pendidikan kewarga negaraan berwatak ling

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN BERWATAK LINGKUNGAN HIDUP
Yoga ardian feriandi

Abstrak
Era MEA yang dimulai pada tahun 2015 memungkinkan hasil produksi dari negara
kawasan ASEAN masuk ke Indonesia atau sebaliknya. Dampak positif dari MEA yakni
mampu menumbuhkan industri di Indonesia, karena dapat memasarkan produk nya ke
luar indonesia. Muncul kekuatiran peningkatan produksi yang besar pada era MEA juga
memicu peningkatan kerusakan lingkungan. Sebelum era MEA tahun 2014 konsumsi
plastik Indonesia sebesar 5,4 ton. Dengan berlakunya MEA konsumsi sampah plastik itu
berpotensi naik, karena produk yang masuk ke Indonesia tersebut rata-rata
menggunakan kemasan plastik yang notabene tidak ramah lingkungan. Kementerian
lingkungan hidup dan kehutanan menggulirkan kebijakan plastik berbayar guna menekan
angka penggunaan plastik yang dapat mencemari bahkan merusak lingkungan.
Permasalahan kerusakan lingkungan yang dialami warganegara tidak hanya cukup
dengan membuat peraturan yang mendukung lingkungan seperti kebijakan plastik
berbayar. Peraturan yang di implementasikan tanpa kesadaran tidak akan efektif, untuk
itu diperlukan suatu pendidikan yang mampu mendidik warganegara agar memiliki
karakter cinta lingkungan. Salah satu wujud pendidikan yang memiliki tangung jawab
untuk membentuk karakter cinta lingkungan pada warga negara adalah pendidikan
kewarganegaraan. Dengan pembekalan dimensi knowledge, skill, dan disposition tentang

lingkungan hidup melalui pendidikan kewarganegaraan, diharapkan mampu menguatkan
warganegara akan hak dan tangung jawabnya terhadap lingkungan dan mampu
menginternalisasikanya menjadi karakter cinta lingkungan.

i

1. Pendahuluan
Sebagai salah satu negara yang ikut melaksanakan MEA Indonesia memiliki
berbagai tantangan yang tinggi. Selain menghadapi tantangan persaingan tenaga
kerja maupun produk asing yang membanjiri Indonesia, tantangan lain yakni terkait
dengan kerusakan lingkungan. Tidak bisa dipungkiri segala aktifitas yang dilakukan
manusia di bumi menghasilkan berbagai limbah baik yang dapat dengan mudah
terurai maupun tidak. Salah satu faktor yang menonjol dari MEA adalah
perdagangan, MEA memungkinkan perdaganan bebas antar negara angotanya.
Dalam perdagangan, plastik masih menjadi sesuatu yang menjadi primadona
di kalangan karena harganya yang ekonomis dibanding dengan kantung lainya (
General Manager Sales & Marketing Joyo Boyo Handoko Saptajaya Sidharta.
http://m.inilah.com/news/detail/2141276/sinar-joyoboyo-optimistis-bisnis-kantungplastik).
indonesia


Pernyataan tersebut terbukti ketika melihat konsumsi plastik rakyat
pada

tahun

2014

sebesar

5,4

juta

ton

pertahun

(http://www.antaranews.com/berita/417287/produksi-sampah-plastik-indonesia-54juta-ton-per-tahun). Besarnya peluang bisnis plastik juga sekaligus memunculkan
kekawatiran terhadap dampak yang diterima akibat menumpuknya sampah plastik.
Dari seluruh sampah yang ada, 57 persen ditemukan di pantai berupa

sampah plastik. Sebanyak 46 ribu sampah plastik mengapung di setiap mil persegi
samudera bahkan kedalaman sampah plastik di Samudera Pasifik sudah mencapai
hampir 100 meter. Berkaitan dengan banyaknya sampah plastik yang ada dilaut,
menimbulkan beberapa dampak yakni (IWMA.COM) 1. Many plastics remain
floating on the surface of our waterways, the place where many food sources lie
making them attractive to species of marine life. 2. Plastic degrades due to solar
radiation and oxidation into smaller and smaller pieces, all of which are still plastic
polymers, eventually becoming individual molecules of plastic dust. 3. In 2004
English scientists reported on tiny, even microscopic plastic fragments that have
worked their way down and are polluting deep ocean sediments and are now in the
plankton, the very bottom of the food chain. 4. Over 1,000,000 seabirds and marine
mammals die each year from plastic ingestion of entanglement
Meskipun diketahui membahayakan kelestarian lingkungan, konsumsi dari
plastik masih belum bisa terhindarkan, Menteri Perindustrian, Saleh Husin di
Jakarta, Kamis (26/2), mengatakan, industri plastik merupakan sektor industri yang
penting dan sangat terkait dengan industri-industri lain. Industri plastik di Indonesia
berpotensi untuk dikembangkan karena didukung oleh peningkatan konsumsi dan

1


penggunaan berbagai jenis produk plastik, antara lain sepeti kemasan, komponen
otomotif

maupun

elektronik,

serta

berbagai

macam penggunaan lainnya

(http://www.beritasatu.com/ekonomi/252625-pemerintah-beri-insentif-bea-masukbahan-baku-industri-plastik.html). Dengan demikian berlakunya MEA juga akan
memicu meingkatnya polusi plastik di lingkungan, produk-produk dari negara
kawasan MEA yang masuk Indonesia, rata-rata menggunakan kemasan plastik.
Seiring meningkatnya kekawatiran mengenai kerusakan lingkungan yang di
timbulkan akibat dari plastik, maka kementrian lingkungan hidup dan kehutanan
mengeluarkan kebijakan mengenai plastik berbayar melalui surat edaran nomor
s.1230/pslb3-ps /2016. Pada surat tersebut di tentukan bahwa swalayan tidak boleh

memberikan secara gratis plastik kepada pelanggan, pelanggar yang mengingnkan
kantong plastik harus membayar 200 rupiah. Hal itu dikamsudkan agar warga negara
dapat menghemat pemakaian plastik, sehingga jumlah sampah plastik juga dapat
dikurangi. Penerapan kebijakan seperti yang dilakukan oleh kementrian lingkungan
dan kehutanan tidak akan efektif tanpa kesadaran warga negara, untuk itu selain
kebijakan yang suport dengan lingkungan penting juga di buat suatu pendidikan
yang mampu mendidik warganegara akan tangung jawabnya terhadap lingkungan.
Dengan memberikan pendidikan yang mencakup hak serta tangung jawab warga
negara akan lingkunganya, diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran dan karakter
cinta lingkungan pada warga negara.
Berkaitan dengan hak kewajiban warga negara tentu saja mata pelajaran
pendidikan kewarganegaraan menjadi yang utama, pendidikan kewarganegaraan di
Indonesia secara kurikuler dirancang sebagai subjek pembelajaran yang bertujuan
untuk mengembangkan potensi individu agar menjadi warga negara indonesia yang
berakhlak mulia, cerdas, partisipatif dan bertangung jawab (Samsuri, 2012: 90)
dengan demikian berarti pendidikan kewarganegaraan juga memiliki andil dalam
membuat warganegara memiliki tangung jawab terhadap lingkunganya. Dengan
demikian maka, pada artikel ini akan membahas pentingnya pendidikan
kewarganegaraan berwawasan lingkungan hidup.
2. Pembahasan

A. Menjaga kelestariaan lingkungan dengan peraturan
Mengenai istilah lingkungan hidup, Siahaan (2004: 34) mengungkapkan
bahwa, “Lingkungan Hidup dalam bahasa Inggris disebut environment, dalam
bahasa Belanda disebut dengan milieu dan dalam bahasa Perancis disebut dengan
`environment”. Sedangkan lingkungan hidup menurut Undang-Undang Nomor 32

2

Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah
kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk
manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan
perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
Dengan fakta kerusakan lingkungan yang ditunjukan pada latar
belakang, dan kekawatiran mengenai kelestarianya dimasa depan. Maka penting
rasanya untuk untuk mengambil langkah guna menjaga kelestariaan lingkungan.
Salah satu pihak yang dapat mengambil langkah pelestarian lingkungan adalah
pemerintah, pemerintah dapat membuat kebijakan yang dapat memaksa warga
negara menjaga lingkunganya, contohnya seperti yang dilakukan kementerian
lingkungan hidup Indonesia dengan plastik berbayar.
Selain itu muncul juga gagasan menjaga lingkungan dengan

memasukan pasal perlindungan lingkungan dalam konstitusi, yang disebut oleh
Jimly asidiq (2009:12) sebagai green constitution. Dengan konstitusi yang
mendukung kelestarian lingkungan, maka diharapakan semua kebijakan akan
mendukung kelestarian lingkungan pula, karena kedudukan undang-undang dasar
yang berada di atas peraturan lain. Hal itu tentunya akan sanggat baik, namun
meskipun kebijakan telah mendukung lingkungan, tapi tanpa kesadaran
warganegara hasilnya tidak akan maksimal. Faktanya bisa kita lihat meskipun
indonesia telah memasukan pasal perlindungan lingkungan dalam konstitusi pada
pasal 28H ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Tetap saja terjadi perusakan
lingkungan karena faktor lingkungan yang kalah dengan faktor lain seperti
ekonomi. Tentunya masih segar dalam ingatan kita kasus pembunuhan aktifis
lingkungan Salim kancil, dia dibunuh lantaran berusaha menghentikan perusakan
lingkungan akibat penambangan pasir di desanya.
Hal serupa juga terjadi di Ingris, salah jalan di kota Ingris yang terdapat
suatu permasalahan limbah rumah tangga yang sanggat tinggi, kemudian
pemerintah mengeluarkan peraturan pembatasan sampah, jika warga negara
menghasilkan sampah melebihi kuota yang diatur akan mendapat denda. Logika
nya benar jika dikenakan denda warga negara akan lebih sedikit untuk membuang
sampah, namun faktanya warga negara tidak mau membuang sampah pada
tempatnya mereka justru mengangkutnya mengunakan mobil dan membuangnya di

trotoar untuk menghindari denda (Dobson, 2007). Penelitian Dari Suharno (2011)
juga dapat menunjukan bahwa kebijakan pemerintah yang bersifat top down tidak
efektif dan akan lebih baik jika suatu kebijakan bersifat bottom-up, sehingga

3

pemerintah juga harus mempertimbangkan kesadaran masyarakat tidak hanya
sekedar membuat kebijkan.
Contoh kasus lain yakni penolakan ratifikasi protokol kyoto oleh
Amerika, Penolakan Amerika Serikat terhadap Protokol Kyoto yang dituangkan
dalam surat tertanggal 12 Maret 2001. Presiden George W Bush mengatakan
bahwa Protokol Kyoto akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi AS. Amerika
Serikat beralasan bahwa Protokol Kyoto terlalu mahal untuk diikuti. Mematuhi
protocol berarti AS harus mengganti bahan bakar pabrik dan desain mesinmesinnya. Hal ini pada gilirannya akan membuat industri Amerika merosot daya
saingnya. Lebih lanjut Bush mengatakan bahwa protokol Kyoto akan
menghancurkan ekonomi Amerika Serikat (Ingga swadana, 2006: 24) dari
beberapa contoh kasus tersebut mencerminkan kesadaran menjaga lingkungan
rendah dan mengagap kepentingan lingkungan tidak sepenting kepentingan
ekonomi.
B. Menjaga kelestarian lingkungan melalui Pendidikan Kewarganegaran

Agar langkah melestarikan lingkungan dapat efektif, maka juga perlu
menumbuhkan kesadaran warganegara akan tangung jawabnya dalam menjaga
lingkungan, salah satunya dapat dilakukan melalui pendidikan. Lickona (1991: 6)
mengatakan “...education has had two great goals, to help young people become
smart and to help them become good.” Dari pernyataan Lickona tersebut dapat
diartikan, melalui proses pendidikan tidak hanya memperoleh pengetahuan saja,
akan tetapi juga akan menjadi seseorang memiliki sikap yang baik. Pengetahuan
dalam hal ini berkaitan dengan pengetahuan dampak-dampak yang ditimbulkan
lingkungan baik positif maupun negatif, sedangkan baik merupakan pengaplikasian
dari pengetahuan yang dimilikinya kedalam suatu tindakan.
Cogan (1999:4) mengartikan civic education sebagai “…the foundational
course work in school designed to prepare young citizens for an active role in their
communities in their adult lives”, atau suatu mata pelajaran dasar di sekolah yang
dirancang untuk mempersiapkan warga negara muda, agar kelak setelah dewasa
dapat berperan aktif dalam masyarakatnya. Dengan demikian pada kaitanya dengan
lingkungan pendidikan kewarganegaraan haruslah juga mempersiapkan warga
negara muda, mengenai kewajiban serta tangung jawabnya menjaga lingkungan.
Pendidikan kewarganegaraan juga dikatakan sebagai pendidikan budaya
dan karakter, hal itu karena dalam pendidikan kewarganegaraan memiliki nilainilai budaya dan karakter bangsa yang meliputi: religius, jujur, toleransi, disiplin,


4

kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan,
cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca,
peduli lingkungan, peduli sosial dan tanggung jawab (Puskur, 2010: 9-10). Dari
pendapat itu dapat dilihat bahwa lingkungan juga menjadi suatu objek kajian
pendidikan kewarganegaraan.
Salah satu mata pelajaran yang juga bertujuan membentuk sikap baik
adalah pendidikan kewarganegaraan, hal ini dapat dilihat dalam beberapa kajian
yang menyebutkan bahwa karakter yang baik merupakan tujuan yang ingin dicapai
dari pendidikan kewarganegaraan di negara-negara di dunia (Kerr, 1999; Doganay,
2012; Patrick&Vontz, 2001; Cholisin, 2004, Samsuri, 2011). Maka dari itu tidak
salah jika masalah-masalah mengenai lingkungan yang berhubungan erat dengan
perilaku warganegara juga masuk sebagai kajian disiplin ilmu pendidikan
kewarganegaraan.
Kajian mengenai hubungan lingkungan hidup dan kewarganegaraan
oleh Dean Curtin (2002) disebut sebagai Ecological citizenship namun selain itu
terdapat pula nomenklatur lain yakni Enviromental citizenship (Dobson; 2007).
Karakteristik lanjut Eniviromentall citizenship adalah pengakuan bahwa hak dan
tanggung jawab melampaui batas-batas nasional. Hal itu di dasarkan pada fakta

bahwa semua warganegara di dunia memiliki hak dan tangung jawab terhadap
lingkungan yang kurang lebih sama (Dobson, 2007: 282). Melalui enviromental
citizenship, waganegara diberikan pengetahuan mengenai tangung jawab untuk
menjaga lingkungan. Tentu saja tidak hanya berupa pengetahuan saja, yang
terpenting adalah bagaimana pengaplikasian dari pengetahuan tersebut menjadi
sebuah tindakan yang nyata.
Dalam paradigma

pendidikan kewarganegaraan terdapat

tipologi

komponen Pendidikan kewarganegaraan yang dikembangkan Center for Civic
Education (1994) memiliki tiga bentuk kompetensi kewarganegaraan yakni civic
knowledge, civic skill (meliputi cognitive civic skills dan participatory civic skills)
dan civic dispositions. Mengenai lingkungan maka dapat masuk pada civic
dispotition karena tujuan akir dari pendidikan lingkungan ini adalah bagaimana
seorang warga negara, mampu melaksanakan tugasnya untuk menjaga lingkungan.
Meskipun demikiran bukan berarti aspek lain steril dari aspek lingkungan.
Lingkungan sendiri telah menjadi permasalahan kewarganegaraan di dunia
(Global citizenship), untuk itu pada pembelajan pendidikan kewarganegaraan
dewasa ini telah mulai memasukan nilai-nilai kelestariaan lingkungan. Namun

5

penanaman nilai-nilai lingkungan tersebut masih hanya sebatas pada dimensi
Knowledge semata belum mampu menyentuh ranah Skill dan Dispotition. Dimensi
Knowledge sendiri merupakan materi substansi yang harus diketahui oleh warga
negara, yang berkaitan dengan hak-kewajiban /peran sebagai warga negara dan
pengetahuan yang mendasar tentang struktur dan sistem politik, pemerintahan dan
sistem sosial yang ideal sebagaimana terdokumentasi dalam Pancasila dan UUD
1945, maupun yang telah menjadi konvensi dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara serta nilai-nilai universal dalam masyarakat demokratis serta cara – cara
kerjasama untuk mewjudkan kemajuan bersama dan hidup berdampingan secara
damai dalam masyarakat internasional (Cholisn, 2005: 4).

Contoh kandungan Civic Knowledge mengenai lingkungan merupakan
suatu pengetahuan mengenai hak- hak dan kewajiban warga negara untuk
mendapat lingkungan hidup yang baik seperti yang termuat pada pasal 28H

ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Lembaga-lembaga negara yang
bertangung jawab menjaga kelestarian lingkungan, Upaya yang dapat
dilakukan warga negara untuk menjaga lingkungan, dll. Meski penanaman
nilai-nilai lingkungan hidup sudah diintegrasikan kepada mata pelajaran
pendidikan kewarganegaraan di dalam pendidikan formal namun pada proses
pembelajaran sebagian guru PKn hanya sebatas memberikan materi saja belum
sampai pengamalan nilai-nilai dan melestarikan lingkungan hidup (Sahri, 2013:
.126) .
Pembelajaran kewarganegaraan berwatak lingkungan tidak boleh hanya
berfokus pada aspek pengetahuan saja (Civic Knowledge), namun harus memuat
keterampilan warga negara dalam menjaga lingkungan (Civic Skill) dan yang
paling penting adalah watak warga negara untuk menjaga lingkungan (Civic
Dispotition). Ketiga kompetensi kewarganegaraan tersebut (Knowledge, Skill,
Dispotition) haruslah menjadi suatu kesatuan dan tidak berdiri sendiri-sendiri. Jadi
Selain memberikan materi mengenai bagaimana sebaiknya perilaku yang baik
sebagai warga negara dalam menjaga kelestarian lingkungan, seorang siswa juga
harus memiliki keterampilan (civic skill). Civic skill sendiri terbagi menjadi dua
bagian yakni intelectual skills (ketrampilan intelektual) dan participation skill.
Sebagai pengembanganya terhadap tujuan perlindungan lingkungan dapat dilihat
penjabaran Civic Skill yang dikembangkan dari Center for Civic Education (1994)
pada tabel 1 dan 2.

6

Tabel 1. Keterampilan intelektual
Membedakan
Mengelompokan
Menentukan asal usul sesuatu
Proses
Lembaga
Fungsi
Alat
Tujuan
Kualitas
Sebab terjadinya sesuatu
Makna suatu peristiwa
Alasan
kemampuan menguraikan Unsur
– unsur atau komponenkomponen ide (gagasan)
- kemampuan menguraikan
konsekuensi dari ide (gagasan)
- kemampuan menguraikan dan
Memilah mana yang merupakan
tanggung jawab pribadi dan
mana yang merupakan tanggung
jawab publik.
- Sebab terjadinya peristiwa
- Makna dan terjadinya suatu
peristiwa
- Alasan Bertindak
- Unsur-unsur komponen ide
- Konsekuensi dari ide
- Memilah tujuan,pendapat,
tangung jawab pribadi dan publik
- Kekuatan dan Kelemahan
- Menciptakan pendapat baru
- Dari seleksi berbagai posisi
- Membuat pilihan baru
- Mengemukakan argumentasi
berdasar asumsi
(Center for Civic Education, 1994: 5)
-

Mengidentifikasikan
Mengambarkan

Menjelaskan

Menganalisis

Menjelaskan

Menganalisis

Mengevaluasi
Mengambil pendapat
Mempertahankan pendapat

Sedangkan ketrampilan kewarganegaraan dapat dilihat pada tabel berikut ini.

7

Tabel 2. Ketrampilan Partisipasi

Berinteraksi

-

Memantau/memonitor

-

-

Mempengaruhi proses politik,
pemerintah baik secara formal
maupun informal

-

-

-

-

bertanya, menjawab, berdiskusi
dengan sopan santun;
menjelaskan artikulasi
kepentingan;
membangun koalisi, negoisasi,
kompromi
mengelola konflik secara damai;
mencari konsensus.
Menggunakan berbagai sumber
informasi seperti perpustakaan,
surat kabar, TV, dll untuk
mengetahui persoalan-persoalan
publik;
Upaya mendapatkan informasi
tentang persoalan publik dari
kelompok – kelompok
kepentingan, pejabat pemerintah,
lembaga-lembaga pemerintah.
Melakukan simulasi tentang
kegiatan : kampanye, pemilu,
dengar pendapat di DPR/DPRD,
pertemuan wali kota, lobby,
peradilan;
Memberikan suara dalam suatu
pemilihan;
Membuat petisi;
Melakukan pembicaraan/memberi
kesaksian di hadapan lembaga
publik;
Bergabung atau bekerja dalam
lembaga advokasi untuk
memperjuangkan tujuan bersama
atau pihak lain;
Meminta atau menyediakan diri
untuk menduduki jabatan tertentu.

Setelah memiliki Knowledge dan Skill maka diharapkan dapat menjadi suatu
Dispotition bagi warganegara, seperti pada tabel 3 berikut ini

8

Tabel 3 Civic Disposision

1) Menjadi anggota masyarakat
yang independen (mandiri).

Karakter ini merupakan kepatuhan
secara suka rela terhadap peraturan
yang berlaku dan bertanggungjawab
atas segala konsekuensi yang timbul
dari perbuatannya serta menerima
kewajiban moral dan legal dalam
masyarakat demokratis.
Yang termasuk karakter ini, al. :
- Mengurus diri sendiri
- Memberi nafkah /menopang keluarga;
- Merawat , mengurus dan mendidik
anak;
- Mengikuti informasi tentang isue-isue
publik;
- Memberikan suara (voting);
- Membayar pajak;
- Menjadi saksi di pengadilan;
- Meberikan
pelayanan
kepada
masyarakat;
- Melakukan
tugas
kepemimpinan
sesuai dengan bakat dan kemampuang
sendiri/masingmasing.
Yang termasuk karakter ini, al.
- mendengarkan pendapat orang lain
- berperilaku santun (bersikap sopan)
- menghargai hak dan kepentingan
sesama warganegara;
- mematuhi prinsip aturan mayoritas,
namun tetap menghargai hak minoritas
untuk berbeda pendapat.
- Karakter ini menghendaki pemilikan
informasi
yang
luas
sebelum
memberikan suara (voting) atau
berpartisipasi dalam debat publik,
keterlibatan dalam diskusi yang santun
dan serius, dan memegang kendali
kepemimpinan yang sesuai. Juga
menghendaki kemampuan membuat
evaluasi kapan saatnya kepentingan
pribadi
sebagai
warga
negara
dikesampingkan demi kepentingan
umum dan kapan seseorang karena
-

2) Memenuhi tanggungjawab
personal kewarganegaraan di
bidang ekonomi dan politik.

3) Menghormati harkat dan
martabat kemanusiaan tiap
individu.

4) Berpartisipasi dalam urusanurusan kewarganegaraan secara
bijaksana dan efektif.

9

kewajibannya atau prinsip-prinsip
konstitusional untuk menolak tuntutantuntutan kewarganegaraan tertentu.
Dengan membekali siswa dengan dimensi Knowledge, skill dan dispotition
mengenai lingkungan hidup maka diharapkan siswa dapat memiliki cara berfikir
dan karakter yang mendukung kelestarian lingkungan, sehingga perilaku
melestarikan lingkungan yang ditunjukanya tidak tidak hanya sementara waktu
melainkan terus menerus.
C. Dilema dalam melestarikan lingkungan
Dari ulasan diatas dapat kita ketahui bahwa menjaga kelestarian
lingkungan dapat dilakukan oleh pemerintah melalui peraturan-peraturan dan juga
melalui pendidikan dengan merubah pola pikir dan karakter warganegara. Namun
baik melalui peraturan maupun pendidikan keduanya memiliki permasalahan yang
memunculkan dilema, untuk lebih jelas dapat dilihat tabel ilustrasi dilema
enviroment citizen yang di tulis oleh Dobson pada tabel 4 dibawah ini.
Tabel 4. Ilustrasi dilema Enviroment citizen

Di adobsi dari Dobson (2007: 283)
Dari tabel 1 dapat dilihat, terjadi dilema perlindungan lingkungan. Kebijakan dari
pemerintah seperti plastik berbayar dapat dengan cepat merubah prilaku, namun
memiliki kekurangan yakni tidak bertahan lama karena tidak di ikuti dengan
perubahan cara berfikir dan watak untuk menjaga lingkungan. Sedangkan jika
ingin mengubah suatu perilaku dengan melalui pendidikan akan menghasilkan
suatu perilaku yang mampu bertahan lama pada diri seseorang (Watak), namun kita
tidak akan melihat hasilnya dalam waktu yang singkat. Maka dari itu untuk
menjaga kelestarian lingkungan akan lebih baik jika suatu peraturan juga
dikombinasikan dengan pendidikan, dalam hal ini pendidikan kewarganegaraan
dengan pembekalan kompetensi kewarganegaraan (Knowledge, Skill, Dispotition)
yang baik . Dengan demikian maka dapat menghasilkan perubahan cara berfikir
mengenai lingkungan, perilaku dan watak warganegara.
Dalam mengkonfigurasikan kelestariaan lingkungan dalam pendidikan
kewarganegaraan terletak pada aspek karakter, yakni karakter perduli lingkungan

10

yang

mencegah

kerusakan

pada

lingkungan

alam

disekitarnya,

dan

mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah
terjadi (Dewi Gunawati, 2012). Untuk menumbuhkan karakter tersebut kita dapat
mengadopsi konsep karakter baik dari likcona (1991), yang dimulai dari
mengenalkanya

tentang

kebaikan serta

kewajiban warganegara

terhadap

lingkunganya (moral knowing), kemudian memberikan contoh-contoh prilaku, atau
dampak-dampak mengenai masalah negara dengan lingkungan agar siswa
menginginkan kebaikan dari menjaga lingkungan (moral feeling), dan memberikan
kesempatan untuk dapat melakukan suatu tindakan menjaga lingkungan (moral
action) sebagai bentuk kewajiban warganegara dengan lingkungan disekitarnya.
Selain itu dalam mengajarkan keperdulian lingkungan pendidikan
kewarganegaraan juga harus bekerjasama dengan komunitas lain, seperti
masyarakat. Cogan (1998: 157) menyebutkan “ Scholl cannot be the sole source of
citizenship education within their comunities or whitin largers societies”. Lebih
lanjut dijelaskan Cogan bahwa keluarga, agen sosial, institusi lembaga keagamaan,
dan masyarakat memiliki peran yang signifikan dalam membangun warganegara.
Dengan melibatkan komunitas diluar kelas seperti yang disebutkan cogan,
diharapkan ketika belajar pendidikan kewarganegaraan, siswa mampu menganalisis
dan mencari solusi dari isu dan problem-probelm yang di identifikasikan termasuk
problem mengani lingkungan.
Sekolah juga dapat menjadi model bagi siswa agar mampu melestarikan
lingkungan, Cogan (1998: 159) berpendapat “that schools fommally adopt and
abide by a code of enviromentally minded behavior including the careful use
watter, energy and other resourches, as well as appropriate waste disposal and
ricycling procedures”. Hal itu dirasa penting karena “student all ages must given
oportunity to examine in depth the great issues of our day which

will most

certainly impact the lives” (Cogan, 1998: 160). Jadi dengan bantuan sekolah dan
masyarakat siswa dapat mengetahui isu-isu yang terjadi di masyarakat sehingga
bisa menyelaraskan antara teori dan praktik yang dilakukan.
3. Simpulan
Dalam menjaga lingkungan pemeintah dapat mengambil peranya dengan
membuat suatu peraturan ataupun perundang-undangan, dengan membentuk peraturan
mengenai lingkungan hidup misalnya seperti plastik berbayar akan langsung dapat
melihat perubahan perilaku warga negara. Namun perubahan perilaku yang
perlihatkan warga negara ini tidak disertai dengan kesadaran dan perubahan pola pikir

11

akan kelestarian lingkungan, sehingga dimungkinkan perilaku yang di tunjukan hanya
bersifat sementara. Jika dikemudian hari warganegara menemukan celah pada
peraturan tersebut maka perilakunya juga akan berubah kembali, hal itu serupa dengan
apa yang di temukan oleh Andrew Dobson (2007) di Ingris. Untuk itu selain peraturan
juga diperlukan bentuk pendidikan yang mampu mendidik warga negara akan
kesadaran dan perilaku menjaga lingkungan, agar perilaku yang di tunjukan menjadi
sebuah watak yang sulit di hilangkan.

12

DAFTAR PUSTAKA

Center for Civic Education. (1994). National standards for civics and goverment.
Calabas.California: Center for Civic Education
Cholisin. (2004). “Konsolidasi Demokrasi Melalui Pengembangan
Kewarganegaraan,” Jurnal Civics, Vol. 1, No. 1, Juni, pp. 14-28

Karakter

Cholisin. (2005). Pengembangan Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan (Civic
Education) Dalam Praktek Pembelajaran Kurikulum Berbasis Kompetensi.
Disampaikan pada Training of Trainers (ToT) Nasional Guru Mata Pelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan yang diselenggarakan oleh Direktorat Pendidikan
Lanjutan Pertama (PLP) Dirjen Dikdasmen Depdiknas di Asrama Haji Surabaya
tanggal 3 – 17 Mei 2005 (Tahap I) dan tanggal 6 – 20 Mei (Tahap II).
Cogan, J.J. (1998). Citizenship Education for the 21st Century: Setting the Context.
Dalam J.J. Cogan & R. Derricot (Penyunting), Citizenship for the 21st Century:
An International Perspective on Education (hlm. 1-20). London: Kogan Page
Limited.
Curtin, Deane. (2002) Ecological citizenship dalam Isin, Engin F. dan Bryan S. Turner.
2002 Handbook of Citizenship Studies. London: Sage. Hal 293-305
Dewi Gunanti. (2012) . Meranap pembelajaran pendidikan lingkungan hidup dalam
konfigurasi pendidikan kewarganegaraan. PKn progresif, Vol. 7 No. 2 Desember
2012. halaman 140-151
Dobson. Andrew. (2007) Environmental Citizenship: Towards sustainable Development.
Sustainable Development. Volume 15, halaman 276–285
Doganay, Ahmed. (2012). A curriculum framework for active democratic citizenship
education. Dalam Print, Murray & Large, Dirk (2012). Schools Curriculum and
civic Education for Building Democratic citizens. Rotterdam: Sense Publisher
Ingga Suwandana. (2006). Penolakan amerika serikat terhadap protokol Kyoto Dan
implikasinya terhadap usaha internasional untuk Meminimalisir pemanasan
global. Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Jurusan Hunungan Internasional:
Universitas Pasundan.
Jimly Assidiqi, Green Constitution : Nuansa Hijau Dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, PT. Grafindo, Jakarta, 2009.
Kerr, D. (1999). “Citizenship education in the curriculum: An international review,” The
School Field. Vol. 10, Halaman 3-4
Lickona, T. (1991). Educating for character. New York: Bantam Books.
M. Syahri.(2013). Bentuk – Bentuk Partisipasi Warga Negara Dalam Pelestarian
Lingkungan Hidup Berdasarkan Konsep Green Moral Di Kabupaten Blitar.
Factum. Vol 13 No. 2 halaman 119-134

13

Patrick.J, John dan Vontz, S, Thomas (2001). “Componen of education for democratic
citizenship in the preparation of social teacher”. Dalam John J. Patrick dan Robert
S. Leming (eds). Principles and practices of democracy in the education of
social teacher, Blomington, in: ERIC Clearinghouse for social Studies/Social
Science Education, ERIC Clearinghouse for International Civic Education, and
Civitas. Hal 39-64

Pusat Kurikulum, 2010. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter
Bangsa. Jakarta: Pusat Kurikulum, Kemdikbud RI
Samsuri dkk (2012). Profil civic education di negara-negara Asia dan Afrika. Dalam
Udin. S. Winata Putra & Dasim Budimansyah (2012). Pendidikan
kewarganegaraan dalam perspektif internasional (konteks, teori, dan profil
pembelajaran). Bandung: Widya aksara Pers.
Samsuri. (2011). Kebijakan pendidikan kewarganegaraan era reformasi di indonesia.
Cakrawala Pendidikan, Juni 2011, Th. XXX, No. 2. Hal 267-279

Suharno, S. P., & Utomo, W. (2011). Politik rekognisi dalam peraturan daerah
tentang penyelesaian konflik di dalam masyarakat multikultural (Doctoral
dissertation, Universitas Gadjah Mada).
Siahaan. NHT (2004). Hukum lingkungan dan ekologi pembangunan. Jakarta: Erlangga
Surat Edaran Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor s.1230/pslb3-ps
/2016
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
Undang – Undang Dasar Indonesia Tahun 1945 pasal 28H ayat (1) tentang Hak Azasi
Manusia
Undang- Undang Dasar Indonesia Tahun 1945 Pasal 33 ayat (4) tentang pengelolaan
Sumber Daya Alam
http:// iwma.com/programs-events/Impact%20of%20Plastic.html Diakases pada tanggal
10 Mei 2016
http: //m. inilah. Com /news/ detail/ 2141276/ sinar- joyoboyo -optimistis -bisniskantung-plastik). Diakases pada tanggal 10 Mei 2016
http:// www. antaranews. com/berita/417287/produksi-sampah-plastik-indonesia-54-jutaton-per-tahun). Diakases pada tanggal 10 Mei 2016
http://www. beritasatu. com / ekonomi / 252625 - pemerintah - beri-insentif-bea-masukbahan-baku-industri-plastik.html). Diakases pada tanggal 10 Mei 2016

14