Rangkuman Pengantar Pendidikan ABK Euis

PENDIDIKAN BEREKEBUTUHAN KHUSUS
PENGERTIAN
Secara harfiah Ortopedagogik berasal dari bahasa Yunani ( Orthos yang berarti sehat,
baikm; paeda atau paedos berbarti anak; dan agogos berarti bimbingan atau pendidikan). Dengan
demikian ortopedagogik berarti pendidikan atau bimbingan bagi anak yang mengalami kekurangan
dari anak normal dalam segi fisik, intelektual, social ataupun emosinya.
Istilah Pendidikan Luar Biasa (PLB) lebih luas dari Ortopedagogik karena dalam PLB
dibicarakan pendidilam amal berkekurangan dan berkelebihan (gifted/talented). Pendidikan Luar
Biasa sebagai terjemahan dari Special Educa8tion, hanya saja dalam perjalannya itilahpendidikan
khusus sering dikonotasikan dengan pendidikan keahlian seperti keterampilan otomotif, komputer,
dan lain-lain. Munculnya istilah PLB sejak terbnitnya Undang-Undang Pokok Pendidikan Tahun
1950dan lebih popular dengan adanya Undang-Undang No. 2 Tahun 1989. Kemudian diikuti
dengan terbitnya landasan formal lain seperti PP No. 72 Tahun 19991 yang mengatur tentang
pelaksanaan pendidikan anak luar biasa. Dalam perjsalanannya pula istilah luar biasa dikenal
sebagai gambaran seseorang yang memiliki prestasi atau kemampuan yang hebat di atas rata-rata
pada umumnya. Padahal istilah luar biasa difahamiu sebagai luar biasa dalam arti kurang dan luar
biasa dalam arti lebih. Dengan demikian PLB berarti pendidikan bagianak yang berkekurangan dan
berkelebihan dari anak normal dalam segi fisik, intelektual, social dan emosi.
Dewasa ini istilah yang digunakan adalah pendidikan berkebutuhan khusus. Istilah
pendidikan berkebutuhan khusus lebih luas dari pendidikan luar biasa. Pendidikan berkebutuhan
khusus tidak hanya membicarakan pendidikan anak berkekurangan atau berkelebihan, melainkan

didalam nya dibahas pula anak-anak yang tidak berkembang optimal karena keterbatasan
kesempatan utuk mengikuti pendidikan.

LANDASAN
LANDASAN SEBAGAI ALASAN DAPATNYA PENDIDIKAN BERKEBUTUHAN KHUSUS
DIBANGUN.
Keberadaan anak berkebutuhan khusus
Dalam ilmu pendidikan diterima prinsip bahwa manusia bersifat mendidik dan dapat didik
(homoeducandum dan homo aducabelis). Kedua sifat itu saling melengkapi . kenyataannya anak

berkebutuhan khusus dapat dididik. Kemunkinan hanya anak dengan kelainan berat dan sangat
berat yang tidak dapat menjadi homo educandum.
Landasan agama dan prikemanusiaan.
Baik agama dan prikemanusiaan mengajarkan agar manusia berbuat baik kepada sesame
makhluk termasuk anak berkebutuhan khusus. Baik agama maupun prikemanusiaan mengajarrkan
supaya berbuat baik kepada sesame makhluk, dan martabat semua orang sama di mata Tuhan.
Landasan filosofis
Secara mendasar landasan filsafat Pancasila menempatkan manusia di atas nilai
kebendaan. Karena itupendidikan yang diselenggarakan harus disesuaikan dan diarahkan agar
setiap anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal, mampu menjadi manusia yang

bermoral, berbudi luhur, dan berakhlak mulia, sehingga kelak mampu mengisi pembangunan
kehidupan yang berharkat dan bermartabat, sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, makhluk
individu maupun makhluk social.
Landasan yuridis
Landasan yuridis engenai pendidikan anak berkebutuhan khusus telah banyak ditebitkan
baik secara nasional maupun secara internasional. Di Indonesia khususnya, didasarkan pada :
1. UUD RI tahun 1945
2. UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang cacat
3. UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
4. UU No. 23 tentang Perlindungan Anak
5. PP No. 72 Tahun 1997 tentang Pendidikan Anak Luar Biasa
6. PP No. 19 tentang Standar Nasional Pendidikan
7. Permendiknas No. 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi anak yang memiliki
kelainan fisik, mental, intelektual, emsoi dan social, dan yang memiliki potensi kecerdasan
istimewa dan bakat istimewa.
Landasan sosial-ekonomi

Anak berkebutuhan khusus yang terlantar selalu memerlukan pertolongan yang lebih bayak
daripada anak berkebutuhan khusus yang terdidik. Mereka tidak dapat ikut serta dalam proses
produksi dan jasa. Tidak jarang menyebabkan orangtua, saudara-saudaranya tidak dapat bekerja

karena mengawasi dan membiming anak berkebutuhan khusus.
Jadi, apabila anak itu didik dan pada akhirnya dapat bekerja atau ikut serta dalam produksi
maka mereka akan memiliki harga diri dan berpartisipasi dalam pembangunan.
LANDASAN BERUPA CARA MENGAMALKAN
PENDIDIKAN BERKEBUTUHAN KHUSUS
Persamaan dengan anak biasa
Perbedaannya adalah pada potensinya yang beragam dan hal ini tentu menjadi perhatian
dalam mengadakan layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Oleh arena itu dalam
pelaksanaannya adallah mendahulukan persamaannya dengan anak-anak lainnya, dalam
pembelajarannya memperhatikan perbedaan potensinya.
Perbedaan individual
Perbedaan antara individu maksudnya perbedaan antara anak yang satu dengan anak yang
lainnya seperti minat, kekuatan dan kelemahan, kemampuan intelektual, dll. Sedangkan
perbedaan intra individu adalah perbedaan yang terajadi dalam diri anak itu sendiri, misalnya
seorang anak dapat elajar membaca tetappi mengalami kesulitan dalam perlajaran berhitung.
Keterampilan Praktis
Landasan ini menganggap bahwa baik anak normal maupun anak berkebutuhan khusus
seyogianya segera terampil mengerjakan sesuatu yang diperlukan saat ini dan masa yang akan
datang. Lebih-lebih bagi anak-anak berkebutuhan khusus permanen tingkat berat dan sangat
berat dimana mereka tidak dapat mengerjakan sesuatu yang bersifat kompetitif apalagi jika

melanjutkan pendidikan ke tingkat lebih tinggi.
Rasional dan wajar
Perhatian yang diberikan kepada anak berkebutuhan khuss bermacam-macam, yaitu ada
yang memanjakan dan melindungi secara berlebihan (ever protection) dan ada pula yang menolak
dan mengabaikan (rejection). Kedua sikap ini sangat tidak menguntungkan anak berkebutuhan
khusus yang akan mengakibatkan anak merasa tidak aman, menyendiri dan menarik diri dari
pergaulan, dan tidak percaya diri.

SEJARAH PERKEMBANGAN
PENDIDIKAN BERKUBUTUHAN KHUSUS
Berbicara mengenai sejarah perkembangan pendidikan berkebutuhan khusus kita
menemukan konsep atau model pendidikan berkebutuhan khusus sampai ke tingkat yang lebih
tinggi atau saat ini muncul tatanan yang lebih luas dan positif? Karena itu penting kita mengetahui
sejarah perkembangan pendidikan berkebutuhan khusus dengan mengelompokannya dalam
beberapa tahapan. Tahapan sejarah perkembangan pendiudikan berkebutuhan khusus adalah :
Masa Sebelum Adanya Kaum Agama
Pada zaman ini anak-anak cacat disia-siakan dan diperlakukan dengan buruk. Keadaan ini
berlangsung sejak 1500 sebelum masehi sampai kira-kira 470 tahun sesudah masehi.
Masa Penyebaran Nasrani
Pada masa ini anak berkebutuhan khusus (pada saai itu disebut anak cacat) mulai

memperoleh perhatian yaitu dengan mendapat perlindungan dan belas kasihan. Periode ini
berlangsung sejak tahun 500 sampai dengan tahun 1500. Diera ini mulai ada usaha untuk
mendidik anak berkebutuhan khusus sekalipun belum melembaga.
Akhir Abad ke-17 dan ke-19
Di era ini mulai didirikan lembaga-lembaga untuk memberikan layanan yang khusus artinya
pendidikan yang terpisah dari anak normal. Mulailah berkembang sekolah-sekolah khusus atau
sekolah khusus berasrama yang menampung hanya satu jenis kelainan anak berkebutuhan
khusus.
Keadaan ini berkembang pula di Indonesia yang di tandai dengan mulai berdirinya lembaga
pendidikan anak tunanetra pada tahu 1901 di Bandung.
Era Abad ke-20
Diakhir abad ke-20 telah ada gerakan untuk menerima

anak luar biasa dan

mengintegrasikan mereka dalam masyarakat seluas mungkin. Perubahan pandangan masyarakat
tersebut disertai dengan munculnya istilah-istilah yang merupakan gerakan perubahan seperti : 1)

Deinstitusionalisasi. 2) Anti Labeling. 3) Normalisasi. 4) Mainstreaming.
Keadaan tersebut terus berkembang termasuk layanan pendidikan luar biasa di Indonesia

yang di tandai dengan adanya perubahan yang sangat signifikan dalam decade terakhir. Layanan

pendidikan khusus terus berkembang di Indonesia yaitu dengan dibentuknya pendidikan inklusif.
Pendidikan inklusif merupakan perkembangan baru dari pendidikan terpadu.

BENTUK DAN SISTEM
PENDIDIKAN BERKEBUTUHAN KHUSUS
PENDIDIKAN SEGREGASI
Konsep Pendidikan Segregasi
Pendidikan segregasi adalah sistem pendidikan bagi ABK yang terpisah dari sistem
pendidikan anak normal. Sistem pendidikan segregasi merupakan sistem layanan pendidikan bagi
ABK yang tertua di Indonesia, bahkan muncul sebelum Indonesia merdeka. Pemisahan yang
terjadi bukan saja pada tempat atau lokasinya, tetapi mencakup keseluruhan program
penyelenggaraan pendidikannya.
Pendidikan segregasi muncul sesuai dengan pandangan masyarakat terhadap ABK pada
saat itu. Dimana masyarakatt memandang bahwa ABK adalah anak-anak yang berbeda sedemikian
rupa dari anak-anak pada umumnya. Bentuk pendidikan segregasi adalah Sekolah Luar Biasa
(SLB) dan Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB).
SLB dibentuk pada tahun 1975 sejalan dengan dibentuknya SD inpres untuk usia 7-12
tahun. Hal ini berimplikasi pada pengembangan kesempatan belajar bagi anak luar biasa usia 7-12

tahun dan didirikan di 200 ibu kota kabupaten seluruh Indonesia. SDLB menampung beberapa
kelainan, yaitu : tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, bakan jugamenampung tunaganda
dalam satu atap.
Sejak tahun 2003-an SDLB tidak melembaga secara khusus dan diintegrasikan ke SLN dan
atau ditingkatkan menjadi SLB. Sejalan dengan itu dalam SLB terdapat penjengjangan yaitu :
Taman Kanak-Kanak Luar Biasa (TKLB) Sekolah Dasar Luar Boasa (SDLB), Sekolah enengah
Pertama Luar Biasa (SMPLB), dan Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB).
Dalam pelaksanaannya, SLB-SLB terbagiatas beberapa jenis sesuai dengan kelainan
oeserta didik, yaitu :
1. SLB-A, yaitu suatu lembaga yang memberikan pelayanan pendidikan khusus untutk peserta
didik tunanetra.
2. SLB-B, yaitu suatu lembaga yang memberikan pelayanan pendidikan khusus untuk peserta
didik tunarung.

3. SLB-C, yaitu suatu lembaga yang memberikan pelayanan pendidikan khusus untuk peserta
didik tunagrahita ringan dan SLB bagiab C1, yaitu seuatu lembaga yang memberikan
pelayanan pendidikan khusus untuk peserta didik tunagrahita sedang.
4. SLB-D, yaitu suatu lembaga yang memberikan pelayanan pendidikan khusus untuk peserta
didik tunadaksa tanpa adanya gangguan kecerdasan dan SLB Bagian D 1, yaitu yaitu suatu
lembaga yang memberikan pelayanan pendidikan khusus untuk peserta didik tuna daksa

yang sertai dengan gangguan kecerdasan.
5. SLB-E, yaitu suatu lembaga yang memberikan pelayanan pendidikan khusus untuk peserta
didik tunalaras.
6. SLB-G, yaitu suatu lembaga yang memberikan pelayanan pendidikan khusus untuk peserta
didik tunaganda.
Baik penyelenggaraan SLB maupun penyelenggaraan SDLB di Indonesia memiliki landasan
yuridis, yaitu:
1. Landasan Yuridis, berlandaskan pada UUD 1945, ketetapan MPR, UU Sistem Pendidikan
Nasional, dan PP tentang PLB.
2. Landasan Pedagogis, yaitu dengan memberikan pelayanan pendidikan yang sistematis
dan terarah.
3. Landasan Psikologis, adalah dengan pendidikan yang baik pada mereka dapat
dikembangkan kepercayaan diri sendiri dan harga dirinya.
4. Landasan Sosiologis, adalah meskipun mereka mengalami kelainan, namun mereka
akan mampu berkomunikasi dengan lingkungannya bahkan dapat ikut serta secara aktif
dalam masyarakat.
Implementasi Pendidikan Segregasi
Sistem pendidikan segregasi atau pelayanan pendidikan melalui sekolah khusus atau
sekolah luar biasa , pada dasarnya dikembangkan berdasarkan UUSPN no.2/1989 yang bentuk
pelaksanaannya diatur melalui pasal-pasal pada PP No.2/1991.

Mengenai lamanya pendidikan dari tiap-tiap satuan pendidikan luar biasa sesuai dengan PP
No.27/1991 pasal 5, yaitu:
1. SDLB sekurang-kurangnya enam tahun.

2. SLTPLB sekurang-kurangnyya tiga tahun.
3. Sekolah Menengah Luar Biasa sekurang-kurangnya tiga tahun.
Dalam pasal 6 PP no.72 tahun 19991 disebutkan pula bahwa untuk TKLB lamanya satu
sampai tiga tahun.
Pendidikan segregasi ini dalam pelaksanaannya terbagi atasu dua jenis sesuai dengan
kebutuhan dan kondisi peserta didik, yaitu sekolah khusus harian ( Day School) dan sekolah khusus
berasrama (resudentian School).
Berdasarkan PP no 72 Tahun 1991 , jenjang dan lamanya pendidikan dalam satuan PLB
sama dengan sekolah biasa, hanya kurikulum yang diadakan penyesuaian dengan keterbatasan
dan tingkat kelainan yang dimiliki anak. Dimana kurikulum yang digunakan di SLB adalah
kurikulum SLB tahun 1984, mengalami perubahan pada tahun 1994, tahun 2000. Sesuai dengan
perkembangan teknologi dan perkembangan pandangan masyarakat mengenai pendidikan, telah
terjadi beberapa kali perubahan kurikulum yang pada akhirnya muncul UU No 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Implementasi UU No 20 Tahun 2003 dijabarkan kedalam sejumlah PP antara lain pP No 19
tahuan 2005 tentang Standar nasional Pendidikan. PP ini memberikan arahan tentang perlu

disusunnya dan dilaksanakannya delapan standar nasional pendidikan, yaitu : Standar isi, Proses,
Kompetensi Lulusan, Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Sarana dan Prasarana, Pengelolaan,
Pembiayaan dan Penilaian Pendidikan.pada tanggal 23 mei 2006, Menteri Pendidikan Nasional
menetapkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasionaltentang Standar Isi No 23 tahun 2006, dan
Standar Kompetensi Lulusan (SKL) No 23 Tahun 2006. Kurikulum ini dikenal dengan sebutan
kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Untuk Struktur Kurikulum baru ini dikembangkan dengan memperhatikan hal-hal sebagai
berikut :
1. Kurikulum untuk peserta didik berkelainan tanpa disertai dengan kemampuan
intelektual dibawah rata-rata menggunakan sebutan kurikulum SDLB A, B, C, D, E;
SMPLB A, B, C, D, E dan SMALB A, B, C, D, E.
2. Kurikulum untuk peserta didik berkelainan dengan disertai dengan kemampuan
intelektual dibawah rata-rata menggunakan sebutan kurikulum SDLB C1, D1, G; SMPLB
C1, D1, G dan SMALB C1, D1, G.

3. Kurikulum satuan pendidikan SDLB A, B, D, E relative sama dengan kurikulum SD
umum.
4. Proporsi muatan isi KTSP SMPLB A, B, D, E terdiri atas 60% / 70% aspek akademik dan
40% / 30% berisi aspek keterampilan. Proporsi muatan isi KTSP SMALB A, B, D, E
terdiri atas 40% / 50% aspek akademik dan 60% / 50% berisi aspek keterampilan

vokasional.
5. KTSP SDLB, SMPLB, SMALB C, C1, D1, G dirancang sangat sederhana sesuai dengan
batas kemampuan peserta didik dan sifatnya lebih individual.
6. Pembelajaran untuk satuan pendidikan khusus SDLB, SMPLB, SMALB C, C1, D1, G
menggunakan pendekatan tematik.
7. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar mata pelajaran umum SDLB, SMPLB,
SMALB A, B, D, E mengacu pada SK dan KD Sekolah Umu yang disesuaikan dengan
kemampuan dan kebutuhan peserta didik, dan dikembangkan oleh BNSP.
8. Pengembangan SK dan KD untuk semua mata pelajaran pada SDLB, SMPLB, SMALB C,
C1, D1, G diserahkan kepada satuan pendidikan khusus yang bersangkutan.
9. Struktur kurikulum pada satuan pendidikan khusus SDLB dan SMPLB mengacu pada
struktur kurikulum SD dan SMP dengan penambahan program khusus sesuai jenis
kelainan.
10. Program khusus sesuai jenis kelainan peserta didik meliputi sebagai berikut :
a. Orientasi dan Mobilitas untuk peserta didik tunanetra.
b. Bina komunikasi, presepsi bunyi dan irama untuk peserta didik tunarungu.
c. Bina diri untuk peserta didik tunagrahita.
d. Bina gerak untuk peserta didik tunadaksa ringan.
e. Bina pribadi dan sosial untuk peserta didik tunalaras.
f.

Bina diri dan bina gerak untuk peserta didik tunadaksa sedang dan tunaganda.

Adapun kegiatan pembelajaran dapat dilakukan secara individual, kelompok, dan klasikal
dengan sistem pengajaran yang mengarah pada sistem pengajaran individualisasi.

PENDIDIKAN INTEGRASI
Konsep Pendidikan Integrasi
Istilah integrasi berasal dari bahasa Inggris Integrate yang berrarti mengintegrasikan,
menyatupadukan, menggabungkan, mempersatukan. Berdasarkan pengertian istilah tersebut,
maka pendidikan integrasi di Indonesia dikenal dengan pendidikan terpadu.
Pendidikan integrasi di Indonesia muncul atas dasar pemikiran bahwa: Pertama, jumlah
ABK yang relative lebih besar dan merata di seluruh negri dibandingkan dengan jumlah SLB.

Kedua, sarana dan prasarana yang ada masih sangat terbatas, belum memungkinkan penyediaan
SLB yang dapat menampung dan menangani seluruh ABK. Ketiga, dengan menggunakan sistem
integrasi diperkirakan akan mampumemberikan pelayanan pendidikan terhadap ABK dengan biaya
yang relatif tidak mahal. Keempat, melalui sistem integrasi diharapkan ABK akan berkomunikasi
dengan anak-anak pada umumnya, sehingga menimbulkan kepercayaan diri dan menghilangkan
rasa pesimistisnya. Kelima, melalui pendidikan integrasi, pengertian masyarakat terhadap ABK
tidak menimbulkan perkiraan yang salah bahwa ABK tidak mungkin dapat berproduksi, sehingga
hanya menjadi beban bagi masyarakat.
Untuk lebih memahami mengenai program pendidikan integrasi, dikutip beberapa definisi
dari para ahli, antara lain SA. Bratanata (1974) “pendidikan bagi anak berkelainan yang diterima
dbersama-sama anak normal dan diselenggarakan di sekolah biasa. Bentuk penyelenggaraan
pendidikan ini telah banyak dinikmati terutama oleh anak-anak tunanetra yang mampu dan
sanggup berkompetisi dengan anak-anak normal”. Sedangkan Dwidjosumarto (1996:68)
mengungkapkan bahwa sistem pendidikan integrasi adalah siste, pendidikan yang memberikan
kesempatan pada anak luar biasa belajar bersama-sama dengan anak biasa (normal) disekolah
umum.
Dari berberapa batasan diatas, pendidikan integrasi meruppakan salah satu upaya dalam
memberikan layanan pendidikan yang efektif dan afisien bagi ABK agar potensi mereka dapat
berkembang secara optimal.
Adapun jenis program pendidikan integrasi pada dasarnya ada tiga, yaitu: integrasi lokasi
fisik, integrasi dalam aspek sosial, dan integrasi fungsional atau integrasi penuh.
1. Integrasi lokasi / fisik; penyelenggaraan ini dimana ABK mendapatkan pelayanan
khusus dalam kelas/sekolah khusus dengan kurikulum PLB tetapi lokasi gedung berada
dalam satu lokasi dengan sekolah umum.

2. Integrasi dalam aspek sosial; Siswa ABK dilibatkan dalam kegiatan tertentu saja, seperti
bermain, berolahraga, bernyanyi, makan, rekreasi. Dari segi kurikulum menggunakan
kurikulum SLB sebagian dan sebagiuan lagi menggunakan kurikulum sekolah umum.
3. Integrasi fungsional atau integrasi penuh; didalam program ini termasuk integrasi lokasi
dan sosial, dimana ABK dan normal mengarah pada aktivitas bersama dalam seluruh
kegiatan atau proses belajar mengajar.
Program pendidikan integrasi fungsional ini merupakan bentuk pengintegrasian yang paling
mendekati kewajaran, dimana ABK dan anak normal dengan usia yang sebaya secara bersamasama menjadi murid pada satu sekolah biasa dengan full time dan full kegiatan dari kegiatan
sekolah dan mereka secara bersama pula mendapatkan pelayanan yang samadari guru kelas yang
bersangkutan tanpa dibeda-bedakan.
Implementasi Pendidikan Integrasi
Bentuk pelaksanaan layanan pendidikan melalui program pendidikan integrasi dilaksanakan
melalui pertimbangan berikut.
1. Tingkat kesempatan ABK untuk berintegrasi sosial dengan teman sebayanya yang
normal berdasarkan intensitas pergaulan sosialnya.
2. Tingkat kesamaan bahan dan program pembelajarannya. Makin banyak kesamaan dan
keberbaurannya maka semakin tinggi drajat keintegrasiannya.
Berdasarkan derajat integrasi sosial dan terjadi proses instruksional, maka bentuk layanan
pendidikan melalui program pendidikan integrasi secara berurutan keintegrasiannya adalah
sebagai berikut:
1. Kelas biasa tanpa kekhususan baik bahan pelajaran maupun guru ( Regular Clasroom

Only).
Bentuk layanan ini ABK belajar dikelas biasa yang sederajat (TK, SD, SMP, SMA) tanpa
memerlukan bantuan guru pembimbing khusus.
2. Kelas biasa dengan guru konsultan (Regular Classroom with consultant teacher ).
ABK belajar dikelas biasa pada sekolah biasa yang menyelenggarakan program
pendidikan integrasi, namun dalam pelaksanaannya sekolah tersebut menggunakan
guru konsultan dari luar.

3. Kelas biasa dengan sistem guru kunjung (Regular Classroom with interant teacher).
ABK belajar dikelas, dibimbing langsung oleh guru kelas atau guru matapelajaran yang
bersangkutan. Akan tetapi disediakan pula tenaga guru kunjung yang secara periodic
mengunjungi sekolah bersangkutan untuk member bantuan / mengejar anak yang
mengalami kesulitan belajar.
4. Kelas biasa dengan ruang sumber khusus (regular classroom with resource room).
ABK belajar bersama-sama dikelas biasa dengan guru, kurikulum dan sekolah biasa
pula, akan tetapi pada saat-saat tertentu ABK belajar di ruang khusus yang di lengkapi
dengan fasilitas khusus dan dibina langsung oleh guru pembimbing khusus.
5. Kelas khusus paruh waktu (part time special class)
Kegiatan belajar mengajar pada kelas khusus dibimbing oleh guru PLB apabila ABK
mengalami kesulitan dan pada mata pelajaran tertentu ABK dapat bergabung dengan
siswa normal dikelas biasa yang setingkat.
6. Kelas khusus penuh (Self contained special class)
Dalam kelas jenis ini, siswa ABK sepenuhnya belajar di kelas khusus dengan program
pembelajaran khusus dan dipandu oleh guru khusus pula. Dalam aktivitas tertentu ABK
dapat diintegrasikan dengan siswa normal lainnya, misalnya pada saat istirahat,
upacara, senam pagi dan lain sebagainya.
7. Integrasi balik (Revers Integration).
Integrasi balik adalah dimana siswa normal belajar bersama ABK dikelas khusus atau
SLB, artinya siswa normal bergabung melaksanakan kegiatan belajar mengajar dengan
program sekolah biasa menggunakan fasilitas yang tersebdia di SLB.
Tiga bentuk jenis program integrasi terakhir ini, lebih menekankan pada kesempatan
integrasi secara sosial melalui pergaulan interaksi sosial. Kelas khusus dimaksud emnggunakan
kurikulum khusus PLB sehingga programPBM-nya berbeda dengan program pembelajaran biasa.
Dalam pelaksanaannya, pendidikan integrasi bertujuan untuk memberikan layanan kepada
peserta didik yang mempunyai kebutuhan khusus agar potensi yang dimiliki dapat berkembang
secara optimal dan mereka dapat hidup mandiri sesuai dengan prinsip pendidikan (Depdiknas,
2002:2)

Adapun penilaian terhadap ALB sama seperti penilaian terhadap siswa yang normal, yaitu
melalui: tes formatif dan tes sumatif. Pelaksanaan tes formatif dan sumatif dapat dilakukan melalui
tes lisan, tertulis, dan tes perbuatan.
Berdasarkan uraian-iraian tersebut diatas terlihat bahwa ABK memiliki kesempatan belajar,
bermain, bekerja bersama dengan anak biasa, namun dibalik itu terdapat beberapa kelemahan,
yaitu:
1. Dalam proses integrasi, ABK secara langsung mengikuti program anak biasa, padahal
ABK kemungkinan memiliki perbedaan dengan anak biasa.
2. Keberadaan ABK disini adalah sebagai tamu dan harus mengikuti semua peraturan
yang berlaku disekolah tersebut, tentu saja akan mengakibatkan adanya masalah
psikologis yang dapat mempengaruhi proses belajarnya.
3. Kesiapan sekolah regular untuk menyelenggarakan pendidikan integrasi belum optimal.
4. Fasilitas-fasilitas khusus untuk ABK masih kurang atau belum ada di sekolah regular
sehingga ABK tidak mendapatkan proses belajar yang maksimal.
Oleh karena itu diperlukan beberapa solusi, seperti mengadakan persiapan yang matang
sebelum mengimplementasikan pendidikan integrasi. Persiapan-persiapan itu adalah : adanya
pemahaman guru regular terhadap keadaan ABK, adanya pengertian anak regular terhadap anak
ABK, penyusunan program yang dilakukan berdasarkan kemampuan dasar anak.

PENDIDIKAN INKLUSIF
Konsep Pendidikan Inklusif
Secara singkat pendidikan inklusi adalah penyelenggaraan pendidikan dimana ABK dan
anak yang normal dapat belajar bersama-sama disekolah umum.
Dalam sistem pendidikan inklusi digunakan terminology anak dengan kebutuhan
pendidikan khusus “children with special education needs ” untuk mengantikan istilah anak cacat
atau anak luar biasa.
Sapoon-shevin dalam sunardi (1995:77; 2002:1) mendefinisikan pendidikan inklusif
sebagai sistem pelayanan PLB yang mempersyaratkan agar semua ABK dilayani disekolah-sekolah
terdekat dikelas biasa bersama teman-teman seusianya. Sedangkan menurut Stainback (1990)
bahwa sekolah yang inklusif adalah sekolah yang menampung semua murid dikelas yang sama.
Dengan demikian, jika digunakan pengertian diatas dengan pendidikan inklusif semua anak
berkebutuhan pendidikan khusus harus belajar dikelas yang sama dengan teman-teman
sebayanya.
Dari berbagai pendapat diatas, kita dapat mengungkapkan bahwa pendidikan inklusif
bukan semata-mata memasukan ABK ke sekolah umum, tetapi lebih berorientasi kepada
bagaimana layanan pendidikan ini diberikan dalam rangka memenuhi kebutuhan setiap anak
dengan keunikan dan kergaman secara alamiah telah mereka miliki.
Sunanto (2000:4) mengemukanan bahwa yang menjadi dasar utama pendidikan inklusif
adalah:
a. Semua anak mempunyai hak untuk belajar yang sama
b. Anak-anak tidak harus diperlakukan diskriminatif dengan dipisahkan dari kelompok lain

karena kecacatannya
c. Para penyandang cacat yang telah lolos dari pendidikan segregasi menuntut segera

diakhirinya sistem segregasi
d. Tak ada alas an yang legal untuk memisahkan pendidikan bagi anak cacat karena

setiap orang memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing.
e. Banyak hasil penelitian enunjukan bahwa prestasi akademik dan sosial anak cacat yang

sekolah disekolah integrasi lebih baik daripada disekolah segregasi.

f.

Tidak ada pengajaran disekolah segegasi yang tidak dapat dilakukan disekolah umum.

g. Dengan komitmen dan dukungan yang baik pendidikan inklusi lebih efisien dalam

penggunaan sumber belajar
h. Sistem segregasi dapat membuat anak menjadi banyak prasangka dan rasa cemas
i.

Semua anak memerlukan pendidikan yang membantu mereka berkembang untuk hidup
dalam masyarakat yang normal

j.

Hanya sistem inklusilah yang berpotensi untuk mengurangi rasa kekhawatidan,
membangun rasa persahabatan, saling menghargai dan memahami.

Implementasi Pendidikan Inklusif
Salah satu karakteristik terpenting dari sekolah inklusif adalah satu komunitas yang kohesif,
menerima dan responsive terhadap kebutuhan individual setiap murid. Untuk itu sapon-Shevin
dalam Sunardi (2002) mengemukakan lima profil pembelajaran disekolah inklusif, yaitu:
1. Pendidikan inklusif berarti menciptakan dan menjaga komunitas kelas yang hangat,
menerima keaneka-ragaman dan menghargai perbedaan.
2. Pendidikan inklusif berarti penerapan kurikulum yang multilevel dan multinodalitas.
3. Pendidikan inklusif berarti menyiapkan dan mendorong guru untuk mengajar secara
interaktif.
4. Pendidikan inklusif berarti penyediaan dorongan bagi guru dan kelasnya secara terusmenerus dan penghapusan hambatan yang berkaitan dengan isolasi profesi.
5. Pendidikan

inklusif

berarti

melibatkan

orangtua

secara

bermakna

dalam

proses

perencanan.
Kelas inklusi menampung anak yang heterogen, ditangani oleh tenaga dari berbagai profesi
sebagai satu tim, sehingga kebutuhan individual setiap anak dapat terpenuhi.
Dalam

setting

pembelajarannya

diciptakan

lingkungan

inklusif,

pembelajaran (LIRP) tidak saja kepada anak tetapi juga terhadap guru. Artinya:
 Anak dan guru belajar bersama sebagai suatu kounitas belajar
 Guru menempatkan anak sebagai pusat pembelajaran

ramah

terhadap

 Guru memiliki minat memberikan layanan pendidikan yang terbaik.
 Guru mendorong partisipasi anak dalam pembelajaran
(Depdiknas, 2004:3)
Terdapat beberapa aspek penting dari LIRP (Depdiknas, 2004:7), sebagai berikut
 Semua anak memeiliki hak untuk belajar, tanpa memandang perbedaan fisik, intelektual,
sosial, emosi, bahasa atau kondisi lainnya
 Guru perlu mengetahui bagaimana cara mengajar anak dengan latar belakang dan
kemampuan yang beragam
 Dalam LIRP, setiap orang berbagi visi yang sama tentang bagaimana anak harus belajar,
bekerja dan bermain bersama
 LIRP mengajarkan kecakapan hidup dan gaya hidup sehat, agar peserta didik dapat
menggunakan informasi yang diperoleh untuk melindungi diri dari penyait dan bahaya
 LIRP mendorong guru, pengelola sekolah, anak, keluarga, dan masyarakat untuk
membantu pembelajaran anak, misalnya di kelas peserta didik beserta guru bertanggung
jawab kepada pembelajaran dan secara aktif berpartisipasi didalamnya
 LIRP juga mempertimbangkan kebutuhan, minat, dan keinginan kita sebagai guru
Ada beberapa pertimbangan penting yang harus dilakukan dalam melaksanakan pendidikan
inklusif, yaitu:
 Pembelajaran diarahkan untuk memenuhi kebutuhan semua anak
 Lokasi pembelajaran yang sama dan dekat dengan lokasi dimana anak tinggal
 Pelayanan pendidikan yang disesuaikan dengan perbedaan dan kebutuhan individu
 Suasana belajar yang ramah, terbuka dan menyenangkan bagi semua anak
 Guru harus memiliki sikap terbuka kepada setiap anak