Peran TNI dalam Cyber Space Indonesia di

Peran TNI dalam Cyber Space Indonesia di Era Reformasi melalui Teori
Concordance
Assay Lovelianty Farmin
Pada dasarnya, defenisi teori Concordance adalah keseimbangan peran antara
sipil dan militer di sebuah negara guna menangani isu-isu yang berkaitan dengan
kebutuhan nasional. Dalam konteks penulisan ini, Cyber Space merupakan bahan yang
akan memberikan jawaban atas efektifitas kordinasi kedua hal tersebut di Indonesia.
Sama halnya dengan Rebecca L. Schiff 1, Huntington (1957) juga berpendapat bahwa
profesionalitas pasukan dalam entitas yang berdaulat ditentukan seberapa besar garis
pemisah antara kontrol institusi sipil seperti kementerian dan militer yaitu TNI. 2
Seiring berkembangnya zaman, profesionalitas TNI dalam menjalankan
tugasnya di Indonesia telah mengalami perubahan signifikan. Berdasarkan teori
Huntington, relasi sipil-militer (CMR) pada kepemimpinan Soekarno dikategorikan
sebagai Praetorian State dimana kontrol TNI jauh melebihi institusi sipil. Faktor yang
mendorong terciptanya keadaan demikian adalah Indonesia yang masih membentuk
pemerintahan ideal pasca kemerdekaan tahun 1945. Kedua, jenis CMR pada orde baru
dengan kepemimpinan Soeharto adalah Apparatus Control yaitu, kuatnya peran sipil
maupun militer namun tidak ada batasan yang jelas untuk membedakan kedua hal
tersebut. Buktinya adalah eksistensi TNI dalam berbagai sektor seperti bisnis, militer,
bahkan tubuh pemerintahan. Kondisi ini berlanjut memengaruhi Indonesia di bawah
kepemimpinan baru yaitu B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati, sebab

masa transisi ke era revolusi yang belum selesai.
Setelah berakhirnya Orde Baru, pada tahun 2004, Indonesia untuk pertama
kalinya bertransformasi menjadi negara demokrasi melalui pengadaan Pemilu. Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) menciptakan sistem CMR yang hampir sempurna, dimana
adanya objektifitas dan keseimbangan peran antara institusi sipil dan TNI, namun tidak
diiringi oleh kekuatan yang besar, sehingga hal ini mengindikasikan bahwa Indonesia
digolongkan sebagai Constabulary Control.
Melalui sistem profesionalitas CMR, baik institusi yang dikelola oleh warga sipil
dan TNI memiliki kapasitas untuk bersinergis dalam menangani permasalahan nasional,
khususnya cyber space yang telah menjadi tuntutan perkembangan zaman. Ancaman
Cyber membentuk pemahaman bahwa pemerintah harus melindungi warga dari
serangan berbasis informasi teknologi dalam bentuk konten ataupun secara harafiah
merusak jaringan internet bahkan menyadap, sabotase, dan mencuri data pengguna.
Dalam hal ini, peran militer cukup penting untuk mencegah dan/atau menanggulangi
acaman tersebut. Untuk melaksanakan tugas demikian, maka kepemilikan sistem
informasi teknologi yang canggih adalah suatu kewajiban bagi TNI.

1
2


Schiff, L. Rebecca. 2009. The Military and Domestic Politics. New York: Routledge
Huntington, P. Samuel. 1957. The Soldier and The State. Cambridge: Harvard University Press

2

Pada tahun 2015, Panglima TNI, Gatot Nurmantyo menyatakan bahwa
karakteristik ancaman internasional telah berkembang dan tidak lagi terbatas pada isu –
isu tradisional. Panglima memberikan perhatian pada Cyber Space sebab, pelaku yang
melaksanakan kejahatan dapat datang dari luar yuridiksi Indonesia, sehingga adanya
ketidakpastian atas penerapan hukum. 3 Menanggapi persoalan tersebut, pada tahun
2017, Kepala Lembaga Persandian Negara (Lemsaneg), Mayjen TNI (Purn) Djoko
Setiadi menuntut pemerintah RI untuk segera mengesahkan Rancangan UndangUndang (RUU) terbaru terkait langkah untuk menanggulangi Cyber Crime.4
Hal ini mengindikasikan bahwa efektifitas dan efisiensi peran TNI dalam
menghadapi ancaman cyber tidak akan tercapai jika pemerintah melalui institusi sipil
seperti DPR yang bertugas untuk menyusun dan/atau mengevaluasi RUU tidak
mendukung upaya tersebut. Sebaliknya, DPR tidak akan berhasil memenuhi tuntutan
keamanan nasional ketika tidak adanya inisiasi TNI untuk menciptakan solusi atas
kerentanan sistem informasi teknologi Indonesia. RUU Persandian berfungsi sebagai
landasan hukum atas ancaman berbasis cyber, sehingga munculnya kejelasan untuk
menindaklanjuti pelaku yang menyalahgunakan internet.

Contohnya adalah masyarakat yang terpengaruh oleh paham radikalisme dan
berupaya untuk meningkatkan jumlah partisan melalui media sosial tertentu. Sebagai
konsekuensi, mudahnya perkembangan terorisme di ranah domestik, sehingga
membentuk kerentanan keamanan nasional. Hal ini penting untuk dipertimbangkan
menimbang tren isu kontemporer seperti menurunnya toleransi masyarakat terhadap
perbedaan budaya, etnis, bahkan agama. Dengan demikian, potensi perpecahan
internal dapat terjadi dan memengaruhi stabilitas negara. Faktanya, stabilitas
dibutuhkan untuk menarik perhatian penanam modal asing, guna memutar roda
perekonomian dan menstimulus pasar dalam negeri. Maka dapat disimpulkan bahwa
salah satu strategi efektif untuk membatasi dan/atau mengurangi perkembangan
terorisme di NKRI adalah menjamin keamanan internet yang didukung oleh landasan
hukum UU Persandian.
Adapun kebutuhan lainnya yaitu, meningkatkan kapabilitas informasi teknologi
TNI. Untuk memahami urgensi ini, AS dapat dijadikan bahan refleksi dalam
menciptakan sistem pertahanan yang mumpuni melalui kerjasama strategis dengan
korporat yang handal dalam bidang tersebut. Diketahui bahwa US’s Federal Bureau of
Investigation membentuk hubungan kemitraan dengan Microsoft untuk menangkap
pelaku kriminal. Salah satu contoh studi kasusnya adalah keberhasilan kedua pihak
dalam merespon isu Citadel Network Botnet yang mencuri 500 juta USD dari akun
bank.5 Deskripsi ini menandakan bahwa militer suatu negara tidak dapat berkerja

3
4
5

Berita Satu. 2015. Panglima TNI: Salah Satu Ancaman NKRI adalah “Cyber Crime”.
www.beritasatu.com/hukum/294877-panglima-tni-salah-satu-ancaman-nkri-adalah-cyber-crime.html,
diakses pada tanggal 12 September 2017, pukul:10.37 WIB.
Detik News. 2017. Hadapi Cyber Crime, Lemsaneg Desak Pemerintah Sahkan RUU Persandian.
https://m.detik.com/news/berita-jawa-tengah/d-3501658/hadapi-cyber-crime-lemsaneg-desakpemerintah-sahkan-ruu-persandian, diakses pada tanggal 12 September 2017, pukul:10.37 WIB.
Wallace, Ian. 2013. The Military Role in National Cyber Security Governance.
https://www.brookings.edu/opinions/the-military-role-in-national-cybersecurity-governance/amp/
diakses pada tanggal 12 September 2017, pukul:10.37 WIB.

3

sendiri dalam menciptakan keamanan Cyber Space, sehingga pembentukan kerjasama
merupakan opsi sederhana namun efisien untuk meningkatkan kapabilitas TNI di sektor
sistem informasi.
Pentingnya partisipasi TNI bersama institusi sipil dalam menjamin Cyber Space
yang baik akan berdampak pada kenyamanan dan keselamatan masyarakat domestik,

serta memproteksi kepentingan nasional dari pihak – pihak yang memiliki intensi untuk
melakukan espionase. Lemahnya sistem pertahanan teknologi informasi Indonesia
dibuktikan dengan kesuksesan Australia dalam menyadap perangkat komunikasi
presiden SBY, dimana kasus ini berakibat pada kerenggangan hubungan Jakarta –
Canberra.
Mengenyampingkan argumentasi tersebut, pemerintah Indonesia telah
menetapkan kebijakan cyber yang diatur oleh Tim Kordinasi Keamanan Informasi,
Direktorat Keamanan Informasi, dan Tim Tanggap Insiden Keamanan Indonesia tentang
Infrastruktur Internet (ID-SIRTII) di bawah supervisi Kementerian Komunikasi dan
Informatika.6 Adapun kebijakan yang berhubungan dengan peran TNI tertuang dalam 3
bentuk legalitas yaitu: (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan
Negara; (2) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberlakuan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan
Terorisme dan Kejahatan; serta terakhir (3) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004
Tentang Angkatan Bersenjata RI.
Regulasi di atas merupakan komponen pendukung implementasi pengamanan
Cyber Space oleh TNI, namun tidak menjamin potensi serangan Cyber di masa depan.
Menurut Dr. Hasyim Gautama, variabel yang memengaruhi hal tersebut adalah
kurangnya industri domestik yang memproduksi dan mengembangkan perangkat keras
terkait proteksi informasi teknologi. Jika pemerintah berhasil mendorong pertumbuhan

jenis industri ini, Indonesia memiliki kesempatan untuk menggunakan strategi yang
sama oleh AS.
Dengan demikian, TNI tidak hanya menjalin kordinasi dengan institusi negeri,
namun juga lembaga swasta. Melalui era reformasi, sinergitas tersebut mampu
menjamin keamanan di aspek Cyber space sebagai tren isu kontemporer dunia. Selain
meningkatkan efektifitas kinerja, adanya batasan yang jelas antara peran TNI dan
lembaga sipil di ranah domestik, sehingga membentuk pemerintahan yang profesional.
Walaupun dari segi kapabilitas kedua pihak belum mampu menandingi kecanggihan
sistem informasi dan teknologi negara lain, setidaknya militer Indonesia telah melalui
proses transformasi ke arah yang lebih baik sejak awal pemerintahan SBY tahun 2004.

6

Cyber
Security
Policy
and
Its
Implementation
in

Indonesia.
http://journal.binus.ac.id/index.php/jas/article/view/967, diakses pada tanggal 13 September 2017,
pukul:08.10 WIB.