Sampah masih jadi Sampah pdf
L APORAN UTAMA
SAMPAH
Masih Jadi ‘Sampah’
FOTO: MUJIYANTO
Kita tidak pernah lepas dari sampah. Setiap hari ada saja
sampah yang harus kita buang. Entah di kantor,
di rumah, di manapun kita berada. Tidak heran ketika
kita tidak mengelola dengan baik maka sampah
akan dengan mudah kita temui bertebaran
di sekitar kita.
ungkin bagi sebagian orang
selembar kertas, atau setas
limbah rumah tangga tak
jadi masalah. Tapi begitu kertas dan
limbah rumah tangga itu berkumpul
dengan sampah sejenis dari banyak
orang, persoalan akan timbul, apalagi
di perkotaan yang lahannya terbatas.
Dan faktanya menunjukkan potensi
timbulan sampah terus meningkat
seiring dengan pertambahan jumlah
penduduk.
M
3
Timbulan sampah
Tidak tersedia data berapa persisnya
jumlah timbulan sampah di Indonesia.
Namun berdasar hasil perhitungan
Bappenas sebagaimana tercantum dalam
Buku Infrastruktur Indonesia, pada
tahun 1995 perkiraan timbulan sampah
di Indonesia mencapai 22,5 juta ton, dan
meningkat lebih dua kali lipat pada tahun
2020 menjadi 53,7 juta ton. Sementara di
kota besar di Indonesia diperkirakan timbulan sampah per kapita berkisar antara
Percik
Vol. 5 Tahun I/ Agustus 2004
600 – 830 gram per hari.
Sebagai ilustrasi betapa besarnya timbulan sampah yang dihasilkan, data
beberapa kota besar di Indonesia dapat
menjadi rujukan. Kota Jakarta setiap
hari menghasilkan timbulan sampah
sebesar 6,2 ribu ton, Kota Bandung sebesar 2,1 ribu ton, Kota Surabaya sebesar
1,7 ribu ton, dan Kota Makassar 0,8 ribu
ton (Damanhuri, 2002). Jumlah tersebut
membutuhkan upaya yang tidak sedikit
dalam penanganannya.
Berdasarkan data tersebut diperkirakan kebutuhan lahan untuk TPA di
Indonesia pada tahun 1995 yaitu seluas
675 ha, dan meningkat menjadi 1.610 ha
pada tahun 2020. Kondisi ini akan menjadi masalah besar dengan memperhatikan semakin terbatasnya lahan
kosong khususnya di perkotaan. Salah
satu contoh terkini adalah kesulitan
pemerintah DKI Jakarta dalam menyedi-
L APORAN UTAMA
akan lahan untuk pengolahan
sampah setelah TPA Bantar
Gebang tidak dapat dipergunakan
lagi.
persen
Penanganan Sampah
Menurut data BPS, pada
tahun 2001 timbulan sampah
yang diangkut hanya mencapai
18,03 persen, sementara selebihnya ditimbun 10,46 persen, dibuat kompos 3,51 persen, dibakar
43,76 persen, dan lainnya
(dibuang ke sungai, pekarangan
kosong dan lainnya) 24,24
persen. Terlihat bahwa sampah yang
diangkut masih sangat sedikit, demikian
pula sampah yang diproses menjadi kompos, sementara yang dibakar dan dibuang
ke tempat yang tidak seharusnya bahkan
masih mencapai 68 persen. Kondisi ini
menunjukkan masih besarnya potensi
sampah menjadi sumber pencemaran
baik udara, maupun air termasuk menjadi pemicu timbulnya penyakit. Di daerah perkotaan sekalipun, sampah yang
dibakar dan dibuang sembarangan masih
mencapai 50,76 persen. Proporsi sampah
yang ditimbun sendiri masih cukup besar
mencapai 10,46 persen. Sampah seperti
plastik dan sejenisnya relatif sulit diurai
sehingga penanganan sampah dengan
cara menimbun menjadi kurang tepat.
Pengomposan juga belum populer di
masyarakat.
Sebagian besar Tempat Pengolahan
Akhir (TPA) sampah direncanakan menggunakan sistem sanitary landfill. Namun
dalam perjalanan waktu, akhirnya sebagian besar TPA tersebut akhirnya menggunakan sistem open dumping (70
persen) dan hanya sebagian kecil yang
tetap menggunakan sistem controlled
landfill dan sanitary landfill (30 persen).
Beberapa kota yang menerapkan controlled landfill di antaranya Jakarta,
Bandung, Semarang, Surabaya, Padang,
Malang, Yogyakarta, Pontianak, Balikpapan, Banjarmasin, dan Denpasar.
4
mulai dilakukan walaupun masih
dalam skala kecil dan sebagian
besar dilakukan oleh pemulung.
60
Pengomposan pun sudah dila50
kukan namun dalam jumlah yang
40
sangat terbatas.
30
Sementara itu TPA yang ada
20
10
tidak dikelola dengan baik. Masih
0
terjadi pembakaran sampah
Diangkut Ditimbun Dibuat Dibakar Lainnya
untuk mengurangi timbunan
Kompos
sampah, dan tidak terkelolanya
gas metan yang dihasilkan oleh
Perkotaan Perdesaan Total
timbunan sampah. Sementara
dalam Kyoto Protocol yang sudah
diratifikasi oleh pemerintah
Penyebab rendahnya penerapan sis- Indonesia, pengurangan gas metan mentem sanitary landfill di Indonesia, antara jadi salah satu persyaratan. Masalah lainlain, rendahnya disiplin pengelola dalam nya yang timbul akibat pengelolaan TPA
menerapkan prosedur teknis, terbatasnya yang tidak sesuai persyaratan di
anggaran untuk operasi dan pemeli- antaranya timbulnya bau, menurunnya
haraan, sulitnya mendapatkan tanah kualitas air akibat pembuangan sampah
penutup, terbatasnya ketersediaan alat ke sungai, merembesnya air lindi dari
berat, rendahnya kualitas sumber daya TPA ke air tanah dangkal dan air permanusia, dan belum terorganisasikannya mukaan, pencemaran udara serta merepemulung di lokasi TPA sebagai bagian baknya dioxin yang bersifat karsinogen.
terpadu sistem sanitary landfill.
Kesadaran masyarakat akan kebersihan sudah baik tetapi terbatas hanya pada
Karakteristik Sampah
lingkungan halaman rumah saja. Rumah
Karakteristik sampah perkotaan memang bebas dari sampah tetapi samberbeda dengan sampah perdesaan. pah tersebut dibuang tidak pada tempatSecara umum, sampah perkotaan di nya seperti selokan, sungai, dan bahkan
Indonesia memiliki komposisi 80 persen halaman kosong milik tetangga. Fenosampah organik, dan selebihnya sampah mena NIMBY (Not In My Backyard) sanon-organik. Sampah non organik terse- ngat terasa di sini.
but separuhnya merupakan sampah plasHal ini juga didorong oleh belum
tik.
tersedianya pelayanan persampahan
yang memadai.
Isu Utama
Jika dibandingkan dengan kesediaan
Cakupan pelayanan pengelolaan per- membayar pelayanan air minum maka
sampahan yang masih rendah khususnya kesediaan membayar pengelolaan samdi perkotaan dapat berdampak pada pah relatif lebih rendah. Ini terjadi karemeningkatnya wabah penyakit menular na masyarakat tidak mengetahui sebeseperti tipus, kolera, muntaber, disentri, narnya seperti apa pengelolaan sampah
pes, leptospirosis, salmonelosis, demam itu berlangsung.
gigitan tikus. Selain juga sampah yang
Rendahnya tingkat pengorbanan
dibuang ke sungai dan saluran pembu- masyarakat untuk memberikan konangan berpotensi menimbulkan banjir.
tribusinya berbanding terbalik dengan
Prinsip pengurangan timbulan sam- jumlah timbulan sampah. Kebutuhan
pah pada dasarnya telah dikenal dan lahan untuk lokasi TPA meningkat. Perlu
Penanganan Sam pah (%)
Percik
Vol. 5 Tahun I/ Agustus 2004
L APORAN UTAMA
dicari alternatif pengolahan sampah yang
tidak memerlukan lahan yang luas.
Di sisi lain, saat ini belum tersedia
kebijakan nasional persampahan yang
dapat menjadi payung pengelolaan persampahan oleh seluruh pemangku
kepentingan. Peraturan-peraturan yang
ada ‘tercecer’ di daerah atau instansi sektoral. Wajar bila hingga kini belum terwujud sistem kelembagaan, koordinasi dan
integrasi pengelolaan sampah.
Dimulainya era otonomi daerah menjadikan pengelolaan sampah menjadi
kewenangan pemerintah daerah. Namun
di lain pihak, masih banyak pemerintah
daerah yang menganggap persampahan
bukan prioritas. Ini terlihat dari minimnya alokasi anggaran ke sektor ini.
Kebijakan ke Depan
Penyelesaian persampahan mau tidak
mau harus dilakukan secara sistemik dan
terintegrasi dengan melibatkan seluruh
pemangku kepentingan. Apalagi pada
2025 telah dicanangkan sebagai tahun
zero waste (bebas sampah) dunia.
Beberapa langkah yang bisa diambil
dalam rangka menuju ke arah itu yakni:
1. Mengurangi volume timbulan sampah dengan menggunakan konsep 3R
(reduce, reuse, dan recycle).
Metode ini perlu disosialisasikan ke tengah-tengah masyarakat agar mereka mau menggunakan kembali dan mendaur
ulang sampahnya. Tentu langkah
ini perlu dibarengi penyadaran
akan pentingnya memilah sampah di rumah tangga sehingga
memudahkan pengolahan pada
tahap berikutnya. Konsep 3R
akan makin efektif jika didukung
peraturan perundang-undangan
yang memberikan penghargaan
dan hukuman (reward and punishment) kepada semua pemangku kepentingan yang terkait, apakah itu pemulung, ma-
5
syarakat, dan lainnya. Selain itu, pemanfaatan sampah sebagai sumber energi
(wasre to energy) layak untuk diperhatikan mengingat hingga kini belum ada
pihak yang mempraktekkan langkah ini
di Indonesia. Bila sampah telah termanfaatkan sejak dari hulu maka sistem sanitary landfill tidak memerlukan lahan
yang luas dengan biaya besar. Sanitary
landfill hanya digunakan untuk mengolah residu dari hasil pembakaran insinerator.
2. Peningkatan peran masyarakat
dan dunia usaha
Langkah mengurangi timbulan sampah tidak akan efektif tanpa peran aktif
masyarakat. Merekalah penghasil utama
sampah dan mereka pula yang merasakan
dampak negatifnya bila sampah tak
dikelola dengan baik. Kuncinya adalah
peningkatan kesadaran dan tanggung
jawab dalam pengelolaan sampah.
Masyarakat bisa berperan sebagai a) pengelola (mengurangi timbulan sampah dari
sumber); b) pengawas (mengawasi tahapan
pengelolaan agar berjalan dengan benar); c)
pemanfaat (memanfaatkan sampah secara
individu, kelompok, atau kerja sama dengan
dunia usaha); d) pengolah (mengoperasikan
dan memelihara sarana dan prasarana pengolah sampah); e) penyedia biaya pengelo-
Percik
Vol. 5 Tahun I/ Agustus 2004
laan (lihat diagram.)
3. Peningkatan peran antarpemerintah daerah dalam pengelolaan sampah
Persoalan sampah pada dasarnya
bukan persoalan individual kota tapi persoalan regional. Polusi udara, air, dan
tanah berdampak pada wilayah yang luas
melintasi batas administratif. Oleh karena itu penentuan lokasi TPA yang selama
ini berdasarkan wilayah administratif menjadi tidak relevan. Di masa mendatang konsep TPA regional dan terpusat (regional
solid waste management) perlu dikembangkan sebagai upaya bersama dalam
mengatasi kesulitan lahan TPA.
4. Pengembangan teknologi baru
Kemampuan pelayanan persampahan
tergantung pada pilihan teknologi yang
tersedia. Penggunaan teknologi yang
tepat akan mengoptimalkan pengelolaan
persampahan. Oleh karena itu, penggunaan teknologi baru bisa menjadi alternatif peningkatan kemampuan pengelolaan persampahan khususnya di kota
besar.
5. Peningkatan kampanye perilaku
hidup bersih dan sehat
Pengelolaan sampah tak akan berhasil
tanpa ada kesadaran masyarakat bahwa
lingkungan sehat juga merupakan
kebutuhan pokok mereka. Peningkatan kesadaran ini harus dilakukan
secara terus menerus kepada seluruh
lapisan masyarakat. Program edukasi
di bidang kesehatan perlu ditanamkan sejak dini kepada siswa sekolah.
Akhirnya, meningkatkan kepedulian semua pemangku kepentingan (stakeholder) di bidang persampahan tak bisa ditawar-tawar lagi.
Seberapa canggih teknologi, uang
banyak, sumber daya bagus, tapi
tidak ada perhatian serius dari pemangku kepentingan, maka persoalan sampah akan tetap menjadi ‘sampah’. OM/MJ
SAMPAH
Masih Jadi ‘Sampah’
FOTO: MUJIYANTO
Kita tidak pernah lepas dari sampah. Setiap hari ada saja
sampah yang harus kita buang. Entah di kantor,
di rumah, di manapun kita berada. Tidak heran ketika
kita tidak mengelola dengan baik maka sampah
akan dengan mudah kita temui bertebaran
di sekitar kita.
ungkin bagi sebagian orang
selembar kertas, atau setas
limbah rumah tangga tak
jadi masalah. Tapi begitu kertas dan
limbah rumah tangga itu berkumpul
dengan sampah sejenis dari banyak
orang, persoalan akan timbul, apalagi
di perkotaan yang lahannya terbatas.
Dan faktanya menunjukkan potensi
timbulan sampah terus meningkat
seiring dengan pertambahan jumlah
penduduk.
M
3
Timbulan sampah
Tidak tersedia data berapa persisnya
jumlah timbulan sampah di Indonesia.
Namun berdasar hasil perhitungan
Bappenas sebagaimana tercantum dalam
Buku Infrastruktur Indonesia, pada
tahun 1995 perkiraan timbulan sampah
di Indonesia mencapai 22,5 juta ton, dan
meningkat lebih dua kali lipat pada tahun
2020 menjadi 53,7 juta ton. Sementara di
kota besar di Indonesia diperkirakan timbulan sampah per kapita berkisar antara
Percik
Vol. 5 Tahun I/ Agustus 2004
600 – 830 gram per hari.
Sebagai ilustrasi betapa besarnya timbulan sampah yang dihasilkan, data
beberapa kota besar di Indonesia dapat
menjadi rujukan. Kota Jakarta setiap
hari menghasilkan timbulan sampah
sebesar 6,2 ribu ton, Kota Bandung sebesar 2,1 ribu ton, Kota Surabaya sebesar
1,7 ribu ton, dan Kota Makassar 0,8 ribu
ton (Damanhuri, 2002). Jumlah tersebut
membutuhkan upaya yang tidak sedikit
dalam penanganannya.
Berdasarkan data tersebut diperkirakan kebutuhan lahan untuk TPA di
Indonesia pada tahun 1995 yaitu seluas
675 ha, dan meningkat menjadi 1.610 ha
pada tahun 2020. Kondisi ini akan menjadi masalah besar dengan memperhatikan semakin terbatasnya lahan
kosong khususnya di perkotaan. Salah
satu contoh terkini adalah kesulitan
pemerintah DKI Jakarta dalam menyedi-
L APORAN UTAMA
akan lahan untuk pengolahan
sampah setelah TPA Bantar
Gebang tidak dapat dipergunakan
lagi.
persen
Penanganan Sampah
Menurut data BPS, pada
tahun 2001 timbulan sampah
yang diangkut hanya mencapai
18,03 persen, sementara selebihnya ditimbun 10,46 persen, dibuat kompos 3,51 persen, dibakar
43,76 persen, dan lainnya
(dibuang ke sungai, pekarangan
kosong dan lainnya) 24,24
persen. Terlihat bahwa sampah yang
diangkut masih sangat sedikit, demikian
pula sampah yang diproses menjadi kompos, sementara yang dibakar dan dibuang
ke tempat yang tidak seharusnya bahkan
masih mencapai 68 persen. Kondisi ini
menunjukkan masih besarnya potensi
sampah menjadi sumber pencemaran
baik udara, maupun air termasuk menjadi pemicu timbulnya penyakit. Di daerah perkotaan sekalipun, sampah yang
dibakar dan dibuang sembarangan masih
mencapai 50,76 persen. Proporsi sampah
yang ditimbun sendiri masih cukup besar
mencapai 10,46 persen. Sampah seperti
plastik dan sejenisnya relatif sulit diurai
sehingga penanganan sampah dengan
cara menimbun menjadi kurang tepat.
Pengomposan juga belum populer di
masyarakat.
Sebagian besar Tempat Pengolahan
Akhir (TPA) sampah direncanakan menggunakan sistem sanitary landfill. Namun
dalam perjalanan waktu, akhirnya sebagian besar TPA tersebut akhirnya menggunakan sistem open dumping (70
persen) dan hanya sebagian kecil yang
tetap menggunakan sistem controlled
landfill dan sanitary landfill (30 persen).
Beberapa kota yang menerapkan controlled landfill di antaranya Jakarta,
Bandung, Semarang, Surabaya, Padang,
Malang, Yogyakarta, Pontianak, Balikpapan, Banjarmasin, dan Denpasar.
4
mulai dilakukan walaupun masih
dalam skala kecil dan sebagian
besar dilakukan oleh pemulung.
60
Pengomposan pun sudah dila50
kukan namun dalam jumlah yang
40
sangat terbatas.
30
Sementara itu TPA yang ada
20
10
tidak dikelola dengan baik. Masih
0
terjadi pembakaran sampah
Diangkut Ditimbun Dibuat Dibakar Lainnya
untuk mengurangi timbunan
Kompos
sampah, dan tidak terkelolanya
gas metan yang dihasilkan oleh
Perkotaan Perdesaan Total
timbunan sampah. Sementara
dalam Kyoto Protocol yang sudah
diratifikasi oleh pemerintah
Penyebab rendahnya penerapan sis- Indonesia, pengurangan gas metan mentem sanitary landfill di Indonesia, antara jadi salah satu persyaratan. Masalah lainlain, rendahnya disiplin pengelola dalam nya yang timbul akibat pengelolaan TPA
menerapkan prosedur teknis, terbatasnya yang tidak sesuai persyaratan di
anggaran untuk operasi dan pemeli- antaranya timbulnya bau, menurunnya
haraan, sulitnya mendapatkan tanah kualitas air akibat pembuangan sampah
penutup, terbatasnya ketersediaan alat ke sungai, merembesnya air lindi dari
berat, rendahnya kualitas sumber daya TPA ke air tanah dangkal dan air permanusia, dan belum terorganisasikannya mukaan, pencemaran udara serta merepemulung di lokasi TPA sebagai bagian baknya dioxin yang bersifat karsinogen.
terpadu sistem sanitary landfill.
Kesadaran masyarakat akan kebersihan sudah baik tetapi terbatas hanya pada
Karakteristik Sampah
lingkungan halaman rumah saja. Rumah
Karakteristik sampah perkotaan memang bebas dari sampah tetapi samberbeda dengan sampah perdesaan. pah tersebut dibuang tidak pada tempatSecara umum, sampah perkotaan di nya seperti selokan, sungai, dan bahkan
Indonesia memiliki komposisi 80 persen halaman kosong milik tetangga. Fenosampah organik, dan selebihnya sampah mena NIMBY (Not In My Backyard) sanon-organik. Sampah non organik terse- ngat terasa di sini.
but separuhnya merupakan sampah plasHal ini juga didorong oleh belum
tik.
tersedianya pelayanan persampahan
yang memadai.
Isu Utama
Jika dibandingkan dengan kesediaan
Cakupan pelayanan pengelolaan per- membayar pelayanan air minum maka
sampahan yang masih rendah khususnya kesediaan membayar pengelolaan samdi perkotaan dapat berdampak pada pah relatif lebih rendah. Ini terjadi karemeningkatnya wabah penyakit menular na masyarakat tidak mengetahui sebeseperti tipus, kolera, muntaber, disentri, narnya seperti apa pengelolaan sampah
pes, leptospirosis, salmonelosis, demam itu berlangsung.
gigitan tikus. Selain juga sampah yang
Rendahnya tingkat pengorbanan
dibuang ke sungai dan saluran pembu- masyarakat untuk memberikan konangan berpotensi menimbulkan banjir.
tribusinya berbanding terbalik dengan
Prinsip pengurangan timbulan sam- jumlah timbulan sampah. Kebutuhan
pah pada dasarnya telah dikenal dan lahan untuk lokasi TPA meningkat. Perlu
Penanganan Sam pah (%)
Percik
Vol. 5 Tahun I/ Agustus 2004
L APORAN UTAMA
dicari alternatif pengolahan sampah yang
tidak memerlukan lahan yang luas.
Di sisi lain, saat ini belum tersedia
kebijakan nasional persampahan yang
dapat menjadi payung pengelolaan persampahan oleh seluruh pemangku
kepentingan. Peraturan-peraturan yang
ada ‘tercecer’ di daerah atau instansi sektoral. Wajar bila hingga kini belum terwujud sistem kelembagaan, koordinasi dan
integrasi pengelolaan sampah.
Dimulainya era otonomi daerah menjadikan pengelolaan sampah menjadi
kewenangan pemerintah daerah. Namun
di lain pihak, masih banyak pemerintah
daerah yang menganggap persampahan
bukan prioritas. Ini terlihat dari minimnya alokasi anggaran ke sektor ini.
Kebijakan ke Depan
Penyelesaian persampahan mau tidak
mau harus dilakukan secara sistemik dan
terintegrasi dengan melibatkan seluruh
pemangku kepentingan. Apalagi pada
2025 telah dicanangkan sebagai tahun
zero waste (bebas sampah) dunia.
Beberapa langkah yang bisa diambil
dalam rangka menuju ke arah itu yakni:
1. Mengurangi volume timbulan sampah dengan menggunakan konsep 3R
(reduce, reuse, dan recycle).
Metode ini perlu disosialisasikan ke tengah-tengah masyarakat agar mereka mau menggunakan kembali dan mendaur
ulang sampahnya. Tentu langkah
ini perlu dibarengi penyadaran
akan pentingnya memilah sampah di rumah tangga sehingga
memudahkan pengolahan pada
tahap berikutnya. Konsep 3R
akan makin efektif jika didukung
peraturan perundang-undangan
yang memberikan penghargaan
dan hukuman (reward and punishment) kepada semua pemangku kepentingan yang terkait, apakah itu pemulung, ma-
5
syarakat, dan lainnya. Selain itu, pemanfaatan sampah sebagai sumber energi
(wasre to energy) layak untuk diperhatikan mengingat hingga kini belum ada
pihak yang mempraktekkan langkah ini
di Indonesia. Bila sampah telah termanfaatkan sejak dari hulu maka sistem sanitary landfill tidak memerlukan lahan
yang luas dengan biaya besar. Sanitary
landfill hanya digunakan untuk mengolah residu dari hasil pembakaran insinerator.
2. Peningkatan peran masyarakat
dan dunia usaha
Langkah mengurangi timbulan sampah tidak akan efektif tanpa peran aktif
masyarakat. Merekalah penghasil utama
sampah dan mereka pula yang merasakan
dampak negatifnya bila sampah tak
dikelola dengan baik. Kuncinya adalah
peningkatan kesadaran dan tanggung
jawab dalam pengelolaan sampah.
Masyarakat bisa berperan sebagai a) pengelola (mengurangi timbulan sampah dari
sumber); b) pengawas (mengawasi tahapan
pengelolaan agar berjalan dengan benar); c)
pemanfaat (memanfaatkan sampah secara
individu, kelompok, atau kerja sama dengan
dunia usaha); d) pengolah (mengoperasikan
dan memelihara sarana dan prasarana pengolah sampah); e) penyedia biaya pengelo-
Percik
Vol. 5 Tahun I/ Agustus 2004
laan (lihat diagram.)
3. Peningkatan peran antarpemerintah daerah dalam pengelolaan sampah
Persoalan sampah pada dasarnya
bukan persoalan individual kota tapi persoalan regional. Polusi udara, air, dan
tanah berdampak pada wilayah yang luas
melintasi batas administratif. Oleh karena itu penentuan lokasi TPA yang selama
ini berdasarkan wilayah administratif menjadi tidak relevan. Di masa mendatang konsep TPA regional dan terpusat (regional
solid waste management) perlu dikembangkan sebagai upaya bersama dalam
mengatasi kesulitan lahan TPA.
4. Pengembangan teknologi baru
Kemampuan pelayanan persampahan
tergantung pada pilihan teknologi yang
tersedia. Penggunaan teknologi yang
tepat akan mengoptimalkan pengelolaan
persampahan. Oleh karena itu, penggunaan teknologi baru bisa menjadi alternatif peningkatan kemampuan pengelolaan persampahan khususnya di kota
besar.
5. Peningkatan kampanye perilaku
hidup bersih dan sehat
Pengelolaan sampah tak akan berhasil
tanpa ada kesadaran masyarakat bahwa
lingkungan sehat juga merupakan
kebutuhan pokok mereka. Peningkatan kesadaran ini harus dilakukan
secara terus menerus kepada seluruh
lapisan masyarakat. Program edukasi
di bidang kesehatan perlu ditanamkan sejak dini kepada siswa sekolah.
Akhirnya, meningkatkan kepedulian semua pemangku kepentingan (stakeholder) di bidang persampahan tak bisa ditawar-tawar lagi.
Seberapa canggih teknologi, uang
banyak, sumber daya bagus, tapi
tidak ada perhatian serius dari pemangku kepentingan, maka persoalan sampah akan tetap menjadi ‘sampah’. OM/MJ