PENERAPAN PRINSIP HUKUM ADMINISTRASI LIN
PENERAPAN PRINSIP HUKUM ADMINISTRASI LINGKUNGAN DALAM
PENGELOLAAN RUANG TERBUKA HIJAU
(STUDI KASUS PADA KOTA SURABAYA)
Untuk Memenuhi Tugas Kebijakan Lingkungan Yang Dibina Oleh Bapak Mochmmad
Rozikin,Drs.,M.AP
OLEH :
Livia Armilliana
(125030100111094)
Kelas:
FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI
JURUSAN ADMINISTRASI PUBLIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Permasalahan yang muncul akhir-akhir ini mengenai lingkungan adalah
kurangnya penerapan ruang terbuka hijau di suatu perkotaan. Ruang terbuka hijau
merupakan salah satu elemen penting dalam suatu kota. Ruang terbuka hijau berfungsi
untuk menyeimbangakn keadaan ekologi pada suatu kawasan agar terjadi keseimbangan
antara ekosistem dan perkembangan pembangunan di era modern. Kota mempunyai luas
lahan terbatas,permintaan akan pemanfaatan lahan kota yang terus berkembang untuk
pembangunan berbagai fasilitas perkotaan baik pemukiman , industry dan pertumbuhan
jalur transportasi yang perlahan akan menyita lahan-lahan atau ruang terbuka lainnya di
wilayah perkotaan.
Masalah perkotaan pada saat ini telah menjadi masalah yang cukup sulit untuk
diatasi. Perkembangan pembangunan perkotaan selain mempunyai dampak positif bagi
kesejahteraan warga juga menimbulkan dampak negatif pada beberapa aspek termasuk
aspek lingkungan. Pada mulanya,sebagian besar lahan kota merupakan ruang terbuka
hijau. Namun adanya peningkatan kebutuhan ruang untuk menampung penduduk dan
aktiivitasnya,ruang terbuka hijau tersebut cenderung mengalami alih fungsi lahan
menjadi ruang terbangun. Pertumbuhan penduduk dengan aktivitas yang tinggi di
kawasan perkotaan berdampak pada perubahan cirri khas sebuah kota, baik berupa
fisik,sosial, dan budaya.
Realisasi konsep penataan ruang yang dituangkan dalam Raperda RTRWP Jawa
Timur Tahun 2005-2020, sebagai perwujudan konsep penataan ruang kota dalam
mencapai tujuan perkembangan berkelanjutan dibidang lingkungan,adalah dengan
menyediakan Ruang Terbuka Hijau yang akan dikenal dengan RTH. Yang dimaksud
dengan RTH yaitu Kawasan –Kawasan hijau dalam bentuk taman-taman kota,hutan
kita,jalur-jalur hijau di tepi atau ditengah jalan,bantaran tepi sungai atau tepi jalur
kereta,halaman setiap bangunan dari semua fungsi yang termasuk dalam Garis Sempadan
bangunan dan Koefisien Dasar Bangunan. Tujuan pembentukan RTH diperkotaan adalah
untuk meningkatkan mutu lingkungan perkotaan yang nyaman,segar,indah,bersih dan
sebagai sarana pengaman lingkungan perkotaan serta menciptakan keserasian lingkungan
alam dan lingkungan binaan yang berguna bagi masyarakat yang tinggal. RTH
diharapkan dapat mewujudkan tata lingkungan yang serasi antara sumber daya alam
,sumber daya buatan,sumber daya manusia bagi kualitas hidup penduduk kota. Di Jawa
Timur ,RTH bagi perkotaan,yang diterapkan pada RTRWP Jawa Timur Tahun 20052020 ,minimal 20% dari luas kota,dimana 10% berupa hutan kota.
Kota Surabaya merupakan ibu kota Propinsi Jawa Timur, Indoinesia dan kota
metropolitan kedua setelah Jakarta. Kota pahlawan ini mengalami perkembangan pesat
terutama di daderah Surabaya Barat dan Surabaya Timur. Hal ini terjadi karena kemajuan
Kota Surabaya terutama dalam bidang ekonomi yang menjadi dayat tarik sendiri bagi
masyarakat sekitarnya. Akibatnya jumlah penduduk yang tinggal di Kota Surabaya
semakin meningkat dari tahun ke tahun. Kondisi ini berpengaruh terhadap meningkatnya
kebutuhan penduduk akan hunian,perkantoran,sarana dan prasarana transportasi,serta
fasilitas publik lainnya. Sehingga mengakibatkan perubahan peruntukan lahan yang
semakin signifikan ditunjukkaan dengan berkurangnya kawasan Ruang Terbuka Hijau
(RTH) / Green openspaces. Oleh karena itu penulis akan membahas mengenai penerapan
prinsip hukum administrasi lingkungan dalam pengelolaan ruang terbuka hijau khususnya
di Kota Surabaya.
1.1
Rumusan Masalah
Apakah penerapan Prinsip Hukum Administrasi Lingkungan sudah diterapkan secara
maksimal dalam pengelolalan Ruang Terbuka Hijau di Kota Surabaya?
1.2
-
Tujuan
Untuk mengetahui apakah penerapan Prinsip Hukum Administrasi Lingkungan sudah
diterapkan dalam pengelolaan Ruang Terbuka Hijau di Kota Surabaya
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Hukum Administrasi Lingkungan
Untuk dapat memberikan suatu pemahaman yang utuh,komprehensif dan benar
tentang sesuatu,khususnya suatu cabang ilmu pengetahuan,maka harus dimulai atau
berangkat dari satu titik yang sama yang ladzim disebut dengan pengertian atau batasan
atau definisi. Begitu pula halnya dengan pembahasan yang berkaitan dengan ruang
lingkup hukum administrasi lingkungan. Hukum administrasi lingkungan pada dasarnya
mencakup hukum administrasi negara secara umum,dan secara khusus berhubungan erat
dengan pengelolaan lingkungan hidup. Hukum administrasi lingkungan adalah hukum
administrasi dengan substansi pengelolaan lingkungan hidup. Hal ini dikarenakan
pertautan antara keduanya secara substansi berada pada kaidah hukumnya yang berfungsi
dan bermanfaat dalam kehidupan manusia.
Hukum administrasi lingkungan merupakan instrument yurisid bagi penguasa
untuk secara aktif terlibat dengan masyarakat dalam konteks pengelolaan lingkungan
hidup,pada sisi lain hukum administrasi lingkungan merupakan hukum yang
memungkinkan anggota masyarakat mempengaruhi penguasa dan memberikan
perlindungan terhadap penguasa. Dalam sistem hukum di Indonesia penguasa itu terdiri
dari penguasa di tingkat pusat dalam hal ini adalah pemerintah dan penguasa di tingkat
daerah adalah pemerintah Propinsi dan pemerintah kabupaten.Kota
Dalam perkembangan sekarang dengan adanya kecenderungan negara turut
campur tangan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat,maka peranan hukum
administrasi negara menjadi sangat luas dan kompleks termasuk berkaitan dengan
pengelolaan lingkunga hidup. Kompleksitas ini akan membuat luas dan complicated
dalam menentukan rumusan ruang lingkup hukum administrasi lingkungan.
Secara historis pada awalnya tugas negara masih sangat sederhana yaitu sebgai
penjaga malam (natchwachter staat) yang hanya menjaga ketertiban,keamanan dan
keteraturan serta ketentraman masyarakat. Karne itu negara hanya sekedar penjaga dan
pengatur lalu lintas kehidupan masyarakat agar tidak terjadi saling tabrakan,baik
menyangkut kepentingan, hak dan kewajiban,kebebasan dan kemerdekaan dan atau
kehidupan kemasyarakatan lainnya. Apabila hal ini telah tercapai,tugas negara telah
selesai dan sempurna. Dalam suasana seperti ini hukum administrasi tidak berkembang
dan bahkan statis. Namun demikian,seiring dengan perkembangan zaman,maka dalam
konteks hukum administrasi negara kaitannya dengan pengelolaan lingkungan hidup
kiranya tidak lagi mengalami kemudahan melainkan telah mengalami perkembangan
yang snagat fundamental
Dengan mengkaji lebih mendalam permasalahan hukum tentang pengelolaan
lingkungan hidup di Indonesia,maka bagian terbesar hukum lingkungan di Indonesia
adalah hukum administrasi. Hal ini dapat dilihat bahwa hukum administrasi lingkungan
dapat berbentuk undang-undang ,peraturan pemerintah,peraturan daerah tingkat Propinsi
dan kabupaten/Kota. Dengan demikian,aspek hukum administrasi akan tampak berkaitan
dengan peran pemerintah (baik pemerintah maupun pemerintah Propinsi dan
Kabupaten/Kota),misalnya dalam hal memberikan perijinan pendirian usaha dan atau
kegiatan dan melakukan langkah penyelamatan lingkungan apabila ketentuan yang
disyaratkan dalam perijinan itu dilanggar.
Titik temu atau pertautan antara hukum administrasi negara dalam konteks
pengelolaan lingkungan hidup,adalah terletak pada kaidah hukum yang memungkinkan
keduanya bertindak menjadikan lingkungan hidup berguna bagi umat manusia pada
umumnya maupun bangsa Indonesia khusunya. Pengelolaan lingkungan hidup yang
berkesinambungan, terpelihara dan bersih merupakan kebutuhan para warga negar serta
diusahakan terwujudnya oleh administrasi negara dalam pengelolaan lingkungan hidup
mutlak diperlukan
Sejak negara turut serta secara aktif dalam pergaulan hidup masyarakat,maka
lapangan pekerjaan atau tugas pemerintah semakin luas. Ikut campurnya pemerintah
secara aktif dalam segala segi kehidupan masyarakat,membawa suatu pembentujan
peraturan undang-undang di bidang sosial (enorme uitbouw van de sociale wetgeving)
dan menumbuhkembangkan hukum administrasi negara secara umum dan secara khusus
hukum administrasi lingkungan. Dengan semakin berkembangnya eksistensi hukum
administrasi lingkungan dewasa ini, patut untuk dicermati apa yang dikemukakan oleh
Van der Ven dalam Utrecht sebagai berikut:
“ Pada bagian kedua abad yang lampau telah ternyata,bahwa asas: negara tidak boleh
turut serta dalam lapangan kemasyarakatan,tidak dapat dipertahankan lagi. Oleh karen
hubungan ekonomis makin lama makin berbelit-belit,maka pemerintahan negara yang
betugas mengatur tata tertib hukum dalam masyarakat dan hendak menjalankan tugas itu
secara baik, terpaksa masuk kedalam suatu lapangan sosial baru. Disamping pekerjaan
biasa,yaitu membuat dan mengeluarkan peraturan yang mempertimbangkan dan
membatasi hak dan kepentingan orang yang satu terhadap yang lain,maka pemerintah
mengadakan juga penyelesaian keperluan-keperluan sosial lain yang tertentu. Pekerjaan
pemerintah,yaitu pekerjaan administrasi negara,makin lama makin luas. Demikian juga
halnya dengan pekerjaan pembuat undang-undang. Pada akhir abad 19 lapangan hukum
negara diberi sambungan penting,yaitu lapanagn hukum admnistrasi negara. Bagian
terbesar sambungan itu terletak di lapangan sosial (antara lain pengajaran,kesehatan
rakyat,pembangunan rumah dan pemeliharaan orang miskin”
Secara konstitusional pengaturan pengelolaan lingkuingan hidup ditegaskan dalam
ketentuan pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bahwa bumi,air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Berdasarkan pada ketentuan dimaksud,maka terkandung asas hak menguasai negara
dan wujudnya dalam tiga bentuk aktivitas,sebagai berikut:
1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,penmggunaan,persediaan dan pemeliharaan
bumi,air dan ruang angkasa
2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubunga hukum antara orang-orang dengan
bumi,air dan ruang angkasa
3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan
perbuatan-perbuatan hukum yang berkaitan dengan bumi,air dan ruang angkasa
Ruang lingkup hukum administrasi lngkungan sangat luas. Namun demikian,bidang
hukum administrasi lingkungan mengandung dan mencakup beberapa hal sebagai berikut:
1. Mengandung
sarana-saranan
atau
instrument
bagi
penguasa
untuk
mengatur,menyeimbangkan dan mengendalikan berbagai kepentingan masyarakat
khusunya yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup
2. Mengatur cara-cara partisipasi warga masyarakat dalam proses penyusunan dan
pengendalian,termasuk proses penentuan kebijaksanaan di bidang lingkungan hidup
3. Mengatur adnya perlindungan hukum bagi warga masyarakat terhadap berbagai
kemungkinan adanya perbuatan atau tindakan pemerintah yang dapat meruhikan hak-hak
dan kebutuhan masyarakat
4. Mengatur dan menyusun dasar-dasar bagi pelaksanaan pemerintah yang baik,khususnya
dalam mewujudkan pengelolaan lingkungan hidup yang berbasis pada pembangunan
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup
Dengan demikian nyata terlihat bahwa dalam dalam konteks negara hukum
modern,dalam
perspektif
hukum
admninstrasi
lingkungan,negara
atau
pemerintah
mempunyai kewajiban yang sangat luas,dimana negara mengutamakan kemakmuran serta
keamanan sosial, dan bukan keamanan senjata. Berdasarkan tugas negara tersebut,pemerintah
pada zaman sekarang ini turut serta dengan aktif dalam mengatur pergaulan hidup
masyarakat. Lapangan kerja pemerintah atau administrasi negara jauh lebih kompleks,luas
dan semakin berkembang dibandingkan dengan pemerintahan model negara hukum klasik
atau kuno. Tugas pemerintah saat sekrang ini tidak saja terbatas pada lapangan
pemerintahan,birokrasi,pengurusan rumah tangga negara,namun sudah meluas
dan
berkembang pada tugas pembangunan dan penyelematan serta pelestarian fungsi lingkungan
hidup.
2.2 Prinsip Hukum Administrasi Lingkungan Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup
Selain instrumen hukum pengelolaan lingkungan hidup yang telah diuraikan tersebut
diatas, maka dalam pengelolaan lingkungan khususnya di bidang pengawasan pengelolaan
lingkungan yang berbasis pada perwujudan pembangunan berkelanjutan (sustainable
development), harus didukung dengan prinsip-prinsip hukum administrasi lingkungan yang
melandasi atau menjadi instrument fundamental dalam pengelolaan lingkungan hidup
khususnya di bidang pengawasan pengelolaan lingkungan. Adapun beberapa prinsip hukum
administrasi lingkungan,antara lain:
1. Peran Serta Masyarakat (Public Participation) dalam Rangka pengelolaan
Lingkungan Hidup
Pada pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 menegaskan bahwa kewajiban negara
dan tugas pemerintah untuk melindungi segenap sumber-sumber insane Indonesia dan
lingkungan hidup Indonesia guna kebahagiaan seluruh rakyat Indonesia dan segenap
umat manusia. Pemikiran dasar tersebut dirumuskan lebih konkrit dalam pasal 33 ayat(3)
UUD 1945 “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan utnuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” UUD 1945
sebgai landasan konstitusional mewajibkan akan sumber daya alam dipergunakan untuk
sebesae-besarnya kemakmuran rakyat. Kemakmuran rakyat tersebut haruslah dapat
dinikmati generasi masa kini dan masa depan secara berkelanjutan
Salah satu butir pertimbangan diterbitkannya UU PPLH 2009 adalah bahwa
pemanasan global yang semakin meningkat mengakibatkan perubahan iklim sehingga
memperparah penurunan kualitas lingkungan hidup karena itu perlu dilakukan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan bahwa kualitas lingkungan hidup
yang semakin menurun telah mengancam kelangsungan perkehidupan manusia dan
makhluk hidup lainnya sehingga perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup yang sungguh-sungguh dan konsisten oelh semua pemangku
kepentingan,sehingga pokok materi sebagaimana diatur dalam UU PLH 1997 perlu
disempurnakan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable
development) yang berwawasan lingkungan hidup. Apabila dibandingkan dengan UU
PLH
1982
yang
hanya
memiliki
24
pasal
dengan
pengaturan-pengaturan
terbatas,sedangkan ketentuan UU PLH 1997 belum mencerminkan perlindungan
lingkungan yang baik,maka kehadiran UU PPLH 2009 memiliki jumlah pasal yang
bertambah dan lebih rinci mengatur hal-hal baru yang sebelumnya tidak diatur
Dalam UU PLH 2009 terkandung sebuah jaminan hak setiap warga masyarakat
untuk mendapatkan informasi disamping kewajiban pemerintah dan setiap orang yang
melakukan usaha atau kegiatan untuk menyampaikan informasi yang benar dan akurat
mengenai pengelolaan lingkungan hidup. Masyarakat mempunyai hak pendapat terhadap
penerbitan ijin lingkungan yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan yang
kemungkinan risiko terjadinya pencemaran atau perusakan lingkungan hidup. Peran serta
masyarakat dalam pengelolaan lingkungan ini merupakan bagian dari prinsip hukum
administrasi lingkungan yang secara spesifik berada dalam wilayah perijinan lingkungan
sebagai salah satu instrument hukum administrasi lingkungan.
2. Substansi Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Prinsip hukum administrasi lingkungan selanjutnya adalah berkaitan dengan substansi
kebijakan pengelolaan lingkungan khususnya dibidang pengawasan pengelolaan
lingkungan. Pada dasarnya persoalan lingkungan merupakan salah satu persoalan dunia
yang mengemukakan pada serempat abad terakhir,termasuk di Indonesia sehingga isu
lingkungan sangat menarik untuk didiskusikan. Ada berbagai variable yang
mempengaruhi lingkungan mulai dari politik,ekonomi,sosial,hukum,budaya bahkan
agaman,sehingga pengelolaanya harus dipandang sebagai masalah yang interdisipliner.
Pengelolaan lingkungan hidup yang diartikan sebagai suatu upaya terpadu utnuk
melestarikan fungsi lingkungan hidup yang mencakup kebijaksanaan penataan,
pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan,pengawasan dan pengendalian
lingkungan hidup.
Salah satu aspek fundamental hukum lingkungan adalah adanya suatu institusi yang
memiliki kekuasaan (power) untuk dapatnya melakukan pengelolaan atas sumber daya
alam dan lingkungannya. Dari aspek yuridis,kekuasaan (power) adalah sangat berkaitan
dengan wewenang. Tanpa bermaksud untuk lebih jauh masuk dalam ranah aspek filsafat
mengenai kekuasaan,disini akan dikemukakan bahwa dalam pandangan para pakar,bahwa
suatu wewenang berdasar dari bersumber pada kekuasaann, dan suatu kewenangan tidak
mungkin ada jika tidak turun dari kekuasaan, dimana kekuasaan itu sendiri adalah Negara
(state). Sumber kekuasaan di dalam pola hidup bermasyarakat,berbangsa dan bernegara
adalah negara.
Dalam UU PLH 1997 terdapat serangkaian pengaturan yang berkaitan dengan
wewenang dalam sub bab,yakni Bab 1V tentang wewenang pengelolaan Lingkunga
Hidup,yang dimulai dari ketentuan pasal 8 hingga 13. Secara jelas terlihat bahwa dalam
Pasal 8 misalnya,bahwa wewenang penguasa terhadap sumber daya alam. Penguasa
memiliki wewenang atau kebijakan untuk melakukan semua tindakan hukum publik yang
berkenaan dengan pengelolaan sumber daya alam. Kewenangan negara atas sumbersumber alam,yang menurut Pasal 8 ayat (2) UU PLH adalah terperinci kedalam lima
kewenangan pokok. Kemudian hal-hal demikian dapat digolongkan kepada dua sifat
kebijakan yang diambil,yaitu berupa tindakan hukum publik dalam rangka pengaturan
(regeling), dan kemudian penetapan (beschikking).
Berdasarkan pada penjabaran terseut, maka tindakan hukum publik demikian adalah
dimaksudkan untuk mengendalikan aktivitas yang berdampak sosial: mengeluarkan ijin
(lisence,vergunning),mengharuskan
lingkungan,melakukan
pembakuan
adanya
lingkungan
AMDAL,melakukan
atau
baku
mutu
audit
lingkungan
(BML),menetapkan tata ruang,kebijakan pendanaan dalam penyerasian lingkungan.
Tentu, UU PPLH 2009 mendasari kebijaksanaan lingkungan (pengelolaan lingkungan) di
Indonesia adalah didasarkan pada undang-undang,peraturan pemerintah dan peraturan
pelaksana lainnya yang merupakan instrumen kebijaksanaan (instrumen van beleid). Sifat
UU PLH sebagai “kaderwet” atau “ranwet” atau “umbrella provision” yang menampung
kebijaksanaan lingkungan di Indonesia menghendaki penjabaran lebih lanjut dalam
peraturan perundang-undangan lingkungan,sehingga jelas bahwa hukum mempunyai
hubungan yang sangat erat dengan kebijaksanaan. Dengan kata lain, bahwa legal policy
adalah merupakan rekayasa sosial dalam menerapkan hukum sebagai instrumen
mendasar untuk mengarahkan masyarakat menerima nilai-nilai baru. Dalam hubungan ini
terdapat tendensi pemecahan masalah menurut sistem hukum yang berlaku atau dilain
pihak masalah baru dipecahkan dengan cara “trial and error” untuk menemukan
penyelesaian dengan “common senese” atau pengalaman profesi
Persyaratan yang penting atas substansi kebijakan pengelolaan lingkungan hidup
adalah pembinaan terhadap peraturan perundang-undangan (legilasi) lingkungan yang
tangguh,dipersiapkan secara cermat dengan memperhitungkan unsur keterpaduan dalam
sistem pengaturan,sehingga efektivitasnya dapat tercapai secara maksimal. Kebijakan
nasional,sektoral dan daerah hendaknya dapat diuji manfaat dan kesesuaiannya dengan
tujuan pengelolaan lingkungan hidup. Untuk mencapai tujuan itu berbagai alternatif
sarana kebijakan lingkungan perlu mendapat perhatian agar dapat dituangkan dalam
bentuk peraturan perundang-undangan lingkungan. Unntuk itu substansi kebijakan
lingkungan merupakan bagian yang terpadu dari keseluruhan kebijakan pemerintah
dibidang pembangunan. Berdasarkan pada tujuan yang telah digariskan dan hendak
dicapai,maka dalam konteks pengelolaan lingkungan hidup ( UU PLH) yang berbasis
pada pembangunan berkelanjutan (sustainable development) adalah tetap terpeliharanya
daya dukung dan fungsi kelestarian lingkungan hidup yang dapat dinimati oleh generai
sekrang dan lebih lebih generasi yang akan datang.
3. Fungsi Kelembagaan dan Organisasi dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup
Prinsip hukum administrasi lingkungan selanjutnya adalah berhubungan dengan
prinsip kelembagaan dan organisasi pengolahan lingkungan. Lingkungan hidup dari segi
sifat atau karakteristiknya, adalah satu dan tidak terpisah (utuh). Namun, lingkungan dan
sumber daya alam, harus dibedakan atau di bagi, untuk mencapai sistem pengolahan yang
efektif dan efisien. Karena sumber daya alam memiliki aspek-aspek yang sangat
kompleks, maka kelembagaan organisasi di dalam pengelohan lingkungan hidup adalah
banyak pula.lingkungan dan sumber daya alam, dapat di bagi kepada berbagai sektor atau
bagian, yang di sesuaikan dengan dengan kategori/sifat sumber daya alam atau sumbersumber kebutuhan manusia. Secara konstitusional, sumber-sumber daya alam/lingkungan
adalah dikuasai negara. Negara melalui berbagai aparaturnya, berdasarkan pada
wewenang yang dimilikinya, melakukan tindakan hukum administrasi negara, seperti
dalam hal pengaturan (regeling) dan penetapan (beschikking). Aparaturnya negara,
berupa menteri-menteri dan badan-badan aparatur negara lainnya, memiliki batas-batas
kewenangan yang jelas terhadap pengolaan lingkungan hidup.
Dalam perspektif tindak administrasi kekuasaan dan kewenangan pengolahan
lingkungan, dikenal pola keterpaduan. Prinsip keterpaduan telah menjadi ciri penting
dalam hukum pengelolaan lingkungan, dan tampaknya setelah diadakannya deklarasi
Rip,ciri demikian telah mengarah kepada kesamaan hukum (legal harmony) bagi banyak
negara dalam sistem hukum lingkungannya masing-masing. Deklarasi Rio dalam hal ini
menetapkan perlunya keterpaduan,yang disebut dengan “principle of integration” yang
mengatakan”..environmental protection shall constitute an integral part of the
development proces...”. Prinsip Deklarasi Rio tersebut dalam konteks UU PPLH 2009
telah
diadopsi.
Prinsip
integrasi
berdampingan
dengan
prinsip-prinsip
koordinasi,sinkronisasi dan simplifikasi, yang jiga merupakan asas yang dianut dalam
UU PPLH 2009
Prinsip keterpaduan dalam pengelolaan lingkungan dapat dibedakan menjadi:
(i)keterpaduan atas kebijakan; (ii)keterpaduan perencanaan dan pelaksanaan kebijakan;
(iii)keterpaduan tata ruang berdasarkan corak atau karateristik sumber-sumber daya
lingkungan, dan (iv) keterpaduan dengan pelimpahan wewenang. Dalam kaitan ini
keterpaduan dalam pengelolaan lingkungan hidup adalah berupa:
a) Pemerintah menetapkan kebijakan nasional lingkungan hidup dan tata ruang secara
terpadu oleh masing-masing instansi pemerintah yang kompeten dan relevan,beserta
masyarakat dan para pelaku pembangunan lain,dengan memperhatikan nilai-nilai
agama,adat istiadat dan nilai yang hidup dalam masyarakat
b) Keterpapduan meliputi perencanaan (planning) dan pelaksanaan kebijakan (operating)
c) Keterpaduan meliputi tata ruang,perlindungan sumber-sumber daya alam non hayati
(abiotic resources);perlindungan sumber daya buatan (man made resources);perlindungan
sumber-sumber
daya
hayati
dan
ekosistemnya
(biotic
resources);cagar
budaya;keanekaragaman hayati dan perubahan iklim
d) Keterpaduan pengelolaan ditingkat nasional dilakukan secara koordinasi oleh menteri
e) Keterpaduan pengelolaan lingkungan dapat dilakukan dengan prinsip pelimpahan
wewenang pengelolaan lingkungan kepada perangkat di daerah, dengan prinsip
pembantuan Pemerintah Pusat, dan dengan prinsip menyerahkan sebagian urusan menjadi
urusan rumah tangga daerah.
Melalui kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat nasional dan daerah
yang tangguh diharapkan pengendalian pencemaran lingkungan dapat diterapkan secara
efektif dan efisien. Sesuai dengan namanya, UU PPLH 2009 juga memberikan fokus
perhatian pada pengelola lingkungan. Ketentuan umum pasal 1 angka (1) UU PPLH 2009
menyatakan: lingkungan hidup dalam pengertian ekologi tidak mengenal batas
wilayah,baik wilayah negara maupun wilayah administratif. Akan tetapi, lingkungan
hidup yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup harus jelas batas wilayah
wewenang pengelolaanya. Lingkungan yang dimaksud adaah lingkungan hidup
Indonesia.
Oleh karena itu,dalam melakukan pengelolaan lingkungan di bidang pengendalian
lingkungan hidup adalah tentsng kelembagaan dan kewenangan pengendalian
pencemaran lingkungan hidup melalui pertanyaan: instansi manakah yang memiliki
kewenangan pengendalian pencemaran lingkingan hidup di Indonesia,baik dalam tingkat
nasional maupun di daerah.
BAB III
PEMBAHASAN
Dari adanya prinsip hukum administrasi lingkungan yang ada yaitu peran serta
masyarakat dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup,Substansi kebijakan pengelolaan
lingkungan hidup,Fungsi kelembagaan dan organisasi dalam pengelolaan lingkungan hidup
bahwa Kota Surabaya telah menerapkan hanya beberapa persen prinsip hukum administrasi
lingkungan dalam pengelolaan Ruang Terbuka Hijau sehingga penerapannya belum semaksimal
mungkin. Kota Surabaya sebagai kota terbesar di Jawa Timur wajib menerapkan RTH seluas
20% luas kota,dimana 10% berupa hutan kota. RTH diSurabaya luasannya yanga da sekrang
menurut data Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Surabaya, RTH di Surabaya
realitanya hanya 3000 Ha dibandingkan dengan luasan kawasan yang terbangun,masih belum
mencukupi bagi Surabaya yang luasannya 326nribu ha. Berdasarkan RTRWP Jawa Timur tahun
2005-2020,RTH di Surabaya seharusnya ada sekitar 6500 Ha termasuk hutan kota.Bentuk RTH
yang sudah ada si Surabaya,adalah hutan kota,taman kota,taman rekreasi kota,Area hutan kota di
Surabaya,ada di Lakarsantri seluas 8Ha,Kebun bibit Wonorejo seluas 2 Ha dan Waduk Wonorejo
seluas 5Ha. Taman rekreasi kota Surabaya ada di Taman surya ,Taman bungkul, dan taman Flora
Kebun bibit,sedangkan bentuk RTH lainnya adalah taman kota dan jalur hijau di tepi atau
ditengah jalan utama,misalnya jalan Raya Darmo, serta area hijau di bangunan-bangunan yang
melestarikannya.
Realisasi RTH di Surabaya,sama dengan kota-kota besar di Indonesia lainnya,yaitu
kendala sulitnya ruang bagi RTH. Kesulitan ryang diperkotaan seringkali disebabkan
menjamurnya perumahan kumuh karena tingginya tingkat urbanisasi, keberadaan sektor
informal,akibat peningkatan kepadatan penduduk yang sangat cepat, atau pentingnya tujuan
pembangunan berkelanjutan yang lain,sehingga banyak areal RTH alih fungsi menjadi guna
lahan yang lain. Sangat terbatasnya ketersediaan ruang bagi RTH di perkotaan,seperti di
Surabaya juga disebabkan harga tanah ayng tinggi, kurangnya kemauan masyarakat untuk
berpartisipasi dan pelaksanaan regulasi perundang-undangan yang kurang memperhatikan
pentingnya RTH bagi kenyamanan hidup masyarakat didalam kota besar. Menurut Hakim dan
Abu Bakar (2003),perfungsian RTH masih punya makna pelengkap bagi kota,lebih parah lagi
dianggap cadangan utnuk penggunaan lahan di masa mendatang. Dari uraian diatas maka
difungsikan sebagai RTH. Pemerintah Kota Surabaya, sudah berusaha menata RTH lebih baik
dari sebelumnya,diawali dari Ibu Tri Rismaharini yang pada saat ini mejabat sebagai Kepala
Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Madya Surabaya. Beliau memulai dengan menghijaukan
dan menata kembali jalur-jalur hijau,taman rekreasi kota dan taman-taman kota di Surabaya yang
sudah lama tidak diperhatikan. Penataan penghijauan di Surabya masih diteruskan sampai kini
oleh Dinas Keberdihan dan Pertamanan Kota Madya Surabaya dan berhasil menghijaukan
sebagian besar jalur-jalur hijau,taman-taman kota,taman-taman rekreasi kota dan hutan
kota,sehingga telah mempercantik dan mempersegar kota Surabaya.
Di satu sisi Surabaya adalah ternasuk kota yang tekah berhasil menerapkan prinsip
hukum administrasi lingkungan khusunya dalam pengelolaan Ruang Terbuka Hijau. Surabaya,
kota terbesar kedua setelah Jakarta cukup konsen terhadap masalah lingkungan terutuma efek
rumah kaca yang bisa meningkatkan suhu bumi rata-rata 1°-5°C. Pemerintah Kota Surabaya pun
menyatakan ingin mengubah suhu udara kota menjadi lebih dingin dengan rerata 32°-30°C dari
suhu saat ini yang mencapai 34°C ketika siang hari. Salah satu langkah yang diambil pemerintah
adalah memperbanyak ruang terbuka hijau (RTH) sesuai UU No.26 Tahun 2007 tentang penataan
tata ruang yang menyebutkan bahwa kota harus memiliki 30% RTH dari total luas kota, 20% di
antaranya adalah RTH umum dan 10% RTH privat yang dibangun oleh swasta. Wali Kota
Surabaya Tri Rismaharini mengatakan saat ini RTH Surabaya telah mencapai 26% atau lebih dari
kewajiban. Bahkan, ingin agar Surabaya memiliki RTH hingga 35% yang akan dicapai pada
2025.
Johan Silas, pengamat tata kota dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)
Surabaya, mengatakan bahwa kota lain perlu mencotoh langkah Surabaya untuk memperbanyak
RTH, terutama kerjasama pihak swasta dan pemerintah agar saling mendukung mewujudkan
kota hijau. Johan menjelaskan RTH tidak saja berupa taman tetapi berbagai fasilitas umum, jalan,
sungai, bahkan makam. Jika diamati, banyak perubahan yang terjadi dalam penataan Kota
Surabaya seperti adanya pot-pot bunga crysan di sepanjang pedestrian jalan-jalan kota. Oleh
sebab itu penerapan prinsip hukum administrasi lingkungan dalam pengelolaan ruang terbuka
hijau bisa dikatakan 50% berhasil dan 50% tidak. Dikatakan berhasil karena sudah mencapai
25%
RTH sedangkan dikatakan tidak berhasil karena adanya ketidak seimbangan antara
pembangunan kota yang terus dilakukan dengan ruang terbuka hijau.
BAB IV
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Upaya
realisasi
dan
pengelolaan
RTH
di
Surabaya,
akhir-akhir
ini
memperlihatkan hasil yang baik bagi keindahan kota. Meskipun demikian daribeberapa
masalah RTH, seperti yang dikemukakan diatas, realisasi Surabaya Hijau atau “Green
City” atau kota taman dapat menjadi memprihatinkan. Karena rencana pembangunan
yang berkelanjutan akan tercapai melalui keseimbangan pertumbuhan ekonomi, socialpolitik dengan kepekaan pada budaya dan lingkungan,seringkali yang terjadi adalah
diutamakannya salah satu tujuan pembangunan,misalnya tujuan pertumbuhan ekonomi.
Hal ini memicu perubahan penggunaan guna ruang kota untuk tujuan pembangunan yang
lain, sehingga terjadi ketidak seimbangan Pembangunan Berkelanjutan.
Untuk mengurangi ketidak seimbangan realisasi pembangunan berkelanjutan,
Pemerintah Kota Surabaya, harus dapat melaksanakan tata guna ruang dan lahan dengan
tegas dan konsisten untuk mencapai RTH yang sudah direncanakan pada RTRWP Jawa
Timur tahun 2005 –2020, seluas 20% luas kota Surabaya,sekitar 6.500 Ha. RTH dengan
luas yang sebanding dengan luas kota dan direncanakan dengan baik akan mampu
memberikan kualitas lingkungan yang baik bagi masyarakat sekitarnya, disamping itu
mempunyai nilai ekonomi, ekologi, edukatif dan estetis. Pemerintah Kota harus dapat
mempertahankan tata guna lahan bagi RTH dan tidak dialihkan keguna lahan yang lain.
Beralihnya Kebun Bibit dari Pemkot ke pengelolaan PT SIP membuat keberlanjutan
perannya sebagai taman rekreasi kota seperti sekarang menjadi dipertanyakan.
Seharusnya tidak dimungkinkan pengalihan tata guna ruang atau lahan RTH
menjadi yang lain karena kepentingan ekonomi atau lainnya. Pemerintah Kota juga harus
bisa lebih jeli untuk menggunakan area yang memungkinkan digunakan menjadi RTH,
misalnya bantaran sungai, bibir saluran drainage kota dan mempertahankan ruang kota
dengan tata guna lahan sebagai RTH. Perencanaan sarana kota seperti RTH, pedestrian
atau trotoir seharusnya mempertimbangkan iklim kota tersebut seperti Surabaya yaitu
tropis lembab, dimana semua orang mendambakan iklim mikro yang lebih teduh, segar
dan nyaman dari sengatan matahari. Keteduhan, kesegaran dan kenyamanan dari
sengatan matahari dapat diperoleh dengan penanaman vegetasi yang cukup luas diruangruang terbuka karena peran mahkota pohon mereduksi radiasi matahari. Penanaman
vegetasi yang cukup luas dengan kerapatan yang sesuai mampu memperbaiki kualitas
udara dengan menyerap polutan dari kendaraan dan mengeluarkan O2. Penutupan
vegetasi pada permukaan tanah dapat memperbaiki kemampuan resapan air ketanah.
Keberadaan vegetasi yang sudah asri perlu dirawat dan dilestarikan tanpa harus ditebang
tetapi ditingkatkan perannya menjadi RTH yang lebih baik sesuai kondisi, fungsi,
peryaratan dan peraturan yang ada. Sehingga dapat memungkinkan terjadi siklus
ekosistim pada area yang dihijaukan, untuk mencapai tujuan pembangunan yang
berkelanjutan secara utuh
5.2 Saran
Penulis mengharapkan adanya upaya dan pemahaman terhadap esensi dan
manfaat harfiah taman kota sebagai sarana ruang terbuka hijau (RTH) oleh pemerintah
dan masyarakat. Adanya perhatian khusus dari pemerintah kota, dalam hal ini Dinas
Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya diperlukan untuk mengembangkan,
mengawasi, dan memelihara kondisi taman kota agar tidak kehilangan peran idealnya.
Pemerintah kota perlu meningkatkan kuantitas infrastruktur dan bangunan taman kota
sebagai upaya penekanan tingkat pencemaran. Juga diperlukan kesadaran tinggi bagi
masyarakat kota untuk memelihara dan memanfaatkan taman kota sebagai mana
mestinya.
DAFTAR PUSTAKA
Wanda
http://repository.petra.ac.id/15196/1/Surabaya_menjadi_Kota_Taman_atau.pdf. 4 Oktober
Peni W. 2014. Surabay Sejuk,Tri R. targetkan RTH 35% pada 2025.
W.
Surabaya
sebagai
Kota
Taman.
http://surabaya.bisnis.com/read/20140306/3/68828/surabaya-sejuk-tri-rismaharini
targetkan-rth-35-pada-2025. 6 Maret
Mukhlish, 2010, Hukum Administrasi Lingkungan Kontemporer, Setara press, Malang
PENGELOLAAN RUANG TERBUKA HIJAU
(STUDI KASUS PADA KOTA SURABAYA)
Untuk Memenuhi Tugas Kebijakan Lingkungan Yang Dibina Oleh Bapak Mochmmad
Rozikin,Drs.,M.AP
OLEH :
Livia Armilliana
(125030100111094)
Kelas:
FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI
JURUSAN ADMINISTRASI PUBLIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Permasalahan yang muncul akhir-akhir ini mengenai lingkungan adalah
kurangnya penerapan ruang terbuka hijau di suatu perkotaan. Ruang terbuka hijau
merupakan salah satu elemen penting dalam suatu kota. Ruang terbuka hijau berfungsi
untuk menyeimbangakn keadaan ekologi pada suatu kawasan agar terjadi keseimbangan
antara ekosistem dan perkembangan pembangunan di era modern. Kota mempunyai luas
lahan terbatas,permintaan akan pemanfaatan lahan kota yang terus berkembang untuk
pembangunan berbagai fasilitas perkotaan baik pemukiman , industry dan pertumbuhan
jalur transportasi yang perlahan akan menyita lahan-lahan atau ruang terbuka lainnya di
wilayah perkotaan.
Masalah perkotaan pada saat ini telah menjadi masalah yang cukup sulit untuk
diatasi. Perkembangan pembangunan perkotaan selain mempunyai dampak positif bagi
kesejahteraan warga juga menimbulkan dampak negatif pada beberapa aspek termasuk
aspek lingkungan. Pada mulanya,sebagian besar lahan kota merupakan ruang terbuka
hijau. Namun adanya peningkatan kebutuhan ruang untuk menampung penduduk dan
aktiivitasnya,ruang terbuka hijau tersebut cenderung mengalami alih fungsi lahan
menjadi ruang terbangun. Pertumbuhan penduduk dengan aktivitas yang tinggi di
kawasan perkotaan berdampak pada perubahan cirri khas sebuah kota, baik berupa
fisik,sosial, dan budaya.
Realisasi konsep penataan ruang yang dituangkan dalam Raperda RTRWP Jawa
Timur Tahun 2005-2020, sebagai perwujudan konsep penataan ruang kota dalam
mencapai tujuan perkembangan berkelanjutan dibidang lingkungan,adalah dengan
menyediakan Ruang Terbuka Hijau yang akan dikenal dengan RTH. Yang dimaksud
dengan RTH yaitu Kawasan –Kawasan hijau dalam bentuk taman-taman kota,hutan
kita,jalur-jalur hijau di tepi atau ditengah jalan,bantaran tepi sungai atau tepi jalur
kereta,halaman setiap bangunan dari semua fungsi yang termasuk dalam Garis Sempadan
bangunan dan Koefisien Dasar Bangunan. Tujuan pembentukan RTH diperkotaan adalah
untuk meningkatkan mutu lingkungan perkotaan yang nyaman,segar,indah,bersih dan
sebagai sarana pengaman lingkungan perkotaan serta menciptakan keserasian lingkungan
alam dan lingkungan binaan yang berguna bagi masyarakat yang tinggal. RTH
diharapkan dapat mewujudkan tata lingkungan yang serasi antara sumber daya alam
,sumber daya buatan,sumber daya manusia bagi kualitas hidup penduduk kota. Di Jawa
Timur ,RTH bagi perkotaan,yang diterapkan pada RTRWP Jawa Timur Tahun 20052020 ,minimal 20% dari luas kota,dimana 10% berupa hutan kota.
Kota Surabaya merupakan ibu kota Propinsi Jawa Timur, Indoinesia dan kota
metropolitan kedua setelah Jakarta. Kota pahlawan ini mengalami perkembangan pesat
terutama di daderah Surabaya Barat dan Surabaya Timur. Hal ini terjadi karena kemajuan
Kota Surabaya terutama dalam bidang ekonomi yang menjadi dayat tarik sendiri bagi
masyarakat sekitarnya. Akibatnya jumlah penduduk yang tinggal di Kota Surabaya
semakin meningkat dari tahun ke tahun. Kondisi ini berpengaruh terhadap meningkatnya
kebutuhan penduduk akan hunian,perkantoran,sarana dan prasarana transportasi,serta
fasilitas publik lainnya. Sehingga mengakibatkan perubahan peruntukan lahan yang
semakin signifikan ditunjukkaan dengan berkurangnya kawasan Ruang Terbuka Hijau
(RTH) / Green openspaces. Oleh karena itu penulis akan membahas mengenai penerapan
prinsip hukum administrasi lingkungan dalam pengelolaan ruang terbuka hijau khususnya
di Kota Surabaya.
1.1
Rumusan Masalah
Apakah penerapan Prinsip Hukum Administrasi Lingkungan sudah diterapkan secara
maksimal dalam pengelolalan Ruang Terbuka Hijau di Kota Surabaya?
1.2
-
Tujuan
Untuk mengetahui apakah penerapan Prinsip Hukum Administrasi Lingkungan sudah
diterapkan dalam pengelolaan Ruang Terbuka Hijau di Kota Surabaya
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Hukum Administrasi Lingkungan
Untuk dapat memberikan suatu pemahaman yang utuh,komprehensif dan benar
tentang sesuatu,khususnya suatu cabang ilmu pengetahuan,maka harus dimulai atau
berangkat dari satu titik yang sama yang ladzim disebut dengan pengertian atau batasan
atau definisi. Begitu pula halnya dengan pembahasan yang berkaitan dengan ruang
lingkup hukum administrasi lingkungan. Hukum administrasi lingkungan pada dasarnya
mencakup hukum administrasi negara secara umum,dan secara khusus berhubungan erat
dengan pengelolaan lingkungan hidup. Hukum administrasi lingkungan adalah hukum
administrasi dengan substansi pengelolaan lingkungan hidup. Hal ini dikarenakan
pertautan antara keduanya secara substansi berada pada kaidah hukumnya yang berfungsi
dan bermanfaat dalam kehidupan manusia.
Hukum administrasi lingkungan merupakan instrument yurisid bagi penguasa
untuk secara aktif terlibat dengan masyarakat dalam konteks pengelolaan lingkungan
hidup,pada sisi lain hukum administrasi lingkungan merupakan hukum yang
memungkinkan anggota masyarakat mempengaruhi penguasa dan memberikan
perlindungan terhadap penguasa. Dalam sistem hukum di Indonesia penguasa itu terdiri
dari penguasa di tingkat pusat dalam hal ini adalah pemerintah dan penguasa di tingkat
daerah adalah pemerintah Propinsi dan pemerintah kabupaten.Kota
Dalam perkembangan sekarang dengan adanya kecenderungan negara turut
campur tangan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat,maka peranan hukum
administrasi negara menjadi sangat luas dan kompleks termasuk berkaitan dengan
pengelolaan lingkunga hidup. Kompleksitas ini akan membuat luas dan complicated
dalam menentukan rumusan ruang lingkup hukum administrasi lingkungan.
Secara historis pada awalnya tugas negara masih sangat sederhana yaitu sebgai
penjaga malam (natchwachter staat) yang hanya menjaga ketertiban,keamanan dan
keteraturan serta ketentraman masyarakat. Karne itu negara hanya sekedar penjaga dan
pengatur lalu lintas kehidupan masyarakat agar tidak terjadi saling tabrakan,baik
menyangkut kepentingan, hak dan kewajiban,kebebasan dan kemerdekaan dan atau
kehidupan kemasyarakatan lainnya. Apabila hal ini telah tercapai,tugas negara telah
selesai dan sempurna. Dalam suasana seperti ini hukum administrasi tidak berkembang
dan bahkan statis. Namun demikian,seiring dengan perkembangan zaman,maka dalam
konteks hukum administrasi negara kaitannya dengan pengelolaan lingkungan hidup
kiranya tidak lagi mengalami kemudahan melainkan telah mengalami perkembangan
yang snagat fundamental
Dengan mengkaji lebih mendalam permasalahan hukum tentang pengelolaan
lingkungan hidup di Indonesia,maka bagian terbesar hukum lingkungan di Indonesia
adalah hukum administrasi. Hal ini dapat dilihat bahwa hukum administrasi lingkungan
dapat berbentuk undang-undang ,peraturan pemerintah,peraturan daerah tingkat Propinsi
dan kabupaten/Kota. Dengan demikian,aspek hukum administrasi akan tampak berkaitan
dengan peran pemerintah (baik pemerintah maupun pemerintah Propinsi dan
Kabupaten/Kota),misalnya dalam hal memberikan perijinan pendirian usaha dan atau
kegiatan dan melakukan langkah penyelamatan lingkungan apabila ketentuan yang
disyaratkan dalam perijinan itu dilanggar.
Titik temu atau pertautan antara hukum administrasi negara dalam konteks
pengelolaan lingkungan hidup,adalah terletak pada kaidah hukum yang memungkinkan
keduanya bertindak menjadikan lingkungan hidup berguna bagi umat manusia pada
umumnya maupun bangsa Indonesia khusunya. Pengelolaan lingkungan hidup yang
berkesinambungan, terpelihara dan bersih merupakan kebutuhan para warga negar serta
diusahakan terwujudnya oleh administrasi negara dalam pengelolaan lingkungan hidup
mutlak diperlukan
Sejak negara turut serta secara aktif dalam pergaulan hidup masyarakat,maka
lapangan pekerjaan atau tugas pemerintah semakin luas. Ikut campurnya pemerintah
secara aktif dalam segala segi kehidupan masyarakat,membawa suatu pembentujan
peraturan undang-undang di bidang sosial (enorme uitbouw van de sociale wetgeving)
dan menumbuhkembangkan hukum administrasi negara secara umum dan secara khusus
hukum administrasi lingkungan. Dengan semakin berkembangnya eksistensi hukum
administrasi lingkungan dewasa ini, patut untuk dicermati apa yang dikemukakan oleh
Van der Ven dalam Utrecht sebagai berikut:
“ Pada bagian kedua abad yang lampau telah ternyata,bahwa asas: negara tidak boleh
turut serta dalam lapangan kemasyarakatan,tidak dapat dipertahankan lagi. Oleh karen
hubungan ekonomis makin lama makin berbelit-belit,maka pemerintahan negara yang
betugas mengatur tata tertib hukum dalam masyarakat dan hendak menjalankan tugas itu
secara baik, terpaksa masuk kedalam suatu lapangan sosial baru. Disamping pekerjaan
biasa,yaitu membuat dan mengeluarkan peraturan yang mempertimbangkan dan
membatasi hak dan kepentingan orang yang satu terhadap yang lain,maka pemerintah
mengadakan juga penyelesaian keperluan-keperluan sosial lain yang tertentu. Pekerjaan
pemerintah,yaitu pekerjaan administrasi negara,makin lama makin luas. Demikian juga
halnya dengan pekerjaan pembuat undang-undang. Pada akhir abad 19 lapangan hukum
negara diberi sambungan penting,yaitu lapanagn hukum admnistrasi negara. Bagian
terbesar sambungan itu terletak di lapangan sosial (antara lain pengajaran,kesehatan
rakyat,pembangunan rumah dan pemeliharaan orang miskin”
Secara konstitusional pengaturan pengelolaan lingkuingan hidup ditegaskan dalam
ketentuan pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bahwa bumi,air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Berdasarkan pada ketentuan dimaksud,maka terkandung asas hak menguasai negara
dan wujudnya dalam tiga bentuk aktivitas,sebagai berikut:
1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,penmggunaan,persediaan dan pemeliharaan
bumi,air dan ruang angkasa
2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubunga hukum antara orang-orang dengan
bumi,air dan ruang angkasa
3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan
perbuatan-perbuatan hukum yang berkaitan dengan bumi,air dan ruang angkasa
Ruang lingkup hukum administrasi lngkungan sangat luas. Namun demikian,bidang
hukum administrasi lingkungan mengandung dan mencakup beberapa hal sebagai berikut:
1. Mengandung
sarana-saranan
atau
instrument
bagi
penguasa
untuk
mengatur,menyeimbangkan dan mengendalikan berbagai kepentingan masyarakat
khusunya yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup
2. Mengatur cara-cara partisipasi warga masyarakat dalam proses penyusunan dan
pengendalian,termasuk proses penentuan kebijaksanaan di bidang lingkungan hidup
3. Mengatur adnya perlindungan hukum bagi warga masyarakat terhadap berbagai
kemungkinan adanya perbuatan atau tindakan pemerintah yang dapat meruhikan hak-hak
dan kebutuhan masyarakat
4. Mengatur dan menyusun dasar-dasar bagi pelaksanaan pemerintah yang baik,khususnya
dalam mewujudkan pengelolaan lingkungan hidup yang berbasis pada pembangunan
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup
Dengan demikian nyata terlihat bahwa dalam dalam konteks negara hukum
modern,dalam
perspektif
hukum
admninstrasi
lingkungan,negara
atau
pemerintah
mempunyai kewajiban yang sangat luas,dimana negara mengutamakan kemakmuran serta
keamanan sosial, dan bukan keamanan senjata. Berdasarkan tugas negara tersebut,pemerintah
pada zaman sekarang ini turut serta dengan aktif dalam mengatur pergaulan hidup
masyarakat. Lapangan kerja pemerintah atau administrasi negara jauh lebih kompleks,luas
dan semakin berkembang dibandingkan dengan pemerintahan model negara hukum klasik
atau kuno. Tugas pemerintah saat sekrang ini tidak saja terbatas pada lapangan
pemerintahan,birokrasi,pengurusan rumah tangga negara,namun sudah meluas
dan
berkembang pada tugas pembangunan dan penyelematan serta pelestarian fungsi lingkungan
hidup.
2.2 Prinsip Hukum Administrasi Lingkungan Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup
Selain instrumen hukum pengelolaan lingkungan hidup yang telah diuraikan tersebut
diatas, maka dalam pengelolaan lingkungan khususnya di bidang pengawasan pengelolaan
lingkungan yang berbasis pada perwujudan pembangunan berkelanjutan (sustainable
development), harus didukung dengan prinsip-prinsip hukum administrasi lingkungan yang
melandasi atau menjadi instrument fundamental dalam pengelolaan lingkungan hidup
khususnya di bidang pengawasan pengelolaan lingkungan. Adapun beberapa prinsip hukum
administrasi lingkungan,antara lain:
1. Peran Serta Masyarakat (Public Participation) dalam Rangka pengelolaan
Lingkungan Hidup
Pada pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 menegaskan bahwa kewajiban negara
dan tugas pemerintah untuk melindungi segenap sumber-sumber insane Indonesia dan
lingkungan hidup Indonesia guna kebahagiaan seluruh rakyat Indonesia dan segenap
umat manusia. Pemikiran dasar tersebut dirumuskan lebih konkrit dalam pasal 33 ayat(3)
UUD 1945 “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan utnuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” UUD 1945
sebgai landasan konstitusional mewajibkan akan sumber daya alam dipergunakan untuk
sebesae-besarnya kemakmuran rakyat. Kemakmuran rakyat tersebut haruslah dapat
dinikmati generasi masa kini dan masa depan secara berkelanjutan
Salah satu butir pertimbangan diterbitkannya UU PPLH 2009 adalah bahwa
pemanasan global yang semakin meningkat mengakibatkan perubahan iklim sehingga
memperparah penurunan kualitas lingkungan hidup karena itu perlu dilakukan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan bahwa kualitas lingkungan hidup
yang semakin menurun telah mengancam kelangsungan perkehidupan manusia dan
makhluk hidup lainnya sehingga perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup yang sungguh-sungguh dan konsisten oelh semua pemangku
kepentingan,sehingga pokok materi sebagaimana diatur dalam UU PLH 1997 perlu
disempurnakan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable
development) yang berwawasan lingkungan hidup. Apabila dibandingkan dengan UU
PLH
1982
yang
hanya
memiliki
24
pasal
dengan
pengaturan-pengaturan
terbatas,sedangkan ketentuan UU PLH 1997 belum mencerminkan perlindungan
lingkungan yang baik,maka kehadiran UU PPLH 2009 memiliki jumlah pasal yang
bertambah dan lebih rinci mengatur hal-hal baru yang sebelumnya tidak diatur
Dalam UU PLH 2009 terkandung sebuah jaminan hak setiap warga masyarakat
untuk mendapatkan informasi disamping kewajiban pemerintah dan setiap orang yang
melakukan usaha atau kegiatan untuk menyampaikan informasi yang benar dan akurat
mengenai pengelolaan lingkungan hidup. Masyarakat mempunyai hak pendapat terhadap
penerbitan ijin lingkungan yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan yang
kemungkinan risiko terjadinya pencemaran atau perusakan lingkungan hidup. Peran serta
masyarakat dalam pengelolaan lingkungan ini merupakan bagian dari prinsip hukum
administrasi lingkungan yang secara spesifik berada dalam wilayah perijinan lingkungan
sebagai salah satu instrument hukum administrasi lingkungan.
2. Substansi Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Prinsip hukum administrasi lingkungan selanjutnya adalah berkaitan dengan substansi
kebijakan pengelolaan lingkungan khususnya dibidang pengawasan pengelolaan
lingkungan. Pada dasarnya persoalan lingkungan merupakan salah satu persoalan dunia
yang mengemukakan pada serempat abad terakhir,termasuk di Indonesia sehingga isu
lingkungan sangat menarik untuk didiskusikan. Ada berbagai variable yang
mempengaruhi lingkungan mulai dari politik,ekonomi,sosial,hukum,budaya bahkan
agaman,sehingga pengelolaanya harus dipandang sebagai masalah yang interdisipliner.
Pengelolaan lingkungan hidup yang diartikan sebagai suatu upaya terpadu utnuk
melestarikan fungsi lingkungan hidup yang mencakup kebijaksanaan penataan,
pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan,pengawasan dan pengendalian
lingkungan hidup.
Salah satu aspek fundamental hukum lingkungan adalah adanya suatu institusi yang
memiliki kekuasaan (power) untuk dapatnya melakukan pengelolaan atas sumber daya
alam dan lingkungannya. Dari aspek yuridis,kekuasaan (power) adalah sangat berkaitan
dengan wewenang. Tanpa bermaksud untuk lebih jauh masuk dalam ranah aspek filsafat
mengenai kekuasaan,disini akan dikemukakan bahwa dalam pandangan para pakar,bahwa
suatu wewenang berdasar dari bersumber pada kekuasaann, dan suatu kewenangan tidak
mungkin ada jika tidak turun dari kekuasaan, dimana kekuasaan itu sendiri adalah Negara
(state). Sumber kekuasaan di dalam pola hidup bermasyarakat,berbangsa dan bernegara
adalah negara.
Dalam UU PLH 1997 terdapat serangkaian pengaturan yang berkaitan dengan
wewenang dalam sub bab,yakni Bab 1V tentang wewenang pengelolaan Lingkunga
Hidup,yang dimulai dari ketentuan pasal 8 hingga 13. Secara jelas terlihat bahwa dalam
Pasal 8 misalnya,bahwa wewenang penguasa terhadap sumber daya alam. Penguasa
memiliki wewenang atau kebijakan untuk melakukan semua tindakan hukum publik yang
berkenaan dengan pengelolaan sumber daya alam. Kewenangan negara atas sumbersumber alam,yang menurut Pasal 8 ayat (2) UU PLH adalah terperinci kedalam lima
kewenangan pokok. Kemudian hal-hal demikian dapat digolongkan kepada dua sifat
kebijakan yang diambil,yaitu berupa tindakan hukum publik dalam rangka pengaturan
(regeling), dan kemudian penetapan (beschikking).
Berdasarkan pada penjabaran terseut, maka tindakan hukum publik demikian adalah
dimaksudkan untuk mengendalikan aktivitas yang berdampak sosial: mengeluarkan ijin
(lisence,vergunning),mengharuskan
lingkungan,melakukan
pembakuan
adanya
lingkungan
AMDAL,melakukan
atau
baku
mutu
audit
lingkungan
(BML),menetapkan tata ruang,kebijakan pendanaan dalam penyerasian lingkungan.
Tentu, UU PPLH 2009 mendasari kebijaksanaan lingkungan (pengelolaan lingkungan) di
Indonesia adalah didasarkan pada undang-undang,peraturan pemerintah dan peraturan
pelaksana lainnya yang merupakan instrumen kebijaksanaan (instrumen van beleid). Sifat
UU PLH sebagai “kaderwet” atau “ranwet” atau “umbrella provision” yang menampung
kebijaksanaan lingkungan di Indonesia menghendaki penjabaran lebih lanjut dalam
peraturan perundang-undangan lingkungan,sehingga jelas bahwa hukum mempunyai
hubungan yang sangat erat dengan kebijaksanaan. Dengan kata lain, bahwa legal policy
adalah merupakan rekayasa sosial dalam menerapkan hukum sebagai instrumen
mendasar untuk mengarahkan masyarakat menerima nilai-nilai baru. Dalam hubungan ini
terdapat tendensi pemecahan masalah menurut sistem hukum yang berlaku atau dilain
pihak masalah baru dipecahkan dengan cara “trial and error” untuk menemukan
penyelesaian dengan “common senese” atau pengalaman profesi
Persyaratan yang penting atas substansi kebijakan pengelolaan lingkungan hidup
adalah pembinaan terhadap peraturan perundang-undangan (legilasi) lingkungan yang
tangguh,dipersiapkan secara cermat dengan memperhitungkan unsur keterpaduan dalam
sistem pengaturan,sehingga efektivitasnya dapat tercapai secara maksimal. Kebijakan
nasional,sektoral dan daerah hendaknya dapat diuji manfaat dan kesesuaiannya dengan
tujuan pengelolaan lingkungan hidup. Untuk mencapai tujuan itu berbagai alternatif
sarana kebijakan lingkungan perlu mendapat perhatian agar dapat dituangkan dalam
bentuk peraturan perundang-undangan lingkungan. Unntuk itu substansi kebijakan
lingkungan merupakan bagian yang terpadu dari keseluruhan kebijakan pemerintah
dibidang pembangunan. Berdasarkan pada tujuan yang telah digariskan dan hendak
dicapai,maka dalam konteks pengelolaan lingkungan hidup ( UU PLH) yang berbasis
pada pembangunan berkelanjutan (sustainable development) adalah tetap terpeliharanya
daya dukung dan fungsi kelestarian lingkungan hidup yang dapat dinimati oleh generai
sekrang dan lebih lebih generasi yang akan datang.
3. Fungsi Kelembagaan dan Organisasi dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup
Prinsip hukum administrasi lingkungan selanjutnya adalah berhubungan dengan
prinsip kelembagaan dan organisasi pengolahan lingkungan. Lingkungan hidup dari segi
sifat atau karakteristiknya, adalah satu dan tidak terpisah (utuh). Namun, lingkungan dan
sumber daya alam, harus dibedakan atau di bagi, untuk mencapai sistem pengolahan yang
efektif dan efisien. Karena sumber daya alam memiliki aspek-aspek yang sangat
kompleks, maka kelembagaan organisasi di dalam pengelohan lingkungan hidup adalah
banyak pula.lingkungan dan sumber daya alam, dapat di bagi kepada berbagai sektor atau
bagian, yang di sesuaikan dengan dengan kategori/sifat sumber daya alam atau sumbersumber kebutuhan manusia. Secara konstitusional, sumber-sumber daya alam/lingkungan
adalah dikuasai negara. Negara melalui berbagai aparaturnya, berdasarkan pada
wewenang yang dimilikinya, melakukan tindakan hukum administrasi negara, seperti
dalam hal pengaturan (regeling) dan penetapan (beschikking). Aparaturnya negara,
berupa menteri-menteri dan badan-badan aparatur negara lainnya, memiliki batas-batas
kewenangan yang jelas terhadap pengolaan lingkungan hidup.
Dalam perspektif tindak administrasi kekuasaan dan kewenangan pengolahan
lingkungan, dikenal pola keterpaduan. Prinsip keterpaduan telah menjadi ciri penting
dalam hukum pengelolaan lingkungan, dan tampaknya setelah diadakannya deklarasi
Rip,ciri demikian telah mengarah kepada kesamaan hukum (legal harmony) bagi banyak
negara dalam sistem hukum lingkungannya masing-masing. Deklarasi Rio dalam hal ini
menetapkan perlunya keterpaduan,yang disebut dengan “principle of integration” yang
mengatakan”..environmental protection shall constitute an integral part of the
development proces...”. Prinsip Deklarasi Rio tersebut dalam konteks UU PPLH 2009
telah
diadopsi.
Prinsip
integrasi
berdampingan
dengan
prinsip-prinsip
koordinasi,sinkronisasi dan simplifikasi, yang jiga merupakan asas yang dianut dalam
UU PPLH 2009
Prinsip keterpaduan dalam pengelolaan lingkungan dapat dibedakan menjadi:
(i)keterpaduan atas kebijakan; (ii)keterpaduan perencanaan dan pelaksanaan kebijakan;
(iii)keterpaduan tata ruang berdasarkan corak atau karateristik sumber-sumber daya
lingkungan, dan (iv) keterpaduan dengan pelimpahan wewenang. Dalam kaitan ini
keterpaduan dalam pengelolaan lingkungan hidup adalah berupa:
a) Pemerintah menetapkan kebijakan nasional lingkungan hidup dan tata ruang secara
terpadu oleh masing-masing instansi pemerintah yang kompeten dan relevan,beserta
masyarakat dan para pelaku pembangunan lain,dengan memperhatikan nilai-nilai
agama,adat istiadat dan nilai yang hidup dalam masyarakat
b) Keterpapduan meliputi perencanaan (planning) dan pelaksanaan kebijakan (operating)
c) Keterpaduan meliputi tata ruang,perlindungan sumber-sumber daya alam non hayati
(abiotic resources);perlindungan sumber daya buatan (man made resources);perlindungan
sumber-sumber
daya
hayati
dan
ekosistemnya
(biotic
resources);cagar
budaya;keanekaragaman hayati dan perubahan iklim
d) Keterpaduan pengelolaan ditingkat nasional dilakukan secara koordinasi oleh menteri
e) Keterpaduan pengelolaan lingkungan dapat dilakukan dengan prinsip pelimpahan
wewenang pengelolaan lingkungan kepada perangkat di daerah, dengan prinsip
pembantuan Pemerintah Pusat, dan dengan prinsip menyerahkan sebagian urusan menjadi
urusan rumah tangga daerah.
Melalui kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat nasional dan daerah
yang tangguh diharapkan pengendalian pencemaran lingkungan dapat diterapkan secara
efektif dan efisien. Sesuai dengan namanya, UU PPLH 2009 juga memberikan fokus
perhatian pada pengelola lingkungan. Ketentuan umum pasal 1 angka (1) UU PPLH 2009
menyatakan: lingkungan hidup dalam pengertian ekologi tidak mengenal batas
wilayah,baik wilayah negara maupun wilayah administratif. Akan tetapi, lingkungan
hidup yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup harus jelas batas wilayah
wewenang pengelolaanya. Lingkungan yang dimaksud adaah lingkungan hidup
Indonesia.
Oleh karena itu,dalam melakukan pengelolaan lingkungan di bidang pengendalian
lingkungan hidup adalah tentsng kelembagaan dan kewenangan pengendalian
pencemaran lingkungan hidup melalui pertanyaan: instansi manakah yang memiliki
kewenangan pengendalian pencemaran lingkingan hidup di Indonesia,baik dalam tingkat
nasional maupun di daerah.
BAB III
PEMBAHASAN
Dari adanya prinsip hukum administrasi lingkungan yang ada yaitu peran serta
masyarakat dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup,Substansi kebijakan pengelolaan
lingkungan hidup,Fungsi kelembagaan dan organisasi dalam pengelolaan lingkungan hidup
bahwa Kota Surabaya telah menerapkan hanya beberapa persen prinsip hukum administrasi
lingkungan dalam pengelolaan Ruang Terbuka Hijau sehingga penerapannya belum semaksimal
mungkin. Kota Surabaya sebagai kota terbesar di Jawa Timur wajib menerapkan RTH seluas
20% luas kota,dimana 10% berupa hutan kota. RTH diSurabaya luasannya yanga da sekrang
menurut data Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Surabaya, RTH di Surabaya
realitanya hanya 3000 Ha dibandingkan dengan luasan kawasan yang terbangun,masih belum
mencukupi bagi Surabaya yang luasannya 326nribu ha. Berdasarkan RTRWP Jawa Timur tahun
2005-2020,RTH di Surabaya seharusnya ada sekitar 6500 Ha termasuk hutan kota.Bentuk RTH
yang sudah ada si Surabaya,adalah hutan kota,taman kota,taman rekreasi kota,Area hutan kota di
Surabaya,ada di Lakarsantri seluas 8Ha,Kebun bibit Wonorejo seluas 2 Ha dan Waduk Wonorejo
seluas 5Ha. Taman rekreasi kota Surabaya ada di Taman surya ,Taman bungkul, dan taman Flora
Kebun bibit,sedangkan bentuk RTH lainnya adalah taman kota dan jalur hijau di tepi atau
ditengah jalan utama,misalnya jalan Raya Darmo, serta area hijau di bangunan-bangunan yang
melestarikannya.
Realisasi RTH di Surabaya,sama dengan kota-kota besar di Indonesia lainnya,yaitu
kendala sulitnya ruang bagi RTH. Kesulitan ryang diperkotaan seringkali disebabkan
menjamurnya perumahan kumuh karena tingginya tingkat urbanisasi, keberadaan sektor
informal,akibat peningkatan kepadatan penduduk yang sangat cepat, atau pentingnya tujuan
pembangunan berkelanjutan yang lain,sehingga banyak areal RTH alih fungsi menjadi guna
lahan yang lain. Sangat terbatasnya ketersediaan ruang bagi RTH di perkotaan,seperti di
Surabaya juga disebabkan harga tanah ayng tinggi, kurangnya kemauan masyarakat untuk
berpartisipasi dan pelaksanaan regulasi perundang-undangan yang kurang memperhatikan
pentingnya RTH bagi kenyamanan hidup masyarakat didalam kota besar. Menurut Hakim dan
Abu Bakar (2003),perfungsian RTH masih punya makna pelengkap bagi kota,lebih parah lagi
dianggap cadangan utnuk penggunaan lahan di masa mendatang. Dari uraian diatas maka
difungsikan sebagai RTH. Pemerintah Kota Surabaya, sudah berusaha menata RTH lebih baik
dari sebelumnya,diawali dari Ibu Tri Rismaharini yang pada saat ini mejabat sebagai Kepala
Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Madya Surabaya. Beliau memulai dengan menghijaukan
dan menata kembali jalur-jalur hijau,taman rekreasi kota dan taman-taman kota di Surabaya yang
sudah lama tidak diperhatikan. Penataan penghijauan di Surabya masih diteruskan sampai kini
oleh Dinas Keberdihan dan Pertamanan Kota Madya Surabaya dan berhasil menghijaukan
sebagian besar jalur-jalur hijau,taman-taman kota,taman-taman rekreasi kota dan hutan
kota,sehingga telah mempercantik dan mempersegar kota Surabaya.
Di satu sisi Surabaya adalah ternasuk kota yang tekah berhasil menerapkan prinsip
hukum administrasi lingkungan khusunya dalam pengelolaan Ruang Terbuka Hijau. Surabaya,
kota terbesar kedua setelah Jakarta cukup konsen terhadap masalah lingkungan terutuma efek
rumah kaca yang bisa meningkatkan suhu bumi rata-rata 1°-5°C. Pemerintah Kota Surabaya pun
menyatakan ingin mengubah suhu udara kota menjadi lebih dingin dengan rerata 32°-30°C dari
suhu saat ini yang mencapai 34°C ketika siang hari. Salah satu langkah yang diambil pemerintah
adalah memperbanyak ruang terbuka hijau (RTH) sesuai UU No.26 Tahun 2007 tentang penataan
tata ruang yang menyebutkan bahwa kota harus memiliki 30% RTH dari total luas kota, 20% di
antaranya adalah RTH umum dan 10% RTH privat yang dibangun oleh swasta. Wali Kota
Surabaya Tri Rismaharini mengatakan saat ini RTH Surabaya telah mencapai 26% atau lebih dari
kewajiban. Bahkan, ingin agar Surabaya memiliki RTH hingga 35% yang akan dicapai pada
2025.
Johan Silas, pengamat tata kota dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)
Surabaya, mengatakan bahwa kota lain perlu mencotoh langkah Surabaya untuk memperbanyak
RTH, terutama kerjasama pihak swasta dan pemerintah agar saling mendukung mewujudkan
kota hijau. Johan menjelaskan RTH tidak saja berupa taman tetapi berbagai fasilitas umum, jalan,
sungai, bahkan makam. Jika diamati, banyak perubahan yang terjadi dalam penataan Kota
Surabaya seperti adanya pot-pot bunga crysan di sepanjang pedestrian jalan-jalan kota. Oleh
sebab itu penerapan prinsip hukum administrasi lingkungan dalam pengelolaan ruang terbuka
hijau bisa dikatakan 50% berhasil dan 50% tidak. Dikatakan berhasil karena sudah mencapai
25%
RTH sedangkan dikatakan tidak berhasil karena adanya ketidak seimbangan antara
pembangunan kota yang terus dilakukan dengan ruang terbuka hijau.
BAB IV
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Upaya
realisasi
dan
pengelolaan
RTH
di
Surabaya,
akhir-akhir
ini
memperlihatkan hasil yang baik bagi keindahan kota. Meskipun demikian daribeberapa
masalah RTH, seperti yang dikemukakan diatas, realisasi Surabaya Hijau atau “Green
City” atau kota taman dapat menjadi memprihatinkan. Karena rencana pembangunan
yang berkelanjutan akan tercapai melalui keseimbangan pertumbuhan ekonomi, socialpolitik dengan kepekaan pada budaya dan lingkungan,seringkali yang terjadi adalah
diutamakannya salah satu tujuan pembangunan,misalnya tujuan pertumbuhan ekonomi.
Hal ini memicu perubahan penggunaan guna ruang kota untuk tujuan pembangunan yang
lain, sehingga terjadi ketidak seimbangan Pembangunan Berkelanjutan.
Untuk mengurangi ketidak seimbangan realisasi pembangunan berkelanjutan,
Pemerintah Kota Surabaya, harus dapat melaksanakan tata guna ruang dan lahan dengan
tegas dan konsisten untuk mencapai RTH yang sudah direncanakan pada RTRWP Jawa
Timur tahun 2005 –2020, seluas 20% luas kota Surabaya,sekitar 6.500 Ha. RTH dengan
luas yang sebanding dengan luas kota dan direncanakan dengan baik akan mampu
memberikan kualitas lingkungan yang baik bagi masyarakat sekitarnya, disamping itu
mempunyai nilai ekonomi, ekologi, edukatif dan estetis. Pemerintah Kota harus dapat
mempertahankan tata guna lahan bagi RTH dan tidak dialihkan keguna lahan yang lain.
Beralihnya Kebun Bibit dari Pemkot ke pengelolaan PT SIP membuat keberlanjutan
perannya sebagai taman rekreasi kota seperti sekarang menjadi dipertanyakan.
Seharusnya tidak dimungkinkan pengalihan tata guna ruang atau lahan RTH
menjadi yang lain karena kepentingan ekonomi atau lainnya. Pemerintah Kota juga harus
bisa lebih jeli untuk menggunakan area yang memungkinkan digunakan menjadi RTH,
misalnya bantaran sungai, bibir saluran drainage kota dan mempertahankan ruang kota
dengan tata guna lahan sebagai RTH. Perencanaan sarana kota seperti RTH, pedestrian
atau trotoir seharusnya mempertimbangkan iklim kota tersebut seperti Surabaya yaitu
tropis lembab, dimana semua orang mendambakan iklim mikro yang lebih teduh, segar
dan nyaman dari sengatan matahari. Keteduhan, kesegaran dan kenyamanan dari
sengatan matahari dapat diperoleh dengan penanaman vegetasi yang cukup luas diruangruang terbuka karena peran mahkota pohon mereduksi radiasi matahari. Penanaman
vegetasi yang cukup luas dengan kerapatan yang sesuai mampu memperbaiki kualitas
udara dengan menyerap polutan dari kendaraan dan mengeluarkan O2. Penutupan
vegetasi pada permukaan tanah dapat memperbaiki kemampuan resapan air ketanah.
Keberadaan vegetasi yang sudah asri perlu dirawat dan dilestarikan tanpa harus ditebang
tetapi ditingkatkan perannya menjadi RTH yang lebih baik sesuai kondisi, fungsi,
peryaratan dan peraturan yang ada. Sehingga dapat memungkinkan terjadi siklus
ekosistim pada area yang dihijaukan, untuk mencapai tujuan pembangunan yang
berkelanjutan secara utuh
5.2 Saran
Penulis mengharapkan adanya upaya dan pemahaman terhadap esensi dan
manfaat harfiah taman kota sebagai sarana ruang terbuka hijau (RTH) oleh pemerintah
dan masyarakat. Adanya perhatian khusus dari pemerintah kota, dalam hal ini Dinas
Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya diperlukan untuk mengembangkan,
mengawasi, dan memelihara kondisi taman kota agar tidak kehilangan peran idealnya.
Pemerintah kota perlu meningkatkan kuantitas infrastruktur dan bangunan taman kota
sebagai upaya penekanan tingkat pencemaran. Juga diperlukan kesadaran tinggi bagi
masyarakat kota untuk memelihara dan memanfaatkan taman kota sebagai mana
mestinya.
DAFTAR PUSTAKA
Wanda
http://repository.petra.ac.id/15196/1/Surabaya_menjadi_Kota_Taman_atau.pdf. 4 Oktober
Peni W. 2014. Surabay Sejuk,Tri R. targetkan RTH 35% pada 2025.
W.
Surabaya
sebagai
Kota
Taman.
http://surabaya.bisnis.com/read/20140306/3/68828/surabaya-sejuk-tri-rismaharini
targetkan-rth-35-pada-2025. 6 Maret
Mukhlish, 2010, Hukum Administrasi Lingkungan Kontemporer, Setara press, Malang