Menggugat Profesionalisme Media Online d

Menggugat Profesionalisme Media Online di Indonesia Dalam Memberitakan
KonflikTimur Tengah

Ahmad Alwajih (12/342307/PSP/04592)
Abstract

Media plays important role in the middle east conflict, as an “eye” and “ears” for
international society, especially Indonesia. There are no excuses to online media format, merely
reported it as another media did. But, if we analyze deeply, news which is publicized by mostly
Indonesia online media, has been summarized from western news agencies, or well known as
The Big Four. The more often referred from Western news agencies, the inevitable ideological
tendencies appeared. Thus, biased reporting also the element which is hard to avoid. So, Is still
online media in Indonesia could be said in term professional journalism? Is this a new
epistemology in line with the professional standards of journalism or declined it? Therefore, not
only the conflict news, entertainment news was also processed in the same way, through sums it
up. This article aims to reflect on the fact pieces of online media that related how online media
from multiple news sources with the relevant literature.
Keywords: Middle East Conflict, Online Media, Proffessional Journalism, News Agencies

Abstrak
Di tengah-tengah konflik Timur Tengah, media berperan sebagai mata dan telinga bagi

masyarakat internasional, khususnya di Indonesia. Tak terkecuali media berformat online yang
turut memberitakannya. Namun, jika dicermati, berita-berita yang dipublikasikan di media-media
online di Indonesia tersebut ternyata merangkum dari news agencies Barat yang dikenal dengan
istilah The Big Four. Semakin sering merujuk dari agensi berita Barat, kecenderungan ideologis
tak terelakkan. Dengan demikian, bias pemberitaan juga elemen yang sulit dihindari. Maka,
masihkah media-media online di Indonesia bisa dikatakan jurnalisme yang profesional? Apakah
epistemologi baru ini sejalan dengan standar profesionalisme jurnalistik ataukah justru
menegasikannya? Sebab, tidak hanya berita konflik, berita hiburan pun juga diproses dengan
cara yang sama, yaitu merangkum. Artikel ini bertujuan untuk merefleksikan kepingan fakta di
media online terkait bagaimana media online merangkum dari beberapa sumber berita dengan
literatur yang relevan.
Kata Kunci: Konflik Timur Tengah, Media Online, Jurnalisme Profesional, News Agencies

Pendahuluan
Konflik-konflik internasional yang terjadi di berbagai belahan dunia tentunya menjadi
topik di berbagai media, termasuk di Indonesia. Beberapa isu sentral yang kini disorot ialah
konflik berkepanjangan di Timur Tengah: perang saudara di Suriah, misalnya.
Pemerintah Suriah dituduh bertanggung jawab atas penggunaan senjata kimia oleh
Amerika Serikat dan sekutunya dengan membawa legitimasi draf resolusi PBB. Sebab, senjata
kimia tersebut diduga digunakan untuk memadamkan api pemberontakan dan telah memakan

korban ribuan pemberontak termasuk warga sipil. Akibatnya, ribuan warga Suriah terpaksa
mengungsi.1
Sebenarnya sudah santer terdengar kabar untuk mendamaikan Pemerintah Suriah dan
pihak oposisi agar menghentikan aksi saling serang, terutama untuk menghentikan penggunaan
senjata kimia. Memasuki bulan Oktober 2013, wacana ini bergema lagi. Presiden Suriah,
Bashara Al Assad, membantah bahwa pihaknya memiliki senjata kimia pemusnah massal.
Maka, di panggung PBB, Menteri Luar Negeri Suriah, Walid Al Muallem mengatakan,
Pemerintahan Suriah telah bersedia bekerja sama dengan tim investigasi PBB untuk menyelidiki
serangan 21 Agustus 2013 di pinggiran Damaskus yang menewaskan ratusan orang.2
Agar terkesan adil, suara dari pihak oposisi juga mendapatkan tempat. Menteri Luar
Negeri Rusia, Sergey Lavrov, melontarkan wacana yang memperbolehkan pihak oposisi Suriah
mengikuti konferensi perdamaian di Geneva, Swiss. Pihak oposisi Suriah datang dengan
kapasitasnya sebagai anggota konferensi, bukan teroris atau ekstremis. Meski demikian, Rusia
tetap melanjutkan investigasi terkait senjata kimia di Aleppo yang diduga basis persenjataan
pemusnah massal tersebut.3 Hingga kini, penyelesaian atas Suriah belum juga meredakan
pertempuran antara pemerintah setempat dan pihak oposisi.
Di tengah-tengah konflik inilah, jurnalisme media online turut serta menjadi “mata” dan
“telinga” bagi warga dunia. Terlebih dengan kehadiran teknologi informasi dan komunikasi yang
1


Berita dari BBC Indonesia, Sebanyak 5000 Orang Mengungsi Setiap Harinya, edisi 8 Februari 2013, Tanggal
akses 21 Oktober 2013, jam akses 6.32 WIB
2
Berita dilansir Tempo.co dari Al Jazeera, Di PBB, Suriah Tuding Oposisi Terima Senjata Kimia, edisi 1 Oktober
2013, Tanggal akses 3 Oktober 2013, jam akses 7.22 WIB
3
Berita dilansir Kompas.com dari Associated Press, Oposisi Suriah Boleh Ikut Konferensi Damai di Geneva, edisi 1
Oktober 2013, Tanggal akses 3 Oktober 2013, jam akses 8.00 WIB

semakin handal meng-cover situasi Suriah agar sampai ke audiens secara cepat dan aktual. Jika
kita membaca berita-berita di media online secara cermat, kita akan menyadari bahwa beritaberita itu tidak murni berdasarkan pelaporan obyektif jurnalis media itu sendiri, melainkan hasil
merangkum sebuah berita dari media lain. Sebut saja berita-berita dari Al Jazeera, Reuters, AFP,
dan sejenisnya. Beberapa media besar di Indonesia seperti kompas.com, tempo.co, dan detik.com
seringkali melakukan metode kerja ini, apalagi jika menyangkut wacana internasional yang
secara geografis jauh dari jangkauan.
Dari segi aturan tertulis, tentu saja metode kerja ini dibenarkan asal menyebut dengan
jelas media mana yang dirujuk. Selain itu, merangkum diperbolehkan jika subyek berita yang
harus dikonfirmasi tidak diketahui keberadaannya atau tidak dapat diwawancarai.4
Profesionalisme jurnalisme di sini dipertaruhkan: apakah sekedar menjadi perpanjangan
tangan media lain dengan mengalirkan informasi belaka, atau jangan-jangan di balik itu ada

proses panjang yang secara historis-ideologis ikut mempengaruhi legalnya metode jurnalisme
“rangkum” media-media online di Indonesia? Artikel ini mencoba merefleksikan antara
kepingan fakta seputar konflik Timur Tengah yang diberitakan oleh media online di Indonesia
dengan berbagai literatur relevan untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Media Online “Merangkum” Berita
Semasa Perang Dunia II, sebelum praktik jurnalisme memanfaatkan media online dan
beberapa piranti pendukungnya, seorang jurnalis akan terjun langsung ke garis depan peperangan
atau area konflik. Melalui mata kepalanya, ia bercerita bagaimana situasi konflik yang tengah
dihadapinya berikut mara bahayanya. Cerita-cerita itu sangat “hidup” dan memukau para
pembaca, sehingga si jurnalis dan media tempatnya bernaung akan dibaca banyak orang.
Memasuki abad 19, pola ini berubah. Jurnalis tidak harus turun langsung ke medan pertempuran
untuk meliput berita karena sumber berita bisa diperoleh dari berita kawat, surat-surat para

4

Lihat pasal-pasal dalam Pedoman Pemberitaan Media Siber yang wajib dicantumkan di tiap situs media online
Indonesia.

prajurit, saksi mata yang selamat, dan masih banyak cara lainnya. Pendek kata, kemajuan

teknologi informasi dan komunikasi mengubah pola peliputan, sampai hasil liputannya.5
Sayangnya, kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi tidak selalu berbanding
lurus dengan kualitas isi berita. Mantan Presiden Direktur St. Petersburg Times, Robert J.
Haiman pernah mengatakan, konvergensi media berakibat fatal bagi jurnalisme. Bagi Haiman,
perubahan format media seharusnya lahir dari jurnalisme yang bermutu, dan jurnalis yang baik
akan mempertahankannya. Namun, tren konvergensi media yang ada saat ini bukannya
memperbaiki kualitas jurnalisme (terutama di sisi konten), konvergensi media malah
merusaknya. “Konvergensi ialah musuh bagi jurnalisme,”kata Haiman.6
Argumen Haiman tentu tidak sepenuhnya salah. Terbitan online sejatinya adalah salah
satu upaya jurnalisme untuk menghadapi tantangan-tantangan yang harus dihadapi industri
media di abad 21, yakni persoalan finansial, kredibilitas lembaga, kualitas produk jurnalistik, dan
perkembangan media baru. Seringkali jurnalisme dikalahkan oleh tantangan-tantangan ini.7
Sejalan dengan tuntutan kredibilitas lembaga, konten berita justru mengalami
kemerosotan. Jurnalisme online bekerja berdasarkan prinsip seaktual mungkin dengan kemasan
berita seadanya. Mencari berita pun akhirnya sekedar rutinitas menemukan fakta, merangkai
fakta pendukung, mengutip sumber berita untuk memperkuat cerita, dan menyusun elemenelemen berita ke dalam liputannya, tanpa mempedulikan “kedalaman” cerita. Alhasil, berita
begitu saja disajikan tanpa menimbang sisi menarik, berharga untuk diketahui, atau bahkan
membosankan.8
Jika itu berita seputar konflik, bukan mustahil cerita lebih terasa seperti “rangkuman”
atas kumpulan reportase media lainnya. Bahkan di media sekaliber kompas.com dan detik.com

pun melakukan hal serupa.
Pada edisi 23 Oktober 2013, kompas.com memuat berita mengenai serangan mematikan
yang terjadi di kota Rutba, yang berjarak 110 kilometer dari perbatasan Suriah. Dalam serangan
5

Lihat Karin Wahl Jorgensen dan Thomas Hanitszh,2009,The Handbook of Journalism Studies,London: Routledge
Robert J.Haiman dalam Edgar Huang, Facing Challenges of Convergence,The International Journal of Research
into New Media Technologies Vol.12 (1) 2006, hlm 86, London:Sage Publications
7
Mahfud Anshori, Jurnalistik Media Online Indonesia: Analisis Framing Tiga Portal Berita Online di
Indonesia,Jurnal Komunikasi Universitas Islam Indonesia, Vol.5,No.2,April 2011,hlm.129-131.
8
Ibid, hlm.130

6

terkoordinasi di beberapa area, diketahui puluhan polisi dan belasan warga setempat tewas akibat
bom bunuh diri dan tembakan kelompok bersenjata. Di akhir tulisan, kompas.com menyebutkan
sumber berita ini diperoleh dari breaking news kantor berita AFP yang berjudul “Suicide
Bombers, Gunmen Kill 28 in Iraq.”9 Kompas.com menambahkan fakta lain terkait hal ini dan


judul berita asli diubah menjadi “Serangan Terkoordinasi di Provinsi Anbar, 25 Polisi Tewas.”10
Sama-sama merujuk ke AFP, detik.com menuliskan lead peristiwa di atas dengan kalimat
yang heboh: “Lagi-lagi! Para pengebom bunuh diri dan pria-pria bersenjata melancarkan
serangan beruntun di Irak. Akibatnya 25 polisi dan 3 warga sipil tewas.”11

Penyusunan laporan tersebut terkadang hasil campur-aduk dengan foto-foto berita.
Laporan tertulis diperoleh dari Al-Jazeera atau Al-Arabiyya, sementara foto berita dari AP atau
AFP. Pola ini bisa dibolak-balik sesuai dengan kebutuhan redaksional. Misalnya, berita yang
diturunkan tempo.co pada tanggal 23 September 2013 berjudul “Suriah Tolak Tuduhan
Penggunaan Senjata Kimia,” nampak foto berita menggunakan gambar Presiden Bashara Al
Assad dari kantor berita AP, sedangkan sumber laporan tertulisnya dari Al Arabiyya.12
Lebih hebat lagi adalah bagaimana membuat cerita itu seakan-akan ditulis berdasarkan
laporan pandangan mata. Contohnya ketika helikopter Suriah ditembak jatuh oleh Turki.
Captions di bawah foto tertulis: asap terlihat dari perbatasan Suriah setelah pesawat tempur
Turki menembak jatuh helikopter milik Suriah di perbatasan Turki-Suriah dekat Halay, Turki.

Tidak hanya captions, tetapi diikuti oleh laporan tertulis yang naratif. Jika berita bukan hasil
laporan sendiri, bagaimana mungkin membuat keterangan foto bisa sedetail itu?13
Detik.com nampaknya ahli dalam mendramatisir pemberitaan Suriah. Lagi-lagi judul

berita dibuat fantastis untuk memberikan keterangan mengenai Sarin, yang diduga senjata kimia
Suriah: Sarin, Senjata Kimia Mematikan Perusak Saraf yang Legendaris.14 Bukannya
9

Suicide Bombers, Gunmen Kill 28 in Iraq, dipublikasikan di situs AFP.com,edisi 23 Oktober 2013.
Serangan Terkoordinasi di Provinsi Anbar, 25 Polisi Tewas, dilansir kompas.com edisi 23 Oktober 2013 dari
afp.com di tanggal yang sama
11
Serangan Beruntun di Irak Tewaskan 25 Polisi dan 3 Warga Sipil, dilansir detik.com edisi 23 Oktober 2013 dari
afp.com di tanggal yang sama
12
Suriah Tolak Tuduhan Penggunaan Senjata Kimia, dilansir tempo.co edisi 23 September 2013 dari Al Arabiyya
dan foto berita dari Associated Press,
13
Turki Tembak Jatuh Helikopter Suriah, tempo.co edisi Selasa, 17 September 2013, dilansir dari Al Jazeera,
sumber foto Associated Press
14
Sarin, Senjata Kimia Perusak Saraf yang Legendaris, dilansir detik.com edisi 13/12/2012

10


mengkonfirmasi ke para pakar atau referensi ilmiah, acuan detik.com justru dari berbagai situs
berita dan sejarah penggunaannya sebagai senjata kimia.
Meminjam teori Peter L.Berger dan Thomas Luckmann, bahwa realita yang kita hadapi
sesungguhnya ialah kumpulan pengetahuan hasil konstruksi sosial.15 Mengikuti teori ini,
tentunya produk berita seperti penggalan fakta di atas juga merupakan hasil konstruksi media,
dimana media sendiri sebagai agen konstruksi, yakni menggabungkan fakta dari sana-sini
menjadi satu cerita utuh.16 Namun, jurnalisme media online tidak sekedar mengkonstruksi
realitas, tetapi sudah berbuat sedemikian jauh.
Sementara sumber-sumber yang banyak dikutip adalah “The Big Four ” News Agencies,
yaitu AFP, Associated Press, Reuters, dan UPI. Keempatnya menjamin, berita yang mereka
distribusikan untuk dipublikasikan ulang di berbagai media negara lain bebas dari bias dan
bertujuan “menegakkan” doktrin “free flow of informations” yang didukung PBB setelah Perang
Dunia II. Padahal, keempat agen berita besar ini juga tidak luput dari bias barat (westernism).
Seandainya bersih sama sekali dari ideologi barat, tentunya negara-negara komunis pada masa
itu tidak akan mencegah keempatnya merasuki media-media mereka.17
Di sisi lain, media-media online di Indonesia nampaknya meyakini kebenaran berita dari
news agencies itu. Terbukti dengan apa yang dilakukan kompas.com dan detik.com seperti

berita-berita dalam paragraf sebelumnya. Tidak sebatas menerima begitu saja (taken for

granted), tetapi mereka juga melakukan konstruksi atas konstruksi realitas yang dilakukan news
agencies. Artinya, fakta mengalami konstruksi dua kali. Bila fakta dikonstruksi berkali-kali,

masihkah itu layak dinilai sebagai sebuah “berita”? Lebih lanjut, kita bisa mempertanyakan,
tugas jurnalisme ialah mencari kebenaran, maka, kebenaran yang bagaimana yang dicari
jurnalisme dengan metode kerja seperti ini, selain menjadi perpanjangan tangan ideologi barat.
Bila kesimpulan ini terlalu simplisistis, maka butuh jejak-jejak historis yang akan
menghubungkan relasi antara kecenderungan ideologi dengan ketergantungan terhadap sumber
berita.
15

Lihat Peter L.Berger dan Thomas Luckmann,1996,The Social Construction of Reality,London:Penguin Books,
hlm.13
16
Eriyanto,2012,Analisis Framing,Yogyakarta: LKiS,hlm.15
17
Oliver Boyd dan Terhi Rantanen, 2004, McQuail’s Reader In Mass Communication Theory,London: Sage
Publications, hlm.217-218

Dominasi News Agencies

Selama peperangan Anglo-Zulu di Afrika Selatan di tahun 1899-1902, hampir seluruh
pemberitaan koran-koran di Inggris mengacu pada Reuters. Sementara di New Zealand, United
Press Association (UPA) menyediakan berbagai berita yang disalin dari beberapa surat kabar

Afrika Selatan seperti Cape Argus dan Cape Times. Jadi, tugas UPA mengelola dan
menghubungkan berita-berita dari koran-koran Afrika Selatan ke daratan Inggris. Uniknya,
selain mengolah informasi dari koran-koran Afrika Selatan, UPA juga menggabungkannya
dengan berita yang diperoleh dari Reuters. Padahal, apa yang dilakukan Reuters lebih dari
sekedar mendistribusikan berita. Posisi Reuters saat itu sekaligus sebagai pendukung supremasi
kerajaan Inggris atas berbagai koloni-koloninya dengan menempatkan kepentingan imperium di
atas hasil penjualan beritanya.18
Pola ini berkembang ketika teknologi pemberitaan semakin maju. Ketika Perang Dunia II
berlangsung, pihak Amerika dan sekutu menggunakan kanal-kanalnya seperti Associated Press,
Reuters, United Press, serta berbagai agensi berita miliknya untuk menyebarkan propaganda
terhadap negara-negara lain. Amerika dan sekutu sadar, selain kekuatan militer, kekuatan Blok
Timur Uni Soviet sukar dilawan kecuali mengandalkan informasi yang kuat dan berpengaruh
besar. Oleh karenanya, Amerika dan sekutu menekan berbagai media di dunia (terutama negara
koloni) untuk mengalirkan informasi hanya dari news agencies mereka, dan jangan sampai
berkiblat ke Uni Soviet.19
Memasuki abad ke 20 pasca Perang Dunia II, isu free flow of information yang digulirkan
news agencies dengan segera muncul sebagai doktrin jurnalisme yang diadopsi berbagai media

di seluruh dunia. Terlebih PBB merespon isu ini dengan sambutan positif. Free flow of
information memegang teguh prinsip: “no barriers should prevent the flow of information among
nations”. Kalimat ini mengandung arti yang mendalam bagi hak asasi manusia dan kebebasan

jurnalisme untuk mandiri dari berbagai kooptasi.20

18

Simon J Potter, 2007, Web, Networks, and Systems: Globalization and The Mass Media in The Nineteenth and
Twentieth Century British Empire, Journal of British Studies Vol.46 No.3, London: Cambridge University Press,
hlm.636
19
Altaf Gauhar, 1979, Free Flow of Information: Myths and Shibboltes, Thirld World Quarterly Vol.1 No.3, hlm.56
20
Ibid,hlm.53

Kebebasan ini diwujudkan oleh Associated Press dan United Press dengan keluar dari
segala bentuk cengkeraman Pemerintah Amerika Serikat setelah disubsidi sekian lama dan
menjadi alat propaganda. Associated Press memutuskan sebagai agensi berita independen pada
tanggal 4 Januari 1946, disusul kemudian oleh UP tanggal 16 Februari di tahun yang sama. Baik
AP maupun UP sama-sama berkomitmen terhadap kebebasan akses terhadap berita dan
mengalirkannya ke seluruh penjuru dunia. Gelombang informasi bebas akhirnya ikut melanda
Reuters di Inggris dan berbagai agensi berita negara lainnya yang pernah berperan dalam
propagandis selama masa peperangan.21
Kisah kebebasan tersebut rupanya diikuti oleh kesuksesan finansial. Studi yang dilakukan
oleh Stephen Shmanske di tahun 1985 mengungkapkan, setelah secara resmi independen,
Associated Press bahkan berani menyatakan dirinya agensi berita non profit. Semua informasi
dari Associated Press boleh dikutip siapa saja dengan cuma-cuma. Sama-sama mendistribusikan
berita dengan UPI, misalnya, AP justru meraup keuntungan yang bahkan lebih besar. Bila mediamedia lain membayar ke UPI untuk berita, AP tidak menarik biaya. Kalaupun ada biaya yang
harus dikeluarkan, keuntungannya dibagi dengan media yang “membeli” berita tersebut. Ketika
itu, nilai penjualan berita AP mencapai 14.000 dollar per pekan, suatu prestasi yang belum
pernah diraup agensi berita lainnya.22
Keuntungan yang diraih agensi berita seperti AP bukan sekedar dari “setoran” mediamedia nasional di barat belaka. Melainkan juga dari penetrasi besar-besaran news agencies ke
seluruh negara di dunia, khususnya negara berkembang. Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Berverly Horvit di tahun 2005 mengenai penetrasi news agencies sangat mengejutkan.
Sampai tahun 2005, Associated Press merajai tatanan komunikasi dunia dengan
memiliki 3700 personil yang tersebar di 242 biro di seluruh dunia, melayani kebutuhan informasi
121 negara, termasuk 1700 koran di Amerika dan 8500 pelanggan internasional. AFP mengklaim
2000 personil di seluruh belahan dunia termasuk para jurnalis yang bekerja di 165 negara.

21

Burton Paulu, 1951, The Voice of America and Wire Service News, The Quarterly of Film Radio and Television
Vol.6 No.1, University of California Press, hlm.30-31
22
Stephen Shmanske, 1986, News as Public Good: Cooperative Ownership, Price Commitments, and The Success
of Associated Press, The Bussinness History Review Vol.60 No.1, The Presidents and Fellows of Harvard College,
hlm 55 dan 79

Sementara agensi berita Inggris, Reuters, diawaki oleh 2300 staf editorial yang bekerja di 196
negara di seluruh dunia.23
Akibatnya, bukan tidak mungkin terjadinya bias pemberitaan karena sumber berita,
khususnya peristiwa internasional, berasal dari satu kanal yang menyebar ke seluruh dunia.
Misalnya dalam berita seputar konflik Timur Tengah yang menjadi lingkup artikel ini, bias Barat
mencapai puncaknya pasca kejadian 9/11 yang meruntuhkan gedung World Trade Center
Amerika Serikat. Sejak saat itu, berita-berita dari news agencies mengalami pergeseran dalam
penggunaan bahasa menjadi lebih emosional, seperti pemakaian kata terrorist/terrorism/terror
atau guerilla bagi sekelompok pejuang kebebasan yang notabene dari Timur Tengah. Pemilihan
kosa kata dan gaya bahasa tersebut menyebabkan memanasnya sentimen politik bahkan sampai
tingkat personal di kalangan pembaca.24
Di samping itu, negara-negara berkembang (termasuk Indonesia) membutuhkan suatu
keyakinan untuk sejajar dengan negara-negara maju setelah lepas dari penjajahan, tak terkecuali
di ranah informasi. Adanya relasi ini semakin memudahkan news agencies untuk “menguasai”
negara-negara berkembang melalui berbagai materi informasi: kultur, hiburan, ekonomi, dan
sebagainya.25
Indonesia sebagai negara demokratis yang sedang berkembang, memiliki undang-undang
jaminan kebebasan untuk mencari, mengolah, dan mendistribusikan informasi bagi warganya,
terutama para awak media dan dunia siber. Selaras dengan asas free flow of information,
tentunya media juga berhak untuk mengutip (bahkan merangkum?) dari sumber berita manapun.
Namun ada satu lagi fakta menarik, kalaupun jurnalisme rangkum itu memang dilindungi
undang-undang, mengapa selalu merujuk pada the big four ? Padahal, news agencies Asia juga
ada, Xin Hua misalnya yang bermarkas di China, atau ITARR-TASS milik Rusia?
Jawaban pertanyaan di atas bisa diasumsikan sebagai berikut. Ideologi sosialismekomunis XinHua dan ITARR-TASS bertolak belakang dengan The Big Four yang jelas
23

Sumber data dari Berverly Horvit, 2006, International News Agencies and The War Debate of 2003, International
Communication Gazette, London: Sage Publications, hlm.430
24
Michael Palmer, 2011, Press on The Appropriate Button in The Reader’s Mind: News Agencies Cover Teorrism,
Global Media Communication, London: Sage Publications, hlm. 257
25
K.Nageswar, 1989, Political and Economic Dimensions of The Global Information Imbalance, Social Scientist
Vol.17 No.11

mencerminkan liberalisme. Sosialisme-komunis relatif tidak memberi keuntungan sebesar
pencapaian The Big Four di pasar informasi karena peran negara lebih dominan daripada sistem
media bersangkutan. Sementara berideologi liberalisme menjanjikan sikap obyektif dan standar
profesional yang dianut mayoritas negara maju untuk kepentingan tatanan ekonomi global.
Meskipun bias, tetapi media bercorak liberal akan jauh diminati daripada model partisan atau
propaganda.
Kehadiran media online di tengah riuhnya lalu lintas informasi akhirnya menjembatani
kepentingan bisnis di samping yang ideologis. Penetrasi berita-berita dari news agencies akan
semakin tak terbendung dan mengukuhkan dominasi mereka. Kecenderungan ideologis media
online akhirnya tidak bisa dihindari karena kuatnya pengaruh para agensi berita, sehingga

berdampak cukup serius terhadap isu profesionalisme jurnalistik yang nampaknya perlu dikaji
sekali lagi.

Profesionalisme Media Online Dalam Melansir Berita Konflik
Anthony Collings, dalam bukunya berjudul “Capturing The News: Three Decades of
Reporting Crisis and Conflict” menulis, banyak perubahan yang dialami jurnalisme sejak ia

bekerja sebagai jurnalis di daerah konflik Timur Tengah pada tahun 1981 hingga kini. Hal-hal
yang membuatnya senang adalah ketika menyadari banyak profesional di bidang ini. Akan tetapi,
ia menulis dengan nada muram tentang “kematian” media cetak dan liarnya perkembangan
media online.26
Bukan semata sentimen terhadap adanya konvergensi, tetapi ia mengeluhkan persoalan
kerja profesional jurnalisme dalam meliput zona konflik. Menurutnya, pola pelaporan jurnalisme
media online saat ini adalah upaya institusi berita untuk menghemat biaya yang tidak perlu
dilakukan, dengan memperbanyak volume penggunaan tak berbayar

alias gratis, hingga

penugasan jurnalis-jurnalis amatiran (merangkap perangkum berita) menggantikan jurnalis
profesional.27

26

Anthony Collings,2010, Capturing The News: Three Decades of Reporting Crisis and Conflict , Missouri Press
,hlm 174.
27
Ibid, hlm. 174

Berkaitan dengan persoalan ini, setidaknya kita bisa menduga beberapa hal. Pertama,
merangkum sumber berita dari media lainnya andai berbayar sekalipun, tetap saja
pengeluarannya lebih minim daripada menerjunkan jurnalis ke zona konflik. Kedua , dari segi
keamanan, jurnalis tak harus mempertaruhkan nyawa ke zona konflik. Ketiga, kesalahan
pengutipan berita bisa selekasnya diverifikasi dengan mempublikasikan berita yang benar.
Dewasa ini, tidak hanya berita konflik di Timur Tengah, hampir semua berita tentang
sepak bola sampai kisah selebriti papan atas di Korea atau Hollywood yang digandrungi para
remaja, juga disajikan oleh media online di Indonesia dengan cara mengutip sumber asing.
Lantas, apa bedanya teknik jurnalisme konflik dengan produk infotainment bila sama-sama
mengandalkan media lain sebagai sumber berita?
Refleksi dari Collings menandakan adanya persoalan “cukup serius” dalam epistemologi
peliputan konflik. Perbedaan cara bercerita saja antara peristiwa konflik internasional dan produk
hiburan tidak akan cukup jelas untuk membedakan epistemologi keduanya sebagai indikator
profesionalisme kerja jurnalisme di media online.
Konsep profesionalisme memang sangat subyektif dan masih diperdebatkan. Tak
terkecuali bagi jurnalisme. Tipisnya cara kerja jurnalisme dalam meliput berita konflik yang
sudah kabur batasannya dengan produk hiburan itu termasuk kategori profesional atau tidak,
Daniel C.Hallin dan Paolo Mancini menyarankan untuk memahami kembali secara praktis.
Makna profesional itu sendiri bisa dipahami sebagai seseorang yang memiliki
pengetahuan sistematis dan diperoleh melalui panjangnya jam terbang pelatihan khusus. Tidak
seperti profesi dokter atau pengacara, jurnalisme tidak terpaku pada kategori formal tertentu.
Menurut Hallin dan Mancini, penilaian atas profesionalisme kerja jurnalistik setidaknya dilihat
dari tiga dimensi: (1) otonom (autonomy) mulai dari tingkat organisasi hingga praktik seorang
jurnalis saat memproduksi konten media, (2) memiliki norma-norma profesi (proffession norms)
yang meliputi kode etik, cara hidup, hingga kesadaran diri akan identitasnya sebagai seorang
profesional, (3) elemen terpenting dalam hal ini ialah berorientasi pada kepentingan publik

(public service orientation). Di samping itu, Hallin dan Mancini menyertakan kontrol atas media
dari luar dirinya, yaitu partai politik, kelompok-kelompok atau gerakan sosial.28
Sementara makna profesional jika dilihat dari segi konten berita berarti obyektifitas
dalam kebenaran berita itu sendiri. Dennis McQuail mengemukakan, berita dikatakan obyektif
jika memenuhi beberapa hal: (1) Laporan tersebut mempunyai tingkat faktualitas yang tinggi; (2)
Pembedaan yang jelas antara fakta dan interpretasi jurnalis; (3) Menyebutkan sumber-sumber
informasi yang dapat dipercaya; (4) Berita harus tepat waktu dengan menyajikan versi terbaru;
(5) Menyajikan berita secara netral, terlebih dalam situasi konflik. Menurut karakteristik ini,
obyektifitas dalam pemberitaan berarti mengesampingkan bias personal, kepentingan pribadi,
dan orientasi iklan belaka.29
Nampaknya konsep umum tentang jurnalisme profesional yang ada sudah tidak berdaya
menghadapi format new media. Kekaburan batasan antara proses penyusunan berita konflik
internasional dan produk hiburan membutuhkan reartikulasi baru apabila jurnalisme
menginginkan pembatasan konsep yang tegas dan ingin membedakan diri dari infotainment
misalnya. Selain mengikuti kaidah-kaidah lama yang nyata-nyata kontradiktif dengan praktik
jurnalisme saat ini, jurnalisme media online ternyata belum memiliki epistemologi yang cukup
kuat terkait persoalan dalam tulisan ini.

Penutup
Melalui refleksi di atas, penulis menarik beberapa kesimpulan mendasar. Pertama, bukan
persoalan boleh atau tidaknya mengutip dari sumber berita lainnya, melainkan kita harus jujur
mengatakan, bahwa fakta yang ada di media online terkait konflik Timur Tengah telah
mengalami konstruksi berkali-kali. Sayangnya, jurnalis terkadang menerima realita ini sebagai
metode yang lumrah di kalangan jurnalisme, tanpa mau merumuskan sendiri epistemologi
pemberitaan konflik yang sesuai dengan format new media.

28

Daniel C.Hallin dan Paolo Mancini,2004,Comparing Media Systems: Three Models of Media and Politics, New
York: Cambrigde Universtiy Press
29
Dennis McQuail dalam Puji Rianto,Kegagalan Jurnalisme Profesional dan Kemunculan Jurnalisme Publik, Jurnal
Komunikasi UII Vol.1 No.2, April, 2007

Kedua, dominasi news agencies atau agensi berita juga patut diperhitungkan. Sebab,

sejarah membuktikan kuatnya penetrasi informasi mereka sekaligus janji-janji manis dalam hal
keuntungan materi. Kebebasan arus informasi ternyata berbanding lurus dengan kebebasan
ekonomi (liberalisme) karena berpihak pada ekonomi pasar bebas, sehingga bisa diasumsikan
news agencies dari Barat lebih dominan dibanding news agencies milik Rusia atau China.

Semakin sering media-media online merujuk ke sumber berita yang beraliran liberalisme
tersebut, dampaknya juga terasa sampai pemberitaan yang bias.
Ketiga, ternyata tidak melulu berita konflik, berita-berita lain seperti hiburan juga

dipublikasikan melalui teknik serupa. Maka, epistemologi pemberitaan konflik di media online
menjadi kabur dengan berita lain yang sifatnya hiburan belaka.
Merumuskan solusi bagi persoalan di atas mungkin tidak cukup terjawab dalam tulisan
ini. Namun, kita bisa menengok berbagai peristiwa yang membentuk cara kerja jurnalisme.
Barangkali sama halnya dengan Joseph Pulitzer yang membangun cara kerja jurnalisme
sensasional bermotifkan materi, tiap teknik peliputan berita konflik media onlise bisa juga lahir
dari dorongan normatif.
Bill Kovach dalam bukunya Sembilan Elemen Jurnalisme mencontohkan ilustrasi
menarik: Katakanlah, siapa saja saat ini bisa mengatasnamakan dirinya jurnalis dengan berbekal
koneksi internet dan komputer. Cukup menelusuri situs berita dan rangkum, lalu publikasikan,
dan selesai. Lain persoalan dengan produk hiburan, kini beranjak apa bedanya kinerja jurnalisme
dengan orang biasa, jika semua bisa melakukan kerja jurnalisme “lansir” seperti ini? Perbedaan
mendasar adalah, jurnalisme berorientasi pada kebenaran. Selain itu, kemajuan teknologi
seharusnya mendorong jurnalisme memenuhi fungsi ini.30Bill Kovach hanya mencoba
mengingatkan, konvergensi media tidak berarti mengubah segalanya. Format boleh saja berubah,
tetapi nilai-nilai moralitas jurnalisme harus tetap dipegang teguh, terlebih jika berita itu memuat
konflik yang sangat sensitif.
Di samping itu, banyak asumsi-asumsi kritis yang perlu ditelusuri melalui penelitian lebih
jauh. Sebab, artikel ini disusun berdasarkan refleksi fakta dengan keterbatasan beberapa literatur
ilmiah sejauh yang bisa terakses saja tanpa melewati suatu disiplin metodologis.
30

Bill Kovach dan Tim Rosenstiel, 2006,Sembilan Elemen Jurnalisme, Jakarta: Yayasan Pantau,hlm.20-21

Referensi
Anshori, Mahfud.Jurnalistik Media Online Indonesia: Analisis Framing Tiga Portal Berita
Online di Indonesia,Jurnal Komunikasi Universitas Islam Indonesia, Vol.5,No.2,April 2011
Berger, Peter L.Berger dan
Reality,London:Penguin Books

Thomas

Luckmann,1996,The

Social

Construction

of

Boyd, Oliver dan Terhi Rantanen, 2004, McQuail’s Reader In Mass Communication
Theory,London: Sage Publications,
Collings, Anthony.2010.Capturing The News: Three Decades of Reporting Crisis and Conflict .
Missouri Press
Eriyanto,2012,Analisis Framing,Yogyakarta: LKiS
Gauhar ,Altaf.1979.Free Flow of Information: Myths and Shibboltes, Thirld World Quarterly
Vol.1 No.3
Hallin, Daniel C dan Paolo Mancini,2004,Comparing Media Systems: Three Models of Media
and Politics.New York: Cambrigde Universtiy Press
Horvit,Berverly. 2006. International News Agencies and The War Debate of 2003, International
Communication Gazette, London: Sage Publications
Huang, Edgar.Facing Challenges of Convergence.The International Journal of Research into
New Media Technologies Vol.12 (1) 2006.London:Sage Publications
Jorgensen, Karin Wahl
Studies,London: Routledge

dan

Thomas

Hanitszh.2009.The

Handbook

of

Journalism

Kovach, Bill dan Tim Rosenstiel, 2006,Sembilan Elemen Jurnalisme, Jakarta: Yayasan Pantau
Nageswar, K.1989.Political and Economic Dimensions of The Global Information Imbalance.
Social Scientist Vol.17 No.11
Rianto, Puji,Kegagalan Jurnalisme Profesional dan Kemunculan Jurnalisme Publik,Jurnal
Komunikasi UII Vol.1 No.2, April, 2007
Palmer, Michael.2011.Press on The Appropriate Button in The Reader’s Mind: News Agencies
Cover Teorrism, Global Media Communication, London: Sage Publications
Paulu,Burton.1951, The Voice of America and Wire Service News.The Quarterly of Film Radio
and Television Vol.6 No.1, University of California Press
Potter, Simon J. 2007.Web, Networks, and Systems: Globalization and The Mass Media in The
Nineteenth and Twentieth Century British Empire, Journal of British Studies Vol.46 No.3,
London: Cambridge University Press

Shmanske, Stephen.1986. News as Public Good: Cooperative Ownership, Price Commitments,
and The Success of Associated Press.The Bussinness History Review Vol.60 No.1, The
Presidents and Fellows of Harvard College

Sumber Online
Sebanyak 5000 Orang Mengungsi Setiap Harinya, edisi 8 Februari 2013, BBC Indonesia
Tanggal akses 21 Oktober 2013, jam akses 6.32 WIB

Berita dilansir Tempo.co dari Al Jazeera, Di PBB, Suriah Tuding Oposisi Terima Senjata
Kimia,Tempo.co edisi 1 Oktober 2013, Tanggal akses 21 Oktober 2013, jam akses 7.22 WIB
Oposisi Suriah Boleh Ikut Konferensi Damai di Geneva, Kompas.com edisi 1 Oktober 2013,
Tanggal akses 21 Oktober 2013, jam akses 8.00 WIB
Sarin, Senjata Kimia Mematikan Perusak Saraf yang Legendaris,detik.com edisi 12/13/2012,
Tanggal akses 21 Oktober 2013, jam akses 8.00 WIB
Suicide Bombers, Gunmen Kill 28 in Iraq, dipublikasikan di situs AFP.com,edisi 23 Oktober
2013. Tanggal akses 21 Oktober 2013, jam akses 8.00 WIB
Serangan Terkoordinasi di Provinsi Anbar, 25 Polisi Tewas, dilansir kompas.com edisi 23
Oktober 2013 dari afp.com di tanggal yang sama. Tanggal akses 21 Oktober 2013, jam akses
8.00 WIB
Serangan Beruntun di Irak Tewaskan 25 Polisi dan 3 Warga Sipil, dilansir detik.com edisi 23
Oktober 2013 dari afp.com di tanggal yang sama. Tanggal akses 21 Oktober 2013, jam akses
8.00 WIB
Suriah Tolak Tuduhan Senjata Kimia, dilansir tempo.co edisi 23 September 2013. Tanggal akses
21 Oktober 2013, jam akses 8.00 WIB.