Problem Posing dalam Pembelajaran Matema

17
Problem Posing dalam Pembelajaran
Matematika
Oleh:
Dede Nurhidayah
1204128
e-mail: dede.nurhidayah@student.upi.edu
PENDAHULUAN
Matematika merupakan mata pelajaran yang diajarkan di
setiap tingkatan sekolah, mulai dari sekolah dasar sampai
perguruan tinggi. Matematika merupakan ilmu yang mempunyai
peran penting dalam memajukan daya pikir manusia yang
mendasari perkembangan teknologi modern dan digunakan sebagai
alat penting di berbagai bidang, termasuk ilmu alam, teknik,
kedokteran/medis, dan ilmu sosial. Oleh karena itu, pembelajaran
matematika sangat perlu diberikan di sekolah dasar sesuai dengan
Standar Isi yang tertera pada Permendiknas No 22 Tahun 2006,
yang menyatakan bahwa:
Mata pelajaran Matematika perlu diberikan kepada semua
peserta didik mulai dari sekolah dasar untuk membekali
peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis,

sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama.
Kompetensi tersebut diperlukan agar peserta didik dapat
memiliki
kemampuan
memperoleh,
mengelola,
dan
memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan
yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif.
Namun,
pada
kenyataannya
sebagian
besar
siswa
menganggap bahwa matematika merupakan mata pelajaran yang
sulit untuk dipahami. Sehingga dalam proses pembelajaran
matematika, guru sering menemukan beberapa permasalahan yang
harus dihadapi. Salah satunya pada saat proses pembelajaran
berlangsung, siswa lebih sering duduk, diam, mendengarkan, dan

mencatat tanpa memahami maksud maupun konsep yang telah
mereka dengar dan catat. Proses pembelajaran hanya berlangsung
satu arah dengan pembelajaran teacher centered.

17 - 1

Problem Posing dalam Pembelajaran Matematika

Meskipun demikian, guru diharapkan mampu mengajak siswa
untuk aktif berpartisipasi dalam proses pembelajaran. Salah
satunya melalui pembelajaran dengan pendekatan problem posing.
Melalui pendekatan ini dapat memberikan rangsangan kepada
siswa untuk mengembangkan pengetahuannya dengan cara yang
mudah dan murah. Pengetahuan yang dapat dikembangkan siswa
melalui pendekatan ini adalah pengetahuan dari yang sederhana
hingga pada pengetahuan yang kompleks.
Selain itu, dengan pendekatan ini, tidak hanya memberikan
kesempatan bagi siswa untuk menunjukkan apa yang mereka
ketahui dan dapat dilakukan dengan pengetahuan matematika
mereka; juga memungkinkan guru untuk mengamati pola siswa

dalam belajar dan berpikir matematika. Sehingga, dengan
pendekatan problem posing ini memberikan keluasan siswa untuk
belajar secara mandiri dengan merumuskan masalahnya (lebih
khusus soal) sendiri dan menyelesaikan masalah yang diajukannya.
Dalam makalah ini, akan dijelaskan mengenai pengertian dari
problem posing dan bagaimana penerapannya dalam pembelajaran
matematika.
PENGERTIAN PROBLEM POSING
Problem posing telah menjadi kecenderungan pembelajaran
matematika saat ini. Reformasi pembelajaran matematika terkini
merekomendasikan penerapan problem posing dalam pembelajaran
matematika (Christou, dkk., 1999). Problem posing sesungguhnya
bukan ide baru dalam pembelajaran matematika, melainkan telah
diperkenalkan dan diteliti di berbagai negara, seperti Amerika,
Inggris, Australia, Jepang, dan Singapura pada beberapa dekade
yang lalu. Menurut Brown dan Walter (2005, hlm. 9), pada tahun
1989 untuk pertama kalinya istilah problem posing diakui secara
resmi oleh National Council of Teacher of Mathematics (NCTM)
dalam Curriculum and Evaluation Standards for School
Mathematics. Selanjutnya istilah ini dipopulerkan dalam berbagai

media seperti buku teks, jurnal serta menjadi saran yang konstruktif
dan mutakhir dalam pembelajaran matematika.
Jika dilihat dari segi bahasa, problem posing berasal dari
bahasa Inggris yang artinya “mengajukan masalah” atau dapat
dipadankan menjadi “mengajukan soal”. Sebuah soal dikatakan
masalah jika soal tersebut merupakan soal yang sulit dan penuh
tantangan. Kilpatrick (dalam English dan Halford, 1995, hlm. 258)
menyatakan bahwa “Problem posing is an important companion to
problem solving and lies at the heart of mathematical activity”.
Sejalan dengan pernyataan tersebut, Silver (1994) menyatakan

Problem Posing dalam Pembelajaran Matematika

17 - 2

bahwa “problem posing is central to the discipline of mathematics
and the nature of mathematical thinking”.
Dunker (dalam Abu-Elwan, 1999, hlm. 5) menyatakan bahwa
“problem posing in mathematics as the generation of a new
problem or the formulation of a given problem”. Dengan arti yang

sama, Silver (1994) menjelaskan bahwa “problem posing as it is
refers to both the generation of new problems and the reformulation of given problems, posing can occur before, during or
after the solution of a problem”. Pendapat lain, Stoyanova dan
Ellerton (1996) mendefnisikan problem posing dalam matematika
adalah “as the process by which, on the basis of mathematical
experience, students construct personal interpretations of concrete
situations and formulate them as meaningful mathematical
problems”.
Pada prinsipnya, pendekatan pembelajaran problem posing
adalah suatu pembentukan atau pengajuan soal yang dibuat oleh
siswa secara mandiri dengan perubahan agar lebih sederhana dan
dapat dikuasai. Soal yang dibuat dapat berupa soal baru atau
penyederhanaan soal yang sudah ada. Misalnya, untuk membuat
soal dapat dilakukan dengan mengubah informasi yang terdapat
pada soal yang telah dikerjakan, seperti mengubah bilangan,
operasi, syarat, atau konteks soal tersebut.
PROBLEM POSING DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Dalam pembelajaran matematika, problem posing merupakan
suatu pendekatan yang menekankan pada perumusan soal. Dengan
bimbingan guru, siswa merumuskan soal dalam rangka

memecahkan soal yang lebih kompleks. Brown dan Walter (2005),
menyatakan bahwa soal dapat dirumuskan melalui beberapa
situasi, antara lain: gambar, benda manipulatif, permainan,
teorema/konsep, alat peraga, soal, dan solusi dari suatu soal.
Brown dan Walter (2005, hlm. 12) menyatakan bahwa problem
posing dalam pembelajaran matematika memiliki dua tahap kognitif
yaitu Accepting (menerima) dan Challenging (menantang). Tahap
menerima adalah suatu kegiatan dimana siswa dapat menerima
situasi – situasi yang diberikan guru atau siatuasi-situasi yang
sudah ditentukan. Tahap menantang adalah suatu kegiatan dimana
siswa menantang situasi yang diberikan guru dalam rangka
pembentukan atau perumusan soal. Pada tahap menantang ini
dilakukan dengan empat kegiatan, yaitu (1) membuat daftar atribut
yang ada pada situasi, (2) menantang atribut pada daftar dengan
atribut lain yang relevan dengan atribut tersebut, (3)

17 - 3

Problem Posing dalam Pembelajaran Matematika


membuat/mengajukan
pertanyaan,
dan
(4)
menganalisis
pertanyaan.
Silver (1997) mengklasifkasikan tiga aktivitas kognitif dalam
pembuatan soal sebagai berikut.
1. Pre-solution posing, yaitu pembuatan soal berdasarkan situasi
atau informasi yang diberikan.
2. Within-solution posing, yaitu pembuatan atau formulasi soal
yang sedang diselesaikan. Maksudnya, siswa menyederhanakan
soal yang sedang dikerjakan agar menjadi lebih mudah.
3. Post-solution posing. Strategi ini juga disebut sebagai strategi
“find a more challenging problem”. Siswa memodifkasi atau
merevisi tujuan atau kondisi soal yang telah diselesaikan untuk
menghasilkan soal-soal baru yang lebih menantang. Pembuatan
soal demikian merujuk pada strategi “what-if-not …?” atau
”what happen if …”. Beberapa teknik yang dapat digunakan
untuk membuat soal dengan strategi itu adalah sebagai berikut.

a. Mengubah informasi atau data pada soal semula
b. Menambah informasi atau data pada soal semula
c. Mengubah nilai data yang diberikan, tetapi tetap
mempertahankan kondisi atau situasi soal semula.
d. Mengubah situasi atau kondisi soal semula, tetapi tetap
mempertahankan data atau informasi yang ada pada soal
semula.
Adapun
situasi
dalam
pembelajaran
problem
posing
diklasifkasikan menjadi tiga, yaitu situasi bebas, semi terstruktur
dan terstruktur (Stoyanova dan Ellerton, 1996; Abu-Elwan, 2002).
Berikut penjelasan dari ketiga situasi tersebut.
1. Situasi problem posing bebas (Free Problem Posing Situations),
siswa diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk
mengajukan soal sesuai dengan apa yang dikehendaki. Siswa
dapat menggunakan fenomena dalam kehidupan sehari-hari

sebagai acuan untuk mengajukan soal.
2. Situasi problem posing semi terstruktur (Semi-Structured
Problem Posing Situations), siswa diberikan situasi/informasi
terbuka. Kemudian siswa diminta untuk mengajukan soal
dengan mengaitkan informasi itu dengan pengetahuan yang
sudah dimilikinya. Situasi dapat berupa gambar atau informasi
yang dihubungkan dengan konsep tertentu.
3. Situasi problem posing terstruktur (Structured Problem Posing
Situation), siswa diberi soal atau selesaian soal tersebut,
kemudian berdasarkan hal tersebut siswa diminta untuk
mengajukan soal baru.
PENILAIAN DALAM PROBLEM POSING
Problem Posing dalam Pembelajaran Matematika

17 - 4

Silver dan Cai (dalam Lin dan Leng, 2008) mengategorikan soal
yang dirumuskan siswa dalam tiga bagian yaitu pertanyaan
matematika, pertanyaan non-matematika, dan pernyataan.
Pertanyaan matematika adalah pertanyaan yang mengandung

masalah matematika dan mempunyai kaitan dengan informasi yang
ada pada situasi inti. Pertanyaan matematika dibagi lagi menjadi
pertanyaan yang dapat diselesaikan dan pertanyaan yang tidak
dapat diselesaikan. Pertanyaan yang tidak dapat diselesaikan
adalah pertanyaan yang memiliki informasi yang tidak cukup atau
tujuan pertanyaan tidak sesuai dengan informasi yang diberikan.
Berbagai respon yang muncul dalam pembelajaran problem posing
digambarkan sebagai berikut.

17 - 5

Problem Posing dalam Pembelajaran Matematika

Responses
Non-math
Questions
Solvabe

Math
Questions


Statements

Non-solvabe

Semantic
Analysis

Linguistic
Syntatic
Analysis
Gambar 1. Jenis Respon Siswa terhadap Matematika
menurut Silver dan Cai
Seorang siswa dikatakan sudah dapat membentuk soal jika
siswa tersebut sudah dapat membuat pertanyaan matematika yang
dapat diselesaikan dan yang sesuai dengan situasi yang diberikan.
Selain itu Silver (1994) mengelompokkan kesukaran masalah
yang dibuat siswa dalam dua jenis. Pertama kesukaran yang
berkaitan dengan struktur bahasa (sintaksis), dan kedua kesukaran
yang berkaitan dengan struktur matematika (semantik) dalam
masalah yang dibuat siswa. Kesukaran yang berkaitan dengan
struktur bahasa dapat dilihat dari proposisi yang terkandung pada
masalah yang dibentuk siswa. Menurut Mayer, dkk. (dalam Surtini,
Hardjo, & Badjuri, 2003) terdapat tiga proposisi yang ada dalam
soal matematika, yaitu proposisi penugasan, proposisi hubungan
dan proposisi pengandaian (kondisional). Sedangkan kesukaran
yang berkaitan dengan struktur matematika dalam masalah yang
dibentuk siswa dapat dilihat melalui dua cara, yaitu dengan
menghitung banyaknya kombinasi operasi aritmatika yang
digunakan
atau
menghitung
banyaknya
langkah-langkah
penyelesaian yang diperlukan untuk penyelesaian masalah dan
dengan cara menghitung hubungan semantiknya. Marshall (dalam
Surtini, Hardjo, & Badjuri, 2003) menggunakan skema klasifkasi
masalah untuk mengelompokkan masalah yang dibentuk siswa
ditinjau
dari
hubungan
semantiknya,
yaitu:
mengubah,
mengelompokkan, membandingkan, menyatakan kembali, dan
memvariasi.
Sampai saat ini, banyak peneliti telah menggunakan beberapa
kerangka kerja yang berbeda untuk menilai pemahaman siswa
tentang tugas problem posing. Diantaranya, Silver dan Cai (dalam
Problem Posing dalam Pembelajaran Matematika

17 - 6

Rosli, Goldsby, & Capraro, 2013) menyarankan kriteria umum yang
berfokus pada kuantitas, orisinalitas, dan kompleksitas dari masalah
yang diajukan. Kriteria tersebut mirip dengan klasifkasi masalah
oleh Yuan & Sriraman (2010), yaitu: kelancaran, feksibilitas, dan
orisinalitas. Namun, diantara kedua studi tersebut tidak ada yang
menjelaskan secara pasti tentang penyekoran problem posing.
Lin dan Leng (2008) menyatakan bahwa problem posing dapat
pula dinilai dari aspek kompleksitas yang meliputi kompleksitas
hubungan antarkonsep matematis, tingkat kesulitan, dan
kompleksitas susunan bahasa yang digunakan. Kompleksitas soal
dapat diklasifkasikan ke dalam kategori rendah, sedang, dan tinggi.
Pengategorian ditinjau dari aspek bernalar, melakukan prosedur
matematis, memahami konsep, atau menyelesaikan masalah. Soal
dengan tingkat kompleksitas rendah biasanya berupa soal yang
mencakup aspek mengingat kembali sifat-sifat. Soal dengan tingkat
kompleksitas sedang adalah soal yang memuat hubungan antara
dua sifat, sedangkan soal dengan tingkat kompleksitas tinggi
mencakup analisis asumsi-asumsi yang dibuat dalam model
matematis. Menurut Lin dan Leng (2008), berikut adalah
karakteristik soal masing-masing kategori tersebut.
1.

2.

3.

4.

5.

Rendah
Mengingat
atau
mengenali
fakta, istilah,
atau sifat-sifat
Menghitung
jumlah,
selisih, hasil
kali, atau
pembagian
Melakukan
prosedur
matematis
yang
ditentukan
Menyelesaika
n soal dengan
satu tahap
penyelesaian
Mengambil
informasi dari
grafk, tabel,

17 - 7

1.

2.

3.
4.
5.
6.

7.

Sedang
Merepresentasikan
situasi secara
matematis dengan
lebih dari satu cara
Memberikan
pembenaran pada
langkah-langkah saat
proses penyelesaian
masalah
Menginterpretasikan
representasi visual
Menyelesaikan soal
dengan beberapa
tahap
Memperluas pola
Mengambil informasi
dari grafk, tabel,
atau gambar dan
menggunakannya
untuk menyelesaikan
suatu masalah
Menginterpretasikan

1.

2.

3.
4.

5.

Tinggi
Mendeskripsikan
berbagai
representasi
berbeda untuk
menyelesaikan
masalah
Melakukan
prosedur
matematis yang
melibatkan
beberapa tahap
dan beberapa poin
keputusan
Menggeneralisasi
pola
Menyelesaikan
masalah dengan
lebih dari satu
cara
Menjelaskan dan
membenarkan
solusi untuk suatu

Problem Posing dalam Pembelajaran Matematika

atau gambar.

penjelasan
sederhana.

masalah
6. Mendeskripsikan,
membandingkan,
dan
mengontraskan
metode-metode
penyelesaian
7. Menganalisis
asumsi-asumsi
dalam proses
solusi
8. Memberikan
pembenaran
matematis.

Tabel 1. Kategori Soal Berdasarkan Kompleksitas Soal
Kulm (dalam dalam Rosli, Goldsby, & Capraro, 2013) merancang
penilaian problem posing dengan menggunakan rubrik berbasis
proses yang berdasarkan pada pemahaman konsep, solusi,
kreativitas, dan solusi dari masalah pasangan (dalam pembelajaran
berkelompok). Siswa diberikan 1, 2, atau 4 poin untuk setiap
kategori yang dinilai. Berikut merupakan rubrik berbasis proses.
Rubrik Berbasis Proses
Skor
Aspek
Pemahaman
Konsep
Solusi dari
Masalah
Kreativitas
dari Masalah
Solusi dari
Masalah
Partner

4

2

1

Pemahaman
yang
menyeluruh
Semuanya
benar

Paham
sebagian

Miskin
pemahaman

Sebagian
benar

Mencoba
untuk
memecahkan

Seluruhnya
berbeda dari
teks
Semuanya
benar

Agak berbeda
dari teks

Sama dengan
teks

Sebagian
benar

Mencoba
untuk
memecahkan

Tabel 2. Rubrik Berbasis Proses pada Penilaian Problem Posing
Problem Posing dalam Pembelajaran Matematika

17 - 8

LANGKAH-LANGKAH PEMBELAJARAN PROBLEM POSING
Pembelajaran dengan pengajuan soal menurut Menon (dalam
Siswono, 2000) dapat dilakukan dengan tiga cara berikut :
1. Berikan kepada siswa soal cerita tanpa pertanyaan, tetapi
semua informasi yang diperlukan untuk memecahkan soal
tersebut ada. Tugas siswa adalah membuat pertanyaan
berdasar informasi tersebut.
2. Guru menyeleksi sebuah topik dan meminta siswa untuk
membagi kelompok. Tiap kelompok ditugaskan membuat soal
cerita sekaligus penyelesaiannya. Kemudian soal-soal tersebut
dipecahkan oleh kelompok-kelompok lain. Sebelumnya soal
diberikan kepada guru untuk diedit tentang kebaikan dan
kesiapannya. Soal-soal tersebut kemudian digunakan sebagai
latihan. Nama pembuat soal tersebut ditunjukkan, tetapi
solusinya tidak. Soal-soal tersebut didiskusikan dalam masingmasing kelompok dan kelas. Hal ini akan memberi nilai
komunikasi dan pengalaman belajar. Diskusi tersebut seputar
apakah soal tersebut ambigu atau cukup tidaknya informasi.
Soal yang dibuat siswa tergantung interes siswa masing-masing.
Sebagai perluasan, siswa dapat menanyakan soal cerita yang
dibuat secara individu.
3. Siswa diberikan soal dan diminta untuk mendaftar sejumlah
pertanyaan yang berhubungan dengan masalah. Sejumlah
pertanyaan kemudian diseleksi dari daftar tersebut untuk
diselesaikan. Pertanyaan dapat bergantung dengan pertanyaan
lain. Bahkan dapat sama, tetapi kata-katanya berbeda. Dengan
mendaftar pertanyaan yang berhubungan dengan masalah
tersebut akan membantu siswa "memahami masalah".
Langkah-langkah itu dapat dimodifkasi, misalnya siswa dibuat
berpasangan. Dalam satu pasang siswa membuat soal dengan
penyelesaiannya. Soal tanpa penyelesaian saling dipertukarkan
antar pasangan lain atau dalam satu pasang. Siswa diminta
mengerjakan soal temannya dan saling koreksi berdasar
penyelesaian yang dibuatnya.
IMPLEMENTASI PROBLEM POSING DALAM PEMBELAJARAN
MATEMATIKA

17 - 9

Problem Posing dalam Pembelajaran Matematika

Langkah-langkah Konkrit Penerapan Pendekatan Problem
Posing di Kelas
Pertemuan selama 2 jam pelajaran (2 x 35 menit) dengan
pokok bahasan Operasi Hitung Bilangan Cacah.
1. Perencanaan
Pada pertemuan pertama, sebelumnya guru akan
mempersiapkan bahan yang akan diajarkan dengan membuat
rancangan
pembelajaran
(RPP).
Dimana
tujuan
dari
pembelajaran ini adalah siswa dapat melakukan operasi hitung
bilangan
cacah
dan
dapat
menerapkannya
dalam
menyelesaikan soal.
Tahap persiapan
1) Guru memilih pokok bahasan, yaitu operasi hitung
bilangan cacah untuk kelas IV
2) Guru membuat rancangan pembelajaran (RPP)
3) Membuat soal-soal tes dan kuis.
2. Pelaksanaan
Pada pembelajaran, guru akan melakukan beberapa
langkah sesuai dengan RPP yang telah disusunnya yaitu sebagai
berikut:
a. Pembukaan
1) Guru membuka pelajaran
a) Salam Pembuka
b) Mengabsen Siswa
2) Guru memberi apersepsi dan motivasi pada siswa
dengan permasalahan yang ada dalam kehidupan seharihari.
3) Menjelaskan kompetensi yang akan dicapai
4) Menjelaskan model pembelajaran
b. Kegiatan inti
1) Guru memerintahkan
siswa duduk dalam kelompok
yang telah dibagi secara .
2) Guru menjelaskan konsep serta memberikan contoh
materi Operasi Hitung Bilangan Cacah.
3) Melalui Tanya jawab guru melakukan pengecekan
terhadap pengetahuan yang dimiliki siswa.

Problem Posing dalam Pembelajaran Matematika

17 - 10

4) Kemudian guru menugaskan siswa untuk bekerja secara
kelompok membuat soal yang berhubungan dengan
materi pembelajaran.
5) Siswa secara kelompok menjawab soal yang telah dibuat
oleh kelompok lain.
c. Kegiatan Penutup
1) Guru bersama siswa menyimpulkan materi pelajaran
2) Guru memberikan kuis dalam waktu 15 menit.
3) Siswa mengumpulkan jawaban kuis.
4) Guru mengucapkan salam penutup.
PENUTUP
Pada prinsipnya, pendekatan pembelajaran problem posing
adalah suatu pendekatan pembelajaran yang mewajibkan para
siswa untuk mengajukan soal sendiri melalui belajar soal (berlatih
soal) secara mandiri. Problem posing juga dapat dijadikan alternatif
untuk mengembangkan keterampilan siswa guna meningkatkan
kemampuan siswa dalam menerapkan konsep matematika.
Pengajuan soal (problem posing) diharapkan dapat membantu
para pendidik (guru) dalam mengatasi kesulitan mengajar dan
memberi alternatif cara menyampaikan bahan ajar. Bila kita berani
dan mau mencoba maka perubahan dan kemajuan dalam
pembelajaran maupun usaha meningkatkan kemampuan siswa
sedikit demi sedikit akan tercapai.
DAFTAR PUSTAKA
Abu-Elwan, R. (1999). The development of mathematical problem
posing skills for prospective middle school teachers. In
Rogerson, A. (Ed.), Proceedings of the International conference
on Mathematical Education into 21st Century, 7 (1), hlm. 1-8.
Abu-Elwan, R. (2002). Efectiveness of problem posing strategies on
prospective
mathematics
teachers’
problem
solving
performance. Journal of Science and Mathematics Education in
S.E. Asia, 25 (1), hlm. 56-69.
Badan Standar Nasional Pendidikan. (2006). Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional No. 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi
untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta:
Depdiknas.
Brown, S.I., dan Walter, M.I. (2005). The Art of Problem Posing (3rd
Ed). Mahwah, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.
17 - 11

Problem Posing dalam Pembelajaran Matematika

Christou, C. (1999). An empirical taxonomy of problem posing
processes. Zentralblatt für Didaktik der Mathematik (ZDM) –
The International Journal on Mathematics Education, 37 (03),
hlm. 149-158.
English, L.D. & Halford, G.S. (1995). Mathematics Education: Models
and Processes. Mahwah, New Jersey: Lawrence Erlbaum
Associates, Inc.
Lin, K.M. & Leng, L.W. (2008). Using problem-posing as an
assessment tool. Paper presented at the 10th Asia-Pacific
Conference on Giftedness, Singapore.
Rosli, R., Goldsby, D., & Capraro, M.M. (2013). Assessing students’
mathematical problem-solving and problem-posing skills. Asian
Social Science, 9 (16), hlm. 54-60.
Silver, E.A. (1994). On mathematical problem posing. For the
Learning of Mathematics, 14 (1), hlm. 19-28.
Silver, E. A. (1997). Fostering creativity through instruction rich in
mathematical
problem
solving
and
problem
posing.
Zentralblatt für Didaktik der Mathematik (ZDM) – The
International Journal on Mathematics Education, 79 (3), hlm.
75-80.
Siswono, Tatag Y.E. (2000). Pengajuan soal (problem posing) oleh
siswa dalam pembelajaran geometri di SLTP. Seminar Nasional
Pengajaran Matematika di Sekolah Menengah, Surabaya: ITS.
Stoyanova, E. dan Ellerton, N.F. (1996). A framework for research
into students' problem posing in school mathematics. In P.
Clarkson (Ed.), Technology in mathematics education (hlm.
518–525). Melbourne: Mathematics Education Research Group
of Australasia.
Surtini, T., Hardjo, S., & Badjuri. (2003). Laporan penelitian
implementasi problem posing pada pembelajran operasi hitung
bilangan cacah siswa kelas IV SD di Salatiga. Semarang:
Universitas Terbuka.
Yuan, X., & Sriraman, B. (2010). An exploratory study of
relationships between students’ creativity and mathematical
problem-posing abilities. In B. Sriraman, & K. H. Lee (Eds.), The
elements of creativity and giftedness in mathematics, hlm. 528.

Problem Posing dalam Pembelajaran Matematika

17 - 12