Pengelolaan Terpadu Pulau pulau Kecil

PENGELOLAAN TERPADU PULAU-PULAU KECIL MELALUI
RENCANA ZONASI PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

I.

PENDAHULUAN
Secara geografis Indonesia membentang dari 6o08’ Lintang Utara dan 11o15’

Lintang Selatan serta 94o5’ dan 141o05’ Bujur Timur dengan jarak 3.443 mil dari
Barat ke Timur dan 1.272 mil dari Utara ke Selatan. Indonesia merupakan salah satu
negara kepulauan terbesar di dunia di mana terdapat sekitar kurang lebih 13.466
pulau besar dan kecil (berdasarkan hasil survey dari tahun 2007 hingga 2010 oleh
Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi (Timnas PNR)). Melalui Deklarasi
Djuanda, 13 Desember 1957, Indonesia menyatakan kepada dunia bahwa laut
Indonesia (laut sekitar, di antara, dan di dalam kepulauan Indonesia) menjadi satu
kesatuan wilayah NKRI. Dan Indonesia sebagai negara kepulauan, telah diakui dunia
internasional melalui konvensi hukum laut PBB ke tiga, United Nation Convention
on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS 1982), kemudian diratifikasi oleh Indonesia
dengan Undang-Undang No.17 Tahun 1985. Berdasarkan UNCLOS 1982, total luas
wilayah laut Indonesia menjadi 5,9 juta km2, terdiri atas 3,2 juta km2 perairan
teritorial dan 2,7 km2 perairan Zona Ekonomi Eksklusif, luas perairan ini belum

termasuk landas kontinen (continental shelf). Hal ini menjadikan Indonesia sebagai
negara kepulauan terbesar di dunia (the biggest Archipelago in the World).
Kawasan pulau-pulau kecil memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa
lingkungan yang tinggi dan dapat dijadikan modal dasar pelaksanaan pembangunan
Indonesia di masa yang akan datang. Kawasan ini menyediakan sumberdaya alam
yang produktif seperti terumbu karang, padang lamun (seagrass), hutan mangrove,
perikanan dan kawasan konservasi. Pulau-pulau kecil juga memberikan jasa
lingkungan yang tinggi karena keindahan alam yang dimilikinya yang dapat
menggerakkan industri pariwisata bahari. Di lain pihak, pemanfaatan potensi pulaupulau kecil masih belum optimal akibat perhatian dan kebijakan pemerintah selama
ini yang lebih berorientasi ke darat.
Pengembangan kawasan pulau-pulau kecil merupakan suatu proses yang akan
membawa suatu perubahan pada ekosistemnya. Perubahan-perubahan tersebut akan

membawa pengaruh pada lingkungan hidup. Semakin tinggi intensitas pengelolaan
dan pembangunan yang dilaksanakan semakin tinggi pula tingkat pemanfaatan
sumberdaya dan perubahan-perubahan lingkungan yang akan terjadi di kawasan
pulau- pulau kecil.
Kegiatan pengelolaan pulau-pulau kecil menghadapi berbagai ancaman baik
dari aspek ekologi yaitu terjadinya penurunan kualitas lingkungan, seperti
pencemaran, perusakan ekosistem dan penangkapan ikan yang berlebihan

(overfishing) maupun dari aspek sosial yaitu penerimaan masyarakat lokal. Oleh
karena itu, di dalam mengantisipasi perubahan-perubahan dan ancaman-ancaman
tersebut, maka pengelolaan pulau-pulau kecil harus dilakukan secara komprehensif
dan terpadu antar sektoral. Salah satu upaya pemerintah dalam mendukung
pengelolaan pulau-pulau kecil adalah dengan menyusun rencana tata ruang dan
zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
II.

DEFINISI DAN KARAKTERISTIK PULAU-PULAU KECIL
Definisi pulau-pulau kecil menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih
kecil atau sama dengan 2.000 km2 (dua ribu kilo meter persegi) beserta kesatuan
Ekosistemnya. Definisi pulau-pulau kecil tersebut sesuai dengan IHP UNESCO (1993)
yang menyebutkan pulau kecil adalah pulau dengan luas kurang dari 2.000 km 2 atau
pulau yang memiliki lebar kurang dari 10 km. Sedangkan pulau sendiri didefinisikan
sebagai an island is a naturally formed area of land surrounded by water, which is
above water at high tide. Pulau adalah suatu wilayah daratan yang terbentuk secara
alamiah, dikelilingi oleh air dan selalu ada di atas air pada saat air pasang (UNCLOS,

1982). Di samping kriteria utama tersebut, beberapa karakteristik pulau-pulau kecil
adalah secara ekologis terpisah dari pulau induknya (mainland island), memiliki batas
fisik yang jelas dan terpencil dari habitat pulau induk, sehingga bersifat insular;
mempunyai sejumlah besar jenis endemik dan keanekaragaman yang tipikal dan
bernilai tinggi; memiliki daerah tangkapan air (catchment area) relatif kecil sehingga
sebagian besar aliran air permukaan dan sedimen masuk ke laut serta dari segi sosial,
ekonomi dan budaya masyarakat pulau-pulau bersifat khas dibandingkan dengan pulau
induknya.

Menurut cara terjadinya, pulau-pulau di dunia dapat dikelompokkan menjadi
lima, yaitu pulau benua, pulau vulkanik, pulau daratan rendah, pulau karang timbul, dan
pulau atol, seperti diuraikan oleh Retraubun (2002):
1. Pulau Benua (Continental Islands), terbentuk sebagai bagian dari benua, dan setelah
itu terpisah dari daratan utama. Tipe batuan dari pulau benua adalah batuan yang
kaya dengan silica. Biota yang terdapat di pulau-pulau tipe ini sama dengan yang
terdapat di daratan utama. Contoh dari pulau tipe ini adalah Kepulauan Sunda Besar
(Sumatra, Jawa, Kalimantan) dan Pulau Papua.
2. Pulau Vulkanik (Volcanic Islands), sepenuhnya terbentuk dari kegiatan gunung
berapi, yang timbul secara perlahan-lahan dari dasar laut ke permukaan. Pulau jenis
ini tidak pernah merupakan bagian dari daratan benua, dan terbentuk di sepanjang

pertemuan lempeng-lempeng tektonik, dimana lempeng-lempeng tersebut saling
menjauh atau bertumburan. Tipe batuan dari pulau tipe ini adalah basalt, silica
(kadar rendah). Contoh pulau vulkanik terdapat di daerah pertemuan lempeng benua
adalah Kepulauan Sunda Kecil (Bali, Lombok, Sumba, Sumbawa, Flores, Wetar,
Timor).
3. Pulau Karang Timbul (Raised Coral Islands), terbentuk oleh terumbu karang yang
terangkat ke atas permukaan laut karena adanya gerakan ke atas (uplift) dan gerakan
ke bawah (subsidence) dari dasar laut karena proses geologi. Pada saat dasar laut
berada di dekat permukaan laut (kurang dari 40 m), terumbu karang mempunyai
kesempatan untuk tumbuh dan berkembang di dasar laut yang naik tersebut. Setelah
berada di atas permukaan laut, terumbu karang akan mati dan menyisakan
rumahnya dan membentuk pulau karang. Jika proses ini berlangsung terus, maka
akan terbentuk pulau karang timbul. Pada umumnya, karang yang timbul ke
permukaan laut berbentuk teras-teras seperti sawah di pegunungan. Proses ini dapat
terjadi pada pulau-pulau vulkanik maupun non-vulkanik. Pulau karang timbul ini
banyak ditemui di perairan timur Indonesia, seperti di Laut Seram, Sulu, dan Banda,
di baratlaut Papua, Sulawesi, Kepulauan Sunda Kecil, dan kepulauan sebelah barat
Sumatra, serta di Kepulauan Sangihe, Solor, Alor, Lembata, atau Adonara.
4. Pulau Daratan Rendah (Low Islands), adalah pulau di mana ketinggian daratannya
dari muka laut tidak besar. Pulau ini dapat berasal dari pulau-pulau vulkanik,

maupun non-vulkanik. Pulau-pulau dari tipe ini paling rawan terhadap bencana

alam, seperti taufan atau tsunami. Karena pulau ini relatif datar dan rendah, maka
massa air dari bencana alam yang datang ke pulau tersebut akan masuk jauh ke
tengah pulau. Contoh pulau daratan rendah adalah Kepulauan Seribu di utara Teluk
Jakarta.
5. Pulau Atol (Atolls), adalah pulau (pulau karang) yang berbentuk cincin. Pada
umumnya pulau atol ini adalah pulau vulkanik yang ditumbuhi oleh terumbu karang
membentuk fringing reef, kemudian berubah menjadi barrier reef, dan akhirnya
berubah menjadi pulau atol. Proses pembentukan tersebut disebabkan oleh adanya
gerakan ke bawah (subsidence) dari dari pulau vulkanik semula, dan oleh
pertumbuhan vertikal dari terumbu karang. Contoh pulau atol di Indonesia adalah
Pulau-pulau Tukang Besi.
Masing-masing tipe pulau tersebut memiliki kondisi lingkungan biofisik yang
khas, sehingga perlu menjadi pertimbangan dalam kajian dan penentuan pengelolaan
agar berkelanjutan. Hal ini akan berpengaruh pula terhadap pola permukiman yang
berkembang di pulau-pulau kecil berdasarkan aktivitas yang sesuai dengan kondisi
lingkungan biofisik tersebut. Misalnya tipologi pulau kecil tersebut lebih dominan ke
arah pengembangan budidaya perikanan, maka kemungkinan besar pola permukiman
yang berkembang adalah masyarakat nelayan.

III.

POTENSI PULAU-PULAU KECIL
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa pulau kecil adalah pulau

dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 (dua ribu kilo meter persegi)
beserta kesatuan Ekosistemnya, sehingga potensi pulau kecil meliputi ekosistemekosistem pesisir dan laut yang terdapat di dalamnya. Di wilayah pulau-pulau kecil
terdapat satu atau lebih sistem lingkungan (ekosistem) pesisir dan sumberdaya pesisir.
Ekosistem pesisir tersebut dapat bersifat alamiah atau buatan. Ekosistem alami yang
terdapat di pulau-pulau kecil pesisir antara lain adalah terumbu karang (coral reefs),
hutan mangrove, padang lamun (seagrass beds), pantai berpasir (sandy beach), pantai
berbatu (rocky beach), estuaria, laguna, dan delta. Sedangkan ekosistem buatan antara
lain berupa kawasan pariwisata, kawasan budidaya (mariculture), dan kawasan
pemukiman.
Sumberdaya alam di kawasan pulau-pulau kecil terdiri dari sumberdaya alam
yang dapat pulih (renewable resources) dan sumberdaya alam yang tidak dapat pulih

(non renewable resources) (Dahuri, dkk., 2004). Sumberdaya yang dapat pulih antara
lain sumberdaya ikan, plankton, benthos, moluska, krustasea, mamalia laut, rumput
laut, lamun, mangrove, dan terumbu karang. Sedangkan sumberdaya alam yang tidak

dapat pulih antara lain minyak dan gas, biji besi, pasir, timah, bauksit dan mineral serta
bahan tambang lainnya. Bila di telaah secara lebih mendalam, kiranya dapat lebih
dikenali bahwa pulau kecil, memiliki keterbatasan sumberdaya alam yang sangat
menonjol baik dilihat dari sisi keterbatasan sumberdaya lahan, sumberdaya air maupun
kesipan ekosistemnya.
Selain segenap potensi pembangunan di atas, ekosistem pulau-pulau kecil juga
memiliki peran dan fungsi yang sangat menentukan bukan saja bagi kesinambungan
pembangunan ekonomi, tetapi juga bagi kelangsungan hidup manusia. Yang paling
utama adalah fungsi dan peran ekosistem pesisir dan lautan di pulau-pulau kecil sebagai
pengatur iklim global (termasuk dinamika La-Nina), siklus hidrologi dan biogekimia,
penyerap limbah, sumber plasma nutfah dan sistem penunjang kehidupan lainnya di
daratan.
IV.

ISU

DAN

PERMASALAHAN


PENGELOLAAN

PULAU-PULAU

KECIL
IV.1. Isu Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil
Jumlah pulau yang sangat besar beserta potensi sumberdaya alam yang
melimpah membuat pulau-pulau kecil menyebabkan munculnya berbagai isu strategis
baik dalam skala nasional maupun daerah. Dalam Kebijakan dan Strategi Nasional
Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Departemen Kelautan dan Perikanan tahun 2003, dijabarkan isu-isu nasional yang
berkaitan dengan pengelolaan pulau-pulau kecil, yaitu :
a.

Belum terkoordinasinya bank data (database) pulau-pulau kecil yang berisi nama,
luas, potensi, karakteristik, peluang usaha, permasalahan dan lain lain;

b.

Sebagian besar pulau-pulau kecil merupakan kawasan tertinggal, belum

berpenghuni atau jarang penduduknya namun memiliki potensi sumberdaya alam
yang baik;

c.

Terbatasnya sarana dan prasarana perhubungan laut yang dapat menghubungkan
antara pulau induk (mainland) dan pulau-pulau kecil;

d.

Beberapa pulau kecil telah menjadi sengketa antar propinsi dan kabupaten/kota;

e.

Belum jelasnya kewenangan pengelolaan pulau-pulau kecil di wilayah perbatasan
antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah;

f.

Sebagian pulau-pulau kecil yang memiliki fungsi strategis sebagai batas wilayah

negara terancam hilang karena penambangan pasir yang tak terkendali;

g.

Terjadinya pencemaran di sekitar perairan pulau-pulau kecil akibat meningkatnya
pembuangan limbah padat dan cair;

h.

Pulau-pulau kecil berpotensi menjadi tempat kegiatan yang dapat mengancam
stabilitas dan keamanan nasional; serta

i.

Masih terbatasnya sistem pemantauan, patroli dan pengawasan (Monitoring,
Controling dan Surveillance/MCS) di pulau-pulau kecil.
Selain isu strategis di tingkat nasional, di tingkat daerah sejak diberlakukannya

otonomi daerah (Otda) melalui Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah juga telah memunculkan beberapa isu dalam pengelolaan pulaupulau kecil yaitu:

a.

Pemberdayaan dan peningkatan peran serta kelembagaan daerah dan masyarakat
dalam rangka pengelolaan pulau-pulau kecil;

b.

Tekanan terhadap sumberdaya alam dan lingkungan dalam rangka peningkatan
pendapatan daerah;

c.

Ketersediaan data, informasi dan peraturan yang diperlukan dalam pengambilan
kebijakan terkait dengan pengelolaan pulau-pulau kecil;

d.

Kerjasama antar daerah dalam pengelolaan pulau-pulau kecil di bidang keamanan,
pemanfaatan sumberdaya, dan peningkatan kualitas lingkungan; dan

e.

Terjadinya sengketa antar daerah tentang status kepemilikan dan kewenangan
pengelolaan pulau-pulau kecil.
Dalam rangka mengantisipasi isu daerah yang berkembang maka diperlukan

identifikasi ketentuan dan peraturan hukum yang bersifat lintas daerah yang mengatur
aspek pesisir dan pulau-pulau kecil serta identifikasi kegiatan-kegiatan yang
dampaknya dirasakan melewati batas administratif, misalnya kegiatan di Kep. Seribu
(antara Propinsi DKI Jakarta dan Banten).
IV.2. Permasalahan Terkait Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil
Di samping memiliki potensi yang besar, pulau-pulau kecil memiliki kendala dan

permasalahan yang cukup kompleks. Dalam Kebijakan dan Strategi Nasional
Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Departemen Kelautan dan Perikanan tahun 2003, dijelaskan beberapa permasalahan
terkait pengelolaan dan pembangunan pulau-pulau kecil, yaitu:
(1). Belum jelasnya definisi operasional pulau-pulau kecil
Definisi pulau-pulau kecil di Indonesia saat ini masih mengacu pada definisi
internasional yang pendekatannya pada negara benua, sehingga apabila diterapkan
di Indonesia yang notabene merupakan negara kepulauan menjadi tidak
operasional karena pulau-pulau di Indonesia luasannya sangat kecil bila
dibandingkan dengan pulau-pulau yang berada di negara benua. Hal ini menjadi
permasalahan tersendiri bagi pembangunan pulau-pulau kecil di Indonesia.
Apabila mengikuti definisi yang ada maka pilihan kegiatan-kegiatan yang boleh
dilakukan di kawasan pulau-pulau kecil sangat terbatas, yang tentu saja akan
mengakibatkan pengelolaan pulau-pulau kecil di Indonesia menjadi lambat.
(2). Banyaknya pulau-pulau tak bernama
Pulau-pulau kecil di Indonesia masih banyak yang tak bernama, hal ini menjadi
masalah tersendiri dalam kegiatan identifikasi dan inventarisasi pulau-pulau kecil.
Lebih jauh lagi akan menghambat pada proses perencanaan dan pembangunan
pulau-pulau kecil di Indonesia. Data bulan Desember tahun 2007 menunjukkan
bahwa dari 17.504 pulau yang tersebar di penjuru wilayah Indonesia, hanya 6.900
pulau yang memiliki nama dan telah dibakukan. Selebihnya, sekitar 10.600 buah
pulau masih belum dibakukan namanya sesuai standar internasional.
(3). Belum pastinya panjang garis pantai dan jumlah pulau
Permasalahan lain dalam pembangunan kelautan dan perikanan di Indonesia
adalah belum jelasnya jumlah pulau dan panjang garis pantai. Referensi yang
sering digunakan adalah data pada tahun 2007 yang menunjukkan bahwa terdapat
17.504 pulau yang tersebar di penjuru wilayah Indonesia. Sementara berdasarkan
hasil survey dari tahun 2007 hingga 2010 oleh Tim Nasional Pembakuan Nama
Rupabumi (Timnas PNR) terdapat sekitar kurang lebih 13.466 pulau besar dan
kecil. Adanya perbedaan tersebut sangat berpengaruh dalam perencanaan dan
pelaksanaan program pembangunan sektor kelautan dan perikanan, termasuk
panjang garis pantai di Indonesia.

(4). Kurangnya Keberpihakan Pemerintah terhadap Pengelolaan pulau-pulau kecil
Orientasi pembangunan pada masa lalu lebih difokuskan pada wilayah daratan
(maindland) dan belum diarahkan ke wilayah laut dan pulau-pulau kecil. Masih
rendahnya kesadaran, komitmen serta political will dari pemerintah dalam
mengelola pulau-pulau kecil inilah yang menjadi hambatan utama dalam
pengelolaanpotensi pulau-pulau kecil.
(5). Pertahanan dan Keamanan
Pulau-kecil di perbatasan masih menyisakan permasalahan di bidang pertahanan
dan keamanan. Hal ini disebabkan antara lain oleh belum terselesaikannya
permasalahan perbatasan wilayah territorial dengan negara tetangga, banyaknya
pulau-pulau perbatasan yang tidak berpenghuni, sangat terbatasnya sarana dan
prasarana fisik serta rendahnya kesejahteraan masyarakat lokal. Kondisi tersebut
menimbulkan kekhawatiran adanya okupasi negara lain dan memicu
berkembangnya permasalahan yang sangat kompleks, tidak saja berkaitan dengan
bagaimana upaya memeratakan hasil pembangunan, tetapi juga aspek pertahanan
keamanan dan ancaman terhadap eksistensi NKRI.
(6). Disparitas Perkembangan Sosial Ekonomi
Letak dan posisi geografis pulau-pulau kecil yang sedemikian rupa menyebabkan
timbulnya disparitas perkembangan sosial ekonomi dan persebaran penduduk
antara pulau-pulau besar yang menjadi pusat pertumbuhan wilayah dengan pulaupulau kecil di sekitarnya.
(7). Terbatasnya Sarana dan Prasarana Dasar
Pulau-pulau kecil sulit dijangkau oleh akses perhubungan karena letaknya yang
terisolir dan jauh dari pulau induk. Terbatasnya prasarana dan sarana seperti jalan,
pelabuhan, sekolah, rumah sakit, pasar, listrik, media informasi dan komunikasi
menyebabkan tingkat pendidikan (kualitas SDM), tingkat kesehatan, tingkat
kesejahteraan dan pendapatan masyarakat pulau-pulau kecil rendah.
(8). Konflik Kepentingan
Pengelolaan pulau-pulau kecil akan berdampak pada lingkungan, baik positif
maupun negatif sehingga harus diupayakan agar dampak negatif dapat
diminimalkan dengan mengikuti pedoman-pedoman dan peraturan-peraturan
yang dibuat. Di samping itu, pengelolaan pulau-pulau kecil dapat menimbulkan

konflik budaya melalui industri wisata yang cenderung bertentangan dengan
kebudayaan lokal; dan menyebabkan terbatasnya atau tidak adanya akses
masyarakat terutama pulau-pulau kecil yang telah dikelola oleh investor.
(9). Degradasi Lingkungan Hidup
Pemanfaatan sumberdaya yang berlebih dan tidak ramah lingkungan yang
disebabkan oleh lemahnya penegakan hukum, belum adanya kebijakan yang
terintegrasi lintas sektor dan daerah serta rendahnya kesejahteraan masyarakat
telah berdampak pada meningkatnya kerusakan lingkungan hidup.
Berdasarkan isu dan permasalahan-permasalahan di atas, dalam menciptakan
pengelolaan

pulau-pulau

kecil

diperlukan

perencanaan

yang

terarah

dan

terintegrasi/terpadu antar sektoral, sehingga pengelolaan serta pembangunan pulaupulau kecil dapat maksimal dengan mengoptimalkan potensi sesuai karakteristik pulau
kecil tersebut. Namun demikan, pendekatan dalam pengelolaan dan pembangunan
pulau-pulau kecil di Indonesia tidak boleh digeneralisasi untuk semua pulau, baik
dengan wilayah daratan induknya maupun antar pulau kecil itu sendiri. Pendekatan
yang berbeda ini memerlukan pula sistem dan pola pikir yang berbeda pula.
V.

PENGELOLAAN

PULAU-PULAU

KECIL TERPADU

MELALUI

PENDEKATAN PENATAAN RUANG
Dalam menciptakan keseteraan pembangunan pulau-pulau kecil diperlukan
perencanaan yang terarah dan terintegrasi, sehingga output pembangunan yang
dihasilkan menjadi optimal dan berkelanjutan serta terciptanya pembangunan wilayah
kepulauan terpencil atau terluar dapat sejajar atau paling tidak tidak terlalu ketinggalan
dengan wilayah daratan induk lainnya. Salah satu yang paling penting dalam
penanganan masalah pengelolaan pulau kecil adalah peranan pemerintah sebagai
pemegang kendali atas semua kegiatan yang hubungannya dengan masalah pulau-pulau
kecil. Pemerintah harus memiliki kerangka pemikiran pembangunan pulau-pulau kecil
yang mampu menciptakan proses transformasi sosial-budaya dan ekonomi, sehingga
masyarakat pulau-pulau kecil benar-benar diberdayakan. Proses transformasi ini terjadi
apabila mainstream kerangka pembangunan yang dikembangkan melibatkan semua
pemangku kepentingan (stakeholder) yang akan mengelola sebuah pulau-pulau kecil.
Mengingat karakteristik pulau kecil yang berbeda dengan pulau besar lainnya,
ada dua hal pokok yang perlu dipertimbangkan dalam langkah pengembangan serta

pengelolaan pulau-pulau kecil, yakni yang pertama adalah berkenaan dengan upaya
pengembangan kegiatan sosial-ekonomi dan kedua berkaitan dengan daya dukung
lingkungan (carrying capasity). Pada hakekatnya kedua hal tersebut perlu dipertemukan
sehingga dapat diperoleh optimasi pemanfaatan sumberdaya alam yang dikaitkan
dengan usaha pemerataan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan juga berdasarkan
atas pertimbangan pembangunan yang berkelanjutan (Djais, 2004).
Setiap usaha yang berkitan dengan pengembangan kegiatan ekonomi maupun
sosial, umumnya akan selalu membutuhkan sejumlah sumberdaya alam tertentu yang di
peroleh dari suatu lingkungan geografis. Sesuai dengan sifat alamnya, suatu lingkungan
geografis akan dihadapkan pada faktor keterbatasan. Apabila ditinjau dari sisi
pengembangan kegiatan ekonomi, peranan dari lingkungan geografis ini dapat di
pandang sebagai aspek supply dan tidak selalu dapat menunjang kebutuhan
pengembangan kegiatan sosial-ekonomi yang berada di atasnya.
Khusus untuk pulau-pulau kecil, sesuai dengan ciri yang dimilikinya, kondisi
lingkungan geografisnya memiliki keterbatasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan
pulau induknya. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dibutuhkan pendekatan
pengelolaan pembangunan yang lebih spesifik untuk pulau-pulau kecil.
Hubungan antara pengembangan kegiatan sosial-ekonomi dengan lingkungan
geografis tidak selamanya harmonis. Hal ini disebabkan karena pada umumnya
kegiatan sosial-ekonomi, yang mana dapat dikenali sebagai aspek demand, berkembang
jauh lebih pesat dibanding dengan ketersediaan sumberdaya pendukungnya.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka pada tingkat daya dukung tertentu, seharusnya
perkembangan kegiatan sosial-ekonomi perlu dibatasi agar dapat dicegah atau dikurangi
dampak negatif yang dapat ditimbulkannya, seperti meningkatnya

polusi, erosi,

pengerusakan landscape, hilangnya biodata penting, dan sebagainya. Pada hakekatnya,
fenomena dari dampak negatif lingkungan disebabkan karena setiap perkembangan
kegiatan sosial-ekonomi akan menimbulkan side-effect dan hal ini merupakan respon
dari pada adanya kepekaan sumberdaya yang ada.
Di sisi lain, setiap upaya pengembangan kegiatan sosial-ekonomi akan
menuntut adanya suatu resources requirement berdasarkan atas spesifikasi kegiatan
sosial-ekonomi yang akan dikembangkan. Hal ini merupakan respon dari adanya
pemanfaatan sumberdaya yang ada (utility of existing resources). Pada prinsipnya,

pendekatan yang dilakukan dalam penataan ruang pulau-pulau kecil ditekankan pada
upaya mengenali peluang pengembangan dari berbagai macam kegiatan dengan
memperhatikan akibat lingkungan dan ekonomi yang mungkin timbul.
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa penataan ruang pada pulau
kecil menjadi hal yang perlu diperhatikan kaitannya dengan pengelolaan dan
pengembangan pulau-pulau kecil tersebut. Penataan ruang pada dasarnya merupakan
suatu upaya pemanfaatan potensi suatu wilayah atau kawasan bagi pembangunan secara
berkelanjutan dengan mengurangi konflik pemanfaatan ruang oleh berbagai kegiatan,
sehingga dapat dicapai suatu keharmonisan antara kegiatan dengan lingkungannya.
Dalam hal ini penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang; pemanfaatan
ruang; dan pengendalian pemanfaatan ruang yang merupakan satu kesatuan sistem yang
tidak terpisahkan satu dengan yang lainnya.
Dalam penataan ruang pulau-pulau kecil, secara fisik batas wilayah
perencanaanya akan lebih fleksibel karena akan sangat dipengaruhi oleh batasan fungsi
ekosistem. Sesuai dengan sifat alamnya, pengelolaan pulau-pulau kecil perlu lebih
ditekankan pada aspek preservasi dan konservasi dibanding dengan pembangunan yang
bersifat intensif.
Dalam kaitannya dengan upaya pengembangan pulau -pulau kecil ada dua hal
pokok yang perlu untuk diperhatikan, yakni pertama, menentukan batas ambang
kegiatan di pulau tersebut. Kedua adalah mengintergrasikan perlindungan habitat ke
dalam kegiatan ekonomi, sehingga dapat terjadinya sinergi antara pengembangan
kegiatan usaha dengan upaya melindungi dan melestarikan habitat dan sumberdaya
alam yang ada. Menurut Djais (2004) ada lima prinsip utama yang perlu diperhatikan
dalam pengelolaan pembangunan pulau kecil, yakni spatial harmony; optimal
utilization of natural resoures; application of environmentally-sound marine
biotechnology; pollution control; dan minimization of adverse environmental impacts.
Untuk menjamin fungsi dan pemanfaatan dari kawasan pesisir, laut dan pulaupulau kecil yang optimal dan berkelanjutan, kegiatan pengelolaan pesisir, laut dan
pulau-pulau kecil harus ditekankan pada upaya menjaga keseimbangan antara
pemanfaatan dan pelestarian wilayah tersebut. Rencana tata ruang merupakan ramburambu yang merupakan salah satu faktor yang dapat menghindarkan maupun
mengantisipasi permasalahan-permasalahan pemanfaatan sumberdaya pesisir, laut

dan pulau-pulau kecil. Berkaitan dengan hal tersebut, peranan tata ruang pada
hakekatnya dimaksudkan untuk mencapai pemanfaatan sumber daya secara optimal
dengan sedapat mungkin rnenghindari adanya konflik pemanfaatan sumber daya
sehingga tujuan dari pengelolaan kawasan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil dapat
tercapai.
Kaitan antara sumber daya alam dan lingkungan hidup dalam suatu ruang
sangat erat, bahkan merupakan kesatuan yang tidak dapat terpisahkan satu sama lain.
Dalam hal ini ruang yang tidak mengenal batas wilayah, meliputi komponenkomponen ruang darat, laut, dan udara, sementara itu sumber daya alam yang
terkandung dalam ketiga komponen tersebut meliputi komponen-komponen yang
beranekaragam. Seiring dengan meningkatnya aktivitas dan penggunaan sumber
daya alam karena meningkatnya kebutuhan manusia akan sumber-sumber tersebut,
maka pengaturan penggunaan sumber-sumber daya alam tersebut perlu mendapat
perhatian yang serius, mengingat sebagai besar sumber daya alam yang ada
merupakan sumber daya yang tidak terbaharukan. Kegiatan penataan ruang yang
secara umum mengacu pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007, merupakan
solusi yang tepat dalam kaitamya dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya
alam.
Untuk tujuan perencanaan secara praktis, kawasan pesisir, laut,dan pulaupulau kecil merupakan kawasan khusus/spesial, memiliki karakteristik unik dan
dengan batas-batas kawasan yang sering ditentukan berdasarkan permasalahan
spesifik yang perlu ditangam. Berkaitan dengan hal tersebut, peranan tata ruang pada
hakekatnya dirnaksudkan untuk mencapai pemanfaatan surnberdaya optimal dengan
sedapat mungkin menghindari konflik pemanfaatan sumberdaya, serta dapat
mencegah timbulnya kerusakan lingkungan hidup serta meningkatkan keselarasan
perkembangan antara kawasan di dalam kawasan pesisir dan kawasan lain yang
terkait di sekitarnya.
Pendekatan penataan ruang ini merupakan pendekatan pengelolaan ruang yang
harus menjamin adanya kepentingan sektoral yang terakomodir dan terintegrasi dan
dalam prosesnya (perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan)
didukung oleh keterlibatan masyarakat serta didukung oleh sistem kelembagaan yang
mengarah pada adanya forum komunikasi yang kuat antar stakeholders. Kegiatan

penataan ruang dapat dipilah ke dalam tiga proses yaitu perencanaan, pemanfaatan
tata ruang dan pengendalian pemanfaatan (Darwanto dan Stepanto, 2000).
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dalam melakukan penataan ruang
pulau-pulau kecil ada lima tahapan analisa yang perlu dilakukan (Djais, 2004), yakni:
1. Melakukan analisa terhadap peran sumberdaya yang ada (analysis of potential
role of resources);
2. Melakukan analisa dampak yang timbulkan (analysis of side effects);
3. Menganalisa sensitivitas dari sumberdaya yang ada (analysis of sensitivity of
resources);
4. Melakukan analisa terhadap akibat pembangunan (analysis of potential
consequences of development);
5. Melakukan analisa konflik (analysis of conflicts)
Kelima pendekatan analisis tersebut, pada hakekatnya ditujukan untuk dapat
mengambil keputusan pembangunan yang optimal. Berkaitan dengan upaya penataan
ruang pulau kecil, perhatian terhadap upaya menjaga kapasitas daya dukung lingkungan
menjadi sangat penting artinya. Untuk itu ada empat dimensi lingkungan yang perlu
dikenali agar keputusan pembangunan yang diambil dapat mencerminkan nuansa
pembangunan yang berkelanjutan, seperti yang dituliskan Djais (2004) yakni:
1. Teritorial, dimana dapat menunjukkan area yang dapat dimanfaatkan bagi
pengembangan suatu kegiatan;
2. Quantitative, dimana dapat menunjukan besaran kegiatan yang akan
dikembangkan;
3. Qualitative, dimana dapat menunjukan jenis kegiatan yang akan dihasilkan;
4. Temporal, dimana dapat menunjukkan tingkat perkembangan yang dapat
ditoleransi.
VI.

RENCANA ZONASI PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN
PULAU-PULAU KECIL
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 pasal 7 ayat (3)

yang berbunyi Pemerintah Daerah wajib menyusun semua dokumen rencana
(Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Rencana Zonasi
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil dan Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir and

Pulau-Pulau Kecil). Dalam hal ini, salah satu bentuk tanggung jawab pemerintah
adalah mengatur pengalokasian ruang atau zona wilayah pesisir untuk dapat
digunakan dalam memaksimalkan pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir.
Zonasi wilayah pesisir pada hakekatnya merupakan suatu bentuk rekayasa teknik
pemanfaatan ruang melalui penetapan batas-batas fungsional sesuai dengan potensi
sumber daya dan daya dukung serta proses-proses ekologis yang berlangsung sebagai
satu kesatuan dalam ekosistem pesisir (UU 27 tahun 2007, tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil). Penetapan batas-batas zonasi memerlukan
data tata ruang yang konsisten, akurat, lengkap dan terkini. Sebagai suatu upaya
untuk menciptakan keseimbangan antara kebutuhan-kebutuhan pembangunan dan
konservasi, maka Rencana Zonasi merupakan implikasi spasial (keruangan) untuk
pelaksanaan kebijakan-kebijakan dari Rencana Strategis (Suparno, 2009).
Hirarki Rencana Pengelolaan WP3K digambarkan sebagai 4 (empat) dokumen
perencanaan yang terpisah dan ditambahkan atlas sumber daya wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil, untuk mengenali tahapan penting dan tindak lanjut kegiatankegiatan perencanaan yang harus dilakukan. Piramid terbalik menggambarkan
peningkatan fokus cakupan spasial untuk kerincian rencana. Tujuan dan isi setiap
dokumen dapat diuraikan sebagai berikut.

Gambar 1. Hirarki Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
Sumber: Pedoman Teknis Penyusunan RPWP-3-K, 2013

Dalam hirarki tersebut terlihat bahwa rencana zonasi akan menjadi pedoman
untuk penyusunan Rencana Pengelolaan WP3K dan Rencana Aksi Pengelolaan
WP3K. Rencana zonasi juga mendukung rencana strategis dengan mengarahkan aksi
pada lokasi geografi yang sesuai. Aspek penting yang terdapat dalam rencana
strategis dapat diringkas sebagai lampiran dalam rencana zonasi. Rencana zonasi
mengalokasikan ruang dengan fungsi utama sebagai : (i) kawasan konservasi, (ii)
kawasan pemanfaatan umum, (iii) kawasan strategis nasional tertentu, dan (iv) alur
laut. Tujuan penyusunan rencana zonasi adalah untuk membagi wilayah pesisir
dalam zona-zona yang sesuai dengan peruntukan dan kegiatan yang saling
mendukung (compatible) serta memisahkannya dari kegiatan yang saling
bertentangan (incompatible). Penentuan zona difokuskan berdasarkan kegiatan utama
dan prioritas pemanfaatan sumberdaya pesisir guna mempermudahkan pengendalian
dan pemanfaatan. Rencana zonasi menjelaskan focus kegiatan dan nama zona yang
dipilih berdasarkan kondisi dan kegiatan yang diizinkan atau dapat dilakukan dengan
persyaratan tertentu. Penetapan rencana zonasi dimaksudkan untuk memelihara
keberlanjutan sumberdaya pesisir dalam jangka panjang serta mengeliminasi
berbagai faktor tekanan terhadap ekosistem pesisir akibat kegiatan yang tidak sesuai
(incompatible) (Suparno, 2009).
Tabel 1. Kawasan dan Zona Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

Dari tabel di atas, dapat terlihat zona-zona pemanfaatan dalam kawasan pesisir
dan pulau-pulau kecil. Cakupan terkecil dari rencana tata ruang wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil adalah tingkat kabupaten/kota. Rencana pola ruang wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil merupakan rencana distribusi peruntukan ruang wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil yang meliputi rencana peruntukan ruang untuk fungsi
konservasi, fungsi kawasan strategis nasional tertentu, fungsi pemanfaatan umum
dan fungsi alur laut. Dengan demikian rencana pola ruang wilayah pesisir dan pulaupulau kecil kab/kota berfungsi :
a. Sebagai alokasi ruang untuk berbagai kegiatan sosial dan ekonomi masyarakat dan
kegiatan pelestarian lingkungan dalam WP-3-K Kab/Kota;
b. Sebagai alokasi ruang untuk berbagai kegiatan terkait dengan kedaulatan negara,
pengendalian

lingkungan

hidup,

dan/atau

situs

warisan

dunia

yang

pengembangannya diprioritaskan bagi kepentingan nasional
c. Sebagai alokasi ruang untuk kepentingan perlindungan cadangan sumberdaya ikan.
d. Mengatur keseimbangan dan keserasian peruntukan ruang darat – laut dan di ruang
pesisir itu sendiri;
e. Sebagai dasar pemberian izin pemanfaatan ruang perairan laut pada wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil kab/kota.
Rencana pola ruang WP-3-Kdirumuskan berdasarkan :
a. kebijakan dan strategi penataan ruang WP-3-K Kab/Kota;
b. Kesuaian dan Keterkaitan antar kegiatan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil;
c. Daya dukung dan daya tampung wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil;
d. Ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait.

Gambar 2. Ilustrasi Pola Ruang Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Kabupaten/Kota
Rencana Zonasi pesisir dan laut akan menetapkan suatu jaringan/kisi-kisi
spasial di atas lingkungan pesisir dan laut. Rencana ini memisahkan pemanfaatan
sumberdaya yang saling bertentangan dan menentukan yang mana kegiatan-kegiatan
yang dilarang dan diijinkan ditunjukkan untuk setiap zona peruntukan. Hal ini
merupakan suatu upaya untuk menciptakan suatu keseimbangan antara kebutuhankebutuhan pembangunan dan konservasi di pesisir.
Dalam proses penyusunan rencana zonasi ini, kerjasama dengan stakeholders
sebaiknya dimulai pada tahap paling awal dalam penyusunan, oleh karena itu
diperlukan Forum Diskusi untuk menampung aspirasi stakeholder atau biasa disebut
FGD (Forum Discussion Group). Perlu dipahami bahwa masyarakat setempat sering
memiliki pengetahuan khusus tentang sumberdaya mereka, ancaman terhadap
sumberdaya, dan sebab-sebab utama dari degradasi sumberdaya. Mereka sering juga
memperoleh keuntungan terbanyak dari keberadaan sumberdaya. Sementara mereka
mungkin bertanggung jawab akan tekanan terhadap penggunaan sumberdaya, mereka
mungkin juga berada di posisi yang terbaik untuk implementasi dan monitoring
berbagai

aktivitas

pembangunan,

untuk

mengurangi

tekanan

pemanfaatan

sumberdaya. Untuk itu, usulan Rencana Zonasi harus menghormati kearifan lokal,

hukum adat dan hak-hak legal dari stakeholders yang terlibat. Selain itu, keterlibatan
stakeholders didalam proses perancangan dan implementasi dapat membantu untuk
memastikan bahwa stakeholders kunci (penting) turut berperan dan mendukung
rencana sejak dari permulaan, dan karenanya meningkatkan kemungkinan
keberhasilannya (Suparno, 2009).
VII. PENUTUP
Pengembangan perairan dan pulau-pulau kecil mutlak diperlukan untuk
mengeksplorasi potensi kekayaan laut yang bernilai ekonomis dan ekologis tinggi.
Khusus untuk pulau-pulau kecil, sesuai dengan ciri yang dimilikinya, kondisi
lingkungan geografisnya memiliki keterbatasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan
pulau induknya. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dibutuhkan pendekatan
pengelolaan pembangunan yang lebih spesifik untuk pulau-pulau kecil. Pengelolaan
pulau-pulau kecil secara terpadu mutlak diperlukan untuk mendukung kelestarian
sumberdaya yang ada di pulau-pulau kecil. Pendekatan penataan ruang diharapkan
mampu mengakomodir pengelolaan pulau-pulau kecil sesuai karakteristiknya. Hal ini
dikarenakan peranan tata ruang pada hakekatnya dirnaksudkan untuk mencapai
pemanfaatan surnberdaya optimal dengan sedapat mungkin menghindari konflik
pemanfaatan sumberdaya, serta dapat mencegah timbulnya kerusakan lingkungan
hidup serta meningkatkan keselarasan perkembangan antara kawasan di dalam
kawasan pesisir dan kawasan lain yang terkait di sekitarnya. Implementasi dari
pendekatan penataan ruang dalam pengelolaan pulau-pulau kecil adalah dengan
disusunnya Rencana Zonasi WP-3-K yang bertujuan diantaranya untuk memandu
pemanfaatan jangka panjang, pembangunan dan pengelolaan sumberdaya di wilayah
pesisir dan laut. Dalam penyusunan rencana zonasi ini selain didasarkan pada
analisis sumberdaya dan lingkungan, juga melibatkan berbagai stakeholder termasuk
masyarakat lokal sehingga tidak berbenturan dengan adat istiadat atau kearifan lokal
penduduk setempat. Dengan adanya zonasi wilayah pesisir dan juga pulau-pulau
kecil, diharapkan mampu menjadi alat pengendali dalam pemanfaatan dan
pengelolaan sumberdaya yang ada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
DAFTAR PUSTAKA

Adrianto, Luky. 2004. Pembangunan dan Pengelolaan Pulau-pulau Kecil yang
Berkelanjutan. Makalah disampaikan pada Pelatihan Perencanaan dan
Pengelolaan Wilayah Pesisir secara Terpadu, Bogor, 23 Agustus – 25
September 2004.
Dahuri, R., Rais, J., Ginting, S.P., Sitepu, M.J. 2004. Pengelolaan Sumber Daya
Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Pradnya Paramita, Jakarta
Darwanto, H. dan D. Stepanto. 2000. Penataan Ruang Kawasan Pesisir, Laut dan
Pulau-pulau Kecil, serta Hubungan dengan Penataan Ruang Wlayah.
Perencanaan Pembangunan, No. 21, September/Oktober 2000.
Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. 2003. Kebijakan dan Strategi
Nasional Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil. Direktorat Jenderal Pesisir dan PulauPulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta.
Djais, Ferrianto Hadisetiawan. 2004. Pendekatan Penataan Ruang Bagi Pulau Kecil;
Penerapan Metode “Ultimate Enviromental Threshold” Sebagai Salah Satu
Masukan dalam Upaya Perencanaan dan Pengembangan Pulau Kecil.
www.tumoutou.net.
Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. 2013. Pedoman Teknis
Penyusunan RPWP-3-K (Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil). Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta.
Konvensi Hukum Laut Internasional (KHL/UNCLOS) 1982.
Retraubun, A.S.W, 2002. Pulau-pulau Kecil di Indonesia. Data dan Masalah
Pengelolaannya. COREMAP. LIPI, Jakarta.
Suparno. 2009. Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Sebagai Salah Satu
Dokumen
Penting
Untuk
Disusun
Oleh
Pemerintah
Daerah
Propinsi/Kabupaten/Kota. Jurnal Mangrove dan Pesisir IX (1), Februari 2009:
1-8, ISSN: 1411-0679.

Dokumen yang terkait

Pengelolaan Publikasi MelaluiMedia Sosial Sebagai sarana Pengenalan Kegiatan Nandur Dulur( Studi deskriptif pada tim publikasi Nandur Dulur)

0 66 19

EVALUASI PENGELOLAAN LIMBAH PADAT MELALUI ANALISIS SWOT (Studi Pengelolaan Limbah Padat Di Kabupaten Jember) An Evaluation on Management of Solid Waste, Based on the Results of SWOT analysis ( A Study on the Management of Solid Waste at Jember Regency)

4 28 1

Analisis Pengaruh Faktor-Faktor Penentu Sikap Pengusaha Kecil Pada Pembiayaan Bank Syariah

1 29 127

Keanekaragaman Jenis Dan Distribusi Family Tridacnidae (Kerang Kima) Di Perairan Pulau Karang Congkak, Kepulauan Seribu

6 86 69

Perancangan Sistem Informasi Pengelolaan Yayasan (Sinpeya) Pada Balai Perguruan Putri (BPP) Pusat Bandung

7 79 187

Pengaruh Pengelolaan Keuangan Daerah Dan Sistem Akuntansi Keuangan Daerah Terhadap Kinerja Pemerintah Daerah (Study Kasus Pada Dinas Pengelolaan Keuangan Dan Aset Daerah Di Pemerintah Kota Bandung)

3 29 3

Analisis Sistem Informasi Pengelolaan STNK Di Unit Pelayanan Pendapatan Daerah (UPPD) Wilayah XX/Samsat Bandung Barat

15 155 60

Studi Perbandingan Sikap Sosial Siswa dengan Menggunakan Model Pembelajaraan Kooperatif Tipe Two Stay Two Stray dan Think Pair Share Pada Mata Pelajaran IPS Terpadu

3 49 84

Peranan Komunikasi Antar Pribadi Antara Pengajar Muda dan Peserta Didik Dalam Meningkatkan Motivasi Belajar ( Studi pada Program Lampung Mengajar di SDN 01 Pulau Legundi Kabupaten Pesawaran )

3 53 80

Asas Tanggung Jawab Negara Sebagai Dasar Pelaksanaan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

0 19 17