Khitbah meminang dalam Perspektif Undang
PENDAHULUAN NIKAH : PEMINANGAN
Syarat dan Akibat Hukum Peminangan dalam Perspektif UndangUndang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Fikih, dan Kompilasi
Hukum Islam
MAKALAH
Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Hukum
Perdata Islam di Indonesia
Disusun oleh :
Siti Halimatusadiah (Semester V)
Siti Sadiah (Semester V)
Syarifah Nurazizah (Semester V)
Nor Syakira Binti Abdurrahman (Konversi)
Risky Nanda (Semester III)
PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHSIYYAH
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS IBN KHALDUN BOGOR
2014
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan segala
rahmat dan karunia-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Pendahuluan Nikah : Peminangan - Syarat dan Akibat Hukum Peminangan dalam
Perspektif Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Fikih, dan Kompilasi
Hukum Islam”.
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum Perdata
Islam di Indonesia. Penyusun berharap, makalah ini bermanfaat untuk menambah
pengetahuan
mengenai peminangan baik menurut Fikih, Undang-undang Perkawinan,
maupun Kompilasi Hukum Islam, serta syarat- syarat peminangan dan akibat hukumnya.
Tentunya makalah ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu kritik dan saran yang
membangun dari semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan pembuatan
makalah ini.
Penyusun berharap, makalah ini dapat bermanfaat untuk ke depan dan rekan-rekan
mahasiswa lainnya. Aamiin.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Bogor, 13 Oktober 2014
Penyusun
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................................................ii
BAB I................................................................................................................................................- 1 PENDAHULUAN.........................................................................................................................- 1 A.
Latar Belakang...................................................................................................................- 1 -
B.
Rumusan Masalah.............................................................................................................- 1 -
BAB II...............................................................................................................................................- 2 PEMBAHASAN...........................................................................................................................- 2 A.
Pengertian Peminangan.....................................................................................................- 2 -
B.
Peminangan Menurut Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan KHI..............- 2 -
C.
Hukum Peminangan..........................................................................................................- 3 -
D.
Syarat- syarat Peminangan.................................................................................................- 4 -
E.
Akibat Hukum dari Peminangan.......................................................................................- 5 -
F.
Hikmah Peminangan..........................................................................................................- 7 -
G.
Hal- hal lain yang berkaitan dengan Peminangan..............................................................- 7 -
BAB III...........................................................................................................................................- 12 PENUTUP...................................................................................................................................- 12 A.
Kesimpulan......................................................................................................................- 12 -
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................................iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pernikahan merupakan bagian dari Syariat Islam dan Sunnah Rasulullah SAW yang
apabila dilaksanakan akan mendapat pahala dari Allah SWT. Firman Allah SWT dalam surah
Annur ayat 32 :
وأنكحوا اليمى منكم والصلحين من عبنناد كننم وإمننا ءكننم إن يكونننوا
فقراء يغنهم الله من فضله وا الله وا سع عليم
“dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian1 diantara kamu, dan orang-orang yang layak
(berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.
jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas
(pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui”.(Qs. An-Nur : 32)
dan hadits Rasulullah SAW :
يا معشر الشباب من استطاع منكم الباء ة فليتزوج فإنه أغض
للبصر و أحصن للفرج و من لم يستطع فعليه با اصوم فإنه له وجاء
"Wahai sekalian pemuda, barang siapa diantara kalian yang telah mampu
hendaklah dia menikah, karena yang demikian itu lebih menjaga pandangan dan
lebih menjaga kemaluannya, dan barang siapa yang belum mampu hendaklah
dia berpuasa, karena itu merupakan benteng baginya" (Muttafaq Alaihi)1
Tujuan dari pernikahan itu sendiri ialah untuk menciptakan keluarga yang Sakinah,
Mawadddah, Warahmah.
Maka dari itu, tidak sembarangan orang dapat melaksanakan pernikahan, ada syaratsyarat dan rukunnya, dan ketentuan-ketentuan
tertentu . Di antaranya yaitu proses
Peminangan.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Peminangan
2. Peminangan menurut UU Perkawinan No. 1 tahun 1974, Fikih dan KHI
3. Hukum Peminangan
4. Syarat- Syarat Peminangan
5. Akibat Hukum Peminangan
1 Maksudnya: hendaklah laki-laki yang belum kawin atau wanita- wanita yang tidak bersuami, dibantu agar
mereka dapat kawin.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Peminangan
Kata Khitbah ( )الخطبةadalah bahasa Arab yang secara sederhana diartikan sebagai
penyampaian kehendak untuk melangsungkan ikatan perkawinan.
Meminang, maksudnya seorang laki- laki meminta kepada seorang perempuan untuk
menjadi istrinya, dengan cara- cara yang sudah umum berlaku di tengah – tengah masyarakat.
Meminang termasuk usaha pendahuluan dalam rangka perkawinan. Allah SWT
menggariskan agar masing- masing pasangan yang mau kawin, lebih dulu saling mengenal
sebelum dilakukan aqad nikahnya, sehingga pelaksanaan perkawinannya nanti benar- benar
berdasarkan pandangan dan penilaian yang jelas.
Menurut Dr. Wahbah Az-Zuhailiy, Khitbah berarti menampakkan keinginan untuk
menikah dengan seorang perempuan tertentu, dengan memberitahukan hal itu kepada
perempuan tersebut atau keluarga atau walinya.
Secara singkat, Khitbah adalah thalab an-nikah artinya seruan atau ajakan untuk
menikah. Khitbah disyari’atkan sebagai proses sebelum mengikatkan diri dalam suatu ikatan
perkawinan agar kedua pihak dapat saling mengenal satu sama lain secara ma’ruf sehingga
keputusan mengikat diri dalam ikatan perkawinan dilakukan dengan penuh kesadaran,
dilandasi oleh petunjuk dan pertimbangan yang matang. meminang menjadi cara untuk
mendapatkan bahan pertimbangan untuk memutuskan melanjutkan ke jenjang pernikahan
atau tidak.
B. Peminangan Menurut Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan KHI
Undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974 sama sekali tidak membicarakan
peminangan karena peminangan itu tidak mempunyai hubungan yang mengikat dengan
perkawinan.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur peminangan dalam pasal 1, 11, 12, dan 13.
Keseluruhan pasal tersebut berasal dari fiqh mazhab, terutama mazhab Syafi’iy.
Pasal 1 (a) mengenai pengertian peminangan
“peminangan ialah kegiatan upaya kearah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang
pria dengan seorang wanita”
Pasal 11 mengatur pihak yang melakukan peminangan
“Peminangan dapat dilakukan langsung oleh orang yang berkehendak mencari pasangan
jodoh, tetapi dapat pula dilakukan oleh perantara yang dapat dipercaya”
Pasal 12 mengatur tentang perempuan yang boleh dan tidak boleh dipinang
1. “Peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang masih perawan atau
terhadap janda yang telah habis masa iddahnya”
2. “wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah raj’iyah, haram
dan dilarang untuk dipinang”
3. “Dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang pria lain, selama
pinangan pria tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak wanita”
4. “Putusnya pinangan pihak pria, karena adanya pernyataan tentang putusnya
hubungan pinangan atau secara diam-diam pria yang meminang telah menjauhi dan
meninggalkan wanita yang dipinang”
Pasal 13 tentang akibat hukum peminangan
1. “pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan
hubungan peminangan”
2. “Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan tata cara yang
baik sesuai dengan tuntunan agama dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina
kerukunan dan saling menghargai”
Karena fikih Munakahat ini diterapkan dalam masyarakat Indonesia, maka semua ketentuan
yang ada dalam kompilasi hukum Islam (KHI) sebaiknya kita ketahui.
C. Hukum Peminangan
ول جناح عليكم فيما عرضتم به من خطبة النساء
“tidak ada halangannya bagimu menggunakan kata sindiran dalam meminang
perempuan” (Al-Baqarah : 235)
Hadits Nabi SAW :
Dari Jabir bahwa Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila salah
seorang di antara kamu melamar perempuan,
jika ia bisa memandang bagian tubuhnya yang
menarik untuk dinikahi, hendaknya ia lakukan."
(Riwayat Ahmad dan Abu Dawud dengan
perawi-perawi yang dapat dipercaya. Hadits
shahih menurut Hakim.)
ر رضي الله عنه
ج
و ج
ن ج
ع ن
َ ج
جاب ب ر
ج:ل
ج
سو ل
قا ج
قا ج
ه صلى
ل جالل ل ب
ل جر ل
الله عليه وسلم ) إ ب ج
ب
ذا ج
خط ج ج
ج
ست ج ج
ج, منرأ جةج
ع
طا ج
فإ ب ن
أ ج
ن اب ن
م ال ن ج
حدلك ل ل
ج
عوهل إ بجلى
ما ي جدن ل
ن ي جن نظلجر ب
أ ن
من ن ج
ها ج
ج
نب ج
فل ني ج ن
ج, ها
ع ن
كا ب
مد ل
واهل أ ن
ف ج
ح ج
ح ج
ل ( جر ج
ج,
ه ثب ج
,ت
ر ج
وألبو ج
قا ت
جال ل ل
ج, ود ج
دا ل
ج
و ب
م
ه ا جل ن ج
ح ج
ص ل
حاك ب ل
ح ل
و ج
ج
Banyak ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi yang membicarakan peminangan. Namun
tidak ditemukan secara jelas dan terarah adanya perintah atau larangan melakukan
peminangan, sebagaimana perintah untuk mengadakan perkawinan. Oleh karena itu, dalam
menetapkan hukumnya tidak terdapat pendapat ulama yang mewajibkannya, dalam arti
hukumnya adalah mubah. Namun Ibnu Rusyd dalam Bidayat Al-Mujtahid yang menukilkan
pendapat Daud Al-Zhahiry yang mengatakan hukumnya adalah wajib. Ulama
ini
mendasarkan pendapatnya kepada perbuatan dan tradisi yang dilakukan Nabi dalam
peminangan itu . (Ibnu Rusyd II, 2).
D. Syarat- syarat Peminangan
Salah satu hal yang sangat urgen sebelum laki-laki akan meminang/mengkhitbah
seorang wanita, maka ia sebaiknya harus mempunyai ‘azam atau keinginan yang kuat untuk
menikah. Artinya, ia berkeinginan kuat untuk merealisasi keinginan menikah itu dalam waktu
dekat, secepatnya.
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum meminang menurut Yahya
Abdurrahman dalam bukunya Risalah Khitbah adalah sebagai berikut:
1. Tidak ada sesuatu yang menghalangi peminangan/khitbah, dan tidak ada sesuatu yang
menjadikan peminangan itu haram dilakukan yakni wanita yang akan dipinang secara
syar’i boleh dinikahi, dan laki-laki yang hendak meminang adalah boleh secara syar’i
untuk menikahi wanita yang akan dipinang. Wanita yang akan dipinang harus
dipastikan bahwa ia tidak termasuk kedalam wanita yang haram untuk dinikahi.
2. Wanita yang akan dipinang tidak sedang dipinang dan tidak dalam ikatan pinangan
orang lain. Sebagaimana hadits Nabi SAW dari Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh
Mutafaq’alaih :
ل يخطب احد كم على خطبة أخيه حتى يترك الخا طب
قبله أو يأ ذ ن له
Artinya : “janganlah seseorang diantara kamu meminang perempuan yang telah dipinang
saudaranya hingga peminang pertama telah meninggalkannya atau mengizinkannya untuk
meminang”.
Sedangkan Perempuan yang diinginkan untuk dinikahi oleh seorang laki-laki menurut
DR. Amir Syarifuddin dapat dipisahkan kepada beberapa kriteria :
1. Perempuan yang sedang berada dalam ikatan pernikahan meskipun
kenyataannya telah lama ditinggalkan oleh suaminya
2. Perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya baik ia telah digauli oleh
suaminya baik ia telah digauli oleh suaminya atau belum dalam arti ia sedang
menjalani iddah mati dari mantan suaminya
3. Perempuan yang telah bercerai dari suaminya secara talak raj’i dan sedang
berada dalam masa iddah raj’i
4. Perempuan yang telah bercerai dari suaminya dalam bentuk talak ba’in dan
sedang menjalani masa iddah talak ba’in
5. Perempuan yang belum nikah
E. Akibat Hukum dari Peminangan
Khitbah merupakan akad berupa janji untuk menikah. Setelah khitbah diakadkan,
maka tali khitbah akan mengikat dan memberikan beberapa konsekuensi kepada kedua pihak
yang berakad. Perlu digaris bawahi bahwa pria dan wanita yang diikat dalam akad khitbah,
dalam pandangan syari’at tetap sebagai orang asing satu sama lain. Seluruh aturan interaksi
antara laki-laki dan wanita asing tetap berlaku bagi keduanya, yang berbeda adalah bahwa
keduanya boleh berta’aruf, saling mengenal satu sama lain dalam rangka menuju pernikahan.
Laki-laki yang meminang atau pihak perempuan yang dipinang dalam masa
menjelang pernikahan dapat saja membatalkan pinangan tersebut meskipun dulunya ia
menerimanya. Walaupun demikian pemutusan peminangan harus dilakukan secara baik dan
tidak menyakiti pihak manapun. Pemberian yang dilakukan dalam acara peminangan tidak
mempunyai kaitan apa-apa dengan mahar yang diberikan dalam pernikahan. Jadi, pemberian
itu dapat diambil kembali bila peminangan itu tidak berlanjut dengan pernikahan.
Hubungan antara laki-laki yang meminang dengan perempuan yang dipinangnya
selama masa antara peminangan dan pernikahan itu adalah sebagaimana hubungan laki-laki
dan perempuan itu adalah sebagaimana hubungan laki-laki dan perempuan asing (ajnabi dan
ajnabaiyah). Oleh sebab itu belum berlaku hak dan kewajiban diantara keduanya dan diantara
keduanya haram melakukan saling melihat sebagaimana haramnya saling melihat diantara
laki-laki dan perempuan yang bukan suami istri atau mahramnya.
Khitbah secara syar’i mempunyai posisi sebagai janji untuk menikah pada waktu yang
disepakati. Janji tersebut mengikat kedua pihak yang berjanji. seseorang yang telah
mengkhitbah seorang wanita, ia wajib memenuhi janjinya untuk menikah setelah jangka
waktu yang disepakati habis. Jika jangka waktu yang telah disepakati habis dan tidak ada
berita dari pihak pria yang mengkhitbah, maka ikatan janji itu telah rusak. Ketentuan tersebut
berlaku jika ikatan janji itu dikaitkan dengan jangka waktu tertentu.
Islam menetapkan hak menerima atau menolak khitbah/pinangan terletak pada wanita
yang akan dipinang. Bukan hak salah seorang walinya atau orang-orang yang akan
menikahkannya, tanpa seizin atau kesedian dari wanita tersebut. Jika seorang wanita telah
dilamar atau ia telah meminta untuk dinikahkan, maka hanya dia sendirilah yang berhak
untuk bersikap menerima atau menolak.
Jika terjadi pembatalan atau pemutusan ikatan khitbah, dan salah satu pihak telah
memberikan sesuatu, maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan :
1. Jika yang diberikan itu adalah mahar yang diberikan dimuka, maka pihak wanita
harus mengembalikan mahar tersebut. Mahar yang diberikan sebelum akad nikah,
maka statusnya adalah sesuatu atau harta yang dititipkan/diamanahkan oleh pihak pria
kepada wanita untuk dijadikan sebagai mahar pada saat akad nikah. Karena statusnya
sebagai titipan, maka harus dikembalikan kepada pihak pria saat akad khitbah
dibatalkan.
2. Jika yang diberikan itu adalah biaya pesta pernikahan, maka harta itu harus
dikembalikan kepada pihak yang memberikan.
3. Jika yang diberikan itu adalah hadiah khitbah dan hadiah lainnya, maka hadiah
tersebut tidak boleh diminta kembali, dan pihak yang diberi juga tidak perlu
mengembalikannya. Karena hadiah itu statusnya seperti hibah.
Hadits Rasulullah SAW :
Artinya : “tidak halal bagi seseorang memberikan suatu pemberian atau
menghibahkan suatu hibah lalu ia menariknya kembali kecuali orang tua dalam apaapa yang diberikannya kepada anaknya, dan pemisalan orang yang memberikan
suatu pemberian kemudian memintanya kembali adalah seperti seekor anjing yang
memakan sesuatu lalu ia memuntahkannya dan kembali memakan muntahannnya
itu”.(HR. Abu Dawud, An-Nasa’i,Ibn Majah, At-Tirmidzi)
Khitbah juga memberikan konsekuensi lain yaitu pria lain haram untuk mengajukan
khitbah kepada wanita yang telah dikhitbah, dan wanita tersebut tidak boleh menerima
khitbah pria lain. Jika pria lain tersebut tetap mengajukannya, maka ia dinilai telah melanggar
hak saudaranya. Rasulullah SAW bersabda :
Artinya : “seorang Mukmin adalah saudara mukmin lainnya, maka tidak halal bagi seorang
mukmin membeli diatas pembelian saudaranya dan tidak halal mengkhitbah diatas
khitbahan saudaranya sehingga saudaranya meninggalkan”. (HR. Muslim dan Ahmad)
Artinya : “ janganlah sseorang mengkhitbah diatas khitbahan saudaranya hingga
saudaranya itu menikahi atau meninggalkan”. (HR. An-Nasa’i).
F. Hikmah Peminangan
Hikmah disyariatkannya peminangan adalah untuk lebih menguatkan ikatan
perkawinan yang diadakan sesudah itu karena dengan peminangan itu kedua belah pihak
dapat saling mengenal. Dalam hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan
An-Nasa’i yang berbunyi
أنه قال وقد خطب إمرأة انظر اليها فانه أحر أن يؤدم
بينكما
Artinya : “ bahwa Nabi SAW berkata kepada seseorang yang telah meminang seorang
perempuan : “melihatlah kepadanya karena yang demikian akan lebih menguatkan ikatan
perkawinan”. (Al-Shan’aniy III, 113).
G. Hal- hal lain yang berkaitan dengan Peminangan
Yang boleh dipinang:
1. Pada waktu dipinang tidak ada halangan- halangan hukum, yang melarang
dilangsungkannya perkawinan.
2. Belum dipinang orang lain secara sah.
Bilamana terdapat halangan- halangan hukum, seperti : perempuannya karena sesuatu
hal haram dikawin selamanya atau sementara, atau telah dipinang lebih dulu oleh orang lain,
maka tidak boleh dipinang.
Meminang bekas istri orang lain yang sedang iddah
Haram meminang bekas istri orang lain yang sedang iddah, baik iddah karena
kematian, atau iddah karena cerai, baik cerai raj’iy atau cerai ba’in. jika perempuan yang
sedang iddah dari talak raj’iy, maka ia haram dipinang, sebab masih ada ikatan dengan bekas
suaminya, dan suaminya juga masih berhak untuk merujuknya sewaktu- waktu ia suka.
Jika perempuan iddah dari talak ba’in, maka ia haram dipinang secara terangterangan, karena bekas suaminya masih tetap punya hak terhadap dirinya dan juga masih
punya hak untuk mengawini dia kembali dengan akad nikah baru.
Jika ada laki- laki lain meminangnya di masa iddahnya berarti melanggar hak bekas
suaminya.
Kalangan ahli fiqh berbeda pendapat tentang boleh tentang boleh atau tidaknya
meminang perempuan yang sedang iddah secara sindiran. Pendapat yang benar adalah
menyatakan boleh. Jika perempuan yang sedang iddah karena kematian suaminya, maka ia
boleh dipinang secara sindiran di masa iddahnya, karena hubungan suami istri di sini sama
sekali jadi putus karena kematiannya, sehingga hak suami terhadap istrinya karena
kematiannya itu sama sekali hilang. Firman Allah SWT :
ول جنا ح عليكم فيما عر ضتم به من خطبة النساء أو أكننتم في
أنفسكم
Artinya : “Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu2 dengan sindiran3
atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu”. (QS. Al-Baqarah : 235)
Sekalipun begitu diharamkan meminang dia secara terang- terangan, karena untuk
menjaga agar perempuannya tidak terganggu dan tercemar oleh para tetangganya, serta
menjaga perasaan anggota keluarga si mati dan para ahli warisnya.
Rasulullah pernah masuk ke rumah Ummu Salamah ketika ia masih iddah karena
matinya Abu Salamah. Beliau berkata kepadanya :
لقد علمت انى رسول الله وخيرته ومو ضعي فى قو مى
Artinya : “Tentu engkau sudah tahu aku ini seorang Rasul dan Rasul yang terbaik serta
betapa mulianya kedudukanku di kalangan bangsaku”. (H. R. Daruquthni. Hadits ini
Munqathi karena ada seorang rawi bernama Muhammad Al Ba- qir bin Ali yang tidak pernah
bertemu Nabi)
Perbuatan nabi tersebut termasuk meminang
Kesimpulan dari semua pendapat diatas, bahwa meminang dengan terang- terangan
semua bekas istri orang lain yang sedang iddah diharamkan.
Tetapi kalau meminang dengan sindiran kepada perempuan yang sedang iddah dari
talak ba’in atau talak kematian dibolehkan. Sedangkan kepada perempuan yang sedang iddah
dari talak raj’iy tetap haram.
2 Yang suaminya telah meninggal dan masih dalam 'iddah
3 Wanita yang boleh dipinang secara sindiran ialah wanita yang dalam 'iddah karena meninggal suaminya, atau karena talak
bain, sedang wanita yang dalam 'iddah talak raji'i tidak boleh dipinang walaupun dengan sindiran
Bagaimana hukumnya meminang dengan terang- terangan kepada perempuan yang sedang
iddah, tetapi pelaksanaan akad nikahnya sesudah habis?
Dalam hal ini para ahli Fiqh berbeda pendapat :
1. Menurut Imam Malik harus dibatalkan, baik sudah terlanjur berkumpul atau belum.
2. Menurut Imam Syafi’I akad nikahnya sah, tapi meminangnya secara terang- terangan
tersebut haram, karena antara meminang dan akad nikah berlainan. Tetapi para fuqaha
sependapat,bilamana akad nikah terjadi di masa iddahnya harus dibatalkan, sekalipun
sudah terjadi persetubuhan antar mereka.
Meminang pinangan orang lain
Diharamkan seseorang meminang pinangan saudaranya, karena berarti ia menyerang
hak dan menyakiti hati peminang pertama. Memecah belah hubungan kekeluargaan dan
mengganggu ketentraman.
dari Uqbah bin ‘Amir, Rasulullah SAW bersabda :
ا لمؤ من اخوا لمؤ من فل يحل له ان يبتننا ع عننل بيننع اخيننه
ول يخطب عل خطبة اخيه حتى يذ ر
()رواه احمد ومسلم
Artinya : “orang mukmin satu dengan lainnya bersaudara, tidak boleh ia membeli barang
yang sedang dibeli saudaranya, dan meminang pinangan saudaranya sebelum ia
tinggalkan”. (H.R. Ahmad dan Muslim).
Meminang
pinangan
yang
diharamkan
itu
bilamana
perempuannya
telah
menerimanya dan walinya telah dengan terang- terangan mengizinkannya. Bila izinnya itu
memang diperlukan.
Akan tetapi, kalau pinangan semula ditolak dengan terang- terangan atau dengan
sindiran, umpamanya dengan kata- kata, tau laki- laki yang kedua belum tahu ada orang lain
yang sudah meminangnya, atau pinangan pertama belum diterima, juga belum ditolak, atau
laki- laki pertama mengizinkan laki- laki kedua meminangnya maka laki- laki yang kedua
boleh meminangnya.
Melihat Pinangan
Melihat pinangan oleh agama disunnahkan dan dianjurkan.
Dari Jabir bin Abdillah, Rasulullah SAW bersabda :
اذا خطب احدكم المرأة فان اسستطاع ان ينظننر منهننا الننى
ما يدعوه الى نكا حها فليفعل
Artinya : “jika seseorang dari kamu mau meminang seseorang perempuan hendaklah lebih
dahulu lihat apa yang menjadi daya tarik untuk menikahinya, maka hendaklah
dilakukannya”.
Tempat- tempat yang boleh dilihat
Jumhur ulama berpendapat bagian badan yang boleh dilihat yaitu muka dan telapak
tangan. Dengan melihat mukanya dapat diketahui cantik jeleknya, dan dengan melihat
telapak tangannya dapat diketahui badannya subur atau tidak.
Imam Daud berkata : seluruh badan perempuannya boleh dilihat.
Imam Auza’iy berkata : tempat- tempat yang berdaging saja yang boleh dilihat.
Hadits- hadits tentang melihat pinangan tidak menentukan tempat- tempat khusus,
bahkan secara umum dikatakannya agar melihat tempat- tempat yang diinginkan sebagai
daya tarik untuk mengawininya.
Bilamana laki- laki melihat pinangannya, ternyata tidak menarik, hendaklah dia diam
dan jangan mengatakan sesuatu yang bisa menyakitkan hatinya, sebab boleh jadi perempuan
yang tidak disenangi itu akan disenangi oleh laki- laki lain.
Perempuan melihat laki- laki
Melihat pinangan itu tidaklah hanya khusus buat laki- laki saja, tetapi perempuan pun
boleh juga. Ia berhak melihat laki- laki yang meminangnya, guna mengetahui hal- hal yang
bisa menyebabkan ia tertarik sebagaimana dengan laki- laki melihat faktor- faktor yang
menyebabkan ia tertarik.
Mengenal sifat- sifatnya
Dengan melihat, dapat diketahui cantik atau tidaknya seorang perempuan. Adapun
sifat- sifat bertalian dengan akhlak. Dapatlah diketahui dari sifatnya atau bertanya kepada
kerabatnya yang dapat dipercaya.
Imam Ghazaly dalam Ihya Ulumuddin mengatakan: janganlah menanyakan akhlak
dan kecantikan perempuan yang akan dipinangnya iu kecuali kepada seseorang yang betulbetul tahu lagi jujur, yang tahu lahir dan bathinnya.
Larangan menyendiri dengan tunangannya
Haram menyendiri dengan tunangan, karena bukan mahramnya, sebab belum
dinikahinya. Agama tidak membolehkan melakukan sesuatu terhadap pinangannya, kecuali
melihat saja, sedang perbuatan- perbuatan lainnya tetap haram, karena menyendiri dengan
tunangan tak akan bisa selamat daripada terjatuh pada perbuatan yang dilarang agama. Akan
tetapi, bila dalam bersendirian itu ditemani oleh salah seorang mahramnya guna mencegah
terjadinya perbuatan- perbuatan maksiat, maka dibolehkan.
Bahaya dan akibat melengahkan masalah menyendiri dengan perempuan
Banyak sekali orang- orang yang melengahkan persoalan ini, sehingga anak
perempuannya atau keluarga perempuannya dibebaskan bergaul dengan tunangannya atau
menyendiri tanpa ada lagi pengawasan serta pergi kemana saja mereka suka tanpa
pengawalan.
Akibat dari perbuatan ini akhirnya perempuanlah yang kehilangan harga dirinya, rasa
malunya dan kegadisannya, padahal perkawinannya belum lagi dilangsungkan, sehingga ia
kehilangan kesempatan untuk menikah.
Cara yang paling baik seperti ajaran yang dibawa Islam yang memperhatikan hak
laki- laki maupun perempuan boleh melihat di waktu meminang, tetapi harus menjauhkan diri
dari menyendiri, agar dapatlah dijaga kehormatan dan kemuliannya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Khitbah adalah thalab an-nikah artinya seruan atau ajakan untuk menikah. Meminag
berarti bahwa seseorang laki-laki hendak mengajak seorang wanita untuk menikah.
Meminang disyari’atkan dalam agama Islam. Namun, tidak ditemukan hukumnya
secara jelas apakah merupakan perintah atau larangan, baik dalam Al-qur’an maupun Assunnah sebagaimana perintah untuk mengadakan perkawinan.
Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 tidak mengatur tentang peminangan.
Namun, peminangan diatur dalam kompilasi hukum Islam Pasal 1 (a) mengenai pengertian
peminangan “peminangan ialah kegiatan upaya kearah terjadinya hubungan perjodohan
antara seorang pria dengan seorang wanita”.
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum meminang adalah : (1) tidak ada
sesuatu yang menghalangi peminangan/khitbah (wanita yang akan dipinang bukan
merupakan mahrom nikah); (2) Wanita yang akan dipinang tidak sedang dipinang dan tidak
dalam ikatan pinangan orang lain.
Akibat hukum peminangan menurut pasal 13 KHI tentang akibat hukum peminangan
1. “pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan
hubungan peminangan”
2. “Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan tata cara yang
baik sesuai dengan tuntunan agama dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina
kerukunan dan saling menghargai”
Hubungan antara si peminang dengan yang dipinang adalah sebagaimana hubungan orang
asing. Belum berlaku kewajiban sebagai suami/istri antara keduanya. Seseorang yang telah
meminang seorang wanita, ia wajib memenuhi janjinya untuk menikah setelah jangka
waktu yang disepakati habis. Jika telah disepakati habis waktunya dan tidak ada berita dari
pihak pria yang meminang, maka ikatan janji itu telah batal/rusak. Ketentuan tersebut berlaku
jika ikatan janji itu dikaitkan dengan jangka waktu tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Y. (2013). Risalah Khitbah - Panduan Islami dalam Memilih Pasangan &
Meminang. Bogor: Al-Azhar Press.
Sabiq, S. (1980). Fikih Sunnah. Bandung: PT Al Ma'arif.
Syarifuddin, p. D. (2011). Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: kencana.
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
Syarat dan Akibat Hukum Peminangan dalam Perspektif UndangUndang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Fikih, dan Kompilasi
Hukum Islam
MAKALAH
Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Hukum
Perdata Islam di Indonesia
Disusun oleh :
Siti Halimatusadiah (Semester V)
Siti Sadiah (Semester V)
Syarifah Nurazizah (Semester V)
Nor Syakira Binti Abdurrahman (Konversi)
Risky Nanda (Semester III)
PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHSIYYAH
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS IBN KHALDUN BOGOR
2014
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan segala
rahmat dan karunia-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Pendahuluan Nikah : Peminangan - Syarat dan Akibat Hukum Peminangan dalam
Perspektif Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Fikih, dan Kompilasi
Hukum Islam”.
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum Perdata
Islam di Indonesia. Penyusun berharap, makalah ini bermanfaat untuk menambah
pengetahuan
mengenai peminangan baik menurut Fikih, Undang-undang Perkawinan,
maupun Kompilasi Hukum Islam, serta syarat- syarat peminangan dan akibat hukumnya.
Tentunya makalah ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu kritik dan saran yang
membangun dari semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan pembuatan
makalah ini.
Penyusun berharap, makalah ini dapat bermanfaat untuk ke depan dan rekan-rekan
mahasiswa lainnya. Aamiin.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Bogor, 13 Oktober 2014
Penyusun
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................................................ii
BAB I................................................................................................................................................- 1 PENDAHULUAN.........................................................................................................................- 1 A.
Latar Belakang...................................................................................................................- 1 -
B.
Rumusan Masalah.............................................................................................................- 1 -
BAB II...............................................................................................................................................- 2 PEMBAHASAN...........................................................................................................................- 2 A.
Pengertian Peminangan.....................................................................................................- 2 -
B.
Peminangan Menurut Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan KHI..............- 2 -
C.
Hukum Peminangan..........................................................................................................- 3 -
D.
Syarat- syarat Peminangan.................................................................................................- 4 -
E.
Akibat Hukum dari Peminangan.......................................................................................- 5 -
F.
Hikmah Peminangan..........................................................................................................- 7 -
G.
Hal- hal lain yang berkaitan dengan Peminangan..............................................................- 7 -
BAB III...........................................................................................................................................- 12 PENUTUP...................................................................................................................................- 12 A.
Kesimpulan......................................................................................................................- 12 -
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................................iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pernikahan merupakan bagian dari Syariat Islam dan Sunnah Rasulullah SAW yang
apabila dilaksanakan akan mendapat pahala dari Allah SWT. Firman Allah SWT dalam surah
Annur ayat 32 :
وأنكحوا اليمى منكم والصلحين من عبنناد كننم وإمننا ءكننم إن يكونننوا
فقراء يغنهم الله من فضله وا الله وا سع عليم
“dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian1 diantara kamu, dan orang-orang yang layak
(berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.
jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas
(pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui”.(Qs. An-Nur : 32)
dan hadits Rasulullah SAW :
يا معشر الشباب من استطاع منكم الباء ة فليتزوج فإنه أغض
للبصر و أحصن للفرج و من لم يستطع فعليه با اصوم فإنه له وجاء
"Wahai sekalian pemuda, barang siapa diantara kalian yang telah mampu
hendaklah dia menikah, karena yang demikian itu lebih menjaga pandangan dan
lebih menjaga kemaluannya, dan barang siapa yang belum mampu hendaklah
dia berpuasa, karena itu merupakan benteng baginya" (Muttafaq Alaihi)1
Tujuan dari pernikahan itu sendiri ialah untuk menciptakan keluarga yang Sakinah,
Mawadddah, Warahmah.
Maka dari itu, tidak sembarangan orang dapat melaksanakan pernikahan, ada syaratsyarat dan rukunnya, dan ketentuan-ketentuan
tertentu . Di antaranya yaitu proses
Peminangan.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Peminangan
2. Peminangan menurut UU Perkawinan No. 1 tahun 1974, Fikih dan KHI
3. Hukum Peminangan
4. Syarat- Syarat Peminangan
5. Akibat Hukum Peminangan
1 Maksudnya: hendaklah laki-laki yang belum kawin atau wanita- wanita yang tidak bersuami, dibantu agar
mereka dapat kawin.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Peminangan
Kata Khitbah ( )الخطبةadalah bahasa Arab yang secara sederhana diartikan sebagai
penyampaian kehendak untuk melangsungkan ikatan perkawinan.
Meminang, maksudnya seorang laki- laki meminta kepada seorang perempuan untuk
menjadi istrinya, dengan cara- cara yang sudah umum berlaku di tengah – tengah masyarakat.
Meminang termasuk usaha pendahuluan dalam rangka perkawinan. Allah SWT
menggariskan agar masing- masing pasangan yang mau kawin, lebih dulu saling mengenal
sebelum dilakukan aqad nikahnya, sehingga pelaksanaan perkawinannya nanti benar- benar
berdasarkan pandangan dan penilaian yang jelas.
Menurut Dr. Wahbah Az-Zuhailiy, Khitbah berarti menampakkan keinginan untuk
menikah dengan seorang perempuan tertentu, dengan memberitahukan hal itu kepada
perempuan tersebut atau keluarga atau walinya.
Secara singkat, Khitbah adalah thalab an-nikah artinya seruan atau ajakan untuk
menikah. Khitbah disyari’atkan sebagai proses sebelum mengikatkan diri dalam suatu ikatan
perkawinan agar kedua pihak dapat saling mengenal satu sama lain secara ma’ruf sehingga
keputusan mengikat diri dalam ikatan perkawinan dilakukan dengan penuh kesadaran,
dilandasi oleh petunjuk dan pertimbangan yang matang. meminang menjadi cara untuk
mendapatkan bahan pertimbangan untuk memutuskan melanjutkan ke jenjang pernikahan
atau tidak.
B. Peminangan Menurut Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan KHI
Undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974 sama sekali tidak membicarakan
peminangan karena peminangan itu tidak mempunyai hubungan yang mengikat dengan
perkawinan.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur peminangan dalam pasal 1, 11, 12, dan 13.
Keseluruhan pasal tersebut berasal dari fiqh mazhab, terutama mazhab Syafi’iy.
Pasal 1 (a) mengenai pengertian peminangan
“peminangan ialah kegiatan upaya kearah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang
pria dengan seorang wanita”
Pasal 11 mengatur pihak yang melakukan peminangan
“Peminangan dapat dilakukan langsung oleh orang yang berkehendak mencari pasangan
jodoh, tetapi dapat pula dilakukan oleh perantara yang dapat dipercaya”
Pasal 12 mengatur tentang perempuan yang boleh dan tidak boleh dipinang
1. “Peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang masih perawan atau
terhadap janda yang telah habis masa iddahnya”
2. “wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah raj’iyah, haram
dan dilarang untuk dipinang”
3. “Dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang pria lain, selama
pinangan pria tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak wanita”
4. “Putusnya pinangan pihak pria, karena adanya pernyataan tentang putusnya
hubungan pinangan atau secara diam-diam pria yang meminang telah menjauhi dan
meninggalkan wanita yang dipinang”
Pasal 13 tentang akibat hukum peminangan
1. “pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan
hubungan peminangan”
2. “Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan tata cara yang
baik sesuai dengan tuntunan agama dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina
kerukunan dan saling menghargai”
Karena fikih Munakahat ini diterapkan dalam masyarakat Indonesia, maka semua ketentuan
yang ada dalam kompilasi hukum Islam (KHI) sebaiknya kita ketahui.
C. Hukum Peminangan
ول جناح عليكم فيما عرضتم به من خطبة النساء
“tidak ada halangannya bagimu menggunakan kata sindiran dalam meminang
perempuan” (Al-Baqarah : 235)
Hadits Nabi SAW :
Dari Jabir bahwa Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila salah
seorang di antara kamu melamar perempuan,
jika ia bisa memandang bagian tubuhnya yang
menarik untuk dinikahi, hendaknya ia lakukan."
(Riwayat Ahmad dan Abu Dawud dengan
perawi-perawi yang dapat dipercaya. Hadits
shahih menurut Hakim.)
ر رضي الله عنه
ج
و ج
ن ج
ع ن
َ ج
جاب ب ر
ج:ل
ج
سو ل
قا ج
قا ج
ه صلى
ل جالل ل ب
ل جر ل
الله عليه وسلم ) إ ب ج
ب
ذا ج
خط ج ج
ج
ست ج ج
ج, منرأ جةج
ع
طا ج
فإ ب ن
أ ج
ن اب ن
م ال ن ج
حدلك ل ل
ج
عوهل إ بجلى
ما ي جدن ل
ن ي جن نظلجر ب
أ ن
من ن ج
ها ج
ج
نب ج
فل ني ج ن
ج, ها
ع ن
كا ب
مد ل
واهل أ ن
ف ج
ح ج
ح ج
ل ( جر ج
ج,
ه ثب ج
,ت
ر ج
وألبو ج
قا ت
جال ل ل
ج, ود ج
دا ل
ج
و ب
م
ه ا جل ن ج
ح ج
ص ل
حاك ب ل
ح ل
و ج
ج
Banyak ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi yang membicarakan peminangan. Namun
tidak ditemukan secara jelas dan terarah adanya perintah atau larangan melakukan
peminangan, sebagaimana perintah untuk mengadakan perkawinan. Oleh karena itu, dalam
menetapkan hukumnya tidak terdapat pendapat ulama yang mewajibkannya, dalam arti
hukumnya adalah mubah. Namun Ibnu Rusyd dalam Bidayat Al-Mujtahid yang menukilkan
pendapat Daud Al-Zhahiry yang mengatakan hukumnya adalah wajib. Ulama
ini
mendasarkan pendapatnya kepada perbuatan dan tradisi yang dilakukan Nabi dalam
peminangan itu . (Ibnu Rusyd II, 2).
D. Syarat- syarat Peminangan
Salah satu hal yang sangat urgen sebelum laki-laki akan meminang/mengkhitbah
seorang wanita, maka ia sebaiknya harus mempunyai ‘azam atau keinginan yang kuat untuk
menikah. Artinya, ia berkeinginan kuat untuk merealisasi keinginan menikah itu dalam waktu
dekat, secepatnya.
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum meminang menurut Yahya
Abdurrahman dalam bukunya Risalah Khitbah adalah sebagai berikut:
1. Tidak ada sesuatu yang menghalangi peminangan/khitbah, dan tidak ada sesuatu yang
menjadikan peminangan itu haram dilakukan yakni wanita yang akan dipinang secara
syar’i boleh dinikahi, dan laki-laki yang hendak meminang adalah boleh secara syar’i
untuk menikahi wanita yang akan dipinang. Wanita yang akan dipinang harus
dipastikan bahwa ia tidak termasuk kedalam wanita yang haram untuk dinikahi.
2. Wanita yang akan dipinang tidak sedang dipinang dan tidak dalam ikatan pinangan
orang lain. Sebagaimana hadits Nabi SAW dari Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh
Mutafaq’alaih :
ل يخطب احد كم على خطبة أخيه حتى يترك الخا طب
قبله أو يأ ذ ن له
Artinya : “janganlah seseorang diantara kamu meminang perempuan yang telah dipinang
saudaranya hingga peminang pertama telah meninggalkannya atau mengizinkannya untuk
meminang”.
Sedangkan Perempuan yang diinginkan untuk dinikahi oleh seorang laki-laki menurut
DR. Amir Syarifuddin dapat dipisahkan kepada beberapa kriteria :
1. Perempuan yang sedang berada dalam ikatan pernikahan meskipun
kenyataannya telah lama ditinggalkan oleh suaminya
2. Perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya baik ia telah digauli oleh
suaminya baik ia telah digauli oleh suaminya atau belum dalam arti ia sedang
menjalani iddah mati dari mantan suaminya
3. Perempuan yang telah bercerai dari suaminya secara talak raj’i dan sedang
berada dalam masa iddah raj’i
4. Perempuan yang telah bercerai dari suaminya dalam bentuk talak ba’in dan
sedang menjalani masa iddah talak ba’in
5. Perempuan yang belum nikah
E. Akibat Hukum dari Peminangan
Khitbah merupakan akad berupa janji untuk menikah. Setelah khitbah diakadkan,
maka tali khitbah akan mengikat dan memberikan beberapa konsekuensi kepada kedua pihak
yang berakad. Perlu digaris bawahi bahwa pria dan wanita yang diikat dalam akad khitbah,
dalam pandangan syari’at tetap sebagai orang asing satu sama lain. Seluruh aturan interaksi
antara laki-laki dan wanita asing tetap berlaku bagi keduanya, yang berbeda adalah bahwa
keduanya boleh berta’aruf, saling mengenal satu sama lain dalam rangka menuju pernikahan.
Laki-laki yang meminang atau pihak perempuan yang dipinang dalam masa
menjelang pernikahan dapat saja membatalkan pinangan tersebut meskipun dulunya ia
menerimanya. Walaupun demikian pemutusan peminangan harus dilakukan secara baik dan
tidak menyakiti pihak manapun. Pemberian yang dilakukan dalam acara peminangan tidak
mempunyai kaitan apa-apa dengan mahar yang diberikan dalam pernikahan. Jadi, pemberian
itu dapat diambil kembali bila peminangan itu tidak berlanjut dengan pernikahan.
Hubungan antara laki-laki yang meminang dengan perempuan yang dipinangnya
selama masa antara peminangan dan pernikahan itu adalah sebagaimana hubungan laki-laki
dan perempuan itu adalah sebagaimana hubungan laki-laki dan perempuan asing (ajnabi dan
ajnabaiyah). Oleh sebab itu belum berlaku hak dan kewajiban diantara keduanya dan diantara
keduanya haram melakukan saling melihat sebagaimana haramnya saling melihat diantara
laki-laki dan perempuan yang bukan suami istri atau mahramnya.
Khitbah secara syar’i mempunyai posisi sebagai janji untuk menikah pada waktu yang
disepakati. Janji tersebut mengikat kedua pihak yang berjanji. seseorang yang telah
mengkhitbah seorang wanita, ia wajib memenuhi janjinya untuk menikah setelah jangka
waktu yang disepakati habis. Jika jangka waktu yang telah disepakati habis dan tidak ada
berita dari pihak pria yang mengkhitbah, maka ikatan janji itu telah rusak. Ketentuan tersebut
berlaku jika ikatan janji itu dikaitkan dengan jangka waktu tertentu.
Islam menetapkan hak menerima atau menolak khitbah/pinangan terletak pada wanita
yang akan dipinang. Bukan hak salah seorang walinya atau orang-orang yang akan
menikahkannya, tanpa seizin atau kesedian dari wanita tersebut. Jika seorang wanita telah
dilamar atau ia telah meminta untuk dinikahkan, maka hanya dia sendirilah yang berhak
untuk bersikap menerima atau menolak.
Jika terjadi pembatalan atau pemutusan ikatan khitbah, dan salah satu pihak telah
memberikan sesuatu, maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan :
1. Jika yang diberikan itu adalah mahar yang diberikan dimuka, maka pihak wanita
harus mengembalikan mahar tersebut. Mahar yang diberikan sebelum akad nikah,
maka statusnya adalah sesuatu atau harta yang dititipkan/diamanahkan oleh pihak pria
kepada wanita untuk dijadikan sebagai mahar pada saat akad nikah. Karena statusnya
sebagai titipan, maka harus dikembalikan kepada pihak pria saat akad khitbah
dibatalkan.
2. Jika yang diberikan itu adalah biaya pesta pernikahan, maka harta itu harus
dikembalikan kepada pihak yang memberikan.
3. Jika yang diberikan itu adalah hadiah khitbah dan hadiah lainnya, maka hadiah
tersebut tidak boleh diminta kembali, dan pihak yang diberi juga tidak perlu
mengembalikannya. Karena hadiah itu statusnya seperti hibah.
Hadits Rasulullah SAW :
Artinya : “tidak halal bagi seseorang memberikan suatu pemberian atau
menghibahkan suatu hibah lalu ia menariknya kembali kecuali orang tua dalam apaapa yang diberikannya kepada anaknya, dan pemisalan orang yang memberikan
suatu pemberian kemudian memintanya kembali adalah seperti seekor anjing yang
memakan sesuatu lalu ia memuntahkannya dan kembali memakan muntahannnya
itu”.(HR. Abu Dawud, An-Nasa’i,Ibn Majah, At-Tirmidzi)
Khitbah juga memberikan konsekuensi lain yaitu pria lain haram untuk mengajukan
khitbah kepada wanita yang telah dikhitbah, dan wanita tersebut tidak boleh menerima
khitbah pria lain. Jika pria lain tersebut tetap mengajukannya, maka ia dinilai telah melanggar
hak saudaranya. Rasulullah SAW bersabda :
Artinya : “seorang Mukmin adalah saudara mukmin lainnya, maka tidak halal bagi seorang
mukmin membeli diatas pembelian saudaranya dan tidak halal mengkhitbah diatas
khitbahan saudaranya sehingga saudaranya meninggalkan”. (HR. Muslim dan Ahmad)
Artinya : “ janganlah sseorang mengkhitbah diatas khitbahan saudaranya hingga
saudaranya itu menikahi atau meninggalkan”. (HR. An-Nasa’i).
F. Hikmah Peminangan
Hikmah disyariatkannya peminangan adalah untuk lebih menguatkan ikatan
perkawinan yang diadakan sesudah itu karena dengan peminangan itu kedua belah pihak
dapat saling mengenal. Dalam hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan
An-Nasa’i yang berbunyi
أنه قال وقد خطب إمرأة انظر اليها فانه أحر أن يؤدم
بينكما
Artinya : “ bahwa Nabi SAW berkata kepada seseorang yang telah meminang seorang
perempuan : “melihatlah kepadanya karena yang demikian akan lebih menguatkan ikatan
perkawinan”. (Al-Shan’aniy III, 113).
G. Hal- hal lain yang berkaitan dengan Peminangan
Yang boleh dipinang:
1. Pada waktu dipinang tidak ada halangan- halangan hukum, yang melarang
dilangsungkannya perkawinan.
2. Belum dipinang orang lain secara sah.
Bilamana terdapat halangan- halangan hukum, seperti : perempuannya karena sesuatu
hal haram dikawin selamanya atau sementara, atau telah dipinang lebih dulu oleh orang lain,
maka tidak boleh dipinang.
Meminang bekas istri orang lain yang sedang iddah
Haram meminang bekas istri orang lain yang sedang iddah, baik iddah karena
kematian, atau iddah karena cerai, baik cerai raj’iy atau cerai ba’in. jika perempuan yang
sedang iddah dari talak raj’iy, maka ia haram dipinang, sebab masih ada ikatan dengan bekas
suaminya, dan suaminya juga masih berhak untuk merujuknya sewaktu- waktu ia suka.
Jika perempuan iddah dari talak ba’in, maka ia haram dipinang secara terangterangan, karena bekas suaminya masih tetap punya hak terhadap dirinya dan juga masih
punya hak untuk mengawini dia kembali dengan akad nikah baru.
Jika ada laki- laki lain meminangnya di masa iddahnya berarti melanggar hak bekas
suaminya.
Kalangan ahli fiqh berbeda pendapat tentang boleh tentang boleh atau tidaknya
meminang perempuan yang sedang iddah secara sindiran. Pendapat yang benar adalah
menyatakan boleh. Jika perempuan yang sedang iddah karena kematian suaminya, maka ia
boleh dipinang secara sindiran di masa iddahnya, karena hubungan suami istri di sini sama
sekali jadi putus karena kematiannya, sehingga hak suami terhadap istrinya karena
kematiannya itu sama sekali hilang. Firman Allah SWT :
ول جنا ح عليكم فيما عر ضتم به من خطبة النساء أو أكننتم في
أنفسكم
Artinya : “Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu2 dengan sindiran3
atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu”. (QS. Al-Baqarah : 235)
Sekalipun begitu diharamkan meminang dia secara terang- terangan, karena untuk
menjaga agar perempuannya tidak terganggu dan tercemar oleh para tetangganya, serta
menjaga perasaan anggota keluarga si mati dan para ahli warisnya.
Rasulullah pernah masuk ke rumah Ummu Salamah ketika ia masih iddah karena
matinya Abu Salamah. Beliau berkata kepadanya :
لقد علمت انى رسول الله وخيرته ومو ضعي فى قو مى
Artinya : “Tentu engkau sudah tahu aku ini seorang Rasul dan Rasul yang terbaik serta
betapa mulianya kedudukanku di kalangan bangsaku”. (H. R. Daruquthni. Hadits ini
Munqathi karena ada seorang rawi bernama Muhammad Al Ba- qir bin Ali yang tidak pernah
bertemu Nabi)
Perbuatan nabi tersebut termasuk meminang
Kesimpulan dari semua pendapat diatas, bahwa meminang dengan terang- terangan
semua bekas istri orang lain yang sedang iddah diharamkan.
Tetapi kalau meminang dengan sindiran kepada perempuan yang sedang iddah dari
talak ba’in atau talak kematian dibolehkan. Sedangkan kepada perempuan yang sedang iddah
dari talak raj’iy tetap haram.
2 Yang suaminya telah meninggal dan masih dalam 'iddah
3 Wanita yang boleh dipinang secara sindiran ialah wanita yang dalam 'iddah karena meninggal suaminya, atau karena talak
bain, sedang wanita yang dalam 'iddah talak raji'i tidak boleh dipinang walaupun dengan sindiran
Bagaimana hukumnya meminang dengan terang- terangan kepada perempuan yang sedang
iddah, tetapi pelaksanaan akad nikahnya sesudah habis?
Dalam hal ini para ahli Fiqh berbeda pendapat :
1. Menurut Imam Malik harus dibatalkan, baik sudah terlanjur berkumpul atau belum.
2. Menurut Imam Syafi’I akad nikahnya sah, tapi meminangnya secara terang- terangan
tersebut haram, karena antara meminang dan akad nikah berlainan. Tetapi para fuqaha
sependapat,bilamana akad nikah terjadi di masa iddahnya harus dibatalkan, sekalipun
sudah terjadi persetubuhan antar mereka.
Meminang pinangan orang lain
Diharamkan seseorang meminang pinangan saudaranya, karena berarti ia menyerang
hak dan menyakiti hati peminang pertama. Memecah belah hubungan kekeluargaan dan
mengganggu ketentraman.
dari Uqbah bin ‘Amir, Rasulullah SAW bersabda :
ا لمؤ من اخوا لمؤ من فل يحل له ان يبتننا ع عننل بيننع اخيننه
ول يخطب عل خطبة اخيه حتى يذ ر
()رواه احمد ومسلم
Artinya : “orang mukmin satu dengan lainnya bersaudara, tidak boleh ia membeli barang
yang sedang dibeli saudaranya, dan meminang pinangan saudaranya sebelum ia
tinggalkan”. (H.R. Ahmad dan Muslim).
Meminang
pinangan
yang
diharamkan
itu
bilamana
perempuannya
telah
menerimanya dan walinya telah dengan terang- terangan mengizinkannya. Bila izinnya itu
memang diperlukan.
Akan tetapi, kalau pinangan semula ditolak dengan terang- terangan atau dengan
sindiran, umpamanya dengan kata- kata, tau laki- laki yang kedua belum tahu ada orang lain
yang sudah meminangnya, atau pinangan pertama belum diterima, juga belum ditolak, atau
laki- laki pertama mengizinkan laki- laki kedua meminangnya maka laki- laki yang kedua
boleh meminangnya.
Melihat Pinangan
Melihat pinangan oleh agama disunnahkan dan dianjurkan.
Dari Jabir bin Abdillah, Rasulullah SAW bersabda :
اذا خطب احدكم المرأة فان اسستطاع ان ينظننر منهننا الننى
ما يدعوه الى نكا حها فليفعل
Artinya : “jika seseorang dari kamu mau meminang seseorang perempuan hendaklah lebih
dahulu lihat apa yang menjadi daya tarik untuk menikahinya, maka hendaklah
dilakukannya”.
Tempat- tempat yang boleh dilihat
Jumhur ulama berpendapat bagian badan yang boleh dilihat yaitu muka dan telapak
tangan. Dengan melihat mukanya dapat diketahui cantik jeleknya, dan dengan melihat
telapak tangannya dapat diketahui badannya subur atau tidak.
Imam Daud berkata : seluruh badan perempuannya boleh dilihat.
Imam Auza’iy berkata : tempat- tempat yang berdaging saja yang boleh dilihat.
Hadits- hadits tentang melihat pinangan tidak menentukan tempat- tempat khusus,
bahkan secara umum dikatakannya agar melihat tempat- tempat yang diinginkan sebagai
daya tarik untuk mengawininya.
Bilamana laki- laki melihat pinangannya, ternyata tidak menarik, hendaklah dia diam
dan jangan mengatakan sesuatu yang bisa menyakitkan hatinya, sebab boleh jadi perempuan
yang tidak disenangi itu akan disenangi oleh laki- laki lain.
Perempuan melihat laki- laki
Melihat pinangan itu tidaklah hanya khusus buat laki- laki saja, tetapi perempuan pun
boleh juga. Ia berhak melihat laki- laki yang meminangnya, guna mengetahui hal- hal yang
bisa menyebabkan ia tertarik sebagaimana dengan laki- laki melihat faktor- faktor yang
menyebabkan ia tertarik.
Mengenal sifat- sifatnya
Dengan melihat, dapat diketahui cantik atau tidaknya seorang perempuan. Adapun
sifat- sifat bertalian dengan akhlak. Dapatlah diketahui dari sifatnya atau bertanya kepada
kerabatnya yang dapat dipercaya.
Imam Ghazaly dalam Ihya Ulumuddin mengatakan: janganlah menanyakan akhlak
dan kecantikan perempuan yang akan dipinangnya iu kecuali kepada seseorang yang betulbetul tahu lagi jujur, yang tahu lahir dan bathinnya.
Larangan menyendiri dengan tunangannya
Haram menyendiri dengan tunangan, karena bukan mahramnya, sebab belum
dinikahinya. Agama tidak membolehkan melakukan sesuatu terhadap pinangannya, kecuali
melihat saja, sedang perbuatan- perbuatan lainnya tetap haram, karena menyendiri dengan
tunangan tak akan bisa selamat daripada terjatuh pada perbuatan yang dilarang agama. Akan
tetapi, bila dalam bersendirian itu ditemani oleh salah seorang mahramnya guna mencegah
terjadinya perbuatan- perbuatan maksiat, maka dibolehkan.
Bahaya dan akibat melengahkan masalah menyendiri dengan perempuan
Banyak sekali orang- orang yang melengahkan persoalan ini, sehingga anak
perempuannya atau keluarga perempuannya dibebaskan bergaul dengan tunangannya atau
menyendiri tanpa ada lagi pengawasan serta pergi kemana saja mereka suka tanpa
pengawalan.
Akibat dari perbuatan ini akhirnya perempuanlah yang kehilangan harga dirinya, rasa
malunya dan kegadisannya, padahal perkawinannya belum lagi dilangsungkan, sehingga ia
kehilangan kesempatan untuk menikah.
Cara yang paling baik seperti ajaran yang dibawa Islam yang memperhatikan hak
laki- laki maupun perempuan boleh melihat di waktu meminang, tetapi harus menjauhkan diri
dari menyendiri, agar dapatlah dijaga kehormatan dan kemuliannya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Khitbah adalah thalab an-nikah artinya seruan atau ajakan untuk menikah. Meminag
berarti bahwa seseorang laki-laki hendak mengajak seorang wanita untuk menikah.
Meminang disyari’atkan dalam agama Islam. Namun, tidak ditemukan hukumnya
secara jelas apakah merupakan perintah atau larangan, baik dalam Al-qur’an maupun Assunnah sebagaimana perintah untuk mengadakan perkawinan.
Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 tidak mengatur tentang peminangan.
Namun, peminangan diatur dalam kompilasi hukum Islam Pasal 1 (a) mengenai pengertian
peminangan “peminangan ialah kegiatan upaya kearah terjadinya hubungan perjodohan
antara seorang pria dengan seorang wanita”.
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum meminang adalah : (1) tidak ada
sesuatu yang menghalangi peminangan/khitbah (wanita yang akan dipinang bukan
merupakan mahrom nikah); (2) Wanita yang akan dipinang tidak sedang dipinang dan tidak
dalam ikatan pinangan orang lain.
Akibat hukum peminangan menurut pasal 13 KHI tentang akibat hukum peminangan
1. “pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan
hubungan peminangan”
2. “Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan tata cara yang
baik sesuai dengan tuntunan agama dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina
kerukunan dan saling menghargai”
Hubungan antara si peminang dengan yang dipinang adalah sebagaimana hubungan orang
asing. Belum berlaku kewajiban sebagai suami/istri antara keduanya. Seseorang yang telah
meminang seorang wanita, ia wajib memenuhi janjinya untuk menikah setelah jangka
waktu yang disepakati habis. Jika telah disepakati habis waktunya dan tidak ada berita dari
pihak pria yang meminang, maka ikatan janji itu telah batal/rusak. Ketentuan tersebut berlaku
jika ikatan janji itu dikaitkan dengan jangka waktu tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Y. (2013). Risalah Khitbah - Panduan Islami dalam Memilih Pasangan &
Meminang. Bogor: Al-Azhar Press.
Sabiq, S. (1980). Fikih Sunnah. Bandung: PT Al Ma'arif.
Syarifuddin, p. D. (2011). Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: kencana.
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia