Konsep Dasar Ekonomi bank Syariah

Buku Kecil
Ekonomi Islam

‫امعامةلالإقܦݍا يةلالإسامية‬
 Konsep Dasar Ekonomi Syariah
 Lembaga Keuangan Syariah
 Akad-akad Keuangan Syariah
 Hukum Perniagaan dalam Islam
Disertai Contoh Praktis

D.R. Hamdanny

‫انياْل ٖشا لمܿاي‬

0

‫ب݇ملهلال݁م لال݁حم‬

Edisi I/Januari 2017
1


Pengantar
Alhamdulillah,
shalawat
dan
salam
senantiasa terlimpah curah kepada
Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Melalui buku kecil ini, penulis mencoba
menguraikan
materi
yang
sangat
kompleks dan lekat dengan keseharian
ummat, yaitu ekonomi syariah dengan
berbagai aspeknya.
Materi yang begitu luas tersebut, penulis
coba suguhkan secara sederhana dalam
bahasa awam. Buku kecil ini terdiri dari
tiga bagian. Pertama, konsep dasar dan
prinsip-prinsip ekonomi syariah. Kedua,

kelembagaan keuangan syariah disertai
produk-produk derivatifnya, kemudian
bagian akhir memuat hukum mu’amalah
perniagaan disertai contoh riil pada setiap
kaidah.

2

A. Pengertian Ekonomi Syariah
Secara harfiah, ekonomi diambil dari kata
oikos, berati rumah tangga (dalam arti yang
luas), dan nomos berarti peraturan. Secara
konseptual, ekonomi muncul karena
adanya ketimpangan antara sumber daya
yang terbatas dengan kebutuhan manusia
yang cenderung terus meningkat. Maka
diperlukan suatu aturan-aturan atau
rumusan untuk memenuhi kebutuhan
dimaksud dengan keterbatasan sumber
daya guna mencapai kesejahteraan.

Adapun termin ‘syariah’ dalam frasa
‘ekonomi syariah’ merupakan istilah
populer di tanah air yang merujuk pada
Islam atau islami. Sehingga ekonomi
syariah adalah juga ekonomi Islam atau
ekonomi islami.
Ekonomi syariah sebagaimana penulis
maksud dalam buku kecil ini dibatasi pada
bagaimana “seseorang atau suatu lembaga
3

berusaha dan bekerjasama satu sama lain
dalam rangka memenuhi kebutuhan dan
kesejahteraan, sesuai dengan prinsipprinsip Al Qur’an dan sunnah”.

B. Prinsip-prinsip Dasar Ekonomi Syariah
Islam merupakan dien kamil mutakamil,
sebuah agama paripurna yang mengatur
seluruh aspek kehidupan, baik kehidupan
duniawi maupun ukhrawi. Karena

keparipurnaannya, Islam juga dapat
dimaknai sebagai peradaban, budaya dan
sistem yang menawarkan world-view
tersendiri.
Perintah berislam merupakan perintah
berserah diri secara kaffah, tidak parsial.
Dengan memeluk Islam, seseorang telah
masuk ke dalam sistem yang sempurna.
Termasuk masuk ke dalam sistem sosial-

4

ekonomi yang dikenal dengan ahkam al
mu’amalah.
Jika ditinjau secara komponensial, Islam
memiliki dimensi aqidah, syariah atau
mu’amalah, dan akhlaq. Aqidah adalah
fondasi keyakinan seorang muslim untuk
bertauhid secara benar. Aqidah memuat
aspek pengakuan tentang keesaan Allah

swt. sebagai Rabb Yang Memiliki, Merajai
dan Mengatur alam semesta. Allah swt.
sebagai Ilâh yang kepada-Nya kita
bersandar,
berharap
dan
mintai
pertolongan. Allah swt dengan asma dan
shifât kesempurnaan-Nya yang wajib
diimani.
Syariah mengatur hukum-hukum (ahkam)
dalam keseharian kehidupan manusia
seperti ahkam jinayah,termasuk juga di
dalamnya ahkam mu’amalah yang tercakup
di dalamnya hukum ekonomi syariah.

5

Dimensi ketiga adalah akhlaq yang
merupakan simpul alasan di balik

kenabian. Akhlaq adalah muara setiap
amal ibadah, sebagaimana shalat untuk
mencegah perbuatan keji dan munkar.
Shaum untuk mencapai derajat ketakwaan.
Zakat untuk membersihkan diri, serta
ibadah Haji yang mengajarkan totalitas
beribadah, sikap persaudaraan dan
pengorbanan yang dicontohkan Nabi
Ibrahim as.

Etos Kerja Ekonomi Syariah
Ekonomi Syariah berdiri di atas prinsipprinsip yang telah digariskan di dalam AlQuran dan sunnah.
Ekonomi Syariah merupakan sistem yang
terbebas
dari
unsur-unsur
yang
diharamkan oleh Allah swt. di antaranya
maysir, gharar, riba, bathil, zulm, ghisy, najasy,
6


dan komoditas non-halal. Sebagaimana
penjelasan pada bab berikutnya.
Pelaku ekonomi syariah selalu menjadikan
sikap & perilaku Nabi sebagai role model,
khususnya etos kerja beliau sebagai
pebisnis yang terpercaya.
Sikap dan Perilaku yang dikenal dengan
istilah shidq (jujur), amanah (terpercaya),
fathonah (cerdas, kreatif, inovatif), dan
tabligh
(informatif,
menyampaikan
kebenaran).
Karena ekonomi Syariah berorientasi pada
tercapainya kesejahteraan dengan ridho
dan ampunan Allah swt. (baldatun
thayyibah wa rabbun ghafur), maka dalam
praktika bisnis dan keuangan berbasis
syariah selalu memperhatikan nilai-nilai

budaya sebagai berikut:

7

฀ Mashlahat
Kemaslahatan dan perbaikan di antara
sesama manusia (QS 08:01) dan
terhadap alam semesta (QS 07:56).
฀ Hasanah
Kesejahteraan di dunia dan kemuliaan
akhirat (QS 16:122).
฀ Ukhuwwah
Menjalin persaudaraan atas landasan
iman (QS 49:10)
฀ Ri’ayah
Bertanggungjawab pada generasi yang
akan datang (QS 04:09) dan Memelihara
alam/lingkungan hidup (QS 07:56)
฀ Ta’awun
Tolong

menolong,
saling
memberdayakan dalam kebajikan dan
takwa (QS 05:02).
฀ Tanmiyah
Terus tumbuh, berkembang, berpacu
dalam kebajikan (QS 02:148)
8

C. Lembaga Keuangan Islam
Untuk memahami ekonomi syariah secara
praktis, salah satu jalan yang dapat
ditempuh adalah melalui serangkaian
tinjauan praktika bisnis (perniagaan) dan
jasa-jasa yang ditawarkan oleh Lembaga
Keuangan Syariah (LKS).
Praktika bisnis sebagaimana dimaksud
secara jelas diuraikan oleh para ahli
ekonomi Islam, bahkan sejak era klasik,
seperti tergambar jelas dalam Kitab

Perniagaan (Kitab al Buyu’) dalam Bulughul
Maram oleh Ibn Hajar, yang menjadi salah
satu referensi utama dalam buku kecil ini.
Adapun
tinjauan
pada
jasa
dan
operasionalisasi LKS dapat dijadikan
rujukan mengingat kewajiban setiap LKS
untuk memiliki Dewan Pengawas Syariah
(DPS) sebagai representatif dari Dewan
Syariah Nasional MUI. Keterlibatan DPS
mengharuskan setiap lembaga yang
9

diawasi, baik secara operasional maupun
jasa yang ditawarkan, wajib comply atau
sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
Dalam pengawasannya, DPS telah dibekali

dengan berbagai fatwa, sekurangnya saat
ini telah terbit 75 lebih fatwa yang
berkaitan dengan keuangan syariah.
LKS secara kelembagaan di Indonesia
terbagi ke dalam dua (3) kategori, yaitu
Perbankan Syariah, Lembaga Keuangan
Non Bank (LKNB) Syariah dan Lembaga
Keuangan Nirlaba Syariah.
Adapun LKNB Syariah terdiri dari
berbagai bagian sub-industri atau jasa
keuangan yang ditawarkan seperti
Lembaga
Asuransi
&
Reasuransi,
Penjaminan, Pegadaian, Dana Hari
Tua/Pensiunan, Leasing, Dana Ventura,
Koperasi, Pasar Modal Syariah dan lainlain.
10

Adapun Lembaga Keuangan Nirlaba
Syariah terdiri dari Lembaga Waqf,
Lembaga Zakat, Infak dan Sedekah,
Lembaga Penjaminan Syariah dan lain-lain.
฀ Perbankan Syariah ( ‫)المصرف اإلمي‬
Bank Syariah
sebagaimana bank
konvensional
merupakan
lembaga
intermediary (perantara) antara pemilik
dana (shahibul mal) dan pihak yang
membutuhkan dana (mudharib,‘amil).
Bank
Syariah
melakukan
fungsi
penyimpanan,
penghimpunan,
pengelolaan (investasi) dan penyaluran
dana nasabah dalam usaha atau kepada
pelaku usaha (sektor riil) untuk
mendapatkan profit, demi kesejahteraan
bersama (falah).

11

Perbedaan signifikan Bank Syariah dari
Bank Konvensional terletak pada aspek
legalitas, struktur organisasi, prinsip bisnis,
usaha yang dibiayai dan beragam jasa
yang dimiliki.
Dalam Bank Syariah, payung hukum yang
menjadi pijakan bukan hanya hukum
positif, namun juga hukum syariah.
Sehingga dalam struktur organisasi-nya
diawasi oleh Dewa Pengawas Syariah
(DPS) yang memastikan seluruh aspek
usaha dijalankan sesuai dengan nilai-nilai
Islam. Usaha Bank Syariah dijalankan
dengan prinsip bagi-hasil, jual-beli atau
sewa. Berbeda dengan Bank Konvensional
yang menggunakan perangkat bunga
(interest).
Bank Syariah tidak memandang uang
sebagai
komoditas
yang
dapat
diperdagangkan, sebagaimana tak dikenal
pula istilah time-value of money. Uang
12

dipahami sebagai alat tukar, yang
diperoleh dengan adanya iwadl, baik itu
berupa barang atau jasa. Itulah yang
menyebabkan Bank Syariah sangat lekat
dengan sektor riil.
Bank Syariah di Indonesia berbentuk Bank
Umum Syariah (full fledge), Unit Usaha
Syariah (UUS) dari Bank Konvensional,
dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah
(BPRS).
฀ Produk-produk Perbankan Syariah
Bank
Syariah
melakukan
usaha
penghimpunan, pengelolaan, penyaluran
dana nasabah, serta usaha lainnya, seperti
L/C Export & Import, penyediaan dana
talangan, jual-beli, pembayaran gaji
(payroll), penyimpanan dalam Safe Deposit
Box, dan sebagainya.

13

Berikut beberapa ragam produk dan akad
yang populer dalam Bank Syariah:
- Tabungan
Tabungan di Bank Syariah dilakukan
tanpa adanya unsur atau perhitungan
bunga. Dan dilakukan berdasarkan prinsip
mudharabah dan wadi’ah.
Jika menggunakan prinsip mudharabah,
maka nasabah menjadi pemilik modal
(shahibul mal), sedangkan Bank menjadi
mudharib yang dapat melakukan berbagai
usaha, termasuk bekerjasama dengan
pihak lain. Keuntungan bagi keduanya
dihitung dengan nisbah atau prosentase
dari profit yang didapatkan.
Sedangkan tabungan dengan dasar wadiah,
uang nasabah merupakan titipan semata
yang boleh diambil kapan saja, tanpa
adanya kewajiban
Dasar hukum untuk produk ini adalah
14

Firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 283:

ٞ ‫ ذ‬ٞ ‫ؤ‬ٜ ‫ي‬ٝ ْ‫ل‬ٜ‫ الف‬ٙ‫ ْعض‬ٜ ‫ ُْلب‬ٝ ٝ‫ ْعض‬ٜ ‫ لب‬ٜ ‫م‬ٞ ‫ا ْٔل َأ‬ٜ‫ف‬..
..ٝ‫ بذه‬ٜ ‫لهل‬
ٜ ٞ ‫يتذ‬ٜ ْ‫لٖل‬،ٝ
ٜ ‫ه‬ٜ‫ت‬ٜ‫مان‬ٜ ‫ ل َأ‬ٜ ٞ ٝ‫لاَٗلاؤْ ت‬
ِ

“…Maka, jika sebagian kamu mempercayai
sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai
itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Tuhannya…”.
Dan Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah:

‫َل‬ٜ ‫ لا‬ٝ ‫ب ْي‬ٜ ْ‫ال‬ٜ ‫ل‬:‫ة‬ٝ ‫ك‬ٜ َٜ ٜ ْ‫ ذ لال‬ٞ ْْ‫ف‬ٞ ‫ ل‬ٚ ‫ا‬ٜ ٜ ‫لث‬:ْٜ ‫ا‬ٜ‫لّ لق‬ٜ‫س ذ‬ٜ ٖ‫ل‬ٜ ِٞ ٞ ‫لٖأ‬ٜ ‫ه‬ٞ ‫ ْي‬ٜ ‫ل‬ٜ‫لهلع‬
ٝ َ‫لص ذ‬ٜ ِ‫ ذ‬ٞ ‫أ ذٔلالنذ‬
ِ
‫ل ٖا لا ل‬ٞ ‫ب ْي‬ٜ ْ‫ل‬ٞ ‫لل‬ٜ ‫ْبل‬ٞ ‫بل‬ٜ ْ‫ل‬ٞ ‫يل‬ٞ ْ ‫ع‬ٞ َََََ‫لع ذلر‬ٞ َٞ ٝ ْ‫لال‬ْْٝ‫ُل‬ٜ ٖ‫ل‬،
ٜ ‫ة‬ٝ َََََ‫ض‬ٜ ٜ ‫ا‬ٜ ٝ ْ‫لٖال‬،
ٜ ٛ ‫ج‬ٜ ‫َأ‬
)‫ماجهلع لصهيب‬
“Nabi bersabda, ‘Ada tiga hal yang
mengandung berkah: jual beli tidak secara
tunai, muqaradhah (mudharabah), dan
mencampur gandum dengan jewawut
untuk keperluan rumah tangga, bukan
untuk dijual.’” (HR. Ibnu Majah dari
Shuhaib).

15

- Deposito
Deposito,
sebagaimana
tabungan
umumnya dilakukan dengan prinsip
mudharabah.
Dalam transaksi ini, nasabah bertindak
sebagai shahibul maal atau pemilik dana,
dan bank bertindak sebagai mudharib atau
pengelola dana.
Dalam kapasitasnya sebagai mudharib,
bank dapat melakukan berbagai macam
usaha yang tidak bertentangan dengan
prinsip syari’ah dan mengembangkannya,
termasuk di dalamnya mudharabah
dengan pihak lain. Modal dinyatakan
dengan jumlahnya, dalam bentuk tunai
dan bukan piutang.
Pembagian keuntungan harus dinyatakan
dalam bentuk nisbah dan dituangkan
dalam akad pembukaan rekening.

16

- Jual-beli Murabahah
Jual Beli Murabahah yaitu menjual suatu
barang dengan menegaskan harga belinya
kepada
pembeli
dan
pembeli
membayarnya dengan harga yang lebih
sebagai laba.
Bank membiayai sebagian atau seluruh
harga pembelian barang yang telah
disepakati kualifikasinya. Bank membeli
barang yang diperlukan nasabah atas
nama bank sendiri dan menyampaikan
segala hal terkait pembelian, seperti
membelinya
secara
hutang
dan
sebagainya.
Bank kemudian menjual barang tersebut
kepada nasabah (pemesan) dengan harga
jual senilai harga beli plus keuntungannya.
Dalam kaitan ini, Bank memberitahu
secara jujur harga pokok barang kepada
nasabah berikut biaya yang diperlukan.
17

Adapun nasabah membayar harga barang
yang telah disepakati tersebut pada jangka
waktu tertentu yang telah disepakati.
Landasan hukum jual-beli murabahah
adalah Firman Allah QS. al-Baqarah [2]:
275:

…‫لع‬ٜ ݁‫لال‬
ٞ ٜٓ ݁‫ح ذ‬ٜ ٖ‫ل‬ٜ ٜ ‫ب ْي‬ٜ ْ‫ذلهلال‬
ٝ ‫ح‬ٜ ‫ٖ َأ‬ٜ ‫…ل‬
"…Dan Allah telah menghalalkan jual beli
dan mengharamkan riba…."

- Giro
Giro adalah simpanan dana yang
penarikannya dapat dilakukan setiap saat
dengan penggunaan cek, bilyet giro,
sarana perintah pembayaran lainnya, atau
dengan pemindahbukuan.
Giro dilakukan tanpa perhitungan bunga,
dan dengan prinsip mudharabah dan
18

wadi’ah, sebagaimana penjelasannya pada
tabungan dan deposito.
- Letter of Credit (L/C) Ekspor
Letter of Credit (L/C) Ekspor Syariah
adalah surat pernyataan akan membayar
kepada Eksportir yang diterbitkan oleh
Bank untuk memfasilitasi perdagangan
ekspor dengan pemenuhan persyaratan
tertentu sesuai dengan prinsip syariah
L/C
Ekspor
Syariah
dalam
pelaksanaannya meng-gunakan akadakad: Wakalah bil Ujrah, Qardh, Mudharabah,
Musyarakah dan Al-Bai’.
Akad untuk L/C Ekspor yang sesuai
dengan syariah dapat berupa:
a. Akad Wakalah
ketentuan:

bil

Ujrah

dengan

Bank melakukan pengurusan dokumendokumen ekspor, kemudian melakukan
19

penagihan (collection) kepada bank
penerbit L/C (issuing bank), selanjutnya
dibayarkan kepada eksportir setelah
dikurangi ujrah. Adapun besar ujrah harus
disepakati di awal dan dinyatakan dalam
bentuk nominal, bukan dalam prosentase.
b. Akad Wakalah bil Ujrah dan Qardh
dengan ketentuan:
Bank melakukan pengurusan dokumendokumen ekspor, kemudian melakukan
penagihan (collection) kepada bank
penerbit L/C (issuing bank);
Bank memberikan dana talangan (Qardh)
kepada nasabah eksportir sebesar harga
barang ekspor. Besar ujrah disepakati di
awal dan dinyatakan dalam bentuk
nominal, bukan dalam bentuk prosentase.

20

c. Akad Wakalah Bil Ujrah dan Mudharabah
dengan ketentuan:
Bank memberikan kepada eksportir
seluruh dana yang dibutuhkan dalam
proses produksi barang ekspor yang
dipesan oleh importir. Kemudian, Bank
melakukan
pengurusan
dokumendokumen
ekspor
serta
melakukan
penagihan (collection) kepada bank
penerbit L/C (issuing bank).
Pembayaran oleh bank penerbit L/C dapat
dilakukan pada saat dokumen diterima (at
sight) atau pada saat jatuh tempo (usance);
Pembayaran dari bank penerbit L/C
(issuing bank) dapat digunakan untuk
Pembayaran ujrah, Pengembalian dana
mudharabah, Pembayaran bagi hasil.
Besar ujrah harus disepakati di awal dan
dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan
dalam bentuk prosentase.
21

d. Akad Musyarakah dengan ketentuan:
Bank memberikan kepada eksportir
sebagian dana yang dibutuhkan dalam
proses produksi barang ekspor yang
dipesan oleh importir. Kemudian Bank
melakukan
pengurusan
dokumendokumen
ekspor
dan
melakukan
penagihan (collection) kepada bank
penerbit L/C (issuing bank);
Pembayaran oleh bank penerbit L/C dapat
dilakukan pada saat dokumen diterima (at
sight) atau pada saat jatuh tempo (usance);
Pembayaran dari bank penerbit L/C
(issuing bank) dapat digunakan untuk:
Pengembalian dana musyarakah, dan
Pembayaran bagi hasil.

22

e. Akad Al-Bai’ (Jual-beli) dan Wakalah
dengan ketentuan:
Bank membeli barang dari eksportir.
Kemudian Bank menjual barang kepada
importir yang diwakili eksportir;
Bank membayar kepada eksportir setelah
pengiriman barang kepada importir;
฀ LKNB Syariah
Selain produk-produk Perbankan Syariah,
terdapat juga beberapa produk keuangan
syariah yang dikeluarkan oleh Lembaga
Keuangan Non Bank Syariah, seperti
Lembaga Asuransi Syariah, Lembaga
Reksadana Syariah, Lembaga Pegadaian
Syariah, Lembaga Penjaminan Syariah,
Lembaga Leasing (Ijarah) Syariah, dan lain
sebagainya.

23

Berikut kilasan produk-produk dimaksud
merujuk pada fatwa Dewan Syariah
Nasional MUI.
- Asuransi Syariah
Asuransi Syariah (Ta’min, Takaful atau
Tadhamun) adalah usaha saling melindungi
dan tolong-menolong di antara sejumlah
orang/pihak melalui investasi dalam
bentuk aset dan/atau tabarru’ yang
memberikan pola pengembalian untuk
menghadapi resiko tertentu melalui akad
(perikatan) yang sesuai dengan syariah.
Dalam akad tijarah (mudharabah),
perusahaan bertindak sebagai mudharib
(pengelola) dan peserta bertindak sebagai
shahibul mal (pemegang polis);
Sedangkan dalam akad tabarru’ (hibah),
peserta memberikan hibah yang akan
digunakan untuk menolong peserta lain
yang terkena musibah. Sedangkan
24

perusahaan bertindak sebagai pengelola
dana hibah.
Dasar hukum asuransi syariah, salah
satunya adalah hadist Nabi saw. sebagai
berikut:

‫م ْ ل‬ٞ ‫ةل‬ٙ ٜ ‫ك ْ݁ب‬ٝ ‫ل‬ٝ‫ع ْنه‬ٜ ‫لهل‬
ٝ ٜ ݁‫ ذ‬ٜ‫لف‬،‫يا‬ٜ ْ‫بلادُ ن‬ٞ ٜ݁ ‫ك‬ٝ ‫م ْ ل‬ٞ ‫ةل‬ٙ ٜ ‫ك ْ݁ب‬ٝ ‫ّل‬ٛ ٞ ْ݇ ‫م‬ٝ ‫ع ْ ل‬ٜ ‫ ل‬ٜ ݁‫ ذ‬ٜ‫م ْٔلف‬
ْ ٞ ٝܿ‫ع ْب‬ٜ ْ‫ٓلال‬ٜ ‫ا‬ٜ ‫ما‬ٜ ‫ܿل‬ٞ ‫ع ْب‬ٜ ْ‫ٔلال‬ٞ ‫ع ْو‬ٜ ‫لِل‬
ْٞ‫ه‬
‫هل‬ٞ ‫خ ْي‬ٞ ‫ٔل َأ‬ٞ ‫ع ْو‬ٜ ‫لِل‬
ٝ ٖ‫ل‬،
ٜ ‫ة‬ٞ ‫م‬ٜ ‫يا‬ٜ ٞ ْ‫ٓلال‬ٞ ‫ ْو‬ٜ ‫بلي‬ٞ ٜ݁ ‫ك‬ٝ
)ّ݇‫ ٖا لم‬.
“Barang siapa melepaskan dari seorang
muslim suatu kesulitan di dunia, Allah
akan melepaskan kesulitan darinya pada
hari kiamat; dan Allah senantiasa
menolong hamba-Nya selama ia (suka)
menolong saudaranya” (HR. Muslim dari
Abu Hurairah).
- Pegadaian Syariah (Rahn)
Pegadaian Syariah adalah pinjaman
dengan menggadaikan barang sebagai
jaminan hutang dalam bentuk Rahn
dengan ketentuan Murtahin (penerima
25

barang) mempunyai hak untuk menahan
Marhun (barang) sampai semua hutang
Rahin (yang menyerahkan barang)
dilunasi.
Marhun dan manfaatnya tetap menjadi
milik Rahin. Pada prinsipnya, Marhun
tidak boleh dimanfaatkan oleh Murtahin
kecuali seizin Rahin, dengan tidak
mengurangi
nilai
Marhun
dan
pemanfaatannya itu sekedar pengganti
biaya pemeliharaan dan perawatannya.
Dasar hukum pegadaian syariah adalah
Firman Allah, QS. Al-Baqarah [2]: 283:

ٜ ْٖ َٝܿٞ‫ل‬ٜ ‫ ْم‬ٜ ‫لٖل‬ٜ ݁ٛ ٜ ‫لس‬ٜ َٜ ٜ‫ ُْلع‬ٝ ‫ك ْن‬ٝ ‫ٖا ْٔل‬ٜ …
‫ةل‬ٚ ٜ‫ب ْوض‬ٝ ْ ‫م‬ٜ ‫أل‬ٜٚ ‫݁ه‬ٞ ٜ‫بالف‬ٙ ‫ت‬ٞ َ‫ال‬
ِ

“Dan apabila kamu dalam perjalanan
sedang kamu tidak memperoleh seorang
juru tulis maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang ...”.

26

- Leasing (Ijarah)
Ijarah adalah akad pemindahan hak guna
(manfaat) atas suatu barang atau jasa
dalam waktu tertentu melalui pembayaran
sewa/upah,
tanpa
diikuti
dengan
pemindahan kepemilikan barang itu
sendiri. Jika diikuti dengan pemindahan
kepemilikan, maka dinamai dengan ijarah
muntahiyah bit tamlik.
Dasar hukum ijarah, salah satunya adalah
Firman Allah QS. al-Zukhruf [43]: 32:

ْ ٜ ٜ ‫ب‬ٞ ٜ ‫بل‬ٜٜ ‫ ْم‬ٜ ‫ٔل‬ٜ ‫ ْو‬ٝ ݇ٞ ْ ٜ ‫ ُْلي‬ٝ ‫َأ‬
‫ ل‬ٞ ‫يا‬ٜ ‫ي‬ٜ ْ‫لِلال‬ٞ ‫ ْم‬ٝ‫ل‬ٜ‫ْر ت‬ٜ ‫عل‬ٞ ‫م‬ٜ ‫ ْمل‬ٝ َْٜ‫ل‬ٜ‫الب‬ٜ‫݇ ْ ن‬ٜ ٜ‫ لق‬ٝ َ‫ل‬،
ْ ٝ ٙ‫ ْعض‬ٜ ‫ ْملب‬ٝ‫ ه‬ٝ‫ ْعض‬ٜ ‫݀لب‬ٜ ܾٞ ‫يتذ‬ٜ ‫ل‬ٞ ‫ ل‬ٛ ‫جا‬ٜ ٜ ٜ ‫ݎل‬ٛ ‫ ْع‬ٜ ‫ِلب‬ٜ ‫ ْو‬ٜ‫ ْملف‬ٝ‫ ه‬ٜ‫ ْعض‬ٜ ‫الب‬ٜ‫ ْعن‬ٜ‫ ف‬ٜ ٖ‫ل‬،‫ا‬
‫ل‬،ً‫݁ ا‬ٞ ُ‫ال‬
ٜ ‫ي‬ٜ ْ‫ادُ ن‬
ْ ٜ ‫م ذ‬ٞ ‫يل‬ٜٚ ْ ُ‫ ل‬ٜ ‫ب‬ٞ ٜ ‫بل‬ٜٝ ‫ ْم‬ٜ ٖ.ٜ
ٔ‫ل‬ٜ ‫ع ْو‬ٝ ٜ َ‫ال‬
“Apakah mereka yang membagi-bagikan
rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan
antara mereka penghidupan mereka
dalam kehidupan dunia, dan Kami telah
meninggikan sebagian mereka atas
sebagian yang lain beberapa derajat, agar
27

sebagian mereka dapat mempergunakan
sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu
lebih baik dari apa yang mereka
kumpulkan.”

- Obligasi Syariah
Obligasi Syariah adalah suatu surat
berharga jangka panjang berdasarkan
prinsip syariah yang dikeluarkan Emiten
kepada pemegang Obligasi Syariah yang
mewajibkan Emiten untuk membayar
pendapatan kepada pemegang Obligasi
Syariah berupa bagi hasil/margin/fee serta
membayar kembali dana obligasi pada saat
jatuh tempo.
Akad yang dapat digunakan dalam
penerbitan obligasi syariah antara lain
Mudharabah (Muqaradhah)/ Qiradh,
Musyarakah, Murabahah, Salam, Istishna,
dan Ijarah.
28

Dasar hukum obligasi syariah, salah
satunya adalah Firman Allah SWT, QS. AlIsra’ [17]: 34:

ٜ ْٜܿ‫عه‬ٜ ْ‫لا ذٔلال‬،ܿٞ ْ‫عه‬ٜ ْ‫العل‬ٞ ‫ ْو‬ٝ‫ٖ َأ ْٖف‬ٜ
…‫لل‬ٙ ‫ئ ْو‬ٝ ْ݇ ‫م‬ٜ ‫ٔل‬ٜ َ‫ل‬
ِ

“…dan penuhilah janji; sesungguhnya janji
itu
pasti
diminta
pertanggungan
jawabnya.”
Dan Hadist Nabi riwayat Imam alTirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf al-Muzani,
Nabi s.a.w. bersabda:

‫مال‬ٙ ‫݁ا‬ٜ ‫ح‬ٜ ‫ح ذل‬ٜ ‫لل َأ ْٖل َأ‬ٙ ‫ا‬ٜ ‫ح‬ٜ ‫ٓل‬ٜ ݁‫ح ذ‬ٜ ‫حال‬ٙ ْ‫لصل‬ٝ ‫ْلالذ‬ٜ ٞ ‫ل‬ٞ ْ݇ ٝ ْ‫ْلال‬ٜ ْ ٜ ‫زلب‬ٚ ٞ‫جائ‬ٜ ‫حل‬ٝ ْ‫ا ُلݍل‬ٜ
ِ
‫لما‬ٙ ‫݁ا‬ٜ ‫ح‬ٜ ‫ح ذل‬ٜ ‫لل َأ ْٖل َأ‬ٙ ‫ا‬ٜ ‫ح‬ٜ ‫ٓل‬ٜ ݁‫ح ذ‬ٜ ‫طال‬ٙ ُ‫ل‬
ْ ٜ ‫ ْملالذ‬ٞ‫طه‬ٞ ُٖ‫ل‬
ٝ ٝ َٜ ٜ‫ؤلع‬
ٜ ٝ ‫ل‬ٞ ْ݇ ٝ ْ‫ٖال‬ٜ .
ِ

“Perjanjian boleh dilakukan di antara
kaum muslimin kecuali perjanjian yang
mengharamkan
yang
halal
atau
menghalalkan yang haram; dan kaum
muslimin terikat dengan syarat-syarat
mereka
kecuali
syarat
yang
29

mengharamkan
yang
halal
menghalalkan yang haram.”

atau

- Penjaminan Syariah (Kafalah)
Kafalah ialah jaminan yang diberikan oleh
penanggung (kafiil) kepada pihak ketiga
untuk memenuhi kewajiban pihak kedua
atau yang ditanggung (makfuul ‘anhu,
ashil);
Kafalah
dapat
dikeluarkan
oleh
perseorangan, lembaga keuangan, atau
bahkan oleh negara.
Dasar hukum kafalah adalah Firman Allah
dalam QS. Yusuf [12]: 72::

ٞ ٞ ٜ ْ‫لال‬ٜ‫واع‬ٜ ‫لص‬ٝ ٝܿٞ ْ ٜ ‫ ْوالن‬ٝ‫ال‬ٜ‫ق‬.
ْ ٞ ‫ه‬ٞ ‫ب‬ٞ ‫اءل‬ٜ ‫ج‬ٜ ‫ ْ ل‬ٜ ‫ل‬ٞ ٖ‫ل‬ٜ ِ
‫لم‬ْٚ ‫ع‬ٞ ٜ ‫هل‬ٞ ‫ب‬ٞ ‫ ل‬َٜ‫لٖ َأ‬ٜ ‫ي‬ٛ ْ ‫ع‬ٞ ٜ ‫لب‬ٝ ‫لم‬
“Penyeru-penyeru itu berseru: ‘Kami
kehilangan piala Raja; dan barang siapa
yang dapat mengembalikannya, akan
memperoleh bahan makanan (seberat)
30

beban
unta,
terhadapnya.”

dan

aku

menjamin

Dan firman Allah QS. al-Ma’idah [5]: 2:

‫أل‬ٞ ٖٜ ْܿ‫ع‬ٝ ْ‫لٖال‬ٜ ْٞ ْ ‫َل ْال‬ٜ ٜ‫والع‬ْٝ ‫اٖن‬ٜ ‫ع‬ٜ ٜ‫للت‬ٜ ٖ‫ل‬،ٗ
ٜ ‫و‬ٜ ْ ‫لٖالتذ‬ٜ َٞ ٞ ْ‫َلال‬ٜ ٜ‫والع‬ْٝ ‫اٖن‬ٜ ‫ع‬ٜ ٜ ‫ٖت‬ٜ .
ِ

“Dan
tolong-menolonglah
dalam
(mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan
janganlah
tolong-menolong
dalam
(mengerjakan) dosa dan pelanggaran.”

- Zakat, Infak, Sedekah & Waqf
Selain produk-produk tersebut di atas dan
produk profitable lainnya, terdapat juga
produk keuangan yang bertujuan sosial.
Seperti zakat, infak, sedekah & waqf
(disingkat
ziswaf)
dalam
berbagai
bentuknya. Produk nirlaba seperti ini
merupakan
bagian
penting
dalam
perekonomian syariah. Bahkan zakat
31

menjadi salah satu pilar atau rukun dalam
agama.
Produk ziswaf sangat dibutuhkan dalam
membantu
pemberdayaan
dan
pemerataan kesejahteraan di antara
ummat. Secara kelembagaan ziswaf dapat
dikelola baik oleh Pemerintah, seperti
Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) &
Badan Waqaf Indonesia (BWI) ataupun
secara swadaya oleh masyarakat.

32

D. Hukum Perniagaan dalam Islam
Perniagaan atau jual-beli secara harfiah
berarti pertukaran kepemilikan hartabenda dengan harta-benda lainnya.
Sedangkan secara syariah, pertukaran
dimaksud harus dilandasi dengan suka
rela (at-taradhi).
Terdapat sekurangnya memiliki delapan
jenis perniagaan: jual-beli benda dengan
uang (ain bin naqd) seperti yang lumrah kita
temui setiap hari, jual-beli barter (almuqabadhah) seperti pertukaran baju
dengan biji kakao, jual-beli atau
pertukaran mata uang (as sharf), jual-beli
utang dengan barang, pesanan dengan
pembayaran yang ditangguhkan (as salam),
jual-beli yang tidak berpatokan pada harga
sebelumnya (al musawamah), jual-beli
dengan profit yang disepakati bersama (al
murabahah), jual-beli dengan kesepakatan

33

harga awal (at tawliyah), jual-beli dengan
tambahan pada modal (al muwadha’ah).
Hukum perniagaan pada dasarnya adalah
halal selama tidak mengandung unsur riba,
maysir (gambling), gharar (spekulatif), gish
(perbuatan curang), kezaliman dan
keharaman produk atau jasa yang
diperjual-belikan.
Kaidah
dalam
perniagaan secara ushul fiqh, adalah sejalan
dengan
hukum
mu’amalah,
yaitu
diperbolehkan selama tidak ada dalil yang
mengharamkannya. Karena dasarnya
adalah ibahah atau boleh, maka praktisi
bisnis atau niagawan sejatinya diberi
kebebasan untuk berinovasi dan berkreasi
selebar-lebarnya, dengan catatan tetap
memperhatikan prinsip-prinsip Quran dan
sunnah.
Karena dasarnya boleh, halal dan atau
diperkenankan, penulis dalam buku kecil
ini merasa tidak perlu untuk menguraikan
34

apa-apa saja yang dapat dilakukan atau
diperjual-belikan.
Alih-alih
penulis
mencoba menguraikan beberapa larangan
disertai alasan atau reasoning atas larangan
dimaksud.
฀ Anjuran Bekerja dan Berniaga

Bahkan perniagaan bukan saja halal, tapi
dianjurkan oleh baginda Nabi Muhammad
saw. Sebagaimana diriwayatkan Bazzar ra.,
bahwasanya Nabi saw ditanya: “Pekerjaan
apa yang paling baik?” Nabi bersabda:
“Pekerjaan seseorang dengan kedua
tangannya dan setiap jual beli yang mabrur”
yakni jual beli yang terbebas dari sumpah
palsu dan dari kecurangan dalam
mu’amalah.
Tidaklah sulit bagi ummat Islam untuk
mencari model perniagaan yang ideal, baik
secara konseptual maupun praktis. Karena
ummat dianugerahi seorang rasul yang
jauh sebelum menjadi Nabi Allah telah
35

dikenal luas sebagai seorang pebisnis dan
pedagang ulung serta disegani seantero
jazirah karena kejujurannya.
฀ Perselisihan antara Pedagang & Pembeli
Dalam sebuah riwayat, seorang sahabat
bernama Asyats membeli raqiq kepada Ibn
Mas’ud ra. dengan harga 10.000, kemudian
ia
mengutus
Abdullah
untuk
membayarnya.
Ternyata
Abdullah
membayar
raqiq
tersebut
20.000
sebagaimana diminta oleh penjualnya.
Lalu Abdullah
berkata: hadirkanlah
seorang saksi untuk menjadi penengah
antara aku dan dirimu. Asy’ats berkata:
kamu saksi antara aku dan dirimu sendiri.
Abdullah pun berkata: sesungguhnya aku
mendengar Rasulullah saw. bersabda:

ْ‫إا الاخܦلفلامتبايعألٖللسلبلَالبللنةلفال و‬
36

)َٔ ‫مالي وْل بلال݇لعةلأٖليتܦا‬
‫ٖا لام݇ةلٖححهلا ام‬
“Jika terjadi perselisihan antara penjual
dan pembeli dan tidak ada bukti di antara
mereka, maka kesaksian (yang dapat
dibenarkan) adalah kesaksian pemilik
barang
(penjual),
atau
keduanya
meninggalkan
(transaksi)”
yakni
membatalkannya karena tidak tercapai
kesepakatan.”
Perselisihan
sebagaimana
dimaksud
berlaku tidak saja dalam kesepakatan
harga, namun juga pada kualitas produk,
syarat transaksi dan lain sebagainya.
฀ Hukum Komersialisasi Air
Air merupakan kebutuhan asasi bagi
kehidupan. Setiap makhluk hidup
membutuhkan air. Oleh karena itu,
37

ketersediaan, bahkan akses terhadap air
idealnya difasilitasi oleh negara secara
cuma-cuma. Terlebih di Indonesia yang
sejak awal berdiri telah mendeklarasikan
dalam UUD 1145 bahwa bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Islam mengakui kepemilikan atas suatu
harta-benda, termasuk tanah yang bisa jadi
terkandung di dalamnya air, seperti sumur.
Namun
demikian,
Islam
tak
memperkenankan pemilik sumur untuk
memungut bayaran atas air yang
digunakan di sumur tersebut oleh
masyarakat.
Sebagaimana sabda nabi
berikut

:‫لهى ل سوْلهلصَلهلعليهل ع لجا ݁ل لعبܿلهلقاْل‬
ّ݇‫ٖسّلع لبي لفض لاماء)ل ٖا لم‬
38

Dari Jabir bin Abdillah
berkata: ”Rasulullah saw. melarang jualbeli air yang berlebih”.

Maksudnya, setelah kebutuhan akan air
untuk diri dan keluarganya terpenuhi, tak
diperkenankan untuk memberi tarif atau
memungut bayaran atas penggunaan air
yang ‘dimilikinya’. Karena sejatinya air
adalah milik bersama, diciptakan Allah
swt. untuk semua, sebagaimana udara.
฀ Hukum Jual-Beli ‘Asb al Fahl
‘Ashb al Fahl adalah jasa mengawinkan
ternak, yaitu memperjual-belikan mani
yang keluar dari pejantan.
Jual-beli jasa sebagaimana dimaksud kerap
terjadi di desa-desa atau diperkampungan.
Meski terjadi perbedaan hukum terkait
39

transaksi seperti ini, namun mayoritas
ulama menghukuminya dengan haram.
Dengan merujuk pada hadist nabi sebagai
berikut:

:‫ٖع لا لم݁ل يلهلعَالقاْل‬
) ‫هى ل سوْلهلصَلهلعليهلٖسّلع لع݇بلال ح‬
٘ ‫ٖا لالبܾا‬
“Dari Ibn Umar ra., berkata:
Rasulullah saw. melarang ashb’ al fahl.”
Sebagian ulama yang berpandangan lain
seperti sebagian penganut mazhab Syafi’i
dan Hanbali melihatnya sebagai bentuk
ijarah atau sewa, yakni menyewa ternak
untuk kebutuhan berkembang-biak.

40

฀ Hukum Jual-Beli Habalil Habalah
Jual beli habalil habalah adalah jual-beli
kandungan di dalam perut unta sampai
kandungan itu melahirkan kembali unta.
Unta yang dilahirkan itulah yang dijualbelikan. Jual-beli seperti ini mengandung
gharar, spekulatif atau ketidakpastian.
Karena boleh dikatakan objek yang
diperjualbelikan belum ada atau bahkan
tidak ada sama sekali.

:‫ٖع لا لم݁ل يلهلعَالقاْل‬
‫لَٔلبيعال‬,‫هى ل سوْلهلصَلهلعليهلٖسّلع لحب لا بة‬
‫لَٔلال݁ج ليبܦاعلا زٖ لاإَلأٔلتنܦجلالناقة‬:‫يتاعهلأه لا اهلية‬
‫لْلتنܦجلاليلِلب َا‬
٘ ‫لٖا ل ل لبܾا‬,‫مܦ لعليه‬
Dari Ibn Umar ra. berkata: “Rasulullah
melarang habalil habalah, yaitu jual41

belinya orang Jahiliyah, yaitu ketika
seseorang membeli jazur (unta) yang akan
melahirkan naqah (unta) dan (akan)
melahirkan apa yang ada di perutnya.
฀ Hukum Bay’ al Hashat
Secara harfiah, hashat dapat dimaknai
dengan lemparan (batu). Maka, Bay’al
Hashat menjadi jual-beli dengan melempar.
Terdapat beragam pengertian mengenai
bay’ al hashat, di antaranya menjadikan
jarak lemparan batu sebagai patokan objek
(tanah/lahan) yang diperjual-belikan.
Pengertian lain, menjadikan target
lemparan sebagai objek yang diperjualbelikan. Pelarangan transaksi seperti ini
karena mengandung unsur ketidakpastian.

42

Sebagaimana sabda nabi saw.:

‫ل هى ل سوْلهلع لبي ل‬:ْ‫ٖع لأيله݁ي݁ ل يلهلعنهلقا‬
ّ݇‫ا ݍا لٖبي لالغ݁ )ل ٖا لم‬
Dari Abu Hurairah ra., berkata:
Rasulullah saw melarang bay’ al hashat
dan jual-beli gharar (HR.Muslim)
Adapun jual-beli gharar adalah jual-beli
yang
mengandung
spekulasi
dan
ketidakpastian seperti:
-

Jual beli habalil habalah
Jual beli al hashat
Jual beli al malaqih
Jual beli al madhamin
Jual beli buah sebelum tumbuh/panen
Jual beli al mulamasah
Jual beli al munabadzah
Jual beli ikan di laut, burung di langit
Dan jenis lainnya yang tidak pasti

43

Uraian mengenai masing-masing jual beli
tersebut dibahas secara terpisah dalam
buku kecil ini.
฀ Hukum Menakar atau Menimbang
Jual-beli suatu komoditas, khususnya
barang konsumsi, membutuhkan takaran.
Takaran diperlukan untuk memastikan
kesamaan kualitas dan kuantitas produk
dengan harga produk tersebut. Tanpa
takaran yang baik, kerap kali konsumen
yang menjadi korban.
Jenis takaran berbeda-beda, sesuai dengan
jenis produk yang diperjual-belikan. Di
antaranya
diukur
dengan
jumlah
(kuantitas), dengan timbangan gram, liter,
ukuran luas, dan lain sebagainya.
Menjadi
kewajiban
penjual
untuk
menyediakan dan menimbang atau
menakar produk yang dijual sebelum
44

sampai di tangan pembeli, dengan takaran
yang benar. Sebagaimana sabda Nabi saw.,

ّ‫ٖع لأيله݁ي݁ ل يلهلعنهلأٔل سوْلهلصَلهلعليهلٖس‬
ّ݇‫قاْل م لاشرٗلطعامالفاليبعهلحىلي ܦاِ)ل ٖا لم‬
Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah
saw. bersabda: “Barang siapa membeli
makanan, maka janganlah menjualnya
sampai ia menimbangnya (terlebih
dahulu).” HR. Muslim
฀ Hukum 2 Shafaqah dalam 1 Shafaqah
Larangan ini memiliki banyak pengertian,
di antaranya, seorang penjual yang
berkata: “Saya jual pada Anda seharga 2
juta secara utang, atau 1 juta secara tunai,
terserah Anda mau ambil yang mana.” Hal
ini tidak diperkenankan dalam Islam
karena
mengandung
ketidakpastian
45

(harga), dan atau menjadikan waktu
sebagai alasan penambahan nilai.
Sebagaimana pernyataan penjual, “Saya
jual dengan harga sekian secara utang, dan
dengan harga sekian dan sekian secara
tunai,” sebagaimana diperkuat dengan
hadist riwayat Ahmad mengenai larangan
2 shafaqah dalam 1 shafaqah.
Yang melandasi tidak sahnya jual beli
seperti ini adalah ketidakjelasan harga
yang sesungguhnya, selain prinsip time
value
yang
dihitung
oleh
uang
sebagaimana sistem ribawi.
Kedua, Imam Syafi’i berkata, “Saya jual
budak saya padamu, dengan syarat kamu
menjual pada saya kudamu.”
Ketiga, seseorang berutang satu Dinar
dalam bentuk sejumlah gandum dengan
jangka satu bulan, namun setelah waktu
berakhir peminjam meminta agar gandum
46

tersebut dijual padanya untuk dua bulan
dengan kesepakatan akan dibayar dengan
dua kali jumlah gandum dimaksud.
Larangan 2 bentuk kesepakatan dalam 1
kesepakatan di atas, merujuk pada sabda
nabi saw.:

:ْ‫ٖع لأيله݁ي݁ ل يلهلعنهلقا‬
)‫ل هى ل سوْلهلصَلهلعليهلٖسّلع لبيعتْلِلبيعة‬
ٔ‫ل ٖا لأمܿلٖالن݇ايلٖححهلالرمي݀٘لٖا لحبا‬
)‫ٖليل اٖ ل م لععلبيعتْلِلبيعةلفهلأٖك݇هالأٖلال݁ع‬
Dari Abu Hurairah ra. berkata:
“Rasulullah saw melarang dua jual-beli
dalam satu jual-beli”
Dan dari Abu Dawud ra.:
“Barang siapa melakukan dua jual-beli
dalam satu jual beli, maka terkandung di
dalamnya riba.”
47

Meski banyak ahli ilmu melarangnya,
bentuk transaksi seperti ini masih
diperbolehkan oleh sebagian besar ulama,
selama terdapat batasan (hadd) atas
tambahan
keuntungan
(ribh)
yang
disepakati di awal, tanpa spekulasi dan
tidak berlebihan.

฀ Hukum Jual Beli dengan 2 Syarat

Pada transaksi perniagaan, tak jarang
ditemukan pelanggan yang meminta
syarat pembelian yang berbelit, misalkan:
“Saya beli baju itu, asalkan dijahitkan
seperti begini atau begitu, lalu minta diberi
pernak-pernik seperti ini atau itu, lalu
dibungkus dalam bingkisan seperti ini
atau itu,” atau mungkin juga ditemukan
pelanggan yang berani membayar mahal
asalkan pembayaran ditangguhkan.
Berikut adalah dasar hukum atas
fenomena tersebut dan uraian singkatnya:
48

‫لقاْل‬:ْ‫ع لمٖ݁ل لشعيبلع لأبيهلع لجܿ ل يلهلعَالقا‬
‫سوْلهلصَلهلعليهلٖسّل للح لسلفلٖلبي لٖللُطأل‬
‫ِلبي لٖلل حلمالمليض لٖللبي لماللسلعنّܿ)ل ٖا لام݇ة‬
Rasulullah saw. bersabda: “Tidaklah halal
salaf (sebagai syarat) dalam jual-beli, dua
syarat dalam satu jual-beli, dan tidak
(halal) memperoleh keuntungan atas apa
yang tidak dimiliki, dan jual-beli apa-apa
yang bukan milikmu” (HR Khamsah)
Contoh riil salaf sebagai keringanan atau
syarat jual-beli adalah tatkala seseorang
menawarkan untuk membeli barang
dengan harga yang tinggi supaya dapat
penangguhan pembayaran. Mayoritas
ulama melarang perbuatan demikian.
Contoh kedua, saat seseorang berkata:
“Saya menjual jaket ini kepadamu seharga
100.000
asalkan
kamu
memberiku
pinjaman 100.000.”
49

Atau sebaliknya kita meminjamkan uang
pada orang lain, namun sekaligus
mensyaratkan orang tersebut membeli
barang kita untuk dibayar kemudian
dengan utangnya.
Kedua, contoh jual beli dengan dua syarat
atau lebih adalah sebagaimana dicontohkan di muka. Ketika seorang
konsumen membeli kue dengan syarat kue
tersebut diberi perisa yang sesuai dengan
seleranya lalu diantar ke lokasi yang
diminta. Atau seseorang yang berkata:
“Aku jual hp ini dengan harga 1 juta secara
tunai dam 2 juta secara tangguh,” atau
seorang pembeli yang berkata: “Saya jual
produk saya pada Anda, asalkan Anda
dapat menjual produk fulan kepada saya
dengan harga sekian.”
Pembelian dengan dua syarat atau lebih,
apalagi yang menyulitkan penjual dilarang
dalam Islam. Terkecuali jika dalam bentuk
50

jual-beli pesanan yang disepakati oleh
kedua pihak di muka.
Ketiga, jual beli yang tidak diperkenankan
sesuai dengan nash di atas adalah menjual
sesuatu yang belum dalam kepemilikan
penjual secara mutlak.

฀ Hukum Jual Beli Al Urbun
Misalnya Anda menjual lemari kayu jati
seharga 5 juta, kemudian ada seseorang
datang dan hendak membeli lemari
tersebut. Lalu ia berkata, “Saya mau beli
lemari ini, ini ada uang 500 ribu. Jika saya
kembali saya bayar sisanya, jika tidak
maka uang ini menjadi milik Anda atau
saya tidak akan meminta uang saya
kembali.”
Sekilas bay’ al urbun, mirip dengan Down
Payment (DP). Namun sebenarnya sangat
berbeda. Pembayaran DP umumnya
51

disyaratkan
oleh
penjual,
dengan
kepastian pembelian dan kepastian
pembayaran sisa atau cicilan berikutnya.
Berbeda dengan al urbun yang sama sekali
tidak mengandung kepastian. Jika pembeli
kembali maka transaksi riil, yaitu
pertukaran antara benda dan uang, terjadi.
Jika tidak, maka telah terjadi pengambilan
uang tanpa adanya pertukaran (‘iwadh), itu
sama sekali tidak diperkenankan secara
syariah.
Sebagaimana
sabda
diriwayatkan Malik ra.

nabi

yang

)ٔ‫هى ل سوْلهلصَلهلعليهلٖسّلع لبي لالع݁ع‬
“Rasulullah saw. melarang bay’al urban.”

Meski mayoritas ulama mengharamkan
bay’ al ‘urbun dengan merujuk pada hadist
di atas. Sebagian ulama mengkategorikan
52

hadist dimaksud ke dalam kategori dho’if.
Umar ra, Abdullah bin Umar ra. dan Imam
Ahmad meng-halalkan praktik jual-beli
tersebut.

฀ Larangan Menjual di Tempat Pembelian

Apa yang akan Anda rasakan jika ada
seorang pembeli yang baru saja membeli
tas yang Anda jual 50.000, lalu di depan
Anda pula ia menjual tas tersebut kepada
orang lain seharga 250.000. Bukankah itu
akan terasa menyakitkan? Atau setidaknya
Anda menyesal menjualnya hanya 50.000.
Perbuatan seperti itu, menjual barang
langsung di tempat pembelian tidak
diperkenankan secara syariah. Berikut
riwayat yang melarangnya,

‫لفلال‬،ِ‫ لابتعبل يتالىلال݇و‬:‫لٖع لا لم݁ل يلهلعَالقاْل‬
‫لفأ لأٔلأربل‬,‫اس توجبتهلل ييل ج لفأع ايلبهل حالح݇ نا‬
‫لفالت بلف إا الهول يܿل‬,‫لفأُ݀ل ج لم لُل يلب݀ اعي‬, ‫عَليܿلال݁ج‬
53

‫لفاإٔل‬،ِ‫لف اْللتبعهلحيܧلابتعتهلحىلحو لاإَل ح‬,‫لابب‬
‫سوْلهلصَلهلعليهلٖسّلهى لأٔلتباعلال݇ل لحيܧلتبܦاعل‬
ٖ‫حىلحو هالالتجا لاإَل حاهم)ل ٖا لأمܿلٖأبول ا‬
Dari Ibn Umar ra. berkata: “Saya membeli
minyak di pasar, setelah terjadi ijab (telah
menjadi miliku), seseorang hendak
membelinya dengan harga yang baik,
sayapun ingin menyentuh tangannya
(sebagai tanda kesepakatan), tiba-tiba
seseorang menarik lenganku dari belakang,
setelah berbalik ternyata ia Zayd bin Tsabit,
ia lalu berkata: “Jangan menjual di tempat
kamu membelinya sampai kamu kembali
ke
tempatmu
(berjualan),
karena
sesungguhnya
Rasulullah
melarang
melarang untuk menjual benda di tempat
ia dibeli sampai penjual itu membawanya
ke
tempat
ia
kembali
(tempat
berjualannya).” HR. Ahmad & Abu
Dawud
54

฀ Hukum Pertukaran Valuta
Di saat kebijakan bebas visa telah menjadi
tren global, ditambah zona kawasan bebas
perdagangan, transaksi bisnis lintas valuta
atau penggunaan berbagai mata uang di
satu lokasi menjadi hal yang tak
terhindarkan.
Penggunaan dan pertukaran valuta dalam
perniagan telah terjadi bahkan pada masa
Nabi saw. Sebagaimana diriwayatkan oleh
perawi yang lima dan diperkuat oleh
Hakim sebagai berikut:
Dari Ibnu Umar ra., berkata: Saya berkata,
“Ya Rasulullah, sesungguhnya aku
menjual unta di Pasar Baqi’, lalu saya
menjualnya seharga beberapa dinar,
namun aku menerima pembayarannya
berupa darahim (jamak dirham), kemudian
saya menjual seharga beberapa dirham,
saya menerima pembayarannya dengan
dinar. Saya terima ini dari ini, saya diberi
55

ini dari ini, maka Rasulullah saw bersabda:
“Tak masalah engkau mengambilnya,
(asalkan) dengan harga hari ini, selama
tidak berbeda dan tidak menyisakan
sesuatu
diantara
kalian
(tidak
ditangguhkan).”
riwayat lain yang senada dengan riwayat
di atas adalah ketika Abdullah bin Umar ra.
bertanya pada Rasulullah saw. tentang
hukum sharf (money exchange) dan
pertukaran antara emas dan perak, maka
nabi memperbolehkannya dengan syarat
dilakukan dengan harga saat ini, tunai dan
tidak ditangguhkan atau tidak menyisakan
pembayaran di waktu lain dengan nilai
yang berbeda.

฀ Hukum Perbuatan Najsy
Untuk menarik minat pembeli dan
mendongkrak penjualan, ada kalanya
56

penjual melakukan berbagai trik. Bahkan
beberapa penjual yang tidak jujur, ada
yang sengaja menaikan harga barang
kepada orang
yang
tidak
minat
membelinya, agar konsumen lain tertarik
untuk membeli. Trik atau tipuan seperti ini
disebut najasy.
Pengertian lain dari najsy atau at tanajusy
adalah seorang penjual, atau pembeli, atau
orang ketiga yang berkomplot baik dengan
penjual, memuji-muji suatu barang secara
berlebihan, berpura-pura membeli dengan
harga tinggi, supaya barang tersebut
kemudian dibeli.
Najsy
termasuk
afatullisan
atau
kemunkaran dalam ucapan. Di saat
telemarketing dan penjualan dengan
iming-iming diskon kerap terjadi, najsy
menjadi penyakit perniagaan yang harus
dihindari dan diwaspadai.

‫هى ل سوْلهللصَلهلعليهلٖسّلع لالنج݈) مܦ لعليه‬
57

฀ Hukum Al Muhaqalah
Al Muhaqalah, menurut Al Laits adalah jual
beli tanaman sebelum panen, atau sebelum
jelas hasilnya. Dikatakan juga, Al
Muhaqalah adalah jual beli kurma yang
masih di atas pohonnya, atau biji padi yang
masih di batangnya atau masih di sawah
dan belum dipanen. Jual beli ini dilarang
dalam syariah.

฀ Hukum Al Muzabanah

Al Muzabanah adalah jual beli buah-buahan
di atas pohon dengan buah-buahan serupa
yang sudah dipanen. Misalnya jual beli ratb
(korma di pohon) dengan tamr (korma
yang telah diolah atau diproses), atau
anggur yang masih dipohon dengan
kismis yang sudah siap konsumsi.
Perniagaan ini tidak diperbolehkan secara
syariah.

฀ Hukum Al Mukhabarah

58

Al
Mukhabarah
adalah
kerjasama
pengelolaan atau penanaman lahan
dengan
kesepakatan
separuh
atau
sebagian hasil dari panen. Mayoritas
ulama menghukuminya dengan haram,
kecuali Imam Ahmad, Ibn Khuzaimah, Ibn
al Munzir dan Al Khataby dalam riwayat
menyatakan
kehalalan
kerjasama
sebagaimana dimaksud.

฀ Hukum At Tsunya

At Tsunya diambil dari kata Al Itstisna yang
berati pengecualian, yaitu jual beli suatu
barang dengan pengecualian bagian dari
barang tersebut. Hukum Ats Tsunya
bergantung pada kepastian bagian yang
dikecualikan. Jual beli tidak sah jika bagian
pengecualian tidak jelas dan atau lebih dari
sepertiga bagian yang diperjual belikan.
Namun menjadi sah jika pengecualian
tersebut jelas, misalnya: “Saya menjual
seluruh box yang ada kecuali ini dan itu.”
59

฀ Hukum Al Mulamasah
Al Mulamasah memiliki akar kata lams
artinya sentuhan, jual beli Al Mulamasah
menjadikan sentuhan sebagai syarat
sahnya pembelian. Al Mulamasah memiliki
beberapa pengertian, di antaranya
seseorang yang menyentuh pakaian dalam
kegelapan, atau mata tertutup, kemudian
penjual berkata: “Saya menjualnya
padamu dengan harga sekian, dengan
syarat sentuhanmu itu mengganti hakmu
untuk melihatnya. Tidak boleh memilih
atau membatalkan jika nanti kamu
melihatnya.”.
Pengertian
lainnya,
menjadikan sentuhan sebagai bukti sahnya
pembelian tanpa shigah tambahan.
Ulama sepakat mengharamkan jual-beli
seperti ini.

60

฀ Hukum Al Munabadzah
Al Munabadzah menurut Abu Hurairah ra.
adalah ketika seseorang berkata: “Saya
serahkan apa yang ada dalam karungku
dan kamu serahkan semua isi karungmu,”
lalu keduanya saling berjual-beli tanpa
melihat apa isinya. Jual beli ini tidak sah
dan dilarang oleh syariah.
Dalil atau nash larangan atas muhaqalah,
muzabanah, mukhabarah, ats tsunya, dan
munabadzah, adalah sebagai berikut:

‫ٖع لجا ݁ل يلهلعنهلأٔلالنِلصَلهلعليهلٖسّلهى لع ل‬
.ّ‫ا اقةلٖامزابنةلٖا ا ݁ لٖع لالثنيالاإللأٔلتع‬
٘݀‫ٖا لام݇ةلاإللا لماجهلٖححهلالرمي‬
“Dari Jabir ra. bahwa nabi saw melarang
al muhaqalah, dan al muzabanah, dan al
mukhabarah, dan at tsunya, kecuali
diketahui (bagian yang dikecualikan).”
61

‫ل هى ل سوْلهلصَلهلعليهلٖسّلع لا اقةل‬:ْ‫ٖع لأنسلقا‬
٘ ‫ٖا ار لٖامام݇ةلٖامناب݀ لٖامزابنة)ل ٖا لالبܾا‬
“Dari Anas ra berkata: Rasulullah saw
melarang al muhaqalah, dan al
mukhadarah, dan al mulamasah, dan al
munabadzah, dan al muzabanah”
HR. Bukhari

฀ Hukum Penetapan Harga
Diriwayatkan oleh Anas ra., bahwa terjadi
kenaikan harga di Madinah pada masa
Rasulullah saw. Masyarakat mengeluh
(pada nabi): “Wahai Rasulullah, hargaharga naik (menjadi mahal), kendalikanlah
harga untuk kami, maka nabi saw
menjawab:

62

‫قاْل سوْلهلصَلهلعليهلٖسّل اإٔلهلهولام݇ع݁لال ابݎل‬
‫الباسْلال݁ اِلٖإايلل جولأٔلأل لهلتعاَلٖللسلأحܿلمنُل‬
‫ي لبيلم ل ةلِل ٓلٖللماْ)ل ٖا لام݇ة‬
“Sesungguhnya Allah ialah Al Musa’ir
(Yang Menentukan Harga), Yang Maha
Menggenggam, Yang Maha Melapangkan,
Yang Maha Pemberi Rizki, sungguh saya
berharap untuk berjumpa dengan Allah
ta’ala, dan takada diantara kalian yang
memintaku untuk berbuat aniyaya
(dzalim), baik dalam nyawa maupun
harta.”
Harga suatu komoditas tidak mungkin
tetap. Fluktuasi harga di pasar merupakan
sunnatullah. Mengingat banyaknya faktor
yang menentukan tinggi-rendahnya harga.
Misalnya variable cuaca, kondisi air, hama,
harga pupuk, transpotasi dan logistik
adalah sekian faktor penentu harga
komoditas pertanian. Belum lagi layer atau
63

rantai penjualan yang acap kali tidak
sederhana.
Demikian syariah melarang penetapan
harga oleh penguasa demi mencegah
terjadinya kezaliman. Dapat dibayangkan
jika terjadi kelangkaan komoditas karena
cuaca, atau karena harga pupuk yang juga
naik, jika pemerintah memonopoli harga
tomat misalnya, bisa dipastikan petani
takkan mendapat apa-apa atas jerih payah
mereka.
Karena itu, yang dapat pemerintah
lakukan sebagai solusi adalah memastikan
infrastruktur tersedia, termasuk irigasi
yang baik, membantu permodalan,
menyediakan pupuk bersubsidi dan
memangkas rantai penjualan menjadi lebih
pendek. Maka dengan sendirinya harga
akan terkendali.

64

฀ Hukum Ihtikar (Penimbunan)
Penimbunan
tergolong
ke
dalam
perbuatan bathil yang dilarang oleh syariah.
Penimbun barang adalah mereka yang
menarik komoditas tertentu, misalnya
makanan,
barang
konsumsi
atau
sejenisnya
dan
menahannya
dari
peredaran
untuk
menyebabkan
kelangkaan demi tercapainya harga
tertinggi. Saat harga meroket, barang
tersebut diedarkan sebanyak mungkin
untuk memperoleh keuntungan yang
besar.
Pelaku ihtikar seperti ini dikategorikan
khati atau ‘atsim atau ashi, yaitu pendosa.
Sebagaimana sabda nabi saw.

)‫ل للحت ݁لاإللُاطئ‬:ّ‫قاْل سوْلهلصَلهلعليهلٖس‬
ّ݇‫ل ٖا لم‬
65

Rasulullah saw bersabda:
“Tidaklah
seseorang menimbun barang, kecuali ia
pendosa.”

฀ Hukum Menunjukkan Cacat Produk
Prinsip syariah di antaranya memberikan
perlindungan pada konsumen. Konsumen
berhak tahu atas kelebihan sekaligus
kekurangan atau cacat pada barang yang
hendak dibelinya.
Sebagaimana kisah masyhur tentang
teguran Rasulullah saw pada pedagang
yang curang.
Diriwayatkan Muslim, bahwa Rasulullah
saw berjalan melewati wadah berisi
makanan, lalu beliau memasukkan tangan
ke dalamnya dan mendapati jemari beliau
basah. Kemudian Nabi bertanya: “Apa ini
wahai pemilik makanan?” Ia berkata:
66

“Terkena hujan, wahai Rasulullah”. Nabi
bersabda: “Mengapa tidak kau simpan di
atas supaya orang-orang melihatnya?
Barang siapa berbuat curang maka ia
bukan golonganku.” HR Muslim
Sungguh Islam mengutamakan kejujuran
dalam setiap transaksi perniagaan. Begitu
keras ancaman Nabi bagi seorang
pedagang yang berbuat curang, kalimat
yang pendek namun bermakna sangat
mendalam.‫“ م لغ݈ لفللس لمي) ل‬Barang siapa
berbuat curang, maka ia bukan bagian dari
ummatku.

฀ Hukum Supply Komoditas Haram
Wine adalah barang haram. Wine dibuat
dari anggur. Meski demikian jual beli
anggur tidaklah haram. Kecuali jika
anggur tersebut sengaja ditimbun, untuk
kemudian dibuat atau dijual kepada
67

pembuat wine. Hukum jual beli anggur
kepada pembuat wine adalah haram.
Bahkan, ancaman bagi pelakunya adalah
kepastian api neraka sebagai tempat
kembali. Sebagaimana sabda nabi saw:

‫لم لحبسلالعنبلأًٓلال اُل‬:ّ‫قاْل سوْلهلصَلهلعليهلٖس‬
‫حىليبيعهلم ليتܾ݀ لم݁الف ܿلت ي