Gerakan Gerakan Keagamaan Baru Dalam Per
Eleksio Petrich Pattiasina
75 2015 031
Laporan Bacaan
Gerakan-gerakan Keagamaan di Indonesia
John Saliba
Gerakan-Gerakan Keagamaan Baru Dalam Perspektif Teologi Kristen
Tulisan John Saliba ini begitu komperhensif mengenai kultus atau gerakan keagamaan.
Isu-isu yang diangkat oleh penulis begitu aktual dan dapat dipahami lebih mendalam, melalui
analisisnya yang begitu terarah kepada gerakan keagamaan dan problematikanya. Dalam bagian
ini, John Saliba menyatakan dengan tegas, bahwa kultus atau gerakan keagamaan baru
menawarkan sebuah sistem kepercayaan dan praktek kepercayaan yang sangat perlu diperhatikan
dalam terang wahyu Kristen. Dalam arti, membandingkan antara agama yang sudah mapan
dengan gerakan keagamaan yang baru. Ada beberapa isu yang diangkat tentang gerakan
keagamaan baru ini.1 Pertama, isu yang menganggap bahwa kepercayaan atau sifat religious pada
dasarnya merupakan gerakan keagamaan. Dalam pengertian lebih lanjut, apakah mereka disebut
sebagai sungguh-sungguh nyata/ sebuah entitas agama?. Isu kedua, Hubungan Kekristenan
terhadap gerakan keagaman baru. Dalam ulasan lebih lanjut, timbul suatu pertanyaan.
Bagaimana mengajarkan dan mempraktekkan gerakan keagamaan baru yang berbeda dengan
kekristenan dan apakah mampu mereka (baca: gerakan keagamaan baru) harmonis dengan
doktrin kekristenan dan moralitas?. Isu ketiga dalam bagian ini menyangkut berbagai jenis
reaksi-reaksi teologis terhadap gerakan keagamaan baru. Dengan kata lain, bagaimana respon
pengikut Kristen kepada gerakan keagamaan baru. Muncullah implikasi dari isu ketiga ini,
khususnya mengenai masalah pastoral (pendampingan/penggembalaan) terhadap jemaat. Saliba
memberi pertanyaan kritis, apa yang pastor atau pendeta katakan dan lakukan untuk menolong
orang tua yang begitu khawatir dari anggota gerakan keagamaan baru dan meminta tolong
kepada mereka?. Kemudian, apakah ada pendidikan yang berarti terhadap pemuda untuk dasar
iman mereka, agar mereka tidak masuk dalam gerakan keagamaan yang baru?. Pada akhirnya
akan timbul pertanyaan, bagaimana seseorang memperlakukan mereka tang telah meninggalkan
1 John A. Saliba, Understanding New Religious Movements (New York: Altamira Press, 2003), 203.
1
kepercayaannya yang sudah mapan dan bergabung dalam gerakan keagamaan baru?. Itu
merupakan beberapa isu penting yang dibahas di dalam bagian ini.
Isu yang pertama, terkait dengan kultus keagamaan (baca: gerakan keagamaan) yang
secara de jure maupun de facto ditanyakan kenyataannya atau keasliannya. Karena, banyak
kalangan Kristen menganggap bahwa gerakan keagamaan baru sangat mudah untuk ditolak
sebagai sebuah kelompok non-religius atau dengan pernyataan kerasnya kelompok agama palsu.
Khususnya kaum evangelis dan kaum fundamentalis Kristen yang selalu bereaksi negative
terhadap kemunculan gerakan keagamaan baru. Mereka (baca: kaum evangelis dan
fundamentalis) menganggap gerakan keagamaan baru tidak mempunyai relasi spiritual yang
sejati atau asli, maka harus dilawan sebagai bentuk agama palsu dan menyesatkan masyarakat.
Mereka menilai, bahwa gerakan keagamaan baru selalu memanipulasi individu dengan cara
mencuci otak dan pengontrolan pikiran terhadap masyarakat.2 Banyak hal negatif yang
dilontarkan terhadap gerakan keagamaan baru, seperti dituduh hanya fokus dengan
mengumpulkan kekayaan di bumi dan membuat suatu permintaan yang berat dalam hal
penghayataan terhadap anggota-anggotanya. Sedangkan, menurut gerakan keagaman baru bahwa
mereka mengaku percaya kepada Tuhan atau dalam beberapa realitas supranatural yang terwujud
dalam kehidupan manusia. Juga ditekankan, bahwa mereka meyakini ada kehidupan setelah
kematian dan mereka sangat mendukung praktek spiritualitas yang mengarah kepada tujuan
akhir dan transenden. Syarat yang harus kita miliki untuk hidup bersama mereka, yakni harus
mengakui mereka sebagai sebuah entitas agama yang sungguh-sungguh ada/ hadir di dunia.
Meskipun dalam faktanya, mereka sangat berbeda secara radikal dari kekristenan arus utama
yang benar disebut sebagai Kristen. Tetapi, gerakan keagamaan baru menawarkan pilihan
spiritual yang sejati kepada mereka yang bergabung. Adanya suatu jaminan kepada anggotaanggota baru. Dalam bagian ini, ada beberapa gerakan keagamaan baru dimulai kira-kira tahun
1960 dan awal 1970. Gerakan keagamaan yang dibahas di sini, sebagai berikut: the Way
International (Jalan Internasional), the Children of God (Anak-anak Tuhan), the foundation of
Human Understanding (of Roy Master), Nicchiren Shoshu Buddhism, Silva Mind Control, dan
kelompok Hindu, seperti the Hare Krishna movement dan Transcendental Meditation.3
2 Saliba, Understanding New Religious Movement, 204.
3 Saliba, Understanding New Religious Movement, 214.
2
Isu kedua yang juga begitu menarik untuk dianalisis, yakni apakah gerakan keagamaan
baru harmonis dengan kekristenan?.4 Sebuah pertanyaan yang membawa kepada penjelasan
mendalam oleh John Saliba dalam tulisannya. Seberapa hebatnya gerakan keagamaan baru,
sehingga membuat kekristenan menjadi pesaing mereka? Atau apakah kehadiran mereka dapat
menjadi pelengkap keyakinan dan praktek Kekristenan. Hal ini pada awalnya dapat dilihat dari
dokumen Konsili Vatikan II yang berjudul “Deklarasi tentang hubungan dari gereja terhadap
agama non-Kristen. Dalam dokumen tersebut menegaskan, bahwa banyak dari agama-agama di
dunia ini mengakui secara langsung maupun tidak, keberadaan dari yang Mahatinggi atau yang
transenden
tersebut.
Sama
seperti
Hindu,
mereka
merenungkan
misteri
ilahi
dan
mengungkapkannya dalam penyelidikan filosofis terhadap yang ilahi tersebut. Hal yang menarik,
bahwa terdapat kesamaan di antara gerakan keagamaan baru dengan kekristenan. Seperti,
Rosario yang dikembangkan sebagai devosi Kristen. Kebiasaan menggunakan manik-manik atau
simbol-simbol sebagai bantuan untuk doa lisan dan jiwa dalam kekristenan, ternyara memiliki
sejarah lampau di India yang pada mulanya orang Hindu dan Budha menggunakan manik-manik
untuk berdoa, juga agama Muslim menggunakan tasbihnya. Jika dihubungkan praktek Yoga
Kristen dan Kristen Zen, ada persamaannya juga. Hal ini membantu orang-orang Kristen dalam
meningkatkan spiritualitas mereka. Juga gerakan keagamaan baru, seperti Transcendental
Meditation berhubungan dengan refleksi terhadap diri dengan hubungannya kepada sang ilahi,
hal ini senada dengan teknik keheningan kekristenan di timur yang dikenal sebagai hesychasm
(menenangkan diri) yang merupakan sarana untuk berkontemplasi (berdoa). Ada beberapa
respon kekristenan terhadap gerakan agama baru, yakni terjadinya pengabaian terhadap mereka
(gerakan keagamaan baru). Kedua, gereja Kristen arus utama belum siap menerima kehadiran
agama baru. Mereka tidak dapat memberi jawaban yang jelas dan pasti kepada jemaatnya.
Ketiga, gereja kurang pengetahuan terhadap agama-agama baru dan lalai terhadap jemaatnya
yang telah bergabung di dalamnya.
Isu ketiga menyangkut reaksi teologis terhadap gerakan keagamaan baru. Munculnya
beberapa reaksi teologis yang membawa kepada pemahaman mendalam terhadap gerakan
keagamaan baru.5 Salah satunya dengan hadirnya istilah apologetik, yakni suatu usaha untuk
membela iman katolik, khususnya. Dengan cara memahami, menjelaskan dan mempertahankan
imannya secara rasional terhadap berbagai pertanyaan dan jawaban yang muncul kemudian.
4 Saliba, Understanding New Religious Movement, 207.
5 Saliba, Understanding New Religious Movement, 210.
3
Dalam bagian ini terbagi atas dua bagian, pertama adanya apologetik positif dan apologetik
negatif. Apologetik positif, yakni dengan cara menguraikan dan memperjelas tentang ajaran
Kristen, sambil menunjukkan bagaimana keunggulan mereka, secara moral maupun filosofis
dibandingkan dengan agama lainnya. Sedangkan, apologetik negatif secara langsung menyerang
keyakinan agama lain. Dengan cara menunjukkan kelemahan dan inkonsistensi mereka. Philip
Johnson yang adalah seorang evangelis memberikan sebuah pendekatan inovatif kepada
kekristenan dalam hubungannya dengan agama baru dan ini merupakan sebuah pendekatan
pastoral yang lebih produktif. Pendekatan ini disebut juga dengan pendekatan dialogis. 6 Dengan
memperhatikan perkembangan zaman dan perubahan budaya, sehingga munculnya pluralisme.
Bahkan gerakan ke arah globalisasi. Tujuan pendekatan dialogis ini, agar injil tidak lagi
mengkonversi keyakinan agama lain, melainkan saling mengenal/mengeksplorasi dengan dialog
keyakinan satu terhadap yang lain. Metode dialog ini diadopsi dari konsili vatikan II yang pada
mulanya hanya hubungan antara kekristenan, sekarang dikembangkan menjadi hubungan
kekristenan terhadap agama non-kristen. Dalam konsili vatikan II menyatakan, bahwa sebagai
anggota dari ras manusia, semua orang dari asal yang sama, pasti mempunyai makna dan tujuan
hidup. Terlebih lagi, semua manusia mencari Tuhan, dalam bentuk misteri ilahi dalam hidup
mereka. Dalam dokumen yang lain terdapat ‘deklarasi kebebasan manusia’, dengan cara
menjunjung tinggi nurani individu, bahkan mereka yang telah berpindah agama atau tidak
mempunyai agama tertentu.7
Dokumen-dokumen gereja dunia membahas tentang tujuan akhir dari dialog tersebut
antara gereja Kristen adalah suatu persatuan, dalam pengertian bersifat ekumenis. Gerakan ini
untuk membangun satu hubungan kesatuan seluruh umat Kristen di dunia. Dalam hal ini usaha
gereja-gereja Kristen (Protestan, Ortodoks dan Katolik) untuk membangun satu persatuan yang
nyata di dunia ini. Tujuan terciptanya persatuan ini, bukan untuk memaksa setiap gereja Kristen
memberi identitasnya atau menjadi satu dengan gereja baru untuk menggantikan semua
denominasi. Tujuan utamanya agar adanya kerjasama dan saling pengertian satu dengan yang
lain antara gereja. Pernyataan ini telah terlihat dari pertemuan dewan gereja sedunia atau The
World Council of Churches (WCC) pada tahun 1986. Pada pertemuan tersebut berbicara
mengenai gerakan agama baru yang hadir di dunia, dan usaha gereja untuk memahami gerakan
keagamaan baru dengan ideologi mereka yang berbeda. Oleh karena itu pertemuan dewan gereja
6 Saliba, Understanding New Religious Movement, 223.
7 Saliba, Understanding New Religious Movement, 224.
4
sedunia dengan tegas menyatakan bahwa harus melindungi hak-hak gerakan keagamaan baru
dalam dunia ini. Dari hal tersebut terbentuk respon-respon terhadap gerakan keagamaan baru
yang mencakup empat bidang utama dalam pelayanan gereja, yakni pendidikan, dialog,
pelayanan dan pembaharuan gereja, dan kolaborasi ekumenis.
Hal ini merupakan perubahan dari metode penginjilan yang lama, sekarang dengan
mempertimbangkan deklarasi kebebasan beragama, maka martabat dan hak-hak asasi manusia
tidak dapat diganggu gugat. Karena, pluralisme merupakan suatu kenyataan yang tidak bisa
disangkal maupun ditolak dalam kehidupan ini. Maka, saran dari John Saliba terhadap pendeta
maupun pastor, yakni harus belajar dan berani berteologi dengan agama-agama lain. Agar dapat
memberi arahan yang jelas dan baik kepada banyak orang. Kemudian dapat memberikan
landasan yang baik terhadap orang tua kepada iman mereka, agar dengan baik membimbing anak
dalam mengatasi gerakan keagamaan yang baru itu.
Hubungan hal-hal tersebut dengan gerakan keagamaan, terlihat dari kemunculan gerakan
keagamaan yang sifatnya tidak bisa terlepas dari agama yang sudah mapan (Kristen, Hindu,
Budha, Islam, dsb). Persamaannya terlihat dari keyakinan kepada sang ilahi, juga terkadang ada
kemiripan dalam praktek keagamaannya. Perbedaan yang jelas dari doktrin dan pemahaman
tentang sang ilahi yang berbeda, sehingga kerap kali dianggap sebagai kelompok yang sesat atau
agama palsu. Hal itu terjadi hingga saat ini, yakni gerakan keagamaan baru dianggap sebagai
lawan terhadap agama yang sudah mapan. Masyarakat akan dicuci otaknya atau pemikirannya
dikontrol kepada keyakinan yang salah. Ini semua merupakan ketakutan yang berlebihan dari
agama yang sudah mapan. Selain itu, adanya pesimisme yang berlebihan mengakibatkan phobia
yang besar terhadap gerakan keagamaan baru. Gerakan keagamaan baru yang muncul dianggap
sebagai momok yang harus dimusnahkan. Ketakutan semacam ini harus dilihat kembali sebagai
sebuah persoalan yang kembali harus dilemparkan kepada agama yang sudah mapan. Dengan
cara berkaca kepada dirinya, apakah ia sudah melakukan pelayanan yang terbaik? Apakah iman
hanya sebatas doktrin semata? Pendekatan pastoral gereja harus lebih ditingkatkan, dimulai dari
warga jemaatnya, lebih jauh lagi mengundang keyakinan agama lain untuk berdialog dalam
menghadapi permasalahan masa kini. Dunia kita bukan dunia yang homogen, melainkan dunia
yang heterogen. Perbedaan pandangan, ideologi, maupun adanya unsur politik, ekonomi di
dalam gerakan keagamaan harus dilihat secara holistik. Agar tidak secara kasar menuduh
kepercayaan lain, sebagai sesuatu yang kafir dan palsu. Dengan berkaca terhadap diri sendiri,
5
kita dapat mengenal identitas diri kita lebih dalam dan mulai mengenal identitas agama-agama
baru di sekitar kita. Pada akhirnya, masyarakat yang beradab (civil society) terbentuk di bumi
kita ini.
DAFTAR PUSTAKA
Saliba,John. Understanding New Religious Movements. New York: Altamira Press, 2003.
6
75 2015 031
Laporan Bacaan
Gerakan-gerakan Keagamaan di Indonesia
John Saliba
Gerakan-Gerakan Keagamaan Baru Dalam Perspektif Teologi Kristen
Tulisan John Saliba ini begitu komperhensif mengenai kultus atau gerakan keagamaan.
Isu-isu yang diangkat oleh penulis begitu aktual dan dapat dipahami lebih mendalam, melalui
analisisnya yang begitu terarah kepada gerakan keagamaan dan problematikanya. Dalam bagian
ini, John Saliba menyatakan dengan tegas, bahwa kultus atau gerakan keagamaan baru
menawarkan sebuah sistem kepercayaan dan praktek kepercayaan yang sangat perlu diperhatikan
dalam terang wahyu Kristen. Dalam arti, membandingkan antara agama yang sudah mapan
dengan gerakan keagamaan yang baru. Ada beberapa isu yang diangkat tentang gerakan
keagamaan baru ini.1 Pertama, isu yang menganggap bahwa kepercayaan atau sifat religious pada
dasarnya merupakan gerakan keagamaan. Dalam pengertian lebih lanjut, apakah mereka disebut
sebagai sungguh-sungguh nyata/ sebuah entitas agama?. Isu kedua, Hubungan Kekristenan
terhadap gerakan keagaman baru. Dalam ulasan lebih lanjut, timbul suatu pertanyaan.
Bagaimana mengajarkan dan mempraktekkan gerakan keagamaan baru yang berbeda dengan
kekristenan dan apakah mampu mereka (baca: gerakan keagamaan baru) harmonis dengan
doktrin kekristenan dan moralitas?. Isu ketiga dalam bagian ini menyangkut berbagai jenis
reaksi-reaksi teologis terhadap gerakan keagamaan baru. Dengan kata lain, bagaimana respon
pengikut Kristen kepada gerakan keagamaan baru. Muncullah implikasi dari isu ketiga ini,
khususnya mengenai masalah pastoral (pendampingan/penggembalaan) terhadap jemaat. Saliba
memberi pertanyaan kritis, apa yang pastor atau pendeta katakan dan lakukan untuk menolong
orang tua yang begitu khawatir dari anggota gerakan keagamaan baru dan meminta tolong
kepada mereka?. Kemudian, apakah ada pendidikan yang berarti terhadap pemuda untuk dasar
iman mereka, agar mereka tidak masuk dalam gerakan keagamaan yang baru?. Pada akhirnya
akan timbul pertanyaan, bagaimana seseorang memperlakukan mereka tang telah meninggalkan
1 John A. Saliba, Understanding New Religious Movements (New York: Altamira Press, 2003), 203.
1
kepercayaannya yang sudah mapan dan bergabung dalam gerakan keagamaan baru?. Itu
merupakan beberapa isu penting yang dibahas di dalam bagian ini.
Isu yang pertama, terkait dengan kultus keagamaan (baca: gerakan keagamaan) yang
secara de jure maupun de facto ditanyakan kenyataannya atau keasliannya. Karena, banyak
kalangan Kristen menganggap bahwa gerakan keagamaan baru sangat mudah untuk ditolak
sebagai sebuah kelompok non-religius atau dengan pernyataan kerasnya kelompok agama palsu.
Khususnya kaum evangelis dan kaum fundamentalis Kristen yang selalu bereaksi negative
terhadap kemunculan gerakan keagamaan baru. Mereka (baca: kaum evangelis dan
fundamentalis) menganggap gerakan keagamaan baru tidak mempunyai relasi spiritual yang
sejati atau asli, maka harus dilawan sebagai bentuk agama palsu dan menyesatkan masyarakat.
Mereka menilai, bahwa gerakan keagamaan baru selalu memanipulasi individu dengan cara
mencuci otak dan pengontrolan pikiran terhadap masyarakat.2 Banyak hal negatif yang
dilontarkan terhadap gerakan keagamaan baru, seperti dituduh hanya fokus dengan
mengumpulkan kekayaan di bumi dan membuat suatu permintaan yang berat dalam hal
penghayataan terhadap anggota-anggotanya. Sedangkan, menurut gerakan keagaman baru bahwa
mereka mengaku percaya kepada Tuhan atau dalam beberapa realitas supranatural yang terwujud
dalam kehidupan manusia. Juga ditekankan, bahwa mereka meyakini ada kehidupan setelah
kematian dan mereka sangat mendukung praktek spiritualitas yang mengarah kepada tujuan
akhir dan transenden. Syarat yang harus kita miliki untuk hidup bersama mereka, yakni harus
mengakui mereka sebagai sebuah entitas agama yang sungguh-sungguh ada/ hadir di dunia.
Meskipun dalam faktanya, mereka sangat berbeda secara radikal dari kekristenan arus utama
yang benar disebut sebagai Kristen. Tetapi, gerakan keagamaan baru menawarkan pilihan
spiritual yang sejati kepada mereka yang bergabung. Adanya suatu jaminan kepada anggotaanggota baru. Dalam bagian ini, ada beberapa gerakan keagamaan baru dimulai kira-kira tahun
1960 dan awal 1970. Gerakan keagamaan yang dibahas di sini, sebagai berikut: the Way
International (Jalan Internasional), the Children of God (Anak-anak Tuhan), the foundation of
Human Understanding (of Roy Master), Nicchiren Shoshu Buddhism, Silva Mind Control, dan
kelompok Hindu, seperti the Hare Krishna movement dan Transcendental Meditation.3
2 Saliba, Understanding New Religious Movement, 204.
3 Saliba, Understanding New Religious Movement, 214.
2
Isu kedua yang juga begitu menarik untuk dianalisis, yakni apakah gerakan keagamaan
baru harmonis dengan kekristenan?.4 Sebuah pertanyaan yang membawa kepada penjelasan
mendalam oleh John Saliba dalam tulisannya. Seberapa hebatnya gerakan keagamaan baru,
sehingga membuat kekristenan menjadi pesaing mereka? Atau apakah kehadiran mereka dapat
menjadi pelengkap keyakinan dan praktek Kekristenan. Hal ini pada awalnya dapat dilihat dari
dokumen Konsili Vatikan II yang berjudul “Deklarasi tentang hubungan dari gereja terhadap
agama non-Kristen. Dalam dokumen tersebut menegaskan, bahwa banyak dari agama-agama di
dunia ini mengakui secara langsung maupun tidak, keberadaan dari yang Mahatinggi atau yang
transenden
tersebut.
Sama
seperti
Hindu,
mereka
merenungkan
misteri
ilahi
dan
mengungkapkannya dalam penyelidikan filosofis terhadap yang ilahi tersebut. Hal yang menarik,
bahwa terdapat kesamaan di antara gerakan keagamaan baru dengan kekristenan. Seperti,
Rosario yang dikembangkan sebagai devosi Kristen. Kebiasaan menggunakan manik-manik atau
simbol-simbol sebagai bantuan untuk doa lisan dan jiwa dalam kekristenan, ternyara memiliki
sejarah lampau di India yang pada mulanya orang Hindu dan Budha menggunakan manik-manik
untuk berdoa, juga agama Muslim menggunakan tasbihnya. Jika dihubungkan praktek Yoga
Kristen dan Kristen Zen, ada persamaannya juga. Hal ini membantu orang-orang Kristen dalam
meningkatkan spiritualitas mereka. Juga gerakan keagamaan baru, seperti Transcendental
Meditation berhubungan dengan refleksi terhadap diri dengan hubungannya kepada sang ilahi,
hal ini senada dengan teknik keheningan kekristenan di timur yang dikenal sebagai hesychasm
(menenangkan diri) yang merupakan sarana untuk berkontemplasi (berdoa). Ada beberapa
respon kekristenan terhadap gerakan agama baru, yakni terjadinya pengabaian terhadap mereka
(gerakan keagamaan baru). Kedua, gereja Kristen arus utama belum siap menerima kehadiran
agama baru. Mereka tidak dapat memberi jawaban yang jelas dan pasti kepada jemaatnya.
Ketiga, gereja kurang pengetahuan terhadap agama-agama baru dan lalai terhadap jemaatnya
yang telah bergabung di dalamnya.
Isu ketiga menyangkut reaksi teologis terhadap gerakan keagamaan baru. Munculnya
beberapa reaksi teologis yang membawa kepada pemahaman mendalam terhadap gerakan
keagamaan baru.5 Salah satunya dengan hadirnya istilah apologetik, yakni suatu usaha untuk
membela iman katolik, khususnya. Dengan cara memahami, menjelaskan dan mempertahankan
imannya secara rasional terhadap berbagai pertanyaan dan jawaban yang muncul kemudian.
4 Saliba, Understanding New Religious Movement, 207.
5 Saliba, Understanding New Religious Movement, 210.
3
Dalam bagian ini terbagi atas dua bagian, pertama adanya apologetik positif dan apologetik
negatif. Apologetik positif, yakni dengan cara menguraikan dan memperjelas tentang ajaran
Kristen, sambil menunjukkan bagaimana keunggulan mereka, secara moral maupun filosofis
dibandingkan dengan agama lainnya. Sedangkan, apologetik negatif secara langsung menyerang
keyakinan agama lain. Dengan cara menunjukkan kelemahan dan inkonsistensi mereka. Philip
Johnson yang adalah seorang evangelis memberikan sebuah pendekatan inovatif kepada
kekristenan dalam hubungannya dengan agama baru dan ini merupakan sebuah pendekatan
pastoral yang lebih produktif. Pendekatan ini disebut juga dengan pendekatan dialogis. 6 Dengan
memperhatikan perkembangan zaman dan perubahan budaya, sehingga munculnya pluralisme.
Bahkan gerakan ke arah globalisasi. Tujuan pendekatan dialogis ini, agar injil tidak lagi
mengkonversi keyakinan agama lain, melainkan saling mengenal/mengeksplorasi dengan dialog
keyakinan satu terhadap yang lain. Metode dialog ini diadopsi dari konsili vatikan II yang pada
mulanya hanya hubungan antara kekristenan, sekarang dikembangkan menjadi hubungan
kekristenan terhadap agama non-kristen. Dalam konsili vatikan II menyatakan, bahwa sebagai
anggota dari ras manusia, semua orang dari asal yang sama, pasti mempunyai makna dan tujuan
hidup. Terlebih lagi, semua manusia mencari Tuhan, dalam bentuk misteri ilahi dalam hidup
mereka. Dalam dokumen yang lain terdapat ‘deklarasi kebebasan manusia’, dengan cara
menjunjung tinggi nurani individu, bahkan mereka yang telah berpindah agama atau tidak
mempunyai agama tertentu.7
Dokumen-dokumen gereja dunia membahas tentang tujuan akhir dari dialog tersebut
antara gereja Kristen adalah suatu persatuan, dalam pengertian bersifat ekumenis. Gerakan ini
untuk membangun satu hubungan kesatuan seluruh umat Kristen di dunia. Dalam hal ini usaha
gereja-gereja Kristen (Protestan, Ortodoks dan Katolik) untuk membangun satu persatuan yang
nyata di dunia ini. Tujuan terciptanya persatuan ini, bukan untuk memaksa setiap gereja Kristen
memberi identitasnya atau menjadi satu dengan gereja baru untuk menggantikan semua
denominasi. Tujuan utamanya agar adanya kerjasama dan saling pengertian satu dengan yang
lain antara gereja. Pernyataan ini telah terlihat dari pertemuan dewan gereja sedunia atau The
World Council of Churches (WCC) pada tahun 1986. Pada pertemuan tersebut berbicara
mengenai gerakan agama baru yang hadir di dunia, dan usaha gereja untuk memahami gerakan
keagamaan baru dengan ideologi mereka yang berbeda. Oleh karena itu pertemuan dewan gereja
6 Saliba, Understanding New Religious Movement, 223.
7 Saliba, Understanding New Religious Movement, 224.
4
sedunia dengan tegas menyatakan bahwa harus melindungi hak-hak gerakan keagamaan baru
dalam dunia ini. Dari hal tersebut terbentuk respon-respon terhadap gerakan keagamaan baru
yang mencakup empat bidang utama dalam pelayanan gereja, yakni pendidikan, dialog,
pelayanan dan pembaharuan gereja, dan kolaborasi ekumenis.
Hal ini merupakan perubahan dari metode penginjilan yang lama, sekarang dengan
mempertimbangkan deklarasi kebebasan beragama, maka martabat dan hak-hak asasi manusia
tidak dapat diganggu gugat. Karena, pluralisme merupakan suatu kenyataan yang tidak bisa
disangkal maupun ditolak dalam kehidupan ini. Maka, saran dari John Saliba terhadap pendeta
maupun pastor, yakni harus belajar dan berani berteologi dengan agama-agama lain. Agar dapat
memberi arahan yang jelas dan baik kepada banyak orang. Kemudian dapat memberikan
landasan yang baik terhadap orang tua kepada iman mereka, agar dengan baik membimbing anak
dalam mengatasi gerakan keagamaan yang baru itu.
Hubungan hal-hal tersebut dengan gerakan keagamaan, terlihat dari kemunculan gerakan
keagamaan yang sifatnya tidak bisa terlepas dari agama yang sudah mapan (Kristen, Hindu,
Budha, Islam, dsb). Persamaannya terlihat dari keyakinan kepada sang ilahi, juga terkadang ada
kemiripan dalam praktek keagamaannya. Perbedaan yang jelas dari doktrin dan pemahaman
tentang sang ilahi yang berbeda, sehingga kerap kali dianggap sebagai kelompok yang sesat atau
agama palsu. Hal itu terjadi hingga saat ini, yakni gerakan keagamaan baru dianggap sebagai
lawan terhadap agama yang sudah mapan. Masyarakat akan dicuci otaknya atau pemikirannya
dikontrol kepada keyakinan yang salah. Ini semua merupakan ketakutan yang berlebihan dari
agama yang sudah mapan. Selain itu, adanya pesimisme yang berlebihan mengakibatkan phobia
yang besar terhadap gerakan keagamaan baru. Gerakan keagamaan baru yang muncul dianggap
sebagai momok yang harus dimusnahkan. Ketakutan semacam ini harus dilihat kembali sebagai
sebuah persoalan yang kembali harus dilemparkan kepada agama yang sudah mapan. Dengan
cara berkaca kepada dirinya, apakah ia sudah melakukan pelayanan yang terbaik? Apakah iman
hanya sebatas doktrin semata? Pendekatan pastoral gereja harus lebih ditingkatkan, dimulai dari
warga jemaatnya, lebih jauh lagi mengundang keyakinan agama lain untuk berdialog dalam
menghadapi permasalahan masa kini. Dunia kita bukan dunia yang homogen, melainkan dunia
yang heterogen. Perbedaan pandangan, ideologi, maupun adanya unsur politik, ekonomi di
dalam gerakan keagamaan harus dilihat secara holistik. Agar tidak secara kasar menuduh
kepercayaan lain, sebagai sesuatu yang kafir dan palsu. Dengan berkaca terhadap diri sendiri,
5
kita dapat mengenal identitas diri kita lebih dalam dan mulai mengenal identitas agama-agama
baru di sekitar kita. Pada akhirnya, masyarakat yang beradab (civil society) terbentuk di bumi
kita ini.
DAFTAR PUSTAKA
Saliba,John. Understanding New Religious Movements. New York: Altamira Press, 2003.
6