Deteriorasi dan perbaikan sifat pdf

DETERIORASI DAN PERBAIKAN SIFAT KAYU MUSRIZAL MUIN ASTUTI ARIF SYAHIDAH FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS HASANUDIN

KATA PENGANTAR

Puji syukur disampikan ke hadirat Allah SWT atas berkah dan hidayah-Nya sehingga buku ajar mata kuliah Deteriorasi dan Perbaikan Sifat Kayu ini dapat diselesaikan. Buku ini disusun oleh Tim Pengajar untuk menjadi salah satu sumber belajar bagi mahasiswa di Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin. Sebagai sumber belajar, buku ini disusun dengan menggunakan rumusan bab per bab dengan tujuan khusus masing-masing. Buku ini memuat aspek-aspek Ketahanan Alami Kayu, Faktor Perusak Kayu, Teknik dan Peranan Perbaikan Sifat Kayu serta Bagaimana Mendeteksi Deteriorasi Kayu.

Walaupun buku ini hanya menyangkut aspek-aspek umum dari Deteriorasi dan Perbaikan Sifat Kayu, penulis berharap buku ajar ini dapat menjadi buku pegangan mahasiswa Program Sarjana dalam menempuh studi dan mengembangkan pengetahuan di Fakultas Kehutanan. Beberapa bahan pengayaan didalam buku ini juga diharapkan dapat dijadikan acuan dalam menyelesaikan masalah-masalah yang berhubungan dengan deteriorasi dan perbaikan sifat kayu atau dalam mengembangkan ilmu secara spesifik. Dengan selesainya buku ajar ini, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada Pimpinan Fakultas atas bantuan dana yang disediakan.

Penulis

iii

BAB I KETAHANAN ALAMI KAYU

Tujuan Umum : Bab ini secara umum bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada mahasiswa tentang: (1) pengertian ketahanan alami kayu, (2) variasi ketahanan alami kayu, dan (3) hubungan ketahanan alami kayu dengan tujuan penggunaannya. Tujuan Khusus : Bab ini secara khusus memberikan kemampuan kepada mahasiswa untuk dapat menjelaskan dan mengemukakan contoh tentang bagaimana sifat-sifat dasar kayu mempengaruhi ketahanan kayu (kekuatan dan keawetan).

A. Pengertian Ketahanan Alami Kayu

Kayu yang dikenal sebagai produk alami karena dihasilkan dari proses pertumbuhan pohon pada dasarnya adalah bahan polimer yang tersusun atas berbagai tipe sel dan jenis bahan kimia yang satu sama lain saling berhubungan. Dengan demikian, kayu memiliki sifat anatomi, fisik, kimia, dan mekanis yang juga khas secara alami sehingga akan bervariasi antar jenis, antar pohon dalam satu jenis, dan antar bagian dalam satu pohon. Perbedaan sifat-sifat tersebut tentu saja berimplikasi pada perbedaan ketahanan alami dari kayu. Olehnya itu, mudah dimengerti bahwa setiap faktor perusak kayu akan memiliki dampak atau mengakibatkan deteriorasi dengan tingkat yang berbeda pada setiap potong kayu. Adanya serangan organisme perusak kayu pada suatu struktur bangunan tidak berarti bahwa seluruh kayu yang ada dalam struktur tersebut akan diserang secara merata. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan ketahanan dari setiap potong kayu yang menyusun struktur tersebut. Meskipun demikian, adanya serangan tersebut dapat mempengaruhi ketahanan struktur secara keseluruhan sehingga apapun tipe dan bentuk gangguan dari faktor perusak yang muncul seharusnya dihindari sedini mungkin.

Ketahanan kayu pada dasarnya diklasifikasikan atas kekuatan (kelas-kelas kuat) dan keawetan (kelas-kelas awet). Kekuatan kayu adalah daya tahan kayu terhadap beban yang mengenainya, sedangkan keawetan kayu adalah daya tahan kayu terhadap Ketahanan kayu pada dasarnya diklasifikasikan atas kekuatan (kelas-kelas kuat) dan keawetan (kelas-kelas awet). Kekuatan kayu adalah daya tahan kayu terhadap beban yang mengenainya, sedangkan keawetan kayu adalah daya tahan kayu terhadap

Kayu sebagai produk alam harus dipahami sebagai biopolimer yang tersusun atas sel-sel, mengandung persenyawaan kimia berupa selulosa, hemiselulosa, lignin, dan bahan ekstraktif. Pembentukan biopolimer tersebut juga membutuhkan waktu bertahun- tahun dengan keterlibatan tempat dan lingkungan tumbuh. Olehnya itu mudah dimengerti bahwa kayu dapat terurai kembali menjadi komponen-komponen pembentuknya.

Kayu merupakan bahan organik yang melimpah di bumi. Pohon membentuk kayu melalui proses fotosintesis dan jamur beserta agen perusak lainnya merusak kayu melalui proses respirasi yang berperan dalam siklus biosintesis dan biodekomposisi. Hubungan tersebut digambarkan oleh reaksi sederhana berikut yang merupakan bagian dominan dalam siklus karbon:

fotosintesis oleh pohon dan tanaman lain

6n CO 2 + 5n H 2 O + 677.000 n kalori ⇔ (C 6 H 10 O 5 ) n + 6n O 2 ............ (1)

respirasi oleh jamur dan organisme perusak lainnya

Istilah kerusakan kayu seringkali dinyatakan dengan berbagai istilah, yaitu dekomposisi, degradasi atau deteriorasi. Dekomposisi dan degradasi merujuk pada perubahan satu atau lebih struktur polimer kayu menjadi molekul yang lebih sederhana. Degradasi dapat juga digunakan untuk menjelaskan deteriorasi, yaitu penurunan nilai kayu untuk berbagai penggunaan, dan degradasi digunakan untuk pengertian yang lebih sempit.

Ada dua tipe utama sel kayu yang terbentuk dari pembelahan kambium, yaitu sel serat (fiber) yang berdinding tebal yang membuat kayu kuat dan sel parenkim (parenchyma) berdinding tipis yang menyimpan cadangan makanan. Serat kayu akan mati beberapa hari atau minggu setelah terbentuk dan kehilangan isi sitoplasmanya dan berubah fungsi menjadi pengangkut air. Sel serat dewasa seluruhnya terdiri atas polimer dinding sel yaitu selulosa, hemiselulosa dan lignin. Oleh karena itu, sel serat kayu dapat didegradasi hanya oleh organisme yang mempunyai kemampuan mendekomposisi bahan struktural berpolimer tinggi. Sebaliknya, sel parenkim tetap hidup selama beberapa tahun dan hanya kehilangan kandungan sitoplasmanya bila kayu gubal dirubah menjadi kayu teras. Gula, pati, asam amino, dan protein dalam sel parenkim membuat kayu gubal sangat rentan (susceptible) terserang oleh sejumlah besar jamur dan bakteri yang dapat menggunakan bahan cadangan makanan tetapi tidak menyerang polimer dinding sel yang kompleks.

Kayu teras dari spesies tertentu memiliki ketahanan (resistant) sedang sampai tinggi terhadap dekomposisi oleh organisme yang dapat mendegradasi dinding sel. Daya tahan tersebut disebabkan oleh fenol, terpena, alkaloid, dan substansi lain yang menumpuk dalam kayu teras dan merupakan racun bagi jamur perusak kayu, bakteri, serangga dan marine borer. Karena substansi beracun tersebut tidak terdapat dalam kayu gubal, kayu gubal mati pada semua spesies sangat mudah mengalami dekompoisi biologis. Pada kayu gubal pohon yang masih hidup pada dasarnya tahan terhadap pelapukan karena aktifnya mekanisme pertahanan, sebaliknya kayu teras lebih mudah terserang dari kayu gubal yang masih hidup. Meskipun sejumlah besar jamur dan beberapa jenis serangga dapat menyebabkan dekomposisi jaringan kayu teras mati, jarang ada organisme yang melakukan dekomposisi produk kayu setelah pohon ditebang, teutama setelah dikeringkan.

Pada sisi lain, faktor-faktor perusak harus dilihat sebagai komponen yang muncul sebagai hasil interaksi antara kayu dengan lingkungan penggunaannya, baik lingkungan biotik maupun lingkungan abiotik. Lingkungan biotik dapat mempengaruhi ketahanan kayu karena organisme perusak berinteraksi dengan kayu dalam bentuk menjadikannya Pada sisi lain, faktor-faktor perusak harus dilihat sebagai komponen yang muncul sebagai hasil interaksi antara kayu dengan lingkungan penggunaannya, baik lingkungan biotik maupun lingkungan abiotik. Lingkungan biotik dapat mempengaruhi ketahanan kayu karena organisme perusak berinteraksi dengan kayu dalam bentuk menjadikannya

Beberapa studi menitikberatkan ketahanan kayu lebih pada daya tahannya terhadap organisme perusak sehingga banyak pustaka yang selalu menggandengkan pengertian ketahanan kayu dengan organisme perusak. Hal ini mudah dimengerti karena daya tahan kayu terhadap serangan organisme perusak (keawetan) dapat mempengaruhi kekuatan kayu secara nyata pada saat serangan tersebut merombak atau mengurangi unsur penyusun kayu, yang biasa diistilahkan dengan kehilangan berat (weight loss). Sebaliknya, daya tahan kayu terhadap beban yang diberikan (kekuatan) relatif tidak berhubungan dengan keawetan kayu. Namun demikian, selain serangan organisme perusak, ada faktor-faktor abiotik yang juga mampu merombak atau mengurai unsur- unsur penyusun kayu dan mempengaruhi umur pakai kayu (keawetan) serta kekuatannya. Hanya saja faktor abiotik ini relatif membutuhkan waktu yang lama untuk melihat dampaknya secara nyata dibanding dengan faktor biotik.

Kemampuan memahami bentuk dan lingkungan interaksi kayu dengan faktor- faktor perusaknya sangat diperlukan untuk dapat melakukan pengendalian atau perlakuan-perlakuan yang diperlukan bagi optimalisasi penggunaan kayu dalam suatu lingkungan tertentu. Hal ini sangat relevan mengingat besarnya potensi jenis-jenis kayu kita dan tingginya kesesuaian lingkungan kita bagi keberadaan dan berkembangnya berbagai faktor perusak. Negara kita Indonesia memiliki 4.000-an jenis kayu dan diperkirakan hanya 15 – 20 % saja yang secara alami mempunyai daya tahan yang tinggi terhadap organisme perusak kayu, sedangkan 80 - 85% termasuk dalam kelas awet rendah. Meskipun demikian, ini tidak berarti bahwa kayu-kayu yang secara alami tidak awet ini juga memiliki kekuatan yang rendah. Bahkan, sebagian besar kayu-kayu tersebut cukup memenuhi syarat untuk digunakan sebagai bahan bangunan karena memiliki kekuatan yang memadai. Hanya saja, akibat rentannya kayu tersebut terhadap serangan organisme perusak dapat berakibat pada menurunnya kekuatan kayu dalam penggunaannya. Hubungan ini akan lebih nyata lagi bila keadaan lingkungan penggunaannya sangat kondusif bagi munculnya faktor-faktor perusak kayu yang mampu Kemampuan memahami bentuk dan lingkungan interaksi kayu dengan faktor- faktor perusaknya sangat diperlukan untuk dapat melakukan pengendalian atau perlakuan-perlakuan yang diperlukan bagi optimalisasi penggunaan kayu dalam suatu lingkungan tertentu. Hal ini sangat relevan mengingat besarnya potensi jenis-jenis kayu kita dan tingginya kesesuaian lingkungan kita bagi keberadaan dan berkembangnya berbagai faktor perusak. Negara kita Indonesia memiliki 4.000-an jenis kayu dan diperkirakan hanya 15 – 20 % saja yang secara alami mempunyai daya tahan yang tinggi terhadap organisme perusak kayu, sedangkan 80 - 85% termasuk dalam kelas awet rendah. Meskipun demikian, ini tidak berarti bahwa kayu-kayu yang secara alami tidak awet ini juga memiliki kekuatan yang rendah. Bahkan, sebagian besar kayu-kayu tersebut cukup memenuhi syarat untuk digunakan sebagai bahan bangunan karena memiliki kekuatan yang memadai. Hanya saja, akibat rentannya kayu tersebut terhadap serangan organisme perusak dapat berakibat pada menurunnya kekuatan kayu dalam penggunaannya. Hubungan ini akan lebih nyata lagi bila keadaan lingkungan penggunaannya sangat kondusif bagi munculnya faktor-faktor perusak kayu yang mampu

Ketahanan alami kayu yang bervariasi menunjukkan adanya faktor-faktor bawaan yang mempengaruhinya. Faktor-faktor ini perlu diketahui sebagai bahan referensi dalam memperkirakan atau menentukan kelas ketahanan kayu, baik kekuatan maupun keawetannya. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan alami kayu secara umum adalah seluruh sifat-sifat dasarnya yang meliputi struktur anatomi, sifat fisis, dan unsur kimia penyusunnya. Faktor-faktor ini juga memiliki hubungan yang kuat satu sama lain.

B. Bahan Diskusi

Pada bagian ini, mahasiswa secara sendiri-sendiri atau kelompok diminta untuk mendiskusikan dan menyampaikan pendapat tentang bagaimana sifat-sifat dasar kayu mempengaruhi ketahanan kayu (kekuatan dan keawetan). Secara umum, diskusi dijalankan dengan menggunakan skema pertanyaan berikut.

Struktur Anatomi Sifat Fisis Komponen Kimia ?????? Kekuatan ?????? Keawetan ??????

Diskusi dalam kelas dilaksanakan dengan mekanisme sebagai berikut:

1. Peserta mata kuliah dibagi atas tiga kelompok, yaitu: (1) Anatomi; (2) Fisis; dan (3) Kimia.

2. Setiap kelompok memilih ketua kelompok yang akan memimpin diskusi internal kelompoknya untuk mengidentifikasi sifat-sifat dasar, sesuai kelompoknya, yang dapat mempengaruhi kekuatan dan keawetan kayu.

3. Diskusi dilanjutkan dengan membahas bentuk pengaruh dari sifat-sifat yang telah diidentifikasi tersebut.

4. Ketua kelompok mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya di depan kelas untuk ditanggapi oleh kelompok lainnya.

C. Bahan Bacaan Pengayaan

D. Latihan/ Soal-Soal

1. Jelaskan hubungan antara sifat anatomi kayu dengan kekuatan dan keawetannya, berikan salah satu contoh kasus !

2. Jelaskan hubungan antara sifat kimia kayu dengan kekuatan dan keawetannya, berikan salah satu contoh kasus !

3. Jelaskan hubungan antara sifat fisis kayu dengan kekuatan dan keawetannya, berikan salah satu contoh kasus !

BAB II FAKTOR ABIOTIK PERUSAK KAYU

Tujuan Umum : Bab ini secara umum bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada mahasiswa tentang faktor abiotik perusak kayu, kondisi dan tingkat serangan, serta penanganannya secara awal. Tujuan Khusus : Bab ini secara khusus memberikan kemampuan kepada mahasiswa untuk dapat menganalisis potensi kerusakan kayu akibat faktor abiotik.

Deteriorasi kayu akibat faktor abiotik dapat dilihat pada unsur kayu bangunan yang mengalami perubahan warna setelah digunakan dalam jangka waktu tertentu. Kerusakan ini akan semakin besar jika kayu tersebut tidak diberikan perlakuan/perlindungan sebagaimana mestinya, terlebih lagi jika digunakan pada kondisi yang terekspos terhadap lingkungan luar. Banyak faktor yang menyebabkan kondisi tersebut dapat terjadi. Umumnya, hal tersebut disebabkan oleh pengaruh cuaca (weathering), dimana kayu akan mengalami oksidasi dan fotodegradasi oleh sinar ultraviolet dari matahari.

Selain akibat cuaca, faktor lain yang juga dapat menyebabkan deteriorasi adalah api dimana seringkali terjadi suatu bangunan mengalami kebakaran yang akibatnya akan menghabiskan konstruksi tersebut. Faktor lain adalah adanya zat kimia yang mengenai kayu terutama pada peralatan penampungan bahan kimia maupun meja-meja laboratorium yang terbuat dari kayu. Keberadaan faktor-faktor ini sangat penting untuk dipahami agar dapat diupayakan suatu tindakan pencegahan deteriorasi kayu akibat faktor abiotik tersebut. Secara umum dapat dikatakan bahwa faktor abiotik ialah faktor yang disebabkan oleh unsur pengaruh alam dan keadaan alam itu sendiri, yang terdiri atas:

1. Faktor fisik, ialah keadaan atau sifat alam yang mampu merusak komponen kayu sehingga umur pakainya menjadi pendek. Yang termasuk faktor fisik antara lain: suhu

dan kelembaban udara, panas matahari, api, udara dan air. Semua yang termasuk faktor fisik itu mempercepat kerusakan kayu bila terjadi penyimpangan. Misalnya bila kayu tersebut terus-menerus kena panas maka kayu akan cepat rusak.

2. Faktor mekanik, terdiri atas proses kerja alam atau akibat tindakan manusia. Yang termasuk faktor mekanik antara lain: pukulan, gesekan, tarikan, tekanan dan lain

sebagainya. Faktor mekanik berhubungan erat sekali dengan tujuan pemakaian.

3. Faktor kimia, juga mempunyai pengaruh besar terhadap umur pakai kayu. Faktor ini bekerja mempengaruhi unsur kimia yang membentuk komponen seperti selulosa,

lignin dan hemiselulosa. Unsur kimia perusak kayu antara lain: pengaruh garam, pengaruh asam dan basa.

Secara khusus, pada bab ini akan dibahas faktor perusak kayu yang berasal dari unsur-unsur alam (faktor abiotik) yaitu faktor fisik (air, cuaca/weathering, panas/thermal decomposition), faktor kimia (chemical decomposition) dan faktor mekanis (mechanical wear).

A. Faktor Fisik

A.1. Air Air sebagai salah satu kebutuhan dalam pertumbuhan pohon akan mengisi dinding sel dan rongga sel kayu. Seperti diketahui bahwa air pada sel dapat berupa air terikat, air bebas dan uap air. Air terikat (bound water) adalah air yang terdapat pada dinding sel, sedangkan air bebas (free water) dan uap air adalah air yang terdapat pada rongga sel. Air bebas akan mempengaruhi berat kayu sedangkan air terikat akan mempengaruhi berat dan dimensi kayu. Dengan demikian, kadar air kayu sangat mempengaruhi sifat-sifat kayu seperti stabilitas dimensi, sifat mekanik dan ketahanan terhadap kerusakan.

Telah diketahui bahwa kayu merupakan bahan yang bersifat higroskopis, karena polimer dinding selnya mengandung gugus hidroksil yang reaktif. Pada lingkungan yang mengandung uap air, kayu kering akan menyerap uap air sampai kadar air kesetimbangan dengan lingkungan. Begitu juga kayu yang jenuh air ketika ditempatkan ditempat yang kelembaban relatifnya lebih rendah akan kehilangan uap air sampai kadar air kesetimbangan dengan lingkungan. Dimensi kayu akan berubah sejalan dengan perubahan kadar air dalam dinding sel, karena di dalam dinding sel terdapat gugus OH (hidroksil) dan oksigen lain yang bersifat menarik uap air melalui ikatan hidrogen.

Kembang susut kayu yang paling besar berturut-turut adalah pada bidang tangensial, radial dan aksial. Stabilitas dimensi kayu adalah kemampuan kayu itu untuk menahan perubahan dimensi karena perubahan kondisi kadar air.

Ada beberapa cara untuk mengurangi perubahan dimensi kayu yang disebabkan oleh air yaitu:

1. Menghalangi penyerapan uap air dengan pelapisan produk, berupa pelapisan dengan cat dan resin sintetis. Cara ini merupakan cara yang umum tapi tidak efektif, karena hanya akan memperlambat laju difusi dan tidak mampu menghalangi gerakan uap air secara sempurna.

2. Menghalangi perubahan dimensi dengan penahanan yang membuat gerakan menjadi sukar atau tidak mungkin. Masalah pada cara ini adalah terjadinya tekanan-tekanan internal apabila kayu berusaha mengembang tetapi dihalangi, sehingga dapat mengakibatkan gangguan bentuk atau cacat kayu.

3. Memperlakukan kayu dengan bahan yang menggantikan semua atau sebagian air terikat di dalam dinding sel. Dilakukan pada kayu yang masih segar dan bahan perlakuan tetap tinggal dalam dinding sel ketika kayu tersebut dikeringkan. Bahan yang pertama digunakan adalah resin fenol formaldehid (PF) melalui proses impregnasi. Bahan lainnya adalah polietilen glikol (PEG), berupa seperti lilin yang dilarutkan dengan air.

4. Menghasilkan kayu untuk menghasilkan saling ikatan silang antara gugus hidroksil dalam dinding sel kayu. Ikatan silang dapat mengurangi higroskopisitas kayu dengan mengurangi tempat ikatan untuk air di dalam dinding sel.

5. Pengisian dengan monomer-monomer plastik seperti metil metakrilat dan stiren akrilonitril. Monomer tersebut dapat dipolimerisasikan dengan radiasi atau pemanasan dengan katalisator yang sesuai.

Sebagai contoh, suatu penelitian modifikasi kimia pada kayu karet dengan styrene yang dikombinasikan dengan crosslinker Glycidyl Methacrylate (GMA) menunjukkan bahwa perlakuan ini mampu memperbaiki stabilitas dimensi dalam hal % pengembangan Sebagai contoh, suatu penelitian modifikasi kimia pada kayu karet dengan styrene yang dikombinasikan dengan crosslinker Glycidyl Methacrylate (GMA) menunjukkan bahwa perlakuan ini mampu memperbaiki stabilitas dimensi dalam hal % pengembangan

A.2. Pencuacaan (Weathering) Weathering adalah proses yang terjadi pada permukaan kayu dan melibatkan cahaya yang menyebabkan kerusakan lignin sehingga terurai dan dapat larut dalam air. Apabila hal tersebut terjadi, lignin akan tercuci dari permukaan kayu dan meninggalkan permukaan yang kaya komponen selulosa. Ada beberapa pendapat bahwa degradasi lignin kemungkinan berasosiasi dengan kerusakan karbohidrat dalam proses weathering. Faktor kunci yang menyebabkan weathering kayu adalah cahaya UV dan air, meskipun terdapat juga indikasi keterlibatan cahaya tampak. Selain itu juga terdapat peran radikal bebas dalam proses oksidatif yang terjadi selama weathering, dan beberapa polutan di udara seperti sulfur dioksida dan nitrogen dioksida memperburuk proses weathering kayu. Adanya fakta weathering pada kayu mengakibatkan dibutuhkannya proteksi permukaan seperti cat atau lapisan penutup lainnya dalam berbagai aplikasi.

Faktor perusak kayu yang disebabkan oleh cuaca (weathering) terutama berupa fotodegradasi oleh sinar ultra violet (UV) dan oksidasi. Fakta-fakta yang terkait dengan pencuacaan dapat dikemukakan sebagai berikut:

1. kerusakan fotokimia komponen dinding sel kayu oleh gelombang pendek dan gelombang panjang UV,

2. reaksi oksidasi dari produk dekomposisi komponen dinding sel,

3. pencucian produk dekomposisi yang mudah larut, dan

4. kerusakan mekanik elemen permukaan yang terkait dengan pengembangan dan penyusutan kayu akibat pembasahan (wetting) dan pengeringan (drying).

Permukaan kayu yang diekspos terhadap cuaca akan terdekomposisi, dimana di antara komponen utama kayu, lignin mempunyai absorpsi sinar UV terbesar dibandingkan dengan komponen kayu lainnya. Dengan demikian lignin juga merupakan komponen pertama yang akan terdekomposisi oleh radiasi UV. Radiasi UV menyebabkan terjadinya perubahan warna alami kayu dimana warna kayu berangsur- Permukaan kayu yang diekspos terhadap cuaca akan terdekomposisi, dimana di antara komponen utama kayu, lignin mempunyai absorpsi sinar UV terbesar dibandingkan dengan komponen kayu lainnya. Dengan demikian lignin juga merupakan komponen pertama yang akan terdekomposisi oleh radiasi UV. Radiasi UV menyebabkan terjadinya perubahan warna alami kayu dimana warna kayu berangsur-

Evans et al. (1992) dalam Plackett et. al (1996) meneliti tingkat delignifikasi permukaan radiata pine (Pinus radiata D. Don) menggunakan finir yang diekspos pada kondisi cuaca alami dan menunjukkan kehilangan lignin secara substansial setelah 3 hari dipaparkan. Kehilangan berat sampel yang terjadi ternyata karena rusaknya lignin akibat pencucian oleh air hujan. Penelitian yang dilakukan oleh Norrstrom (1969) dalam Plackett et. al (1996) menunjukkan bahwa degradasi kayu yang disebabkan oleh UV 80 – 90% terjadi pada lignin, 5 – 20% pada karbohidrat, dan hanya 2% pada ekstraktif. Berdasarkan Scanning electron microscopy (SEM) dan transmission electron microscopy (TEM) ternyata bahwa lignin pada sudut dinding sel dan lamella tengah lebih dahulu terdegradasi pada tahap awal penyinaran UV pada percobaan laboratorium. Degradasi dinding sel secara massif tidak terjadi saat permukaan kayu diekspos pada cahaya UV selama lebih dari 10 hari.

Hon dan Chang (1984) dalam Plackett et. al (1996) menunjukkan bahwa kandungan lignin pada permukaan southern yellow pine turun dari 28% menjadi 14,5 % pada pemaparan dengan cahaya UV. Dikatakan juga bahwa absorpsi cahaya UV oleh lignin dapat menghasilkan transfer energi dan berkontribusi terhadap pemecahan sellulosa. Hemisellulosa memiliki karakteristik absorpsi UV yang hampir identik dengan selulosa (Hon, 1981) dan dapat menghasilkan degradasi produk yang lebih larut dalam air dibandingkan dengan sellulosa pada derajat polimerisasi yang sama.

Di antara semua faktor lingkungan yang dapat menyebabkan degradasi pada kayu, sinar UV dari cahaya matahari merupakan penyebab kerusakan terbesar. Dari komponen utama kayu, lignin berkontribusi 80-95% terhadap koefisien penyerapan UV oleh kayu, sementara karbohidrat 5-12% dan ekstraktif 2% (Kuo dan Hu, 1991 dalam Pastore et al. 2004). Lignin merupakan komponen pertama yang didekomposisi oleh radiasi UV (Hon dan Feist, 1986 dalam Pastore et al. 2004) melalui mekanisme kompleks oleh radikal bebas (Moore dan Owen, 2000 dalam Pastore et al. 2004). Selanjutnya Pastore et al. (2004) menyatakan bahwa warna alami kayu akan berubah dengan cepat jika diekspos Di antara semua faktor lingkungan yang dapat menyebabkan degradasi pada kayu, sinar UV dari cahaya matahari merupakan penyebab kerusakan terbesar. Dari komponen utama kayu, lignin berkontribusi 80-95% terhadap koefisien penyerapan UV oleh kayu, sementara karbohidrat 5-12% dan ekstraktif 2% (Kuo dan Hu, 1991 dalam Pastore et al. 2004). Lignin merupakan komponen pertama yang didekomposisi oleh radiasi UV (Hon dan Feist, 1986 dalam Pastore et al. 2004) melalui mekanisme kompleks oleh radikal bebas (Moore dan Owen, 2000 dalam Pastore et al. 2004). Selanjutnya Pastore et al. (2004) menyatakan bahwa warna alami kayu akan berubah dengan cepat jika diekspos

Miniutti (1964) dalam Plackett et. al (1996) menggunakan SEM untuk menunjukkan bahwa perubahan utama yang terjadi pada kayu yang disinari UV adalah rusaknya noktah pada pinggir dinding sel radial dan pembentukan microcheck sepanjang sudut fibril dalam dinding sel tangensial. Dalam studi yang sama, SEM juga digunakan untuk menjelaskan degradasi awal lignin pada sudut sel dan dalam lamella tengah selama tahap awal penyinaran UV. Groves dan Banana (1986) menggunakan SEM untuk meneliti weathering alami Pinus radiata dan menemukan bahwa deteriorasi mikrostruktur kayu terjadi setelah 4 bulan dipaparkan. Degradasi permukaan dan pengikisan permukaan kayu terjadi setelah 6 bulan dipaparkan.

Feist (1982) dalam Plackett et. al (1996) menyimpulkan bahwa aspek signifikan weathering kayu pada aplikasi struktural menimbulkan pengaruh estetik seperti perubahan warna, kekasaran, retak permukaan, timbulnya kotoran, dan pertumbuhan lumut/jamur. Perubahan tersebut dapat terjadi sangat cepat, tapi sering juga hanya sedikit perubahan nyata lebih lanjut selama beberapa tahun dengan ketiadaan perusak. Hon (1983) dalam Plackett et. al (1996) mereview reaksi weathering dan proteksi permukaan kayu dan menyatakan bahwa pada umumnya cuaca menyebabkan terjadinya diskolorisasi pada kayu antara 3 dan 4 bulan setelah pertama kali dipaparkan (Gambar 1).

Gambar 1. Perubahan warna akibat pencuacaan di luar ruangan western red cedar, redwood, southern yellow pine, dan Douglas fir di

USA

Penelitian di New Zealand yang melakukan pemaparan Pinus radiata dan western red cedar (Thuja plicata) memberikan hasil yang sama (Gambar 2).

Gambar 2. Perubahan warna akibat pencuacaan di luar ruangan radiata pine dan western red cedar di New Zealand

Bila kayu tidak dilindungi dengan pelapisan (coating) dan terpapar ke atmosfer dan matahari, disintegrasi fisik dan kimia secara perlahan akan terjadi pada permukaan kayu. Permukaan kayu segar mulai berubah warna setelah beberapa minggu terpapar di luar ruangan (outdoor). Pertama kali kayu tercuci (leaching) dan kemudian berubah secara Bila kayu tidak dilindungi dengan pelapisan (coating) dan terpapar ke atmosfer dan matahari, disintegrasi fisik dan kimia secara perlahan akan terjadi pada permukaan kayu. Permukaan kayu segar mulai berubah warna setelah beberapa minggu terpapar di luar ruangan (outdoor). Pertama kali kayu tercuci (leaching) dan kemudian berubah secara

Pada awalnya, warna kayu berubah menjadi coklat sebagai hasil dekomposisi fotokimia lignin dan zat ekstraktif membentuk radikal bebas yang menimbulkan dekomposisi lanjut karbohidrat struktural dan oksidasi sebagian fenolik. Permukaan yang tercuci lalu mengeluarkan produk dekomposisi yang mudah terlarut, memaparkan karbohidrat struktural yang lebih tahan terhadap penyinaran (photoresistant) yang juga didegradasi secara fotokimia dan dioksidasi oleh produk dekomposisi dan agen atmosfer.

Xilan didekomposisi dan lebih mudah tercuci dibandingkan dengan selulosa atau hemiselulosa kaya glukan. Residu selulosa dan permukaan yang ditumbuhi oleh jamur berpigmen seperti Aureobasidium pullulans membentuk warna abu-abu. Laju pencuacaan akan berkurang bila lapisan luar (outer shell) yang mengalami pencuacaan telah terbentuk dan melindungi permukaan kayu dari kerusakan fotokimia lebih lanjut. Namun pembasahan dan pengeringan yang berkesinambungan dari permukaan yang tercuacakan menimbulkan keretakan permukaan, kerusakan mekanik terlokalisasi dan pengelupasan kulit secara perlahan dari permukaan. Variasi laju pencuacaan dapat disebabkan oleh perbedaan geografis, lokasi, metode pengujian dan spesies kayu. Pencuacaan diperkirakan menghilangkan permukaan kayu 6 -7 mm per abad di zona temparate (Browne, 1960; Kuhne et al., 1972) dalam Arif (2002) dan 1 mm per abad untuk kayu yang terpapar di kutub utara.

Coating atau film yang mengabsorpsi atau merefleksikan sinar UV dan mengurangi perubahan kadar air permukaan merupakan metode pencegahan pencuacaan konvensional pada kayu yang terpapar di luar ruangan. Perlakuan dengan penolak air (water repellent treatment) juga mengurangi fluktuasi kadar air pada pemakaian kayu di luar ruangan.

Perlakuan kayu dengan bahan kimia seperti Cr 2 O 3 mengurangi pencuacaan dan dilaporkan dua kali lipat masa pakai dari lateks dan cat berbasis minyak (Feist dan Ellis, 1978) dalam Arif (2002).

A.3. Faktor Panas (Thermal Decomposition) Lignoselulosa terbakar karena polimer dinding sel mengalami reaksi pirolisis dengan meningkatnya suhu yang menguapkan zat-zat volatil dan gas-gas yang mudah terbakar. Polimer selulosa dan hemiselulosa lebih dahulu terdegradasi oleh panas sebelum lignin. Komponen lignin berperan terhadap pembentukan arang dan lapisan arang ini melindungi komposit dari degradasi panas. Hubungan antara panas dengan kerusakan kayu yang terjadi dapat dilihat pada Gambar 3 berikut :

Gambar 3. Hubungan antara panas dengan kerusakan kayu yang terjadi

Dekomposisi kayu karena panas, seperti banyak senyawa karbon, mudah terjadi pada suhu tinggi. Pada awalnya, perubahan perlahan mulai sekitar suhu 100 o

C. Terdapat perubahan warna, kehilangan kekuatan yang serius, pengurangan sifat higroskopisitas, kehilangan berat, dan evolusi gas seperti CO, CO 2 , CH 2 dan uap air. Perubahan tersebut tergantung waktu dan meningkat cepat pada suhu yang lebih tinggi. Pembakaran

(combustion) dengan pancaran cahaya dan panas terjadi pada suhu sekitar 275 o C.

Proses pada Suhu Rendah (<200 o C)

Pengaruh suhu rendah pada kayu sangat penting karena kehilangan kekuatan yang nyata terjadi pada kisaran suhu ini. Dekomposisi panas kayu mulai pada suhu 100 o C.

Kayu berubah coklat, permukaan menjadi rapuh (brittle), dan perlahan terjadi kehilangan berat dan kehilangan kekuatan. Pengaruh suhu ini dapat diamati pada balok yang

diletakkan pada oven (104 o

C) selama beberapa minggu atau papan gergajian yang dikeringkan secara berlebih di kilang pengering (kiln dry). Warna kecoklatan dan permukaan brashness dari kayu, mirip tahap awal dari beberapa pelapuk coklat (brown rot). Keseragaman pewarnaan dan tidak adanya struktur jamur memudahkan memisahkan kerusakan akibat panas dengan pelapukan tahap awal.

MacLean (1951) dalam Arif (2002) menetapkan kehilangan berat kayu terkait dengan variasi suhu dan periode keterpaparan, rata-rata dari 11 spesies komersil, sebagai berikut :

Periode o Keterpaparan Suhu ( C) Kehilangan Berat (%)

Kekuatan cepat berkurang oleh pemaparan pada suhu tinggi (Gambar 3). Tidak ada asap atau penyalaan kayu dihasilkan bila kayu dipaparkan pada suhu di bawah 200 o C.

Gas-gas utama yang dilepaskan adalah CO 2 dan uap air.

Proses pada Suhu Tinggi (>200 o C)

Pirolisis (pemanasan tanpa adanya O 2 ) dikenal selama proses distilasi kayu (wood- distillation process) dimana dihasilkan gas-gas yang mudah terbakar yaitu CH4 dan CO. Juga banyak senyawa dilepaskan seperti asam asetat, metanol, asam format, furfural, fenol dan kresol. Asam-asam menyebabkan mata perih oleh asap dan produk furfural Pirolisis (pemanasan tanpa adanya O 2 ) dikenal selama proses distilasi kayu (wood- distillation process) dimana dihasilkan gas-gas yang mudah terbakar yaitu CH4 dan CO. Juga banyak senyawa dilepaskan seperti asam asetat, metanol, asam format, furfural, fenol dan kresol. Asam-asam menyebabkan mata perih oleh asap dan produk furfural

Pada pembakaran, kayu akan cepat terdekomposisi pada suhu di atas 200 o C dengan adanya O 2 dan melepaskan gas-gas yang mudah terbakar seperti CH 4 dan CO. Pada suhu

sekitar 275 o

C, suhu nyala dan panas yang dilepaskan mempercepat pembakaran dan proses dekomposisi. Urutan pemutusan komponen dinding sel dengan bertambahnya suhu adalah hemiselulosa, selulosa dan lignin. Hemiselulosa kurang stabil terhadap panas dan

mengalami dekomposisi pada kisaran suhu 225-325 o

C. Lignin terdekomposisi pada kisaran suhu 250-500 o

C, sedangkan selulosa pada suhu lebih tinggi dan terbatas pada kisaran 325-375 o C (Shafizadeh dan Chin, 1977) dalam Arif (2002). Kayu yang

terkarbonisasi pada tahap akhir dekomposisi secara tekstural mirip brown rot dan menarik untuk dicatat bahwa lignin juga merupakan komponen kayu terakhir yang dikonsumsi sempurna pada beberapa pelapukan jamur.

A.4. Fire Retardant

Daya tahan bakar kayu dapat ditingkatkan misalnya dengan membuat kayu itu menjadi anti api (fire proof), antara lain sebagai berikut :

1. Menutup kayu itu dengan bahan lapisan yang tidak mudah terbakar yang berfungsi melindungi lapisan kayu di bawahnya terhadap api, misalnya asbes atau pelat logam

2. Menutup kayu itu dengan bahan-bahan kimia yang bersifat mencegah terbakarnya kayu, misalnya jenis cat tahan api, persenyawaan garam antara lain amonium dan boor zuur

3. Mengimpregnir kayu itu dengan macam-macam bahan kimia yang bersifat mengurangi terbakarnya kayu. Ada juga bahan-bahan lain yang menghasilkan gas yang dapat mencegah api tersebut

4. Bahan kimia penahan yang efektif adalah ammonium fosfat, ammonium sulfat, boraks, dan seng klorida. Bahan tersebut telah diteliti secara empirik namun mekanisme perlindungannya kurang dipahami.

B. Faktor Kimia

Sebagai bahan struktural, kayu memperlihatkan ketahanan terhadap serangan kebanyakan bahan kimia. Untuk alasan ini, kayu sering digunakan untuk pembuatan tong penyimpan, tangki, tangki pendingin, atau struktur dimana berhubungan dengan bahan kimia kaustik yang menyebabkan terjadinya kondensasi, aerosol atau percikan. Sebagai contoh, bukti deteriorasi kayu yang dilaporkan pada beberapa pabrik pulp kraft akibat kayu terpapar dalam waktu lama terhadap asam lemah dan basa lemah pada suhu dan kelembaban tinggi (Barton, 1982) dalam Arif (2002). Karena kayu merupakan bahan baku kimia utama untuk industri kertas dan turunan selulosa, banyak informasi telah dihasilkan pada reaksi kayu dan komponennya terhadap banyak bahan kimia. Informasi ini membentuk dasar bagi proses industri dalam kisaran yang luas. Informasi pada topik tersebut tersedia dalam buku kimia kayu, kimia selulosa dan pembuatan kertas.

Smith (1980) dalam Arif (2002) menyusun daftar spesies kayu yang direkomendasikan untuk penggunaan pada lingkungan yang bersifat korosif seperti kontainer untuk asam, terpapar ke asap asam atau kontainer untuk cairan korosif ringan. Kayu konifer pada umumnya lebih tahan terhadap serangan bahan kimia korosif daripada kebanyakan kayu daun lebar. Kriteria untuk kayu tahan bahan kimiawi adalah spesies yang kaya α–selulosa dan lignin serta rendah xilan.

Asam terutama mendegradasi karbohidrat kayu, dan ketahanan lignin yang tinggi terhadap asam kuat merupakan dasar untuk penentuan analisis lignin melalui pelarutan karbohidrat kayu dengan 72% H 2 SO 4 . Residu yang tidak larut dari hasil penyaringan didefinisikan sebagai lignin Klason. Asam menghidrolisis ikatan β (1-4) glikosida selulosa dan hemiselulosa menghasilkan pengurangan kekuatan tarik (tensile strenght) secara drastis. Kayu pada tahap awal dekomposisi berubah coklat dan menjadi brittle dan Asam terutama mendegradasi karbohidrat kayu, dan ketahanan lignin yang tinggi terhadap asam kuat merupakan dasar untuk penentuan analisis lignin melalui pelarutan karbohidrat kayu dengan 72% H 2 SO 4 . Residu yang tidak larut dari hasil penyaringan didefinisikan sebagai lignin Klason. Asam menghidrolisis ikatan β (1-4) glikosida selulosa dan hemiselulosa menghasilkan pengurangan kekuatan tarik (tensile strenght) secara drastis. Kayu pada tahap awal dekomposisi berubah coklat dan menjadi brittle dan

Alkali menyerang kayu lebih hebat pada kondisi waktu-suhu dan konsentrasi yang setara dengan asam. Alkali melarutkan hemiselulosa dan mengubah lignin menjadi bentuk kompleks lignin-alkali yang mudah larut. Selulosa pada dasarnya tidak berubah. Kebanyakan proses pulping kayu mengupayakan tipe reaksi alkali ini.

Pada konsentrasi tinggi, bahan kimia alkali kuat menyebabkan kayu menjadi serat dan tercuci seperti halnya kayu yang terserang jamur pelapuk putih (white rot). Kayu mengembang dan terjadi pengurangan kekuatan yang tajam.

Wangaard (1966) dalam Arif (2002) menggambarkan perbedaan antara pengaruh asam kuat dan basa kuat pada berbagai konsentrasi dan suhu terhadap kekuatan kayu konifer dan kayu daun lebar (Tabel 1)

Tabel 1. Pengaruh asam kuat dan basa kuat pada berbagai konsentrasi dan suhu terhadap kekuatan kayu konifer dan kayu daun lebar

MOR (sebagai % kontrol)

Jenis

10% NaOH Kayu

20 o C 50 C 20 C 50 C 20 C 50 C 20 C 50 C Douglas fir 91 85 76 57 56 40 39 28

White oak 70 51 39 30 26 22 20 15 Sumber : Wangaard, 1966

Erikson dan Reese (1940) memperlihatkan bahwa kayu yang terpapar pada alkohol, aseton dan benzene menurunkan pengembangan (swelling) dan meningkatkan kehilangan kekuatan yang dinyatakan dengan berat molekul dan kompleksitas struktur dari senyawa organik tersebut. Perlakuan kayu dengan ammonia secara temporal menyebabkan banyaknya reduksi pada ketahanan bengkok (bending resistance) dan memungkinkan kayu menjadi bengkok pada sudut tajam menjadi berbagai sudut tanpa patah.

Perlakuan kayu dengan sejumlah garam dilaporkan meningkatkan ketahanan rusak (crushing resistance). Perlakuan dengan garam asam seperti Na2CrO3 telah dilaporkan Perlakuan kayu dengan sejumlah garam dilaporkan meningkatkan ketahanan rusak (crushing resistance). Perlakuan dengan garam asam seperti Na2CrO3 telah dilaporkan

Kontak yang lama antara kayu dengan besi menyebabkan embrittlement dan hilangnya kekuatan tarik (Baker, 1974). Terdapat laporan bahwa dekomposisi kayu dari besi menurunkan sifat daya pegang paku, dimana paku pada awalnya dipasangkan ke dalam kayu gergajian segar. Penggunaan paku tergalvanisasi (dilapisi seng) atau kayu gergajian kering akan meminimalkan masalah ini. Karena besi beroksidasi (berkarat) membentuk besi hidroksida yang mengkatalisis reaksi oksidasi dan depolimerisasi selulosa menjadi oksiselulosa.

C. Faktor Mekanis

Faktor mekanis (mechanical wear) dari kayu merupakan sumber minor deteriorasi kayu dan melibatkan gaya-gaya yang merobek dan melepaskan bagian kecil permukaan kayu. Penting hanya pada sedikit kasus penggunaan kayu khusus dimana terjadi gesekan dan sobekan permukaan yang hebat, seperti anak tangga, menara pendingin, lantai pabrik sekitar mesin berat, dan kontak paku dan plat pada bantalan kereta api. Partikel pasir yang diterbangkan angin dapat menyebabkan kerusakan mekanis terhadap tiang, tunggak dan kayu yang tidak dicat di daerah gurun dan sepanjang pantai. Contoh lain kerusakan mekanis sering terlihat pada galangan kapal muat atau panggung/peron. Muatan yang berat dengan sudut tajam menyebabkan abrasi dan keretakan pada permukaan kayu, yang sepanjang waktu mengembangkan tekstur berserat mirip yang terdapat pada tahap akhir pelapukan oleh jamur. Metode pencegahan mencakup pemilihan kayu dengan kekerasan permukaan tinggi, susunan serat sisi/pinggir kayu pada bagian yang mengalami gesekan kuat dan perlindungan zona kerusakan tinggi dengan plat logam atau penggunaan polimer pengeras kayu.

D. Tugas/ Bahan Diskusi

Semua peserta mata kuliah ditugaskan untuk membuat sebuah paper mengenai biodeteriorasi kayu yang diakibatkan oleh salah satu faktor abiotik sebagaimana yang telah dipaparkan di atas menggunakan berbagai sumber pustaka terbaru !

E. Latihan Soal

Menurut Anda, faktor perusak mana yang paling sulit dicegah di antara faktor-faktor perusak abiotik tersebut di atas ?

1. Faktor mana yang menimbulkan kerugian paling besar ?

2. Upaya apa yang paling praktis dilakukan untuk mencegah kerusakan kayu akibat faktor abiotik !

F. Bahan Bacaan Pengayaan

Tinjauan Hasil-hasil Penelitian Faktor-faktor Alam yang Mempengaruhi Sifat Fisik dan Mekanik Kayu Indonesia

1 Wahyu Dwianto 2 dan Sri Nugroho Marsoem

1. UPT Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia 2. Fakultas Kehutanan, Universitas Gajah Mada

Abstract

This review deals with several topics concerning natural factors affecting physical and mechanical properties of wood, i.e. (1) wood species; (2) age and location of growing; (3) position of wood sample in the stem; (4) diameter; (5) humidity, moisture content, and temperature; (5) weathering and fungi; (6) forest fired; that have been done by researchers who are members of Indonesian Wood Research Society. The purposes of this review are (1) to evaluate the research results that have been done, (2) to promote the applicable and feasible utilization of research results to the users, (3) to provide information concerning previous researches that might be useful for further researches. More than 60 wood species have been reported in this review. Besides the major and minor commercial wood species; lesser known species, i.e. Balsa (Ochroma spp.), Randu

(Ceiba pentandra Gaertn.), Merkubung (Macaranga sp.), Cengkeh (Eugenia aromatica L.), Afrika (Maesopsis eminii), Kisereh (Cinnamomum porrectum (Roxb) Kosterm), Kibawang (Melia excelsa Jack.), Pulai Konggo (Alstonia kongoensis Engl.), Sengon Buto (Enterolobium cyclocarpum Griserb.), Salamander (Grevillea robusta A.Cunn.), Kilemo (Litsea cubeba Pers.), Tahongai (Kleinhovia hospita Linn.), Sukun (Arthocarpus altilis), Arang (Diospyros borneensis), Berumbung (Adina minutifolia), Tisuk/Waru (Hibiscus macrophyllus), Urograndis (Eucalyptus urograndis), Kelapa (Cocos nucifera L.), Kelapa Sawit (Eleais guineensiis Jacq.), Laban (Vitex Pubescens Vahl.), Rambai (Baccaurea motleyana Muell.), Ki Sampang (Evodia latifolia DC.), Nangka (Artocarpus integra Merr.), Kalapi (Kalappia celebica), Gofasa (Vitex coffasus), Ketileng (Vitex glabrata), Cemara (Gymnostoma sp.), and Lamtoro (Leucaena glauca (Willd) Benth). have also been observed. The researches were generally done in relation to the utilization prospect of lesser known species, crops estate species, fast growing species, timber estate species, rural forest species, commercial species, for contruction/structural materials, handy-craft, musical instruments, or out-door exposures.

Wood properties were interaction between specific gravity or density, moisture content, shrinkage and mechanical properties of wood. However, the values of those physical and mechanical properties in the papers could not directly compared to each other, because there were various testing standard and strength classification used. And unfortunately, researches on acoustic, thermal, electrical, creep, relaxation, and fatigue behaviour of Indonesian wood species were very rare or almost none.

Key words: lesser known species, physical and mechanical properties, testing standard and strength classification.

Peneliti Kayu Indonesia (Mapeki). Seluruh Makalah ini menguraikan hasil-hasil makalah yang akan dibahas telah penelitian sifat fisik dan mekanik jenis- dipresentasikan di Seminar Nasional jenis kayu Indonesia yang telah dilakukan Mapeki ke I s/d VIII (1998 ~ 2005). oleh para peneliti anggota Masyarakat Tujuan tinjauan makalah ini adalah untuk

Pendahuluan

(1) mengevaluasi hasil-hasil penelitian andalan/unggulan setempat (JAS), kayu yang telah dilakukan; (2) mempromosikan dari hutan rakyat (rural forest species), hasil penelitian yang bersifat aplikatif kayu perdagangan (commercial species), sehingga diharapkan dapat dimanfaatkan kayu langka/ terancam punah, dan kayu oleh pihak pengguna; (3) agar penelitian alternatif untuk bahan bangunan yang telah dilakukan menjadi acuan bagi konstruksi/struktural, kayu perkakas/ penelitian selanjutnya.

pertukangan, mebel, kerajinan/ ukiran, alat Lebih kurang 60 makalah yang musik, atau penggunaan di luar ruangan. berhubungan dengan penelitian sifat fisik

dan mekanik kayu telah diterbitkan di Jenis Kayu Kurang Dikenal

Prosiding Seminar Nasional Mapeki. Menurut Badan Inventarisasi dan Tata Tinjauan hasil-hasil penelitian pada Guna Hutan, Departemen Kehutanan, di makalah ini didasarkan pada faktor-faktor Indonesia terdapat 3124 jenis kayu yang alam yang mempengaruhi sifat fisik dan terdiri dari kayu komersial, non komersial, mekanik kayu. Faktor-faktor tersebut tak dikenal, maupun jenis kayu budidaya dapat dikelompokkan menjadi (1) jenis (Anonim 1986). Jenis kayu non komersial kayu; (2) umur dan tempat tumbuh; (3) maupun tak dikenal biasanya memiliki letak dalam batang; (4) diameter; (5) berat jenis (BJ) rendah, tidak kuat dan kelembaban, kadar air dan suhu; (6) cuaca tidak awet, sehingga membatasi dan jamur; serta (7) kebakaran hutan.

penggunaannya. Sebagai contoh kayu Balsa dengan BJ 0.15 ~ 0.28 termasuk

kelas kuat dan kelas awet V (Anonim Penelitian sifat fisik dan mekanik yang 1979). Prayitno (1998) melaporkan telah dilakukan sehubungan dengan struktur anatomi, sifat-sifat fisik, mekanik, prospek pemanfaatan jenis-jenis kayu penyebaran dan kegunaan kayu Balsa kurang dikenal (lesser known species), (Ochroma spp.), Randu (Ceiba pentandra kayu dari tanaman perkebunan (crops Gaertn.), Kemiri (Aleurites moluccana estate species), kayu cepat tumbuh (fast- Willd.), dan Merkubung (Macaranga sp.). growing species), kayu Hutan Tanaman Sifat fisik dan mekanik yang diteliti Industri/HTI (timber estate species), kayu meliputi BJ, kadar air (KA), kembang- dari areal agro-forestry, kayu susut, warna kayu teras, tekstur, arah serat,

Jenis Kayu Jenis Kayu

20 tahun (diameter 10 ~ 30 cm) yang keteguhan patah (MOR), keteguhan tekan berasal dari kebun rakyat dan petak sejajar dan tegak lurus serat, serta tarik percobaan Institut Pertanian Bogor di tegak lurus serat.

Sukamantri. BJ rata-rata kayu Cengkeh Widiati (2002) meneliti kayu Tahongai

adalah 0.79 (0.74 ~ 0.84), sedangkan

(Kleinhovia hospita Linn.) dan kekerasan rata-rata adalah 575.25 (473.75 melaporkan bahwa kayu ini mempunyai 2 ~ 698.70) kg/cm . Berdasarkan hasil

rasio penyusutan arah tangensial dan tersebut maka kayu Cengkeh termasuk radial (T/R rasio) sebesar 1.47, sedangkan kelas kuat II; sekelas dengan kayu Jati berdasarkan BJ-nya maka termasuk kelas yang memiliki BJ 0.70, bahkan lebih keras kuat III. Sifat mekanik kayu ini termasuk dari kayu Jati yang memiliki kekerasan

kelas kuat II untuk keteguhan tekan sejajar 2 440 kg/cm . serat; kelas kuat IV untuk nilai MOE; dan

kelas kuat II untuk nilai MORnya. Jenis Kayu Cepat Tumbuh, Kayu HTI

dan Kayu dari Areal Agro-forestry

Berdasarkan sifat-sifat tersebut maka kayu Dimasa depan, kayu-kayu cepat

ini dapat dimanfaatkan untuk bahan baku tumbuh akan menggantikan kayu-kayu

kayu lapis, mebel dan konstruksi ringan. dari hutan alam; oleh karena itu sangat

diperlukan data-data karakterisasinya.

Jenis Kayu dari Tanaman Perkebunan

Firmanti et al. (2000) meneliti sifat Salah satu upaya untuk mengatasi

kekuatan kayu Akasia (Acacia mangium menurunnya bahan baku kayu adalah

Willd.), kayu Afrika (Maesopsis eminii), dengan memanfaatkan jenis kayu yang

Tusam (Pinus merkusii Jungh. et de Vr.) berasal dari tanaman perkebunan.

dan Gmelina (Gmelina arborea) contoh Beberapa jenis kayu perkebunan yang

uji skala penuh (6 cm x 12 cm x 300 cm). telah dimanfaatkan adalah kayu Karet

Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa (Hevea brasiliensis Muel. Arg.), kayu

BJ kayu-kayu tersebut berkisar antara 0.35 Kelapa (Cocos nucifera L.) dan kayu

~ 0.70; MOR antara 15 ~ 90 MPa; dan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.).

MOE antara 3.5 ~ 21 GPa. Dengan Rachman dan Malik (1999) meneliti BJ,

rentang sifat kekuatan yang tinggi, maka kekerasan dan sifat permesinan kayu

jenis-jenis kayu cepat tumbuh tersebut Cengkeh (Eugenia aromatica L.) berumur

dapat dimanfaatkan sebagai bahan dapat dimanfaatkan sebagai bahan

rata 34.4 cm. Hasil penelitiannya 3 kering tanur = 0.31 gr/cm ; T/R rasio menunjukkan bahwa jumlah rata-rata mata batang = 1.82; T/R rasio cabang = 1.97;

kayu pada batang bagian bawah sampai 2 MOE = 50.05 ton/cm ; MOR = 318.28 ketinggian 3 m sebanyak 0.36/m, 2 kg/cm ; keteguhan tekan sejajar serat = sedangkan pada batang bagian tengah dari 2 95.86 kg/cm ; keteguhan geser = 6.27 ketinggian 3 ~ 6 m sebanyak 0.96/m. 2 kg/cm ; kekerasan samping = 91.09

2 Ukuran diameter mata kayu tersebut 2 kg/cm ; kekerasan ujung = 205.98 kg/cm ;

antara 18 ~ 40 mm. Perbedaan KA antara 2 dan keteguhan pukul = 18.95 x 10 J/mm . kayu gubal dan kayu teras dari pohon yang Berdasarkan klasifikasi berat kayu

baru ditebang sebesar 15.8%. Perbedaan (Soenardi 2001), dengan kerapatan kering KA yang relatif kecil ini memperkecil 3 udara 0.31 gr/cm maka kayu Sukun

kemungkinan terjadinya retak akibat 3 termasuk jenis kayu ringan (< 0.36 gr/cm ). pengeringan (Sutapa 2002). Rata-rata BJ Stabilitas dimensi kayu ini tergolong

kayu ini adalah 0.53 dengan perbedaan rendah. Martawijaya (1990) menyebutkan nyata antara bagian dalam (0.52) dan bahwa dengan rasio penyusutan yang bagian luar batang (0.55). Besarnya besar akan cenderung lebih mudah pecah penyusutan tangensial (T) = 7.5%, dan atau berubah bentuk yang mengakibatkan penyusutan radial (R) = 4.5%, sehingga cacat. Menurut klasifikasi kelas kekuatan didapatkan T/R rasio sebesar 1.7 (Sutapa kayu yang didasarkan atas hubungan nilai 2004).

kerapatan kering udara, MOR dan Kholik dan Prabawa (2004) meneliti keteguhan tekan sejajar serat (Anonim mengenai sifat dan kualitas kayu Sukun 1976), maka kayu Sukun termasuk kelas (Arthocarpus altilis) berumur 21 tahun di kuat IV; sehingga tidak dapat digunakan kerapatan kering udara, MOR dan Kholik dan Prabawa (2004) meneliti keteguhan tekan sejajar serat (Anonim mengenai sifat dan kualitas kayu Sukun 1976), maka kayu Sukun termasuk kelas (Arthocarpus altilis) berumur 21 tahun di kuat IV; sehingga tidak dapat digunakan

Jenis Kayu Andalan Setempat