Konsep Negara Hukum Dalam Perspektif Epi

KONSEP NEGARA HUKUM DALAM PERSPEKTIF EPISTEMOLOGI

Arinto Nurcahyono
Abstrak
Perkembangan konsep negara hukum merupakan produk dari sejarah, sebab
rumusan atau pengertian negara hukum itu terus berkembang mengikuti
sejarah perkembangan umat manusia. Secara Epistemologis bagi penganut
positivis, negara hukum dimaknai sebagai negara yang menata seluruh
kehidupan didalamnya berdasarkan atas aturan-aturan hidup yang yang telah
dipositivkan secara formal sebagai undang-undang, yang oleh sebab itu
telah berkepastian sebagai satu-satunya hukum yang berlaku di suatu
wilayah negeri. Indonesia yang berlandaskan Pancasila hukum negara
bukanlah segala-galanya dan berada di atas manusia, melainkan sebagai
bagian perangkat kemanusiaan agar harkat dan martabatnya terjaga.
Key words: negara hukum, epistemologi, Pancasila
Pendahuluan
Cita-cita negara hukum Indonesia merupakan cita-cita yang terus hidup dalam hati masyarakat
Indonesia. Sebagai gagasan ia disambut dengan antusias dan dibahas dalam sidang-sidang rapat Persiapan
Kemerdekaan Indonesia pada tahun l945. Konstitusi dan praktek ketatanegaraan pada awal kemerdekaan
sampai tahun l957 mencerminkan dianutnya konsep negara hukum yang demokratis. Namun sesudah itu
ia tenggelam dalam arus ideologi patrimonialisme demokrasi Terpimpin. Rezim demokrasi Terpimpin

yang otoritarian itu berusaha mengubur habis gagasan dan konsep negara hukum, dengan memberikan
tafsir otoritarinistik UUD l945 sebagai dasar untuk mengabsahkan praktek ketatanegaraan yang
sesungguhnya menyimpangi konstitusi tersebut. Namun cita negara hukum yang demokratis itu tetap
hidup dalam hati dan pikiran para penentang demokrasi Terpimpin. Maka ketika rezim demokrasi
Terpimpin ambruk seketika itu pula para mahasiswa, intelektual, golongan profesi, dan masyarakat politik
Indonesia menggemakan kembali gagasan dan konsep negara hukum.
Gagasan dan konsep negara hukum melandasi tuntutan pelaksanaan UUD l945 secara murni dan
konsekuen yang disampaikan oleh berbagai aktor politik pada waktu itu. Dukungan masyarakat luas
terhadap rezim Orde Baru karena pada awalnya rezim ini menjanjikan pemulihan kehidupan negara
hukum yang demokratis sebagaimana difahami sebagai praktek ketatanegaraan yang sesuai dengan UUD
l945.
Pada awal Orde Baru kita saksikan penataan kembali fungsi-fungsi kekuasaan negara, seperti,
eksekutif, legislative, dan yudikatif yang pada era demokrasi terpimpin dicampur-adukan. Pada awal Orde
Baru itu pula dibangun sistem kekuasaan kehakiman yang otonom yang secara formal menutup intervensi

eksekutif ke badan yudikatif. Tak pula dapat disangkal penguasa baru pada saat itu bersikap toleran
terhadap kebebasan berekspresi, khususnya kebebasan pers.
Namun masa berkembangnya harapan bagi perwujudan konsep negara hukum yang demokratis
itu tidak berlangsung lama. Dengan segera setelah penguasa Orde Baru berhasil melalui tahap konsolidasi
kepentingan dan kekuasaannya kita menyaksikan berkembangnya suatu sistem politik yang mengarah

pada Otoritarianisme baru. Rezim Otoritarianisme baru ini tidak mendasarkan legitimasinya pada idea
populis dan ideologi patrimonialisme seperti pendahulunya, tetapi mendasarkan legitimasinya pada
ideologi pembangunanisme, integralisme yang mengabsahkan tafsir Otoritarianistik atas UUD l945.
Dengan begitu gagasan negara hukum yang demokratis yang semula, yaitu yang diperdebatkan dan
disepakati oleh para pendiri bangsa dikesampingkan.
Maka ketika Soeharto sebagai pemimpin rezim Orde Baru jatuh dengan segera Presiden BJ.
Habibie dan jajaran kekuasaannya merespon tuntutan politik yang sudah lama dikemukakan para
mahasiswa, intelektual, golongan profesional, yaitu merombak tatanan politik Otoritarian Orde Baru dan
kemudian membangun suatu tatanan politik yang memastikan ditegakkanya negara hukum yang
demokratis. Respon dari pemerintah Habibie terhadap tuntutan politik itu tidak bersifat serentak dan serta
merta tetapi bersifat gradual.
Dimulai dengan membuka peluang bagi tiga kebebasan dasar yang sangat vital bagi
pembangunan demokrasi, yaitu kebebasan berekspresi, kebebasan berkumpul, dan kebebasan
berorganisasi. Pembukaan tiga kebebasan dasar ini mrerupakan langkah awal untuk memulihkan
kedaulatan rakyat yang sudah begitu lama dilumpuhkan. Dengan adanya tiga kebebasan dasar itu rakyat
tidak saja dapat mengekspresikan pendapat dan perasaannya. Tapi juga rakyat dapat berkumpul dan
membangun organisasi guna memperjuangkan kepentingannya bersama. Pada tahapan ini kita
menyaksikan berkembang tumbuhnya berbagai organisasi rakyat dan partai-partai politik baru.
Dalam tahapan berikutnya reformasi sistem pemilihan umum dan badan-badan perwakilan rakyat,
yang diikuti dengan penyelenggaraan pemilihan umum yang bebas dan demokratis.Sejak itu rakyat

Indonesia memasuki era kebebasan politik ( political freedom ) yang terus kita nikmati hingga hari ini.
Negara Hukum Indonesia jelas bukan sekedar kerangka bangunan formal tapi lebih daripada itu
ia memiliki landasan filososfis dan itu merupakan manifestasi dari nilai-nilai dan norma-norma , seperti,
kebersamaan, kesetaraan, keseimbangan, keadilan yang sepakat dianut bangsa Indonesia. Nilai-nilai luhur
itu berasal dari berbagai sumber seperti, agama, budaya, dan berbagai ajaran filsafat social, serta
pengalaman hidup bangsa Indonesia. Kalau begitu masalah yang dihadapi Negara Hukum Indonesia
(NHI) bukan pada ketiadaan nilai dan norma yang disepakati bersama yang mendasari eksistensi NHI
tersebut. Tapi masalahnya terletak pada belum terwujudnya tata hubungan kekuasaan yang simetris dan
adanya elemen-elemen kultural yang menghambat perwujudan NHI itu.

Ada pertanyaan yang perlu diajukan secara mendasar, dan sekaligus dijadikan perumusan
masalah dalam tulisan ini. Bagaimanakah landasan epistemologi dari negara hukum itu sendiri. Pelacakan
yang akan dilakukan menyangkut dua hal yakni pada landasan pemikiran kaum positivistik dan yang
terakhir adalah landasan dasar negara Indonesia yakni Pancasila.
Pembahasan
1. Konsep Negara Hukum
Perkembangan konsep negara hukum merupakan produk dari sejarah, sebab rumusan atau
pengertian negara hukum itu terus berkembang mengikuti sejarah perkembangan umat manusia. Karena
itu dalam rangka memahami secara tepat dan benar konsep negara hukum, perlu terlebih dahulu diketahui
gambaran sejarah perkembangan pemikiran politik dan hukum, yang mendorong lahir dan

berkembangnya konsepsi negara hukum1. Selain itu Pemikiran tentang Negara Hukum sebenarnya sudah
sangat tua, jauh lebih tua dari dari usia Ilmu Negara ataupun Ilmu Kenegaraan itu sendiri2 dan pemikiran
tentang Negara Hukum merupakan gagasan modern yang multi-perspektif dan selalu aktual3. Ditinjau
dari perspektif historis perkembangan pemikiran filsafat hukum dan kenegaraan gagasan mengenai
Negara Hukum sudah berkembang semenjak 1800 S.M4. Akar terjauh mengenai perkembangan awal
pemikiran Negara Hukum adalah pada masa Yunani kuno. Menurut Jimly Asshiddiqie gagasan
kedaulatan rakyat tumbuh dan berkembang dari tradisi Romawi, sedangkan tradisi Yunani kuno menjadi
sumber dari gagasan kedaulatan hukum5.
Pada masa Yunani kuno pemikiran tentang Negara Hukum dikembangkan oleh para filusuf besar
Yunani Kuno seperti Plato6 (429-347 s.M) dan Aristoteles(384-322 s.M). Dalam bukunya Politikos yang
dihasilkan dalam penghujung hidupnya, Plato (429-347 s.M) menguraikan bentuk-bentuk pemerintahan
yang mungkin dijalankan. Pada dasarnya, ada dua macam pemerintahan yang dapat diselenggarakan;
pemerintahan yang dibentuk melalui jalan hukum, dan pemerintahan yang terbentuk tidak melalui jalan
hukum7.

1

S.F. Marbun, Negara Hukum dan Kekuasaan Kehakiman, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, No. 9 Vol 4 – 1997, hlm.
9.
2

Sobirin Malian, Gagasan Perlunya Konstitusi Baru Pengganti UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta, 2001,
hlm.25.
3
A. Ahsin Thohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, Elsam, 2004, hlm. 48.
4
Lihat J.J. von Schmid, Pemikiran Tentang Negara dan Hukum, Pembangunan, Jakarta, 1988, hlm. 7.
5
Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, Ichtiar Baru
van Hoeve, Jakarta, 1994, hlm.11.
6
Plato (429-347 s.M) adalah murid Socrates (469-399 s.M), ia dilahirkan pada tanggal 29 Mei 429 s.M di Athena.
Plato banyak menghasilkan karya dalam bidang Filsafat, Politik dan Hukum. Diantar karyanya yang termasyur
adalah Politea (tentang negara), Politicos (tentang Ahli Negara) dan Nomoi (tentang UU).
7
Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Hukum; Problemtika Ketertiban yang Adil, Grasindo, Jakarta, 2004, hlm.3637.

Konsep Negara Hukum menurut Aristoteles (384-322 s.M) adalah negara yang berdiri diatas
hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya
kebahagian hidup untuk warga negaranya, dan sebagai dasar dari pada keadilan itu perlu diajarkan rasa
susila kepada setiap manusia agar ia menjadsi warga negara yang baik. Dan bagi Aristoteles (384-322

s.M) yang memerintah dalam negara bukanlah manusia sebenarnya, melainkan fikiran yang adil,
sedangkan penguasa sebenarnya hanya pemegang hukum dan keseimbangan saja8
Ide Negara Hukum, selain terkait dengan konsep ‘rechtsstaat’ dan ‘the rule of law’, juga
berkaitan dengan konsep ‘nomocracy’ yang berasal dari perkataan ‘nomos’ dan ‘cratos’. Perkataan
nomokrasi itu dapat dibandingkan dengan ‘demos’ dan ‘cratos’ atau ‘kratien’ dalam demokrasi. ‘Nomos’
berarti norma, sedangkan ‘cratos’ adalah kekuasaan. Yang dibayangkan sebagai factor penentu dalam
penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum. Karena itu, istilah nomokrasi itu berkaitan erat
dengan ide kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi. Dalam istilah Inggeris
yang dikembangkan oleh A.V. Dicey, hal itu dapat dikaitkan dengan prinsip “rule of law” yang
berkembang di Amerika Serikat menjadi jargon “the Rule of Law, and not of Man”. Yang sesungguhnya
dianggap sebagai pemimpin adalah hukum itu sendiri, bukan orang. Dalam buku Plato berjudul “Nomoi”
yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris dengan judul “The Laws”, jelas tergambar
bagaimana ide nomokrasi itu sesungguhnya telah sejak lama dikembangkan dari zaman Yunani Kuno9.
Pada perkembangan berikutnya menurut Jimly Asshiddiqie10

pada zaman modern, konsep

Negara Hukum di Eropah Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband,
Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu “rechtsstaat’. Sedangkan
dalam tradisi Anglo Amerika, konsep Negara hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey dengan

sebutan “The Rule of Law”. Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah
‘rechtsstaat’ itu mencakup empat elemen penting, yaitu:
1. Perlindungan hak asasi manusia.
2. Pembagian kekuasaan.
3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang.
4. Peradilan tata usaha Negara.

8

Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, PSHTN FH UI dan Sinar Bakti,
1988, hlm. 153.
9

Jimly Asshiddiqie, Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporerm, Orasi
HukumFakultas Hukum Universitas Sriwijaya Palembang, 23 Maret 2004
10

Ibid.

ilmiah Pada Wisuda Sarjana


Sedangkan A.V. Dicey dalam bukunya The Law of the Constitution (1885)11menguraikan adanya tiga
ciri penting dalam setiap Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah “The Rule of Law”, yaitu:
1. Supremacy of Law.
2. Equality before the law.
3. Due Process of Law.
Keempat prinsip ‘rechtsstaat’ yang dikembangkan oleh Julius Stahl tersebut di atas pada
pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga prinsip ‘Rule of Law’ yang dikembangkan oleh A.V. Dicey
untuk menandai ciri-ciri Negara Hukum modern di zaman sekarang. Bahkan, oleh “The International
Commission of Jurist”, prinsip-prinsip Negara Hukum itu ditambah lagi dengan prinsip peradilan bebas
dan tidak memihak (independence and impartiality of judiciary) yang di zaman sekarang makin dirasakan
mutlak diperlukan dalam setiap negara demokrasi. Prinsip-prinsip yang dianggap ciri penting Negara
Hukum menurut “The International Commission of Jurists” itu adalah:
1. Negara harus tunduk pada hukum.
2. Pemerintah menghormati hak-hak individu.
3. Peradilan yang bebas dan tidak memihak.
Profesor Utrecht membedakan antara Negara hukum formil atau Negara hukum klasik, dan
negara hukum materiel atau Negara hukum modern12. Negara hukum formil menyangkut pengertian
hukum yang bersifat formil dan sempit, yaitu dalam arti peraturan perundang-undangan tertulis.
Sedangkan yang kedua, yaitu Negara Hukum Materiel yang lebih mutakhir mencakup pula pengertian

keadilan di dalamnya. Karena itu, Wolfgang Friedman dalam bukunya ‘Law in a Changing Society’
membedakan antara ‘rule of law’ dalam arti formil yaitu dalam arti ‘organized public power’, dan ‘rule of
law’ dalam arti materiel yaitu ‘the rule of just law’.
2. Sekilas Mengenai Pengertian Epistemologi
Cabang ilmu filsafat yang secara khusus menggeluti pertanyaan - pertanyaan yang bersifat
menyeluruh dan mendasar tentang pengetahuan disebut epistemologi. Istilah “epistemologi” sendiri
berasal dari kata Yunani episteme = pengetahuan dan logos = perkataan, pikiran, ilmu. Kata
“episteme”dalam bahasan Yunani berasal dari katra kerja epistamai, artinya mendudukan , menempatkan,
atau meletakkan. Maka secara harafiah episteme berarti pengetahuan sebagai upaya intelektual untuk
“menempatkan sesuatu dalam kedudukan setepatnya” 13.

11

Martin Loughlin, “Albert Venn (1835-1922)”, Routledge Encyclopedia of Philosophy, Version 1.0, London:
Routledge.Lihat Albert Venn Dicey, Introduction to the Study of the Law of the Constitution (London: Macmillan,
1915), hal. 110-115.
12

13


Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Ichtiar, Jakarta, 1962, hal. 9.
A.M.W. Pranaka, Epistemologi Dasar, Suatu Pengantar, Jakarta CSIS, 1987 hlm. 3-5.

Epistemologi bermaksud mengkaji dan menemukan ciri-ciri umum dan hakiki dari pengetahuan
manusia. Bagaimana pengetahuan itu pada dasarnya diperoleh dan diuji kebenarannya? Manakah ruang
lingkup atau batas-batas kemampuan manusia untuk menghetahui? Epistemologi juga bermaksud secara
kritis mengkaji pengandaian-pengandaian dan syarat-syarat logis yang mendasari dimungkinkannya
pengetahuan serta memberi pertanggungjawaban rasional terhadap klaim kebenaran dan objektivitasnya.
Pertanyaan pokok “bagaimana saya tahu bahwa saya dapat tahu?” mau dicoba untuk dijawab secara
seksama14.
Epistemologi atau fildafat pengetahuan pada dasarnya juga merupakan suatu upaya rasional untuk
menimbang dan menentukan nilai kognitif pengalaman manusia dalam

interaksinya

dengan diri,

lingkungan sosial, dan alam sekitarnya. Maka epistemologi adlaah suatu disiplin ilmu bersifat evaluatif,
normatif, an kritis. Evaluasi berarti menilai, ia menilai apakah suatu keyakinan, sikap, pernyataan
pendapat, teori pengetahuan dapat dibenarkan, dijamin kebenarannya, atau memiliki dasar yang dapat

dipetanggungjawabkan secara nalar. Normatif berarti menentukan norma atau tolak ukur, dalam hal ini
tolak ukr kenalaran bagi kebenaran pengetahuan.
3. Tinjauan Epistemologis Konsep Negara Hukum
a. Kacamata Positivisme Hukum
Positivisme sesungguhnya muncul sebagai anak kandung dari empirisme; aliran pemikiran yang
berkembang terutama di Inggris yang kemudian menjadi basis filosofis bagi Francis Bacon untuk
merumuskan cara kerja ilmu pengetahuan.
Mendapat inspirasi dari empirisme filosofis, para pemikir hukum abad ke-19 berusaha
menjadikan hukum sebagai produk ilmiah. Tekanan yang kuat pada fakta sebagai satu-satunya basis
pembenaran atau pertanggungjawaban inilah yang melahirkan positivisme hukum. Ini berarti, hukum
hanya dapat diterima apabila ilmiah. Hukum adalah karya ilmiah. Untuk itu hukum harus mendapatkan
pembenarannya dan didukung sepenuhnya oleh fakta empiris.
Tekanan pada dimensi ilmiah hukum ini, sebagaimana dijelaskan H.L.A Hart, justru makin
memperkuat makna “hukum positif” yang paling tidak sudah sejak awal abad ke-14 digunakan terutama
untuk menekankan watak hukum sebagai ciptaan manusia dan sekaligus mempertentangkannya dengan
konsep hukum kodrat. Dengan demikian, istilah hukum positif yang lazim digunakan dalam konsep
hukum digunakan untuk menekankan dua sifat dasar dari hukum: (1) hukum adalah karya atau ciptaan
manusia; dan (2) hukum dibangun diatas basis ilmiah15
Bagi para legis dari kaum positivis berpendapat bahwa yang namanya hukum itu tak lain daripada
apa yang didefinisikan sebagai norma-norma keadilan (ius) yang telah dibentuk (constitutum, constituted)
14
15

J. Sudarminta, Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan, Kanisius, Yogyakarta, 2003, hlm. 18.
Andre Ata Ujan, Filsafat Hukum : Membangun Hukum, Membela Keadilan, Kanisius, Yogyakarta, 2009, hlm. 66

menjadi aturan hidup oleh suatu badan legislatif melalui pelbagai prosedur yang formal, dan yang
kemudian diumumkan (diundangkan) sebagai hukum yang berlaku secara pasti (dipositifiskan) dalam
suatu wilayah negara tertentu, yang oleh karena itu pula mengikat seluruh warga negara tanpa kecuali.
Itulah hukum positif, yang juga disebut hukum undang-undang (lege, lex, ius constantium) yang oleh
sebab sifatr prosedurnya juga disebut hukum formal., yang kemudian sering disebut hukum negara,
diundangkan sebagai produk legislatif.
Berangkat dari pemahaman hukum dari positifistik ini, Soetandyo Wigjosoebroto memberikan
pendefinisian rechstaat (negara hukum) dalam kacamata positivis sebagai
“Negara yang menata seluruh kehidupan didalamnya berdasarkan atas aturan-aturan
hidup yang yang telah dipositivkan secara formal sebagai undang-undang, yang oleh
sebab itu telah berkepastian sebagai satu-satunya hukum yang berlaku di suatu wilayah
negeri”16.
Bertolak dari dari definisi negara hukum dalam perpektif kaum positivis tak pelak lagi doktrin
supremasi hukum akan terbataskan sebagai supremsi undang-undang. Maka secara epistemologi hukum
itu dikatakan mengandung kebenaran jika merujuk pada undang-undang. Artinya pengetahuan tentang isi
undang-undang dan tentang bagaimana menangkap makna-maknanya, lalu menjadi penting bagi
seseorang yang hendak melibatkan diri dalam percaturan hukum secara benar dan memenangkan suatu
perkara hukum dengan cara yang akan dianggap benar.
Gelombang kritik terhadap positivisme hukum dengan luar biasa pada dekade 60-an dan 70-an.
Maraknya gerakan sosial pada kedua dekade tersebut menjadi lahan tumbuh yang subur bagi kritik
tersebut. Pada dua dekade ini, setelah melalui zaman kelesuan ekonomi akibat perang dunia I dan II,
Eropa daratan dan Amerika Serikat, tumbuh menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi yang
mengesankan. Amerika Serikat bahkan disimpulkan sudah menjadi sebuah masyarakat yang makmur
(affluent society). Namun, kemajuan yang membawa kemakmuran ini dianggap justru menjerumuskan
manusia ke dalam dehumanisasi. Kemajuan hanya diukur dari aspek materi. Manusia hanya sekedar
mesin pencetak uang dengan harus kehilangan hati nurani dan hubungan-hubungan emosional7.
Kapitalisme dan modernitas yang didukung oleh ilmu-ilmu sosial yang berbau positivistik, dituduh
sebagai biang keladi dari kemerosotan ini.
Ilmu hukum yang berkiblat pada filsafat positivisme juga dianggap memberikan sumbangsih pada
kemerosotan ini. Tidak berdayanya rejim hukum positif untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial
kala itu ditengarai disebabkan oleh 2 faktor, yakni: Pertama, bangunan sistem hukum beserta doktrindoktrin yang menopangnya memang tidak memungkinkan hukum melakukan perubahan sosial atau
16

Soetandyo Wigjosoebroto “Doktrin Apakah Sesungguhnya Yang terkandung Dalam Istilah Negara Hukum?”
Dalam Ifdal Kasim (ed), Hukum Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, ELSAM dan HUMA, Jakarta,
2002 hlm. 474.

menghadirkan keadilan substantif. Kondisi ini disebabkan oleh faktor Kedua yakni tercemarnya institusiinstitusi hukum karena bekerja sebagai alat kekuasaan sehingga menyebabkan sulitnya menghadirkan
tertib hukum seperti yang dijanjikan oleh penganjur positivisme hukum. Situasi-situasi tersebut dianggap
tidak terlepas dari watak dogmatika hukum (legal dogmatics) yang menjauhkan diri dari sentuhan aspekaspek sosial.
Ketidakberdayaan rejim hukum positif beserta doktrin pendukungnya, akhirnya mengundang
celaan bahkan pendapat yang bernada sindiran. Ada yang mengajukan pernyataan retorik berikut ini:
apakah hukum sudah mati? Selain, itu sejumlah teori atau doktrin penting dalam aliran positivisme
hukum terus dipertanyakan. Doktrin rule of law terbilang paling banyak dipertanyakan. Pada akhirnya,
situasi obyektif ini menyebabkan bangkitnya kerinduan untuk menggunakan sentuhan pendekatan ilmu
sosial dalam menjelaskan penomena hukum. Tulis Nonet&Selznick:
“Masa dua puluh tahun terakhir ini menjadi bangkitnya kembali ketertarikan pada
persoalan-persoalan dalam institusi-institusi hukum, yaitu bagaimana institusi-institusi
hukum bekerja, berbagai kekuatan yang mempengaruhinya, serta berbagai keterbatasan
dan kemampuannya”17.
Masih menurut Nonet dan Selznick, masalah-masalah hukum yang muncul ketika itu membuat
komunitas politik menjadi terpojok. Tertib hukum dipaksa untuk menanggung beban baru, ditagih untuk
menemukan solusi yang paling tepat dan diminta untuk mengkaji ulang gagasan-gagasan dasarnya. Saat
ilmu hukum kepayahan menghadapi semua itu, kajian tentang hukum dan masyarakat (law and society),
sekonyong konyong tampil sebagai topik yang sangat penting. Bersamaan dengan itu, disiplin hukum
kembali diperkaya dengan penjelasan-penjelasan ilmu sosial. Kecakapan kajian hukum dan masyarakat
dalam mendeskripsikan penyebab dari masalah-masalah yang tengah berlangsung, memang menjadi daya
pikat tersendiri karena dogmatika hukum tidak bisa melakukannya.
b. Negara Hukum dalam Perspektif Pancasila
Kelahiran Indonesia sebagai Negara hukum tidak melalui proses pergulatan sistem sosial seperti
yang terjadi di Eropa. Indonesia menjadi Negara hukum karena “dipaksa” melalu pencangkokan
(transplantasi) hukum oleh Belanda. Pemaksaan ini dilakukan tanpa melalu proses musyawarah ataupun
menunggu keambrukan suatu sistem sosial Indonesia. Proses kelahiran Negara hukum Indonesia
tergolong instan, cepat, melalui sebuah lompatan sistem sosial dari tradisional dan feodalisme langsung
ke negara hukum. Substansi Negara hukum pada masa penjajahan menjadi sangat kompleks, yaitu
berlaku dualisme hukum (hukum Barat dan hukum adat) pada wilayah yang sama dan dalam waktu
17

Ucapan ini disampaikan oleh Philippe Nonet& Philip Selznick dalam buku mereka yang diterbitkan pada tahun
1978. Dengan demikian, masa dua puluh tahun yang mereka maksudkan adalah periode ketika di Amerika Serikat
dan Eropa sedang berkembang pemikiran kiri baru. Mengenai ucapan Nonet&Selznick, silahkan baca dalam karya
mereka yang telah dialibahasakan ke dalam Bahasa Indonesia, “Hukum Responsif Pilihan di Masa Transisi”,
Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMA), Jakarta, 2003, hlm. 1.

bersamaan pula. Lebih kompleks lagi bahwa hukum adat sendiri bersifat kedaerahan, komunalistik,
religius, sehingga terdapat pluralisme hukum di Indonesia pada waktu itu18.
Terkait dengan perbedaan-perbedan yang cukup tajam antara Negara hukum dan Rechtstaat,
maka kesepakatan mengenai aturan main dalam menjalankan sistem pemerintahan Negara pun menjadi
berbeda pula. Pada rechtstaat terdapat prinsip bahwa penyelenggaraan pemerintahan Negara harus
didasarkan pada rule of law. Artinya, hukum negara ditempatkan sebagai pengendali utama dalam
penyelenggaraan pemerintahan Negara. Puncak dari hukum negara adalah konstitusi. Jadi ada supremasi
hukum. Rechtstaat harus konstitusional. Siapapun orang yang memegang pemerintahan Negara, tidak
boleh memerintah kecuali atas dasar hukum negara. Prinsip ini digunakan secara tegas dan ketat, agar
selera seseorang pemimpin tidak mencemari penyelenggaraan pemerintahan Negara sehingga menjurus
menjadi negara kekuasaan (machtstaat).
Negara Hukum dalam Undang-undang Dasar 1945 (sebelum amandemen) terdapat pada
Penjelasan Umum UUD 1945, Bab Sistem Pemerintahan Negara, Indonesia ialah negara yang berdasar
atas hukum (Rechtsstaat). Negara Indonesia berdasar atas hukum (Rechtsstaat), tidak berdasarkan
kekuasaan belaka (Machtsstaat). Pasca Perubahan UUD 1945 terdapat padaPasal 1 ayat (3) UUD 1945:
Negara Indonesia adalah negara hukum (Perubahan Ketiga).
Negara hukum Indonesia menurut Sudjito Bin Atmoredjo19 dapat digambarkan sebagai berikut :
PANCASILA

HUKUM NASIONAL

TUJUAN NEGARA

Negara hukum Indonesia seperti tergambar di atas jelas bukan rechtstaat sebagaimana konsep
aslinya. Rule of law yang khas bagi rechtstaat, tidak mudah berlaku di Indonesia. Kehidupan bernegara
hukum tidak serta merta menjadi tuntas karena hukum negara sudah dijalankan secara konsisten. Hukum
Negara masih perlu terus dikritisi, karena sering cacat ideologi, sehingga sarat dengan nilai-nilai dan
kepentingan ideologi asing. Kalaupun hukum negara sudah bagus, hukum negara harus berinteraksi
18

Sudjito Bin Atmoredjo, Negara Hukum Dalam Perspektif Pancasila, Makalah untuk Kongres Pancasila,
Kerjasama Mahkamah Konstitusi RI dan Gadjah Mada, tanggal 30, 31 dan 1 Juni 2009 di Balai Senat UGM,
Yogyakarta
19
Ibid.

dengan jenis hukum-hukum lain. Dalam interaksi tersebut ada berbagai kemungkinan kejadian. Mungkin
hukum negara mendominasi hukum adat maupun hukum internasional. Bisa pula hukum adat justru
ditempatkan lebih utama dari negara dan hukum internasional. Tak tertutup kemungkinan, justru hukum
negara dan hukum adat dihegemoni oleh hukum internasional20.
Ada pelaksanaan hukum yang mekanis-linier, tetapi ada pula pelaksanaan hukum yang sangat
personal dan kontekstual. Pendek kata, teramat sulit dirumuskan aturan main dalam kehidupan bernegara
hukum yang pasti, final, universal untuk sembarang tempat dan waktu. Keberlakuan aturan main
senantiasa tunduk kepada berbagai faktor dominan di sekitarnya, seperti: faktor politik, budaya, ekonomi,
keamanan dan sebagainya. Dihadapkan pada faktor-faktor dominan di luar hukum tersebut, supremasi
hukum negara bisa hilang dan digantikan supremasi politik, ekonomi atau yang lain. Proses bernegara
hukum, sepintas akan tampak seolah menjadi kacau (chaos).
Namun demikian, apabila proses bernegara hukum tersebut diikuti dan dilihat secara utuh (sejak
Pancasila, hukum nasional sampai dengan tujuan negara) justru akan tampak bahwa pluralisme hukum
mampu menghadirkan ketertiban dan keteraturan dalam skala yang lebih besar. Hal demikian terjadi
karena menjalankan negara hukum bukanlah sekedar sebagai rutinitas menjalankan hukum negara,
melainkan kebersamaan mewujudkan kehidupan yang lebih baik, didukung komitmen, dedikasi, empati
serta perilaku inovatif dan kreatif untuk saling memberi dan melengkapi, antara hukum negara, hukum
adat maupun hukum internasional. Oleh sebab itu dalam bernegara hukum diperlukan modifikasi dan
dinamisasi rule of law, dan bukan memperbanyak kuantitas hukum negara. Secara empiris telah terbukti
ketika produksi Undang-undang melimpah, maka kehidupan justru tidak semakin nyaman tetapi semakin
menyesakkan. Jadi, bernegara hukum tidak dapat diukur dari kuantitas peraturan perundang-undangan,
melainkan diukur dari kualitas hukum yang fasilitatif dan akomodatif terhadap kebutuhan bangsa.
Lebih

lanjutSudjitomenandaskan

bahwa

Rechtstaat

dalam

keotentikannya

senantiasa

mempersyaratkan adanya perilaku warga negara dan penyelenggara negara yang rasional, impersonal dan
sekuler. Hukum negara dijalankan sebagai institusi yang otonom bagi semua pihak, tanpa pandang bulu
dan di atas semua jenis hukum. Dikenal adanya unifikasi hukum, bahwa satu hukum negara (Undangundang misalnya) berlaku secara nasonal bagi semua warga negara. Pelaksanaan hukum berpegang pada
prinsip rule and logic. Azas legalitas ditegakkan, bahwa tiada suatu perbuatan dapat dikenai sanksi
hukum kecuali sudah ada aturan tertulis yang jelas dan mengikat. Muncul pula kredo equality before the
law. Ada pula semboyan “hukum harus tegak walaupun langit runtuh”. Tidak dikenal pembedaan

20

Ibid.

keadilan formal dan keadilan substansial, melainkan telah dipandang adil apabila hukum negara telah
dijalankan secara konsisten. Inilah ciri-ciri perilaku dan hukum pada negara modern (rechtstaat)21.
Pada akhirnya tandas Sudjito, kehidupan bangsa Indonesia tidak mungkin dipaksa masuk secara
utuh kedalam sistem sosial yang serba rasional, impersonal dan sekuler tersebut. Kita telah akrab dengan
sistem sosial bersifat kolektif, personal, dan religius. Tidak ada kata mutlak atau absolut dalam kehidupan
bersama, kecuali keseimbangan, keselarasan, harmonis. Hukum negara bukanlah segala-galanya dan
berada di atas manusia, melainkan sebagai bagian perangkat kemanusiaan agar harkat dan martabatnya
terjaga.

Simpulan
Negara hukum modern di Indonesia diterima dan dijalankan sebagai suatu institusi baru yang
didatangkan atau dipaksakan (impose) dari luar. Pandasaran pengetahuan (epistemologi) bermula
empirisme; aliran pemikiran yang berkembang terutama di Inggris yang kemudian menjadi basis filosofis
bagi Francis Bacon untuk merumuskan cara kerja ilmu pengetahuan.
Padahal secara jujur, dilihat dari optik sosio kultural, hukum modern yang kita pakai tetap
merupakan semacam “benda asing dalam tubuh kita.” Oleh sebab itu, untuk menanggulangi kesulitan
yang dialami bangsa Indonesia disebabkan menggunakan hukum modern, adalah menjadikan hukum
modern sebagai kaidah positif.
Persoalannya, karena sistem hukum modern yang liberal itu tidak dirancang untuk memikirkan
dan memberikan keadilan yang luas kepada masyarakat, melainkan untuk melindungi kemerdekaan
individu. Di samping itu juga, akibat sistem hukum liberal tidak dirancang untuk memberikan keadilan
substantif, maka seorang dengan kelebihan materiel akan memperoleh “keadilan” yang lebih daripada
yang tidak.
Oleh sebab itu dalam bernegara hukum diperlukan modifikasi dan dinamisasi rule of law, dan
bukan memperbanyak kuantitas hukum negara. Secara empiris telah terbukti ketika produksi Undangundang melimpah, maka kehidupan justru tidak semakin nyaman tetapi semakin menyesakkan. Jadi,
bernegara hukum tidak dapat diukur dari kuantitas peraturan perundang-undangan, melainkan diukur dari
kualitas hukum yang fasilitatif dan akomodatif terhadap kebutuhan bangsa.
Untuk diperlukan upaya yang konprehensif dengan menggunakan landasan filosofis Pancasila
yang dapat menjawab tantangan global sehingga Indonesia sebagai negara baru dapat berdiri sejajar
dengan negara-negara lain perlu membuka diri dan berinterksi dalam percaturan dunia global. Hubunganhubungan internasional tersebut mensyaratkan adanya hukum nasional yang mampu mengakomodasi

21

Ibid

hukum internasional. Hukum Internasional harus diterima sebagai bagian dari bahan penyusunan hukum
nasional, tanpa harus mengalahkan sifat kenasionalan kita. Artinya, semangat nasionalisme perlu
ditempatkan di atas penerimaan atau penyesuaian terhadap hukum internasional. Lebih dari itu perlu
dijaga agar nasionalisme itu tidak luntur karena desakan hukum internasional. Dengan kata lain, hukum
nasional harus disusun dalam semangat menjaga kedaulatan hukum atas negeri sendiri.

Daftar Pustaka
A. Ahsin Thohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, Elsam, 2004.
A.M.W. Pranaka, Epistemologi Dasar, Suatu Pengantar, Jakarta CSIS, 1987.
Andre Ata Ujan, Filsafat Hukum : Membangun Hukum, Membela Keadilan, Kanisius, Yogyakarta, 2009,
hlm. 66
Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Hukum; Problemtika Ketertiban yang Adil, Grasindo, Jakarta, 2004.
Dicey, Albert Venn, Introduction to the Study of the Law of the Constitution London: Macmillan, 1915,.
J. Sudarminta, Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan, Kanisius, Yogyakarta, 2003, hlm.
18.
Jimly Asshiddiqie, Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporerm, Orasi ilmiah Pada Wisuda Sarjana
HukumFakultas Hukum Universitas Sriwijaya Palembang, 23 Maret 2004
______________, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, Ichtiar
Baru van Hoeve, Jakarta, 1994, hlm.11.
Loughlin, Martin, “Albert Venn (1835-1922)”, Routledge Encyclopedia of Philosophy, Version 1.0,
London: Routledge.
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, PSHTN FH UI dan
Sinar Bakti, 1988,.
Nonet, Philippe and Philip Selznick, “Hukum Responsif Pilihan di Masa Transisi”, Perkumpulan untuk
Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMA), Jakarta, 2003.
S.F. Marbun, Negara Hukum dan Kekuasaan Kehakiman, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, No. 9 Vol 4 –
1997.
Schmid, J.J. von, Pemikiran Tentang Negara dan Hukum, Pembangunan, Jakarta, 1988.
Sobirin Malian, Gagasan Perlunya Konstitusi Baru Pengganti UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta,
2001.
Soetandyo Wigjosoebroto “Doktrin Apakah Sesungguhnya Yang terkandung Dalam Istilah Negara
Hukum?” Dalam Ifdal Kasim (ed), Hukum Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya,
ELSAM dan HUMA, Jakarta, 2002 hlm. 474.
Sudjito Bin Atmoredjo, Negara Hukum Dalam Perspektif Pancasila, Makalah untuk Kongres Pancasila,
Kerjasama Mahkamah Konstitusi RI dan Gadjah Mada, tanggal 30, 31 dan 1 Juni 2009 di
Balai Senat UGM, Yogyakarta
Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Ichtiar, Jakarta, 1962.

Biodata Singkat
Nama

: Drs. Arinto Nurcahyono, M.Hum

Tempat/Tgl Lahir

: Cirebon 22 Oktober 1967

Pendidikan

: S1 Fak. Filsafat UGM, S2 Filsafat Program Pascasarjana UGM

Pekerjaan

: Dosen FH UNISBA, Fak Psikologi Univ. Kristen Maranatha.

Mata Kuliah yang Diampu

: Filsafat Hukum, Hukum dan HAM, Sosiologi, Antropologi, Logika,
Kewarganegaraan.

Email: artnur@gmail.com
web

: www.artnur.wordpress.com