Sejarah Pemikiran Hisab Rukyat Dalam Isl

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Diskursus tentang hisab rukyah mendadak menjadi perhatian publik setiap kali
akan masuk bulan Ramadhan, Syawwal atau pun Dzulhijjah. Terlebih ketika terdengar
berita bahwa awal puasa, perayaan hari raya idul fitri atau idul adha yang diprediksi akan
terjadi perbedaan antara ormas di Indonesia. Seketika pembahasan tentang hisab rukyah
intens disiarkan lewat media massa, baik cetak maupun elektronik.
Perbedaan seputar awal bulan kamariah sebenarnya tidak hanya terjadi akhir-akhir
ini. Snouck Hurgronje mencatat bahwa perbedaan awal bulan kamariyah di Indonesia
bahkan telah terjadi pada masa kolonialisme. Dalam surat yang ia kirim untuk Gubernur
Jenderal Belanda disebutkan :
“Tak usah heran jika di negeri ini hampir setiap tahun timbul perbedaan tentang
awal dan akhir puasa. Bahkan terkadang perbedaan itu terjadi antara kampungkampung yang berdekatan.” (Ahmad Izzudin, 2007:43)
Padahal pada zaman Rasulullah SAW tidak pernah terjadi perbedaan awal bulan
kamariyah dalam satu wilayah negara. Di sinilah penulis menganggap penting membahas
historitas hisab rukyah, terutama yang berkaitan dengan penentuan awal bulan kamariah
yang terjadi pada zaman Rasulullah dibandingkan dengan kondisi yang terjadi sekarang.
B. Rumusan Masalah
Permasalahan yang diungkapkan dalam latar belakang di atas akan dibahas dalam
tulisan ini dengan rumusan sebagaimana berikut :

1. Bagaimana sejarah pemikiran hisab rukyat dalam penentuan awal bulan kamariah
di zaman Rasulullah?
2. Bagaimana dinamika pemikiran hisab rukyat dalam penentuan awal bulan
kamariah di zaman sekarang?

BAB II
A. Pemikiran Hisab Rukyat dalam Penentuan Awal Bulan Kamariah di Zaman
Rasulullah SAW
Rasulullah lahir pada tanggal 12 Rabi’ul Awal tahun gajah (Izzudin Ibnu
Atsir, 1997:416). Dalam kalender masehi, hal tersebut bertepatan dengan tanggal 5
Mei 570 M (T. Djamaluddin, 2005:122). Pada masa itu, ilmu pengetahuan dan
tekhnologi belum begitu maju. Teleskop optik masih belum ditemukan. Baru
kemudian ditemukan yakni pada abad 17 M (Moedji Raharto, 2003:1).
Dalam observasi benda langit, umat Islam belum mengenal optik atau alat-alat
canggih sekelas teleskop. Mereka melihat fenomena langit cukup dengan mata
telanjang. Dalam satu hadist disebutkan (Bukhori, 2001:281) :

َ ،‫زيَا ٍد‬
َ ‫ق‬
ُ ‫حدّثَنَا‬

‫ت أَبَا‬
ِ ‫س‬
ْ ‫م‬
َ ‫م‬
َ ،ُ‫عبَة‬
ْ ‫ش‬
َ ،‫م‬
َ
ُ َ‫حدّثَنَا آد‬
ُ ‫ع‬
َ :‫ال‬
ُ ْ ‫مد ُ ب‬
ّ ‫ح‬
ُ ‫حدّثَنَا‬
ِ ‫ن‬
َ :‫ول‬
ُ َ ‫ ي‬،‫ه‬
َ ‫ق‬
ُ ‫ق‬
:‫م‬

َ ‫ه‬
ُ
ِ ْ ‫ه عَلَي‬
ِ ‫ه َري ْ َرةَ َر‬
َ ‫و‬
َ ّ ‫سل‬
ُ ‫صلّى الل‬
ُ ْ ‫عن‬
ُ ّ ‫ي الل‬
َ ‫ي‬
َ ‫ه‬
ّ ِ ‫ال النّب‬
َ ‫ض‬
َ
َ
َ :‫ال‬
َ ‫و‬
َ ‫ق‬
َ ‫ق‬
‫موا‬

‫ال أَبُو‬
ِ ْ ‫ه عَلَي‬
ِ ‫الق‬
َ ‫و‬
ُ ‫صو‬
َ ّ ‫سل‬
ُ ‫صلّى الل‬
ُ « :‫م‬
َ ِ ‫اسم‬
َ ‫ه‬
ْ ‫أ‬
َ َ ‫غبي عَلَيكُم‬
َ ،‫ه‬
ْ َ ‫وأ‬
ْ ‫فطِ ُروا ل ِ ُر‬
ْ ‫ل ِ ُر‬
َ َ‫عدّة‬
‫ان‬
ِ ‫ملُوا‬
ِ ْ ‫فأك‬

ِ ِ ‫ؤيَت‬
ِ ِ ‫ؤيَت‬
َ َ ‫عب‬
ْ ِ ‫فإ‬
ْ ‫ش‬
ْ ْ
َ ‫ه‬
َ ّ ُ ‫ن‬
‫ين‬
َ ِ ‫«ثَلَث‬
Artinya :
Kita diceritai oleh Adam, kita diceritai oleh Syu’bah, kita diceritai oleh
Muhammad bin Ziyad, mengatakan bahwa saya mendengar Abu Hurairah
R.A. berkata, “Rasulullah SAW bersabda atau mengatakan bahwa ayahnya
Qasim SAW berkata, “Puasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah
kalian karena melihat hilal. Apabila kalian terhalang mendung, maka
sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi 30 hari.
Dalam hadist tersebut yang dimaksud dengan rukyah adalah melihat hilal dengan
mata telanjang (Susiknan Azhari, 2012:183). Karena memang pada waktu itu umat
Islam belum mengenal optik atau pun teleskop. Jadi, praktek rukyah yang

dilaksanakan pada zaman Nabi adalah rukyah dengan mata telanjang.
Dalam menentukan awal bulan kamariah, terutama Ramadhan dan Syawwal,
Nabi menentukannya langsung dengan rukyah hilal pada tanggal 29. Apabila hilal
terlihat, maka keesokan harinya sudah masuk bulan Ramadhann atau bulan Syawwal.

Namun bila hilal terhalang oleh mendung, maka jumlah bilangan bulan itu harus
digenapkan menjadi 30 hari terlebih dahulu.
Dalam kondisi seperti itu, Nabi menjumpai 9 kali bulan Ramadhan, yakni
mulai dari hari Ahad, 26 Februari 624 M sampai dengan Ahad, 1 Desember 631 M.
Dari 9 kali bulan Ramadhan tersebut, terjadi 6 kali bulan Ramadhan dengan umur 29
hari dan 3 kali dengan umur 30 hari (T. Djamaluddin, 2005:134). Lebih jelasnya bisa
diperhatikan tabel di bawah ini.
Tahun Hijriyah
2
3
4
5
6
7
8

9
10

Awal Ramadhan
Ahad, 26 Feb. 624
Kamis, 14 Feb. 625
Selasa, 4 Feb. 626
Ahad, 25 Jan. 627
Kamis, 14 Jan. 628
Senin, 2 Jan. 629
Jum’at, 22 Des. 629
Rabu, 12 Des. 630
Ahad, 1 Des. 631

Hari Puasa
29
29
29
29
30

30
30
29
29

Posisi hisab pada masa itu tidak dipakai sebagai metode penentuan awal bulan
Ramadhan atau pun Syawwal. Dalam suatu hadistnya disebutkan (Bukhori, 2001:27) :

َ
َ ‫ن‬
ُ ‫حدّثَنَا‬
‫ن‬
ِ ‫س‬
َ ،‫س‬
َ ،ُ‫عبَة‬
ْ ‫ش‬
َ ،‫م‬
َ
ُ َ‫حدّثَنَا آد‬
ُ ْ ‫عيدُ ب‬

َ ‫حدّثَنَا‬
ُ ْ ‫ود ُ ب‬
ْ ‫حدّثَنَا ال‬
َ ‫س‬
ٍ ْ ‫قي‬
َ
‫صلّى‬
َ ‫ه‬
ُ ‫ن‬
َ
ِ ‫م َر َر‬
ِ ‫س‬
َ ‫م‬
ُ ْ ‫عن‬
َ ْ ‫ع اب‬
َ ‫ه‬
َ ‫ه‬
ُ ّ ‫ي الل‬
َ ‫ع‬
ُ ّ ‫ أن‬،‫رو‬

ْ ‫ع‬
َ ‫ي‬
ّ ِ ‫َن النّب‬
َ ‫ض‬
ٍ ‫م‬
ِ ‫ ع‬،‫ما‬
ُ ٌ ‫ «إنّا أُم‬:‫ال‬
َ
َ ‫ه‬
َ ‫ق‬
،‫ب‬
ِ ْ ‫ه عَلَي‬
ُ ‫س‬
ْ َ ‫ول َ ن‬
ُ ُ ‫ ل َ نَكْت‬،ٌ‫ميّة‬
ُ ‫ح‬
َ ‫و‬
ّ ‫ةأ‬
ّ
ُ ّ ‫ أ ن‬،‫م‬

َ ّ ‫سل‬
ُ ‫الل‬
َ ‫ب‬
َ ‫ه‬
ِ
ْ ‫ع‬
ّ
‫ين‬
ً ‫ع‬
ِ ‫و‬
َ ‫و‬
َ ‫ه ُر‬
َ ‫س‬
ْ َ ‫هكَذَا» ي‬
َ ِ ‫م ّرةً ثَلَث‬
َ ‫ر‬
ْ ِ ‫م ّرةً ت‬
ْ ‫الش‬
َ ‫و‬
َ ‫عنِي‬
َ ،‫ين‬
َ ‫ة‬
َ ‫هكَذَا‬
ِ ‫ش‬
Artinya :
Kita diceritai Adam, kita diceritai Aswad bin Qais, kita diceritai Sa’id bin
‘Amr, bahwa ia mendengar Ibnu Umar RA dari Nabi SAW, beliau berkata :
Kita adalah ummat yang ummi, tidak bisa menulis dan menghitung. Bulan itu
seperti ini, yaitu terkadang 29 hari dan terkadang 30 hari.
Badrudin al-‘Aini menjelaskan bahwa yang dimaksud menghitung dalam hadist
tersebut adalah menghitung bintang-bintang dan pergerakannya. Orang Arab tidak
mengetahui masalah perhitungan ini kecuali hal-hal yang sederhana dan mudah. Maka
dari itu, Allah menggantungkan perintah puasa ini dengan rukyah agar umat islam
zaman dahulu tidak kesulitan untuk menentukan awal bulan kamariahnya (tt: 286)

B. Pemikiran Hisab Rukyat Di Zaman Sekarang
Seiring berkembangnya teknologi dan ilmu pengetahuan, pemikiran tentang
hisab rukyah pun juga turut berkembang. Rukyah yang dulu hanya memakai mata
telanjang, kini ada yang mengembangkannya dengan memakai teleskop (Susiknan
Azhari, 2007:117). Dan hisab yang dahulu diabaikan dalam penentuan awal bulan
Ramadhan maupun Syawwal kini ada golongan yang memakainya sebagai pedoman
penentuan awal bulan kamariah, dengan parameter wujud al-hilal atau yang sering
disebut hisab wujud al-hilal (Syamsul Anwar, 2012:27). Dari sini permasalahan pun
muncul. Yakni ketika hasil hisab wujud al-hilal sudah masuk bulan berikutnya tapi
dari hasil rukyat belum. Pada kondisi ini, perbedaan awal bulan kamariah akan terjadi.
Ini sebagaimana fenomena yang terjadi di Indonesia belakangan ini.
Dalam penentuan awal bulan Ramadhan, Syawwal atau pun Dzulhijjah di
Indonesia, setidaknya ada 3 kelompok yang menjadi sorotan, yaitu Pemerintah, ormas
Nahdhatul Ulama’ (NU) dan ormas Muhammadiyah. Dalam hal ini, pemerintah
memakai hisab imkanurrukyah, sedangkan NU memakai rukyah dan Muhammadiyah
memakai hisab wujudul hilal. Bagi pemerintah awal bulan bisa ditetapkan apabila
kondisi hilal mungkin untuk bisa dilihat atau memenuhi kriteria imkanurrukyah
MABIMS. Adapun bagi NU, awal bulan bisa ditetapkan jikalau hilal berhasil dilihat.
Sedangkan bagi Muhammadiyah, awal bulan sudah bisa ditetapkan meskipun belum
mungkin untuk bisa dilihat, namun sudah di atas ufuk.
Pada mulanya, NU-lah yang sering berbeda dengan pemerintah. Karena pada
waktu itu NU menerima begitu saja setiap adanya laporan melihat hilal, tanpa
mengkrosceknya dengan hasil hisab.Ini sebagaimana yang terjadi dalam penentuan
awal Syawwal 1412 H. Pemerintah menetapkan tanggal 1 Syawwal 1412 H jatuh
pada hari Ahad Wage tanggal 5 April 1992 M, sedangkan NU mengikhbarkan bahwa
tanggal 1 Syawwal 1412 H jatuh pada hari Sabtu Pon, tanggal 4 April 1992 M. Pada
penentuan 1 Syawwal 1413 H dan 1414 H pun juga begitu. Pada waktu itu, tinggi
bulan di Pos Observasi Bulan (POB) Pelabuhanratu, -2° 16’ 52”. Menteri Agama
atas nama Pemerintah RI melalui sidang isbat menetapakan 1 Syawal 1413 H., jatuh
Kamis Pon, 25 Maret 1993 M., atas dasar istikmal dan menolak laporan hasil rukyah
hilal dari Jawa Timur dan Cakung. Sedangkan NU mengikhbarkan bahwa 1 Syawal
1413 H., jatuh hari Rabu Paing, 24 Maret 1993 M. atas dasar adanya laporan rukyah

dari Jawa Timur dan Cakung. Sementara itu, Muhammadiyyah sejalan dengan
keputusan Pemerintah yaitu 1 Syawal 1413 H jatuh hari Kamis Pon, 25 Maret 1993 M
(Slamet Hambali, 2014:4).
Dan dalam penentuan 1 Syawwal 1414 H., tinggi Bulan pada saat itu di POB
Pelabuhan Ratu sebesar -1° 56’ 26”. Menteri Agama atas nama Pemerintah RI
melalui sidang isbat menetapakan 1 Syawal 1414 H., jatuh pada hari senin Pahing, 14
Maret 1994 M., atas dasar istikmal dan menolak laporan hasil rukyah hilal dari Jawa
Timur dan Cakung. Sedangkan NU mengikhbarkan bahwa 1 Syawwal 1414 H., jatuh
hari Ahad Legi, 13 Maret 1994 M. atas dasar adanya laporan rukyah dari Jawa Timur
dan Cakung. Dan sekali lagi, Muhammadiyyah sejalan dengan keputusan pemerintah
yaitu 1 Syawal 1414 H jatuh pada hari Senin Pahing, 14 Maret 1994 (Slamet Hambali,
2014:4).
Seiring berjalannya waktu, NU tampaknya tidak lagi sembarangan melihat
hasil rukyah. Tidak semua pengakuan melihat hilal diterima begitu saja. Ada
pertimbangan lain ketika memutuskan untuk menerima atau menolak hasil rukyah,
yakni dengan mempertimbangkan kriteria imkanur rukyah.1 Hal ini terlihat saat
penentuan awal Syawwal 1418 H./1998 M. Pada waktu itu, tinggi Hilal di POB
Pelabuhanratu sebesar 0° 13’ 14”. Menteri Agama atas nama Pemerintah RI melalui
sidang isbat menetapkan 1 Syawal 1418 H jatuh hari Jum’at Kliwon, 30 Januari 1998
M atas dasar istikmal dan menolak laporan hasil rukyah hilal dari Jawa Timur.
Dan PBNU pun mengikhbarkan bahwa 1 Syawal 1418 H jatuh pada hari
Jum’at Kliwon, 30 Januari 1998 M sama dengan keputusan pemerintah atas dasar
istikmal dan menolak kesaksian rukyah dari Jawa Timur dan Cakung karena
kesaksian tersebut dianggap belum memenuhi kriteria imkan rukyah dan dianggap
bertentangan dengan hisab yang mu’tabar dan telah mencapai tingkat mutawatir.
Sehingga pada tahun-tahun setelahnya NU cenderung bersamaan dengan pemerintah
dalam menetukan tanggal 1 bulan Ramadhan, Syawwal dan Dzulhijjah.

1

Kriteria imkanurrukyah yaitu kriteria kemungkinan hilal hisa dilihat (Muh. Nashirudin, 2013:132)

Sedangkan Muhammadiyah pada mulanya dari tahun 1992 M cenderung
bersamaan dengan pemerintah dalam menetapkan awal bulan Ramadhan, Syawwal
maupun Dzulhijjah. Terjadinya perbedaan antara Muhammadiyah dan Pemerintah
tercatat baru terjadi ketika penentuan awal bulan Syawwal 1418 H./1998 M. Menteri
Agama atas nama Pemerintah RI melalui sidang isbat menetapkan 1 Syawal 1418 H
jatuh pada hari Jum’at Kliwon, 30 Januari 1998 M. Sedangkan Muhammadiyyah
menetapkan 1 Syawal 1418 H. Jatuh pada hari Kamis Wage, 29 Januari 1998 M.
Terjadinya perbedaan ini karena Muhammadiyah memakai konsep hisab
wujudul hilal yang berarti bahwa bila hilal sudah berada di atas ufuk, terlepas dari
mungkin atau tidak untuk bisa dirukyat, dengan tegas ia menentukan bahwa keesokan
harinya adalah masuk bulan baru. Sedangkan pemerintah memakai konsep hisab
imkanurrukyah, yang berarti bahwa awal bulan bisa ditentukan ketika kondisi hilal
mungkin untuk bisa dilihat, tidak cukup hanya di atas ufuk. Dalam hal ini, MABIMS
(Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia dan Singapura) menetapkan bahwa
batas minimal hilal bisa dilihat yakni apabila ketinggian hilal minimal 2 derajat, sudut
elongasinya minimal 3 derajat dan umur hilal minimal 8 jam. Batas minimal ini
kemudian disebut sebaga kriteria imkanurrukyah MABIMS. Maka, apabila ketinggian
hilal hanya 1 derajat misalnya, maka menurut kriteria imkanurrukyah MABIMS, hilal
tidak mungkin untuk bisa dilihat. Dengan begitu pemerintah akan istikmal, yakni
menggenapkan bilangan bulan sebanyak 30 hari. Namun bila dilihat dengan
prespektif hisab wujudul hilal, maka keesokan harinya sudah masuk tanggal 1. Karena
hilal sudah di atas ufuk dengan ketinggian 1 derajat. Di sinilah pangkal terjadinya
perbedaan awal bulan kamariah antara Muhammadiyah dengan Pemerintah.

Perbedaan awal bulan kamariah antara Muhammadiyah dan Pemerintah tidak
hanya terjadi pada waktu itu. Fenomena itu terulang ketika penetapan awal bulan
Syawwal 1427 H./2006 M., 1428 H./2007 M, 1432 H./2011 M., Ramadhan 1433
H./2012 M., 1434 H./2013 M, 1435 H./2014 M., dan Dzulhijjah 1435 H/2014 M
(Slamet Hambali, 2014:4).

C. Analisis
Apabila ditelaah lebih lanjut, ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya

perbedaan dalam penentuan awal bulan kamariah di Indonesia.
Pertama, yaitu karena perbedaan pemahaman terhadap nash-nash yang berkaitan
dengan masalah ini.

Hadist perintah rukyah, bagi orang NU dipahami secara tekstual. Menurutnya, karena
objek rukyahnya berupa materi yang tampak, rukyah harus diartikan dengan
“melihat”. Namun tidak demikian dengan orang Muhammadiyah. Menurut Ahmad
Syafi’i Ma’arif melihat juga bisa dengan ilmu pengetahuan atau rukyah bil ‘ilmi
(Susiknan Azhari, 2007:136). Syamsul Anwar mengatakan bahwa perintah rukyat itu
didasarkan atas suatu kausa (illat) yaitu karena kondisi ummat Islam pada waktu itu
masih ummi. Karena illat dari hadist tersebut dirasa sudah hilang, maka berubah pula
hukumnya. Menurutnya, Hisab pun kini boleh dipakai dalam menentukan awal bulan
kamariah (2014:272).
Kedua, karena perbedaan metode penentuan awal bulan kamariah yang dipakai.
Rukyah yang dipakai oleh orang NU mengharuskan hilal penentu awal bulan
kamariah bisa dilihat, tidak cukup berada di atas ufuk. Namun tidak demikian dengan
hisab wujudul hilal. Baginya hilal sebagai penentu awal bulan kamariah tidak harus
bisa dilihat, namun cukup di atas ufuk. Di sinilah penulis menilai ada pemahaman
yang parsial dalam memahami tuntunan penentuan awal bulan kamariah. Ketika
perintah rukyah dilanjutkan dengan perintah ikmal (penyempurnaan bilangan bulan
menjadi 30 hari) atau iqdar (mengestimaksikan/memperkirakan), yang dikehendaki
dari iqdar (estimasi) sendiri adalah perkiraan bisa dilihatnya hilal pada kondisi
lazimnya (Muhammad Az-Zarqoni, 1936:154). Maka dari itu, pemahaman yang lebih
tepat dengan adanya susulan perintah iqdar adalah cenderung ke metode hisab
imkanurrukyah, bukan hisab wujudul hilal.
Ketiga, tidak adanya otoritas tunggal yang diakui dan diikuti oleh seluruh umat Islam
di Indonesia.
Pada masa Rasulullah SAW, beliau sendirilah yang menjadi pemimpin agama
sekaligus negara bagi semua umat Islam. Sehingga ketika ada suatu permasalahan
yang muncul, beliaulah satu-satunya tempat meminta pendapat atau fatwa. Dan tidak
ada satupun yang berani berbeda dengan fatwa yang dikeluarkan oleh Rasul.
Dalam hal penetapan awal bulan kamariah, apabila ada sahabat yang mengaku
melihat hilal dan berani disumpah maka Rasul memutuskan bahwa hari itu telah
masuk bulan Ramadhan atau Syawwal. Dan semua sahabat mengikutinya. (Susiknan
Azhari, 2007:133).

Namun, fenomena yang terjadi di Indonesia sangatlah berbeda. Kendati seluruh umat
Islam di Indonesia sepakat untuk menaati ulil amri, namun mereka mempunyai
pandangan sendiri terkait ulil amri. Bagi mereka ulil amri yang mereka ikuti bukanlah
pemerintah, melainkan ormas yang dipilihnya. Di sinilah kerumitan untuk
menyatukan perbedaan awal bulan kamariah di Indonesia.
Menurut hemat pebulis, meskipun pada awalnya terdapat perbedaan antara ormas,
namun ketika pemerintah sudah memberikan ketetapan, seharusnya ormas yang ada
juga harus mengikui ketetapan tersebut. Karena dalam suatu kaidah fiqih disebutkan :

‫حكم الحاكم اللام و يرفع الخلفا‬
“Keputusan pemerintah itu mengikat (wajib dipatuhi) dan menghilangkan silang
pendapat” (Kemenag, 2013:390)
KESIMPULAN
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa :
1. Pada zaman rasulullah, penentuan awal bulan kamariah hanya sebatas dengan rukyah
2. Seiring berkembangnya tekhnologi dan ilmu pengetahuan di kalangan umat Islam,
muncul pula metode baru dalamm menentukan awal bulan kamariah, yakni hisab.
Dari sini, muncul perbedaan awal bulan Ramadhan dan Syawwal di Indonesia.
3. Apabila ditelaah lebih lanjut, ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya
perbedaan awal bulan kamariah di Indonesia, yaitu :
a. Perbedaan pemahaman nash-nash yang berkaitan dengan masalah hisab rukyat
b. Perbedaan metode penentuan awal bulan kamariah yang dipakai
c. Tidak adanya otoritas tunggal yang diakui dan diikuti seluruh umat islma
Indonesia

DAFTAR PUSTAKA
Al-‘Aini, Badruddin, tt, ‘Umdatul Qari Syarhi Shohih al-Bukhori, Beirut: Daru Ihya’ Turast
Azhari, Susiknan, 2007, Hisab&Rukyat (Wacana untuk Membangun Kebersamaan di Tengah
Perbedaan), Yogyakarta:Pustaka Pelajar
Anwar, Syamsul, & Kawan-kawan, 2012, Hisab Bulan Kamariah (Tinjauan Syar’i tentang
Penetapan Awal Ramadhan, Syawwal dan Dzulhijjah), Yogyakarta : Suara Muhammadiyah
Anwar, Syamsul, 2014, Diskusi & Korespondensi Kalender Hijriah Global, Yogyakarta :
Suara Muhammadiyah
Azhari, Susiknan, 2012, Ensiklopedi Hisab Rukyat, Yogyakarta:Pustaka Pelajar
Az-Zarqoni, Muhammad, 1936 Syarh Az-Zarqoni ‘ala Muwatthoi al-Imam Malik, Beirut :
Darul Fikr
Bukhori, 2001, Shahih Bukhori, Damaskus:Daru Thouqi al-Najah
Djamaluddin, T., 2005, Menggagas Fiqih Astronomi, Bandung :Kaki Langit
Hambali, Slamet, 2014, “Kriteria Penampakan Hilal”, Makalah, International Confrence
dengan tema “Crescent Visibility: An Effort to Find an Objective Crescent Visibility
Criterion”, Semarang, 10 November
Izzudin, Ahmad , 2007, Fiqih Hisab Rukyah, Jakarta : Penerbit Erlangga
Ibnu Atsir, Izzzudin, 1997, Al-Kamil Fi Al-Tarikh, Lebanon:Beirut

Kementrian Agama, 2013, Ephemeris Hisab Rukyat, Jakarta : Direktorat urusan Agama Islam
dan Pembinaan Syariah Direktorat Jendral Bimbingan Islam Kementrian Agama RI
Nashirudin, Muh, 2013, Kalender Hijriyah Universal (Kajian atas Sistem dan Prospeknya di
Indonesia), Semarang : el-Wafa
Raharto, Moedji, 2003, “Teknologi Optik Sebagai Pembantu Penetapan Awal Bulan Hijriyah/
Kamariah,” Makalah, Seminar Hisab Rukyat Badan Litbang Agama dan Dklat Keagamaan
Departemen Agama RI, Jakarta, 20-22 Mei
+ Referensi,
Sulaiman Noordin, Sains Prespektif Islam, hal.25-38 (Islam dan Astronomi)