Memetakan Konflik dalam Pengadaan Tanah
MEMETAKAN KONFLIK DALAM PENGADAAN TANAH BANDARA KOMODO
Mr Padjo* dan M. Nazir Salim**
Abstract: Abstract: Abstract: Abstract: Abstract: The research is aimed at describing conflict on the land acquisition of expanding the Komodo Airport at West Manggarai Regency, NTT. The expansion of airport is intended to accommodate the tourist since Komodo was determined to be The New 7 Wonder of Nature. The increase of tourist place, especially on Sail Komodo program in September 2013. The focus of expansion was on three places namely the 300 meter runaway which belonged to Department of Transportation. The west part of the airport that is Binongko Hill and Batu Hill. At the last two areas, the expansion was done by eliminating the people’s land. This resulted protests from the society as they do not get any financial return. Using the qualitative and critical approaches, the study was able to show the map of conflict location between the regional government and the society. At the Binongko and Batu Hill areas, the conflict took place as people did not set any financial return. Keywords: land acquisitions of Komodo airport, conflict, compensation Keywords Keywords Keywords Keywords
Intisari: Intisari: Intisari: Intisari: Intisari: Tulisan ini berisi gambaran konflik dalam pelaksanaan pengadaan tanah perluasan Bandara Komodo, di Kabupaten Manggarai Barat, NTT. Perluasan bandara dilakukan untuk mengakomodir jumlah wisatawan yang terus meningkat sejak Komodo di tetapkan sebagai The New 7 Wonders of Nature, terutama lonjakan tajam jumlah wisatawan yang terjadi pada puncak acara sail Komodo pada September 2013. Titik perluasan bandara terjadi di tiga tempat yaitu landasan pacu sejauh 300m, yang luasannya masih masuk dalam Hak Pengelolaan Departemen Perhubungan dan bagian barat bandara yaitu Bukit Binongko dan Bukit Batu. Pada dua area terakhir dilakukan dengan cara menggusur tanah warga sehingga menuai protes dari masyarakat sebagai pemilik lahan karena tanpa proses ganti rugi. Dengan metode kualitatif dan pendekatan kritis, kajian ini mampu menunjukkan letak persoalan dan peta konflik antara pemda dan masyarakat, dimana pada areal bukit Batu dan Bukit Binongko-lah kemudian yang menjadi persoalan karena tidak ditemukan titik temu sebagaimana masyarakat menuntut ganti rugi. Kata Kunci: Kata Kunci: Pengadaan tanah Bandara Komodo, konflik, ganti rugi. Kata Kunci: Kata Kunci: Kata Kunci:
pengadaan tanah untuk kepentingan umum Ada ribuan konflik menyangkut persoalan seperti pembangunan bandara, jalan, waduk,
A. Pengantar
tanah di Indonesia, khususnya yang langsung bendungan, dan pelabuhan, disisi lain muncul beririsan dengan persoalan-persoalan agraria. juga konflik yang diakibatkan oleh tidak adanya Menariknya, salah satu persoalan pokok kebijakan negara dalam hal “pengadaan tanah menyangkut konflik struktural yang tersistematis untuk masyarakat” yang membutuhkan, baik ditandai dengan kebijakan negara, yakni penga- untuk kepentingan pertanian, perkebunan, daan tanah untuk kepentingan umum. Penga- pengairan, lahan tinggal (perumahan), dan lain- daan tanah sering diwarnai dengan dampak nya. Artinya, dua realitas yang berlawanan itu (konflik horizontal) yang tidak bisa diantisipasi mengkonfirmasi bahwa konflik dalam persoalan oleh negara sebagai pembuat kebijakan. Ironisnya, tanah semakin tajam karena ketidakseimbangan ada banyak konf lik yang diakibatkan oleh dua kebijakan yang dilakukan negara yang saling
menjauh, padahal keduanya sama pentingnya. *Staf Badan Pertanahan Nasional RI. ** Staf Pengajar
Dalam UU No. 2 Tahun 2012 tentang Penga- Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional.
daan Tanah untuk Kepentingan Umum, dari sisi
546 Bhumi No. 40 Tahun 13, Oktober 2014 isi dan prosedur sebenarnya jauh lebih detil
karena diatur secara tegas hak-hak dan kewajiban negara terhadap pihak-pihak terkait dengan pengadaan tanah, akan tetapi selalu muncul persoalan akibat tidak adanya keberpihakan, yang selalu didorong oleh negara adalah “kesepakatan”. Tak jarang kesepakatan itu menjadi persoalan baru dalam babak pengadaan tanah karena di dalam membangun kesepakatan negara memiliki
hak untuk “memaksa”, 1 sehingga sering terjadi
kesepakatan yang dipaksakan, artinya ada ruang memaksakankan kehendak negara atas nama kepentingan umum. Di sisi lain sering juga disertai dengan intimidasi atau paksaan demi tercapainya kesepakatan.
Dalam bahasa hukum, kegiatan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum sering muncul permasalahan karena adanya pemutusan hubungan hukum antara orang dengan tanahnya, dimana orang harus rela kehilangan akses atas tanahnya demi pem- bangunan, walaupun dengan imbalan ganti rugi. Namun bagi masyarakat, melepas tanah bukan persoalan sesederhana yang dibayangkan oleh negara, karena melapas tanah berarti mencabut banyak hak warga negara sementara negara hanya mampu melakukan kompensasi terhadap satu persoalan, yakni “harga kesepakatan”. Akibat semua itu, dengan mudah kita akan menemui banyak persoalan pasca pengadaan tanah bagi pihak-pihak yang terkait, baik persoalan ekonomi, sosial, budaya, dan dampak ikutan lainnya seperti konflik.
Pada periode lalu, ketidakjelasan prosedur pelaksanaan pengadaan tanah dalam peraturan
perundang-undangan merupakan salah satu hal yang dapat menimbulkan masalah dalam penga- daan tanah untuk kepentingan umum, sebagai- mana pengaturan mengenai pelaksanaan penga- daan tanah melalui pelepasan atau penyerahan hak, dalam keputusan Presiden No. 55 Tahun 1993, maupun yang diatur dalam Peraturan Pre- siden No. 36 tahun 2005 jo. Peraturan presiden No. 65 Tahun 2006, yang tidak menjelaskan mengenai prosedur pelaksanaannya. Perma- salahan ini semakin kompleks, karena pemerintah sebagai pengemban tugas negara dihadapkan pada dua sisi yang saling bertentangan, yaitu per- tama, negara menjamin kepastian hak atas tanah perorangan dan yang kedua, melaksanakan pem- bangunan untuk kepentingan umum. Dua sisi tugas ini sama-sama membutuhkan perhatian pemerintah, oleh karena itu negara dituntut ber- laku adil dalam menjalankannya.
Cukup disayangkan, pemerintah dalam melak- sanakan kegiatan pengadaan tanah sulit untuk “berlaku adil” dalam menjalankan dua peran itu, sehingga sering menimbulkan persoalan baru yang semakin menguras perhatian pemerintah. Ditambah juga dengan hadirnya berbagai pihak yang selalu kritis terhadap kebijakan yang akan dilaksanakan. Situsasi tersebut sering memicu ketegangan dan konflik antara pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Hal ini pula yang terjadi da- lam konteks pengadaan tanah di Kabupaten Manggarai Barat.
Pasca pembangunan perluasan Bandara Ko- modo, tampak beberapa persoalan semakin mengkrucut pada konflik yang meluas dengan melibatkan banyak aktor. Berbagai upaya yang dilakukan oleh para pihak tidak mampu meng- hasilkan solusi yang konkrit untuk pihak-pihak yang terlibat, ujungnya ada banyak pihak yang dirugikan akibat pengadaan tanah tersebut. Persoalan kewenangan dan proses serta prosedur menjadi persoalan yang penting dalam pembe- basan lahan agar para pihak bisa saling memahami
1 Pasal 24 UU Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum disebutkan jika dalam hal
pihak yang berhak menolak bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian berdasarkan hasil musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, atau putusan pengadilan negeri/ Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, ganti kerugian dititipkan di pengadilan negeri setempat.
Mr Padjo & M. Nazir S.: Memetakan Konflik dalam Pengadaan Tanah...: 545-562 547
dan menghindari konflik-konflik yang ditimbul- kan. Namun pada kasus Bandara Komodo hal itu tidak bisa dihindarkan karena para pihak tidak secara maksimal mengambil peran mencari solusi.
Berdasarkan realitas di atas, penulis ingin melihat secara jernih berbagai persoalan (khu- susnya konflik) yang terkait dengan problem pengadaan tanah untuk untuk perluasan Banda- ra Komodo. Penulis ingin melihat dari Proses, prosedur, dan gagasan perluasan bandara dalam kerangka konflik yang ditimbulkan sebagai akibat dari kegiatan tersebut. Setidaknya ada dua perso- alan dasar yang ingin dijelaskan dalam artikel ini: pertama proses yang terkait dalam pengadaan tanah untuk perluasan Bandara Komodo dan bagaimana konflik itu bisa terjadi dan berlarut hingga kini.Realitasnya, para aktor atau para pihak terlibat saling lempar tanggung jawab pasca pembangunan dan perluasan bandara, hal itu menimbulkan dampak ikutan yang menjadi prob- lem hingga kini, yakni mengerasnya konf lik antara warga (pemilik tanah) dengan pemerintah daerah.
Untuk melihat persoalan pengadaan tanah dan konflik, beberapa kajian terkait tentang persoalan tersebut telah banyak dilakukan oleh para peneliti terdahulu. Akan tetapi khusus Bandara Komoda masih menjadi kajian yang langka, artinya belum ada peneliti yang mengkaji berbagai persoalan kerumitan dan konflik yang melibatkan “warga vs negara”. Dalam kacamata konflik struktural
sebagaimana Noer Fauzi Rachman 2 jelaskan, ia bisa
dimaknai sebagai bagian dari konflik yang ditim- bulkan oleh sebuah kebijakan negara, akan tetapi realitas di lapangan tidak selalu harus dijelaskan secara struktural, sebab masyarakat Nusa Teng- gara Timur yang kental dengan masyarakat adat- nya lebih bisa menjelaskan persoalan itu terjadi
dan muncul hingga tak kunjung selesai. Satu sisi, masyarakat setempat menyambut dengan perluasan Bandara Komodo karena kemung- kinan akan berdampak bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi masyarakat namun di sisi lain ada banyak pihak yang dirugikan bahkan dilanggar hak-haknya.
Beberapa referensi mengenai Pengadaan Tanah untuk kepentingan umum bisa dijumpai dibanyak penelitian karena kajian ini menarik untuk dilakukan terutama menyangkut pemu- tusan hubungan hukum antara subjek dan objek. Akan tetapi, sedikit problem karena ternyata banyak kajian yang muncul terkait dengan pro- sedur pelaksanaan, masalah ganti rugi, kewe- nangan pelaksanaannya, ataupun evaluasi pelak- sanaan pengadaan tanah. Artinya jarang kajian yang langsung membicarakan prolem serius dalam pengadaan tanah, baik proses maupun pasca pengadaan tanah. Ada banyak persoalan dalam pasca pengadaan tanah, misal bagaimana negara bertanggung jawab atau memikirkan persoalan sosial ekonomi dan konflik pasca penga- daan tanah, matinya sumber-sumber ekonomi beberapa pihak akibat pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan. Wilayah ini masih luput dari perhatian para peneliti karena banyak pihak lebih memperhatikan proses dalam penga- daan tanah, prosedur, dan antisipasi konflik yang akan muncul.
Penelitian Renardy Gabriel Haposan Tam- bunan 3 menunjukkan terdapat pemberian ganti kerugian yang salah sasaran yakni pada pihak yang seharusnya tidak menerima ganti kerugian, ter- dapat sengketa batas, tuntutan ganti kerugian yang melebihi nilai ekonomis tanah, adanya tumpang tindih pengakuan hak atas tanah adat,
2 Noer Fauzi Rachman, “Rantai Penjelas Konflik-konflik Agraria yang Kronis, Sistemik, dan Meluas di Indonesia”,
Bhumi, No. 37 tahun 12, April 2013.
3 Renardy Gabriel Haposan Tambunan, “Studi Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum Yang Berasal Dari Tanah Milik Adat Di Kota Jayapura”, Skripsi, Yogyakarta, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, 2005.
548 Bhumi No. 40 Tahun 13, Oktober 2014 sehingga pemberian ganti rugi dobel atas satu bagi pemiliknya”.
bidang tanah. Disisi lain, banyak alasan peme- Kajian pengadaan tanah yang kemungkinan rintah dikemukakan bahwa problem dalam berpotensi menimbulkan konflik antar instansi pengadaan tanah adalah rendahnya ganti rugi sebagaimana terjadi di Manggarai mirip dengan yang ditawarkan oleh negara. Sementara kajian 6 apa yang dilakukan oleh Hamsiah dengan pene-
Deny Hermawan 4 menunjukkan betapa koordi- litiannya di Bone. Terdapat konflik kepentingan nasi antar lembaga begitu penting. Menurut antara pihak yang membebaskan dan pihak yang Hermawan yang mengkaji pengadaan tanah akan menerima pengadaan tanah, sehingga untuk fasilitas infrastruktur jalan di sebuah wila- keputusan yang dikeluarkan menguntungkan yah Jawa Barat. Dalam penelitiannya diketahui pihak yang menerima pengadaan tanah. bahwa pengadaan tanah dilakukan tanpa koordi-
Persoalan ganti rugi sering menjadi persoalan nasi antara instansi terkait, hal ini juga terjadi konflik dalam pengadaan tanah akibat kesepa- dalam kasus pengadaan tanah untuk perluasan katan yang tidak tercapai antara dua belah pihak. Bandara Komodo, yang kesemua itu berpotensi Hal ini juga dapat dilihat dalam kajian Azwir 7 menjadi kasus hukum. Ada kesan Pemda dalam penelitiannya tentang pengembangan meremehkan prosedur bahkan bukan sekadar Bandara Sultan Iskandar Muda Provinsi Aceh. prosedur dilanggar, namun sering memunculkan Dalam penelitiannya ditemukan penolakan kesepakat-kesepakat baru di luar aturan hukum. masyarakat terhadap ganti rugi tanah yang
Menarik juga dengan apa yang dikerjakan oleh diberikan akibat pelaksanaan pengadaan tanah Bukhari 5 yang mencoba melihat problematika yang tidak sesuai prosedur dalam peraturan pelaksanaan pengadaan tanah untuk pem- perundang-undangan, yaitu penetapan ganti rugi bangunan kepentingan umum di Aceh. Sebuah sepihak oleh pemerintah tanpa melalui musya- kesepakatan yang sudah dicapai diawal oleh para warah. Hal yang sama juga terjadi dalam kasus pihak juga berpotensi menimbulkan kekecewaan perluasan Bandara Komodo. dan persoalan baru karena dianggap tidak adil
Ketidakjelasan prosedur pelaksanaan penga- oleh pihak lain akibat cara-cara dalam mencapai daan tanah dalam peraturan perundang-un- kesepakatan diangap tidak tepat. Artinya memang dangan juga merupakan hal yang dapat menim- benar bahwa di dalam memutus hubungan bulkan persoalan dalam pengadaan tanah seba- hukum antara subjek dan objek tidaklah mudah, 8 gaimana dikaji oleh Sugiarto. Dalam peneli- tidak semata persoalan nilai ganti rugi, namun tiannya tentang problematika hukum pemberian juga ada persoalan lain dibalik apa yang menjadi hak masyarakat selama ini, orang selalu menyebut
6 Hamsiah, “Studi Tentang Pemberian Ganti Kerugian dengan “tanah adalah persoalan hidup dan mati Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Pengkalan
Pendaratan Ikan (PPI) Di Kelurahan Ronrae, Kecamatan Tanotte Riantang Timur, Kabupaten Bone, Provinsi
4 Deni Hermawan, “Studi Mengenai Pelaksanaan Sulawesi Selatan” Skripsi, Sekolah Tinggi Pertanahan Pengadaan Tanah Skala Kecil Bagi Pelebaran Jalan Umum
Nasional, 2004.
Untuk Pembuatan Jalan Layang Di Kota Bandung Provinsi 7 Azwir, “Pelaksanaan Ganti Rugi Hak Atas Tanah Jawa Barat”, Skripsi, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional
Untuk Kepentingan Umum Pengembangan Bandara Sultan Yogyakarta, 2005.
Iskandar Muda provinsi aceh” Tesis, Fakultas Hukum 5 Bukhari, “Problematika Pelaksanaan Pengadaan Tanah
Universitas Sumatera Utara, 2009. Untuk Pembangunan Kepentingan Umum: Studi Kasus Pada
8 Sugiarto,”Problematika Hukum Dalam Pemberian Pembangunan Kampus Unimal Di Desa Reuleut Timur
Ganti Rugi Terhadap Pengadaan Tanah Bagi Pengembangan Kecamatan Muara Batu Kabupaten Aceh Utara” Tesis, Uni-
Landasan Pacu Bandar Udara Ahmad Yani Semarang”,Tesis, versitas Sumatra Utara, 2008.
Universitas Dipponegoro Semarang, 2010.
Mr Padjo & M. Nazir S.: Memetakan Konflik dalam Pengadaan Tanah...: 545-562
ganti rugi pada kasus pengembangan landasan dengan orang dengan tanah. Selanjutnya dalam pacu Bandar Udara Ahmad Yani Semarang, Pasal 4 ayat 1 dan 2 memberi ruang agar Hak ditemukan adanya persoalan dalam pelaksanaan Menguasai Negara tersebut dapat diberikan pengadaan tanah melalui pelepasan atau penye- dengan hak atas tanah pada orang-orang maupun rahan hak atau pencabutan hak. Hal itu akibat badan hukum. ketidakjelasan dalam keputusan Presiden No. 55
Negara mencoba mendefinisikan kepentingan Tahun 1993, maupun yang diatur dalam Peraturan umum sebagai kepentingan banyak orang, Presiden No. 36 tahun 2005 jo. Peraturan presiden sehingga sektor-sektor yang berkaitan dengan No. 65 Tahun 2006, yang mana tidak menjelaskan kepentingan umum harus dikuasai oleh Negara. mengenai prosedur pelaksanaannya.
Pasal 18 Undang-undang Pokok Agraria menye- Beberapa kajian di atas berbeda dengan pene- butkan kepentingan negara, bangsa dan bersama litian ini, tidak saja persoalan lokasi, namun juga dari rakyat, dapat diartikan sebagai kepentingan yang lebih mendasar adalah kasus Manggarai dimana mencakup kepentingan orang banyak dalam konteks perluasan Bandara Komodo terda- dalam hal ini adalah Bangsa Indonesia. Dengan pat dua persoalan serius, pertama pengadaan tanah logika itu pula, kemudian muncul Instruksi menyimpang dari prosedur dan meniadakan Presiden No. 9 Tahun 1973 tentang Pelaksanaan pihak-pihak lain yang seharusnya terlibat dalam Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan Benda- prosesnya, kedua adalah terjadinya penggusuran benda Yang Ada Di Atasnya. Dalam instruksi ini tanah warga untuk perluasan tanpa ganti rugi dijelaskan secara detil dengan apa yang disebut yang mengakibatkan konflik dan ketegangan.
kepentingan umum yang salah satunya merujuk Secara teoritis, dalil kajian pengadaan tanah 10 pada pembangunan nasional.
adalah berangkat dari dalil pokok Hukum Perta- Faktanya, demi pembangunan negara dengan nahan Adat Indonesia, dari sana kemudian lahir mudah mengambil hak dari warganya, sehingga hak keperdataan adat. Hak keperdataan warga terkadang konflik muncul. Negara gagal mema- masyarakat hukum adat atas tanahnya merupa- hami denyut nadi masyarakat karena mencoba kan suatu hak dasar yang bersifat asasi, tidak boleh menempatkan kata “pembangunan sebagai hu- dilanggar sewenang-wenang oleh warga masya- kum”. Padahal kita paham, sekalipun terjadi pro- rakat maupun penguasa hukum adat, baik itu ses-proses kompromi dalam pembebasan lahan mencabut ataupun menjual hak miliknya kepada pada akhirnya tetap akan menghasilkan kondisi pihak luar, yang berakibat terjadinya pemutusan yang berbeda dengan situasi semula. 11 hak kekuasaan masyarakat. 9
Hak untuk mengatur bumi, air, ruang angkasa
B. Tanah Bandara Komodo dan Gagasan
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
Perluasan Bandara
telah dituangkan dalam Pasal 2 UUPA. Pasal ini Kehidupan sosial budaya masyarakat Mangga- sering dimaknai sebagai dasar terbentuknya Hak rai Barat dapat dilihat dari berbagai adat kebiasaan
Menguasai “tanah” oleh negara. Dalam konteks yang masih lestari dalam keseharian masyara- ini, negara berwenang mengatur hubungan hu- katnya sebagai warisan nenek moyang sebelum- kum antara orang dengan tanah, orang dengan
10 Instruksi Presiden No. 9 Tahun 1973 tentang Pelaksa- orang dan perbuatan hukum antara orang naan Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan Benda-Benda
Yang Ada di Atasnya, Pasal 1 ayat (1). 9 Herman Soesangobeng, Filosofi, Asas, Ajaran, Teori
11 Rusdi, Konflik Sosial Dalam Proses Ganti Rugi Lahan Hukum Pertanahan dan Agraria, STPN Press, 2012, hlm.
dan Bangunan Lumpur Lapindo, STPN Press, Yogyakarta, 234, 235.
2012, hlm. 23.
550 Bhumi No. 40 Tahun 13, Oktober 2014 nya. Secara umum kebudayaan masyarakat adat 13 kan hasil kesepakatan bersama. Manggarai Barat, Manggarai dan Manggarai
Masyarakat adat adalah kelompok yang ikut Timur sama, dengan sebutan Nuca Lale dan andil dalam menyumbang pemberian tanah adat wilayahnya “Wae Mokel Awo Selat Sape Sale Tanah kepada pemerintah untuk kepentingan pem- Manggarai” (sebelah Timur Wae Mokel sebelah bangunan, termasuk sejarah tanah Bandar Udara Barat Selat Sape Tanah Manggarai) yang menca- Komodo. Bandara ini dahulu disebut Bandar kup wilayah ketiga kabupaten ini, yaitu Kabupaten 14 Udara Mutiara II , dimulai pada tahun 1958 yaitu Manggarai Barat, Kabupaten Manggarai dan pada saat terbitnya Undang-undang Nomor 64 Kabupaten Manggarai Timur, dimana struktur tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-daerah masyarakat adat, wilayah adat, dan hukum Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa adatnya sudah ada, jauh sebelum pemerintah Tenggara Timur pada tanggal 11 Agustus 1958, kolonial masuk ke wilayah Manggarai dengan yang berdampak pada rencana pemekaran wila- istilah “gendang one lingko pe’ang” (gendang di yah Kabupaten Manggarai. Tahun 1961 Perseku- dalam tanah adat di luar).
tuan adat Nggorang menyerahkan tanah seluas Terbentuknya struktur elite adat yang ada di ± 70 ha, untuk persiapan pemekaran wilayah Manggarai tidak lepas dari campur tangan peme- Kabupaten Manggarai. rintah Kolonial Belanda, yang mengangkat raja
Pada tahun 1984 persekutuan adat Nggorang, Manggarai. Raja kemudian mengangkat Dalu melalui Kepala Persekutuan Adat menyerahkan (hamente), dan Dalu membentuk Gelarang yang 15 tanah yang rencananya seluas ±380 ha , yang fungsinya membagi-bagi tanah adat atau lingko mencakup Lengkong Sernaru, Lengkong Sara- pada setiap kampung dengan tujuan untuk me- kera, Lengkong Wae Kelambu dan Lengkong
narik pajak, yang mana sesungguhnya pada se- Rangko 16 untuk pemekaran wilayah Kabupaten tiap kampung tersebut sudah terlebih dahulu ada Manggarai. Pada tanggal 24 Agustus tahun 1984 pemimpin sebagaimana telah diuraikan di atas.
dilakukan pengukuran tanah seluas 79,66 oleh Sementara pola perkampungan tradisional Kantor Agraria yang dikepalai oleh Achmad Musa Manggarai (beo) berbentuk lingkaran yang untuk pembangunan lapangan terbang Mutiara melambangkan suatu keutuhan atau persatuan.
II yang semula merupakan tanah perkampungan Pada bagian tengah kampung biasanya terdapat masyarakat adat Wae Kelambu. Masyarakat tempat yang rata seperti meja yang terbentuk dari tersebut kemudian dipindahkan oleh pemerintah
susunan batu yang digunakan sebagai altar atau ke daerah pemampatan di Desa Batu Cermin 17 . meja persembahan dalam upacara adat, yang di Masih dalam tahun yang sama, pada tanggal 21 tengahnya ditanam pohon (langke), altar ini Oktober 1984, kepala persekutuan Adat Nggorang disebut juga compang, 12 dan rumah adatnya kembali menyerahkan tanah untuk perluasan dengan dinding berbentuk lingkaran, tutupan Bandara Mutiara, yang mana berdasarkan hasil atap kerucut, yang melambangkan persaudaraan
dan kekeluargaan. Rumah adat disebut juga 13 Ibid.,hlm. 39. 14 Wawancara dengan Abdulah Nur, tanggal 20 Februari
mbaru gendang, dan setiap mbaru gendang mem-
2014, di Labuan Bajo.
punyai tanah adat atau tanah ulayat yang disebut 15 Wawancara dengan Vinsensius Eso, tanggal 16 Maret lingko (uma lodok ata do) yang digarap berdasar- 2014, di Labuan Bajo.
16 Wawancara dengan Marselinus Bandur, Lengkong adalah wilayah adat didaerah Manggarai Barat, 11 Maret 2014.
12 Nggoro Adi M, Budaya Manggarai Selayang 17 Wawancara dengan Vinsensius Eso, tanggal 16 Pandang, 2006, Ende: Nusa Indah, hlm. 34.
Maret 2014, di Labuan Bajo.
Mr Padjo & M. Nazir S.: Memetakan Konflik dalam Pengadaan Tanah...: 545-562
pengukuran dari Kantor Agraria seluas 15,34 ha tipikatan tanah tersebut di atas pada tahun 1994 untuk perluasan Bandara. Wilayah bandara ber- yang dilakukan oleh pihak pengelola Bandara ada di lengkong Serakera, sehingga total luasan Komodo dan Kantor Pertanahan Kabupaten tanah bandara menjadi 95 ha dari yang diren- Manggarai tanpa melibatkan pemilik tanah yang cakan 380 ha. 18
berbatasan untuk menunjukkan batas bidang Pada tahun 1991, Persekutuan Masyarakat Adat tanahnya. 21 Ketidakterlibatan para pemilik tanah Nggorang melalui kepala persekutuan adatnya yang berbatasan dengan bandara itu kemudian yaitu Haji Ishaka, melakukan pengukuhan kem- menjadi bagian dari beberapa persoalan tentang bali penyerahan tanah yang dilakukan pada tahun status dan batas tanah Bandara Komodo. Di luar 1984 dalam rangka pemekaran wilayah tersebut, persoalan tersebut, masih juga terdapat beberapa dengan luas 328,7 ha, dari rencana semula ± 380 hal ketidakjelasan tanah di barat Bandara Ko-
ha. Sampai pada tahun 1991, luasan pasti penye- modo. Kondisi tersebut kemudian memunculkan rahan tanah dalam rangka pemekaran wilayah konflik pada tanah bagian barat Bandara Komodo tersebut adalah 328,7 ha, termasuk di dalamnya yang berbatasan dengan tanah warga. Hal itu juga adalah tanah bandara seluas 95 ha. 19
yang menyebabkan ketidakpastian batas dan Pada tahun 1994 tanah bandara dimohonkan saling klaim para pihak. Anehnya, ditengah keti- “sertipikat” hak atas tanahnya, maka diterbitkan dakjelasan batas itu pihak Pemda Manggarai “sertif ikat” oleh Kantor Pertanahan Kabupaten melakukan penggusuran lahan tanpa ganti rugi Manggarai pada tanggal 4 Februari 1994, dengan atau menyelesaikan batas terlebih dahulu. jenis hak yaitu Hak Pengelolaan No.00001 An.
Jika dirunut dari awal sejarah tanahnya, pada Departemen Perhubungan, dengan luas 95.2ha tahun 1991, Haji Ishaka sebagai fungsionaris adat dengan jumlah pilar sebanyak XVI buah, berdiri Nggorang menyerahkan tanah seluas 60.000m² di dalam titik batas bidang tanah. Sertipikat terse- kepada lima puluh sembilan orang atas nama but ditandatangani oleh Lucas Lada dengan no- Bahrudin Waru, dkk., termasuk di dalamnya ter- mor seri blangko AE. 369103. Tanah tersebut dapat nama Darius Djabut, yang saat ini menjabat masuk dalam wilayah kelurahan Wae Kelambu, sebagai ketua FWPL (Forum Masyarakat Pemilik dengan batas-batas:
Lahan Bandara Komodo) yang sedang berkonflik
a. Sebelah Utara adalah tanah Pemerintah Da- dan melakukan penuntutan ganti rugi. Dari tanah erah Tingkat II Manggarai;
yang diserahkan 60.000m² ternyata dalam catatan
b. Sebelah Selatan adalah tanah Pemerintah daftar nominatif dari Kantor Camat Komodo, Daerah Tingkat II Manggarai;
luasan tanah tersebut seluas 20.000m² An. Darius
c. Sebelah Timur adalah adalah tanah Pemerin- 22 Djabut, dkk., padahal seharusnya tanah tersebut tah Daerah Tingkat II Manggarai;
luasnya adalah 60.000m². Ketidaksesuaian ini
d. Sebelah Barat adalah tanah adat. 20 disebabkan oleh kekeliruan surat penyerahan Persoalan muncul karena menurut salah satu tanah yang disampaikan ke Kantor Camat Komo- ahli waris pemilik tanah (Darius Djabut), penser- do, yang mana surat penyerahan yang disampai- kan adalah surat penyerahan yang sebenarnya
tidak berlaku.
Dokumen Pelepasan Tanah Hak Adat Nggorang Kepada Dirjen Perhubungan Udara, Ruteng,1984.
21 Wawancara dengan Darius Djabut, di Labuan Bajo 19 Wawancara dengan Vinsensius Eso dan Marselinus
Tanggal 17 Maret 2014.
Bandur, 16 Maret 2014, di Labuan Bajo. 22 Salinan dokumen Daftar Nominatif Pemilik lahan di 20 Salinan Dokumen Sertipikat Hak Pengelolaan No.
wilayah Perluasan bandara sesuai berkas/info yang masuk 00001 An. Departemen Perhubungan, 1994.
ke Kantor Camat Komodo.
552 Bhumi No. 40 Tahun 13, Oktober 2014
Menurut penuturan Haji Ramang Ishaka, penerbangan, namun solusi itu dianggap tidak pada tanggal 1 Desember 1991, Ishaka dan Bapak mampu mengatasi kendala yang dihadapi. Hal Haku Mustafa selaku fungsionaris adat Nggo- itu karena pesawat yang mendarat tetap pesawat rang, menyerahkan tanah seluas ± 60.000m² pada kecil dan tidak mampu mengangkut penumpang An. Bahrudin Waru, dkk. (59 orang) diketahui dalam jumlah besar, sebab problem utamanya oleh Kepala Desa Labuan Bajo, Haji Kuba Usman. adalah ukuran Bandara Komodo yang kecil Surat penyerahan ini berdasarkan keterangan dari sehingga hanya dapat disinggahi pesawat-pesawat Haji Ramang Ishaka, yang merupakan fungsio- kecil. Puncaknya, ketika Komodo ditetapkan naris adat saat ini, juga merupakan perbaikan sebagai The New 7 Wonnders of Nature, yang di- surat penyerahan yang dibuat satu hari sebe- perkirakan akan meningkatkan jumlah wisatawan lumnya oleh Umar Ishaka yang adalah kakak yang akan singgah di Manggarai Barat. kandung Haji Ramang Ishaka, yang menyerah-
Kondisi yang tidak seimbang antara jumlah kan tanah seluas ± 20.000m² di lokasi yang sama wisatawan yang berkunjung dan fasilitas yang kepada 59 orang yang sama, yang disahkan oleh tersedia menimbulkan pemikiran pemerintah un- Kepala Desa Wae Kelambu. Hal itu sebenarnya tuk memperluas bandara, agar pesawat yang lebih jelas tidak sesuai dengan fakta sebenarnya, perta- besar dapat mendarat di Bandara Komodo. Ren- ma, penyerahan yang dibuat oleh Umar Ishaka cana perluasan ini semakin dikebut dan dipercepat tidak mempunyai kekuatan hukum sebab pada menjelang peresmian Sail Komodo pada tanggal saat itu belum ada penyerahan kewenangan dari
14 September 2013 oleh Presiden Republik Indo- Ishaka kepadanya, kedua, penyerahan yang nesia Susilo Bambang Yudhoyono, yang akan dibuat oleh Umar Ishaka disahkan oleh Kepala menggunakan pesawat kepresidenan jenis Boeing Desa Wae Kelambu, hal ini tidak dibenarkan 737-500, selain itu agar pesawat-pesawat besar karena tanah yang diserahkan tersebut masuk da- dapat beroperasi untuk dapat mengakomodir lam wilayah Desa Labuan Bajo sekarang Kelurahan seluruh wisatawan pada saat itu. Labuan Bajo bukan wilayah Desa Wae Kelambu,
Selain perluasan bandara sebagaimana tujuan sehingga Kepala Desa Wae Kelambu tidak berwe- tersebut di atas, hal lain yang harus dipertimbang- nang menyerahkan tanah tersebut. 23 Itulah awal kan adalah peningkatan keselamatan pener-
dari persoalan tanah sebelah barat bandara yang bangan dan meminimalisir obstacle 24 yang ada di hingga kini menjadi persoalan.
sekitar bandara, maka perluasan tidak hanya Pada saat status hak tanah tersebut belum dilakukan pada landasan pacu, tetapi juga dilaku- selesai, pemda memiliki gagasan untuk meluas- kan pada titik-titik tertentu di sekitar bandara yang kan Bandara Komodo, akibat meningkatnya dianggap dapat membahayakan keselamatan jumlah wisatawan yang berkunjung ke Kabu- penerbangan dan meningkatkan obstacle. Perlu- paten Manggarai Barat, sehingga Bandara Komo- asan inilah yang kemudian menjadi titik persoalan do mengalami beberapa kesulitan untuk melaya- karena menggusur tanah warga yang belum jelas ni wisatawan. Realitas itu akhirnya membuat statusnya sebagaimana dijelaskan di atas. pihak Pemda dan pengelola bandara untuk melu-
Berdasarkan kondisi tersebut, Kepala Kantor askan Bandara Komodo. Awalnya muncul gagasan Bandara Komodo berkirim surat kepada Peme- agar memperluas atau memperbanyak lalulintas
24 Obstacle adalah hambatan yang ditemui dalam pemasangan wireless link berupa gunung, bukit atau
23 Wawancara dengan Haji Ramang Ishaka, tanggal 21 pohon,http//goole.wiranet. co.id/dukungan/faq, (diunduh Mei di Yogyakarta.
tanggal 9 Juni 2014).
Mr Padjo & M. Nazir S.: Memetakan Konflik dalam Pengadaan Tanah...: 545-562
rintah Daerah Kabupaten Manggarai Barat, pada sebagai tindakan yang perlu dilakukan dalam tanggal 14 Maret 2013, tentang Permasalahan rangka perluasan Bandar Udara Komodo demi Bandara Komodo dan surat pada tanggal 10 April 27 mendukung kegiatan sail Komodo, terutama 2013, perihal Hasil Survey Kondisi Obstacle di pada puncak pelaksanaannya yang diresmikan Bandara Komodo, yang mana berdasarkan surat oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada tersebut, selain perpanjangan landasan pacu tanggal 14 September 2013. Pada saat itu kun- pesawat, titik yang dapat meningkatkan obstacle jungan wisatawan baik lokal maupun manca- adalah pada bagian utara Bandara Komodo yaitu negara meningkat tajam, namun tidak didukung daerah Bukit Klumpang, sehingga perlu dilaku- oleh infrastruktur yang memadai terutama kan pemotongan pada bukit tersebut. Pada Bukit bandara, yang hanya dapat mendaratkan jenis- Kelumpang tidak memunculkan banyak perso- jenis pesawat kecil dengan jumlah penumpang alan, namun pada Bukit Binongko dan Bukit Batu terbatas. Disamping itu kedatangan presiden pada yang tergusur menyisakan persoalan akibat tidak puncak acara tersebut akan menggunakan pesa- tercapainya kesepakatan kedua belah pihak.
wat kepresidenan jenis boeing 737-500, sehingga gagasan tentang pembangunan perluasan ban-
C. Konflik dan Pembebasan Lahan
dara pun dipercepat untuk mendukung kesuk-
Bandara Komodo
sesan acara tersebut. 28
Proses Pelaksanaan Pembebasan tanah Bukit Tuntutan percepatan pembangunan tersebut, Klumpang berdasarkan Kerangka Acuan Kerja tentunya harus didukung dengan percepatan
(KAK) Pembebasan Lahan Untuk Perluasan pelaksanaan kegiatan pengadaan tanah, sehingga Bandara Komodo, Kabupaten Manggarai Barat. Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai Barat, KAK menyebut, dalam rangka perluasan Bandara mengambil langkah melaksanakan kegiatan Komodo dan peningkatan keamanan pener- pengadaan tanah untuk memenuhi kebutuhan bangan serta meminimalisir obstacle, maka perlu pembangunan tersebut. diadakan pembebasan lahan yang kemudian
Pelaksanaan pembangunan perluasan Bandara dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Komodo dilakukan pada tiga lokasi, yang pertama,
Manggarai Barat terhadap lahan seluas 54.453m² pada area perpanjangan landasan pacu sejauh 300 dengan biaya sebesar 1.7 milyar. 25 Menurut kete- meter, sehingga panjang landasan menjadi 2100 rangan Marselinus Bandur, besaran nilai ganti meter dari panjang landasan semula 1800 meter, rugi permeter diambil dari NJOP (Nilai Jual Objek dimana lokasi ini masih ada dalam area Hak Pajak) terendah yang ada pada kawasan yang Pengelolaan No. 00001 yang diterbitkan An. De- dibebaskan tersebut, kebijakan itu diambil oleh
pemda karena keterbatasan dana yang dimiliki 27 Sail Komodo merupakan event internasional yang oleh Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat. 26 diikuti peserta dari berbagai negara seperti Malaysia,
Australia,Belanda,Thailand,Fhilipina,Amerika Serikat dan Keputusan pengadaan tanah di Kabupaten sebagainya, yang merupakan bentuk komitmen pemerintah
Manggarai Barat dianggap sebagai suatu yang untuk menjadikan wisata bahari Nusa Tenggara Timur tidak bisa ditawar. Kondisi mendesak dianggap (NTT) menjadi salah satu destinasi utama wisata dunia, yang
dapat berpengaruh pada peningkatan kesejateraan masyarakat setempat,(www.indonesiatravel.com, diunduh
25 Salinan dokumen Kerangka Acuan Kerja (KAK) tanggal 8 Mei 2014, pukul 13 WIB). Pembebasan Lahan Untuk Perluasan Bandara Komodo
28 I Made Ashdiana, “Jelang Sail Komodo Perluasan Kabupaten Manggarai Barat, tanggal 1 Februari 2013.
Bandara Dikebut” http://travel.kompas.com/read/2013/ 26 Wawancara dengan Marselinus Bandur, di Labuan
09/03/Jelang.Sail.Komodo.Perluasan.Bandara.Dikebut, Bajo 11 Maret 2014.
diakses pada tanggal 21 November 2013, pukul 11.15 WIB.
554 Bhumi No. 40 Tahun 13, Oktober 2014 partemen perhubungan sebagai pihak pengelola Akibat penolakan itu, hingga hari ini perluasan
Bandara Komodo. Bandara Komodo menyisakan persoalan yang ru- Lokasi perluasan bandara yang kedua berada wet, bahkan konflik dan ketegangan antara warga di bagian utara Bandara Komodo tepatnya di dengan pemda telah terjadi karena tidak bertemu- Bukit Klumpang, perolehan tanahnya dilakukan nya kesepakatan antara dua pihak. Persoalan lain melalui prsoses pelepasan hak milik masyarakat juga kemudian muncul karena dari sisi prosedur Wae Kesambi, seluas 54.543 m², dengan ganti rugi. ditengarai pembebasan lahan tersebut tidak sesuai Dan menjadi “tradisi” negara dalam pembebasan dengan aturan main yang seharusnya ditempuh. lahan warga, ganti rugi menggunakan dasar NJOP
Dalam pembebasan lahan untuk kepentingan terendah yang ada di sekitar lokasi, bukan harga umum semestinya memperhatikan hak-hak yang pasar yang sedang berlaku. Sedangkan lokasi per- bersifat administratif dan prosedural. Pada prak- luasan bandara yang ketiga berada pada bagian teknya, Pemda Manggarai Barat telah melakukan barat Bandara Komodo tepatnya pada Bukit beberapa kekeliruan secara prosedur: tidak berda- Binongko dan Bukit Batu, yang mana kegiatan sarkan dokumen perencanaan; tidak dilakukan pembangunannya dilaksanakan tanpa ada keje- sesuai dengan alur proses sebagaimana mestinya lasan ganti rugi tanah pada masyarakat, sehingga sesuai ketentuan yang berlaku; ketidaktepatan memunculkan persoalan panjang hingga kini.
sumber dana pembebasan lahan; salah kewe- nangan pelaksana kegiatan; adanya ketidakse- suaian penentuan besar nilai ganti rugi; dan tidak dibentuk panitia pelaksana pengadaan tanah. Hal- hal mendasar ini ternyata tidak dilakukan oleh pemda sehingga potensi bermasalahnya dikemu- dian hari semakin besar, apalagi penggusuran bagian barat Bandara Komodo menyisakan kon- flik dengan warga masyarakat.
Ada beberapa hal yang tidak sesuai dengan Gambar 1: Gambaran Umum Posisi Lokasi
prosedur pengadaan tanah, hal itu disebabkan ka- Pengadaan Tanah dan Penggusuran. Sumber:
rena keterbatasan Sumber Daya Manusia, bahkan Citra Goole Earth
banyak orang-orang yang dilibatkan di dalam tim Secara historis, data di lapangan ditemukan tidak memahami prosedur pelaksanaan penga- bahwa tanah bagian barat Bandara Komodo ada- daan tanah; kurangnya koordinasi antara instansi lah milik masyarakat yang tergabung dalam Fo- terkait yang berdampak pada kesalahan kewe- rum Masyarakat Pemilik Lahan Bandara Komodo nangan pelaksanaan pengadaan tanah, maupun (FWPL) yang dikoordinir oleh Darius Djabut. Ta- sumber dana yang digunakan dalam pembebasan nah itu diperoleh dari penyerahan tanah oleh tanah tersebut; keterbatasan waktu dan desakan fungsionaris adat Nggorang pada tahun 1991. Keti- percepatan pembangunan yang berdampak pada ka digusur, masyarakat melakukan protes keras pelaksanaan pembebasan tanah yang dipercepat, pada pemerintah karena mereka kehilangan tanah serta tanpa memperhatikan alur pelaksanaan yang tanpa ganti rugi. Masyarakat bahkan sempat mena- seharusnya sesuai dengan ketentuan yang berla- warkan solusi konkrit dengan tuntutan ganti rugi ku. Di luar semua itu, ada kebijakan politik pemda sebesar Rp. 400.000/m² sesuai harga pasar tanah yang tidak hati-hati dan bisa berkonsekuensi setempat, namun pemerintah tidak memenuhi. hukum atas apa yang dilakukannya.
Mr Padjo & M. Nazir S.: Memetakan Konflik dalam Pengadaan Tanah...: 545-562
1. Pembebasan Tanah Bukit Klumpang
NJOP terendah sedangkan ganti rugi yang seha- Kegiatan pembebasan tanah di Bukit Klum- rusnya diberikan berdasarkan penilaian yang
pang, dapat berjalan hingga proses pem- dilakukan oleh penilai independen, namun bangunannya tanpa ada masyarakat yang mela- kenyataannya ganti rugi diterima masyarakat, dan kukan protes, walaupun ganti rugi yang diberikan terjadi kesepakatan antara masyarakat dengan atas tanah tersebut diambil berdasarkan NJOP pemerintah tanpa sebuah pertanyaan lebih jauh. terendah yang ada di lokasi. Menurut beberapa Ada kejanggalan yang perlu lebih jauh dijelaskan dokumen, tanah yang dibebaskan ini merupakan oleh pemda, karena beberapa hal yang tidak wajar tanah yang sebenarnya milik Departemen Perhu- 30 terjadi.
bungan dengan status Hak Pengelolaan. Akan Dalam sedikitnya informasi yang penulis tetapi, realitasnya tanah tersebut telah diduduki dapatkan di lapangan, menurut Abdullah Nur: oleh warga masyarakat. Atas rencana perluasan
“Pada awalnya masyarakat keberatan dan menuntut bandara, tanah tersebut kemudian dibebaskan
ganti rugi sesuai harga pasar yaitu Rp. 300.000.- oleh pemda. Sebenarnya ada seuatu yang meng-
sampai Rp. 400.000.- ribu permeter, kalo ada ganjal dalam peristiwa tersebut, sebab dalam peta,
masyarakat yang keberatan kita kembali ke ranah tanah tersebut adalah tanah Hak Pengelolaan
hukum UU No. 2 tahun 2012 tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum, ketika masyarakat
milik Departemen Perhubungan, tapi mengapa keberatan dan tidak mengijinkan tanahnya untuk
bisa diduduki warga dan kemudian dibebaskan? kepentingan umum sementara kebutuhan tanah Ketika penulis mencoba lebih jauh menelusuri
mendesak untuk pembangunan, maka diproses status dan riwayat tanah, pihak pemda keberatan
dengan gugatan di pengadilan dan ganti rugi membuka data para penerima ganti rugi, apalagi
dititipkan di pengadilan dan tanahnya tetap digunakan untuk kepentingan umum” 31
ketika penulis berhasil menunjukkan peta Hak
Dari pernyataan tersebut di atas, bahwa ada yang sebenarnya ditutupi oleh pihak pemda, suatu sikap yang diambil oleh pemerintah dengan
Pengelolaan tanah tersebut. 29 Artinya ada hal-hal
sebab muncul pertanyaan besar, mengapa warga memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat tidak melakukan protes ketika hanya diganti rugi mengenai penafsiran UU No. 2 tahun 2012 tentang sesuai NJOP, padahal harga pasar jauh di atas Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk NJOP, dan bagaimana bisa terjadi tanah Departe- Kepentingan Umum, dimana bahwa penitipan men PU dengan Hak Pengelolaan dikuasai warga, dan siapa sebenarnya mereka yang menguasai
30 Menurut beberapa informasi yang kami peroleh, tanah tersebut. Dalam penelusuran data ini, orang-orang yang menduduki tanah bukit kelumpang adalah penulis belum berhasil mengidentif ikasi orang- para pejabat setempat, hal itu pula yang menyebabkan relatif
lebih mudah penyelesaiannya. Akan tetapi posisi ini bukan orang yang menerima ganti rugi atas tanah ter- isu utama, tetapi status tanahlah yang menjadi penting untuk
sebut, karena pihak pemda keberatan untuk dilihat lebih jauh, sebab perpindahan tanah ke para pemilik/ membuka datanya, sementara saat data awal ini masyarakat menimbulkan pertanyaan besar, karena tanah penulis dapatkan sudah tidak memiliki waktu tersebut seharusnya tak perlu dilakukan pembebasan, sebab
statusnya masuk pada Hak Pengelolaan No. 00001 yang untuk menelusuri langsung ke lapangan.
diterbitkan An. Departemen perhubungan sebagai pihak Secara teoritis, apalagi terkait keadilan hak pengelola Bandara Komodo. Data ini terkonfirmasi oleh
warga masyarakat, bahwa ganti rugi diambil dari narasumber dengan adanya sertifikat HPL, akan tetapi tidak mau menjelaskan lebih jauh tentang kedudukan pasti tanah
tersebut.
29 Wawancara dengan Edeltrudis Baben, di Labuan 31 Wawancara dengan Abdullah Nur, di Labuan Bajo, Bajo, tanggal 10 Maret 2014.
tanggal 20 Februari 2014.
556 Bhumi No. 40 Tahun 13, Oktober 2014 ganti rugi di pengadilan atau lembaga konsinyasi
tidak mudah, tetapi melalui suatu proses yang panjang dan untuk tanah-tanah dengan kriteria tertentu, sebagimana dimuat dalam Pasal 37 ayat (2) huruf e, dan bahwa gugatan sebagaimana dimaksud adalah gugatan dari pihak masyarakat pemilik tanah dan masyarakat yang terkena dam- pak pengadaan tanah tersebut, bukan dari pihak pemerintah kepada pihak masyarakat pemilik tanah. Apalagi pemda dalam pengadaan tanh ini tidak sepenuhnya menggunakan UU No. 2 tahun 2012. Dalam konteks ini ada sikap kelompok peme- rintah untuk mendominasi kelompok lain yaitu kelompok masyarakat sehingga terjadi kesepa- katan ganti rugi tanah secara sepihak. Metode an- caman digunakan dalam rangka untuk kepen- tingan melancarkan upaya pemerintah menda- patkan lahan masyarakat, sementara masyarakat tidak memahami tentang aturan dan prosedur yang harusnya dilakukan. Ketidaktahuan masya- rakat dijadikan sebagai cara untuk melakukan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan hukum demi tercapai tujuan tertentu.
2. Penggusuran dan Konflik Tanah Bukit Binongko dan Bukit Batu
Pelaksanaan pembangunan perluasan bandara dengan tujuan sebagaimana telah dijelaskan diawal, tidak hanya dilakukan pada tanah yang sudah dibebaskan, tetapi juga penggusuran dengan tujuan perluasan pembangunan Bandara Komodo yang dilakukan pada bagian barat ban- dara yaitu pada sebagian area Bukit Binongko hingga Bukit Batu.
Jika di Bukit Pelumpang telah dilakukan pembebasan, hal berbeda terjadi di Bukit Binong- ko. Pembebasan tanah pada bagian barat Bandara Komodo, tepatnya pada area Bukit Biongko dan Bukit Batu, belum dilaksanakan. Masyarakat yang mengaku sebagai pemilik lahan, yang tergabung dalam Forum Masyarakat Pemilik Lahan Bandara Komodo (FWPL) belum menerima ganti rugi atas
tanah tersebut. Hal ini dibenarkan oleh pihak Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai
Barat. 32 Ganti rugi belum diberikan karena kedua belah pihak saling mengklaim status kepemilikan atas tanah tersebut, selain itu keterbatasan biaya karena tingginya harga tanah yang dituntut oleh masyarakat yaitu Rp. 400.000/m² yang tidak dapat dipenuhi pemerintah daerah, karena harga terse- but menurut pemerintah merupakan harga yang tidak wajar dan jauh di atas NJOP di daerah terse- but. Meskipun demikian tanah tersebut telah digusur untuk kepentingan pembangunan perlu- asan Badara Komodo.
Pada tanggal 4 Maret 2013, masyarakat yang memiliki tanah di sekitar Bandara Komodo diundang oleh pihak pemerintah daerah untuk menghadiri rapat. Pertemuan itu untuk sosialisasi dan pemberitahuan akan kepastian perluasan bandara yang akan dilaksanakan serta musya- warah ganti kerugian atas tanah masyarakat yang terkena perluasan tersebut. Rapat dihadiri juga oleh para pihak dari instansi-instansi terkait yang langsung dipimpin oleh Bupati Manggarai Barat, namun dalam rapat tersebut ternyata tidak disinggung tentang ganti kerugian atas tanah masyarakat, padahal sebelumnya diagendakan untuk membicarakan persoalan ganti rugi. Ar- tinya, menurut pengakuan warga perwakilan pemilik tanah, tak pernah ada pembicaraan dalam rapat tersebut tentang ganti rugi.
Pada tanggal 26-27 Juli 2013 lahan masyarakat digusur tanpa ada pemberitahuan terlebih dahulu kepada masyarakat dan tanpa ada proses pem- bicaraan ganti rugi tanah masyarakat terlebih dahulu, sebagaimana pernah dijanjika. Area atau tanah yang digusur adalah bukit Binongko dan Bukit Batu, berada pada posisi sebelah Barat Pilar
XV, XVI dan pilar I batas bidang tanah Hak Penge- lolaan No. 00001 yang diberikan pada Departemen
32 Wawancara dengan Marselinus Bandur, 16 Maret 2014, di Labuan Bajo.
Mr Padjo & M. Nazir S.: Memetakan Konflik dalam Pengadaan Tanah...: 545-562
Perhubungan sebagai pengelola Bandara Komo- mulanya bertujuan mengambil tanah untuk do. 33 Tampaknya Pemda menyederhanakan ditimbun pada bagian yang diperluas pada lan- dengan menganggap masyarakat akan menuruti dasan pacu pesawat, namun selanjutnya tanah apa yang diinginkan. Sesuatu yang sulit diterima yang digusur disebutkan sebagai bagian tanah hak oleh masyarakat adalah tindakan pemerintah pengelolaan yang diberikan pada Bandara Ko-
dengan menggusur tanah warga padahal upaya- modo. 36 Pihak pengembang bandara telah mela- upaya menuju kesepakatan belum berhasil kukan tindakan yang jauh di luar hukum, pada- dilakukan, bahkan tidak pernah membicara- hal kesepakatan dengan masyarakat belum terjadi, kannya. Hal ini tentu saja menimbulkan gejolak bahkan pihak bandara dan pemda telah mela- antara pemda dengan warga karena pemerintah kukan tindakan dengan sengaja memancing emo- dianggap arogan dan menggunakan kekuasaan si warga. Pihak bandara dengan enteng menga-
yang dimiliki. 34 takan tidak mengetahui status kepemilikan dan Pada saat penggusuran diwarnai dengan per- penguasaan tanah tersebut, dan hanya menge- tengkaran dan adu mulut antara masyarakat dan tahui di atas tanah terebut terdapat tanaman pihak yang menggusur lahan tersebut, karena di seperti pisang dan tanaman tahunan seperti atas tanah sudah terdapat tanaman masyarakat kedondong, dan tanaman lainnya. Menurut seperti pisang, mangga, dan tanaman lainnya, pengakuannya pengembang, penggusuran terse- namun adu mulut dapat diredakan dan penggu- but dilakukan berdasarkan persetujuan peme- suran tetap dilaksanakan karena pihak Pemerin- rintah daerah setempat demi pembangunan tah Daerah Manggarai Barat menurunkan Polisi perluasan bandara, persoalan dengan masyarakat Pamong Praja untuk mengendalikan situasi 37 bukan menjadi wewenangnya. tersebut. 35
Dalam diskusi lebih jauh dengan perwakilan Penggusuran tersebut pertama kali dilak- masyarakat, sebenarnya warga mendukung sanakan oleh PT. Floresco kemudian dilanjutkan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah, oleh PT. Bumi Indah, dengan kantor pusat PT. tetapi masyarakat meminta agar pemerintah tetap Bumi Indah yang berkedudukan di Wae Kabula memperhatikan hak-hak masyarakat yang Pulau Sumba sebagai pihak yang akan membagun memiliki tanah tersebut. Atas situasi yang terjadi, perluasan bandara. Menurut Agus, salah satu perwakilan masyarakat mengaku telah melakukan pekerja PT. Bumi Indah, bahwa penggusuran berbagai upaya penyelesaian, baik itu musyawarah dilakukan di luar pagar lama Bandara Komodo, maupun pendekatan masyarakat pada pemerintah yang juga dibenarkan oleh Longginus, salah satu agar pemerintah dapat memperhatikan hak-hak pegawai kantor Bandara Komodo. Penggusuran masyarakat, khususnya ganti rugi tanah. Bahkan dalam area pagar bandara dilakukan dengan tu- telah melakukan upaya beberapa cara termasuk juan perluasan, sedangkan penggusuran yang pernyataan sikap atas tuntutan masyarakat yang dilakukan pada bagian luar pagar bandara pada langsung disampaikan pada Bupati Manggarai
Barat. Akan tetapi semua upaya gagal dan tidak
menemukan jalan keluar.
Dokumen penelitian, Salinan Surat Ukur No. 46/1994 diseuaikan dengan Peta Sket Lokasi Lereng Gunung Rita sampai dengan Tanah Genang Tahun 1990.
34 Wawancara dengan Lukas Ladja, di Labuan Bajo 14 36 Wawancara dengan Agus (salah satu pekerja di PT. Maret 2014.
Bumi Indah), 17 Maret 2014.
35 Wawancara dengan Lukas Ladja, di Labuan Bajo 14 37 Wawancara dengan Longginus, di Labuan Bajo 16 Maret 2014.
Maret 2014.
558 Bhumi No. 40 Tahun 13, Oktober 2014
Kondisi tersebut di atas membuat masyarakat diadakan pada tanggal 13-14 Agustus, dalam rapat semakin tidak mendapatkan kepastian, karena tersebut Sekretaris Daerah Kabupaten Manggarai bertahan pada tuntutannya, sementara pemerin- Barat berjanji untuk merekonstruksi (batas) lokasi tah tidak sanggup memenuhi. Situasi tersebut yang telah digusur.Upaya merekonstruksi tanah semakin menempatkan masyarakat pada posisi dengan mengajak semua instansi terkait, namun terus melawan, dari berjuang dengan cara lobi/ justru tidak mengajak masyarakat sebagai pihak dialog menjadi turun ke jalan menuntut hak- yang memiliki tanah. haknya. Bahkan mulai muncul tindakan