Tugas Makalah Mata Kuliah Studi Hadis

Tugas Makalah Mata Kuliah Studi Hadis

TAKHRIJ HADIS; TEORI DAN PRAKTIK
Dosen Pengampu: Dr. ABDUL QUDDUS, MA.

Oleh:

1. HIDAYAT JONI MURSYID
NIM. 150 4232
296
2. ARIES KURNIAWAN
NIM.

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MATARAM
PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

2015
BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Hadis1 adalah seluruh perkataan, perbuatan, dan hal
ihwal tentang Nabi Muhammad SAW, atau menurut yang lain
adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad
SAW baik berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapan
(taqrir)-nya.2 Hadis dijadikan sumber hukum dalam agama Islam
selain Al-Qur'an, Ijma dan Qiyas, dimana dalam hal ini,
kedudukan hadis merupakan sumber hukum kedua setelah AlQur'an.
Berbeda dengan Al-Qur’an yang semua ayat-ayatnya
diterima oleh para sahabat dari Rasulullah Nabi Muhammad
SAW secara mutawatir dan telah ditulis dan dikumpulkan sejak
zaman beliau masih hidup, baik fi as-ssutuur maupun fi asu-s
suudur, serta dibukukan secara resmi sejak zaman khalifah
pertama Abu Bakar ash-Shiddiq (w. 13 H), 3 sebagian besar hadis
Penulisan kata atau istilah uadis (dalam tulisan arabnya ‫ )حديث‬yang biasa
ditemukan diberbagai buku berbahasa Indonesia adalah uadis, dengan akhiran “ts”
untuk huruf “‫”ث‬. Namun dalam makalah ini penulis menggunakan huruf “s” untuk
1

huruf “‫ ”ث‬karena kebiasaan lidah kita menyebut hadis (menggunakan huruf “s”)

dalam berbahasa Indonesia.
2
Lihat H. Mudasir, Cet. 1, Ilmu Hadis, Bandung: Pustaka Setia, 1999, hlm.13-14
3

Lihat M. Syuhudi Ismail dalam tulisannya yang berjudul “Kriteria Hadis Sauiu: Kritik
Sanad dan Matan”, menulis bahwa sekiranya seluruh periwayatan hadis Nabi sama
dengan periwayatan Al-Qur’an, yakni sama-sama mutawatir, niscaya istilah-istilah
suauiu, uasan, dan duaif untuk hadis tidak akan muncul. M. Syuhudi Islmail dalam

34

Nabi

tidaklah

diriwayatkan

secara


mutawatir,

dan

pembukuannya pun secara resmi baru dilakukan pada zaman
Khalifah ‘Umar Ibn ‘Abd al-‘Aziz (w. 101 H), salah seorang
khalifah Bani Umayyah.4 Oleh sebab itu, hadis yang tidak
diriwayatkan secara mutawatir – dinamai oleh para ulama hadis
sebagai hadis auad (masyuur, ‘aziz, dan guarib)5 – harus diteliti,
mana yang benar-benar hadis dan mana yang tidak, apalagi
dalam perjalanan waktu, karena berbagai sebab muncul banyak
hadis palsu.6
Terlebih lagi, terdapat kesepakatan ulama bahwa riwayat
hadis yang mutawatir berstatus qatu’i al-swurud. Sedangkan
riwayat yang auad , para ulama berbeda pendapat; sebagian
menyatakan, selalu berstatus zuanni al-swurud, dan yang lain
menyatakan

riwayat


yang

berstatus qatu’i al-swurud.

auad

yang

berkualitas

suauiu

7

Terlepas dari perbedaan status untuk riwayat yang auad
tersebut, yang pasti bahwa tingkat kebenaran riwayat kedua
sumber ajaran Islam itu menjadi tidak sama, yakni seluruh ayat

Yunahar Ilyas, Lc dan M. Mas’udi (Ed.), Cet. I., “Pengembangan Pemikiran Teruadap
Hadis”, (Yogyakarta: LPPI UMY, 1996), hlm. 3

4

Yunahar Ilyas, Lc dan M. Mas’udi (Ed.), Cet. I., (dalam pengantar editor) buku
“Pengembangan Pemikiran Teruadap Hadis”, Yogyakarta: LPPI UMY, 1996, hlm. vii
5

Ibid, hlm. 3

6

Ibid, hlm. vii. Secara historis, pemalsuan hadis belum pernah terjadi pada zaman
Nabi. Pemalsuan hadis mulai terjadi dan berkembang pada zaman Khalifah Ali bin Abi
Thalib (w. 40 H/661 M). Lihat pula M. Syuhudi Ismail, Kaidau Kesauiuan Sanad
Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988) hlm. 90-91
7

Ibid, hlm. 3

34


Al-Qur’an bertingkat qatu’i al-swurud, sedangkan untuk riwayat
hadis, ada yang qatu’i al-swurud dan ada yang zuanni al-swurud.
Riwayat yang qatu’i al-swurud terhindar dari kemungkinan salah,
sedang yang zuanni al-swurud terbuka peluang terjadinya
kesalahan dan karenanya diperlukan penelitian secara khusus
dan cermat.8
Penelitian

terhadap

otentitas

dan

validitas

hadis

diperlukan oleh karena hadis sampai kepada umat melalui jalur
periwayatan yang panjang, dan dalam perjalanannya yang

disampaikan dari generasi ke generasi itu memungkinkan
adanya unsur-unsur yang masuk ke dalamnya, baik unsur sosial
maupun budaya dari masyarakat di mana generasi pembawa
riwayat hadis itu hidup. Untuk itulah penelitian hadis harus
secara jeli melakukan kajiannya pada unsur sanad dan matan.
Penelitian hadis melalui dua jalur tersebut diharapkan mampu
membuat

rumusan-rumusan

yang

pasti

mengenai

kriteria

tertentu sehingga dapat diketahui mana hadis yang maqbul dan
mardud dan mana yang ma’mul biu dan yang guairu ma’mul

biu.9
Ulama hadis telah berjasa besar dalam penelitian hadis.
10

Bagian hadis yang diteliti meliputi sanad dan matan uadis.

8

Ibid

9

Ibid, hlm. viii

10

Ada banyak ulama periwayat hadis yang melahirkan kitab-kitab hadis maha karya
melalui sebuah penelitian yang panjang, namun yang sering dijadikan referensi hadis-

34


Penelitian sanad lazim disebut dengan istilah naqd as-ssanad
(kritik sanad) atau an-snaqd al-skuarijiy (kritik ekstern) sedangkan
penelitian matan lazim dikenal dengan istilah naqd al-smatan
(kritik matan) an-snaqd ad-sdakuiliy (kritik intern).11 Ulama hadis
telah menjelaskan kaidah dan metodologinya. Untuk kaidah
kritik sanad, tingkat akurasinya sangat tinggi. 12 Sedangkan
untuk kritik matan, diperlukan pengembangan sejalan dengan
perkembangan pengetahuan. Kemudian jika ditelusuri rentang
waktu yang cukup lama antara masa wafatnya Rasulullah SAW
dengan periode resmi kodifkasi hadis, yaitu hampir satu abad
memungkinkan terjadinya peluang kesalahan penulisan hadis
serta dapat mempengaruhi kualitas sanad dan matan hadis.
Faktor-faktor ini juga mengharuskan terjadinya penelitian hadis
terutama di bidang sanad dan matan uadis termasuk kaitan
kedudukan hadis sebagai uujjau.
Di dalam proses penelitian hadis, terdapat satu jenis
metode penelitian yang lazim digunakan yaitu metode Takurij
al-sHadis. Metode Takurij al-sHadis merupakan langkah awal
dalam kegiatan penelitian hadis. Secara umum, metode Takurij

Hadis merupakan salah satu metode (cara) yang digunakan
hadisnya ada tujuh ulama, yakni Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam
Turmudzi, Imam Ahmad, Imam Nasa'i, dan Imam Ibnu Majah. Karya mereka biasanya
disebut ‘kutub al-ssab’au”.
11

Yunahar Ilyas dan M. Mas’udi, Ibid, hlm. 4
M. Syuhudi Ismail, Kaidau Kesauiuan Sanad Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988)
hlm. 91
12

34

untuk mengetahui jalannya sanad uadis, sehingga kita dapat
memahami dari mana hadis tersebut diriwayatkan.
Ada banyak manfaat penelitian yang dapat diperoleh
dengan

menggunakan


metode

takurij

uadis

ini.

Dengan

mengetahui kualitas sanad suatu hadis, maka seseorang akan
dengan mudah memilah dan memilih mana hadis yang dapat
dijadikan uujjau atau mana hadis yang tertolak untuk dijadikan
uujjau. Mengenai konsep pengertian, urgensi, jenis atau metode,
sejarah dan manfaat metode takurij uadis ini, semuanya akan
penulis paparkan dalam bagian bab II pembahasan makalah ini.
B. Rumusan Masalah
1. Apa konsep pengertian takurij uadis?
2. Apa saja faktor pendorong munculnya takurij uadis?
3. Bagaimanakah sejarah takurij uadis?
4. Apa Urgensi takurij uadis?
5. Bagaimana metode dan langkah-langkah kegiatan takurij
uadis?
C. Tujuan Pembahasan
1. Dapat mengetahui konsep pengertian takurij uadis.
2. Memahami faktor pendorong munculnya takurij uadis.
3. Dapat mengetahui sejarah takurij uadis.
4. Dapat memahami urgensi takurij uadis.

34

5. Dapat mengetahui serta memahami metode dan langkahlangkah kegiatan takurij uadis.

34

BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep

Pengertian

Takhrij

Hadis

dan

Permasalahannya
Kata takurij berasal dari asal kata bahasa arab yaitu ‫ج‬
َ ‫َر‬
َ ‫خ‬

‫جا‬
– ‫ج‬
ً ‫و‬
ً ‫خَر‬
ُ ‫ْر‬
ْ ‫ُر‬
ُ ‫ خ‬- ‫جا‬
ْ
ُ ‫ – يَخ‬artinya keluar. Jika ditambah dengan
wazan ‫خرج‬
ّ maka bentuk masdarnya adalah ‫ تخريج‬yang berarti
“mengeluarkan”.13 “Mengeluarkan sesuatu dari suatu tempat”

‫مكَانِه‬
: . Beberapa sumber mengartikan kata kharaja (
َ ‫خر‬
َ ‫ج من‬
ّ
‫ )خرج‬berarti tampak dari tempatnya atau keadaaannya, dan
terpisau, dan keliuatan. Demikian juga kata al-sikuraj (‫)الخرج‬
berarti menampakkan dan memperliuatkannya. Kemudian kata
al-smakuraj (‫ )المخرج‬yang artinya tempat keluar.14
Sedangkan menurut istilah Muuaddisin, takurij diartikan
dalam beberapa pengertian di bawah ini:
1. Suatu keterangan bahwa hadis yang dinukilkan ke dalam
kitab susunannya itu terdapat dalam kitab lain yang telah
disebutkan nama penyusunnya. Misalnya, penyusun hadis
mengakhiri penulisan hadisnya dengan kata-kata ‫اخرجـه‬

‫البخـارى‬, artinya bahwa hadis yang dinukil itu terdapat
dalam

kitab

al-sJami’

al-sSuauiu

al-sBukuari.

Bila

ia

13

Ahmad Warson Munawwir, Al-sMunawwir: Kamus Arab-sIndonesia Terlengkap,
Surabaya: Pustaka Progressif, 1997, hlm. 329-330
14
Mifdhol Abdurrahman, Pengantar Studi Ilmu Hadis Oleu Syaiku Manna’ Al-s
Qatutuan (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008), hlm. 189

34

mengakhirinya dengan kata akurajauu al-sMuslim (‫اخـرجه‬

‫ )المسـلم‬berarti hadis tersebut terdapat dalam kitab
Suauiu Muslim.
2. Suatu usaha mencari derajat, sanad, dan rawi hadis yang
tidak diterangkan oleh penyusun atau pengarang suatu
kitab.
3. Mengemukakan
berbagai

hadis

sumber

berdasarkan

dengan

sumbernya

mengikutsertakan

atau

metode

periwayatannya dan kualitas hadisnya.
4. Mengemukakan letak asal hadis pada sumbernya yang asli
secara lengkap dengan matarantai sanad masing-masing
dan dijelaskan kualitas hadis yang bersangkutan.
Dari keempat defnisi takhrij di atas, maka Mahmud alThahhan mendefnisikan takurij uadis sebagaimana di bawah ini:

‫اللخريج هحو الدللة حعلى محوضع اللديث في مصادره الصألية‬
‫اللى أخرجله سنده ببيان مرتبله حعند اللاجة‬
Artinya: “Takurij adalau penunjukan teruadap tempat uadis di
dalam sumber aslinya yang dijelaskan sanad dan
martabatnya sesuai dengan kebutuuan.15
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa takurij
uadis meliputi kegiatan :
1. Periwayatan (penerimaan, perawatan, pentadwinan, dan
penyampaian) hadis.
15

Ibid, hlm. 189. Lihat juga Thahhan, Mahmud Ath-, Usuul at-sTakurij wa Dirasau al-s
Asanid, Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1991, hlm. 32

34

2. Penukilan hadis dari kitab-kitab asal untuk dihimpun
dalam suatu kitab tertentu.
3. Mengutip hadis-hadis dari kitab-kitab (tafsir, tauhid, fqh,
tasawuf,

dan

akhlak)

dengan

menerangkan

sanad-

sanadnya.
4. Membahas hadis-hadis sampai diketahui martabat kualitas
(maqbul-mardudnya).
Utang

Ranuwijaya

menyimpulkan

bahwa

dalam

pentakhrijan hadis ada dua hal yang mesti dilakukan:
1. Berusaha menemukan para penulis hadis tersebut dengan
rangkaian

sanad-sanadnya

dan

menunjukannya

pada

karya-karya mereka, seperti kata-kata , ‫اخرجه البيهقي‬

‫ اخـرجه الطبرانـي في معجـمه‬atau ‫اخـرجه احـمد في‬
‫مسنده‬.
2. Menentukan kualitas hadis menjadi sahih atau tidak.
Penilaian ini dilakukan andaikata diperlukan. Artinya,
bahwa penilaian kualitas suatu hadis dalam men-takurij
uadis tidak selalu harus dilakukan. Kegiatan ini hanya
melengkapi kegiatan takurij tersebut. Sebab, dengan
diketahui dari mana hadis itu diperoleh sepintas dapat
dilihat sejauh mana kualitasnya.16

16

Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, Jakarta : Gaya Media Pratama, 2001), hlm. 67-68

34

Dari sekian banyak pengertian takhrij di atas, maka
pemateri dengan bahasa sendiri dapat memahami maksud
takurij uadis dalam hubungannya dengan kegiatan penelitian
hadis lebih lanjut. Maka dapat kami simpulkan bahwa takurij
uadis berarti “penelusuran atau pencarian uadis pada berbagai
kitab-skitab koleksi uadis sebagai sumber asli dari uadis yang
bersangkutan, yang di dalam sumber tersebut dikemukakan
secara

lengkap

matan

dan

matarantai

sanad

yang

bersangkutan”.
Lebih jauh dapat dijelaskan bahwa takhrij ini adalah
salah satu metode yang digunakan para peneliti hadis tatkala
menghadapi masalah-masalah dalam kegiatan penelitian hadis.
Beberapa masalah yang sering dihadapi oleh peneliti hadis,
misalnya;

(1)

adanya

periwayat

yang

tidak

disepakati

kualitasnya oleh para kritikus hadis, (2) adanya sanad yang
mengandung

lambing-lambang

anna,

‘an,

dan

yang

semacamnya; dan (3) adanya matan hadis yang memiliki banyak
sanad tetapi semuanya lemah (duaif).17
Dua titik fokus penelitian hadis yaitu penelitian terhadap
sanad dan penelitian matan atau sering diistilahkan dengan
kritik sanad dan kritik matan.18
17

Yunahar Ilyas, Lc dan M. Mas’udi, ibid. hlm. 10
Dalam beberapa literature, pengkajian terhadap keduanya (sanad dan matan)
kerapkali menggunakan istilah kritik sanad dan kritik matan. Maka dalam pada itu,
karena sanad dan matan sama-sama harus diteliti, maka terbuka kemungkinan
terjadinya perbedaan kualitas antara sanad dan matan uadis.
18

34

Kaitannya dengan kritik sanad dan matan hadis, maka
kritik sanad biasanya dilaksanakan terlebih dahulu sebelum
kegiatan kritik matan. Langkah ini dapat dipahami dengan
melihat latar belakang sejarah periwayatan dan penghimpunan
hadis. Dapat dipahami pula latar belakang pernyataan Imam alNawawi (w. 676 H = 1277 M) bahwa hubungan hadis dengan
sanad ibarat hubungan hewan dengan kakinya. 19 Jadi penelitian
matan barulah bermanfaat bila sanad hadis yang bersangkutan
telah memenuhi syarat untuk uujjau. Bila sanadnya cacat
(berat), maka matan hadis tidak perlu diteliti sebab tidak akan
bermanfaat untuk uujjau.20
B. Faktor Pendorong Terjadinya Takhrij Hadis
Adapun
penelitian

faktor

terhadap

utama
hadis

yang

(takhrij

menyebabkan

kegiatan

al-hadis) dilakukan

oleh

seorang peneliti hadis adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui asal-usul riwayat hadis yang akan diteliti
Maksudnya adalah untuk mengetahui status dan kualitas
hadis

dalam

hubungannya

dengan

kegiatan

penelitian.

Langkah awal yang harus dilakukan oleh seorang peneliti
adalah mengetahui asal-usul periwayatan hadis yang akan
diteliti, sebab tanpa mengetahui asal-usulnya sanad dan
matan hadis yang bersangkutan mengalami kesulitan untuk
19
20

Lihat pernyataan Imam al-Nawawi dalam Syaru Muslim li al-sNawawi, Juz I., hlm. 88
Yunahar Ilyas, Lc dan M. Mas’udi, Ibid. 10

34

diketahui

matarantai

sanadnya

sesuai

dengan

sumber

pengambilannya, sehingga tanpa diketahui secara benar
tentang matarantai sanad dan matan, maka seorang peneliti
mengalami kesulitan dalam melakukan penelitian secara
baik dan cermat. Makanya dari faktor ini, kegiatan penelitian
hadis (takhrij) dilakukan.
2. Mengetahui dan mencatat seluruh periwayatan hadis bagi
hadis yang akan diteliti.
Maksudnya adalah mengingat redaksi hadis yang akan
diteliti itu bervariasi antara satu dengan yang lain, maka
diperlukan kegiatan pencarian seorang peneliti terhadap
semua periwayatan hadis yang akan diteliti, sebab boleh jadi
salah satu sanad hadis tersebut berkualitas dha’if dan yang
lainnya berkualitas shahih.
3. Mengetahui

ada

tidaknya syauid dan muttabi’ pada

mata

rantai sanad
Mengingat

salah

satu

sanad

hadis

yang

redaksinya

bervariasi itu dimungkinkan ada perawi lain yang sanadnya
mendukung pada sanad hadis yang sedang diteliti, maka
sanad

hadis

yang

sedang

diteliti

tersebut

mungkin

kualitasnya dapat dinaikkan tingkatannya oleh sanad perawi
yang mendukungnya.

34

Dari dukungan tersebut, jika terdapat pada bagian perawi
tingkat pertama (yaitu tingkat sahabat) maka dukungan ini
dikenal dengan syahid. Jika dukungan itu terdapat pada
bagian perawi tingkat kedua atau ketiga (seperti pada
tingkatan

tabi’in

atau

tabi’i

at-tabi’in),

maka

disebut

sebagai muttabi’.
Dengan demikian, kegiatan penelitian (takhrij) terhadap
hadis dapat dilaksanakan dengan baik jika seorang peneliti
dapat mengetahui semua asal-usul matarantai sanad dan
matannya dari sumber pengambilannya. Begitu juga jalur
periwayatan

mana

yang

ada

syahid

dan

muttabi’nya,

sehingga kegiatan penelitian (takhrij) dapat dengan mudah
dilakukan secara baik dan benar dengan menggunakan
metode pentakhrijannya.
C. Sejarah Takhrij Hadis
1. Sejarah
Para sejarawan Islam secara berjama’ah menyepakati
bahwa usaha pelestarian dan pengembangan hadis terbagi
dalam dua periode besar yaitu periode mutaqaddimin dan
periode mutaakhirin. Periode mutaqaddimin dibagi lagi
menjadi

beberapa

tahap/masa

yaitu,

masa

turunnya

wahyu, masa khulafaurrasyidin (12-40 H), masa sahabat
kecil dan tabi’in (40 H – akhir abad I H), masa pembukuan

34

hadis (awal-akhir abad II H), masa pentashihan dan
penyaringan hadis (awal-akhir abad III,) sekitar pada masa
yang terakhir inilah Imam Bukhari menulis kitab yang
terkenal dengan nama al-Jami’ al-Shahih (w. 256 H)
disusul Imam Muslim (w.261 H).
mutaqaddimin
sendiri

para

menghimpun
penghafalnya

Kalau para ulama

hadis
maka

dengan
ulama

menemui

mutaakhirin

menukil dari kitab-kitab susunan ulama mutaqaddimin.
Masa inilah para ulama mempergunakan system istidrak
dan

istikuraj.

Sehingga

bermunculan

kitab-kitab

mustadrak dan mustakhraj. Sampai pada abad kelima dan
abad

ke

tujuh

para

ulama

hanya

berusaha

untuk

memperbaiki susunan kitab, mengumpulkan hadis Bukhari
dan

Muslim

dalam

satu

kitab,

mempermudah

jalan

pengambilannya. Dalam abad ini pula timbul istilah al-s
Jami’ al-sJawami dan al-Takurij.21
Ilmu hadis baru berdiri sendiri sebagai sebuah ilmu pada
masa al-sQadui Ibnu Muuammad al-sRamauurmudzi (265360 H). Selanjutnya diikuti oleh al-sHakim al-sNaisaburi
(321-405 H), Abu Bakr al-sBagudadi (463 H). Para ulama
mutaqaddimin menyebutnya dengan ulumul hadis dan
ulama mutaakhirin menyebutnya ilmu mustualauul uadis.
21

Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam,
Jakarta: Prenada Media, , 2003, hlm. 13

34

Jadi kalau menganalisa kedua uraian tersebut dapat
disimpulkan bahwa setelah masa inilah muncul ilmu
takhrij hadis sebagai bagian dari ilmu hadis. Kemudian
diiringi karya kitab-kitab dengan tema ilmu takhrij hadis
itu sendiri.
Kemudian pada masa selanjutnya, karya-karya dalam
bidang

ilmu

takhrij

hadis

semakin

meluas

hingga

mencapai puluhan. Sumbangan karya-karya tersebut tidak
dapat

dipungkiri

sangat

signifkan

terhadap

perkembangan ilmu-ilmu ke-Islaman lainnya.
Mahmud At-Tahhan menyebutkan bahwa tidak diragukan
lagi cabang ilmu takhrij ini sangat penting sekali bagi
setiap peneliti atau ilmuwan, baik yang bergelut di bidang
ilmu syariah dan juga terlebih lagi bagi para ulama yang
bergelut di bidang ilmu hadis, maka dengan ilmu ini
mereka bisa memeriksa hadis ke sumber asalnya.22
Sebagai contoh, hadis yang berisi dialog antara Nabi
Muhammad SAW dengan sahabat Mu;adz bin Jabal
tentang urutan sumber hokum Islam tatkala Mu’adz di
utus ke Yaman, merupakan salah satu contoh. Sanad hadis
tersebut cukup banyak. Mukuarrij-nya selain Imam Abu
Dawud dan Imam At-Turmudzi, juga Imam Ahmad bin
22

Mahmud al-Thahhan, ….op.cit, hlm. 53

34

Hambal

dan

Imam

Al-Darimi.

Seluruh

sanad

hadis

tersebut dua’if dan letak ke-dua’if-sannya Imam Ahmad bin
Hambal adalah sama, yaitu sama-sama melalui Al-Harits
bin ‘Amr yang berkualitas sangat lemah; ditambah lagi AlHarits itu menyandarkan riwayatnya kepada periwayat
yang mubuam (tidak jelas individunya). Dalam pada itu,
keadaan sanad-nya Imam Abu Dawud dan salah satu
sanad-nya Ahmad bin Hambal lebih parah lagi sebab
kelemahan-kelemahan

tersebut

masih

ditambah

lagi

dengan kelemahan sanad yang berstatus mursal.23
Untuk mengatasi masalah sanad yang keadaannya seperti
contoh di atas, diperlukan kecermatan dalam melakukan
i’tibar (pembuatan skema sanad) dan dibutuhkan metode
takurij al-suadis untuk hadis-hadis yang semakna dan
tauqiq dengan metode muqaranau.24
2. Kitab-kitab Takhrij Hadis
Kitab-kitab

Takhrij

generasi

pertama,

seperti

yang

dikemukakan oleh Mahmud al-Thahhan adalah kitab-kitab
buah pena al-Khatib al-Baghdadiy [w. 463 H]. Diantara
kitab yang terkenal adalah:

23

Lihat M. Syuhudi Ismail, “Metodologi Penelitian Hadis Nabi”, Makalah, MedanSumut, 1991, hlm.
24
Lihat M. Syuhudi Ismail dalam Yunahar Ilyas Lc dan M. Mas’udi, “Pengembangan
Pemikiran Teruadap Hadis, Ibid, hlm.12

34

a. Takurij al-sFawaid al-sMuntakuabau al-sSuiuau wa al-s
Guaraib karya Abi Al-sGuaraib,
b. Takurij al-sFawaid al-sMuntakuabau al-sSuiuau wa al-s
Guaraib karya Abi Qasim al-sMaurawani.
c. Kitab

Takurij

al-suadis

al-sMuuazzab

oleh

karya

takhrij

yang

Muuammad bin Musa al-sHazimi.25
Selanjutnya

Berikut

adalah

kitab-kitab

termasyhur.
a. Nasub ar-sRayau li Auadis al-sHidayau karya Abdullau
bin Yusuf al-sZaila’i (w. 762 H).
Kitab ini mentakhrij hadis-hadis yang dijadikan oleh
al-s‘Allamau Ali bin Abi Bakar al-sMarguinani al-sHanafi
(w.593 H) dalam kitab al-Hidayah. Kitab ini merupakan
kitab

fkih

Hanaf,

sedangkan

kitab

takhrij

ini

merupakan yang paling luas dan yang paling dikenal
dibanding kitab takhrij lainnya.
Al-Qaththan berkata, “kitab ini adalah kitab takhrij
yang
sangat
bemanfaat
sekali
dijadikan patokan oleh kalangan
pensyarah kitab al-Hidayah, bahkan
Ibnu Hajar banyak mengambil
manfaat dari buku dalam disiplin
ilmu hadis, nama-nama perawi dan
luasnya pandangan beliau tentang
hadis marfu’.26
25

Lihat Thahhan, Mahmud Ath-, Usuul at-sTakurij wa Dirasau al-sAsanid, Riyadh:
Maktabah al-Ma’arif, 1991, hlm.
26
Manna’ Al Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Jakarta: Pustaka Al kautsar,
2008. Hlm. 191

34

b. Takurij

Auadis

al-sMukutasuar

al-sKabir

karya

Muuammad bin Aumad Abd al-sHadi al-sMaqdisy (w. 744
H).
c. Takurij Auadis al-sKasysyaf li al-sZamakusyari karya
Abdullau bi Yusuf az-sZaila’i. Ia sudah dicetak.
d. Irwa’ al-sGualil fi Takutij Auadis Manar as-sSabil , karya
asy-sSyaiku Nasuiruddin al-sAlbani.
e. At-sTalkuisu al-sHabir, Takurij Auadis al-sWajiz al-sKabir
fi Lii al-sRifa”i , ditulis oleh al-sHafidz Ibnu Hajar, sudah
dicetak.
f.

Takurij Auadis al-sKasysyaf, karya al-sHafidz Ibnu Hajar.

g. Al-sBadr al-sMunir fi al-sTakurij al-sAuaditz wa al-sAtsar al-s
Waqi`au fi al-sSyaru al-sKabirli ar-sRafi’i [Abu al-sQasim
Abd al-sKarim Ibn Muuammad al-sQazwayniy al-sRafi`iy
al-sSyafi`iy (w.623 H), karya Umar Ibn Ali Ibn al-s
Mulqan (w. 804 H); telah ditahqiq di dalam risalah
Majister di Universitas Islam Madinah.
h. Al-sMuguniy `an Haml al-sAsufar fi al-sAsufar fi Takurij
Ma fi al-sIuya’ min al-sAkubar [al-sGuazaliy,, karya al-s
Hafizu Zayn al-sDin Abd al-sRauim Ibn al-sHusayn al-s
Iraqiy (w. 806 H);
i.

Al-sTakurij al-sAuadis al-slatiy Yusyiru Ilayua al-sTirmidziy
fi Kulli Bab, karya al-Iraqiy;

34

j.

Ad-sDirayau fi Takurij Auadis al-sHidayau , karya al-s
Hafidz Ibnu Hajar.

k. Tuufau ar-sRawi fi Takurij Auadis al-sBaiduawi, karya al-s
Hafidz Abdurra’uf al-sMunawi.
Di antara kitab-kitab takhrij yang disebutkan di atas yang
sudah banyak dipergunakan oleh penuntut ilmu, yaitu:
Nasub ar-sRoyau li Auadis al-sHidayau dan At-sTalkuisu al-s
Habir, Takurij Auadis al-sWajiz al-sKabir fi Lii al-sRifa’i.27
Dalam melakukan takhrij, seseorang memerlukan kitabkitab

tertentu

yang

dapat

dijadikan

pegangan

atau

pedoman sehingga dapat melakukan kegiatan takhrij
secara mudah dan mencapai sasaran yang dituju. Di
antara kitab-kitab yang dapat dijadikan pedoman dalam
mentakurij adalah:
a. Usuul al-sTakurij wa Dirasat Al-sAsanid oleh Muuammad
Al-sTauuan,
b. Husuul al-sTafrij bi Usuul al-sTakurij oleh Aumad ibn
Muuammad al-sSiddiq al-s Guarami,
c. Turuq

Takurij

Hadis

Rasulullau

SAW

karya

Abu

Muuammad al-sMaudi ibn `Abd al-sQadir ibn `Abd al
Hadi,
d. Metodologi Penelitian Hadis Nabi oleh Syuuudi Ismail.
27

Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, Jakarta : Gaya Media Pratama, 2001, hlm. 115

34

e. al-sMu’jam al-sMufuaros li Alfazi Auadis al-sNabawi oleh
A.J. Wensinck
f.

Miftau Kunuz al-sSunnau oleh pengarang yang sama
diterjemahkan oleh Muuammad Fuad Abd Baqi.

g. Mausu’au Aturaful Hadis an-sNabawi oleh Zaglul.
h. Al-sIstiab oleh Ibnu Abd Barr
i.

Usuul al-sGuabau oleh Abd Atsir

j.

Al-sIsuabau oleh Ibn Hajar al-sAsqalani.

k. Al-sJaru wa at-sTa’dil juga karya Ibnu Hajar al-sAsqalani.
D. Urgensi Takhrij Hadis
Takurij

Al-sHadis

memperhatikan

sebagai

tujuannya,

sebuah
mempunyai

metode
banyak

dengan
sekali

manfaat. Abu Muuammad Abdul Maudi bin Abdul Qadir bin
Abdul Hadi dalam kitabnya Tuuruq Takurij Hadis Rasulillau
SAW, yang

penulis kutip dari buku terjemahan kitab

tersebut, “Metode Takurij Hadis”, menjelaskan beberapa
manfaat takhrij hadis diantaranya :
a. Takhrij memperkenalkan sumber-sumber hadis, kitabkitab asal dimana suatu hadis berada, beserta ulama yang
meriwayatkannya.
b. Takhrij dapat menambah perbendaharaan sanad hadishadis melalui kitab-kitab yang ditunjukinya. Semakin

34

banyak kitab-kitab asal yang memuat suatu hadis, semakin
banyak pula perbendaharaan sanad yang dimiliki.
c. Takhrij

dapat

memperjelas

keadaan

sanad.

Dengan

membandingkan riwayat-riwayat hadis yang banyak itu
maka dapat diketahui apakah riwayat itu munqathi’,
mu’dal dan lain-lain. Demikian pula dapat diketahui
apakah

status

riwayat

tersebut

shahih,

dha’if

dan

sebagainya.
d. Takhrij

dapat

memperjelas

hukum

hadis

dengan

banyaknya riwayatnya. Terkadang kita dapatkan hadis
yang dha’if melalui suatu riwayat, namun dengan takhrij
kemungkinan kita akan mendapatkan riwayat lain yang
shahih. Hadis yang shahih itu akan mengangkat derajat
hukum hadis yang dha’if tersebut ke derajat yang lebih
tinggi.
e. Dengan takhrij kita dapat memperoleh pendapat-pendapat
para ulama sekitar hukum hadis.
f. Takhrij dapat memperjelas perawi hadis yang samar.
Karena terkadang kita dapati perawi yang belum ada
kejelasan namanya, seperti Muhammad, Khalid dan lainlain. Dengan adanya takhrij kemungkinan kita akan dapat
mengetahui

nama

perawi

yang

sebenarnya

secara

lengkap.

34

g. Takhrij dapat memperjelas perawi hadis yang tidak
diketahui namanya melalui perbandingan diantara sanadsanad.
h. Takhrij

dapat

menafkan

pemakaian

“AN”

dalam

periwayatan hadis oleh seorang perawi mudallis. Dengan
didapatinya sanad yang lain yang memakai kata yang jelas
ketersambungan

sanadnya,

maka

periwayatan

yang

memakai “AN” tadi akan tampak pula ketersambungan
sanadnya.
i. Takhrij dapat menghilangkan kemungkinan terjadinya
percampuran riwayat
j. Takhrij dapat membatasi nama perawi yang sebenarnya.
Hal ini karenan kemungkinan saja ada perawi-perawi yang
mempunyai kesamaan gelar. Dengan adanya sanad yang
lain maka nama perawi itu akan menjadi jelas.
k. Takhrij dapat memperkenalkan periwayatan yang tidak
terdapat dalam satu sanad.
l. Takhrij dapat memperjelas arti kalimat yang asing yang
terdapat dalam satu sanad.
m.

Takhrij

dapat

menghilangkan

suatu

“syadz”

(kesendirian riwayat yang menyalahi riwayat tsiqat) yang
terdapat dalam suatu hadis melalui perbandingan suatu
riwayat.

34

n. Takhrij dapat membedakan hadis yang mudraj (yang
mengalami penyusupan sesuatu) dari yang lainnya.
o. Takhrij

dapat

mengungkapkan

keragu-raguan

dan

kekeliruan yang dialami oleh seorang perawi.
p. Takhrij dapat mengungkapkan hal-hal yang terlupakan
atau diringkas oleh seorang perawi.
q. Takhrij dapat membedakan proses periwayatan yang
dilakukan dengan lafal dan yang dilakukan dengan ma’na
(pengertian) saja.
r. Takhrij dapat menjelaskan waktu dan tempat kejadian
timbulnya suatu hadis.
s. Takhrij dapat menjelaskan sebab-sebab timbulnya hadis.
Diantara hadis –hadis ada yang timbul karena perilaku
seseorang atau kelompok orang melalui perbandingan
sanad-sanad yang ada maka “asbab al-wurud” dalam hadis
tersebut akan dapat diketahui dengan jelas.
t. Takhrij dapat mengungkapkan kemungkinan terjadinya
percetakan dengan melalui perbandingan-perbandingan
sanand yang ada.
u. Secara

singkat

takhrij

hadis

dapat

mengumpulkan

berbagai sanad dari sebuah hadis serta mengumpulkan
berbagai redaksi dari sebuah matan hadis. Berikut adalah
contoh kegunaan dari takhrij hadis :

34

‫‪Lafal sebuah hadis :‬‬

‫ال‪ :‬و َ ْ‬
‫ة َ‬
‫ق َ‬
‫ن ُ‬
‫ت النّبِى‬
‫عب ْ َ‬
‫م ِ‬
‫غي ْ َر ِ‬
‫ش َ‬
‫ضأ ُ‬
‫َن ال ْ ُ‬
‫و َ‬
‫َ‬
‫ُر ِ‬
‫ة بْ ِ‬
‫ي حع ِ‬
‫ـحو َ‬
‫فى َ‬
‫ك َ‬
‫ح‬
‫و ِ‬
‫و ِ‬
‫صألّى اللــه حعَلَي ْ ـ ِ‬
‫غـ ْ‬
‫سـ َ‬
‫م َ‬
‫و َ‬
‫ف َ‬
‫س ـل ّ َ‬
‫َ‬
‫ة تَب ُـ ْ‬
‫ـز َ‬
‫م َ‬
‫ه َ‬
‫س َ‬
‫ل ّ‬
‫ما‬
‫اَحعْلَى ال ْ ُ‬
‫فل َ ُ‬
‫وا َ ْ‬
‫ه َ‬
‫ن َ‬
‫في ْ ِ‬
‫‪Bila kita menggunakan metode takurij, maka akan tampak‬‬
‫‪hadis di atas diriwayatkan oleh Imam Turmudzi, Imam‬‬
‫‪Abu Dawud dan Imam Ibnu Majau. Setelah ditakhrij pada‬‬
‫‪masing-masing kitab, maka hadis tersebut lengkapnya‬‬
‫‪berbunyi :‬‬
‫‪Menurut riwayat Imam Turmudzi :‬‬

‫م ْ‬
‫ش ِ‬
‫حولِي ِ‬
‫ى َ‬
‫َ‬
‫م ْ‬
‫حولِيْدُـ ب ْ ُ‬
‫ن ُ‬
‫د اَلدّ َ‬
‫حدّثْنَا ال ْ َ‬
‫حدَثْنَا اَبُحو ال ْ َ‬
‫ق ّ‬
‫سلِم ٍ‬
‫ب‬
‫حــا ِ‬
‫اَ ْ‬
‫ء َ‬
‫َن َر َ‬
‫ــحوةَ حع ْ‬
‫زي ْــدَ حع ْ‬
‫ــحو ُر ب ْ ُ‬
‫َن ك َــات ِ ِ‬
‫حي ْ َ‬
‫خب َ َرن َــاـ ث َ ْ‬
‫ن يَ ِ‬
‫ن ُ‬
‫صأـلّى اللــه‬
‫عب َ َ‬
‫م ِ‬
‫م ِ‬
‫غي ْ َر ِ‬
‫غي ْ َر ِ‬
‫ة اَ ّ‬
‫ش ْ‬
‫ة حع ْ‬
‫َن ال ْ ُ‬
‫ال ْ ُ‬
‫ن النّبِي َ‬
‫ة بْ ِ‬
‫س َ‬
‫ه‬
‫ل ّ‬
‫فل ِ ِ‬
‫حعَلَي ْ ِ‬
‫ح اَحعْلَى ال ْ ُ‬
‫س َ‬
‫وا َ ْ‬
‫م َ‬
‫و َ‬
‫م َ‬
‫سل ّ َ‬
‫ف َ‬
‫ه َ‬
‫‪Menurut riwayat Imam Abu Dawud :‬‬

‫حدّثْنَا‬
‫َ‬
‫حولِيْدُ – َ‬
‫عنَى َ‬
‫ق َ‬
‫م ْ‬
‫ـحودٌ –‬
‫ش ِ‬
‫م ْ‬
‫قال َ َ‬
‫م ْ‬
‫ل ُ‬
‫ال َ‬
‫ى اَل ْ َ‬
‫اَلدّ َ‬
‫مـ ْ‬
‫حدّثَنَا اَل ْ َ‬
‫ق ّ‬
‫َ‬
‫قـ َ‬
‫َن‬
‫ـال ا َ ْ‬
‫ن َ‬
‫َن َر َ‬
‫ـحوةَ حع ْ‬
‫زي ْ ـدَ حع ْ‬
‫ـحو ُرب ْ ُ‬
‫حي ْـ َ‬
‫خب َ َرن َــاـ ث َـ ْ‬
‫ن يَ ِ‬
‫حــاءَ ب ْ ِ‬
‫ة َ‬
‫قـ َ‬
‫ن ُ‬
‫ن ُ‬
‫ـال‬
‫عب َ َ‬
‫عب َ َ‬
‫م ِ‬
‫م ِ‬
‫غي ْ َر ِ‬
‫غي ْ َر ِ‬
‫ش ْ‬
‫ش ْ‬
‫ة حع ْ‬
‫َن ال ْ ُ‬
‫ب ال ْ ُ‬
‫كَات ِ ِ‬
‫ة بْ ِ‬
‫ة بْ ِ‬
‫و َ ْ‬
‫حو َ‬
‫فى َ‬
‫ك‬
‫م ِ‬
‫و ِ‬
‫صألّى الله حعَلَي ْ ِ‬
‫ضأ ُ‬
‫و َ‬
‫سل ّ َ‬
‫ت النّبِي َ‬
‫ة تَب ُ ْ‬
‫غ ْز َ‬
‫ه َ‬
‫َ‬
‫س َ‬
‫ح حعَلَى الْخ ّ‬
‫َ‬
‫م‬
‫س َ‬
‫وا َ ْ‬
‫م َ‬
‫ه ْ‬
‫ف َ‬
‫ن َ‬
‫فل ِ ِ‬
‫ُفي ْ ِ‬
‫سى‬
‫حو َ‬
‫ُ‬
‫م ْ‬

‫ن‬
‫بْ ُ‬

‫ان‬
‫و َ‬
‫َ‬
‫م ْر َ‬

‫حودُ‬
‫م ْ‬
‫ل ُ‬
‫و َ‬
‫م ْ‬
‫َ‬

‫ن‬
‫بْ ُ‬

‫د‬
‫خَال ِ ٍ‬

‫‪Menurut riwayat Imam Ibnu Majah :‬‬

‫‪34‬‬

َ ‫ه‬
‫ ثَنّا‬,ٍ‫سلِم‬
ُ ‫ن‬
ِ ‫حدّثَنَا‬
َ
ُ ‫ش‬
ْ ‫م‬
ُ ْ ‫حولِيْدُ ب‬
ُ ْ ‫ام ب‬
ُ ‫ن‬
َ ‫حع‬
َ ْ ‫ ثَنَا ال‬,‫ار‬
ٍ ‫م‬
‫ب‬
َ ‫ن‬
َ ‫َن َر‬
ْ ‫ حع‬, َ‫ـحوة‬
ْ ‫ حع‬,َ‫زي ْـد‬
ُ ْ ‫ـحو ُرب‬
ِ ِ ‫ـك َــات‬-‫و ّرا ٍد‬
َ ‫َن‬
َ ‫حي ْـ‬
ْ ‫ث َـ‬
ِ َ‫ن ي‬
ِ ْ ‫حــاءَ ب‬
ُ ‫ن‬
ُ ‫ن‬
‫حول‬
َ َ ‫عب‬
ِ ‫م‬
ِ ‫م‬
ِ ‫غي ْ َر‬
ِ ‫غي ْ َر‬
ّ َ‫ة ا‬
ْ ‫ش‬
ْ ‫ش‬
ُ ‫ن َر‬
ْ ‫حع‬-َ‫عبَة‬
ُ ْ ‫َن ال‬
ُ ْ ‫ال‬
ْ ‫سـ‬
ِ ْ‫ة ب‬
ِ ْ‫ة ب‬
َ ‫س‬
‫ه‬
ّ ‫ل‬
ِ ِ ‫فال‬
ِ ْ ‫صألّى الله حعَلَي‬
ُ ْ ‫م اَحعْلَى ال‬
ْ َ ‫وا‬
َ ‫و‬
َ ّ ‫سل‬
َ ‫الله‬
َ ‫ف‬
َ ‫ه‬
Dengan memperbandingkan ketiga riwayat di atas, maka
kita dapat mengetahui :
Hadis di atas diriwayatkan oleh tiga ulama hadis yaitu
Imam Turmudzi, Imam Abu Dawud dan Imam Ibnu Majah.
Pada riwayat Abu Dawud terdapat nama perawi yang
samar, yaitu al-Walid. Riwayat Turmudzi dan riwayat Ibnu
Majah menjelaskan nama yang sebenarnya yaitu al-walid
bin Muslim.
Katib Mughirah tidak diketahui nama yang sebenarnya
pada riwayat Abu Dawud dan Turmudzi. Pada riwayat Ibnu
Majah Katib Mughirah yang dimaksud adalah Warrad.
Menurut Ibnu Hazam, Katib Mughirah adalah perawi yang
tidak diketahui namanya. Ini karena Ibnu Hazam, mungkin
tidak

ingat

bahwa

ada

riwayat

Ibnu

Majah

yang

menjelaskan nama yang sebenarnya. Warrad diriwayatkan
oleh banyak ulama hadis. Ibnu Hibban menggolongkannya
pada kelompok tsiqat.

34

Setelah Imam Turmudzi meriwayatkan hadis ini, beliau
mengatakan bahwa hadis ini adalah ma’lul, karena tidak
seorangpun yang meriwayatkan dari Tsaur bin Yazid
selain Walid bin Muslim. Lalu beliau menanyakannya
kepada

Abu

Zur’ah

dan

Imam

Bukhari.

Keduanya

mengatakan hadis ini tidak shahih, karena Ibnu Mubarak
meriwayatkannya dari Tsaur, dari Roja’ bin Haywah,
beliau

berkata

“saya

menerima

riwayat

dari

Katib

Mughirah, dari Nabi SAW. Jadi hadis ini mursal, karena
Mughirah tidak disebut dalam sanad tersebut. Riwayat
Abu Dawud menjelaskan sejarah timbulnya hadis ini yaitu
pada waktu peperangan Tabuk.28
Lebih dari itu, secara khusus Takurij Hadis bertujuan
mengetahui sumber asal hadis yang ditakhrij. Tujuan
lainnya adalah mengetahui ditolak atau diterimanya hadishadis tersebut. Dengan cara ini, kita akan mengetahui
hadis-hadis yang pengutipannya memperhatikan kaidahkaidah ulumul hadis yang berlaku sehingga hadis tersebut
menjadi jelas, baik asal-usul maupun kualitasnya.29
E. Macam-macam Metode Takhrij Hadis

28

Abu Muhammad Abdul Mahdi bin Abdul Qadir bin Abdul Hadi, 1994, Tuuruq
Takurij Hadits Rasulillau SAW, Semarang: Terjemahan, Dina Utama Semarang
29
Suyadi, M. Agus Sholahudin dan Agus., Ulumul Hadits, Bandung: CV. Pustaka
Setia, 2011. Cet. II hlm. 191

34

Di dalam melakukan takhrij, ada lima metode yang dapat
dijadikan sebagai pedoman, yaitu;
a. Takhrij Berdasarkan Perawi Sahabat
Metode ini adalah metode dengan cara mengetahui nama
sahabat yang meriwayatkan hadis, adapun kitab-kitab
pembantu dari metode ini adalah:
1. Al-Masanid (musnad-musnad). Dalam kitab ini
disebutkan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh setiap
sahabat

secara

tersendiri.

Selama

kita

sudah

mengetahui nama sahabat yang meriwayatkan hadis,
maka kita mencari hadis tersebut dalam kitab ini
hingga mendapatkan petunjuk dalam satu musnad
dari kumpulan musnad tersebut.30 Musnad yang dapat
digunakan adalah; musnad Ahmad ibn Hanbal ,
Musnad Dawud Al Tayalisi, Musnad Al Humaidi,
Musnad Abu Hanifah, Musnad As Syaf’i, dan lain
sebagainya. Cara penggunaannya adalah; misalnya
sahabat yang meriwayatkan hadis itu bernama Ali,
maka pencarian atau penelusuran dilakukan melalui
huruf ‘ayn.
2. Kitab-kitab

Al-Atraf.

Kebanyakan

kitab

al-sAtraf

disusun berdasarkan musnad-musnad para sahabat
30

Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits, Jakarta: GP Press, 2008. hlm.

34

dengan urutan nama mereka sesuai huruf kamus. Jika
seorang peneliti mengetahui bagian dari hadis itu,
maka

dapat

ditunjukkan

merujuk
oleh

pada

sumber-sumber

kitab-kitab

al-atraf

tadi

yang
untuk

kemudian mengambil hadis secara lengkap. Di antara
kitab-kitab Atraf yang dapat dipergunakan adalah;
Atraf As-sSuauiuain, karya Al-sWasiti dan Al-sDimasyqi,
Tuufatul Al Asurof bi Ma’rifat Al Atraf karya Al Mizzi
yang merupakan Syarau kitab Al Asuraf bi ma’rifat Al
Atraf karya ibn ‘Asakir, Ituaf Al Mauram bi Atraf Al
‘Asurau karya

Ibn Hajar Al Asqalani, dan lain

sebagainya. Cara penggunaan kitab ini seperti seperti
cara menggunakan kitab musnad, artinya disusun
secara alfabetis Hija’iyah.
3. Al-Ma`ajim (mu`jam-mu`jam). Susunan hadis di
dalamnya berdasarkan urutan musnad para sahabat
atau

syuyuku

(guru-guru)

sesuai

huruf

kamus

hijaiyah. Dengan mengetahui nama sahabat dapat
memudahkan
kitab mu’jam

untuk
yang

merujuk

dapat

kita

hadisnya.
gunakan

Dan
adalah;

mu’jam Al Kabir, Mu’jam Al Awsat, dan Mu’jam Al-s
Saguir yang kesemuanya adalah karya Al-Tabrani.
Juga kitab Mu’jam As Shahabah karya Al Mawasili,

34

Mu’jam As Sahabh karya Al Hamdani, dan lain
ssebagainya. Dan cara penggunaannya tidak jauh
berbeda dengan kitab musnad dan kitab Atraf.
Kelebihan metode ini adalah bahwa proses takhrij
dapat diperpendek. Akan tetapi, kelemahan dari
metode ini adalah ia tidak dapat digunakan dengan
baik, apabila perawi yang hendak diteliti itu tidak
diketahui.31
b. Takhrij Melalui Lafadz Pertama Matan Hadis
Metode takhrij hadis menurut lafadz pertama, yaitu suatu
metode yang berdasarkan pada lafadz pertama matan
hadis, sesuai dengan urutan huruf-huruf hijaiyah dan
alfabetis, sehingga metode ini mempermudah pencarian
hadis yang dimaksud.32 Misalnya, apabila akan mentakhrij hadis yang berbunyi;

ّ
‫ة‬
‫س‬
َ ‫ص ْر‬
ِ ‫حع‬
ِ ‫الش‬
ُ ‫ديْدبِال‬
َ ْ ‫ُُلَي‬
Untuk mengetahui lafadz lengkap dari penggalan matan
tersebut,

langkah

yang

harus

dilakukan

adalah

menelusuri penggalan matan itu pada urutan awal matan
yang memuat penggalan matan yang dimaksud. Dalam
kamus yang disusun oleh Muhammad Fuad Abdul Baqi,
penggalan hadis tersebut terdapat di halaman 2014.
31
32

Abu Muhammad Abdul Mahdi, op.cit, hlm.
Ibid

34

Berarti, lafadz yang dicari berada pada halaman 2014 juz
IV. Setelah diperiksa, bunyi lengkap matan hadis yang
dicari adalah;

َ
َ ‫ـحو‬
‫ه‬
‫ه حعَلَيْـ ِـ‬
ُ ‫ي‬
ِ ّ ‫ل الل‬
ّ ‫ه َري ْ َرةَ أ‬
ُ ‫ن َر‬
ْ ‫حع‬
ُ ّ ‫صأـلّى الل‬
َ ‫ه‬
ْ ‫س‬
ْ ِ ‫َن اَب‬
َ ‫م‬
َ
ّ
َ َ ‫قا‬
‫م‬
‫س‬
َ ‫االصـ ْر‬
ِ ‫االشــ‬
ِ ‫حع‬
ِ ‫الشـ‬
ُ‫ديْد‬
َ ‫و‬
َ ّ ‫ة اِن‬
َ ّ ‫سـل‬
ُ
َ ْ ‫ لَي‬:‫ل‬
ِ ‫ديْدُ ب‬
َ
ُ ِ ‫مل‬
ْ َ‫ك ن‬
‫َضب‬
‫حعنْدَالغ‬
ِ ‫ه‬
ِ ّ ‫ال‬
َ ‫ف‬
ُ ‫سـ‬
ْ َ‫ي ي‬
ْ ‫ذ‬
ِ
Artinya: Dari Abu Hurairau bauwa Rasulullau Saw
bersabda, “(Ukuran) orang yang kuat (perkasa) itu
bukanlau dari kekuatan orang itu dalam berkelaui,
tetapi yang disebut sebagai orang yang kuat
adalau orang yang mampu menguasai dirinya
tatkala dia marau”.
Metode ini mempunyai kelebihan dalam hal memberikan
kemungkinan yang besar bagi seorang mukharrij untuk
menemukan hadis-hadis yang dicari dengan cepat. Akan
tetapi, metode ini juga mempunyai kelemahan yaitu,
apabila

terdapat

pertamanya

kelainan

sedikit

saja,

atau
maka

perbedaan

lafadz

akan

untuk

sulit

menemukan hadis yang dimaksud.
Kitab-kitab hadis yang disusun berdasarkan huruf kamus,
misalnya: “Al-sJami’u Asu Suoguir min Auadis Al-sBasyir An
Nadzir” karya As Suyuti.33
c. Takhrij Melalui Kata-Kata dalam Matan Hadis
Metode ini adalah metode yang berdasarkan pada katakata yang terdapat dalam matan hadis, baik berupa kata
33

Al Qaththan. op.cit. hlm 192

34

benda ataupun kata kerja. Dalam metode ini tidak
digunakan huruf-huruf, tetapi yang dicantumkan adalah
bagian hadisnya sehingga pencarian hadis-hadis yang
dimaksud dapat diperoleh

lebih cepat. Penggunaan

metode ini akan lebih mudah manakala menitik beratkan
pencarian hadis berdasarkan lafaz – lafaznya yang asing
dan jarang penggunaanya.
Kitab yang berdasarkan metode ini di antaranya adalah
kitab Al-sMu`jam Al-sMufauras li Alfazu Al-sHadis
Nabawi.
terdapat

Kitab
di

ini

mengumpulkan

dalam

Sembilan

hadis-hadis

kitab

induk

An-s
yang
hadis

sebagaimana yaitu; Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan
Turmizi, Sunan Abu Daud, Sunan Nasa’i, Sunan Ibn
Majah, Sunan Darimi, Muwaththa’ malik, dan Musnad
Imam Ahmad.34
Contohnya pencarian hadis berikut;

‫ي‬
ِ ْ ‫ه حعَلَي‬
ِ ّ ‫صألّى الل‬
ّ ِ‫ا‬
َ َ‫َن ط‬
َ َ‫م ن‬
َ ‫و‬
ْ ‫هى حع‬
َ ّ ‫سل‬
َ
َ ‫ه‬
َ ِ ‫ن النّب‬
ِ ‫عام‬
َ ‫الْملَباريي ـ‬
ْ ُ‫ن ي‬
َ َ ‫ؤك‬
‫ل‬
ْ ‫نأ‬
ِ ْ َ ِ َ ُ
Dalam pencarian hadis di atas, pada dasrnya dapat
ditelusuri melalui kata-kata naha (‫هى‬
َ َ‫)ط‬,
َ َ ‫ )ن‬ta’am(‫عام‬

ْ ُ ‫ )ي‬al-mutabariyaini (‫ين‬
ْ َ ‫ؤك‬
yu’kal (‫ل‬
‫اري َ ِـ‬
ُ ‫)ال‬. Akan tetapi
ِ َ ‫ملَب‬
34

M. Agus Sholahudin. op.cit. hlm. 198

34

dari

sekian

kata

yang

dapat

dipergunakan,

lebih

dianjurkan untuk menggunakan kata al-mutabariyaini (

‫ن‬
‫اريَي ْ ِـ‬
ُ ‫)ال‬
ِ َ ‫ملَب‬

karena

kata

tersebut

jarang

adanya.

Menurut penelitian para ulama hadis, penggunaan kata
tabara

(‫ارىـ‬
َ َ ‫)تَب‬

di

dalam

kitab

induk

hadis

(yang

berjumlah Sembilan) hanya dua kali.
Penggunaan metode ini dalam mentakhrij suatu hadis
dapat

dilakukan

dengan

mengikuti

langkah-langkah

sebagai berikut:
Liangkau pertama, adalah menentukan kata kuncinya
yaitu kata yang akan dipergunakan sebagai alat untuk
mencari hadis. Sebaiknya kata kunci yang dipilih adalah
kata yang jarang dipakai, karena semakin asing kata
tersebut akan semakin mudah proses pencarian hadis.
Setelah itu, kata tersebut dikembalikan kepada bentuk
dasarnya.

Dan

berdasarkan

bentuk

dasar

tersebut

dicarilah kata-kata itu di dalam kitab Mu’jam menurut
urutannya secara abjad (huruf hijaiyah).
Liangkau kedua, adalah mencari bentuk kata kunci tadi
sebagaimana yang terdapat di dalam hadis yang akan
kita temukan melalui Mu’jam ini. Di bawah kata kunci
tersebut akan ditemukan hadis yang sedang dicari dalam

34

bentuk

potongan-potongan

hadis

(tidak

lengkap).

Mengiringi hadis tersebut turut dicantumkan kitab-kitab
yang menjadi sumber hadis itu yang dituliskan dalm
bentuk kode-kode sebagaimana yang telah dijelaskan di
atas.
Metode ini memiliki beberapa kelebihan yaitu; Metode ini
mempercepat

pencarian

hadis

dan

memungkinkan

pencarian hadis melalui kata-kata apa saja yang terdapat
dalam matan hadis. Selain itu, metode ini juga memiliki
beberapa kelemahan yaitu; Terkadang suatu hadis tidak
didapatkan dengan satu kata sehingga orang yang
mencarinya harus menggunakan kata-kata lain.
d. Takhrij Berdasarkan Tema Hadis
Metode ini berdasarkan pada tema dari suatu hadis. Oleh
karena itu untuk melakukan takhrij dengan metode ini,
perlu terlebih dahulu disimpulkan tema dari suatu hadis
yang akan di – takhrij dan kemudian baru mencarinya
melalui

tema

itu

pada

kitab-kitab

yang

disusun

menggunkan metode ini. Seringkali suatu hadis memiliki
lebih dari satu tema. Dalam kasus yang demikian seorang
men-takurij harus mencarinya pada tema-tema yang
mungkin dikandung oleh hadis tersebut. Contoh :

34

‫ه‬
ُ ّ ‫ه اِل ّ الل‬
َ ‫لَاِل‬
‫ة‬
‫ء‬
ِ ‫وايْلَا‬
ِ َ ‫الزكا‬
ّ
َ

َ ‫س‬
‫ان‬
‫ة‬
َ ‫م حعَلَى‬
ِ َ‫هاد‬
ْ
ُ َ ‫سل‬
َ ‫ش‬
ْ ِ ‫ي ال‬
ْ ‫خ‬
َ ِ ‫بُن‬
ٍ ‫م‬
َ ِ ‫وا‬
ُ ‫حو‬
‫ة‬
ِ َ ‫صل‬
ِ ّ ‫ل الل‬
ّ
َ ‫م‬
ُ ‫مدّا َر‬
ّ ‫ل‬
ُ ‫وان‬
ّ ‫قام ِ ال‬
َ ‫ه‬
ْ ‫س‬
ّ ‫سبِيْل‬
‫ن‬
َ ‫اسلَطَا‬
َ ‫م‬
ِ ْ ‫ع اِلَي‬
ِ ْ ‫ج الْبَي‬
َ ‫ض‬
ّ ‫ح‬
َ ‫و‬
َ ‫ه‬
ْ
َ ‫ت‬
َ ‫حوم ِ َر‬
َ ‫و‬
َ ‫ان‬
ْ ‫صأ‬
َ
ِ ‫م‬

“Dibangun Islam atas lima pondasi yaitu : Kesaksian
bauwa tiada Tuuan selain Allau dan bauwa Muuammad
itu adalau Rasulullau, mendirikan sualat, membayarkan
zakat, berpuasa bulan Ramaduan, dan menunaikan
ibadau uaji bagi yang mampu.”
Hadis di atas mengandung beberapa tema yaitu iman,
tauhid, shalat, zakat, puasa dan haji. Berdasarkan tematema tersebut maka hadis diatas harus dicari didalam
kitab-kitab hadis dibawah tema-tema tersebut.
Cara ini banyak dibantu dengan kitab “Miftau Kunuz As-s
Sunnau” yang berisi daftar isi hadis yang disusun
berdasarkan judul-judul pembahasan.35
Dari keterangan di atas jelaslah bahwa takhrij dengan
metode

ini

sangat

tergantung

kepada

pengenalan

terhadap tema hadis. Untuk itu seorang mukharrij harus
memiliki beberapa pengetahuan tentang kajian Islam
secara umum dan kajian fqih secara khusus.
Metode ini memiliki kelebihan yaitu : Hanya menuntut
pengetahuan akan kandungan hadis, tanpa memerlukan
pengetahuan tentang lafadz pertamanya. Akan tetapi
metode ini juga memiliki berbagai kelemahan, terutama
35

Mahmud al-Thahhan, ….op.cit: 70

34

apabila kandungan hadis sulit disimpulkan oleh seorang
peneliti, sehingga dia tidak dapat menentukan temanya,
maka metode ini tidak mungkin diterapkan.
e. Takhrij Berdasarkan Status Hadis
Metode ini memperkenalkan suatu upaya baru yang telah
dilakukan para ulama hadis dalam menyusun hadis-hadis,
yaitu penghimpunan hadis berdasarkan statusnya. Karyakarya tersebut sangat membantu sekali dalam proses
pencarian hadis berdasarkan statusnya, seperti hadis
qudsi, hadis masyhur, hadis mursal dan lainnya. Seorang
peneliti hadis dengan membuka kitab-kitab seperti di
atas dia telah melakukan takurij al-suadis.36
Kelebihan metode ini dapat dilihat dari segi mudahnya
proses takhrij. Hal ini karena sebagian besar hadis-hadis
yang dimuat dalam kitab yang berdasarkan sifat-sifat
hadis sangat sedikit, sehingga tidak memerlukan upaya
yang rumit. Namun, karena cakupannya sangat terbatas,
dengan sedikitnya hadis-hadis yang dimuat dalam karyakarya sejenis, hal ini sekaligus menjadi kelemahan dari
metode ini.
Kitab kitab yang disusun berdasarkan metode ini :

36

Utang Ranuwijaya, ibid, hlm. 67-68

34

1. Al-sAzuar al-sMutanasirau fi al-sAkbar al-sMutawatirau
karangan Al-Suyuthi.
2. Al-sIttiuafat al-sSaniyyat fi al-sAuadis al-sQadsiyyau oleh
al-Madani.
3. Al-sMarasil oleh Abu Dawud, dan kitab-kitab sejenis
lainnya.

34

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Takhrij Hadis adalah segala yang menunjukkan tempat
hadis pada sumber aslinya serta yang mengeluarkan hadis
tersebut dengan sanadnya dan menjelaskan derajatnya ketika
diperlukan.
Al-Thahhan,
mendefnisikan

di

takhrij

dalam
hadis

kitabnya
adalah:

Ushul

al-Takhrij,

“menunjukkan

atau

mengemukakan letak asal Hadis pada sumber-ssumbernya yang
asli yang didalamnya dikemukakan Hadis itu secara lengkap
dengan

sanadnya

masing-smasing,

kemudian

manakala

diperlukan, dijelaskan kualitas uadis yang bersangkutan”.37
Keadaan ini berubah pada abad-abad berikutnya yang
disebabkan oleh berkurangnya itensitas kajian terhadap kitabkitab sumber aslinya. Ketika itu mereka mengalami kesulitan
mengetahui
mendapati

letak hadis pada kitab sumbernya, jika mereka
hadis-hadis

itu

dipergunakan

sebagai

argumen

penguat dalam disiplin ilmu-ilmu lain seperti tafsir, fqh, dan
sejarah. Dalam kitab-kitab itu, hadis-hadis Nabi dikutip tanpa
menyebutkan

37

sumber

pengambilanya.

Oleh

karena

itu

Mahmud al-Thahhan, ….op.cit: 32

34

bangkitlah kemudian para ulama untuk melakukan takhrij
terhadap kitab-kitab tersebut.
Para sejarawan Islam secara berjamaah menyepakati
bahwa usaha pelestarian dan pengembangan hadis terbagi
dalam dua periode besar yaitu periode mutaqaddimin dan
periode mutaakhirin. Periode mutaqaddimin dibagi lagi menjadi
beberapa

tahap/masa

yaitu,

masa

turunnya

wahyu,

masa

khulafaurrasyidin (12-40 H), masa sahabat kecil dan tabi’in (40
H – akhir abad I H), masa pembukuan hadis (awal-akhir abad II
H), masa pentashihan dan penyaringan hadis (awal-akhir abad
III,) sekitar pada masa yang terakhir inilah Imam Bukhari
menulis kitab yang terkenal dengan nama al-Jami’ al-Shahih (w.
256 H) disusul Imam Muslim (w.261 H).
Secara

singkat

takhrij

hadis

dapat

mengumpulkan

berbagai sanad dari sebuah hadis serta mengumpulkan berbagai
redaksi dari sebuah matan hadis.
Di dalam melakukan takhrij, ada lima metode yang dapat
dijadikan sebagai pedoman, yaitu;
a)

Takhrij Melalui Lafaz Pertama Matan Hadis

b)

Takhrij Melalui Kata-Kata dalam Matan Hadis

c)

Takhrij Berdasarkan Perawi Sahabat

d)

Takhrij Berdasarkan Tema Hadis

e)

Takhrij Berdasarkan Status Hadis

34

34

DAFTAR PUSTAKA

Abu Muhammad Abdul Mahdi bin Abdul Qadir bin Abdul Hadi,
Tuuruq Takurij Hadits Rasulillau SAW , Semarang:
Terjemahan, Dina Utama Semarang, 1994
Mahmud ath-Thahhan, Usuul at-sTakurij wa Dirasau al-sAsanid
yang cetakan kelimanya diterbitkan pada tahun 1983
Mifdhol Abdurrahman, Pengantar Studi Ilmu Hadis Oleu Syaiku
Manna’ Al-sQatutuan (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008)
Mudasir, H., Cet. 1, Ilmu Hadis, Bandung: Pustaka Setia, 1999
Munawwir, Ahmad Warson, Al-sMunawwir: Kamus Arab-s
Indonesia Terlengkap, Surabaya: Pustaka Progressif,
1997
Syuhudi Ismail, M., Metodelogi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta:
Bulan Bintang, 1972
Thahhan, Mahmud ath, Usuul at-sTakurij wa Dirasau al-sAsanid,
Riyadh: Maktabah al-Ma’a