..

  25

  2.5 Rangkuman……………………………………………………

  27 BAB III TOKOH DAN PENOKOHAN ........................................................

  29 3. 1 Pengantar ....................................................................................

  29 3. 2 Kadiroen......................................................................................

  31 3.3 Tjitro.............................................................................................

  47

  3.4 Rangkuman………………………………………………………

  52 BAB IV GAGASAN SEMAOEN TENTANG PARTAI KOMUNIS

  INDONESIA (PKI) DALAM NOVEL HIKAYAT KADIROEN KARYA SEMAOEN ......................................................................

  57 4. 1 Pengantar ...................................................................................

  57

  4.2 Gagasan Semaoen tentang PKI sebagai Pembangun Kesadaran Baru .........................................................................

  58

  4.3 Faktor Penghambat Cita-Cita Bangsa yang Merdeka Berdasarkan Sudut Pandang PKI ..............................................

  67 4. 3. 1 Faktor Penguasa…… ………………………………….

  68

  4. 3. 2 Faktor Kaum Bermodal ………….…………………….

  72 4.5 Rangkuman…………………………………………………….

  75 BAB V PENUTUP .........................................................................................

  78 5. 1 Kesimpulan ...............................................................................

  78 5. 2 Saran ..........................................................................................

  82 DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………..

  83 BIODATA PENULIS….……………………………………………….….

  85

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Lahirnya karya sastra memang tidak dapat dipisahkan dari

  pengarangnya. Dari situ, pengarang berupaya menuliskan ide-idenya untuk kemudian dibaca oleh masyarakat. Ide-ide tersebut bisa berasal dari latar belakang kehidupan sang pengarang sendiri; mulai dari keluarga, lingkungan, kehidupan masyarakat, gagasan-gagasannya, dan sebagainya. Tidak heran jika dalam bentuk karya sastra ditemukan suatu gagasan yang mencerminkan sikap berpolitiknya seseorang.

  Salah satu dari karya sastra itu adalah novel yang berjudul Hikayat

  Kadiroen karya Semaoen. Pada saat menulis novel ini, Semaoen telah

  terpengaruh paham komunis dan mencatatkan dirinya bersama organisasi Sarekat Islam (SI), bahkan menjabat sebagai ketua SI di kota Semarang. Pada akhirnya, ia menjabat sebagai ketua Partai Komunis Indonesia untuk pertama kalinya.

  Paham komunis masuk pertama kali ke Hindia dibawa oleh Josephus Franciscus M. Sneevliet pada tahun 1913. Setahun berikutnya, ia mendirikan Indische Sociaal Democratische Vereniging (ISDV) di Semarang. Dipilihnya kota Semarang karena sejak tahun 1905 kota tersebut dikenal sebagai kota perdagangan dan industri sehingga dirasa mudah untuk mendapat anggota dalam jumlah banyak. Hal ini juga sejalan dengan tujuan didirikannya organisasi tersebut yaitu untuk memperbesar dan memperkuat gerakan komunis di Hindia Belanda (Cahyono, 2003: xxiii), selain karena Sneevliet bekerja menggantikan posisi temannya. Guna mendapat anggota dan menguatkan jaringan, Sneevliet merasa perlu untuk mengajak kaum bumiputera, salah satunya adalah Semaoen. Ia dipilih karena dianggap sebagai pemuda yang cerdas, ulung dan pemberani (Muljana, 1986: 1).

  Semaoen pada saat itu menjabat sebagai ketua Sarekat Islam (SI) untuk kota Semarang. Sneevliet menanamkan paham komunis pada Semaoen dengan mudah karena sama-sama berada di Semarang. Semaoen yang juga sudah mulai mengenal komunis, ikut bergabung bersama ISDV yang salah satunya dibentuk Sneevliet (Cahyono, 2003: xxiii). Kedudukan Semaoen dalam jajaran SI membuatnya dengan mudah memperoleh massa untuk ikut dalam gerakan

  ISDV. Hal ini menjadi semakin lebih mudah karena belum adanya aturan organisasi mengenai kerangkapan anggota di organisasi lainnya.

  Gelagat Sneevliet dengan propaganda komunisnya, tercium oleh pemerintah Hindia Belanda. Ia pun diadili dan diusir dari Hindia Belanda.

  Tampuk kepemimpinan ISDV kini dipegang oleh Semaoen. Pada tanggal 23 Mei 1920 Semaoen mengganti ISDV dengan Partai Komunis Hindia.

  Pencantuman ‘Hindia’ sendiri dilakukan melalui kongres istimewa setelah sebelumnya Sneevliet mengajukan usul agar ISDV menjadi bagian dari komintern Rusia yang salah satu syaratnya adalah memakai nama terang partai komunis beserta nama negaranya (Gie, 1990: 54). Selang tujuh bulan kemudian, diubah lagi menjadi Partai Komunis Indonesia dengan ketuanya adalah Semaoen sendiri.

  Setahun sesudahnya, sadar bahwa posisinya yang tidak aman oleh karena kegiatan politiknya, Semaoen pun lebih memilih untuk mengasingkan diri ke Rusia. Ketua PKI selanjutnya dipegang oleh Tan Malaka. Pada saat itu ada desakan dari anggota SI yang tidak terpengaruh PKI, agar ada disiplin partai yang tidak memperbolehkan keanggotaan rangkap. Karena opsi itu pulalah SI yang berafiliasi dengan PKI memisahkan diri dan mengidentifikasikan diri dengan nama SI Merah pada Februari 1923 (Kartodirdjo, Sartono, dkk, 1977: 210,211).

  Berawal dari runtutan peristiwa yang terjadi di sekitar diri Semaoen, maka karya sastra yang dihasilkannya menjadi bagian dari dirinya pula. Tidak hanya dalam gerakan, novel Hikayat Kadiroen juga menunjukkan bagaimana komunisme sudah melekat pada dirinya.

  Novel ini ditulis Semaoen pada tahun 1919. Karya tersebut ditulis ketika Semaoen dipenjara karena persdelict (delik pers). Pemerintah Hindia Belanda mempunyai hak untuk menangkap siapa saja yang melawan maupun mengkritik jalannya pemerintahan, termasuk bagi seorang penulis di koran.

  Menulis melalui surat kabar seperti suatu “kewajiban” bagi orang-orang pergerakan pada saat itu. Sebagai tindakan ofensive pemerintah, maka pemimpin-pemimpin pergerakan banyak yang mendekam di penjara karena terkena delik pers. Semaoen adalah salah satunya. Tidak heran Semaoen dalam pengantarnya menuliskan seperti kutipan berikut.

  (1) Moega-moegalah tjerita yang saja toelis dengan aer mata kesengsara-an dalam pendjara itoe bisa djadi senangnya orang banjak, jaitoe semoea pembatja dan rajat (Semaoen, 2000; ix).

  Setahun kemudian, ia mengubah seperlunya novel tersebut untuk dimuat dalam koran Sinar-Hindia. Atas dasar situasi yang terjadi di sekitar diri Semaoen-lah yang menjadi alasan peneliti tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang gagasan Semaoen tentang PKI dalam novel Hikayat Kadiroen.

  Gagasan tentang paham komunis secara implisit terekam jelas dalam novel tersebut. Bisa dikatakan, hal tersebut mendominasi dan menjadi masalah bagi tokoh utama dalam novel yakni Kadiroen. Diceritakan, saat menjadi patih di kota S, di distriknya sedang ada propaganda Partai Komunis (PK) oleh Tjitro. Kontroversi yang ditimbulkan oleh propaganda ini, membuat Kadiroen ingin mengerti segala sesuatu tentang gerakan PK. Propaganda itu ternyata berhasil menarik perhatian Kadiroen; ia menaruh hati pada gerakan ini.

  (2) “… ia mendengar keterangan Tjitro dan perasaannya terbuka, sepertinya dalam hati ia melihat cahaya bintang yang sangat baik…” (Semaoen, 1920 :144).

  Ketertarikan Kadiroen akan gerakan PK juga menimbulkan rasa gundah pada dirinya. Ia harus memilih di antara pekerjaan yang disukainya atau mengikuti gerakan komunis.

  Tokoh Tjitro di sini ternyata mempunyai andil yang cukup besar. Walaupun tokoh Tjitro merupakan tokoh yang hanya diceritakan ulang oleh Kadiroen, tetapi ia menjadi penting karena ia berperan mewakili perkumpulan komunis saat vergadering. Secara utuh dalam novel, Tjitro berperan sebagai akan mengkajinya dengan kajian struktural, yaitu unsur tokoh dan penokohan. Pengkajian ini digunakan untuk mengetahui gagasan pengarang tentang PKI dalam novel Hikayat Kadiroen. Untuk unsur intrinsik yang lain tidak dibahas karena sudah terkandung dalam penggambaran tokoh dan penokohan yang akan dibahas.

  Gagasan pengarang pada novel ini timbul sebagai akibat realitas sosial yang ada pada masa itu. Soe Hok Gie (1990: 6) melihat beberapa faktor sosial tersebut, yaitu faktor agraria, Volksraad dan Indie Weerbaar, wabah pes dan presdelict Sneevliet.

  Oleh karena adanya hubungan antara sastra dan masyarakat, maka novel ini akan dikaji dengan menggunakan kajian Sosiologi Sastra. Sosiologi Sastra adalah suatu telaah sastra yang objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat dan tentang proses sosialnya (Semi 1989:52). Sejalan dengan pendapat Lukacs dalam Taum (1997: 50, 51) yaitu sastra sebagai cermin masyarakat, penelitian ini akan mendeskripsikan dan menganalisis peritiwa yang hadir dalam novel dianggap sebagai gejala masyarakat pada waktu itu. Untuk itulah, sebelum membahas gagasan Semaoen tentang PKI dalam novel Hikayat Kadiroen akan dibahas kondisi sosial masyarakat pada awal terbentuknya PKI.

2. Rumusan Masalah

  Dalam proposal penelitian ini, yang menjadi fokus permasalahan dirumuskan sebagai berikut:

2.1 Bagaimanakah kondisi sosial masyarakat pada awal terbentuknya PKI?

  2.2 Bagaimanakah deskripsi tokoh dan penokohan Kadiroen dan Tjitro dalam novel Hikayat Kadiroen karya Semaoen?

  2.3 Bagaimanakah gagasan Semaoen tentang PKI dalam novel Hikayat

  Kadiroen karya Semaoen? 3.

   Tujuan Penelitian

  Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk:

  3.1 Mendeskripsikan kondisi sosial masyarakat pada awal terbentuknya PKI.

  3.2 Mendeskripsikan tokoh dan penokohan Kadiroen dan Tjitro dalam novel Hikayat Kadiroen karya Semaoen.

  3.3 Mendeskripsikan dan menganalisis gagasan Semaoen dalam novel Hikayat Kadiroen karya Semaoen.

  Pertanyaan-pertanyaan itu muncul berdasarkan uraian dalam latar belakang yang menampakkan beberapa permasalahan sehingga diperlukan pengkajian mendalam.

4. Manfaat Penelitian

4.1 Manfaat Teoritis

  4.1.1 Hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pengkajian karya sastra ditinjau dari Sosiologi Sastra.

4.1.2 Melengkapi perkembangan khazanah sastra dalam hal penelitian novel politik khususnya yang terpengaruh gerakan komunis.

  4.2 Manfaat Praktis

  4.2.1 Memperkenalkan karya sastra yang terpengaruh gerakan komunis kepada masyarakat.

5. Tinjauan Pustaka Kurniawan dalam detik.com (2000) mengulas novel Hikayat Kadiroen.

  Dalam pembahasannya, Kurniawan kurang detail dalam menjelaskan kondisi sosio masyarakat pada waktu itu. Ia juga hanya memaparkan tanpa penjelasan yang jelas dan disertai sinopsis.

  Razif pada members.fortunecity.com menulis tentang novel Hikayat

  Kadiroen yang termasuk dalam kategori sebagai bacaan liar. Menurutnya

  anggapan tentang bacaan liar ini muncul karena bacaan tersebut bersifat menghasut dan memusuhi pemerintah kolonial. Tindak lanjutnya adalah pemerintah kolonial mendirikan sebuah badan yang bertugas sebagai badan sensor –kelak bernama Balai Pustaka. Razif juga secara detail menerangkan keadaan sosial pada waktu itu terkait dengan maraknya bacaan-bacaan yang dianggap pemerintah menyimpang.

  Skripsi Soe Hok Gie yang kini telah diterbitkan dengan judul Di

  Bawah Lentera Merah: Riwayat Sarekat Islam Semarang 1917-1920 ,

  menjelaskan tentang Sarekat Islam di Kota Semarang pada saat diketuai oleh Semaoen. Dari paparan Gie, SI yang dipimpim Semaoen mendapat tempat dan hati dari masyarakat pribumi. Hal itu dikarenakan pergantian jajaran kepengurusan yang dilakukan Semaoen dengan menempatkan kalangan buruh dan rakyat kecil, juga faktor-faktor lain yang melingkupinya, yaitu bidang agraria, Volksraad dan Indie Weerbaar, wabah pes, dan persdelict Sneevliet (Gie, 1990: 6).

6. Landasan Teori

  Penelitian ini menggunakan dua teori, yaitu struktural dan Sosiologi Sastra. Teori struktural untuk mengkaji tokoh dan penokohan, sedangkan teori Sosiologi Sastra untuk mengkaji gagasan Semaoen yang timbul karena realitas sosial pada masa itu.

6.1 Teori Struktural

  Teori struktural merupakan sebuah pendekatan yang mengkaji unsur- unsur pembangun karya sastra. Nurgiyantoro (2002: 36) menyebutkan bahwa sebuah karya sastra juga memiliki sifat keotonomiannya, sehingga tidak perlu dikaitkan dengan hal-hal lain di luar karya sastra itu. Berdasarkan keotonomiannya itu, maka ada suatu hubungan timbal balik, saling menentukan, saling mempengaruhi antar unsur (intrinsik) sehingga membentuk suatu kesatuan yang utuh. Unsur intrinsik tersebut meliputi tema, alur, latar, tokoh dan penokohan, dan gaya. Pada penelitian ini, penulis hanya membahas unsur tokoh dan penokohan mengingat pencerminan gagasan pengarang ada pada para tokohnya.

  6.1. 1 Tokoh dan Penokohan Tokoh adalah para pelaku yang terdapat dalam sebuah fiksi (Wiyatmi,

  2006: 30). Menurut keterlibatannya dalam cerita, tokoh dibedakan menjadi tokoh utama dan tokoh tambahan. Sayuti via Wiyatmi, menyebut tokoh utama jika memiliki kriteria 3 kriteria, yaitu paling terlibat dengan makna atau tema, paling banyak berhubungan dengan tokoh lain dan paling banyak memerlukan waktu penceritaan. Tokoh tambahan adalah tokoh yang sedikit muncul dan kurang penting dalam perkembangan alur cerita (Nurgiyantoro, 2002: 176,177).

  Penokohan menunjuk pada sifat dan sikap tokoh yang ditafsirkan oleh pembaca (Nurgiyantoro, 2002: 165). Penokohan bisa berarti watak dan karakter dari seorang tokoh. Menurut Jones via Nurgiyantoro (Nurgiyantoro, 2002: 165), penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Tokoh dapat diamati dari segi fisiologis, sosiologis, dan psikologis (Wiyatmi, 2006: 30). Unsur-unsur segi fisiologis antara lain terlihat dari usia, jenis kelamin, keadaan tubuh, dan ciri-ciri muka. Segi sosiologis dapat dilihat dari sosial, pekerjaan, jabatan, peranan di dalam masyarakat, pendidikan, agama, pandangan hidup, ideologi, aktivitas sosial, organisasi, hoby, bangsa, suku, dan keturunan. Unsur mentalitas, ukuran moral, keinginan dan perasaan pribadi, sikap dan kelakuan (temperamen), juga intelektualitas termasuk segi psikologis.

6.2 Sosiologi Sastra

  Soemanto dalam Taum (1997: 48) mengungkapkan bahwa sastra juga dibentuk oleh masyarakatnya, sastra berada dalam jaringan sistem dan nilai dalam masyarakatnya, maka ada hubungan saling terkait antara sastra dengan masyarakat atau yang disebut Sosiologi Sastra. Menurut Semi (1989: 52), Sosiologi Sastra merupakan suatu telaah sosial serta tentang proses sosialnya. Karya sastra berangkat dari kenyataan sosiologis masyarakat. Kenyataan yang ada bukanlah kenyataan objektif tetapi kenyataan yang sudah ditafsirkan, kenyataan sebagai konstruksi sosial (Ratna: 2003).

  Menurut Damono, untuk mengkaji karya sastra berdasarkan Sosiologi Sastra, perlu menghubungkan pengalaman tokoh-tokoh ciptaan pengarang itu dengan keadaan sejarah yang merupakan asal-usulnya (1978: 9). George Lukacs menggunakan istilah “cermin” dalam keseluruhan karyanya. Novel tidak hanya mencerminkan realitas tetapi juga sebagai refleksi realitas yang lebih luas dan lengkap. Dapat diartikan juga bahwa karya sastra dianggap sebagai proses yang hidup (Taum, 1997: 50,51). Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan dideskripsikan terlebih dahulu peristiwa yang tergambar dalam novel yang dianggap sebagai gejala masyarakat pada waktu itu, yaitu kondisi sosial masyarakat Indonesia sebelum terbentuknya Partai Komunis Indonesia (PKI).

  6.3 Gagasan Menurut Widyamartaya (1990: 9), yang dimaksud gagasan adalah pesan dalam dunia batin seseorang yang hendak disampaikan kepada orang lain. Gagasaan tersebut bisa berupa pengetahuan, pengamatan, pendapat, renungan, pendirian, keinginan, perasaan, emosi dan sebagainya. Dalam segi penyampaian gagasan, terbagi menjadi empat bagian, yaitu penceritaan, pelukisan, pemaparan dan pembahasan. Penceritaan bertujuan untuk menyampaikan gagasan dalam urutan waktu atau dalam rangka waktu dengan maksud menghadirkan di depan mata angan-angan pembaca serentetan peristiwa yang biasanya memuncak pada suatu kejadian utama. Pelukisan atau deskripsi bertujuan menyampaikan gagasan dalam urutan atau rangka ruang dengan maksud untuk menghadirkan di depan mata angan-angan pembaca segala sesuatu yang dilihat, didengar, dicecap, diraba atau dicium pengarang yang biasanya berkisar pada pancaindra. Pemaparan bertujuan untuk memberitahukan atau menerangkan sesuatu berupa fakta atau hasil pemikiran, sedangkan pembahasan bertujuan untuk meyakinkan pembaca tentang kebenaran pendirian atau kesimpulan pengarang.

  Ubaydillah dalam e-psikologi.com menyebut bahwa gagasan merupakan awal dari sebuah proses untuk sampai menjadi suatu bentuk realisasi. Untuk sampai menjadi bentuk realisasinya, ada beberapa tahapan yang harus dilalui, yaitu tindakan, interaksi dan kreasi. Tindakan merupakan bentuk lanjutan dari sebuah gagasan. Hasilnya adalah aktifitas atau kesibukan. Interaksi dibutuhkan agar gagasan dapat berkembang dan menjadi kuat. Dengan interaksi pula maka sebuah gagasan dapat didengar oleh orang lain. Kreasi merupakan hasil akhir dari sebuah gagasan. Kreasi dapat dirasakan manfaatnya, baik bagi diri sendiri maupun orang lain.

  Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan gagasan adalah sebuah proses untuk sampai menjadi suatu bentuk realisasi yang ingin disampaikan pengarang kepada masyarakat berupa pendapat yang tertuang dalam karya sastra berupa novel. Oleh karena berupa karya sastra maka masyarakat yang dituju adalah masyarakat pembaca.

7. Metode Penelitian

  7.1 Pendekatan Penelitian ini menggunakan pendekatan struktural dan Sosiologi

  Sastra. Menurut Semi, pendekatan struktural adalah pendekatan yang membatasi diri pada penelaahan karya itu sendiri. Telaah berdasarkan segi intrinsik meliputi tema, alur, latar, penokohan, dan gaya bahasa (1989: 44, 45). Penelitian ini hanya membahas unsur tokoh dan penokohan.

  Menurut Damono, pengkajian karya sastra berdasarkan sosiologi sastra perlu menghubungkan pengalaman tokoh-tokoh ciptaan pengarang itu dengan keadaan sejarah yang merupakan asal-usulnya (1978: 9). Oleh karena itu, sebelum membahas tokoh dan penokohan, akan dideskripsikan terlebih dahulu keadaan sosial masyarakat Indonesia sebelum terbentuknya Partai Komunis Indonesia.

  7.2 Metode Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis. Artinya penelitian ini dilakukan dengan cara memaparkan fakta-fakta yang dilanjutkan dengan analisis. Metode ini hanya menguraikan informasi apa adanya sesuai variabel-variabel yang diteliti, namun memberi penjelasan dan pemahaman.

  7.3 Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini bersifat penelitian pustaka. Karena berobjek pada sebuah teks sastra yakni novel, peneliti akan menggali data-data mengenai gagasan

  Semaoen tentang PKI yang ada dalam novel. Selain itu, peneliti akan mengumpulkan data-data dari kepustakaan lain yang terkait dengan topik penelitian. Data-data tersebut kemudian dianalisis berdasarkan kriteria rumusan masalah hingga menemukan jawaban permasalahan. Tahap akhir adalah penyajian hasil analisis data.

7.4 Sumber Data

  Penelitian ini menggunakan sumber data yang berupa novel terbitan Yayasan Bentang Budaya (cetakan pertama, April 2000) dengan penyunting Otto Sukatno Cr. Hikayat Kadiroen karya Semaoen ini awalnya diterbitkan pertama kali di Semarang pada tahun 1920. Berikut data novel secara rinci.

  Judul Novel : Hikayat Kadiroen Pengarang : Semaoen Penerbit Awal : - Tahun Terbit Awal : 1920 Penerbit Sekarang : Yayasan Bentang Budaya Tahun Terbit Sekarang : 2000 8.

   Sistematika Penyajian

  Penelitian ini akan disajikan dalam lima bab. Bab pertama pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian dan sistematika penelitian. Bab dua tentang kondisi sosial masyarakat pada awal terbentuknya PKI. Bab tiga berupa struktur novel menurut tokoh dan penokohan. Bab empat pembahasan gagasan Semaoen tentang PKI dalam kajian Sosiologi Sastra. Bab lima penutup berisi kesimpulan dan saran. Bagian terakhir adalah daftar pustaka.

BAB II KEADAAN SOSIAL MASYARAKAT INDONESIA SEBELUM TERBENTUKNYA PARTAI KOMUNIS INDONESIA (PKI)

2.1 Pengantar

  Pada bab dua ini akan dipaparkan kondisi sosial masyarakat Indonesia sebelum terbentuknya PKI. Hal ini untuk mengungkap latar belakang Semaoen mencita-citakan bangsanya bebas dari pemerintah kolonial Belanda dengan PKI sebagai basisnya. Pada akhirnya, kenyataan sosial masyarakatlah yang membuka kesadaran Semaoen tentang rakyat Indonesia yang hidup penuh kesengsaraan. Hubungan antara kenyataan sosial dan PKI ditulisnya melalui media karya sastra yaitu novel Hikayat Kadiroen.

  Berbicara masalah PKI, tidak dapat dilepaskan oleh seseorang yang bernama Sneevliet. Dia adalah seorang Belanda yang bekerja di Hindia Belanda (Semarang). Sebelumnya, dia adalah seorang anggota Sociaal Democraatische Arbeider Partij (SDAP) yang berhaluan komunis di Belanda.

  Masuknya Sneevliet ke Hindia, membawa serta juga paham yang selama ini dipegangnya. Pada akhirnya, ia mengembangkan paham tersebut dalam sebuah organisasi dan merekrut orang pribumi untuk meneruskannya. Tentunya orang yang diajaknya adalah orang yang mempunyai kedudukan penting dalam situasi masyarakat pada waktu itu, yaitu Semaoen. Hal itu terbukti Semaoen yang berusia kurang dari 20 tahun, telah bergabung dengan organisasi-organisasi seperti Sarekat Islam (SI) cabang Surabaya, Indische

  Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV), Vereeniging voor Spoor-en Tramweg Personeel (VSTV) , SI Semarang (sebagai ketua pada Mei 1917) dan

  Ketua Partai Komunis Indonesia pada 23 Mei 1920 (Semaoen, 2000: vi).

  Begitu berpengaruhnya sosok Sneevliet maka pembahasan dalam bab ini dibagi menjadi dua sub bab, yaitu kondisi masyarakat Indonesia sebelum masuknya Sneevliet ke Hindia dan kondisi masyarakat Indonesia sesudah masuknya Sneevliet ke Hindia. Sub bab terakhir berisikan media sebagai bentuk mengaspirasikan perjuangan.

  Semaoen menulis novel Hikayat Kadiroen ketika dalam penjara karena

  persdelict . Dia tergolong orang yang gigih membela rakyat Hindia yang

  terjajah sehingga tidak bisa menjadi tuan di tanah kelahiran sendiri. Pada usia muda (14 tahun) dia sudah terjun ke dunia politik hingga pada akhirnya ia menjadi ketua Partai Komunis Indonesia untuk pertama kalinya pada tahun 1920.

  Pada bab ini juga terpampang istilah ‘Hindia’ dan ‘Hindia-Belanda’. Pada dasarnya, istilah tersebut digunakan untuk menyebut Indonesia yang belum lahir. Anhar Gonggong menyebutkan bahwa istilah ‘Indonesia’ sendiri secara sah digunakan ketika pembacaan Teks Proklamasi 17 Agustus 1945 yang memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Istilah ‘Hindia’ lebih merunut pada kondisi geografis yaitu kepulauan Hindia (http://forum.wintersat.com/3437-post1.html), sedangkan Hindia Belanda untuk menyebutkan bahwa Hindia adalah bagian dari pemerintahan Belanda (http://blog.bukukita.com/users/xuchie/?).

  Peneliti menyadari bahwa pengarang termasuk bagian dari masyarakat, gagasan-gagasan yang tercermin dalam karya sastra adalah cerminan dari keadaan sosial masyarakat yang terjadi di sekitar diri pengarang, termasuk pengalaman-pengalaman hidup Semaoen hingga penulisan novel ini di dalam penjara. Pembahasan bab dua ini dilakukan untuk menunjang bab selanjutnya yaitu deskripsi tokoh dan penokohan Kadiroen dan Tjitro serta gagasan Semaoen tentang PKI dalam novel Hikayat Kadiroen.

  

2.2 Keadaan Sosial Masyarakat Indonesia Sebelum Masuknya Sneevliet ke

Hindia

  Sebelum abad IX, peninggalan zaman feodal masih sangat dirasakan oleh masyarakat pribumi. Sistem yang mengharuskan golongan bawah “menghormati” golongan atas ini ternyata mengilhami pemerintah kolonial Belanda untuk melakukan hal yang serupa. Tujuannya adalah agar mereka mendapat rasa hormat dari golongan pribumi. Selain itu, penerapan sistem ini juga mengakibatkan yang kecil semakin kecil dan yang besar semakin besar. Dengan rasa hormat itu, maka masyarakat pribumi menjadi segan pada pemerintah kolonial Belanda.

  Hal lainnya, agar tidak terlalu mencolok sebagai bangsa penjajah, pemerintah kolonial Belanda juga melakukan hubungan erat dengan bangsawan kerajaan. Hal ini semisal ditunjukkan dengan merekrut bupati untuk memerintah di daerah kekuasaanya. Kekuasaan tersebut tidaklah bersifat mutlak, namun tetap berada dalam kendali pemerintah Belanda.

  Bupati-bupati itu ternyata tidak sadar bahwa mereka sedang “disetir” oleh Belanda. Lambat laun, mereka hanya menjadi pegawai pemerintah yang menerima gaji bukan hak akan penguasaan tanah yang selama ini menjadi tradisi. Dengan cara demikian, orang-orang Belanda menduduki kelas sosial tertinggi di masyarakat, yang berpusat pada seorang gubernur jenderal di Batavia (Leirissa, 1985: 9).

  Diterapkannya sistem penyewaan tanah atau landrente ternyata membuat marah para bangsawan pribumi. Puncaknya terjadi pada tahun 1825 yang dikenal dengan dengan perang Jawa. Perang yang dipimpin oleh Diponegoro ini ternyata membuat pihak pemerintah Belanda mengalami kerugian materi yang cukup besar. Untuk mengatasi masalah keuangan tersebut, pihak Belanda mencanangkan sebuah program yang disebut

  

Cultuurstelsel; sebuah program yang mengharuskan penanaman tanaman

  wajib dengan harga yang telah ditetapkan oleh pemerintah (Kartodirdjo, 1993: 15-16).

  Istilah ‘buruh’ sudah mulai dikenal di sini. Setidaknya ada empat kelas yang dapat diklasifikasikan, yaitu: orang yang mempunyai tanah, kebun dan rumah, orang yang tidak mempunyai tanah tetapi memiliki rumah dan kebun, orang yang mempunyai rumah di tanah orang lain dan yang terakhir adalah orang yang tidak memiliki apa-apa (Leirissa, 1985: 10,11). Edi Cahyono menyebutkan bahwa istilah ‘buruh’ sama halnya dengan menyebut petani karena tidak mempunyai sebidang tanah untuk diolah. Mereka lebih dikenal dengan petani gurem atau miskin yang bekerja di perkebunan yang diciptakan oleh pemerintah Hindia-Belanda (2003, xii). Pemogokan-pemogokan oleh buruh juga sudah mulai dikenal. Semisal yang terjadi di Pekalongan Mei 1842 (Cahyono, 2003: x).

  Seiring berjalannya program Cultuurstelsel, perdagangan dan pelayaran pemerintah Belanda mengalami kemajuan pesat. Modal-modal swasta mulai menanamkan sahamnya di tanah Hindia. Perusahaan-perusahaan milik swasta itu mulai bermunculan untuk berinvestasi dan mengelola sumber daya alam Indonesia (Nagazumi, 1989: 13, 14). Setidaknya tercatat ada 9 perusahaan swasta yang terbagi menjadi 3 perusahaan swasta dan 6 bank swasta.

  Bersamaan dengan masuknya modal-modal swasta-liberal, pergolakan- pergolakan oleh buruh kian meningkat. Misalnya pada tahun 1882 ketika buruh dari pabrik gula di Yogyakarta mengadakan pemogokan. Penyebabnya antara lain karena upah, kerja yang terlalu berat, upah tanam yang tidak dibayarkan, dan pengawas yang sering memukuli para pekerja (Cahyono: 2003, xi). Gerakan buruh ini tidak begitu mendapat perhatian dari rekan-rekan buruh di tempat lain karena tidak adanya atau belum adanya suatu wadah yang menghimpun para buruh. Dari alasan yang dikemukan para buruh, dapat dilihat betapa pemerintah kolonial Belanda tidak memperhatikan nasib kaum pribumi. Selain itu, para pemilik pabrik juga tidak memperhatikan kesejahteraan pegawainya dan hanya mementingkan kepentingan industrinya sendiri.

  Terkait soal buruh, memasuki abad XX, pergerakannya sudah mulai teroganisir. Hal ini dikarenakan sudah munculnya wadah-wadah, seperti perserikatan, organisasi, perkumpulan atau semacamnya, untuk menghimpun para buruh. Tercatat setidaknya ada sekitar 12 perserikatan dalam kurun waktu 1897-1913 (Cahyono, 2003: xvi).

  Pada awalnya perserikatan-perserikatan tersebut dibentuk oleh buruh “impor” yang bekerja di Hindia, tetapi lambat laun mereka mengajak juga buruh pribumi untuk bergabung. Ini adalah salah satu faktor yang memicu munculnya perkumpulan yang dibentuk oleh kaum pribumi. Kurang lebih ada 9 perkumpulan yang dibentuk oleh pribumi pada periode 1908-1917. Salah satunya adalah VSTP (Vereeniging Spoor-Traam Personen) yang didirikan pada tanggal 14 November 1908 di Semarang. Di sinilah Semaoen memulai karir politiknya saat umurnya masih 14 tahun (Cahyono, 2003: xviii, xix).

  Faktor lain yang menyebabkan menjamurnya perkumpulan yang dibentuk oleh bumiputera adalah program politik etis yang dibentuk oleh pemerintah Belanda. Pada tahun 1900, industri perkebunan maju pesat. Namun kehidupan rakyat pribumi mengalami kemunduran, ditambah lagi kejadian seperti gagal panen, penyakit ternak dan bencana alam. Tahun 1901, pemerintah kolonial Belanda membentuk suatu panitia untuk menyelidiki sebab-sebab kemunduran itu. Dari penelitian, didapat kesimpulan bahwa perkembangan penduduk lebih cepat daripada makanan dan ternak. Untuk menanggulangi keadaan tersebut, pemerintah kolonial Belanda membuat suatu kebijakan yang disebut politik etis. Politik etis adalah suatu kebijakan pemerintah Belanda yang bertumpu pada suatu ideologi yang beranggapan bahwa masyarakat jajahan dapat disejahterakan hanya jika masyarakat tersebut dimodernisasikan dengan kebudayaan barat (Suwondo, Tirto, dkk, 1995: 18).

Dokumen yang terkait

Citra pendidikan tokoh utama dalam novel Sali Kisah Seorang Wanita Suku Dani karya Dewi Linggasari dan novel Tanah Tabu karya Anindita S. Thayf kajian sosiologi sastra

0 2 258

Analisis tokoh mika dalam novel Kapak karya Dewi Linggasari menurut perspektif arketipe Carl Gustav Jung : sebuah kajian psikologi sastra - USD Repository

1 4 76

Pengabdian tokoh kuntara terhadap keluarga dalam novel saksi mata karya Suparto Brata : suatu tinjauan sosiologi sastra - USD Repository

0 0 96

Pandangan-pandangan peran tokoh protagonis perempuan tentang poligami dalam skenario film Berbagi suami karya Nia Dinata : tinjauan sosiologi sastra - USD Repository

0 0 188

Pemikiran kiri dalam novel jejak sang pembangkang karya Frigidanto Agung : tinjauan sosiologi sastra - USD Repository

0 1 155

Sikap pengabdian Yunus terhadap masyarakat dan Tuhan dalam novel Pohon-pohon Sesawi karya Y.B. Mangunwijaya : analisis sosiologi sastra - USD Repository

0 2 90

Citra wanita Bali dalam novel Kenanga karya Oka Rusmini : tinjauan sosiologi sastra - USD Repository

0 0 82

Pandangan tokoh-tokoh protagonis dan antagonis terhadap aborsi dalam novel aborsi karya Idayu Kristanti tinjauan sosiologi sastra - USD Repository

0 0 119

Motivasi perpindahan kasta Krahmana-Sudra dalam novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini : tinjauan sosiologi sastra - USD Repository

0 0 129

Citra perempuan dalam novel Sali : kisah seorang wanita suku Dani karya Dwi Linggasari tinjauan sosiologi sastra - USD Repository

0 0 108