STUDI KORELASI ANTARA ADULT ATTACHMENT S

Mei 2015

STUDI KORELASI ANTARA ADULT ATTACHMENT STYLE
DENGAN DERAJAT KECERDASAN EMOSIONAL PADA MAHASISWA
BARU FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA
KOTA BANDUNG
Nitta Aprilianti Ashari
DR. Yuspendi, M.Psi., M.Pd., Psikolog

Nadia Faradila, S.Psi

Fakultas Psikologi, Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara masingmasing tipe dari adult attachment style dengan kecerdasan emosional pada
mahasiswa baru angkatan 2014 Fakultas Psikologi Universitas Kristen
Maranatha. Penentuan responden dari penelitian ini adalah populasi dari
mahasiswa baru Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha angkatan
2014 dengan kurikulum KBK yaitu sebanyak 149 responden.
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah RSQ (Relationship
Style Questionnaire) yang dikembangkan oleh Bartholomew (1999) untuk

mengukur adult attachment style dan alat ukur EII (Emotional Intelligence
Inventory) yang dikembangkan oleh Sri Lanawati (1991). Data yang diperoleh
diolah dengan menggunakan uji korelasi Rank Spearman dengan bantuan
program spss 16.0.
Berdasarkan pengolahan data secara statistik, maka diketahui terdapat
hubungan yang signifikan dan positif antara secure attachment style dengan
derajat kecerdasan emosional, dengan korelasi sebesar 0,038. Sedangkan fearful,
dismissing dan preoccupied attachment style memiliki hubungan signifikan dan
negatif dengan derajat kecerdasan emosional, dengan masing-masing angka
korelasi sebesar -0,027 ,-0,041, dan -0,022.
Bagi peneliti berikutnya yang tertarik untuk melakukan penelitian
mengenai bidang kajian yang sama, peneliti mengajukan saran agar dapat
menelaah faktor-faktor lain yang dapat memengaruhi kedua variabel selain
faktor keluarga.
Kata Kunci

: Adult Attachment Style, Kecerdasan Emosional

1


Mei 2015

A CORELATION STUDY BETWEEN ADULT ATTACHMENT STYLE AND
EMOTIONAL INTELLEGENCE ON 1ST GRADE STUDENT IN FACULTY
OF PSYCHOOGY MARANATHA CHRISTIAN UNIVERSITY
Nitta Aprilianti Ashari
DR. Yuspendi, M.Psi., M.Pd., Psikolog

Nadia Faradila, S.Psi

Faculty of Psychology, Maranatha Christian University Bandung

ABSTRACT
This research is an explorative studies concerning about the corelation
between adult attachment style and emotional intelligence of first grade of
Psychology student at Maranatha Christian University. The respondents of this
study is the population of new students of the Faculty of Psychology Maranatha
Christian University in 2014 with a curriculum KBK as many as 149 respondents.
Measuring instruments used in this study is the RSQ (Relationship Style
Questionnaire) developed by Bartholomew (1999) to measure adult attachment

style and measuring devices EII (Emotional Intelligence Inventory) developed by
Sri Lanawati (1991). The data obtained were analyzed using Rank Spearman
correlation test with the help of SPSS 16.0 program.
Based on the statistical data processing, the significant and positive
corelation between secure attachment style and emotional intellegence is 0,038.
The correlation between fearful, dismissing, and preoccupied is significant and
negatif with each number of corelation are -0,027 -0,041 and -0,022.
Researchers propose suggestions for future researchers who want to
investigate the relationship of these two variables can examine other factors that
can affect both variables as significant life events experienced by respondents in
their life span development.
Keywords

: Adult Attachment Style, Emotional Intellegence

2

Mei 2015

BAB I PENDAHULUAN

Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang tidak mungkin dapat hidup
sendiri. Di sepanjang rentang kehidupan, setiap manusia membutuhkan manusia
lainnya untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Oleh sebab itu manusia
dikatakan sebagai makhluk sosial. Kebutuhan dalam diri seseorang untuk
bergantung pada orang lain disekitarnya telah muncul semenjak manusia berada
pada fase bayi. Saat masih bayi, seorang anak bergantung pada orang lain yang
dirasakan dapat memberikan rasa aman dan nyaman baginya. Di usia yang sangat
dini, kenyamanan yang dirasakan oleh seorang bayi berasal dari figur orangtua
ataupun figur pengasuh.
Semakin bertambahnya usia seseorang, maka ia akan memasuki
lingkungan sosial yang lebih luas dari pada lingkungan keluarga. Salah satu
lingkungan yang menuntut adanya relasi sosial adalah situasi pendidikan. Setiap
jenjang pendidikan memiliki tuntutan yang berbeda-beda dan tingkat kesulitannya
akan terus meningkat sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dari jenjang
tersebut. Tuntutan yang lebih tinggi dan kesulitan yang dialami berada pada relasi
yang harus terbangun dengan teman, dosen, dan warga kampus lainnya.
Tuntutan yang semakin kompleks untuk diselesaikan itu menjadi
permasalahan tersendiri bagi mahasiswa. Masing-masing mahasiswa memiliki
penghayatan berbeda mengenai kesulitan-kesulitan tersebut dan memunculkan
respon yang berbeda-beda pula. Namun, apapun kondisi yang dialaminya dalam

perkuliahan, mahasiswa dituntut untuk mampu mengatur emosinya agar tetap
dapat menjalani proses belajar di perkuliahan dengan baik. Oleh karena itu, untuk
dapat menjalaninya setiap mahasiswa harus memiliki kecerdasan emosional yang
tinggi. Menurut Goleman (2007) kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk
mengatur kehidupan emosinya dengan intelegensia; menjaga keselarasan emosi
dan pengungkapannya melalui keterampilan personal atau personal competence
dan keterampilan sosial atau social competence. Personal competence terdiri dari
kemampuan (1) mengenali emosi diri; kemampuan untuk mengenali perasaan
dalam diri sewaktu perasaan itu terjadi; (2) mengelola emosi, yaitu upaya yang
dilakukan seseorang untuk menyeimbangkan keadaan emosi yang dirasakannya;

3

Mei 2015

(3) memotivasi diri sendiri; kemampuan menata emosi sebagai alat untuk
mencapai tujuan dan memiliki kemampuan dalam memiliki pandangan yang
positif dalam menilai segala sesuatu yang terjadi dalam dirinya. Pada
keterampilan sosial atau social competence terdiri dari kemampuan (1) mengenali
emosi orang lain, yaitu kemampuan untuk berempati, mampu menangkap sinyalsinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa yang dibutuhkan oleh

orang lain sehingga lebih mampu menerima sudut pandang orang lain; (2)
membina hubungan, yaitu meliputi keterampilan sosial yang menunjang
popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antarpribadi.
Menurut Goleman (2007), kecerdasan emosional dapat dipengaruhi oleh
dua faktor yaitu faktor keluarga dan non-keluarga. Sejalan dengan faktor keluarga
yang dipaparkan oleh Goleman, fokus pada penelitian ini adalah pada attachment
style yang merupakan suatu relasi antara seorang bayi dengan figur pengasuh
signifikan baginya. Beberapa penelitian telah menemukan bahwa seorang yang
memiliki secure attachment lebih mampu menanggulangi emosi negatif dalam
interaksi sosial dibandingkan dengan orang dengan insecure attachment (Kobak,
& Sceery, 1988), memiliki lebih banyak emosi positif dalam berinteraksi secara
sosial (Simpson, 1990), dan memiliki kemampuan regulasi emosi yang positif
(Cooper et. Al., 1998).
Adult attachment style dan kecerdasan emosional masing-masing memiliki
dua komponen yang mengarah pada diri individu yang bersangkutan dan
mengarah pada orang lain atau lingkungan sosial. Peneliti memiliki asumsi bahwa
model of self pada adult attachment style akan sejalan dengan personal
competence pada kecerdasan emosional. Apabila individu memiliki model of self
yang positif maka ia juga akan memiliki kemampuan yang tinggi dalam
komponen personal competence dalam kecerdasan emosional. Apabila individu

memiliki model of others yang positif maka ia akan memiliki kemampuan yang
tinggi dalam komponen social competence.
Hasil survey awal menunjukkan bahwa masing-masing responden
memiliki adult attachment style dan derajat kecerdasan emosional yang berbedabeda pula. Masing-masing responden dengan adult attachment style tertentu

4

Mei 2015

memiliki derajat yang tinggi pada aspek-aspek tertentu dari kecerdasan emosional
dan memiliki derajat yang rendah pada aspek-aspek lainnya dari kecerdasan
emosional.
HIPOTESIS
Terdapat hubungan antara masing-masing Adult Attachment Style (secure,
preoccupied, dismissing dan fearful) terhadap derajat kecerdasan emosional
(tinggi atau rendah) pada mahasiswa baru Fakultas Psikologi Universitas Kristen
Maranatha Bandung.
BAB II METODE
Penelitian ini menggunakan metode korelasional yang bertujuan untuk
menggambarkan hubungan antara adult attachment style dengan derajat

kecerdasan emosional pada mahasiswa baru Fakultas Psikologi Universitas
Kristen Maranatha di Kota Bandung. Penelitian ini dilakukan terhadap seluruh
mahasiswa baru Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Kota Bandung
angkatan 2014 yang berjumlah sebanyak 149 orang.
Alat ukur yang digunakan terdiri dari dua macam kuesioner, yaitu
kuesioner mengenai adult attachment style yaitu bernama Relationship Style
Questioeer (RSQ) yang dikembangkan oleh Griffin dan Bartholomew (1994).
RSQ terdiri dari 30 item rating scale yang menggambarkan penghayatn responden
dalam berelasi dengan teman-teman dalam kelompok belajarnya. Selain itu, untuk
menjaring data mengenai derajat kecerdasan emosional responden, peneliti
menggunakan kuesioner kecerdasan emosional yaitu bernama Emotional
Intellegence Inventory (EII) yang dikembangkan oleh lanawati (1999). EII terdiri
dari 92 item rating scale yang menggambarkan kemampuan responden pada
kelima aspek kecerdasan emosional. Validitas alat ukur ditentukan melalui
construct validuty yang kemudian dianalisis melalui uji validitas Rank Spearman.
Untuk memeroleh reliabilitas dari kuesioner RSQ dan EII, maka pengujian akan
dilakukan dengan mengukur internal concistency melalui rumus Alpha Cronbach.
Berdasarkan hasil uji reliabilitas, diperoleh koefisien reliabilitas alat ukut Adult
Attachment Style sebesar 0,627 (reliabilitas sedang) dan kefisien reliabilitas alat
ukur kecerdasan emosional yaitu sebesar 0,863 (reliabilitas tinggi).


5

Mei 2015

BAB III HASIL PENELITIAN
Hubungan antara Adult Attachment Style dan Kecerdasan Emosi
Untuk mengetahui sejauh mana masing-masing adult attachment style
berkorelasi dengan kecerdasan emosi pada mahasiswa baru Fakultas Psikologi
Universitas Kristen Maranatha Bandung maka digunakan uji korelasi Rank
Sprearman, dan diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 4.3 Tabel Kefisien Korelasi Secure Attachment Style dengan derajat
Kecerdasan Emosional
AS_sec
Spearman's rho

AS_sec

Correlation Coefficient


1.000

.442

.

.038

Sig. (2-tailed)
N
EI_sec

EI_sec

33

33

Correlation Coefficient


.442

1.000

Sig. (2-tailed)

.038

.

33

33

N

Tabel 4.4 Tabel Koefisien Korelasi Dismissing Attachment Style dengan derajat
Kecerdasan Emosional
AS_dis
Spearman's rho

AS_dis

Correlation Coefficient

1.000

.783

Sig. (2-tailed)
N
EI_dis

Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N

EI_dis
.

-.041

49

49

.783

1.000

-.041

.

49

49

Tabel 4.5 Tabel Koefisien Korelasi Fearful Attachment Style dengan Derajat
Kecerdasan Emosional
correlations
AS_dis
Spearman's rho

AS_fear

Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N

EI_fear

Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N

6

EI_dis

1.000

.221

.

-.027

35

35

.221

1.000

-.027

.

35

35

Mei 2015

Tabel 4.6 Tabel Koefisien Korelasi Preoccupied Attachment Style dengan Derajat
Kecerdasan Emosional
Correlations
AS_dis
Spearman's rho

AS_pre

Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N

EI_pre

Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N

EI_dis

1.000

.411

.

-.022

32

32

.411

1.000

-.022

.

32

32

Berdasarkan pengolahan data secara statistik, maka diketahui terdapat
hubungan yang signifikan dan positif antara secure attachment style dengan
derajat kecerdasan emosional, dengan korelasi sebesar 0,038. Sedangkan fearful,
dismissing dan preoccupied attachment style memiliki hubungan signifikan dan
negatif dengan derajat kecerdasan emosional, dengan masing-masing angka
korelasi sebesar -0,027 ,-0,041, dan -0,022.
BAB IV PEMBAHASAN
Berdasarkan pada hasil data yang diperoleh, dengan menggunakan
korelasi Rank Spearman menunjukan bahwa terdapat hubungan yang positif
(α=0,05) antara secure attachment

style dan kecerdasan emosional dengan

koefisien korelasi sebesar 0,038. Secure attachment style yang dimiliki responden
akan diikuti dengan meningkatnya kecerdasan emosi responden. Sebaliknya, pada
dismissing, fearful dan preoccupied attachment style diperoleh angka koefisien
korelasi yang signifikan sebesar masing-masing -0,027, -0,041, dan -0,022 yang
artinya semakin insecure attachment style yang dimiliki responden akan diikuti
dengan semakin rendah kecerdasan emosionalnya.
Berdasarkan hasil perhitungan statistik , diketahui bahwa koefisien
korelasi antar secure sttachment style dengan derajat kecerdasan emosional
sebesar 0,038. Artinya semakin tinggi skor attachment style akan diikuti oleh
semakin tinggi derajat kecerdasan emosional responden. Responden yang
memiliki secure attachment style, memiliki model of self dan model of other yang
positif (Bartholomew & Horowitz, 1990). Responden dengan tipe ini memiliki
keyakinan bahwa dirinya berharga dan mengharapkan teman-teman dalam
7

Mei 2015

kelompok belajar menerima dan responsif terhadap dirinya, serta merasa nyaman
dengan intimacy dan otonomi. Responden dengan tipe ini menginginkan
hubungan yang mendalam namun terdapat keseimbangan antara kelekatan dengan
teman dalam kelompok belajar dan otonomi dalam hubungan tersebut. Mereka
merasa nyaman dengan kedekatan, namun juga menghargai otonomi dan merasa
lebih berbahagia dengan hubungan yang dijalani apabila kedua kebutuhan tersebut
terpenuhi. Pola ini memiliki pandangan bahwa teman dalam kelompok belajarnya
beritikad baik dan berhati mulia, dapat dipercaya, dapat diandalkan dan altruistik.
Mereka juga memiliki orientasi terhadap hubungan interpersonal. Dalam keadaan
tertekan mereka mampu mengenali distress dan memodulasi afek negatif ke dalam
cara-cara konstruktif.
Pada data yang diperoleh diketahui bahwa sebagian besar responden
dengan secure attachment style memiliki kemampuan yang tinggi dalam seluruh
aspek kecerdasan emosional (lihat lampiran D). 72,7 % responden (24 orang)
memiliki kemampuan yang tinggi dalam kesadaran diri (self awareness), 60,6 %
responden (20 orang) memiliki kemampuan yang tinggi dalam mengelola emosi
diri, 78,8 % responden (26 orang) memiliki kemampuan yang tinggi dalam
memotivasi diri, 63,6 % responden (21 orang) memiliki kemampuan yang tinggi
dalam berempati dan 66,6 % responden (22 orang) memiliki kemampuan yang
tinggi dalam membina hubungan sosial. Responden mampu mengenali siapa
dirinya dengan cukup baik dan mampu mengetahui mengenai batas-batas
emosional dalam dirinya. Hal tersebut berkaitan dengan kemampuannya untuk
tidak mudah larut dalam emosi tertentu ketika bekerjasama menyelesaikan tugastugas dalam kelompok belajar. Selain itu, responden juga mampu memotivasi diri
ketika mengerjakan tugas bersama-sama dengan kelompok belajar. Motivasi
tersebut akan mendorong responden untuk tetap menyelesaikan tugas bersama
dengan kelompok belajar dalam berbagai keadaan dan situasi dalam kelompok
tersebut.
Responden juga memiliki kemampuan yang tinggi dalam mengontrol diri,
kemampuan

berempati

dan

keterampilan

sosial.

Responden

mampu

mengendalikan emosi yang dirasakannya agar tidak berlarut-larut dan

8

Mei 2015

mengungkapkan emosi terebut dengan cara yang tepat. Dalam menyampaikan
pendapat, responden mampu melakukannya dengan cara yang konstruktif
sehingga pendapatnya dapat dipahami dan dipertimbangkan oleh teman-teman
dalam kelompok belajarnya. responden juga memiliki kemampuan berempati
yang tinggi. Mereka mampu merasakan apa yang dirasakan oleh teman-teman
dalam kelompok belajarnya. Responden mau membantu menyelesaikan kesulitankesulitan yang dihadapi oleh kelompok belajar sehingga tujuan kelompok belajar
dapat tercapai. Terakhir, responden memiliki keterampilan sosial yang tinggi.
Responden dengan kemampuan ini mampu mampu menjadi pengaruh bagi orang
lain. Artinya, ia mampu mempersuasi orang lain khususnya teman dalam
kelompoknya karena ditunjang oleh kemampuan berkomunikasi yang efektif. Ia
mampu menyampaikan saran, pendapat serta keluhannya dengan tepat dan dapat
dimengerti. Mampu berkolaborasi dan kooperatif ketika bekerjasama dalam
kelompok belajar. Hal tersebut membawa dampak pada sinergi antar anggota
dalam mencapai tujuan kelompok.
Berdasarkan hasil perhitungan statistik, diketahui koefisien korelasi antara
dismissing attachment style dengan kecerdasan emosional responden sebesar
-0,041. Artinya, semakin tinggi skor attachment style akan diikuti oleh derajat
kecerdasan emosional yang rendah. Responden yang memiliki dismissing
attachment style memiliki model of self yang positif dan model of others yang
negatif (Bartholomew & Horowitz, 1990). Ia merasa nyaman dengan dirinya dan
memiliki penilaian yang tinggi akan diri sendiri. Disisi lain, responden yang
memiliki tipe ini merasa bahwa teman-teman kuliahnya tidak responsif terhadap
dirinya dan kebutuhannya dalam proses belajar, serta membuatnya merasa tidak
nyaman ketika belajar bersama-sama dalam kelompok. Responden dengan tipe ini
cenderung memiliki prasangka terhadap motivasi teman yang ingin dekat
dengannya. Mereka akan cenderung untuk mempertahankan jarak sosial yang
dimilikinya dan mencegah orang lain untuk memiliki kedekatan dengan dirinya
dalam upaya mempertahan self-worth.
Pada hasil pengolahan data diketahui bahwa sebagian besar responden
dengan dismissing attachment style memiliki kemampuan yang tinggi pada tiga

9

Mei 2015

aspek dari kecerdasan emosi yaitu aspek kesadaran diri, motivasi diri dan empati
(lihat lampiran B). Sebanyak 61,2 % responden (30 orang) memiliki kemampuan
yang tinggi dalam kesadaran diri (self awareness), 69 % responden (34 orang)
memiliki kemampuan yang tinggi dalam mengelola emosi diri, dan 67,3 % (33
orang) memiliki kemampuan yang tinggi dalam aspek empati. Responden mampu
mengenali siapa dirinya dengan baik dan mampu mengetahui mengenai batasbatas emosional dalam dirinya. Hal tersebut berkaitan dengan kemampuannya
untuk tidak mudah larut dalam emosi tertentu ketika berelasi dengan teman dalam
kelompok belajar. Selain itu kemampuan motivasi diri (self-motivation) yang juga
tergolong tinggi. Kemampuan memotivasi diri ini akan mendorong responden
untuk tetap menyelesaikan tugas bersama dengan kelompok belajar walaupun ia
merasa tidak nyaman dalam relasinya dengan teman-teman dalam kelompok
belajar tersebut. Responden dengan tipe ini juga memiliki kemampuan berempati
yang tinggi. Responden mampu merasakan apa yang dirasakan oleh teman-teman
dalam kelompok belajarnya. Ia mengetahui ketika kelompok belajarnya
mengalami kesulitan-kesulitan dalam menyelesaikan tugas kelompok dan
cenderung akan membantu menyelesaikan kesulitan-kesulitan tersebut.
Berdasarkan hasil perhitungan statistik, diketahui koefisien korelasi antara
fearful attachment style dengan kecerdasan emosional sebesar -0,027 yang
tergolong korelasi rendah. Responden yang memiliki fearful attachment style,
memiliki model of self dan model of others yang negatif (Bartholomew &
Horowitz, 1990). Responden dengan tipe ini merasa kurang nyaman dengan
dirinya apa adanya. Ia menilai bahwa dirinya kurang layak sehingga sulit untuk
diterima dalam kelompok belajarnya. Mereka merasa kurang nyaman dengan
dirinya apa adanya, sehingga menngarahkan pada keengganannya untuk menjalin
relasi sosial dengan teman dalam kelompok belajar karena merasa takut akan
ditolak. Selain itu, mereka juga memiliki model of others yang negatif. Ia merasa
bahwa teman-teman kuliahnya tidak responsif terhadap dirinya dan kebutuhannya
dalam proses belajar, serta membuatnya merasa tidak nyaman ketika belajar
bersama-sama dalam kelompok. Sama halnya seperti tipe dismissing, mahasiswa
dengan tipe ini memiliki prasangka terhadap motivasi teman kelompok belajar

10

Mei 2015

untuk mendekatinya. Oleh karena itu, perilaku menghindar menjadi cara yang
dilakukannya agar ia tidak merasakan penolakan.
Pada data yang diperoleh diketahui bahwa sebagian besar responden
dengan fearful attachment style memiliki kemampuan yang tinggi dalam aspek
kesadaran diri. Sebanyak 77,1 % responden (27 orang) mampu mengenali siapa
dirinya dengan cukup baik dan mampu mengetahui mengenai batas-batas
emosional dalam dirinya (lihat lampiran C). Hal tersebut berkaitan dengan
kemampuannya untuk tidak mudah larut dalam emosi tertentu ketika bekerjasama
menyelesaikan tugas-tugas dalam kelompok belajar.
Dari hasil perhitungan statistik diperoleh koefisien korelasi sebesar -0,022
yang tergolong korelasi sedang. Responden yang memiliki preoccupied
attachment style memiliki model of self yang negatif (Bartholomew & Horowitz,
1990). Responden merasa kurang nyaman dengan dirinya apa adanya. Ia menilai
bahwa dirinya kurang layak sehingga sulit untuk diterima dalam lingkungan
pergaulannya. Walaupun begitu, ia tetap membutuhkan intimacy yang ekstrem
dengan orang lain disekitarnya. Responden dengan tipe ini memiliki model of
others yang positif dimana mereka memiliki ekspektasi bahwa lingkungan akan
bertindak secara responsif terhadap dirinya dan kebutuhannya, serta membuatnya
merasa nyaman. Ia memandang bahwa orang lain disekitarnya adalah orang-orang
yang dapat dipercaya dan diandalkan untuk memenuhi kebutuhannya akan rasa
aman dan kasih sayang. Secara umum, responden dengan preoccupied akan
cenderung takut akan penolakan dan ditinggalkan, serta akan menghabiskan
waktunya dengan mencemaskan hubungan yang dimilikinya dengan teman dalam
kelompok belajar.
Dari data yang diperoleh diketahui bahwa responden dengan preoccupied
attachment style memiliki kemampuan yang tinggi dalam aspek kesadaran diri
(lihat lampiran E). Sebanyak 71,8 % responden (23 orang) memiliki kemampuan
yang tinggi dalam aspek kesadaran diri. Responden mampu mengenali siapa
dirinya dengan cukup baik dan mampu mengetahui mengenai batas-batas
emosional dalam dirinya. Hal tersebut berkaitan dengan kemampuannya untuk

11

Mei 2015

tidak mudah larut dalam emosi tertentu ketika bekerjasama menyelesaikan tugastugas dalam kelompok belajar.
Dari hasil penelitian diatas dapat dikatakan bahwa dimensi model of self
pada adult attachment style tidak sepenuhnya selaras dengan dimensi
intrapersonal (personal competence) pada kecerdasan emosional, serta model of
other pada adult attachment style tidak sepenuhnya selaras dengan dimensi
interpesrsonal (social competence) pada kecerdasan emosional. Selain itu, peneliti
menemukan ketidakelarasan mengenai hubungan antara attachment tyle dengan
kecerdasan emosional pada responden. Terdapat responden dengan secure
attachment style memiliki kecerdasan emosional yang rendah (24,2 %) dan
sebaliknya, responden dengan fearful attachment style memiliki kecerdasan emosi
yang tinggi (45,7 %) (lihat lampiran A). Diluar keterikatan yang bersifat normatif
antara adult attachment style dengan kecerdasan emosional, perbedaan individu
dalam aktivasi sistem attachment dapat memengaruhi bagaimana seseorang
menilai atau mengahayati kemunculan emosi dan bagaimana individu meregulasi
ketergugahan, penghayatan, pengekspresian emosi tersebut dalam pikiran,
perasaan, kecenderungan tingkah laku dan tingkah laku.
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai hubungan antara
adult attachment style dengan kecerdasan emosional pada mahasiswa baru
angkatan 2014 Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha, diperoleh hasil
bahwa:
1. Terdapat hubungan positif yang signifikan antara secure attachment style
dengan kecerdasan emosional. Hal ini berarti responden dengan secure
attachment style akan memiliki derajat kecerdasan emosional yang tinggi.
Pengalaman secure attachment style responden dengan figur signifikan
menghasilkan penghayatan yang positif mengenai penerimaan dirinya oleh
figur

signifikan

tersebut.

Penghayatan

positif

tersebut

mampu

meningkatkan kelima kemampuan dalam aspek kecerdasan emosial yaitu

12

Mei 2015

aspek mengenal emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri, empati dan
aspek membina hubungan.
2. Terdapat hubungan negatif yang signifikan antara dismissing, fearful, dan
preoccupied attachment style dengan derajat kecerdasan emosinal. Hal ini
berarti responden dengan insecure attachment style memiliki derajat
kecerdasan emosional yang rendah.
3. Responden dengan dismissing attachment style menunjukan kemampuan
yang tinggi dalam aspek kesadaran diri, motivasi diri dan empati, dan
memiliki kemampuan yang rendah dalam aspek mengelola emosi diri dan
membina hubungan sosial. Responden dengan preoccupied dan fearful
attachment style menunjukan kemampuan yang tinggi dalam aspek
kesadaran diri dan memiliki kemampuan yang rendah dalam aspek
mengelolah emosi diri, memotivasi diri, empati dan membina hubungan
sosial.
4. Faktor lainnya yang tidak diukur sebagai data utama tidak memiliki
keterikatan yang jelas terhadap hubungan antara variabel kecerdasan
emosional dan adult attachment style.
5. Faktor yang lebih dominan memengaruhi kecerdasan emosional responden
adalah faktor keluarga yaitu kecerdasan emosional orangtua responden.
Hal tersebut terlihat bahwa sebagian besar responden yang memiliki
kecerdasan emosional yang tinggi berasal dari orangtua yang juga
memiliki kecerdasan emosional yang tinggi. Sebaliknya, sebagian besar
responden yang memiliki kecerdasan emosional yang rendah berasal dari
orangtua yang juga memiliki kecerdasan emosional yang rendah.
5.2 Saran
5.2.1

Saran Teoretis
1. Bagi peneliti berikutnya dapat menggali faktor lain yang mungkin
terkait dengan variabel attachment style maupun kecerdasan
emosional.

13

Mei 2015

2. Bagi peneliti berikutnya dapat mempertimbangkan metodologi
penelitian khususnya yang berkaitan dengan cara penentuan skor
untuk masing-masing attachment style
5.2.2

Saran Praktis
1. Bagi responden, hasil penelitian dapat digunakan sebagai hasil
evaluasi diri mengenai hubungan sosialnya dengan teman dalam
kelompok belajar, yang dapat memengaruhi proses belajar sehari-hari
di dalam kelas. Untuk responden dengan insecure attachment style
(dismissing, preoccupied dan fearful) hal ini dapat membantu
responden dalam memahami dirinya dan meningkatkan kemampuan
dalam berinteraksi dengan orang lain khususnya teman dalam
kelompok belajar agar tujuan pembelajaran dapat tercapai.
2. Bagi Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha, hasil
penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam
menyusun pelatihan yang dapat memfasilitasi responden dalam
belajar,

khususnya

bagi

mahasiswa

yang

memiliki

insecure

attachment style (dismissing, preoccupied dan fearful) dan derajat
kecerdasan emosional yang rendah.
DAFTAR PUSTAKA
Baskara, Adya, Helly P. Soetjipto & Nuryati Atamimi. 2006. Kecerdasan
Emosional Ditinjau Dari Keikutsertaan Dalam Program Meditasi. Fakultas
Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Desmita. 2009. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Ervika, Eka. 2005. Kelekatan (Attachment) pada Anak. Program Studi PsikologiFakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara.
Goleman, Daniel. 1999. Kecerdasan Emosi Untuk Mencapai Puncak Prestasi,
Jakarta; PT. Gramedia Pustaka Utama.

14

Mei 2015

Hamarta, Erdal & M. Engin Deniz, Nesliban Saltali (2009).
Sciences: Theory and Practice:

Educational

Attachment Style As A Predictor of

Emotional Intelligence. Pp: 213-229. Turkey.
Hurlock, Elizabeth B. 1980. Developmental Psychology – A Life-Span Approach,
Fifth Edition. New York: McGraw-Hill, Inc.
Kumar, Ranjit. 1999. Research Methodology: A Step-by-step Guide for Beginners.
London: Sage Publications
Marina, Lia & Sarlito W. Sarwono. 2007. Kecerdasan Emosional Pada Orang Tua
yang Mendongeng dan Tidak Mendongeng. Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia
Mikulincer, Mario & Phillip R. Shaver (2007). Attachment in Adulthood:
Structure, Dynamics, and change. New York: Gilford Publication, Inc.
Papalia, Diane E. (2001). Human Development. New York: McGraw-Hill
Santrock, John W. (2006). Life-Span Development, 10th edition. New York:
McGraw-Hill
DAFTAR RUJUKAN
Andhiny, Dyan Getmi. 2013. Studi deskriptif mengenai kecerdasan emosional
pada siswa smp kelas VII (Penelitian terhadap siswa SMP “X” Rintisan
Sekolah Bertaraf Internasional Bandung). Fakultas Psikologi, Universitas
Kristen Maranatha.
Debora, Amelia. 2013. Studi deskriptif mengenai adult attachment style pada
pasangan mahasiswa yang sedang berpacaran di Universitas X Bandung.
Fakultas Psikologi, Universitas Kristen Maranatha.
Hakim, Andi. 2012. Hubungan antara kecerdasan emosional dan kinerja pada
karyawan. Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia.
Lanawati, Sri. 1999. Hubungan antara Emotional Intelligence (EI) dan
Intelligence Quotient (IQ) dengan Prestasi Belajar SMU Methodist.
Program Pascasarjana Universitas Indonesia.

15

Mei 2015

82