Manajemen Perubahan Dalam Organisasi. doc

Manajemen Perubahan Perguruan Tinggi Islam
Konsep dan Praksis Prof. Dr. Imam Suprayogo
Oleh:
Fridiyanto, M.Pd.I*
A. Pendahuluan
Albert Einstein mengatakan bahwa sesuatu yang pasti adalah perubahan.
Sedangkan Evelyn Waugh menyatakan change is the only evidence of life.
Perubahan merupakan keniscayaan bagi kehidupan manusia. Sejarah peradaban
manusia selalu ada fase-fase perubahan, begitu juga sejarah peradaban Islam yang
selalu menghadapi dan berhadap hadapan dengan perubahan. Rhenald Kasali
dalam bukunya Change, menulis bahwa “tak peduli berapa jauh jalan salah yang
anda jalani, putar arah sekarang juga.”
Konteks pendidikan Islam khususnya Perguruan Tinggi Agama Islam yang
meliputi IAIN, STAIN, UIN dan PTAIS, harus siap menghadapi perubahan dan
perkembangan, persaingan dan tantangan. Manajemen perubahan untuk sebuah
kualitas total seperti tidak bisa ditawar dalam merebut pasar. PTAI harus merubah
diri, menghadapi perubahan, dan melakukan perubahan.
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang merupakan sebuah model PTAIN yang
sukses dalam melakukan perubahan. Perubahan STAIN Malang menjadi UIN
Malang sepertinya telah melangkahi dan jauh meninggalkan PTAIN lain yang ada
di Indonesia. Di bawah kepemimpinan Prof. Dr. Imam Suprayogo, STAIN Malang

telah menembus batas imajiner: bahwa sulit bagi STAIN maupun IAIN untuk
melakukan perubahan, bahwa sulit untuk mengintegrasikan ilmu umum dan ilmu
agama, serta ungkapan pesimisme lainnya mengenai wider mandate.
Prof. Dr. Imam Suprayogo sebagai pemimpin perubahan di UIN Malang, dapat
dikategorikan sebagai pembaharu pendidikan Islam, karena telah menjadi model
dan menginspirasi PTAI lainnya untuk mengikuti perubahan yang sukses di UIN
Malang, minimal mengikuti kesuksesan perbaikan kualitas kalaulah tidak dapat
berubah menjadi UIN.
Kepemimpinan mutu sangat dibutuhkan dalam sebuah manajemen perubahan.
Prof. Dr. Imam Suprayogo telah menampakkan kualitas kepemimpinan selama
beberapa periode memimpin di UIN Malang. Olehkarena itu perlu mempelajari
pemikiran, konsep, kepemimpinan dan manajerial Prof. Dr. Imam Suprayogo
agar dapat menjadi referensi untuk praksis bagi pemimpin PTAI dan warga
kampus PTAI dalam melakukan perubahan. Artikel ini mendiskusikan peran
kepemimpinan Prof. Dr. Imam Suprayogo dalam mengelola perubahan di UIN
Maulana Malik Ibrahim Malang.
*

Dosen Mata Kuliah Perencanaan Strategik Pendidikan di Program Studi Manajemen Pendidikan
Islam Fakultas Tarbiyah IAIN Sumatera Utara.


1

B. Manajemen Perubahan
Terdapat sembilan teori besar tentang manajemen perubahan: 1) Teori ForceField dipelopori Kurt Lewin, 1951; 2) Teori Motivasi dari Beckhard dan Harris,
1987; 3) Teori Proses Perubahan Manajerial dari Beer, 1990; 4) Teori-teori
Organizational Development dalam perubahan; 5) Teori Perubahan Alfa, Beta,
dan Gamma; 6) Teori Contingency dalam manajemen perubahan dari
Tannembaum dan Schmidt, 1973; 7) Teori-teori Manajemen Kerjasama; 8) Teoriteori untuk Mengatasi Resistensi dalam Perubahan; 9) Model AccountingTuraround dari Harlan D.Platt, 1998 (Kasali, 2006).
Kurt Lewin, Bapak Manajemen Perubahan mengemukakan teori ForceField yang mengutamakan kekuatan-kekuatan penekan. Perubahan terjadi karena
tekanan terhadap organisasi, individu, atau kelompok. Perubahan yang ingin
dilakukan nantinya akan berhadapan dengan keengganan untuk berubah
(resistences) maka perlu dikelola dengan memperkuat driving forces agar dapat
melemahkan kelompok resisten. Kurt Lewin merumuskan langkah: 1) unfreezing;
2) Changing; 3) Refreezing. Ketiga tahap ini menjelaskan perlunya proses
penyadaran tentang pentingnya perubahan yang selanjutnya melakukan perubahan
dengan memperlemah resistensi. Pada tahap akhir, diperlukan membawa
organisasi kembali kepada keseimbangan.
Teori Motivasi merumuskan bahwa perubahan akan terjadi kalau terpenuhi
syarat-syarat berikut: Manfaat-Biaya, manfaat yang diperoleh lebih besar akibat

adanya perubahan. Ketidakpuasan, adanya ketidakpuasan yang kuat dari keadaan
sekarang. Persepsi Masa Depan, anggota organisasi melihat adanya harapan yang
lebih baik di masa depan. Cara Praktis, meyakini adanya cara yang praktis
dilakukan untuk keluar dari situasi sekarang.
Teori Proses Perubahan Manajerial menyadari perlunya melibatkan banyak
orang untuk mewujudkan perubahan yang kendali dipegang oleh pemimpin
organisasi yang berusaha untuk memperoleh dukungan, konsensus dan komitmen.
Dalam menjalankan misi perubahan, teori ini mengadopsi ilmu-ilmu lain seperti
Psikologi, Sosiologi dan Antropologi, sehingga seorang pemimpin memiliki peta
psikologis dan budaya organisasi berbasis karakter individu sehingga dapat
meminimalisir stres dan konflik dalam proses perubahan.
Teori-teori Pengembangan Organisasi dalam Perubahan Organisasi
merupakan teori yang menyentuh dua kategori yang berinteraksi, yaitu manusia
dan teknologi. Manusia adalah elemen yang melakukan proses organisasi seperti
komunikasi, pengambilan keputusan, dan pemecahan masalah. Sedangkan
teknologi elemen yang mempengaruhi struktur organisasi, seperti desain
pekerjaan, metode kerja, dan desain organisasi. Teori ini meyakini bahwa perlu
adanya pendekatan tekno-struktur dan manusia-proses agar intervensi pada dua
kategori ini menghasilkan pemenuhan kebutuhan manusia dalam penyelesaian
tugas.

Teori Perubahan Alfa-Beta dan Gamma yang merumuskan bahwa
perubahan Alfa adalah perubahan kepercayaan yang terjadi pada satu dimensi

2

waktu yang stabil sebelum dan setelah adanya tim kerja. Sedangkan perubahan
Beta yaitu perubahan yang terjadi dalam menilai kepercayaan. Perubahan
Gamma, yaitu perubahan yang terjadi karena manusia atau kelompok melihat
adanya faktor yang lebih penting dari yang sedang diamati.
Teori Contingency dalam Manajemen Perubahan berpendapat bahwa
keberhasilan pengambilan keputusan sangat ditentukan oleh gaya yang dianut
dalam mengelola dan mengimplementasi perubahan. Teori Contingency
(kemungkinan) mengatakan bahwa tidak hanya motivasi, komitmen, dan
partisipasi anggota organisasi yang dibutuhkan tetapi perlu menganalisis kesiapan
kedua belah pihak.
Teori Kerjasama, meyakini bahwa perubahan tidak bisa dilakukan tanpa
adanya kerjasama dari semua pihak. Teori ini mempelajari, mengapa manusia mau
memutuskan untuk bekerjasama dan bagaimana memperoleh kerjasama. Menurut
Williams (2002), orang mau bekerjasama, dikarenakan hal berikut: 1) Motivasi
memperoleh penghargaan atau khawatir mendapatkan sanksi; 2) Motivasi

kesetiaan terhadap profesi, pekerjaan, atau perusahaan; 3) Motivasi moral, karena
dengan bekerjasama dapat diterima secara moral; 4) Motivasi menjalankan
keahlian; 5) Motivasi karena sesuai dengan sikap hidup; 6) Motivasi kepatuhan
terhadap kekuasaan.
Teori-teori untuk Mengatasi Resistensi dalam Perubahan menawarkan cara
mengatasi resistensi dalam melakukan perubahan. Teori ini mengajukan enam
strategi untuk mengatasi resistensi, yaitu: Komunikasi, Partisipasi, Fasilitasi,
Negosiasi, Manipulasi, dan Paksaan. Teori ini mempunyai fleksibilitas, bahwa tiap
kelompok yang berbeda, maka teori yang digunakan juga berbeda, tergantung
tingkat resistensi.
Model Accounting-Turaround lebih menekankan kepada akuntansi dan
hukum. Teori ini menyatakan bahwa tidak semua korporat (organisasi) dapat
diselamatkan atau untuk berubah, harus ada persyaratan untuk itu, diantaranya:
adanya dukungan dari para stakeholder, masih adanya core business yang mampu
mendatangkan cashflow, adanya tim manajemen yang kokoh, sumber-sumber
pembiayaan jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Teori Putarhaluan
(turnaround) dapat dilakukan oleh organisasi yang mengalami penurunan karena
kerugian atau manajerial yang tidak baik. Guna melakukan perbaikan, hal pertama
yang dilakukan adalah analisis keuangan organisasi. Model AccountingTuraround memang sangat teknis dibandingkan delapan teori sebelumnya yang
telah dijelaskan.

C. Cita dan Fakta PTAI
Menurut Prof. Dr. Imam Suprayogo bahwa lulusan Perguruan Tinggi Islam belum
memahami sumber ajaran Islam (Al-Qur’an an Hadits); kemampuan berbahasa
lulusan PTAI masih rendah, khususnya Bahasa Arab dan Bahasa Inggris; lulusan
PTAI masih kurang dalam komunikasi lisan dan tulisan; lulusan PTAI belum total
menjalankan peran kepemimpinan umat; lulusan PTAI masih menghadapi
kesulitan merebut lapangan kerja yang tersedia; lulusan PTAI masih banyak

3

bergantung (dependensi) terhadap orang lain; lulusan PTAI masih rendah dalam
menguasai keilmuan yang ditekuninya.
Prof. Dr. Imam Suprayogo menyimpulkan permasalahan tersebut dikarenakan
beberapa faktor berikut: a) Pengajaran dengan pendekatan kuliah sistem SKS; b)
pengajaran masih bersifat formalitas yang bersifat perkuliahan dan ujian; c) masih
minimnya pelatihan dan kegiatan akademis; d) hubungan dosen dan mahasiswa
yang masih bersifat formal dan proses pembelajaran yang masih seperti di SMA;
e) masih kurangya riset-riset yang dilakukan.
Secara tegas Prof. Dr. Imam Suprayogo mengidentifikasi bahwa rendahnya
kualitas PTAI dapat dilihat dari dua elemen, yaitu dosen dan mahasiswa. Dosen

PTAI berstatus pegawai negeri mempengaruhi motivasi kerja mereka, selain
Dosen Berstatus Pegawai Negeri; Imbalan kurang mencukupi sehingga kekampus
hanya sebatas menjalankan tugas mengajar dan menilai hasil kerja mahasiswa.
Sehingga yang terjadi antara dosen dengan mahasiswa masih transaksional. Dosen
yang memiliki otonomi tidak diimbangi dengan supervisi yang efektif, selain itu
tidak adanya kompetisi dan seleksi terhadap dosen-dosen berprestasi membuat
dosen cepat merasa puas dengan prestasi yang minimal.
Sedangkan mahasiswa, menurut Prof. Dr. Imam Suprayogo, mahasiswa kurang
terlihat memiliki target dan orientasi pencapaian kualitas; Kegiatan mahasiswa
masih sebatas kuliah secara rutin (kuliah, ujian, lulus dan wisuda); Tidak
terjadinya
kompetisi untuk mengembangkan prestasi; Masih kurangnya
kesadaran terhadap tuntutan profesi masa depan; dan Masih banyak mahasiswa
mempercayai ijazah adalah bekal hidup. Faktor-faktor ini membuat mahasiswa
banyak melakukan aktifitas yang sifatnya pelarian, seperti politik praktis, dan
budaya hedonis.
Tidak cukup hanya dengan permasalahan dosen dan mahasiswa tersebut, Prof. Dr.
Imam Suprayogo menambahkan bahwa lambannya perubahan dan peningkatan
mutu di PTAI dikarenakan faktor-faktor berikut: Kebersihan dan keindahan
kampus belum berhasil dijaga secara maksimal, Bernuansa kantor dan suasana

serba formal, Nuansa keberagamaan kurang terasa, Wajah kampus belum
memberikan kesan sebagai taman ilmu, Belum berhasil terbangun rasa percaya
diri dan bangga terhadap kampusnya.
Sedangkan dalam aspek pelayanan, PTAI masih menampakkan hal berikut:
Birokratis, kaku dan formal; Suasana menunggu petunjuk, petunjuk pelaksanaan
dan petunjuk teknis; Bersifat rutin dan (sebagai akibatnya) membosankan;
Kehangatan dalam kegiatan berfikir, berdzikir dan bersilaturrahim belum berhasil
tercipta secara maksimal. Guna menjawab tantangan-tantangan itu, secara
sederhana Prof. Dr. Imam Suprayogo menginginkan Perguruan Tinggi Agama
Islam memiliki profil berikut:
• Lulusan Perguruan Tinggi Agama Islam harus mampu memahami sumber
ajaran Islam (Al Qur’an dan Hadits).

4

• Lulusan Perguruan Tinggi Agama Islam minimal mampu menguasai
Bahasa Arab dan Bahasa Inggris.
• Lulusan Perguruan Tinggi Agama Islam mampu berkomunikasi secara
lisan dan tulisan dengan baik.
• Lulusan Perguruan Tinggi Agama Islam mampu menjadi pemimpin

kegiatan spiritual (Imam Sholat, Khutbah, Haji).
• Lulusan Perguruan Tinggi Agama Islam mampu hidup mandiri secara
Ekonomi, Sosial dan Budaya.
• Lulusan Perguruan Tinggi Agama Islam harus mampu menguasai bidang
ilmu pilihannya.
• Kampus menggambarkan penampilan Islami.
• Para guru besar dan dosen menyandang kewibawaan sebagai ilmuwan.
• Kepemimpinan dan manajemennya terbuka dan dinamis.
• Orientasi kegiatan semua pihak ke arah pengembangan ilmu.
• Pelayanan cepat, tepat, profesional dan santun.
• Prestasi keseluruhan unggul.
Keinginan Prof. Dr. Imam Suprayogo terhadap profil Perguruan Tinggi Agama
Islam (UIN Malang) tersebut bisa dipastikan sama dengan IAIN di Indonesia.
Namun dalam praksisnya UIN Malang lebih sukses mewujudkan profil ideal
tersebut.
D. Konsep dan Praksis Perubahan
Menurut Prof. Dr. Imam Suprayogo Perubahan akan terjadi apabila: Ada ide atau
keinginan untuk berubah, Gerakan harus dimulai oleh pemimpinnya, Didukung
oleh sumber daya kekuatan pengubah, Ada pemimpin untuk menggerakkan
perubahan, Ada dukungan semua pihak. Selanjutnya, bahwa perubahan perlu

didukung sumber daya kekuatan pengubah, yaitu: Orang-orang yang memiliki
integritas tinggi terhadap perubahan, Suasana kebersamaan, Orang-orang yang
menyandang jiwa berkorban tinggi, Orang-orang yang lebih berorientasi pada
ilmu daripada ideologi.
Dalam konteks pembaharuan yang dilakukan di UIN Malang, maka Prof. Dr.
Imam Suprayogo melakukan hal berikut: Memahami internal kampus secara
menyeluruh dan mendalam, Memahami apa yang telah dilakukan oleh orang lain,
Memahami peluang dan kekuatan serta upaya membangunnya, Memahami cara
orang lain menjadi sukses, bukan sekedar kesuksesan orang lain, Membangun
keyakinan dan kepercayaan terhadap kampus ke depan, Merumuskan visi dan misi
serta tradisi yang akan dikembangkan, Melakukan konsolidasi internal maupun
eksternal, dan Membangkitkan seluruh komponen yang ada.
Sebagai seorang Sosiolog, Prof. Dr. Imam Suprayogo sangat menyadari
pentingnya pola interaksi dengan civitas akademika. Maka dalam memulai
perubahan, aspek psikologi sosial (civitas akademika) selalu menjadi perhatiannya
dengan melakukan: mengintensifkan silaturrahmi, Menjaga kebersamaan, cita-cita

5

dan visi

hari depan, Memberikan kepercayaan dan peran-peran secara
proporsional,serta Menyusun rencana-rencana konkrit.
E. Manajemen Syari’ah
Manajemen Syari’ah adalah perilaku yang terkait dengan nilai keimanan dan
ketauhidan (Hafidhuddin, 2003). Jika kegiatan seseorang yang tergabung dalam
sebuah lembaga didasari oleh nilai tauhid, maka dia menyadari bahwa adanya
pengawasan dari Allah. Konsep Manajemen Syari’ah inilah yang diterapkan oleh
Prof. Dr. Imam Suprayogo dalam melakukan perubahan STAIN Malang menjadi
UIN Malang, dan masih diterapkan selama memimpin UIN Malang. Pada gambar
Model Manajemen Pengembangan Kampus STAIN Malang / UIN Malang, dapat
dilihat bahwa segala aktifitas Civitas akademika, Visi dan Misi, Profil lulusan
bermuara kepada ridho Allah SWT. Secara transeden segala aktifitas perubahan
selalu didasarkan dan diinspirasikan pada prinsip Iman dan Amal saleh. Pada
tahap empiris, aktifitas membaca adalah salah satu langkah penting dalam
membangun kesadaran yang akan menginspirasi kebangkitan. Konsep thoharoh
(bersuci) dipaparkan oleh Prof. Dr. Imam Suprayogo dengan maksud
mengeliminir resistensi (budaya negatif) terhadap perubahan (budaya positif).
Tahap yang penting adalah konsep jihad (perjuangan), dimana dibutuhkan sebuah
pengagungan tehadap Allah SWT, sabar, rela berkorban, serta kesungguhan dalam
mencapai cita-cita perjuangan. Hal penting berikutnya adalah kebersamaan.
Budaya kampus yang ingin dibangunnya, seperti: Menghargai dan
memuliakan ilmuwan, Ikhlas menjadikan seluruh warga kampus sebagai teman
perjuangan hidup, Menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran, kejujuran, keadilan
dan istiqomah, Dinamis, inovatif sebagaimana tuntutan masyarakat yang selalu
berubah. Pola yang dibangun ini sangat memperhatikan aspek humanisme dengan
selalu menanamkan spirit ajaran Islam.
Tidak hanya dalam tataran konsep, permasalahan pembangunan fisik juga
menjadi perhatian, diantaranya adalah adalah perlunya ada rencana strategis
pembangunan: Sumber daya manusia yang handal, Mesjid, Ma’had, Perpustakaan,
Laboratorium, Ruang belajar, Perkantoran (pelayanan), Pusat seni dan olahraga.
Cita-cita akhir dari konsep pengembangan yang digagas Prof. Dr. Imam
Suprayogo adalah profil lulusan yang memilki kedalaman spiritual, keagungan
akhlaq, keluasan ilmu, dan kematangan profesional. Nilai-nilai manajerial yang
Islami sangat kental menjadi budaya kampus.

Gambar

6

Model Manajemen Pengembangan
Kampus STAIN Malang / UIN Malang

F. Filosofi Kepemimpinan
Berlatar belakang budaya Jawa, membuat Prof. Dr. Imam Suprayogo meresapi
kearifan lokal budaya Jawa dan menerapkan dalam gaya kepemimpinannya,
baginya seorang pemimpin haruslah berwatak: (a) Menang tanpo ngasorake; (b)
Sugih tanpo bondo; (c) Sekti tanpo aji-aji; (d) Nglurug tanpo bolo; (e) Kayungyun
dening pepoyaning kautaman. Filosofi tersebut berarti, menang tanpa membuat
lawan merasa kalah, kaya tanpa benda, sakti tanpa mantra-mantra, mendatangi
lawan sendirian, dan selalu berpegang teguh pada tujuan utama.
Bagi Prof. Dr. Imam Suprayogo, seorang pemimpin sejati harus menyadari
bahwa bawahan adalah aset utama lembaga yang bukan hanya sekedar alat, tetapi
adalah manusia yang memiliki martabat, untuk itulah bawahan harus diakui
keakuannya. Bawahan membutuhkan perhatian yang berhak mendapatkan
keadilan, kejujuran dan masa depan yang lebih baik. Seorang pemimpin harus
memilki teknik yang praktis dalam bergaul dengan bawahannya sehingga
membuat mereka nyaman dengan atasan sehingga merasa tugas berikutnya dapat
mengaktualisasi dirinya. Kepercayaan dan pendelegasian kepada bawahan adalah
kunci agar keterlibatan mereka lebih total dan dapat bertanggung jawab. Pada
dasarnya bawahan tidak suka dicurigai, diberi predikat tidak mampu dan bodoh,
apalagi tanpa ada bimbingan atasan ketika menghadapi kesulitan dalam
mengemban tugas lembaga.

7

Sebagai seorang pemimpin perubahan, Prof. Dr. Imam Suprayogo menganjurkan
kepada civitas akademika untuk berjiwa besar, kaya akan ide prakarsa dan mau
melaksanakannya, harus berani menanggung segala resiko, siap berkorban untuk
kemajuan, memilki integritas tinggi terhadap lembaga, kepemimpinan dan
manajerial modern, beriman kukuh, ber-Islam, ber-Ikhsan dalam segala
aktifitasnya.
Kegagalan pencapaian tujuan organisasi sangat dipengaruhi oleh kepemimpinan.
Kepemimpinan yang lemah akan membuat lembaga kurang dinamis bahkan
stagnan berdampak pada rendahnya kualitas produk dan kaya akan masalah,
menurunnya kepercayaan masyarakat, kesulitan menghimpun kekuatan, potensi,
dan pada akhirnya adalah sulit bagi pengembangan organisasi. Olehkarena itu
seorang pemimpin harus menghindari kepemimpinan yang terlampau hirarkis dan
birokratis sehingga mempersulit persoalan yang semestinya mudah diselesaikan.
Seorang pemimpin jangan bersifat tertutup terhadap informasi, sehingga informasi
bisa menyebar rata. Kepemimpinan lembaga pendidikan yang kental nuansa
politis harus dihindari karena akan menyebabkan konflik-konflik disfungsional.
Seorang pemimpin harus tanggap terhadap perubahan, bersikap visioner dengan
tidak hanya melakukan benchmarking internal melainkan juga melakukannya
dengan kompetitor eksternal, naluri ekspansif diperlukan untuk pengembangan
lembaga.
G. Perubahan Paradigma
Menurut Prof. Dr. Imam Suprayogo fungsi-fungsi manajemen: Merencanakan
Mengkomunikasikan,
Mengkoordinasi,
Memotivasi,
Mengendalikan
Mengarahkan, Memimpin sudah menjadi konsep yang tradisional dan tidak cukup
lagi dalam mengatasi perubahan. Maka perlu ada perubahan konsep yang moderat
sebagai berikut: Membuat Mampu (Enabling), Memperlancar (Facilitating),
Berkonsultasi (Consulting), Bekerjasama (Collaborrating), Membimbing
(Mentoring), Mendukung (Supporting).
Perubahan paradigma berpikir akan mempengaruhi teknis pelaksanaan
dalam manajerial PTAI. Meretas kekakuan konsep manajemen tradisional, Prof.
Dr. Imam Suprayogo menawarkan gagasan perubahan paradigma sebagaimana
dalam tabel Perubahan Paradigma berikut.
Tabel
Perubahan Paradigma
Manajemen Tradisional
Stabilitas
Hirarkhis birokratis
Organisasi yang kaku
Pengendalian melalui aturan
Informasi dijaga dan tertutup
Hanya menerima yang pasti
Reaktif, penghindaran resiko

Manajemen Perubahan
Perubahan tidak Berkesudahan
Leadership dari setiap orang
Fleksibilitas permanen
Melalui visi dan nilai
Information Sharing
Menerima keraguan
Proaktif, keberanian beresiko

8

Berfokus intern organisasi
Keunggulan bertahan
Bersaing pada pasar yang ada

Berfokus lingkungan kompetitif
Inovasi keunggulan kompetitif yg
berubah terus menerus
Bersaing pada pasar masa depan
kontemporer

Berdasarkan tabel perubahan paradigma tersebut dapat dilihat bahwa kekakuan
dan resistensi organisasi lembaga PTAI adalah penyebab lambatnya terjadi
perubahan. Maka Prof. Dr. Imam Suprayogo meretasnya dengan manajerial yang
lebih transparan, akomodatif, namun tetap berprinsip dan visioner.
4. Konsep Pohon Ilmu UIN Malang
Permasalahan dikotomi ilmu agama dan non agama bukanlah masalah baru, pada
masa klasik permasalahan ini sudah ditulis oleh Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun.
Sains modern Barat mengenyampingkan status keilmuan keagamaan, padahal
ilmu agama tidak bisa menghindari membicarakan Tuhan, malaikat, dan
permasalahan ghaib lainnya (Kartanegara, 2005: 20). Menurut Kartanegara ilmuilmu sekuler positivistik yang dikenalkan ke dunia Islam lewat imperialisme Barat
telah membuat dikotomi yang sangat kuat antara ilmu agama dan ilmu
positivistik. Permasalahan dikotomi inilah yang masih berlangsung saat ini di
sisem pendidikan Indonesia, khususnya di pesantren dan PTAI.
Integrasi ilmu yang berlandaskan tauhid serta menggali kembali khasanah
keilmuan klasik Islam dan penelitian-penelitian Barat maka integrasi ilmu dapat
dilakukan. Menurut Faruqi, Islamisasi ilmu dimaksudkan untuk memberikan
respon positif terhadap realitas ilmu pengetahuan modern sekuler dan Islam yang
relegius kedalam sebuah model yang utuh, maka diperlukan hal berikut: a)
Penguasaan disiplin ilmu modern; b)Penguasaan khasanah warisan Islam; c)
Membangun relevansi Islam dengan disiplin ilmu modern; d) Memadukan nilai
dan khasanah warisan Islam secara kreatif dengan ilmu modern; e) Pengarahan
aliran pemikiran Islam ke jalan yang mencapai pemenuhan pola rencana Allah
(Faruqi, 1995).
Al-Faruqi mengajukan 12 langkah untuk mewujudkan Islamisasi ilmu: a)
Penguasaan disiplin ilmu modern; b) Survei disiplin ilmu; c) Penguasaan
khasanah Islam; d) Penguasaan khasanah ilmiah Islam; e) Penentuan relevansi
Islam yang khas terhadap disiplin ilmu; f) penilaian kritis terhadap disiplin
keilmuan modern dan tingkat perkembangannya di masa kini; g) Penilaian kritis
terhadap khasanah Islam dan tingkat perkembangannya disaat ini; h) Survei
permasalahan yang dihadapi umat Islam; i) Survei permasalahan yang dihadapi
umat manusia; j) Analisa sintesa kreatif dan sintesa; k) Penuangan kembali
disiplin ilmu modern kembali ke dalam kerangka Islam; l) Penyebaran ilmu-ilmu
yang telah di Islamkan.

9

Secara tegas Al-Faruqi mengatakan bahwa umat Islam tidak bisa diharapkan
untuk bangkit kembali jika sistem pendidikannya tidak dirubah dan kesalahannya
tidak dikoreksi. Bagi Al-Faruqi yang diperlukan adalah pembaharuan terhadap
sistem lembaga pendidikan Islam. Dualisme dalam sistem pendidikan Islam yang
berlangsung hingga saat ini harus dihilangkan, dan berupaya mengintegrasikannya
dengan spirit Islam yang juga berfungsi sebagai bagian integral dari program
ideologis Islam (Faruqi, 1998)
Upaya integrasi ilmu inilah yang menjadi core business UIN Malang dengan
konsep pohon ilmu yang digagas Prof. Dr. Imam Suprayogo. Konsep pohon ilmu
ini menjadi filosofi bahkan menjadi branding UIN Malang untuk memperlihatkan
kekhasan pengembangan ilmu di UIN Malang. Prof. Dr. Imam Suprayogo
mengilustrasikan bahwa Bahasa Arab, Bahasa Inggris, Pancasila, Filsafat, Ilmu
Alamiah Dasar dan Ilmu Sosial dasar sebagai akar. Sedangkan Alqur’an, AlSunnah, Sirah Nabawiyah, Pemikiran Islam, Masyarakat Islam adalah sebagai
pohon. Selanjutnya Ilmu-ilmu: Ekonomi, Psikologi, Hukum, Teknik, MIPA,
Bahasa dan sastra, Tarbiyah sebagai cabang pohon.
G. Kesimpulan
Konsep dan praksis manajemen perubahan STAIN Malang menjadi UIN Malang
yang dilakukan oleh Prof. Dr. Imam Suprayogo selalu berdasarkan pada ajaran
Islam dengan memperhatikan aspek humanisitis. Kepemimpinan thingking out of
box adalah faktor utama bagi kesuksesan Prof.Dr. Imam Suprayogo dalam
memimpin proses perubahan dan membuat perubahan di UIN Malang.
Kesuksesan UIN Malang dikarenakan adanya core business (integrasi ilmu) dan
memiliki branding image (Pohon Ilmu UIN Malang dan Kampus Islami).

10

BAHAN BACAAN
Didin Hafidhuddin, Manajemen Syari’ah dalam Praktik. Jakarta: Gema Insani
Press. 2003
Faruqi, Ismail, Islamisasi Pengetahuan, terj. Anas Mahyudin, Bandung: Pustaka.
1995.
___________, Jihad Intelektual, terj. Priyono, Surabaya: Risalah Gusti. 1998
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik. Jakarta:
Arasy Mizan
R. Eko Indrajit, Manajemen Perguruan Tinggi Modern. Yogyakarta: Penerbit
Andi. 2006
Rhenald Kasali, Change!. Jakarta: Gramedia. 2006

11