Tesis Hukum Universitas Indonesia Urgens

UNIVERSITAS INDONESIA URGENSI BATAS WAKTU PENYELESAIAN PENGUJIAN UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR 1945 DI MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat

Untuk memperoleh gelar Magister Hukum

RAFLI FADILAH ACHMAD 1606846346 FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM JAKARTA

JUNI 2018 JUNI 2018

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT. Tuhan Yang Maha Esa, karena atas petunjuk dan hidayah-nyalah penulis dapat menyelesaikan tesis ini secara baik dan tepat waktu. Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Menurut Aristotles manusia adalah zoon politicon yakni makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa bantuan dari orang lain, begitu halnya juga Penulis yang menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari pelbagai pihak tesis yang penulis buat tentunya tidak dapat selesai sebaik ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Ibu Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof. Melda Kamil Ariadno, S.H., LL.M., Ph.D dan jajarannya yang telah memberikan kesempatan kepada Penulis untuk menimba ilmu di Magister Hukum terbaik se-Indonesia dan juga telah mendukung Penulis dengan men- support segala kebutuhan mahasiswa mulai dari ruangan, buku, pengajar dan fasilitas lainnya.

2. Bapak Dr. Fitra Arsil, S.H., M.H. selaku dosen pembimbing yang tidak pernah lelah dalam membimbing Penulis kearah yang benar, selain itu juga Bapak telah banyak memberikan sumbangsih pemikiran, waktu dan tenaga kepada Penulis sehingga memudahkan Penulis dalam menyusun tesis ini.

3. Orang tua penulis yakni Achmad Sudradjat, S.Ip dan Drs. Sintawati yang telah merawat Penulis dengan penuh kasih sayang yang tulus dari kecil hingga sampai saat ini. Tidak dapat dijabarkan seberapa letihnya Papah dan Mamah atas tingkah laku Penulis, semoga gelar Magister Hukum ini bisa membahagiakan kalian.

iv

4. Teman sebaya Penulis di Hukum Tata Negara Kelas Sore khususnya Adam, Ikram, Waldan, Raja, Belinda, Mela dan Dendi yang telah berjuang bersama dalam menghadapi tantangan perkuliahan ini.

5. Teman Pecel Ayam Pra Kelas yaitu Bang Cis, Bang Polarys, Mbak Ria, Mbak Uci, Bang Adrian, Bang Etra, Bang Edwin, Pak Arif, dan Bang Hawari yang membuat hari-hari Penulis menjadi sangat berwarna selama menempuh studi di Salemba dengan penuh canda-tawa, dan diskusi- diskusi seru. Terimakasih telah menjadi inspirator!

6. Mantan rekan-rekan kerja di PALAPPA INSTITUTE dan BSA Law Office yakni Bang Gandjar, Bang Abdul Sallam, Adri, Firman, Boghi, Ilma, Dita, Bang Boim, Bang Budi, Bang Japra, Bang Arbeng, Bang Rambe dan Mas Agus yang telah berjuang bersama-sama dalam perbaikan hukum di Indonesia

7. Mantan rekan-rekan kerja di Citra International Underwritters yakni Pak Luki, Pak Anto, Pak Gunawan, Pak Niko, Pak Yamin, Bang Raby, Bang Indra, Ayas, Jelita, Prafin, dan rekan-rekan lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terimakasih telah menjadi bagian hidup penulis yang singkat ini.

8. Ketua dan Wakil Ketua, Hakim-Hakim dan pegawai Pengadilan Negeri Sungai Penuh yang telah banyak mengajarkan Penulis tentang kehidupan baru di lembaga yudikatif.

9. Teman-teman Angkatan 60 Megamendung yang telah mengisi hari-hari Penulis dengan penuh canda tawa, kebahagiaan, dan keseruan yang ngangenin, sayang kita hanya bisa dipertemukan 1 bulan saja.

Akhir kata tak ada gading yang tak retak, Penulis menyadari masih terdapat banyak keterbatasan dalam penulisan tesis ini, mulai dari sistematika penulisan hingga substansi yang dibawakan, oleh karena itu saran dan kritik demi penyempurnaan tesis ini sangat diharapkan oleh Penulis. Harapannya tesis penulis dapat terus dikembangkan oleh penulis-penulis lain sehingga dapat membawa kemajuan bagi ilmu hukum kedepannya. Semoga Allah SWT. senantiasa melimpahkan Rahmat-Nya kepada kita semua dan tesis ini dapat bermanfaat bagi FHUI, UI dan Indonesia.

vi

ABSTRAK

Nama

: Rafli Fadilah Achmad

Program Studi

: Magister Ilmu Hukum

Judul Tesis : . Urgensi Batas Waktu Penyelesaian Pengujian Undang- ______.. Undang Terhadap Undang-Undang Dasar 1945 di _______ Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Pengujian undang-undang merupakan kewenangan yang paling dominan terjadi di Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi hingga empat belas tahun Mahkamah Konstitusi dibentuk belum ada ketentuan yang secara khusus mengatur mengenai batas waktu penyelesaiannya. Tesis ini membahas sekaligus merumuskan urgensi batas waktu penyelesaian pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian normatif yang disempurnakan dengan perbandingan lima negara. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa telah terjadi standar ganda antara batas waktu pengujian undang-undang dengan sengketa yang lain dimana sengketa pembubaran partai politik, perselisihan hasil pemilihan umum dan impeachment memiliki batas waktu penyelesaian sedangkan pengujian undang-undang yang notabenenya adalah kewenangan dominan dari Mahkamah Konstitusi justru tidak memiliki batas waktu penyelesaiannya.Selain itu ketiadaan batas waktu penyelesaian juga terbukti menciptakan suatu kondisi yang dinamakan justice delayed is justice denied, dimana baik Pemohon, Masyarakat dan Mahkamah Agung tidak mengetahui kepastian waktu tentang putusan pengujian undang-undang akan memiliki kekuatan hukum tetap. Kasus korupsi mantan Hakim Konstitusi berinisial “PA” juga menjadi studi dalam penelitian ini yang membuktikan bahwa

ketiadaan batas waktu menciptakan ruang negosiasi antara para pihak dan oknum pengadilan untuk melakukan tindakan koruptif. Maka dari itu perlu adanya upaya untuk merevisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dengan menambahkan tiga formulasi batas waktu penyelesaian pengujian undang-undang dalam suatu rumusan norma. Ketiga rumusan tersebut adalah batas waktu pengujian undang- undang yang bersifat kerugian potensial terhadap peristiwa konkret, batas waktu penyelesaian terhadap PERPU, dan batas waktu secara umum. Apabila Mahkamah Konstitusi memutus lebih dari waktu yang telah ditentukan maka terdapat konsekuensi hukum yang harus dilakukan berupa melakukan notifikasi dan penjelasan yang rasional kepada Pemohon dan Masyarakat.

Kata Kunci : Batas Waktu, Pengujian Undang-Undang, Kepastian Hukum, Mahkamah Konstitusi

vii

ABSTRACT

Name

: Rafli Fadilah Achmad

Study Program

: Master of Law

Title :.The Urgency Limitiation of Time on Judicial Review of ______,- The 1945 Constitution in Constitutional Court Republic of ______,- Indonesia

Judicial Review represents the most dominant authority at the Constitutional Court. However, it has been fourteen years since the establishment of the Constitutional Court and the regulation to specifically determine a definite deadline for case resolution has yet to be issued. This theses discusses and also formulate the urgency to establish case resolution deadline for judicial review at the Constitutional Court of the Republic of Indonesia. The research method applied utilizes normative research method improvised with comparative study from three countries. Research results revealed signs of double standards between the deadlines for judicial review with other judicial disputes, whereas political party dissolution dispute, general election results dispute and impeachment presented definite deadline for case resolution while judicial review which supposedly represents the domain jurisdiction of the Constitutional Court fails to submit any deadline for case resolution. In alternative, that the vacuum in such deadline has generated the condition known a s ”justice delayed is justice denied”, in which the Applicant, Public and the Supreme Court is shrouded concerning the definite deadline for the judicial review, to interpret any legal binding effect out of it. The corruption case of “PA” as former Constitutional Court was also investigated in this research as an evidence that the vacuum in the deadline has in turn created a negotiation room between parties and court officials to conduct corruptive actions. As such, the necessity to revised the Law on Constitutional Court is of paramount importance by adding three formula on deadline for case resolution within a normative framework. Those three formulations constitutes deadline in judicial review for laws with potential laws in nature to concrete events, deadline in judicial review to PERPU, and general deadline. In the event that the Constitutional Court issued a decision for such case beyond the agreed deadline, then such act will trigger mandatory legal consequences comprised of issuing notification and rational reasoning to the Applicant and Public at large.

Keywords: Deadline, Judicial Review, Legal Certainty, Constitutional Court

viii

Daftar Tabel

Tabel 2.1 Daftar Peraturan MK yang Masih Berlaku Hingga 30/12/2017 ........... 73 Tabel 3.1 Daftar Putusan yang Diputus Lebih dari 1 Tahun .............................. 134 Tabel 3.2 Gambaran Jumlah Batas Waktu dalam Putusan yang Diputus Lebih

dari 1 Tahun ..................................................................................... 136

xii

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang sederajat dengan Mahkamah Agung dan badan-badan

peradilan yang berada di bawahnya. 1 Sebagai sebuah lembaga peradilan, Mahkamah Konstitusi memiliki peran strategis dalam mengawal dan menjamin

terlaksananya prinsip-prinsip dan norma yang terkandung dalam konstitusi sebagai norma tertinggi penyelenggaraan hidup bernegara, maka dari itu

Mahkamah Konstitusi dikenal sebagai The Guardian of The Constitution. 2 Selain itu Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negara yang berfungsi

menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggungjawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi sehingga dapat tercipta suatu pemerintahan negara

yang stabil. 3 Jimly Asshidiqie menjustifikasi hal yang serupa, dalam Cetak Biru Mahkamah Konstitusi Tahun 2004, beliau menyatakan bahwa dibentuknya

Mahkamah Konstitusi berfungsi sebagai pengawal konstitusi untuk menciptakan keadilan konstitusional di tengah kehidupan masyarakat. Di mana Mahkamah Konstitusi bertugas mendorong dan menjamin agar konstitusi dihormati dan dilaksanakan oleh semua komponen negara secara konsisten dan bertanggung jawab.

Melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, Mahkamah Konstitusi telah secara resmi disahkan pada tanggal 13 Agustus 2003 dengan berkedudukan

di Ibukota negara dan 9 hakim konstitusi. 4 Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi juga mengatur menengenai kedudukan dan susunan, kewenangan

Miftakhul Huda, “Ultra Petita dalam Pengujian Undang-Undang”, Jurnal Konstitusi Volume 4 Nomor 3 (September 2007), hlm. 144.

2 Jimly Asshidiqie (1), Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm.41.

3 Indonesia (1), Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003, Penjelasan Umum.

“Peradilan, ” http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Mahkamah&menu=2 , diakses pada

4 Mahkamah

Konstitusi

Republik

Indonesia,

17 Oktober 2017.

Mahkamah Konstitusi, pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, serta hukum acara mahkamah konstitusi. Mahkamah Konstitusi memiliki 4 (empat) kewenangan dan satu kewajiban, adapun kewenangan tersebut yaitu: Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang- Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan Lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Adapun kewajibannya yaitu Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat (untuk selajutnya disebut “DPR”) mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-

Undang Dasar. 5 Berdasarkan sejarah pembentukannya, eksistensi dari Mahkamah Konstitusi

pada awalnya untuk menjalankan wewenang pengujian terhadap Undang-Undang. Kewenangan ini dipahami sebagai bentuk perkembangan hukum dan politik

ketatanegaraan modern. 6 Mekanisme pengujian undang-undang ini sendiri dimaksudkan untuk melakukan pengujian suatu produk perundang-undangan

terhadap peraturan yang lebih tinggi melalui suatu lembaga peradilan yang independen dan imparsial. 7 Di Indonesia lembaga yang berwenang menguji

konstitusionalitas undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar adalah Mahkamah Konstitusi dengan cara merubah serta menghapus frasa, pasal, bab atau bahkan keseluruhan norma di Undang-Undang apabila dinyatakan inkonstitusional dengan prinsip Undang-Undang Dasar 1945.

Sebelum Mahkamah Konstitusi terbentuk sebagai lembaga negara yang mempunyai kewenangan melakukan judicial review, Indonesia telah memiliki Mahkamah Agung yang juga mempunyai kewenangan yang sama. Namun judicial review yang menjadi kewenangan Mahkamah Agung adalah judicial review terhadap peraturan perundang-undangan yang berada di bawah Undang-

Indonesia (2), Undang-Undang Dasar 1945, Ps. 24 C. 6 Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Sekjend dan

Panitera MK, 2010), hlm.3. 7 Jimly Assihidiqie (2), Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara,

(Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hlm.8.

Undang. Sedangkan judicial review yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi adalah judicial review atas undang-undang terhadap Undang-undang dasar atau yang dikenal dengan pengujian konstitusionalitas undang-undang.

Konsep dasar judicial review dan toetsingrecht berangkat dari ide negara hukum, bahwa terdapat prinsip pemisahan kekuasaan yang tegas sehingga wadah untuk menguji suatu peraturan perundang-undangan tidak diletakan pada lembaga yang membuatnya, akan tetapi diberikan kepada suatu lembaga yang netral, dalam hal ini adalah yudikatif. Selain itu, prinsip perlindungan dan pemajuan Hak Asasi Manusia juga menjadi salah satu bentuk pertimbangan adanya judicial review, sebagai instrumen korektif apabila terdapat peraturan perundang-undangan yang

melanggar Hak Asasi Manusia. 8 Mahkamah Konstitusi sebagai penguji Undang- Undang telah mengalami sejarah yang panjang, berawal dari Mahkamah Agung

Amerika Serikat di bawah pimpinan John Marshall yang memeriksa dan memutus perkara William Marbury pada detik-detik pemerintahan Presiden Thomas Jefferson diangkat sebagai hakim tetapi surat keputusan pengangkatan tersebut tidak diserahkan oleh pemerintah baru kepadanya.

Marbury kemudian menggugat berdasarkan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman tahun 1789, di mana berdasarkan undang-undang tersebut Mahkamah Agung berhak menggunakan Writ of Mandamus untuk menghukum pemerintah agar menyerahkan surat keputusan pengangkatan tersebut. Akan tetapi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung justru menghapus norma tersebut karena dipandang bertentangan dengan konstitusi. Meskipun konstitusi tidak mengatur hal tersebut, Mahkamah Agung Amerika menganggap hal itu adalah tugas pokok Mahkamah Agung yang ditafsirkan dari konstitusi dan dikembangkan bahwa Mahkamah Agung Amerika bertugas untuk mengawal konstitusi secara bertanggungjawab dan menjamin agar norma dasar yang terkandung di dalamnya

sungguh ditaati dan dilaksanakan. 9 Sejak putusan tersebut, lembaga judicial review menyebar ke seluruh dunia dan dipandang sebagai fungsi dan tugas

mahkamah untuk menjaga, mengawal, dan melindungi konstitusi.

Ibid., hlm.9. 9 Ibid., hlm. 23.

Istilah judicial review terbatas penggunanya sebagai kewenangan untuk menguji perundang-undangan, keputusan dan kelalaian otoritas publik yang dilakukan oleh lembaga peradilan (to review the acts, decisions and omissions of public authorities) . Jimly Asshidiqie membagi dua jenis judicial review, yaitu concrete norm review dan abstract norm review. Concrete norm review adalah pengujian terhadap norma konkret terhadap keputusan-keputusan yang bersifat administratif (beschiking), seperti dalam Peradilan Tata Usaha Negara dan pengujian terhadap norma konkret dalam jenjang peradilan umum, pengujian putusan peradilan tingkat pertama oleh peradilan banding, pengujian, pengujian peradilan banding oleh peradilan kasasi serta pengujian putusan peradilan kasasi

oleh Mahkamah Agung. 10 Jenis judicial review yang kedua adalah abstract norm review, yaitu kewenangan pengujian produk perundang-undangan yang menjadi

tugas dari Mahkamah Konstitusi yang terinspirasi dari kasus John Marshal antara Marbury vs Madison di Amerika Serikat.

Menurut Klentjes sebagaimana dikutip oleh Sri Soemantri, bahwa Judicial Review terdapat dua macam yaitu uji formil (formale toetsingsrecht) dan uji

materil (materiele toetsingsrecht) jika diihat dari objek yang diuji. 11 Uji formil adalah wewenang untuk menilai apakah suatu produk legislatif seperti undang-

udang sudah terjelma melalui cara-cara sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku ataukah tidak. Jadi, review terhadap proses pembentukan produk perundang-undangan yang sesuai prosedur ataukah tidak. Sedangkan, uji materil adalah wewenang untuk menyelidiki dan menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan substansinya sesuai atau bertentangan degan peraturan yang lebih tinggi drajatnya serta menilai apakah suatu kekuasaan tertentu berhak mengeluarkan aturan tersebut. Pada prakteknya peradilan akan merubah serta menghapus frasa, pasal, bab atau bahkan keseluruhan norma di Undang-Undang apabila dinyatakan inkonstitusional dengan prinsip Undang-Undang Dasar 1945.

Jimly Asshidiqie (3), Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia-Pasca Reformasi, (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2007), hlm. 590.

11 Sri Soemantri (1), Hak Menguji Materiil di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1997), hlm.7.

Dasar yuridis wewenang Mahkamah Konstitusi berasal dari Pasal 24 C Undang-Undang Dasar 1945 yang dijabarkan lebih lanjut melalui Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi. Lebih lanjut menurut Pasal 51 ayat (1) Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003, pemohon yang dapat mengajukan permohonan adalah: perorangan WNI, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum publik atau privat, dan lembaga negara. Semua perkara yang masuk ke Mahkamah Konstitusi teregister sebagai permohonan, bukan gugatan seperti sidang perdata. Alasannya karena perkara di Mahkamah Konstitusi tidak bersifat contenious atau

adversarial. 12 Dimana kepentingan yang sedang digugat dalam pengujian undang- undang adalah kepentingan masyarakat luas yang menyangkut kehidupan semua

orang dalam suatu negara. 13 Oleh karena itu, putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi tidak dapat dikategorikan bersifat biasa, melainkan erga

omnes yang berarti putusan tersebut berpengaruh, harus dipatuhi dan ditaati oleh siapapun tanpa terkecuali. 14

Adapun alasan pengajuan terhadap permohonan pengujian undang-undang harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;

b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut, dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;

c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan terjadi;

d. adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dimaksud dengan berlakunya undang-undang yang dimohonkan dalam pengujian;

e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional tersebut tidak akan atau tidak lagi terjadi.

Asshidiqie (1), Op.Cit., hlm. 67. 13 Ibid., hlm.61.

14 Fista Prilia Sambuari, “Eksistensi Putusan Judicial Review oleh Mahkamah Konstitusi, ” (Skripsi Sarjana Universitas Sam Ratulangi, Manado, 2013), hlm. 20

Judicial review yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi merupakan instrumen korektif apabila terdapat ketidaksempurnaan dalam suatu Undang- Undang. Pasalnya masih terdapat suatu masalah di dalam Undang-Undang Nomor

24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang bahwa penyelesaian permohonan judicial review tidak memiliki batas waktu yang jelas dan terukur. Melihat pada kewenangan dan kewajiban Mahkamah Konstitusi yang lain terdapat adanya batas waktu yang jelas dalam perkara memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum dan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

Batas waktu penyelesaian perkara adalah waktu yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan suatu perkara tertentu terhitung sejak tanggal perkara dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi sampai dengan diucapkannya putusan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Dicatatnya suatu perkara dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi mengartikan bahwa permohonan tersebut dinilai sudah laik dan lengkap oleh Panitera melalui proses pemeriksaan administratif. Kemudian pada saat putusan telah diucapkan dalam sidang pleno yang bersifat terbuka untuk umum maka secara per se putusan

tersebut telah memiliki kekuatan hukum yang bersifat mengikat. 15 Dalam perkara pembubaran partai politik, berdasarkan Pasal 71 Undang-

Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi jo Pasal 9 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 12 Tahun 2008 tentang Prosedur Beracara Dalam Pembubaran Partai Politik diketahui bahwa Mahkamah Konstitusi wajib memutus permohonan pembubaran partai politik dalam jangka waktu paling lambat 60 hari kerja setelah permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi. Perselisihan tentang hasil pemilihan umum juga memiliki batas waktu penyelesaian, dimana berdasarkan Pasal 78 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi jo Pasal 43 ayat (1)

15

Indonesia (1), Ps.. 71 jo. 78 jo 84.

Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD jo Pasal 39 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden bahwa Mahkamah Konstitusi wajib memutus paling lambat 14 hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi untuk pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden, sedangkan untuk pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD wajib diputus paling lambat 30 hari sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi. Kemudian perkara mengenai impeachment Presiden juga memiliki batas waktu, berdasarkan Pasal 84 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi jo Pasal 19 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 21 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara Dalam Memutus Pendapat DPR Mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden bahwa Mahkamah Konstitusi wajib memutus paling lambat 90 hari sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.

Berangkat dari fakta hukum di atas dapat diketahui bahwa tidak terdapat keseragaman dalam batas waktu penyelesaian perkara yang menjadi kewenangan dan kewajiban Mahkamah Konstitusi. Perbedaan lamanya waktu penyelesaian merupakan hal yang lumrah mengingat tiap perkara memiliki beban kompleksitas pembuktian yang berbeda dan kebutuhan akan penyelesaian yang cepat, akan tetapi perbedaan antara ada dan tidak terdapatnya batas waktu dalam perkara Pengujian Undang-Undang dan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara nampaknya patut dipertanyakan. Pertanyaan pertama akan hal ini adalah pembubaran partai politik, perselisihan hasil pemilihan umum dan impeachment presiden saja bisa diberikan batas waktu penyelesaiannya, mengapa sengketa pengujian Undang-Undang tidak dapat menerapkan hal yang sama?

Menggagas batas waktu penyelesaian dalam Pengujian Undang-Undang adalah hal yang urgent untuk segera di atur. Setelah 13 tahun bekerja sebagai penafsir tunggal konstitusi, Mahkamah Konstitusi telah menghasilkan 861 putusan dalam sengketa Pengujian Undang-Undang, dengan rincian 194 perkara Menggagas batas waktu penyelesaian dalam Pengujian Undang-Undang adalah hal yang urgent untuk segera di atur. Setelah 13 tahun bekerja sebagai penafsir tunggal konstitusi, Mahkamah Konstitusi telah menghasilkan 861 putusan dalam sengketa Pengujian Undang-Undang, dengan rincian 194 perkara

dominasi oleh permohonan Pengujian Undang-Undang. Banyaknya permohonan pengujian undang- undang ibarat “bom waktu” yang dapat meledak sewaktu- waktu jika tidak dikelola dengan baik, misalnya adalah lembaga peradilan yang telah ada sebelumnya yakni Mahkamah Agung yang masih menyisakan 2.550

perkara pada tahun 2016 silam. 17 Permasalahannya, Mahkamah Konstitusi dalam pengujian Undang-

Undang saat ini tidak memiliki batas waktu yang jelas dan terukur, sehingga potensi terjadinya penumpukan perkara di masa depan akan sangat mungkin terjadi. Hal ini ditambah dengan jumlah hakim konstitusi yang terbatas sejumlah 9 orang saja dengan sistem sentralisasi kelembagaan penafsir konstitusi yang tunggal dan terpusat hanya di Mahkamah Konstitusi. Bukan tidak mungkin di masa yang akan datang, masyarakat sampai pada titik kesadaran hukum yang tinggi, sehingga banyak sekali permohonan pengujian Undang-Undang yang di register ke Mahkamah Konstitusi, belum lagi sengketa-sengketa lain yang menjadi bagian kewenangan Mahkamah Konstitusi yang dapat terakumulasi sewaktu- waktu. Maka dari itu, batas waktu dalam pengujian Undang-Undang ini pada akhirnya bermanfaat bagi Mahkamah Konstitusi itu sendiri karena terdapat standar yang jelas dan terukur dalam menyelesaikan perkara sehingga dapat meminimalisir terjadinya penumpukan perkara di masa yang akan datang.

Lebih dari itu, status quo pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi yang tidak memiliki batas waktu penyelesaian pada akhirnya menciptakan ketidakpastian hukum bagi justitiabellen dan disparitas penanganan perkara. Berdasarkan penelitian dari Kode Inisiatif, diketahui terdapat ketidakpastian penyelesaian perkara pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi dari tahun ke tahun yang di proyeksikan dengan diagram berikut:

Veri Junaidi, et.al., Tiga Belas Tahun Kinerja Mahkamah Konstitusi Dalam Memutus Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif, 2016), hlm.1.

Tumpukan Perkara”, https://nasional.tempo.co/read/831034/ma-klaim-berhasil-turunkan-tumpukan-perkara ,

17 Budi Riza,”MA

diakses pada 17 Oktober 2017.

Gambar 1.1

Waktu Pengujian Undang-Undang di MK dari Tahun 2003-2016.

Diagram di atas adalah diagram rata-rata dari tiap tahunnya terkait penyelesaian sengketa pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi. Jika dilihat secara lebih khusus, setidaknya terdapat 9 kasus yang diputus lebih dari satu tahun oleh Mahkamah Konstitusi. Disparitas penyelesaian perkara Mahkamah Konstitusi merupakan konsekuensi yang sudah jelas terjadi akibat tidak diaturnya batas waktu penyelesaian pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi. Hal ini tentunya juga tidak sesuai dengan salah satu asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman tentang sederhana, cepat dan berbiaya ringan. Berdasarkan Pasal 2 ayat (4) jo Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor

48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman jo Penjelasan Umum Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstisusi diketahui bahwa Mahkamah Konstitusi dalam menyelenggarakan peradilan harus menciptakan peradilan yang sederhana,cepat dan biaya ringan. Makna asas cepat memang tidak dijelaskan dalam aturan perundang-undangan yang relevan, hal itu dikarenakan makna cepat sangat subjektif tergantung dari Pemohon dan kompleksitas perkara yang dimaksud. Maka dari itu Penulis pada akhir karya tulis juga akan 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman jo Penjelasan Umum Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstisusi diketahui bahwa Mahkamah Konstitusi dalam menyelenggarakan peradilan harus menciptakan peradilan yang sederhana,cepat dan biaya ringan. Makna asas cepat memang tidak dijelaskan dalam aturan perundang-undangan yang relevan, hal itu dikarenakan makna cepat sangat subjektif tergantung dari Pemohon dan kompleksitas perkara yang dimaksud. Maka dari itu Penulis pada akhir karya tulis juga akan

Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Indonesia dengan tegas menganut konsepsi negara hukum. Konsekuensi dari negara Indonesia sebagai negara hukum ialah menuntut negara untuk memberikan jaminan hak-hak warga negara sesuai dengan prinsip-prinsip yang dianutnya. Salah satu prinsip negara hukum yang paling fundamental adalah prinsip supremasi hukum yang merupakan pilar utama dalam prinsip negara hukum yang menghargai kedudukan warga negara, hak asasi manusia dan mendasarkan segala sesuatu pada hukum tertinggi atau

konstitusi. 18 Manifestasi Indonesia sebagai negara hukum adalah menjunjung tinggi

cita-cita negara hukum itu sendiri. Kepastian hukum merupakan bagian dari cita- cita dan tujuan hukum selain keadilan dan kebermanfaatan. 19 Pada awalnya

Gustav Radbruch menyatakan bahwa kepastian hukum menempati drajat tertinggi diantara tujuan hukum yang lain sebab dengan adanya kepastian hukum maka keadilan dan kebermanfaatan dapat tercipta. Bentuk nyata dari kepastian hukum adalah pelaksanaan atau penegakan hukum terhadap suatu tindakan dengan tanpa memandang siapa orang tersebut. Kepastian diperlukan untuk mewujudkan

prinsip persamaan dihadapan hukum tanpa adanya diskriminasi. 20 Kepastian merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum, karena

hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan makna sehingga tidak dapat lagi digunakan sebagai pedoman perilaku bagi setiap orang. 21 Kepastian hukum akan

menjamin seseorang melakukan perilaku sesuai dengan ketentuam hukum yang berlaku, sebaliknya tanpa adanya kepastian hukum maka seseorang tidak memiliki

Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rechstaat), (Bandung: Refika Aditama, 2011), hlm.2. 19 W. Friedman, Legal Theory, diterjemahkan oleh Muhammad Arifin dengan judul Teori

dan Filsafat Hukum-Idealisme Filosofis dan Problema Keadilan , (Jakarta: Raja Grafindo, 1994), hlm.42.

20 Jaka Mulyata, “Keadilan, Kepastian, dan Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konsitusi Republik Indinesia Nomor: 100/PUU-X/2012 Tentang Judicial Review Pasal 96 Undang-Undang

Nomor: 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan”, (Tesis Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2015), hlm. 24.

21 Shidarta, Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2013), hlm.8 21 Shidarta, Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2013), hlm.8

sebagai suatu peraturan yang harus ditaati. 22 Jika direlasikan dengan tema besar penulisan Tesis ini dengan kepastian hukum, maka ketiadaan batas waktu

menciptakan situasi ketidakpastian hukum. Logika dasarnya, pemohon mengajukan permohonan ke Mahkamah

Konstitusi untuk mendapatkan penyelesaian hukum dengan sebaik-baiknya. Tidak jarang pemohon yang mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi telah mengalami kerugian konstitusional yang sifatnya aktual. Maka dari itu, Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu harapan sebagai lembaga yang menilai ketidakkonstitusionalitasan suatu Undang-Undang dituntut dapat memberikan kepastian kepada Pemohon terkait kapan putusan dapat diterima oleh Pemohon, sebab dengan tidak diketahuinya kapan putusan dapat diterima akan menyebabkan kerugian konstitusionalitas yang secara aktual telah diderita akan menjadi semakin besar, dan lebih parahnya kerugian konstitusionalitas yang sifatnya potensional bisa benar-benar terjadi karena tidak adanya kepastian yang diberikan oleh Mahkamah Konstitusi.

Perlu disadari bahwa ketidakpastian hukum yang terjadi bukan hanya terjadi kepada Pemohon pengujian Undang-Undang secara individual semata. Hal ini disebabkan adanya sifat kepentingan umum di dalam putusan Mahkamah Konstitusi yang berakibat hukum tidak hanya individu yang mengajukan permohonan, tetapi juga orang lain, lembaga negara lain, aparatur pemerintah dan

masyarakat pada umumnya. 23 Nuansa public interest yang melekat pada putusan Mahkamah Kontitusi memiliki perbedaan yang jelas dengan perkara perdata,

pidana dan tata usaha negara yang umumnya menyangkut kepentingan pribadi dan individu berhadapan dengan invididu lain atau pemerintah.

Yance Arizona, “Apa itu Kepastian Hukum”, http://yancearizona.net/2008/04/13/apa- itu-kepastian-hukum/ , diakses 17 Oktober 2017.

23 Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm.42.

Ketiadaan batas waktu penyelesaian pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi juga membuka peluang terjadinya tindakan koruptif yang dapat mengintervensi substansi putusan hakim. Kasus Patrialis merupakan prototype sempurna dalam menggambarkan relevansi antara ketiadaan batas waktu Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi dengan tindakan koruptif. Patrialis Akbar sebelumnya telah dinyatakan bersalah pada Senin, 4 September 2017 dengan vonis delapan tahun penjara dan pidana denda Rp. 300 juta subsider 3 bulan kurungan. Vonis tersebut diterima Patrialis karena secara sah dan meyakinkan terbukti melakukan tindak pidana korupsi dengan menerima total uang sebesar Rp. 137.573.000 yang melanggar Pasal 12 huruf c jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor

20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. Penyuap atas nama Basuki Hariman dan Ng.Fenny melakukan hal tersebut dengan harapan dapat dibantu oleh Patrialis Akbar untuk memenangkan uji materil pada perkara 129/PUU-XIII/2015 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Penternakan dan Kesehatan Hewan.

Untuk menggambarkan relevansi antara ketiadaan batas waktu Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi dan tindakan koruptif, Penulis telah membuat diagram sebagai berikut:

Gambar 1.2

Kronologi dan Rekonstruksi Kasus Suap Patrialis Akbar.

29 Oktober 2015

17 November 2015

11 April 2016 dan 27

Permohonan PUU

Perbaikan

April 2016

teregister dalam

Pemohon mengajukan BRPK

Permohonan diterima

Majelis

3 orang Ahli

Mendengarkan ahli dari

Penyerahan kesimpulan

Presiden cq Pemerintah

Keterangan tertulis

dari Pemohon dan

dan membacakan

dari Presiden cq

Presiden

Keterangan tertulis dari

Peristiwa Suap Pertama sebesar

Peristiwa Suap

Rapat

Kedua sebesar 10 20 Ribu USD

Permusyawarat

an Hakim

Ribu USD

Pembacaan Putusan

percobaan suap

secara terbuka

sebesar Rp. 2 Milyar, namun terjadi OTT

Diagram tersebut merupakan gambaran momen-momen penting dalam perkara 129/PUU-XIII/2015 yang ternodai dengan tindakan koruptif dari salah satu hakim konstitusi. Dari diagram tersebut, Penulis dapat menyimpulkan bahwa total keseluruhan proses penyelesaian perkara 129/PUU-XIII/2015 mulai dari register permohonan hingga pembacaan putusan membutuhkan waktu 1 Tahun, 3 Bulan, 1 Minggu dan 2 hari atau 467 hari. Menariknya, persidangan sebenarnya Diagram tersebut merupakan gambaran momen-momen penting dalam perkara 129/PUU-XIII/2015 yang ternodai dengan tindakan koruptif dari salah satu hakim konstitusi. Dari diagram tersebut, Penulis dapat menyimpulkan bahwa total keseluruhan proses penyelesaian perkara 129/PUU-XIII/2015 mulai dari register permohonan hingga pembacaan putusan membutuhkan waktu 1 Tahun, 3 Bulan, 1 Minggu dan 2 hari atau 467 hari. Menariknya, persidangan sebenarnya

Jika dilihat dari kronologi diagram di atas, waktu kosong yang terlalu lama dan tidak dibatasi selama 10 bulan, 2 minggu dan 4 hari atau 324 hari inilah yang menyebabkan oknum dapat leluasa mengambil keuntungan dari proses di atas dengan cara negosiasi. Terlihat bahwa setelah penyerahan kesimpulan, tepatnya pada tanggal 22 September 2016, 23 Desember 2016, dan 24 Januari 2017 merupakan celah waktu yang dimanfaatkan oleh oknum untuk melakukan tindakan koruptif berupa penyuapan. Fenomena ini seharusnya dapat diminimalisir atau tidak seharusnya terjadi apabila terdapat batas waktu yang jelas dan terukur terkait pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian negosiasi untuk mengintervensi putusan tidak dapat lagi dilakukan, karena Hakim dituntut harus membacakan putusan dengan batas waktu tertentu.

Pada akhirnya dalam menyelenggarakan peradilan yang baik, Mahkamah Konstitusi harus mendasarkan segala sesuatunya pada ketentuan hukum acara. Menurut Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi Maruarar Siahaan, hukum acara di Mahkamah Konstitusi masih sangat sumir, sehingga masih banyak kekosongan hukum. Hal ini sejatinya sudah disadari oleh pembuat undang-undang, dimana kekurangan hukum acara di Mahkamah Konstitusi terjadi karena keterbatasan waktu dan kurangnya sumber acuan yang dapat digunakan sebagai bahan dalam

menyusun hukum acara di Mahkamah Konstitusi. 24 Pengakuan tersebut merupakan pengalaman yang dapat dijadikan ide dasar untuk merevisi dan

mengisi kekosongan hukum pada batas waktu pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan pemaparan yang telah dijabarkan Penulis di atas, maka dari itu batas waktu penyelesaian uji materil oleh Mahkamah Konstitusi dengan standar yang terukur, jelas dan ilmiah harus segera direalisasikan karena terdapat beberapa alasan: (1) ketiadaan batas waktu menciptakan standar ganda (double

Ibid., hlm. 2.

standard) antara batas waktu penyelesaian pengujian undang-undang dengan sengketa yang lain, (2) ketiadaan batas waktu penyelesaian pengujian undang- undang berpotensi menciptakan tunggakan perkara di Mahkamah Konstitusi, (3) ketiadaan batas waktu penyelesaian pengujian undang-undang berpotensi menciptakan ketidakpastian hukum bagi justitiabellen, orang lain, lembaga negara lain, aparatur pemerintah dan masyarakat pada umumnya, (4) ketiadaan batas waktu tidak sesuai dengan asas hukum acara menurut Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yakni cepat, (5) ketiadaan batas waktu penyelesaian pengujian undang-undang membuka peluang terjadinya tindakan koruptif.

B. Pokok Permasalahan

Penelitian ini mengangkat permasalahan utama yaitu:

1. Bagaimanakah proses penyelesaian pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dari tahap pendaftaran permohonan hingga pembacaan putusan di Mahkamah Konstitusi menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang?

2. Apakah urgensi batas waktu penyelesaian perkara pengujian Undang- Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dari perspektif teori dan praktek?

C. Tujuan Penelitian

Secara umum, tujuan penelitian yang akan dilakukan adalah untuk memberikan pemahaman yang komprehensif dengan memberikan kajian yang lebih mendalam tentang pentingnya batas waktu dalam penyelesaian perkara pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Adapun tujuan penelitian ini secara khusus adalah untuk:

1. Untuk mengetahui proses penyelesaian pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dari tahap pendaftaran 1. Untuk mengetahui proses penyelesaian pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dari tahap pendaftaran

2. Untuk mengetahui urgensi batas waktu penyelesaian perkara pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

3. Untuk mempelajari batas waktu penyelesaian perkara pengujian Undang-Undang di Negara-Negara lain.

D. Kerangka Teori

1. Teori Negara Hukum

Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan berbentuk Republik yang memiliki kedaulatan ditangan rakyat serta dilaksanakan menurut Undang-Undang

Dasar dan hukum yang berlaku. 25 Dalam kepustakaan Indonesia, istilah negara hukum merupakan terjemahan langsung dari rechstaat. Negara Hukum adalah

konsep baku yang telah mengalami simplifikasi makna menjadi dalam negara berlaku suatu hukum. Menurut Gautama, negara hukum adalah negara yang seluruh aksinya didasarkan dan diatur oleh undang-undang yang telah ditetapkan

semula dengan bantuan dari badan pemberi suara rakyat. 26 Artinya, eksistensi hukum terhadap negara terjadi ketika kekuasaan negara menjadi terkendali dan

selanjutnya menjadi negara yang diselenggarakan berdasarkan ketentuan hukum tertulis (konvensi). Akan tetapi, jika pengawasan hukum atas kekuasaan negara tidak memadai, pengertian substansi negara hukum akan terperosok kedalam

kubang lumpur negara yang kuasa. 27

Indonesia (2), Undang-Undang Dasar 1945, Ps. 1 ayat 1,2 dan 3. 26 Sudargo Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum, (Bandung: Alumni, 1983),

hlm.9 27 Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi (Suatu Studi Tentang Adjudikasi Konstitusional

Sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif), (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2006), hlm.55.

Dalam paradigma negara hukum konstitusional, terdapat komitmen yang disebut oleh Juan Linz dengan self binding procedure, dalam sistem serupa ini pemerintah sangat terikat oleh tata cara penggunaan kekuasaan yang diatur dalam konstitusi. Sebab itu dalam bingkai pemerintahan yang dapat dikendalikan seharusnya kekuasaan hanya dapat mengalami pergantian oleh kekuatan mayoritas eksepsional atau mayoritas absolut. Di samping ciri utama pemerintahan konstitusional menghendaki hierarki peraturan perundang-undangan

yang jelas dan hanya dapat ditafsirkan oleh kewenangan yudisial. 28 Perkembangan teori negara hukum sudah dimulai sejak era Plato dalam

karyanya yang berjudul Nomoi. Selanjutnya Kant menyempurnakan dengan gagasan prinsip-prinsip negara hukum secara formil. F.J Stahl menjadi pihak moderat yang mengusung teori negara hukum secara materil, dan terakhir A.V

Dicey mengajukan konsep negara hukum yang dinamakan rule of law. 29 Menurut F.J Stahl, dari kalangan ahli hukum Eropa Kontinental memberikan ciri-ciri

negara hukum (rechstaat) sebagai berikut:

a. Pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia.

b. Pemisahan kekuasaan negara.

c. Pemerintahan berdasarkan undang-undang.

d. 30 Adanya peradilan administrasi. Sedangkan menurut A.V Dicey prinsip rule of law yang berkembang di

negara-negara anglo saxon sering dikenal sebagai Government of Law, and not of Man.”. Menurutnya ciri-ciri dari rule of law adalah sebagai berikut: 31

a. Supremasi hukum, dalam arti tidak boleh ada kesewenang-wenangan, sehingga seseorang hanya boleh dihukum jika melanggar hukum.

b. Kedudukan yang sama di depan hukum, baik bagi rakyat biasa maupun bagi pejabat;

Ibid. 29 Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, (Jakarta: Ghalia

Indonesia, 1986), hlm.7. 30 Jimly Asshiddiqie (4), Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Sinar

Grafika, 2011), hlm. 122. 31 A.V Dicey dalam Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Rajawali Press,

2007), hlm. 3 2007), hlm. 3

Menurut Sri Soemantri, negara hukum secara umum memiliki empat ciri yaitu: (1) pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya berdasar hukum atau peraturan perundang-undangan, (2) Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia, (3) Adanya pembagian kekuasaan dalam negara, (4) Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke controle). Kemudian nenurut Azhary, bangsa Indonesia tidak secara tegas menanut konsep barat (rechstaat) ataupun konsep rule of law dari negara-negara anglo saxon melainkan

memiliki konsepnya sendiri. 32 Lebih lanjut Azhary mengemukakan bahwa yang menjadi ciri khas Negara Hukum Indonesia ialah unsur-unsur utamanya, yakni (1)

hukumnya bersumber pada Pancasila, (2) berkedaulatan rakyat, (3) pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi, (4) persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan, (5) kekuasaan kehakiman yang bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya, (6) pembentukan undang-undang oleh Presiden bersama-sama dengan

DPR, (7) dianutnya sistem MPR. 33

Jimly Asshiddiqie kemudian mengembangkan konsep negara hukum dari

A.V Dicey dan Julius Stahl menjadi 12 pilar, yakni (1) supremasi hukum (supremacy of law); (2) persamaan dalam hukum (equality before the law); (3) asas legalitas (due process the law); (4) pembatasan kekuasaan; (5) organ-organ eksekutif independen; (6) peradilan bebas dan tidak memihak; (7) peradilan tata usaha negara; (8) peradilan tata negara; (9) perlindungan hak asasi manusia; (10) bersifat demokratis; (11) berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara;

(12) transparansi dan kontrol sosial. 34

Selain itu M.Scheltema juga memamaparkan karakteristik negara hukum bahwa pada intinya negara memberikan jaminan kepada warganya dengan cara yang berbeda bagi masing-masing bangsa. Menurut Scheltema ada 4 (empat) asas

Azhary, Negara Hukum Indonesia, (Jakarta: UI-Press, 1995), hlm. 33-34. 33 Azhary, Op.Cit., hlm. 119.

34 Asshiddiqie (4), Loc.Cit.

atau unsur utama negara hukum dan setiap unsur utama diikuti beberapa unsur turunannya yaitu:

1. Adanya kepastian hukum, yang unsur turunannya adalah:

a. Asas legalitas;

b. Undang-undang yang mengatur tindakan yang berwenang sedemikian rupa, sehingga warga dapat mengetahui apa yang dapat diharapkan;

c. Undang-Undang tidak boleh berlaku surut;

d. Hak asasi dijamin dengan undang-undang;

e. Pengendalian yang bebas dari pengaruh kekuasaan lain;

2. Asas persamaan, yang unsur turunannya adalah:

a. Tindakan yang berwenang diatur dalam undang-undang dalam arti materiil;

b. Adanya pemisahan kekuasaan;

3. Asas demokrasi, yang unsur turunanya adalah:

a. Hak untuk memilih dan dipilih bagi warga negara;

b. Peraturan untuk badan yang berwenang ditetapkan oleh parlemen;

c. Parlemen mengawasi tindakan pemerintah;

4. Asas pemerintahan untuk rakyat, yang unsur turunannya adalah:

a. Hak asasi dijamin dengan Undang-Undang Dasar;

b. 35 Pemerintahan secara efektif dan efisien. Sehingga dapat disimpulkan bahwa di dalam negara hukum terdapat

pembatasan oleh hukum, dalam arti segala sikap, tingkah laku, dan perbuatan, baik yang dilakukan oleh para penguasa Negara maupun para warga negaranya berdasarkan hukum positif. Sehingga warga negara terbebas dari tindakan

sewenang-wenang dari para penguasa Negara. 36 Untuk membatasi kekuasaan pemerintah, seluruh kekuasaan di dalam

Negara haruslah dipisahkan dan dibagi ke dalam kekuasaan yang mengenai bidang tertentu. Pembatasan kekuasaan pemerintahan juga harus tunduk pada kehendak rakyat dan haruslah dibatasi dengan aturan-aturan hukum yang pada

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Dinamika Perjuangan Pelajar Islam Indonesia di Era Orde Baru

6 75 103

Perspektif hukum Islam terhadap konsep kewarganegaraan Indonesia dalam UU No.12 tahun 2006

13 113 111