UPAYA MENCARI KEBENARAN MELALUI PENDEKAT

UPAYA MENCARI KEBENARAN MELALUI PENDEKATAN
TINJAUAN ILMU PENGETAHUAN, FILSAFAT, DAN AGAMA
Di susun untuk memenuhi tugas mata kuliah umum Agama

Disusun Oleh:
Felycia Klaviera M
7111111177
5C

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI
CIMAHI
2014

A. Pendekatan-pendekatan untuk Memperoleh Kebenaran
Ada beberapa pendekatan yang dipakai manusia untuk memperoleh kebenaran yaitu :
a. Pendekatan Empiris
Manusia mempunyai seperangkat indera yang berfungsi sebagai penghubung
dirinya dengan dunia nyata. Dengan inderanya manusia mampu mengenal
berbagai hal yang ada di sekitarnya, yang kemudia diproses dan mengisi
kesadarannya. Indera bagi manusia merupakan pintu gerbang jiwa. Tidak ada

pengalaman yang diperoleh tanpa melalui indera.
Kenyataan seperti yang disebutkan di atas menyebabkan timbulnya anggapan
bahwa kebenaran dapat diperoleh melalui penginderaan atau pengalaman.
Kebenaran dari pendapat tersebut kiranya tidak dapat dipungkiri. Bahwa dengan
pengalaman kita mendapatkan pemahaman yang benar mengenai bentuk, ukuran,
warna, dst. mengenai suatu hal. Upaya untuk mendapatkan kebenaran dengan
pendekatan demikian merupakan upaya yang elementer namun tetap diperlukan.
Mereka yang mempercayai bahwa penginderaan merupakan satu-satunya cara
untuk memperoleh kebenaran disebut sebagai kaum empiris. Bagi golongan ini,
pengetahuan itu bukab didapatkan melalui penalaran rasional yang abstrak, namun
melalui pengalaman yang konkrit. Gejala-gejala alamiah menurut anggapan kaum
empiris adalah bersifat konkrit dan dapat dinyatakan melalui tangkapan indera
manusia.
b. Pendekatan Rasional
Cara lain untuk mendapatkan kebenaran adalah dengan mengandalkan rasio.
Upaya ini sering disebut sebagai pendekatan rasional. Manusia merupakan
makhluk hidup yang dapat berpikir. Dengan kemampuannya ini manusia dapat
menangkap ide atau prinsip tentang sesuatu, yang pada akhirnya sampai pada
kebenaran, yaitu kebenaran rasional.
Golongan yang menganggap rasio sebagai satu-satunya kemampuan untuk

memperoleh kebenaran disebut kaum rasionalis. Premis yang mereka pergunakan
dalam penalarannya adalah ide, yang menurut anggapannya memang sudah ada
sebelum manusia memikirkannya. Fungsi pikiran manusia adalah mengenal ide
tersebut untukdijadikan pengetahuan.
c. Pendekatan Intuitif
Menurut Jujun S. Suriasimantri (2005: 53), intuisi merupakan pengetahuan
yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran tertentu. Seseorang yang sedang
menghadapi suatu masalah secara tiba-tiba menemukan jalan pemecahannya. Atau
2

secara tiba-tiba seseorang memperoleh “informasi” mengenai peristiwa yang akan
terjadi. Itulah beberapa contoh intuisi.
Intuisi bersifat personal dan tidak bisa diramalkan. Bahwa intuisi yang dialami
oleh seseorang bersifat khas, sulit atau tak bisa dijelaskan, dan tak bisa dipelajari
atau ditiru oleh orang lain. Bahkan seseorang yang pernah memperoleh intuisi
sulit atau bahkan tidak bisa mengulang pengalaman serupa.
Kebenaran yang diperoleh dengan pendekatan intuitif disebut sebagai
kebenaran intuitif. Kebenaran intuitif sulit untuk dipertanggung jawabkan,
sehingga ada-ada pihak-pihak yang meragukan kebenaran macam ini.
Meskipun validitas intuitisi diragukan banyak pihak, ada sementara ahli yang

menaruh perhatian pada kemampuan manusia yang satu ini. Bagi Abraham
Maslow, intuisi merupakan pengalaman puncak (peak experience), sedangkan
bagi Nietzsche, intuisi merupakan inteligensi yang paling tinggi (Sumantri, 2005:
53).
d. Pendekatan Religius
Manusia merupakan makhluk yang menyadari bahwa alam semesta beserta
isinya ini diciptakan dan dikendalikan oleh kekuatan adi kodrati, yaitu Tuhan.
Kekuatan adi kodrati inilah sumber dari segala kebenaran. Oleh karena itu agar
manusia memperoleh kebenaran yang hakiki, manusia harus berhubungan dengan
kekuatan adi kodrtai tersebut.
Upaya untuk memperoleh kebenaran dengan jalan seperti tersebutdi atas
disebut sebagai pendekatan religius atau pendekatan supra-pikir (Rinjin, 1996:
54). Disebut demikian karena pendekatan tersebut melampai daya nalar manusia
manusia.
Kebenaan religius bukan hanya bersangkuta paut dengan kehidupan sekarang
dan yang terjangkau oleh pengalaman, namun juga mencakup masalah-masalah
yang bersifat transcendental, seperti latar belakang penciptaan manusia dan
kehidupan setelah kematian.
e. Pendekatan Otoritas
Usaha untuk memperoleh kebenaran juga dapat dilakukan dengan dasar

pendapat atau pernyataan dari pihak yang memiliki otoritas. Yang dimaksud
dengan hal ini adalah individu-individu yang memiliki kelebihan tertentu
disbanding anggota masyarakat pada umumnya.
Kelebihan-kelebihan tersebut bisa berupa kekuasaan, kemampuan intelektual,
keterampilan, pengalaman, dan sebagainya. Mereka yang memiliki kelebihan3

kelebihan seperti itu disegani, ditakuti, ataupun dijadikan figur panutan. Apa yang
mereka nyatakan akan diterima masyarakat sebagai suatu kebenaran.
Sepanjang sejarah dapat ditemukan contoh-contoh mengenai ketergantungan
manusia pada otoritas dalam mencari kebenaran. Pada masa Yunani kuno para
pemikir seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles dipandang sebagai sumber
kebenaran, bahkan melebihi pengamatan atau pengalaman langsung. Apa yang
dinyatakan oleh para tokoh tersebut dijadikan acuan dalam memahami realitas,
berpikir, dan berindak.
f. Pendekatan Ilmiah
Pendekatan ilmiah pertumpu pada dua anggapan dasar, yaitu : pertama, bahwa
kebenaran dapat diperoleh dari pengamatan dan kedua, bahwa gejala itu timbul
sesuai dengan hubungan-hubungan yang berlaku menurut hokum tertentu (Ary
dkk., 2000: 63).
Pendekatan ilmiah merupakan pengombinasian yang jitu dari pendekatan

empiris dan pendekatan rasional. Kombinasi ini didasarkan pada hasil analisis
terhadap kedua pendekatan tersebut. Pada satu segi kedua pendekatan tersebut
bisa dipertanggung jawabkan namun pada segi yang lain terdapat beberapa
kelemahan.
Kelemahan pertama pendekatan empiris, bahwa pengetahuan yang berhasil
dikumpulkan cenderung untuk menjadi kumpulan fakta-fakta. Kumpulan faktafakta tersebut belum tentu bersifat konsisten dan mungkin saja terdapat hal-hal
yang bersifat kontradiktif (Suriasumantri, 2005: 52). Kelemahan kedua, terletak
pada kesepakatan mengenai pemahaman hakikat pengalaman yang merupakan
cara untuk memperoleh kebenaran dan indera sebagai alat yang menangkapnya.
Sedangkan kelemahan yang terdapat pada pendekatan rasional adalah terdapat
pada kriteria untuk menguji kebenaran dari suatu ide yang menurut seseorang
jelas dan dapat dipercaya. Apa yang menurut seseorang jelas, benar, dan dapat
dipercaya belum tentu demikian untuk orang lain. Dalam hal ini pemikiran
rasional cenderung bersifat solipsisteik dan subjektif (Suriasumantri, 2005: 51).
Kelemahan-kelemahan darikedua pendekatan tersebut bisa dihilangkan atau
paling tidak dikurangi dengan mengombinasikan keduanya. Kombinasi tersebut
diwujudkan dengan langkah-langkah yang sistematis dan terkontrol. Upaya
memahami realitas dalam hal ini didasarkan pada kebenaran atau teori ilmiah
yang ada serta mengujinya dengan mengumpulkan fakta-fakta.
Suatu kebenaran dapat disebut sebagai kebenaran ilmiah bila memenuhi dua

syarat utama, yaitu : pertama, harus sesuai dengan kebenaran ilmiah sebelumnya
4

yang memungkinkan tidak terjadinya kontradiksi dalam teori keilmuan secara
keseluruhan, dan kedua, harus sesuai dengan fakta-fakta empiris. Sebab teori yang
bagaimanapun konsistennya sekiranya tidak didukung oleh pengujian empiris
tidak dapat diterima kebenarannya secara ilmiah.
B. Kebenaran
Sebelum membahas tentang kebenaran ilmiah, kebenaran agama, dan kebenaran
filsafat, tentunya kita harus mengenal tentang kebenaran itu sendiri. Kebenaran dapat
dipahami berdasarkan tiga hal yakni, kualitas pengetahuan, sifat/karakteristik dari
bagaimana cara atau dengan alat apakah seseorang membangun pengetahuan itu, dan
nilai kebenaran pengetahuan yang dikaitkan atas ketergantungan terjadinya pengetahuan
itu. Sedangkan kualitas pengetahuan dapat dibagi dalam empat macam, yaitu:
a. Pengetahuan biasa: sifatnya subjektif, artinya amat terikat pada subjek yang
mengenal; memiliki sifat selalu benar, sejauh sarana untuk memeperoleh
pengetahuan bersifat normal atau tidak ada penyimpangan.
b. Pengetahuan ilmiah: bersifat realtif, artinya kandungan kebenaran ini selalu
mendapatkan revisi atau diperkaya oleh hasil penemuan yang paling mutakhir.
c. Pengetahuan filsafati: bersifat absolut-intersubjektif, artinya selalu merupakan

pendapat yang selalu melekat pada pandangan filsafat seorang pemikir filsafat itu
serta selalu mendapt pembenaran dari filsuf kemudian yang mengunakan metodologi
pemikiran yang sama pula.
d. Pengetahuan agama: bersifat dogmatis, artinya pernyataan dalam agama selalu
dihampiri oleh keyakinan yang telah tertentu sehingga pernyataan-pernyataan dalam
kitab-kitab suci agama memiliki nilai kebenaran sesuai dengan keyakinan yang
digunakan untuk memahaminya itu.
Kebenaran itu sendiri dapat diperoleh melalui pengetahuan indrawi,
pengetahuan akal budi, pengetahuan intuitif, dan pengetahuan kepercayaan atau
pengetahuan otoritatif. Apa yang disebut benar oleh seseorang belum tentu benar
bagi orang lain. Oleh karena itu diperlukan suatu ukuran atau kriteria kebenaran.
Ada tiga jenis kebenaran yaitu: kebenaran epistemologi (berkaitan dengan
pengetahuan), kebenaran ontologis (berkaitan dengan sesuatu yang ada atau
diadakan), dan kebenaran semantis (berkaitan dengan bahasa dan tuturkata).

C. Kebenaran Ilmiah
5

Berbicara tentang kebenaran ilmiah, tentunya tidak lepas dari pemahaman
tentang ilmu. Ilmu merupakan kata yang berasal dari bahasa Arab, masdar dari ‘alima

– ya’lamu yang berarti tahu atau mengetahui, sementara itu secara istilah ilmu
diartikan sebagai idroku syai bi haqiqotih (mengetahui sesuatu secara hakiki). Dalam
bahasa Inggris, ilmu biasanya dipadankan dengan kata science, sedang pengetahuan
dengan knowledge. Dalam bahasa Indonesia kata science (berasal dari bahasa latin
dari kata scio, scire yang berarti tahu) umumnya diartikan ilmu tapi sering juga
diartikan dengan ilmu pengetahuan, meskipun secara konseptual mengacu pada
makna yang sama. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ilmu adalah
pengetahuan tentang sesuatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metodemetode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu
dibidang (pengetahuan) itu.
Menurut The Liang Gie secara lebih khusus menyebutkan ciri-ciri ilmu
sebagai berikut :
a. Empiris (berdasarkan pengamatan dan percobaan)
b. Sistematis (tersusun secara logis serta mempunyai hubungan saling bergantung dan
teratur)
c. Objektif (terbebas dari persangkaan dan kesukaan pribadi)
d. Analitis (menguraikan persoalan menjadi bagian-bagian yang terinci)
e. Verifikatif (dapat diperiksa kebenarannya)
Sementara itu Beerling menyebutkan ciri ilmu (pengetahuan ilmiah) adalah :
a. Mempunyai dasar pembenaran
b. Bersifat sistematik

c. Bersifat intersubjektif
Setelah kita memahami tentang ilmu itu sendiri, kita akan lebih mudah dalam
menafsirkan apa itu kebenaran ilmiah. Yaitu, kebenaran yang sesuai dengan fakta dan
mengandung isi pengetahuan. Pada saat pembuktiannya kebenaran ilmiah harus
kembali pada status ontologis objek dan sikap epistemologis (dengan cara dan sikap
bagaimana pengetahuan tejadi) yang disesuaikan dengan metodologisnya. Hal yang
penting dan perlu mendapat perhatian dalam hal kebenaran ilmiah yaitu bahwa
kebenaran dalam ilmu harus selalu merupakan hasil persetujuan atau konvensi dari
para ilmuwan pada bidangnya masing-masing.
Kebenaran ditemukan dalam pernyataan-pertanyaan yang sah, dalam ketidaktersembunyian. Kebenaran adalah kesatuan dari pengetahuan dengan yag diketahui,
kesatuan subjek dengan objek, dan kesatuan kehendak dan tindakan. Kebenaran
6

sering dianggap sebagai sesuatu yang harus “ditemukan” atau direbut melalui
pembedaan antara kebenaran dengan ketidakbenaran. Dan kebenaran ilmiah paling
tidak memiliki tiga sifat dasar, yakni:
a. Struktur yang rasional-logis. Kebenaran dapat dicapai berdasarkan kesimpulan
logis atau rasional dari proposisi atau premis tertentu. Karena kebenaran ilmiah
bersifat rasional, maka semua orang yang rasional (yaitu yang dapat
menggunakan akal budinya secara baik), dapat memahami kebenaran ilmiah.

Oleh sebab itu kebenaran ilmiah kemudian dianggap sebagai kebenaran
universal. Dalam memahami pernyataan di depan, perlu membedakan sifat
rasional (rationality) dan sifat masuk akal (reasonable). Sifat rasional terutama
berlaku untuk kebenaran ilmiah, sedangkan masuk akal biasanya berlaku bagi
kebenaran tertentu di luar lingkup pengetahuan. Sebagai contoh: tindakan marah
dan menangis atau semacamnya, dapat dikatakan masuk akal sekalipun tindakan
tersebut mungkin tidak rasional.
b. Isi empiris. Kebenaran ilmiah perlu diuji dengan kenyataan yang ada, bahkan
sebagian besar pengetahuan dan kebenaran ilmiah, berkaitan dengan kenyataan
empiris di alam ini. Hal ini tidak berarti bahwa dalam kebenaran ilmiah,
spekulasi tetap ada namun sampai tingkat tertentu spekulasi itu bisa dibayangkan
sebagai nyata atau tidak karena sekalipun suatu pernyataan dianggap benar
secara logis, perlu dicek apakah pernyataan tersebut juga benar secara empiris.
c. Dapat diterapkan (pragmatis). Sifat pragmatis, berusaha menggabungkan kedua
sifat kebenaran sebelumnya (logis dan empiris). Maksudnya, jika suatu
“pernyataan benar” dinyatakan “benar” secara logis dan empiris, maka
pernyataan tersebut juga harus berguna bagi kehidupan manusia. Berguna, berarti
dapat untuk membantu manusia memecahkan berbagai persoalan dalam
hidupnya.
Adapun tujuan manusia mempunyai pengetahuan adalah:

a. Memenuhi kebutuhan untuk kelangsungan hidup
b. Mengembangkan arti kehidupan
c. Mempertahankan kehidupan dan kemanusiaan itu sendiri.
d. Mencapai tujuan hidup
Ada dua teori yang digunakan untuk mengetahui hakekat Pengetahuan:

7

a. Realisme, teori ini mempunyai pandangan realistis terhadap alam. Pengetahuan
adalah gambaran yang sebenarnya dari apa yang ada dalam alam nyata.
b. Idealisme, teori ini menerangkan bahwa pengetahuan adalah proses-proses mental/
psikologis yang bersifat subjektif. Pengetahuan merupakan gambaran subjektif
tentang sesuatu yang ada dalam alam menurut pendapat atau penglihatan orang
yang mengalami dan mengetahuinya. Premis pokok adalah jiwa yang mempunyai
kedudukan utama dalam alam semesta. Sebenarnya realisme dan idealisme
mempunyai kelemahan-kelemahan tertentu.
Ada beberapa pendapat tentang sumber pengetahuan antara lain:
a. Empirisme, menurut aliran ini manusia memperoleh pengetahuan melalui
pengalaman (empereikos = pengalaman). Dalam hal ini harus ada 3 hal, yaitu
yang mengetahui (subjek), yang diketahui (objek) dan cara mengetahui
(pengalaman). Tokoh yang terkenal: John Locke (1632 –1704), George Barkeley
(1685 -1753) dan David Hume.
b. Rasionalisme, aliran ini menyatakan bahwa akal (reason) merupakan dasar
kepastian dan kebenaran pengetahuan, walaupun belum didukung oleh fakta
empiris. Tokohnya adalah Rene Descartes (1596 –1650, Baruch Spinoza (1632 –
1677) dan Gottried Leibniz (1646 –1716).
c. Intuisi. Dengan intuisi, manusia memperoleh pengetahuan secara tiba-tiba tanpa
melalui proses pernalaran tertentu. Henry Bergson menganggap intuisi merupakan
hasil dari evolusi pemikiran yang tertinggi, tetapi bersifat personal.
d. Wahyu adalah pengetahuan yang bersumber dari Tuhan melalui hambanya yang
terpilih untuk menyampaikannya (Nabi dan Rosul). Melalui wahyu atau agama,
manusia diajarkan tentang sejumlah pengetahuan baik yang terjangkau ataupun
tidak terjangkau oleh manusia.

D. Kebenaran Agama
Ketiga teori kebenaran sebelumnya menggunakan akal, budi, fakta, realitas dan
kegunaan sebagai landasannya. Dalam teori kebenaran agama digunakan wahyu yang
bersumber dari Tuhan.
- Sebagai makluk pencari kebenaran, manusia dapat mencari dan menemukan
kebenaran melalui agama.
- Dengan demikian, sesuatu dianggap benar bila sesuai dan koheren dengan ajaran
8

agama atau wahyu sebagai penentu kebenaran mutlak.
- Agama dengan kitab suci dan hadits nya dapat memberikan jawaban atassegala
persoalan manusia, termasuk kebenaran.
E. Kebenaran Filsafat
Ada empat teori kebenaran menurut filsafat, yaitu teori Korespondensi, Teori
Koherensi, Teori Pragmatisme, dan Teori Kebenaran Illahiah atau agama. Ketiga teori
pertama mempunyai perbedaan paradigma. Teori koherensi mendasarkan diri pada
kebenaran rasio, teori korespondensi pada kebenaran faktual, dan teori pragmatisme
fungsional pada fungsi dan kegunaan kebenaran itu sendiri. Tetapi ketiganya memiliki
persamaan. Yaitu pertama, seluruh teori melibatkan logika, baik logika formal
maupun material (deduktif dan induktif), kedua melibatkan bahasa untuk menguji
kebenaran itu, dan ketiga menggunakan pengalaman untuk mengetahui kebenaran itu.
a. Teori Korespondensi
Teori korespondensi (Correspondence Theory of Truth) menerangkan
bahwa kebenaran atau sesuatu keadaan benar itu terbukti benar bila ada
kesesuaian antara arti yang dimaksud suatu pernyataan/pendapat dengan objek
yang dituju/dimaksud oleh pernyataan/pendapat tersebut. Kebenaran adalah
kesesuaian pernyataan dengan fakta, yang berselaras dengan realitas, yang
serasi

dengan

situasiaktual.

Dengan demikian ada lima unsur yang perlu yaitu pernyataan (statement),
persesuaian (agreement), situasi (situation), kenyataan (realitas) dan putusan
(judgement). Kebenaran adalah fidelity to objective reality. Atau dengan
bahasa latinnya: edaequatioin telectuset rei (kesesesuaian pikiran dengan
kenyataan). Teori ini dianut oleh aliran realis. Pelopornya Plato, Aristoteles
dan Moore. Dikembangkan lebih lanjut oleh Ibnu Sina, Thomas Aquinas
diabad skolastik, serta oleh Bertrand Russel pada abad modern. Cara berpikir
ilmiah yaitu logika induktif menggunakan teori korespondensi ini.
b. Teori Koherensi
Teori koherensi (The Coherence Theory of Truth) menganggap suatu
pernyataan benar bila didalamnya tidak ada pertentangan, bersifat koheren dan
konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang telah dianggap benar. Dengan
demikian suatu pernyataan dianggap benar, jika pernyataan itu dilaksanakan
atas petimbangan yang konsisten dan pertimbangan lain yang telah diterima
kebenarannya. Rumusan kebenaran adalah, truth is a systematic coherence,
dan truth is consistency.
9

JikaA = B danB = C, makaA = C.
Logika matematik yang deduktif memakai teori kebenaran koherensi ini, yang
menjelaskan bahwa kesimpulan akan benar, jika premis-premis yang
digunakan juga benar. Teori ini digunakan oleh aliran metafisikus-rasionalis
dan idealis. Teori ini sudah ada sejak pra-Socrates, kemudian dikembangkan
oleh Benedictus Spinoza dan George Hegel. Suatu teori dianggap benar
apabila telah dibuktikan (justifikasi) benar dan tahan uji(testable). Kalau teori
ini bertentangan dengan data terbaru yang benar atau dengan teori lama yang
benar, maka teori itu akan gugur atau batal dengan sendirinya
c. Teori Pragmatisme
Teori pragmatisme (the pragmatic theory of truth) menganggap suatu
pernyataan, teori atau dalil itu memiliki kebenaran bila memiliki kegunaan dan
manfaat bagi kehidupan manusia. Kaum pragmatis menggunakan kriteria
kebenarannya dengan kegunaan (utility), dapat dikerjakan (work ability), dan
akibat yang memuaskan (satisfactory consequence). Oleh karena itu tidak ada
kebenaran yang mutlak/tetap, kebenarannya tergantung pada kerja, manfaat
dan akibatnya.
Akibat/hasil yang memuaskan bagi kaum pragmatis adalah:
a. Sesuai dengan keinginan dan tujuan
b. Sesuai dan teruji dengan suatu eksperimen
c. Ikut membantu dan mendorong perjuangan untuk tetap eksis(ada).
Teori ini merupakan sumbangan paling nyata dari para filsup Amerika.
Tokohnya adalah Charles S. Pierce (1839 –1914) dan di ikuti oleh William
James dan John Dewey ( 1859 –1952 ).
d. Kebenaran Religius (Agama sebagai teori kebenaran)

F. Perbedaan dan Persamaan Antara Ilmu Pengetahuan, Filsafat dan Agama
Sebagai Sumber Pengetahuan
Filsafat dan Ilmu adalah dua kata yang saling berkaitan baik secara substansial
maupun historis. Kelahiran suatu ilmu tidak dapat dipisahkan dari peranan filsafat,
sebaliknya perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat. Ilmu atau Sains
merupakan komponen terbesar yang diajarkan dalam semua strata pendidikan.
10

Walaupun telah bertahun-tahun mempelajari ilmu, pengetahuan ilmiah tidak
digunakan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari.
Ilmu dianggap sebagai hapalan saja, bukan sebagai pengetahuan yang
mendeskripsikan, menjelaskan, memprediksikan gejala alam untuk kesejahteraan dan
kenyamanan hidup. Kini ilmu telah tercerabut dari nilai luhur ilmu, yaitu untuk
menyejahterakan umat manusia. Bahkan tidak mustahil terjadi, ilmu dan teknologi
menjadi bencana bagi kehidupan manusia, seperti pemanasan global dan
dehumanisasi.
Ilmu dan teknologi telah kehilangan ruhnya yang fundamental, karena ilmu
telah mengurangi bahkan menghilangkan peran manusia, dan bahkan tanpa disadari
manusia telah menjadi budak ilmu dan teknologi. Oleh karena itu, filsafat ilmu
mencoba mengembalikan roh dan nilai luhur dari ilmu, agar ilmu tidak menjadi
bumerang bagi kehidupan manusia. Filsafat ilmu akan mempertegas bahwa ilmu dan
teknologi adalah instrumen dalammencapai kesejahteraan bukan tujuan. Filsafat ilmu
diberikan sebagai pengetahuan bagi orang yang ingin mendalami hakikat ilmu dan
kaitannya dengan pengetahuan lainnya. Bahan yang diberikan tidak ditujukan untuk
menjadi ahli filsafat.
Dalam masyarakat religius, ilmu dipandang sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari nilai-nilai ketuhanan, karena sumber ilmu yang hakiki adalah Tuhan.
Manusia diberi daya fikir oleh Tuhan, dan dengan daya pikir inilah manusia
menemukan teori-teori ilmiah dan teknologi. Pengaruh agama yang kaku dan
dogmatis kadang kala menghambat perkembangan ilmu. Oleh karenanya diperlukan
kecerdasan dan kejelian dalam memahami kebenaran ilmiah dengan sistem nilai
dalam agama, agar keduanya tidak saling bertentangan.
Dalam filsafat ilmu, ilmu akan dijelaskan secara filosofis dan akademis
sehingga ilmu dan teknologi tidak tercerabut dari nilai agama, kemanusiaan
lingkungan. Dengan demikian filsafat ilmu akan memberikan nilai dan orientasi yang
jelas bagi setiap ilmu. Ada yang mengatakan bahwa antara ilmu, filsafat dan agama
memiliki hubungan. Namun demikian, tidak menafikan terhadap pandangan bahwa
satu sama lain merupakan ‘sesuatu’ yang terpisah; di mana ilmu lebih bersifat empiris,
filsafat lebih bersifat ide dan agama lebih bersifat keyakinan.
Menurut Muhammad Iqbal dalam Recontruction of Religious Thought in
Islam sebagaimana dikutip Asif Iqbal Khan (2002), “Agama bukan hanya usaha untuk
mencapai kesempurnaan, bukan pula moralitas yang tersentuh emosi”. Bagi Iqbal,
agama dalam bentuk yang lebih modern, letaknya lebih tinggi dibandingkan puisi.
11

Agama bergerak dari individu ke masyarakat. Dalam geraknya menuju pada realitas
penting yang berlawanan dengan keterbatasan manusia. Agama memperbesar
klaimnya dan memegang prospek yang merupakan visi langsung realitas. (Asif Iqbal
Khan, Agama, Filsafat, Seni dalam Pemikiran Iqbal, 2002: 15).
Menurut Asif (2002: 16), sekalipun diekspresikan dalam jargon filsafat
kontemporer, tetapi mempunyai tujuan yang sama dengan para ilmuwan Islam pada
abad pertengahan yaitu menyeimbangkan agama di satu pihak dengan ilmu
pengetahuan modern dan filsafat utama sebagaimana tertuang dalam pendahuluan
buku rekonstruksinya, yaitu “untuk merekonstruksi filsafat religious Islam
sehubungan dengan tradisi filsafat Islam dan perkembangan lebih lanjut berbagai
bidang ilmu pengetahuan manusia”. Iqbal menegaskan dengan optimis, “waktunya
sudah dekat bagi agama dan ilmu pengetahuan untuk membentuk suatu harmoni yang
tidak saling mencurigai satu sama lain”.
Untuk lebih adilnya dalam menilai hubungan ketiganya, patut dicermati
pandangan Endang Saifuddin Anshari (Ilmu, Filsafat dan Agama, 1979) yang
menyebutkan di samping adanya titik persamaan, juga adanya titik perbedaan dan titik
singgung. Baik ilmu maupun filsafat atau agama, bertujuan (sekurang-kurangnya
berurusan dengan hal yang sama), yaitu kebenaran. Ilmu pengetahuan dengan
metodenya sendiri mencari kebenaran tentang alam dan manusia.
Filsafat dengan wataknya sendiri pula menghampiri kebenaran, baik tentang
alam, manusia dan Tuhan. Demikian pula agama, dengan karakteristiknya pula
memberikan jawaban atas segala persoalan asasi yang dipertanyakan manusia tentang
alam, manusia dan Tuhan. (Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama,
1979: 169) Masih menurutnya, baik ilmu maupun filsafat, keduanya hasil dari sumber
yang sama, yaitu ra’yu manusia (akal, budi, rasio, reason, nous, rede, vertand,
vernunft). Sedangkan agama bersumberkan wahyu dari Allah. Ilmu pengetahuan
mencari kebenaran dengan jalan penyelidikan (riset, research), pengalaman (empirik)
dan percobaan.
Filsafat

menghampiri

kebenaran

dengan

cara

mengembarakan

atau

mengelanakan akal budi secara radikal dan integral serta universal tidak merasa
terikat dengan ikatan apapun, kecuali oleh ikatan tangannya sendiri bernama logika.
Kebenaran ilmu pengetahuan adalah kebenaran positif (berlaku sampai dengan saat
ini), sedangkan kebenaran filsafat adalah kebenaran spekulatif (dugaan yang tak dapat
dibuktikan secara empiris, riset dan eksperimental). Baik kebenaran ilmu maupun
kebenaran filsafat bersifat nisbi (relatif), sedangkan kebenaran agama bersifat mutlak
12

(absolut), karena agama adalah wahyu yang di turunkan Dzat Yang Maha Benar,
Maha Mutlak dan Maha Sempurna.
Baik ilmu maupun filsafat, kedua-duanya dimulai dengan sikap sangsi atau
tidak percaya. Sedangkan agama dimulai dengan sikap percaya dan iman. Adapun
titik singgung, adalah perkara-perkara yang mungkin tidak dapat dijawab oleh
masing-masingnya, namun bisa dijawab oleh salah satunya. Gambarannya, ada
perkara yang dengan keterbatasan ilmu pengetahuan atau spekulatifnya akal, maka
keduanya tidak bisa menjawabnya. Demikian pula dengan agama, sekalipun agama
banyak menjawab berbagai persoalan, namun ada persoalan-persoalan manusia yang
tidak dapat dijawabnya. Sementara akal budi, mungkin dapat menjawabnya. Ketigatiganya memiliki hubungan dan tidak perlu dibenturkan satu sama lain selama
diyakini bahwa ilmu manusia memiliki keterbatasan. Demikian pula dengan filsafat,
selama difahami sebagai proses berfikir bukan sebagai penentu. Adapun agama dapat
diyakini, selama dapat dibuktikan dengan dalil-dalil yang dapat dipertangung
jawabkan.

G. Pendekatan Filsafat dalam Memperoleh Ilmu
Pada zaman Plato sampai pada masa Al-Kindi, batas antara filsafat dan ilmu
pengetahuan boleh dikatakan tidak ada. Seorang filosof (ahli filsafat) pasti menguasai
semua

ilmu

pengetahuan.

Perkembangan

daya

berfikir

manusia

yang

mengembangkan filsafat pada tingkat praktis dikalahkan oleh perkembangan ilmu
yang didukung oleh teknologi. Wilayah kajian filsafat menjadi lebih sempit
dibandingkan dengan wilayah kajian ilmu. Sehingga ada anggapan filsafat tidak
dibutuhkan lagi. Filsafat kurang membumi sedangkan ilmu lebih bermanfaat dan lebih
praktis.
Padahal filsafat menghendaki pengetahuan yang komprehensif yang luas,
umum, dan universal dan hal ini tidak dapat diperoleh dalam ilmu. Sehingga filsafat
dapat ditempatkan pada posisi dimana pemikiran manusia tidak mungkin dapat
dijangkau oleh ilmu. Dan, Ilmu bersifat pasteriori (kesimpulan ditarik setelah
melakukan pengujian secara berulang), sedangkan filsafat bersifat priori (kesimpulan
ditarik tanpa pengujian tetapi pemikiran dan perenungan). Keduanya sama-sama
menggunakan aktivitas berpikir, walaupun cara berfikirnya berbeda. Keduanya juga
sama-sama mencari kebenaran. Kebenaran filsafat tidak dapat dibuktikan oleh filsafat
13

sendiri tetapi hanya dapat dibuktikan oleh teori keilmuan melalui observasi ataupun
eksperimen untuk mendapatkan justifikasi.
Filsafat dapat merangsang lahirnya keinginan dari temuan filosofis melalui
berbagai observasi dan eksperimen yang melahirkan ilmu-ilmu. Hasil kerja filosofis
dapat menjadi pembuka bagi lahirnya suatu ilmu, oleh karena itu filsafat disebut jugas
sebagai induk ilmu (mother of science). Untuk kepentingan perkembangan ilmu, lahir
disiplin filsafat yang mengkaji ilmu pengetahuan yang dikenal sebagai filsafat ilmu
pengetahuan. Pengetahuan (knowledge) merupakan terminologi generik yang
mencakup seluruh hal yang diketahui manusia. Dengan demikian pengetahuan adalah
kemampuan manusia seperti perasaan, pikiran, pengalaman, pengamatan, dan intuisi
yang mampu menangkap alam dan kehidupannya serta mengabstraksikannya untuk
mencapai suatu tujuan.

KESIMPULAN

1. Pengetahuan ilmiah atau Ilmu, adalah pengetahuan yang diperoleh dengan cara khusus,
bukan hanya untuk digunakan saja tetapi ingin mengetahui lebih dalam dan luas
mengetahui kebenarannya, tetapi masih berkisar pada pengalaman.
14

2. Pengetahuan filsafat adalah pengetahuan yang tidak mengenal batas, sehingga yang
dicari adalah sebab-sebab yang paling dalam dan hakiki sampai diluar dan diatas
pengalaman biasa.
3. Pengetahuan agama, suatu pengetahuan yang hanya diperoleh dari Tuhan lewat para
Nabi dan Rosul-Nya. Pengetahuan ini bersifat mutlak danwajib diyakini oleh para
pemeluk agama.
4. Filsafat menghendaki pengetahuan yang komprehensif yang luas, umum, dan universal
dan hal ini tidak dapat diperoleh dalam ilmu. Sehingga filsafat dapat ditempatkan pada
posisi dimana pemikiran manusia tidak mungkin dapat dijangkau oleh ilmu.
5. Ilmu bersifat pasteriori (kesimpulan ditarik setelah melakukan pengujian secara
berulang), sedangkan filsafat bersifat priori (kesimpulan ditarik tanpa pengujian tetapi
pemikiran dan perenungan). Keduanya sama-sama menggunakan aktivitas berfikir,
walaupun cara berfikirnya berbeda. Keduanya juga sama-sama mencari kebenaran.
Kebenaran filsafat tidak dapat dibuktikan oleh filsafat sendiri tetapi hanya dapat
dibuktikan oleh teori keilmuan melalui observasi ataupun eksperimen untuk
mendapatkan justifikasi.
6. Filsafat dapat merangsang lahirnya keinginan dari temuan filosofis melalui berbagai
observasi dan eksperimen yang melahirkan ilmu-ilmu. Hasil kerja filosofis dapat
menjadi pembuka bagi lahirnya suatu ilmu, oleh karena itu filsafat disebut jugas ebagai
induk ilmu (mother of science). Untuk kepentingan perkembangan ilmu, lahir disiplin
filsafat yang mengkaji ilmu pengetahuan yang dikenal sebagai filsafat ilmu
pengetahuan.
7. Filsafat ilmu diberikan sebagai pengetahuan bagi orang yang ingin mendalami hakikat
ilmu dan kaitannya dengan pengetahuan lainnya. Bahan yang diberikan tidak ditujukan
untuk menjadi ahli filsafat.
8. Dalam masyarakat religius, ilmu dipandang sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
nilai-nilai ketuhanan, karena sumber ilmu yang hakiki adalah Tuhan. Manusia diberi
daya pikir oleh Tuhan, dan dengan daya fikir inilah manusia menemukan teori-teori
ilmiah dan teknologi. Pengaruh agama yang kaku dan dogmatis kadang kala
menghambat perkembangan ilmu. Oleh karenanya diperlukan kecerdasan dan kejelian
dalam memahami kebenaran ilmiah dengan sistem nilai dalam agama, agar keduanya
tidak saling bertentangan.
9. Dalam filsafat ilmu, ilmu akan dijelaskan secara filosofis dan akademis sehingga ilmu
dan teknologi tidak tercerabut dari nilai agama, kemanusiaan lingkungan. Dengan
demikian filsafat ilmu akan memberikan nilai dan orientasi yang jelas bagi setiap ilmu.
Ketiga-tiganya memiliki hubungan dan tidak perlu dibenturkan satu sama lain selama
15

diyakini bahwa ilmu manusia memiliki keterbatasan. Demikian pula dengan filsafat,
selama difahami sebagai proses berpikir bukan sebagai penentu. Adapun agama dapat
diyakini, selama dapat dibuktikan dengan dalil-dalil yang dapat dipertangung jawabkan
10. Baik ilmu maupun filsafat atau agama, bertujuan (sekurang-kurangnya berurusan
dengan hal yang sama), yaitu kebenaran. Ilmu pengetahuan dengan metodenya sendiri
mencari kebenaran tentang alam dan manusia. Filsafat dengan wataknya sendiri pula
menghampiri kebenaran, baik tentang alam, manusia dan Tuhan. Demikian pula agama,
dengan karakteristiknya pula memberikan jawaban atas segala persoalan asasi yang
dipertanyakan manusia tentang alam, manusia dan Tuhan.
11. Ilmu pengetahuan mencari kebenaran dengan jalan penyelidikan (riset, research),
pengalaman (empirik) dan percobaan. Filsafat menghampiri kebenaran dengan cara
mengembarakan atau mengelanakan akal budi secara radikal dan integral serta universal
tidak merasa terikat dengan ikatan apapun, kecuali oleh ikatan tangannya sendiri
bernama logika.
12. Kebenaran ilmu pengetahuan adalah kebenaran positif (berlaku sampai dengan saat ini),
sedangkan kebenaran filsafat adalah kebenaran spekulatif (dugaan yang tak dapat
dibuktikan secara empiris, riset dan eksperimental). Baik kebenaran ilmu maupun
kebenaran filsafat bersifat nisbi (relatif), sedangkan kebenaran agama bersifat mutlak
(absolut), karena agama adalah wahyu yang di turunkan Dzat Yang Maha Benar, Maha
Mutlak dan Maha Sempurna.
13. Baik ilmu maupun filsafat, kedua-duanya dimulai dengan sikap sangsi atau tidak
percaya. Sedangkan agama dimulai dengan sikap percaya dan iman. Adapun titik
singgung, adalah perkara-perkara yang mungkin tidak dapat dijawab oleh masingmasingnya, namun bisa dijawab oleh salah satunya. Gambarannya, ada perkara yang
dengan keterbatasan ilmu pengetahuan atau spekulatifnya akal, maka keduanya tidak
bisa menjawabnya. Demikian pula dengan agama, sekalipun agama banyak menjawab
berbagai persoalan, namun ada persoalan-persoalan manusia yang tidak dapat
dijawabnya.

Sementara

akal

budi,

mungkin

dapat

menjawabnya.

16

DAFTAR PUSTAKA

Filsafat Ilmu,Sebuah Pengantar Populer, Jakarata: Pustaka Sinar harapan, 1990.
Anshari, Endang Saifuddin, Ilmu, Filsafat dan Agama, Surabaya: Bina Ilmu, 1979.
Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat, Jakarta: Bumi Aksara, cet. iii, 1995.
http://edukasi.kompasiana.com/2012/04/27/hubungan-ilmu-filsafat-dan-agama-458566.html
http://filsafat.kompasiana.com
http://mawardiumm.wordpress.com/2008/06/02/relasi-dan-relevansi-antara-ilmu-filsafat-danagama/
17

Jujun S. Sumiasumantri (ed), Ilmu dalam Prespektif, Jakarta: Gramedia, cet. 6, 1985.
Saifudin, Endang, Ilmu Filsafat dan Agama, jakarta, Bina Ilmu:1990
http://ebekunt.wordpress.com/2008/08/10/ilmu-dan-upaya-manusia-untuk-memperolehkebenaran/
http://munawarmadina.blogspot.com/2014/02/kebenaran-ilmiah-kebenaran-agama-dan.html

18