Korupsi dalam perspektif pancasila (1)

BAB I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang

Perbincangan mengenai korupsi dari dulu hingga sekarang masih saja hangat
dibicarakan orang. Titik tekan dalam persoalan korupsi sebenarnya adalah masyarakat
masih belum melihat kesungguhan pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi.
Pemerintah masih bersifat tebang pilih dalam menegakkan hukum untuk kasus tindak
pidana korupsi. Pemerintah seolah melindungi para pelaku tindak pidana korupsi dengan
alasan kekerabatan atau masih anggota kroni dari partainya. Pejabat-pejabat
dipemerintahan yang terjerat kasus korupsi seolah malah balik berlindung dibawah hukum
dengan memanfaatkan celah kelemahan hukum.(Indonesian Coruption watch, Mengutip
Republika , rabu 10 september 2003)
Ibarat penyakit, korupsi di Indonesia telah berkembang dalam tiga tahap, yaitu
elitis, endemic, dan sistemik. Pada tahap elitis, korupsi masih menjadi patologi social yang
khas di lingkungan para elit/pejabat. Pada tahap endemic, korupsi mewabah menjangkau
masyarakat luas. Lalu di tahap yang kritis, ketika korupsi menjadi sistemik, setiap individu
di dalam sistem terjangkit penyakit yang serupa. Boleh jadi penyakit korupsi di bangsa ini
telah sampai pada tahap sistemik.(Ermansjah Djaja,2010:12). Abdullah Hehamahua dalam

Ermansjah Djaja mengemukakan bahwa “korupsi di Indonesia sudah tergolong extraordinary crimes karena telah merusak, tidak saja keuangan Negara dan potensi ekonomi
Negara, tetapi juga telah meluluhlantakkan pilar-pilar sosial budaya, moral, politik, dan
tatanan hukum dan keamanan nasional. Oleh karena itu, pola pemberantasannya tidak bisa
hanya oleh instansi tertentu dan tidak bisa juga dengan pendekatan parsial. Ia harus
dilakukan secara komprehensif dan bersama-sama, oleh penegak hukum, lembaga
masyarakat, dan individu anggota masyarakat. Untuk maksud itu, kita harus mengetahui
secara persis peta korupsi di Indonesia dan apa penyebab utamanya.
Pada masa kini, korupsi telah dianggap sebagai hal yang biasa, dengan dalih “sudah
sesuai prosedur”. Koruptor tidak lagi memiliki rasa malu dan takut, sebaliknya
memamerkan hasil korupsinya secara demonstratif. Perbuatan kejahatan korupsi
merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat,
sehingga kejahatan korupsi tidak dapat lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa (ordinary
crimes) melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa (extra- ordinary crimes). Sehingga
dalam upaya pemberantasannya tampak masih memerlukan perjuangan berat dan tidak lagi
dapat dilakukan “secara biasa”, tetapi dibutuhkan “cara-cara yang luar biasa”. Dengan
adanya tindakan oleh aparat penegak hukum, diharapkan kejahatan korupsi tidak semakin
meluas. Bilamana penegakan hukum kurang baik seperti sekarang ini maka kejahatan
semakin berkembang, korupsi semakin marak, kasus suap terjadi dimana-mana, penyalah
gunaan narkotika, dan sebagainya hanya dapat dikendalikan dari lembaga pemasyarakatan.
Akhirnya, sebaik apapun peraturan perundang-undangan yang ada pada akhirnya

tergantung pada aparat penegak hukumnya.
Bahkan, korupsi di Indonesia berkembang secara sistematik. Bagi banyak orang
korupsi bukan lagi merupakan suatu pelanggaran hukum, melainkan sekedar suatu
kebiasaan. Dalam seluruh penelitian perbandingan korupsi antar negara, Indonesia selalu
menempati paling rendah. Perkembangan korupsi di Indonesia mendorong pemberantasan
korupsi di Indonesia. Namun hingga kini pemberantasan korupsi di Indonesia belum

Tindak Pidana Korupsi dalam Perspektif Pancasila

Halaman 1

menunjukkan titik terang melihat peringkat Indonesia dalam perbandingan korupsi antar
Negara yang tetap rendah. Hal ini juga ditunjukkan dari banyaknya kasus-kasus korupsi di
Indonesia.
Pancasila sumber nilai anti Korupsi ini dibenarkan oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi yang menegaskan bahwa Pancasila sesungguhnya merupakan sumber nilai anti
korupsi. Persoalannya arah idiologi kita sekarang seperti di persimpangan jalan. Nilai-nilai
lain yang kita anut menjadikan tindak korupsi merebak kemana-mana. Korupsi itu terjadi
ketika ada pertemuan saat dan kesempatan. Akan tetapi, karena nilai-nilai kearifan lokal
semakin ditinggalkan, yang ada nilai-nilai kapitalis, sehingga terdoronglah seseorang untuk

bertindak korupsi.
Saatnya pancasila kembali direvitalisasi sebagai dasar filsafat Negara dan menjadi
“Prinsip prima” bersama-sama norma agama. Sebagai prinsip prima, maka nilai- nilai
pancasila dan norma-norma agama merupakan dasar untuk seluruh masyarakat Indonesia
berbuat baik. Sehingga, Pancasila dianggap sebagai ideologi yang bersifat universal karena
dalam Pancasila ada nilai-nilai sosialis religius dan nilai-nilai etis. Sayang seribu sayang,
nilai-nilai itu tampaknya belum diamalkan dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia.
Pancasila kerap kali ditafsirkan sepihak, dan cenderung diselewengkan sejumlah oknum
dan pejabat negara. Nurani sebagian pejabat di Indonesia tidak lagi berjiwa Pancasilais.
Tak heran, jika korupsi merajalela dan merebak di mana mana.
1.2

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini
dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1. Apa yang melatarbelakangi tindak pidana korupsi di Indonesia?
2. Mengapa penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia masih bersifat
tebang pilih?
3. Bagaimana upaya pemerintah Indonesia dalam mencegah dan memberantas

tindak pindana korupsi?
1.3

Tujuan Pembahasan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan yang akan dicapai dalam tulisan ini
dirumuskan dalam pernyataan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui faktor – faktor yang melatarbelakangi tindak pidana
korupsi di Indonesia.
2. Untuk menjelaskan alasan penegakan hukum tindak pidana korupsi yang
masih bersifat tebang pilih di Indonesia.
3. Untuk mengetahui upaya pemerintah Indonesia dalam mencegah dan
memberantas tindak pidana korupsi.

Tindak Pidana Korupsi dalam Perspektif Pancasila

Halaman 2

BAB II
PEMBAHASAN

2.1

Faktor – faktor yang Melatarbelakangi Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

Kata korupsi berasal dari bahasa latin corruption atau corruptus, yang selanjutnya
disebutkan bahwa corruptio itu berasal pula dari kata asal corrumpere, suatu kata dalam
bahasa latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun kebanyak bahasa Eropa seperti
Inggris, yaitu corruption, corrupt; Belanda, yaitu corruptive (korruptie), dan menjadi
bahasa Indonesia, yaitu “korupsi”, yang mengandung arti perbuatan korup, penyuapan.
(Ermansjah Djaja, 2010 : 23). Dalam The Lexion Webster Dictionary kata korupsi berarti :
kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral,
penyimpangan dari kesucian, kata–kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.
Definisi tentang korupsi dapat dipandang dari berbagai aspek, bergantung pada disiplin
ilmu yang dipergunakan sebagaimana dikemukakan oleh Benveniste dalam Suyanto,
korupsi didefinisikan menjadi 4 (empat) jenis, yaitu sebagai berikut.
1. Discretionery corruption, ialah korupsi yang dilakukan karena adanya
kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan, sekalipun nampaknya bersifat
sah, bukanlah praktik-praktik yang dapat diterima oleh para anggota organisasi.
2. Illegal corruption, ialah suatu jenis tindakan yang bermaksud mengacaukan
bahasa atau maksud-maksud hukum, peraturan dan regulasi tertentu.

3. Mercenary corruption, ialah jenis tindak pidana korupsi yang dimaksud untuk
memperoleh keuntungan pribadi, melalui penyalahgunaan wewenang dan
kekuasaan.
4. Ideological corruption, ialah jenis korupsi illegal maupun discretionery yang
dimaksudkan untuk mengejar tujuan kelompok. (Ermansjah Djaja, 2010:22)
Tindak pidana korupsi menurut Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 serta
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 disimpulakan ada 33 tindakan yang dikategorikan
sebagai korupsi yang telah dikelompokkan menjadi 7 sebagai berikut.
1. Korupsi yang terkait dengan merugikan keuangan Negara.
2. Korupsi yang terkait dengan suap-menyuap.
3. Korupsi yang terkait dengan penggelapan dalam jabatan.
4. Korupsi yang terkait dengan pemerasan.
5. Korupsi yang terkait dengan perbuatan curang.
6. Korupsi yang terkait dengan benturan kepentingan dalam pengadaan.
7. Korupsi yang terkait dengan gratifikasi.
Apabila disederhanakan penyebab korupsi meliputi dua faktor yaitu faktor internal
dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan penyebab korupsi yang datang dari diri
pribadi sedang faktor eksternal adalah faktor penyebab terjadinya korupsi karena sebabsebab dari luar. Faktor Internal terdiri dari aspek moral, misalnya lemahnya keimanan,
kejujuran, rasa malu, aspek sikap atau perilaku misalnya pola hidup konsumtif dan aspek
sosial seperti keluarga yang dapat mendorong seseorang untuk berperilaku korup. Faktor

Eksternal bisa dilacak dari aspek ekonomi misalnya pendapatan atau gaji yang tidak
mencukupi kebutuhan, aspek politis misalnya instabilitas politik, kepentingan politis, aspek
managemen dan organisasi yaitu ketiadaan akuntabilitas dan transparansi, aspek hukum
meliputi buruknya wujud perundang – undangan dan lemahnya penegakkan hukum, serta
aspek sosial seperti lingkungan atau masyarakat yang kurang medukung tindakan anti
korup.

Tindak Pidana Korupsi dalam Perspektif Pancasila

Halaman 3

Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi, baik berasal dari dalam diri
pelaku atau dari luar pelaku. Sebagaimana dikatakan Yamamah bahwa ketika perilaku
materialistik dan konsumtif masyarakat serta sistem politik yang masih “mendewakan”
materi maka dapat “memaksa” terjadinya permainan uang dan korupsi (Ansari Yamamah :
2009) “Dengan kondisi seperti itu hampir dapat dipastikan seluruh pejabat kemudian
'terpaksa' korupsi kalau sudah menjabat”. Nur Syam (2000) mengemukakan pandangannya
bahwa penyebab seseorang melakukan korupsi adalah karena ketergodaannya akan dunia
materi atau kekayaan yang tidak mampu ditahannya. Ketika dorongan untuk menjadi kaya
tidak mampu ditahan sementara ada akses kekayaan dapat diperoleh dengan cara korupsi,

maka jadilah seseorang melakukan tindakan korupsi.
Pandangan lain dikemukakan Arifin (2000) yang mengidentifikasi faktor – faktor
penyebab terjadinya korupsi antara lain : (1) aspek perilaku individu (2) aspek organisasi
(3) aspek masyarakat tempat individudan organisasi berada. Tehadap aspek individu Isa
Wahyudi (2007) berpendapat bahwa dorongan dari dalam individu antara lain : sifat tamak
manusia, moral yang kurang kuat menghadapi godaan, gaya hidup konsumtif, tidak mau
bekerja keras. Tidak jauh berbeda dari pendapat – pendapat sebelumnya, Erry Riyana
Hardjapamekas (2008) mengemukakan bahwa tingginya kasus korupsi di negeri ini
disebabkan oleh beberapa hal diantaranya: (1) Kurang keteladanan dan kepemimpinan elite
bangsa (2) Rendahnya gaji Pegawai Negeri Sipil (3) Lemahnya komitmen dan konsistensi
penegakan hukum dan peraturan perundangan (4) Rendahnya integritas dan
profesionalisme (5) Mekanisme pengawasan internal di semua lembaga perbankan,
keuangan, dan birokrasi belum mapan (6) Kondisi lingkungan kerja, tugas jabatan, dan
lingkungan masyarakat (7) Lemahnya keimanan, kejujuran, rasa malu, moral, dan etika.
Secara umum faktor penyebab korupsi dapat terjadi karena faktor politik, hukum,
dan ekonomi, sebagaimana dalam buku berjudul Peran Parlemen dalam Membasmi
Korupsi (ICW : 2000) yang mengidentifikasikan empat faktor penyebab korupsi yaitu
faktor politik, faktor hukum, faktor ekonomi dan birokrasi serta faktor transnasional.
1. Faktor Politik
Politik merupakan salah satu penyebab terjadiya korupsi. Hal ini dapat

dilihat ketika terjadi instabilitas politik, kepentingan politis para pemegang
kekuasaan, bahkan ketika meraih dan mempertahankan kekuasaan. Perilaku
korup seperti penyuapan, politik uang merupakan fenomena yang sering terjadi.
Terrence Gomes (2000) memberikan gambaran bahwa politik uang (money
politik) sebagai use of money and material benefits in the persuit of political
influence. “Politik uang merupakan tingkah laku negatif karena uang digunakan
untuk membeli suara atau menyogok para pemilih atau anggota – anggota partai
supaya memenangkan pemilu si pemberi uang. Selain itu, penyimpangan
pemberian kredit atau penarikan pajak pada pengusaha, kongsi antara pengusaha
dan pengusaha, kasus – kasus pejabat Bank Indonesia dan Menteri pada bidang
ekonomi pada rezim lalu merupakan sederet kasus yang menggambarkan aspek
politik yang dapat menyebabkan korupsi”. (Handoyo : 2009)
Menurut Susanto (2002) korupsi pada level pemerintahan adalah dari sisi
penerimaan, pemerasan uang suap, pemberian perlindungan, pencurian barang –
barang publik untuk kepentingan pribadi, tergolong korupsi yang disebabkan
oleh konstelasi politik. Sementara menurut De Asis, korupsi politik misalnya
perilaku curang (politik uang) pada pemilihan anggota legislatif atapun pejabat –
pejabat eksekutif, dana ilegal untuk pembiayaan kampanye, penyelesaian

Tindak Pidana Korupsi dalam Perspektif Pancasila


Halaman 4

parlemen dengan cara – cara ilegal dan teknik lobi yang menyimpang (De Asis :
2000). Penelitian James Scott (Mochtar Mas'oed : 1994) mendiskripsikan bahwa
dalam masyarakat dengan ciri pelembagaan politik eksklusif dimana kompetisi
politik dibatasi pada lapisan tipis elit dan perbedaan antar elit lebih didasarkan
pada klik pribadi dan bukan pada isu kebijakan, yang terjadi pada umumnya
desakan kultural dan struktural untuk korupsi itu betul – betul terwujud dalam
tindakan korupsi para pejabatnya. Robert Klitgaard (2005) menjelaskan bahwa
proses terjadinya korupsi dengan formulasi M+D – A = C. Simbol M adalah
monopoly, D adalah discretionary (kewenangan), A adalah accountabillity
(pertanggungjawaban). Penjelasan atas simbol tersebut dapat dikatakan bahwa
korupsi adalah hasil dari adanya monopoli (kekuasan) ditambah dengan
kewenangan yang begitu besar tanpa keterbukaan dan pertanggungjawaban.
2. Faktor Hukum
Faktor hukum bisa lihat dari dua sisi, di satu sisi dari aspek perundang –
undangan dan sisi lain lemahnya penegakkan hukum. Tidak baiknya substansi
hukum, mudah ditemukan dalam aturan – aturan yang diskriminatif dan tidak
adil; rumusan yang tidak jelas-tegas sehingga multi tafsir; kontradiksi dan

overlapping dengan peraturan lain. Sanksi yang tidak equivalen dengan
perbuatan yang dilarang sehingga tidak tepat sasaran serta dirasa terlalu ringan
atau terlalu berat; penggunaan konsep yang berbeda – beda untuk sesuatu yang
sama, semua itu memungkinkan suatu peraturan tidak kompatibel dengan
realitas yang ada sehingga tidak fungsional atau tidak produktif dan mengalami
resistensi. Penyebab keadaan ini sangat beragam, namun yang dominan adalah:
(1) tawar-menawar dan pertarungan kepentingan antara kelompok dan golongan
di parlemen, sehingga memunculkan aturan yang bias dan diskriminatif. (2)
praktek politik uang dalam perbuatan hukum berupa suap menyuap, utamanya
menyangkut perundang – undangan di bidang ekonomi dan bisnis. Akibatnya
timbul peraturan yang elastis dan multi tafsir serta tumpang tindih dengan aturan
lain sehingga mudah dimanfaatkan untuk menyelamatkan pihak – pihak
pemesan. Sering ula ancaman sanksinya dirumuskan begitu ringan sehingga
tidak memberatkan pihak yang berkepentingan.
Selaras dengan hal itu Susila (dalam Hamzah : 2004) menyebutkan
tindakan korupsi mudah timbul karena ada kelemahan di dalam peraturan
perundang – undangan, yang meliputi: (a) adanya peraturan perundang –
undangan yang bermuatan kepentigan pihak – pihak tertentu (b) kualitas
perundang – undangan kurang memadai (c) peraturan kurang disosialisasikan
(d) sanksi yang terlalu ringan (e) penerapan sanksi yang tidak konsisten dan
pandang bulu (f) lemahnya bidang evaluasi dan revisi peraturan perundang –
undangan. Dari beberapa hal yang disampaikan, yang paling penting adalah
budaya sadar akan aturan hukum. Dengan sadar hukum, maka masyarakat akan
mengerti akan konsekuensi dari apa yang ia lakukan. Sementara itu Rahman
Saleh merinci ada empat faktor dominan penyebab korupsi di Indonesia, yakni
faktor penegakkan hukum, mental aparatur, kesadaran masyarakat yang masih
rendah, dan rendahnya “political will”. (Rahman Saleh : 2006)
3. Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi juga merupakan salah satu penyebab korupsi. Hal itu
dapat dijelaskan dari pendapatan atau gaji yang tidak mencukupi kebutuhan.

Tindak Pidana Korupsi dalam Perspektif Pancasila

Halaman 5

Namun pendapat ini tidak mutlak benar karena dalam teori kebutuhan Maslow,
sebagaimana dikutip Sulistyantoro, korupsi seharusnya hanya dilakukan oleh
orang untuk memenuhi dua kebutuhan yang paling bawah dan logika lurusnya
hanya dilakukan oleh komunitas masyarakat yang pas-pasan yang bertahan
hidup. Namun saat ini korupsi dilakukan oleh orang kaya dan berpendidikan
tinggi (Sulistyantoro : 2004). Schoorl berpendapat bahwa di Indonesia pada
awal tahun enampuluhan, situasinya begitu merosot, sehingga untuk gologan
terbesar dari pegawai gaji sebulan hanya cukup untuk makan dua minggu. Dapat
dipahami, bahwa dengan situasi demikian para pegawai terpaksa mencari
penghasilan tambahan dan bahwa banyak diantara mereka mendapatkannya
dengan meminta uang ekstra (Hamzah : 1995). Hal demikian juga diungkapka
oleh KPK dalam buku Tambahan Penghasilan Bagi Pegawai Negeri Sipil
Daerah (KPK : 2006), bahwa sistem penggajian kepegawaian sangat terkait
dengan kinerja aparatur pemerintah. Tingkat gaji yang tidak memenuhi standar
hidup minimal pegawai merupakan masalah sulit yang harus dituntaskan
penyelesaiaannya. Aparatur pemerintah yang merasa pengahsilan yan
diterimanya tidak sesuai dengan kontribusi yang diberikannya dalam
menjalankan tugas pokoknya tidak akan dapat secara optimal melaksanakan
tugas pokoknya.
Selain rendahnya gaji pegawai, banyak aspek ekonomi lain yang menjadi
penyebab terjadinya korupsi, diantaranya adalah kekuasaan pemerintah yang
dibarengi dengan faktor kesempatan bagi pegawai pemerintah untuk memenuhi
kekayaan mereka dan kroninya. Terkait faktor ekonomi dan terjadinya korupsi,
banyak pendapat menyatakan bahwa kemiskinan merupakan akar permasalahan
korupsi. Pernyataan demikian tidak benar sepenuhnya, sebab banyak korupsi
yang dilakukan pemimpin Asia dan Afrika, dan mereka tidak tergolong orang
miskin. Dengan demikian korupsi tidak disebabkan oleh kemiskinan, tapi justru
sebaliknya, kemiskinan disebabkan oleh korupsi (Pope : 2003). Menurut Henry
Kissinger korupsi politisi membuat sepuluh persen lainnya terlihat buruk. Dari
keinginan pribadi untuk keuntungan yang tidak adil, untuk ketidakpercayaan
dalam sistem peradilan, untuk ketidakstabilan lengkap dalam identitas bangsa,
ada banyak faktor motivasi orang kekuasaan, anggota parlemen termasuk warga
biasa, untuk terlibat dalam perilaku korup.
4. Faktor Organisasi
Organisasi dalam hal ini adalah organisasi dalam arti luas, termasuk
pengorganisasian lingkungan masyarakat. Organisasi yang menjadi korban
korupsi atau dimana korupsi terjadi biasanya memberi andil terjadinya korupsi
karena membuka peluang atau kesempatan untuk terjadinya korupsi (Tunggal :
2000). Bilamana organisasi tersebut tidak mebuka peluang sedikitpun bagi
seseorang untuk melakukan korupsi, maka korupsi tidak akan terjadi. Aspek –
aspek penyebab terjadinya korupsi dari sudut pandang organisasi ini meliputi:
(a) kurang adanya teladan dari pimpinan (b) tidak adanya kultur organisasi yang
benar (c) sistem akuntabilitas di instansi pemerintah kurang memadai (d)
manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam organisasinya. Terkait dengan
hal itu Lyman W. Porter (1984) menyebut lima fungsi penting dalam
organizational goals: (1) focus attention (2) provide a source of legitimacy (3)
affect the structure of the organization (4) serve as a standard (5) provide clues
about the organization.

Tindak Pidana Korupsi dalam Perspektif Pancasila

Halaman 6

Focus attention, dapat dijadikan bagi para anggota sebagai semacam
guideline untuk memusatkan usaha-usaha dan kegiatan-kegiatan para anggota
dan organisasi sebagai kesatuan. Melalui tujuan organisasi, para anggota dapat
memiliki arah yang jelas tentang segala kegiatan dan tentang apa yang tidak,
serta apa yang harus dikerjakan dalam kerangka organisasi. Tindak tanduk atas
kegiatan dalam organisasi, oleh karennya senantiasa berorientasi kepada tujuan
organisasi, baik disadari maupun tidak. Dalam fungsinya sebagai dasar
legitimasi atau pembenaran tujuan oragnisasi dapat dijadikan oleh para anggota
sebagai dasar keabsahan dan kebenaran tindakan-tindakan dan keputusannya.
Tujuan organisasi juga berfungsi menyediakan pedoman-pedoman bagi para
anggotanya untuk menentukan cara terbaik dalam melaksanakan tugas dan
melakukan suatu tindakan. Organisasi dapat berfungsi dengan baik , hanya bila
anggotanya bersedia mengintegrasikan diri di bawah sebuah pola tingkah laku
atau aturan yang telah ditentukan bersama. Di sinilah letak jika kurangnya
keteladanan pemimpin dapat memicu perilaku korup.
2.2

Alasan Penegakkan Hukum yang masih Bersifat Tebang Pilih

Intitusi penegak hukum adalah salah satu pilar dalam penerapan rule of law di
Indonesia. Proses penegakan menjadi cermin dari entitas suatu nilai yang ada dalam
masayarakat. Jika respon masyarakat terhadap intitusi penegak hukum lemah maka apa
yang tercantum dalam UUD NRI 1945 Pasal 1 ayat (3) bahwa Negara Indonesia adalah
negara hukum menjadi keniscayaan. Dalam teori konfigurasi politik, hukum bersifat
responsif karena hukum berasal dari masyarakat dan tidak boleh represif karena akan
menimbulkan kekacauan politik, namun dalam pelaksanaan penegakan hukum, hukum
tidak boleh dipolitisasi karena ranah penegakan hukum sudah menyangkut pelaksanaan
dari konstitusi. Dalam Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945 bahwa kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan.
Kemedekaan ini diartikan adalah merdeka dari siapapun tanpa adanya tebang pilih
demi menegakkan hukum dan keadilan. Keadilan untuk siapa keadilan yang sebesarbesarnya untuk korban dan siapakah korban itu, orang yang patut diduga telah melakukan
tindak pidana(dalam hal ini semua kasus). Dalam Kasus Budi Gunawan dan Bambang
Widjojanto telah mengikutsertakan institusi penegak hukum antara Komisi Pemberantasan
Korupsi versus Kepolisian Republik Indonesia tentang penetapan keduanya menjadi
tersangka, ini menjadi sangat mengganggu terhadap mekanisme proses pemberantasan
korupsi di Indonesia dan ketanegaraan kita, dengan keduanya ditetapkan menjadi tersangka
maka reputasi dari institusi penegak hukum telah dipertanyakan, keduanya dianggap telah
memenuhi 2 (dua) alat bukti yang sah untuk ditetapkan menjadi tersangka. Namun,
demikian yang menjadi pertanyaan masyarakat adalah kapan tindak pidana itu dilakukan
dan mekanisme prosedur penetapan menjadi tersangka menjadi pertanyaan publik saat ini.
Standard Operating Procedure (SOP) yang jelas dalam penegakan hukum, baik
yang berkaitan dengan penangkapan, penggeledahan, dan penahanan, penuntutan sampai
menuju proses persidangan hingga berkhir pada putusan inkracht. Seseorang menjadi
tersangka atau terdakwa bahkan saksi sekali pun patut dilindungi hak dan kemerdekaannya
di muka hukum agar peradilan ini bersifat fairness tanpa memandang status kedudukan dan
jabatan. Siapa saja yang patut diduga telah melakukan tindak pidana hurus diproses dengan
asas cepat, sederhana dan biaya ringan.

Tindak Pidana Korupsi dalam Perspektif Pancasila

Halaman 7

Melihat kondisi saat ini kasus-kasus yang masuk dalam ranah pengadilan dinilai
lambat dan berbelit-belit, inipun akan menyalahi undang-undang, hal ini dapat dilihat
dengan menumpuknya perkara di pengadilan dan penyidikan yang berjalan lambat dan
cenderung menggunakan masa penahanan maksimal, padahal jika dilihat dari jenis pidana,
jika seseorang patut diduga telah melakukan tindak pidana dan unsur-unsur telah dipenuhi
maka segera proses ke pengadilan, selain menjamin kepastian hukum juga perlindungan
terhadap martabat manusia. Hal ini tidak terjadi di negara kita, perkara yang diajukan bisa
memakan waktu yang lama dengan alasan masih ada perpanjangan masa penahanan dan
belum P21, ini sebenarnya diperbolehkan, namun bertentangan dengan asas hukum pidana.
Seharusnya mekanisme dan prosedur dalam penyidikan harus lebih jelas dan tegas agar
terjaga kualitas dan integritas dalam proses penyidikan sehingga kepercayaan masyarakat
terhadap institusi penegak hukum khususnya penyidik akan menjadi pioneer utama dalam
lini penegakan hukum yang efektif dan bermartabat baik penyidik KPK maupun penyidik
POLRI.
Mekanisme Integrated Criminal Justice System Tujuan hukum adalah untuk
keadilan dan orientasinya untuk daya guna bagi masyarakat banyak serta peningkatan
martabat kemanusiaan. Bukan sekedar sebagai instrumen kelestarian kekuasaan suatu
rezim. Hal ini mengisyaratkan bahwa pembentukan undang-undang secara prosedural tidak
boleh melanggar kaidah konstitusi, sehingga penyimpangan secara fundamental harus
dihindarkan. Oleh sebab itu penjatuhan pidana bukan semata-mata menghukum dengan
seberat- beratnya namun demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan rasa
aman di masyarakat serta demi kesejahteraan rakyat Indonesia. Hubungan koordinasi dari
institusi penegak hukum sebagai penggerak dalam meningkatkan nilai-nilai keadilan dalam
masyarakat lebih dikedepankan sehingga akan menjamin terhadap nilai keadilan dan
kepastian hukum sendiri, bukan sebagai mata rantai yang panjang dan berbelit-belit dalam
urusan penegakan hukum, seharusnya institusi itu menjadi jembatan dalam lahirnya pola
pencarian keadilan dan kebenaran. Dengan adanya Integreted Criminal Justice System
dalam intitusi penegak hukum, di antaranya polisi/penyidik, jaksa, hakim, advokat sampai
Lembaga Pemasyarakatan, harus memiliki tugas dan fungsi yang jelas tanpa pandang bulu
dan tidak tebang pilih jika ada indikasi patut diduga melakukan tindak pidana maka segera
lakukan penyidikan dan penyelidikan, sehingga tidak ada kasus yang baru 5 atau 10 tahun
kemudian baru dilakukan penyidikan sehingga barang bukti dan alat bukti yang patut
diduga sebagai hasil kejahatan untuk dijadikan alat bukti masih ada dan tersimpan rapi atau
bahkan sudah musnah/hilang.
Dalam pelaksanaan penegakan hukum tidak boleh disamakan dengan proses
pembuatan produk hukum hasil dari mekanisme politik, perkara muncul dan hilang sesuai
pesanan politik. Yang perlu dibenahi adalah memperjelas SOP dalam intitusi penegak
hukum secara efektif dan berkualitas sehingga input dan output yang dihasilkan jelas dan
terukur, Seperti contoh jika perkara yang sudah diproses dalam penyidikan membutuhkan
waktu berapa lama untuk tiap-tiap perkara dengan spesifik masalah sampai bukti dianggap
lengkap, jangan sampai kasus pencurian ayam misalkan disamakan dengan kasus korupsi
atau narkoba atau sebaliknya memakan waktu yang lama untuk kasus kasus tertentu,
sehingga menjadi tebang pilih dalam penegakan hukum dan tidak bisa diukur dengan
prosedur kualitas dan kuantitas proses peradilan.
Dalam kerangka mendorong sistem peradilan pidana terpadu (integreted criminal
justice system) dengan terciptanya sistem peradilan pidana yang mampu
menghadirkankeadilan dengan peradilan yang adil dan tidak memihak sesuai dengan

Tindak Pidana Korupsi dalam Perspektif Pancasila

Halaman 8

prinsip-prinsip fair trial maka diharapkan institusi penegak hukum mampu menjadi
penyeimbang dalam gerak dan langkah dalam proses pidana baik itu pidana formil, pidana
materiil maupun pelembagaan peradilan pidana, sejauhmana efek dari tingkat pidana itu
mempengaruhi sikap dan prilaku masyarakat selama ini sehigga tidak terjadi penumpukan
perkara di pengadilan dan lembaga pemasayarakatan yang over capacity serta tingkat
kejahatan yang tiap tahun semakin meningkat maka perlu kecermatan dan kehati-hatian
serta sikap bijak dalam menyikapi persoalan korban, saksi maupun terpidana dalam satu
koridor menegakkan kebenaran dan keadilan untuk menurunkan angka kriminalitas.
Melakukan komunikasi dan koordinasi antar intitusi penegak hukum secara baik,
profesional, transparan dan kredibel serta berintegritas juga perlu untuk dilakukan.
Mekanisme Diskresi Penegakan hukum nantinya juga tidak lepas dari diskresi
dengan tiga syarat yakni, demi kepentingan umum, masih dalam batas wilayah
kewenangannya, dan tidak melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik
(AUPB ). Diskesi dilakukan karena adanya ketiga hal tersebut di atas salah satunya demi
menyelamatkan kepentingan umum. Jika demi kepentingan umum dianggap cocok dalam
mengambil langkah untuk diskresi maka kebijakan inipun harus dikonsultasikan dan
dikomunikasikan dengan pimpinan tertinggi dalam memutuskan perkara dan melalui uji
publik terlebih dahulu sehingga tidak melanggar asas asas umum pemerintahan yang baik.
Perkara ini layak untuk dilakukan diskresi jika ini menyangkut nilai-nilai yang hidup
dalam masyarakat sehingga layak untuk memperoleh hak istimewa dan diskresi juga
dipergunakan bukan untuk memperoleh imbalan, hadiah atau jasa yang berakibat pada
gratifikasi tapi ini murni akan dikembalikan lagi kepada ranah hukum yang konstitusional.
Diskresi juga bukan menjadi alasan dalam tebang pilih perkara.
Jenis-jenis Penjatuhan Pidana yang Dapat dilakukan Hakim terhadap Terdakwa
Tindak Pidana Korupsi sesuai Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 serta UndangUndang Nomor 20 tahun 2001 adalah berupa sebagai berikut.
1. Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi
 Pidana Mati
 Pidana Penjara
 Pidana Tambahan, berupa perampasan barang bergerak yang berwujud atau
tidak berwujud atau barang yang diperoleh dari tindak pidana korupsi,
pembayaran uang pengganti sebanyak yang telah diperoleh dari hasil korupsi,
penutupan seluruh atau sebagian perusahaan selama paling lama 1 tahun,
pencabutan hak-hak tertentu, penyitaan terhadap harta benda jika pelaku tidak
membayar uang pengganti.
 Gugatan perdata Kepada Ahli Warisnya. Jika dalam pemeriksaan, terdakwa
meninggal dunia, dan secara penyelidikan dibenarkan telah melakukan tindak
korupsi, penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas acara sidang
kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan kepada ahli waris
pelaku korupsi tersebut.
2. Terhadap Tindak Pidana yang dilakukan Oleh atau Atas Nama Korporasi
Tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dn atau pengurusnya.
Penjatuhan pidana ini melalui prosedur ketentuan pasal 20 Undang-Undang Nomor 31
tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001.

Tindak Pidana Korupsi dalam Perspektif Pancasila

Halaman 9

Putusan Hakim terhadap Terdakwa Tindak Pidana Korupsi dapat digolongkan
menjadi 2 sebagai berikut.
1. Putusan Akhir
putusan yang dikeluarkan oleh hakim atau pengadilan terhadap terdakwa tindak pidana
korupsi yang hadir di persidangan , sampai dengan pokok perkaranya selesai diperiksa.
Penjatuhan putusan melalui proses-proses yang sesuai dengan prosedu pengadilan .
2. Putusan yang Bukan Putusan Akhir
Dalam prakteknya, putusan yang bukan merupakan putusan akhir dapat berupa penetapan
atau putusan sela atau sering disebut putusan tussen-vonnis dalam bahasa Belanda. Putusan
ini masih memungkinkan perkara tersebut dibuka kembali karena ada perlawan yang
dibenarkan, juga karena dalam hal ini materi pokok perkara atau pokok perkara yang
sebenarnya yaitu dari keterangan para saksi, terdakwa serta proses berikutnya belum
diperiksa oleh majelis hakim.
Bentuk putusan Hakim dalam Tindak Pidana Korupsi menurut Pasal 191 ayat (1) dan (2)
serta Pasal 193 ayat (1) KUHP sebagai berikut.
1. Putusan bebas.
2. Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum
3. Putusan pemidanaan.
(Fijnaut dan Huberts : 2002): “It is always necessary to relate anti-corruption strategies to
characteristics of the actors involved (and the environment they operate in). There is no
single concept and program of good governance for all countries and organizations, there
is no ‘one right way’. There are many initiatives and most are tailored to specifics
contexts. Societies and organizations will have to seek their own solutions.” Dari
pernyataan ini dapat dipahami bahwa sangat penting untuk menghubungkan strategi atau
upaya pemberantasan korupsi dengan melihat karakteristik dari berbagai pihak yang
terlibat serta lingkungan di mana mereka bekerja atau beroperasi.
Tidak ada jawaban, konsep atau program tunggal untuk setiap negara atau
organisasi. Ada begitu banyak strategi, cara atau upaya yang kesemuanya harus
disesuaikan dengan konteks, masyarakat maupun organisasi yang dituju. Setiap negara,
masyarakat mapun organisasi harus mencari cara mereka sendiri untuk menemukan
solusinya. Di muka telah dipaparkan bahwa upaya yang paling tepat untuk memberantas
korupsi adalah dengan memberikan pidana atau menghukum seberat-beratnya pelaku
korupsi. Dengan demikian bidang hukum khususnya hukum pidana akan dianggap sebagai
jawaban yang paling tepat untuk memberantas korupsi. Benarkah demikian? Kebijakan
penanggulangan kejahatan atau yang biasa dikenal dengan istilah politik kriminal atau
criminal policy oleh G.Peter Hoefnagels dibedakan sebagai berikut (Nawawi Arief : 2008).
1. Kebijakan penerapan hukum pidana (criminal law application).
2. Kebijakan pencegahan tanpa hukum pidana (prevention without punishment).
3. Kebijakan untuk mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan
pemidanaan lewat mass media (influencing views of society on crime and
punishment / mass media).
Melihat pembedaan tersebut, secara garis besar upaya penanggulangan kejahatan
dapat dibagi menjadi 2 (dua) yakni melalui jalur penal (dengan menggunakan hukum
pidana) dan jalur non-penal (diselesaikan di luar hukum pidana dengan sarana-sarana nonpenal). Secara kasar menurut Barda Nawawi Arief, upaya penanggulangan kejahatan
melalui
jalur
penal
lebih
menitikberatkan
pada
sifat
repressive
Tindak Pidana Korupsi dalam Perspektif Pancasila

Halaman
10

(penumpasan/penindasan/pemberantasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur nonpenal lebih menitikberatkan pada sifat preventif (pencegahan). Dikatakan secara kasar,
karena tindakan represif juga dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas
(Nawawi Arief : 2008). Sifat preventif memang bukan menjadi fokus kerja aparat penegak
hukum. Namun untuk pencegahan korupsi sifat ini dapat ditemui dalam salah satu tugas
dari Komisi Pemberantasan Korupsi yang memiliki Deputi Bidang Pencegahan yang di
dalamnya terdapat Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat.
Ada hal penting yang patut dipikirkan dalam menggunakan upaya penal. Hal ini
didasarkan pada pertimbangan bahwa sarana penal memiliki ‘keterbatasan’ dan
mengandung beberapa ‘kelemahan’ (sisi negatif ) sehingga fungsinya seharusnya hanya
digunakan secara ‘subsidair’. Pertimbangan tersebut (Nawawi Arief : 1998) adalah :
1. Dilihat secara dogmatis, sanksi pidana merupakan jenis sanksi yang paling tajam
dalam bidang hukum, sehingga harus digunakan sebagai ultimum remedium (obat
yang terakhir apabila cara lain atau bidang hukum lain sudah tidak dapat
digunakan lagi).
2. Dilihat secara fungsional/pragmatis, operasionalisasi dan aplikasinya menuntut
biaya yang tinggi.
3. Sanksi pidana mengandung sifat kontradiktif/paradoksal yang mengadung efek
sampingan yang negatif. Hal ini dapat dilihat dari kondisi overload Lembaga
Pemasyarakatan.
4. Penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya merupakan
‘kurieren am symptom’ (menyembuhkan gejala), ia hanya merupakan pengobatan
simptomatik bukan pengobatan kausatif karena sebab-sebab kejahatan demikian
kompleks dan berada di luar jangkauan hukum pidana.
5. Hukum pidana hanya merupakan bagian kecil (sub sistem) dari sarana kontrol
sosial lainnya yang tidak mungkin mengatasi kejahatan sebagai masalah
kemanusiaan dan kemasyarakatan yang sangat kompleks.
6. Sistem pemidanaan bersifat fragmentair dan individual/personal; tidak bersifat
struktural atau fungsional.
7. Efektifitas pidana (hukuman) bergantung pada banyak faktor dan masih sering
diperdebatkan oleh para ahli.
Sejatinya Lembaga Pemasyarakatan adalah Lembaga yang bertujuan untuk
merehabilitasi dan meresosialisasi pelaku kejahatan. Namun dalam realita, tujuan ini
sangat sulit untuk diwujudkan. Berbagai kasus narapidana yang dengan memberi suap
dapat menikmati perlakuan istimewa saat berada di Lembaga Pemasyarakatan dapat
memperlihatkan bahwa hukum telah bersikap diskriminatif. Dengan ini justru daftar
lembaga dan aparat hukum yang terlibat dan turut menumbuhsuburkan korupsi bertambah
panjang. Menurut Rubin pemidanaan (apakah dimaksudkan untuk menghukum atau
memperbaiki) sedikit atau tidak mempunyai pengaruh terhadap masalah kejahatan. Schultz
menyatakan bahwa naik turunnya kejahatan tidak berhubungan dengan perubahan di dalam
hukum atau kecenderungan dalam putusan pengadilan, tetapi berhubungan dengan
bekerjanya atau berfungsinya perubahan-perubahan kultural yang besar dalam kehidupan
masyarakat.
Salah satu cara untuk memberantas korupsi adalah dengan membentuk lembaga
yang independen yang khusus menangani korupsi. Kita sudah memiliki Lembaga yang
secara khusus dibentuk untuk memberantas korupsi. Lembaga tersebut adalah Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal lain yang perlu diperhatikan adalah memperbaiki
Tindak Pidana Korupsi dalam Perspektif Pancasila

Halaman
11

kinerja lembaga peradilan baik dari tingkat kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan Lembaga
Pemasyarakatan. Pengadilan adalah jantungnya penegakan hukum yang harus bersikap
imparsial (tidak memihak), jujur dan adil. Banyak kasus korupsi yang tidak terjerat oleh
hukum karena kinerja lembaga peradilan yang sangat buruk. Bila kinerjanya buruk karena
tidak mampu (unable), mungkin masih dapat dimaklumi. Ini berarti pengetahuan serta
ketrampilan aparat penegak hukum harus ditingkatkan. Yang menjadi masalah adalah bila
mereka tidak mau (unwilling) atau tidak memiliki keinginan yang kuat (strong political
will) untuk memberantas korupsi, atau justru terlibat dalam berbagai perkara korupsi.
Lembaga atau Komisi yang melakukan penanganan terhadap Tindak Pidana Korupsi
Menurut Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi sesuai hukum positif di Indonesia adalah
sebagai berikut.
1. Lembaga Kepolisian
2. Lembaga Kejaksaan
3. Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tim Tastipikor)
4. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
5. Lembaga Peradilan (Peradilan Umum dan Peradilan Ad-Hoc Tindak Pidana
Korupsi)
2.3

Upaya Pemerintah Indonesia dalam Mencegah Tindak Pidana Korupsi

Beberapa upaya atau strategi untuk mencegah dan memberantas korupsi adalah
sebagai berikut.
1. Strategi Preventif
Strategi ini dibuat dan dilaksanakan dengan diarahkan pada hal-hal yang
menjadi penyebab timbulnya korupsi. Setiap penyebab yang terindikasi harus
dibuat upaya preventifnya, sehingga dapat meminimalkan penyebab korupsi.
Disamping itu perlu dibuat upaya yang dapat meminimalkan peluang untuk
melakukan korupsi dan upaya ini melibatkan banyak pihak yang dalam
pelaksanaannya agar dapat berhasil dan mampu mencegah adanya korupsi.
2. Strategi Deduktif
Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkan agar
apabila suatu perbuatan korupsi terlanjur terjadi, maka perbuatan tersebut akan
dapat diketahui dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dan seakurat-akuratnya,
sehingga dapat ditindak lanjuti dengan tepat. Dengan dasar pemikiran ini banyak
harus dibenahi, sehingga sistem tersebut akan dapat berfungsi sebagai aturan yang
cukup tepat memberkan sinyal apabila terjadi suatu perbuatan korupsi. Hal ini
sangat membutuhkan adanya beragai disiplin ilmu baik itu ilmu hukum, ekonomi,
maupun ilmu politik.
3. Strategi Reresif
Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkan untuk
memberikan sanksi hukum yang setimpal secara cepat dan tepat kepada pihakpihak yang terlibat dalam korupsi. Degan dasar pemikiran ini proses penanganan
korupsi sejak dari tahap penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sampai dengan
peradilan perlu dikaji untuk dapat disempurnakan disegala aspeknya, sehingga
proses penanganan tersebut dapat dilakukan secara tepat dan tepat. Namun,
implementasinya harus dilakukan secara terintegrasi.

Tindak Pidana Korupsi dalam Perspektif Pancasila

Halaman
12

Upaya Pencegahan Korupsi di Sektor Publik
1. Salah satu cara untuk mencegah korupsi adalah dengan mewajibkan pejabat publik
untuk melaporkan dan mengumumkan jumlah kekayaan yang dimiliki baik
sebelum maupun sesudah menjabat. Dengan demikian masyarakat dapat memantau
tingkat kewajaran peningkatan jumlah kekayaan yang dimiliki khususnya apabila
ada peningkatan jumlah kekayaan setelah selesai menjabat. Kesulitan timbul ketika
kekayaan yang didapatkan dengan melakukan korupsi dialihkan kepemilikannya
kepada orang lain misalnya anggota keluarga.
2. Untuk kontrak pekerjaan atau pengadaan barang baik di pemerintahan pusat, daerah
maupun militer, salah satu cara untuk memperkecil potensi korupsi adalah dengan
melakukan lelang atau penawaran secara terbuka. Masyarakat harus diberi otoritas
atau akses untuk dapat memantau dan memonitor hasil dari pelelangan atau
penawaran tersebut. Untuk itu harus dikembangkan sistem yang dapat memberi
kemudahan bagi masyarakat untuk ikut memantau ataupun memonitor hal ini.
3. Korupsi juga banyak terjadi dalam perekruitan pegawai negeri dan anggota militer
baru. Korupsi, kolusi dan nepotisme sering terjadi dalam kondisi ini. Sebuah sistem
yang transparan dan akuntabel dalam hal perekruitan pegawai negeri dan anggota
militer juga perlu dikembangkan.
4. Selain sistem perekruitan, sistem penilaian kinerja pegawai negeri yang
menitikberatkan pada pada proses (proccess oriented) dan hasil kerja akhir (result
oriented) perlu dikembangkan. Untuk meningkatkan budaya kerja dan motivasi
kerja pegawai negeri, bagi pegawai negeri yang berprestasi perlu diberi insentif
yang sifatnya positif. Pujian dari atasan, penghargaan, bonus atau jenis insentif
lainnya dapat memacu kinerja pegawai negeri. Tentu saja pemberian ini harus
disertai dengan berbagai pra-kondisi yang ketat karena hal ini juga berpotensi
korupsi, karena salah-salah hal ini justru dipergunakan sebagai ajang bagi-bagi
bonus diantara para pegawai negeri.
Upaya Pencegahan Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat
1. Salah satu upaya memberantas korupsi adalah memberi hak pada masyarakat untuk
mendapatkan akses terhadap informasi (access to information). Sebuah sistem
harus dibangun di mana kepada masyarakat (termasuk media) diberikan hak
meminta segala informasi yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah yang
mempengaruhi hidup orang banyak. Hak ini dapat meningkatkan keinginan
pemerintah untuk membuat kebijakan dan menjalankannya secara transparan.
Pemerintah memiliki kewajiban melakukan sosialisasi atau diseminasi berbagai
kebijakan yang dibuat dan akan dijalankan.
2. Isu mengenai public awareness atau kesadaran serta kepedulian publik terhadap
bahaya korupsi dan isu pemberdayaan masyarakat adalah salah satu bagian yang
sangat penting dari upaya memberantas korupsi. Salah satu cara untuk
meningkatkan public awareness adalah dengan melakukan kampanye tentang
bahaya korupsi. Sosialisasi serta diseminasi di ruang publik mengenai apa itu
korupsi, dampak korupsi dan bagaimana memerangi korupsi harus diintensifkan.
Kampanye tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan media massa (baik cetak
maupun tertulis), melakukan seminar dan diskusi. Spanduk dan poster yang berisi
ajakan untuk menolak segala bentuk korupsi ‘harus’ dipasang di kantor-kantor
pemerintahan sebagai media kampanye tentang bahaya korupsi. Di beberapa negara
termasuk Indonesia, isu korupsi dimasukkan sebagai salah satu bagian dari mata
pelajaran atau mata kuliah baik di tingkat sekolah dasar maupun menengah dan
perguruan tinggi. Sayangnya subjek ini belum diberikan secara nasional.
Tindak Pidana Korupsi dalam Perspektif Pancasila

Halaman
13

3.

4.

5.

6.

Transparency International juga mengeluarkan toolkit mengenai pendidikan anti
korupsi untuk anak di tingkat pendidikan dasar. Mata kuliah yang mahasiswa
pelajari saat ini adalah salah satu cara supaya mahasiswa dapat mengetahui selukbeluk korupsi dan meningkatkan kepedulian serta kesadaran akan bahaya korupsi.
Salah satu cara untuk ikut memberdayakan masyarakat dalam mencegah dan
memberantas korupsi adalah dengan menyediakan sarana bagi masyarakat untuk
melaporkan kasus korupsi. Sebuah mekanisme harus dikembangkan di mana
masyarakat dapat dengan mudah dan bertanggung-jawab melaporkan kasus korupsi
yang diketahuinya. Dengan berkembangnya teknologi informasi, media internet
adalah salah satu mekanisme yang murah dan mudah untuk melaporkan kasuskasus korupsi.
Di beberapa Negara, pasal mengenai ‘fitnah’ dan ‘pencemaran nama baik’ tidak
dapat diberlakukan untuk mereka yang melaporkan kasus korupsi dengan
pemikiran bahwa bahaya korupsi dianggap lebih besar dari pada kepentingan
individu. Walaupun sudah memiliki aturan mengenai perlindungan saksi dan
korban yakni UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban,
masyarakat Indonesia masih dihantui ketakutan akan tuntutan balik melakukan
fitnah dan pencemaran nama baik apabila melaporkan kasus korupsi.
Pers yang bebas adalah salah satu pilar dari demokrasi. Semakin banyak informasi
yang diterima oleh masyarakat, semakin paham mereka akan bahaya korupsi.
Menurut Pope media yang bebas sama pentingnya dengan peradilan yang
independen. Selain berfungsi sebagai alat kampanye mengenai bahaya korupsi,
media memiliki fungsi yang efektif untuk melakukan pengawasan atas perilaku
pejabat publik. Henry Grunwald, pemimpin redaksi Time menyatakan bahwa
‘pemerintahan yang terpilih secara demokratis dan patuh sekalipun dapat dengan
mudah menjadi pemerintah yang korup apabila kekuasaannya tidak diawasi oleh
pers yang bebas’. Media mempunyai peranan khusus dalam perang melawan
korupsi. Pejabat publik mungkin lebih mudah tergoda untuk menyalahgunakan
jabatan mereka untuk kepentingan pribadi bila mereka yakin tidak ada resiko
bahwa perbuatan mereka akan terbongkar dan diungkapkan oleh pers (Pope: 2003).
Namun media juga memiliki titik lemah. Hal ini terjadi apabila media tersebut
dimiliki oleh pemerintah. Umumnya pemerintah adalah pemilik stasiun televisi dan
radio terbesar dalam suatu negara. Kita ambil contoh saja TVRI dan RRI. Karena
milik pemerintah, tentu saja independensinya tidak dapat terlalu diandalkan. Salah
satu titik lemah lagi dari media adalah pekerjaan jurnalisme yang berbahaya.
Penculikan, penganiayaan dan intimidasi terhadap jurnalis atau wartawan menjadi
hal yang biasa (Pope : 2003). Segala macam cara akan digunakan oleh mereka
(terutama yang memiliki uang dan kekuasaan) yang tidak ingin namanya tercoreng
karena pemberitaan di media. Selain itu banyak pula negara yang berupaya untuk
melakukan penyensoran terhadap informasi yang akan diberitakan oleh media atau
bahkan pencabutan ijin usaha sebuah media.
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) baik tingat lokal atau internasional juga
memiliki peranan penting untuk mencegah dan memberantas korupsi. Mereka
adalah bagian dari masyarakat sipil (civil society) yang keberadaannya tidak dapat
diremehkan begitu saja. Sejak era reformasi, LSM baru yang bergerak di bidang
Anti-Korupsi banyak bermunculan. Sama seperti pers yang bebas, LSM memiliki
fungsi untuk melakukan pengawasan atas perilaku pejabat publik. Simak saja apa
yang telah dilakukan oleh ICW (Indonesia Corruption Watch), salah satu LSM
lokal yang berkedudukan di Jakarta. LSM ini menjadi salah satu garda terdepan
yang mengawasi segala macam perbuatan pemerintah dan perilaku anggota

Tindak Pidana Korupsi dalam Perspektif Pancasila

Halaman
14

parlemen dan lembaga peradilan. Sama seperti pekerjaan jurnalisme yang
berbahaya, penculikan, penganiayaan dan intimidasi terhadap aktivis LSM sangat
sering terjadi.
7. Salah satu cara lain untuk mencegah dan memberantas korupsi adalah dengan
menggunakan atau mengoperasikan perangkat electronic surveillance. Electronic
surveillance adalah sebuah perangkat atau alat untuk mengetahui dan
mengumpulkan data dengan menggunakan peralatan elektronik yang dipasang pada
tempat-tempat tertentu. Alat tersebut misalnya audio-microphones atau kamera
video (semacam kamera CCTV atau Closed Circuit Television) atau data
interception dalam kasus atau di tempat-tempat di mana banyak digunakan telepon
genggam dan electronic mail (e-mail) atau surat elektronik. Namun di beberapa
negara, penggunaan electronic surveillance harus disetujui terlebih dahulu oleh
masyarakat, karena masyarakat tidak ingin pemerintah ‘memata-matai’ segenap
aktivitas dan gerak langkah yang mereka lakukan. Tindakan memata-matai atau
‘spying’ ini, dalam masyarakat yang demokratis dianggap melanggar hak asasi
terutama hak akan privacy. Dalam beberapa kasus, negara yang otoriter justru akan
menggunakan data yang terekam dalam electronic surveillance untuk melakukan
intimidasi terhadap rakyatnya.
Untuk mendukung pencegahan dan pemberantasan korupsi tidak cukup hanya
mengandalkan satu instrumen hukum yakni Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Berbagai peraturan perundang-undangan atau instrumen hukum lain perlu
dikembangkan. Salah satu peraturan perundang-undangan yang harus ada untuk
mendukung pemberantasan korupsi adalah Undang-Undang Tindak Pidana Money
Laundering atau Pencucian Uang. Untuk melindungi saksi dan korban tindak pidana
korupsi, perlu instrumen hukum berupa UU Perlindungan Saksi dan Korban. Untuk
memberdayakan Pers, perlu UU yang mengatur mengenai Pers yang bebas. Bagaimana
mekanisme masyarakat yang akan melaporkan tindak pidana korupsi dan penggunaan
electronic surveillance juga perlu diatur supaya tidak melanggar privacy seseorang. Selain
itu hak warga negara untuk secara bebas menyatakan pendapatnya harus pula diatur.
Pasal-pasal yang mengkriminalisasi perbuatan seseorang yang akan melaporkan
tindak pidana korupsi serta menghalang-halangi penyelidikan, penyidikan dan pemeriksaan
tindak pidana korupsi seperti pasal mengenai fitnah atau pencemaran nama baik perlu
dikaji ulang dan bilamana perlu diamandemen. Hal ini bertujuan untuk lebih
memberdayakan masyaraka