BAB I PENDAHULUAN - Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower Dan Justice Collaborator Dalam Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana korupsi adalah tindak pidana yang sulit untuk di berantas

  karena pelaku tindak pidana korupsi biasanya mempunyai kedudukan ekonomi dan politik yang kuat, sehingga tindak pidana korupsi tergolong sebagai “white collar

  

crime , crimes as business, economic crimes, official crime dan abuse of power.

  Masalah korupsi merupakan permasalahan yang kompleks dan turun- temurun berjalan seiring, bahkan lebih cepat pertumbuhannya ketimbang urusan pemberantasan. Upaya pemberantasan korupsi yang terjebak dalam perdebatan selalu berjalan tertatih-tatih di belakang laju pertumbuhan taktik dan strategi para

   pelaku korupsi.

  Korupsi di Indonesia sudah seperti wabah penyakit yang telah menjangkit dan menyebar keseluruh lapisan masyarakat. Pada masa lalu korupsi sering diartikan bagi pejabat Negara atau pegawai negeri yang menyalahgunakan keuangan negara, namun saat ini masalah korupsi tidak hanya bagi pejabat negara atau pegawai negeri tetapi telah melibatkan berbagai lembaga seperti anggota legislative, yudikatif, para banker, konglomerat dan korporasi. 1 Anwar Usman Dan AM. Mujahidin, Makalah Whistle Blower Dalam Perdebatan

  

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. www.pn-purworejo.go.id. Diakses pada tanggal 20 Oktober

2012.

  Untuk dapat mengungkap pelaku tindak pidana korupsi yang mempunyai kedudukan ekonomi dan politik yang kuat tersebut tentunya membutuhkan keberanian dan saksi yang secara langsung mengetahui perbuatan tindak pidana korupsi tersebut. Saksi yang mengetahui secara langsung baik terlibat secara langsung di dalamnya atau tidak dan berani melaporkan kejadian tersebut disebut “whistleblower” dan “Justice Collaborator”.

  Belakangan ini, sepertinya aib birokrasi satu persatu mulai dibuka oleh orang-orang yang sebenarnya sangat dekat dengan masalah itu sendiri kemudian membukanya kedepan umum dengan alasan kejujuran yang mungkin sudah sangat langka di negeri ini. Kasus Cek Pelawat Agus Condro, Nazarudin dan Waode Nurhayati adalah contoh yang menjadi pembicaraan karena berhubungan dengan dua simbol negara ini. Agus Condro merupakan anggota DPR saat itu melaporkan telah terjadi suap pemilihan Deputi Gubernur Bank Indonesia Miranda Gultom, sedangkan Nazarudin adalah salah seorang petinggi “Partai Penguasa” dan Waode Nurhayati adalah salah satu anggota DPR RI dan terakhir kasus Angelina

   sondakh yang juga merupakan anggota DPR RI.

  Kasus-kasus di atas tersebut sangat erat kaitannya dengan apa yang dinamakan Whistleblower dan Justice Collaborator dimana para pelapor merupakan salah satu pelaku dari tindak pidana korupsi dan mau bekerjasama dalam menuntaskan dugaan telah terjadinya tindak pidana korupsi tersebut. 2 Muhammad Hazairin, Menunggu Skema Pembunuhan Sang Whistleblower, opini, 30 Juni 2011

  WWW.Tempo.com di akses pada 30 Oktober 2012

  Pemberitaan tentang whistleblower menjadi suatu kegembiraan tersendiri bagi upaya penegakan hukum, secara khusus bagi pemberantasan korupsi. Tentu nilai kejujuran dari seseorang whistleblower perlu dicontoh dan tetap dijunjung tinggi, mengingat kemauan berkata jujur sangat susah didapat saat ini. Semangat seperti ini sebenarnnya harus dipacu pertumbuhannya sehingga dapat dijadikan awal untuk menghabisi para koruptor.

  Whistleblower sebenarnya adalah tindakan yang mulia. Bagaimanapun

  pemahaman kita tentang keberadaannya bisa saja berbeda-beda. Whistleblower bisa saja disebut seseorang yang hanya sok-sokan, mencari sensasi, maling teriak maling. Umumnya para pelaku koruptor tidak terlalu senang atas keberadaan seorang whistleblower, karena keberadaannya akan menjadi duri dalam daging, yang sewaktu-waktu dapat menusuk baik dari depan maupun dari belakang. Inilah

   fakta yang telah pernah terjadi.

  Publik mungkin masih ingat dengan kasus Susno Duadji yang mengungkap adanya mafia kasus dan mafia pajak di tubuh Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang sangat erat hubungannya dengan rekening-rekening gendut yang mengisi saldo para petinggi Polri. Tetapi apa yang terjadi? Susno Duadji justru diskemakan untuk mendapatkan hukuman dari kasus pilkada Jawa Barat. Terlepas dari benar atau tidaknya seorang Susno Duadji juga melakukan hal yang sama, tapi setidaknya hal ini perlu diapresiasi karena berdasarkan hal yang diungkapkannya secara luas, menjadikan mata khalayak umum atau orang- 3 Syahrin Lumbantoruan

  , Menyemangati Peranan sang Whistleblower, Medan Bisnis Senin 27 Juni 2011. orang awam yang selama ini buta dengan kondisi sebenarnya didalam tubuh lembaga negara menjadi sedikit paham dan mungkin sedikit sadar mengapa

   negara ini tidak maju-maju.

  Di Indonesia ada kecenderungan jika seseorang mencoba melawan kekuasaan, maka niscaya dalam waktu singkat dia akan disingkirkan, minimal akan dikucilkan. Pengalaman selama ini, justru memperlihatkan bahwa posisi saksi sangat rawan dan mudah berubah menjadi tersangka, apalagi saksi tersebut lemah dalam mengungkapkan fakta-fakta yuridis. Pelaku korupsi sering kali mempergunakan berbagai cara untuk menyerang saksi, salah satu cara tersebut

  

  Dengan kedudukan ekonomi dan posisi politik yang sangat kuat sangat mudah bagi pelaku tindak pidana koruspi untuk menyerang balik saksi pelapor atau pengungkap fakta bahkan dapat saja berbalik saksi pelapor menjadi tersangka baik dalam kasus tersebut maupun dalam kasus-kasus yang lain.

  Indonesian Corruption Watch (ICW) mencatat sejumlah kasus saksi

  pelapor yang dimejahijaukan sebagai tersangka pencemaran nama baik. Kasus utama yang dilaporkan itu sama sekali tidak diutak-atik. Catatan yang dibuat sejak 1996 tersebut menunjukkan bahwa 80% kasus yang dilaporkan terjadi di luar DKI

  4 5 Muhammad Hazairin, Loc. Cit.

  Asep Tri wahyudi et al, Makalah, Perlindungan Terhadap Whistle Blower terbangkelangit.multyply.com/journal. Diakses pada 30 Oktober 2012. Jakarta. Dari data tersebut, 24 kasus pelaporan korupsi berbalik mengenai para

   saksi menjadi kasus pencemaran nama baik.

  Kehadiran Whistleblower perlu mendapatkan perlindungan agar kasus- kasus korupsi bisa diendus dan dibongkar. Tetapi dalam praktiknya, kondisi tersebut bukanlah persoalan yang mudah, dikarenakan oleh banyak hal yang perlu dikaji serta bagaimana sebenarnya mendudukan Whistleblower dalam upaya memberantas praktik korupsi. Secara yuridis normatif, berdasar UU No.13 Tahun 2006, Pasal 10 Ayat (2) keberadaan Whistleblower tidak ada tempat untuk mendapatkan perlindungan secara hukum. Bahkan, seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana

   yang akan dijatuhkan.

  Kasus Whistleblower sebenarnya bukan hal baru di dunia ini, namun di Indonesia masalah Whistleblower belum mendapatkan tempat , karena peranan

  

whistleblower sebagai pengungkap fakta malah disudutkan. Berbeda dengan

whistleblower di negara lain, Chintya Cooper, seorang internal audit yang

  mengungkap kasus Worldcom disebut sebagai pahlawan. Chintya Cooper telah menjadi agent of change yang sukses. Keberhasilan Chintya dalam mengungkapkan kasus tersebut mengantarkannya termasuk salah seorang People 6 7 Ibid., Anwar Usman dan Mujahidin, Loc. Cit. hal.4

  of The Year versi Majalah Time. Chintya telah menyelamatkan perusahaan dari

   kemungkinan lebih buruk bersama dengan whistleblower lainnya.

  Berbeda halnya dengan di Indonesia, seperti kisah tentang seorang auditor BPK bernama Khairiansyah Salman. Khairiansyah merupakan auditor BPK yang mengaudit Komisi Pemilihan Umum (KPU) sehingga akhirnya beberapa anggota KPU dipidana dengan kasus korupsi. Begitu juga halnya dengan kasus Susno Duadji yang akhirnya disingkirkan melalui kasus pilkada Jawa Barat semasa dirinya menjadi kapolda Jawa Barat.

  Whistleblower atau peniup peluit kasus-kasus korupsi masih belum

  mendapatkan perlindungan maksimal. Salah satu kendalanya yakni ada pada ranah penegak hukum. Faktor sumirnya ketentuan perlindungan participant

  whistleblower dan pemahaman yang terbatas dari penegak hukum telah

  mengakibatkan orang-orang yang mengungkap kejahatan, yang seharusnya

   mendapatkan penghargaan namun pada kenyataanya dijatuhi hukuman.

  Menurut Komariah E. Sapardjaja, peran whistleblower sangat penting dan diperlukan dalam rangka proses pemberantasan tindak pidana korupsi. Namun demikian, asal bukan semacam suatu gosip bagi pengungkapan kasus korupsi maupun mafia peradilan, yang dikatakan Whistleblower itu benar-benar didukung oleh fakta konkret, bukan semacam surat kaleng atau rumor saja. Penyidikan atau penuntut umum kalau ada laporan seorang Whistleblower harus hati-hati 8 9 Muhammmad Hazairin, Loc.Cit Penegak Hukum Masih Belum Paham Perlindungan Bagi Whistle Blower.

  http://www.detiknews.com diakses pada 20 September 2012 menerimannya , tidak sembarangan apa yang dilaporkan itu langsung diterima dan

   harus diuji dahulu.

  Kurangnya pemahaman aparat penegak hukum terhadap sang

  whistleblower memang beralasan karena dalam sistem hukum di Indonesia

  belum mengenal apa yang dinamakan whistleblower. Dalam peraturan perundang- undangan juga belum ada yang dapat dijadikan pedoman untuk memberikan perlindungan terhadap whistleblower tersebut.

  Sampai sekarang belum ada peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur mengenai whistleblower di Indonesia. Pengaturannya secara implisit termaktub dalam UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Peraturan lainnya adalah Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan terhadap Pelapor Tindak Pidana (whistleblower)

   dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (justice collaborator).

  Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut merupakan penjabaran dari Pasal

  10 UU No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Tujuan dari SEMA ini adalah agar semua kejahatan yang terorganisir yang selama ini sangat tertutup rapih dapat diungkap secara menyeluruh jika ada yang memberikan informasi dari dalam dan dapat dibongkar oleh para penegak hukum dan dibawa

   ke pengadilan untuk diadili.

  10 11 Anwar Usman, dan AM. Mujahidin, Loc. Cit. hal.3 Abdul Haris Semendawai , et al, Memahami Whistleblower. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) hal.X Desember 2011. 12 Pidato Sambutan Ketua Mahkamah Agung RI pada Pembukaan Rapat Kerja Nasional 2011 di Jakarta, Varia Peradilan No.311 Oktober 2011 Hal.11.

  UU No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Pasal

   Pasal 10 menyebutkan :

  (1) Saksi, Korban dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.

  (2) Seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringakan pidana yang akan dijatuhkan.

  Undang-Undang No.13 tahun 2006 Pasal 10 ayat (1) dan (2) tersebut dinilai bertentangan dengan semangat whistleblower karena tidak memberikan perlindungan bagi whistleblower yang terlibat dalam kejahatan. Begitu juga SEMA No.4 Tahun 2011 belum dapat memberikan perlindungan hukum bagi saksi pengungkap fakta atau whistleblower dan justice collaborator. SEMA No.4 Tahun 2011 tersebut hanya untuk memberikan semangat perlindungan terhadap whistleblower dan justice collaborator, namun tetap dihukum jika merupakan bagian dari pelaku.

  Bagi aparat penegak hukum baik polisi maupun jaksa UU No. 13 tahun 2006 dan SEMA No.4 Tahun 2011 tersebut belum dapat memberikan perlindungan secara hukum bagi kebaradaan whitleblower. SEMA No.4 tahun 2011 juga hanya berlaku intern dikalangan hakim sebagai bahan pertimbangan yang meringankan untuk memutus perkara whistleblower dan justice collaborator yang terlibat dalam kasus. 13 Undang-undang No.13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, edisi lengkap

  2010 Fokusmedia

  Belum adanya perlindungan secara yuridis terhadap sang whistleblower dan Justice collaborator memang dikhawatirkan akan memutus generasi

  whistleblower yang baru. Padahal jika mau jujur, demi penegakan hukum dan

  pemberantasan tindak pidana korupsi di negeri ini, peranan sang whistleblower dan Justice Collaborator menjadi salah satu senjata yang ampuh untuk dijadikan alat membuka sindikat mafia koruptor. Peranan sang whistleblower dan Justice

  collaborator dalam membuka para sindikat koruptor besar selama ini tidak

  terpikirkan dan tidak terduga. Gayus Tambunan pegawai biasa golongan III/A di Dirjen Pajak melakukan hal yang diluar kebiasaan atau luar biasa mempunyai uang miliaran rupiah hasil dari mafia perpajakan diungkap oleh whistleblower.

  Berdasarkan persoalan di atas maka tesis ini mencoba mengurai bagaimana bentuk perlindungan terhadap Whistleblower dan justice collaborator serta bagaimana perlindungan hukumnya yang ideal di Indonesia. Diharapkan dengan adanya perlindungan hukum bagi kehadiran whistleblower dan justice

  collaborator dapat dijadikan salah satu upaya untuk memberantas pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia.

B. Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka yang akan menjadi pokok permasalahan dalam kajian tesis ini adalah :

1. Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap whistleblower dan justice

  collaborator ?

2. Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap Whistleblower dan

  Justice Collaborator dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di

  Indonesia ke depan ?

C. Tujuan Penelitian

  Memperhatikan latar belakang dan rumusan masalah yang dikemukan sebelumnya, maka penelitian ini bertujuan sebagai berikut :

  1. Untuk mengetahui bagaimana bentuk-bentuk perlindungan hukum bagi Whistleblower dan Justce Collaborator.

  2. Untuk mencari bentuk perlindungan hukum yang ideal bagi whistleblower dan

  Justice Collaborator dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia ke depan.

D. Manfaat Penelitian

  Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu :

1. Manfaat Teoritis

  Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai bahan kajian, sumbangan pemikiran dalam memperkaya khasanah kepustakaan dalam perkembangan ilmu hukum khususnya hukum yang mengatur tentang perlindungan hukum terhadap whistleblower dan justice collaborator dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Kajian-kajian dari penelitian diharapkan dapat menjadi bahan rekomendasi untuk lembaga perlindungan saksi dan korban, bagi penyidik, penunutut umum maupun hakim dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia dan dapat memberikan sumbang pemikiran terhadap perubahan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK) ke depan sehinga kehadiran Sang

  Whitleblower dan Justce Collaborator dapat terlindungi sesuai dengan resiko yang telah diambilnya.

2. Manfaat Praktis

  Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan yang berguna bagi aparat penegak hukum terutama para penyidik , Jaksa Penuntut Umum , advokat maupun hakim dalam menangani perkara yang menyangkut tentang Whistleblower dan Justice Collaborator. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan hukum bagi peneliti lanjutan yang fokus terhadap perlindungan hukum terhadap whistleblower dan justice collaborator dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.

E. Keaslian Penelitian

  Dari hasil penelusuran penulis pada Kepustakaan Universitas Sumatera Utara, khususnya pada lingkungan Perpustakaan Program Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara dan informasi yang tersedia bahwa penelitian dengan judul “ Perlindungan Hukum bagi Whistleblower dan Justice

  

Collaborator Dalam Upaya pemberatasan Tindak Pidana Korupsi” belum

  pernah ada yang melakukannya. Meskipun ada beberapa penelitiian tentang perlindungan hukum bagi saksi pelapor namun tidaklah sama pokok permasalahan yang menjadi objek kajian.

  Dari hasil observasi yang telah dilakukan ada beberapa penelitian yang memiliki topik yang sama namun fokus kajiannya berbeda yaitu Hoplen Sinaga, mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Judul tesis “Perlindungan Hukum Bagi Saksi Pengungkap Fakta (Whistleblower) dalam Perkara Pidana (Analisis Yuridis Terhadap UU No.13 tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban).

  Fokus Kajian Tesis Hoplen Sinaga khusus pada analisis terhadap UU No.13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban (PSK). Jika dilihat dari obyek kajian jelas ada perbedaan dengan fokus kajian penulis yaitu tidak hanya pada perlindungan hukum pada whistleblower tetapi juga terhadap justice

  

collaborator . Begitu juga mengenai masalah aturan perundang-undangan yang

  mengatur tentang perlindungan hukum bagi whistleblower dan justice

  

collaborator tidak hanya UU No.13 tahun 2006 tetapi berbagai peraturan dan

  perundang-undangan yang terkait mengatur tentang perlindungan hukum bagi whistleblower dan justice collaborator.

  Selanjutnya Tesis Imam Turmudhi Pasca Sarjana Universitas Indonesia yang mengambil judul Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower Kasus Korupsi Berdasarkan UU No.13 Tahun 2006 (Studi Kasus Susno Duaji). Tesis ini juga tidak sama objek kajiannya, karena tesis ini lebih terfokus pada kasus Susno Duaji berdasarkan UU No.13 tahun 2006 tentang perlindungan Saksi dan Korban.

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional 1.

  Kerangka Teori Berdasarkan hal tersebut maka teori yang akan di gunakan dalam penulisan tesis ini adalah :

  A.

  Teori Tujuan Hukum Pada umumnya hukum ditujukan untuk mendapatkan keadilan, menjamin adanya kepastian hukum di masyarakat dan mendapatkan kemanfaatan atas dibentuknya hukum tersebut. Tiga unsur tujuan hukum tersebut yaitu keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.

1. Keadilan

  Definisi keadilan menurut para ahli adalah : a. Keadilan menurut Aristoteles sebagai pendukung teori etis, bahwa tujuan hukum

  

  utama adalah keadilan yang meliputi 1.

  Distributif, yaitu keadilan yang diberikan pada setiap orang didasarkan atas jasa-jasanya (prestasi) atau pembagian menurut haknya masing-masing.

  2. Komutatif (justitia comuutativa) yaitu suatu keadilan yang diterima oleh masing-masing anggota tanpa memperdulikan jasa masing-masing. Keadilan 14 ini berdasrkan transaksi baik yang sukarela atau tidak.

  Ojte Salman, catatan kuliah filsafat hukum, http://wonkdermayu.wordpress.com/kuliah- hukum/filsafat-hukum/ diakses pada tgl 27 Nopember 2012. b.

  Keadilan menurut Thomas Aquinas (filsuf hukum alam), membedakan keadilan

  

  dalam dua kelompok : 1.

  Keadilan umum (justitia generalis), adalah keadilan menurut kehendak undang-undang, yang harus ditunaikan demi kepentingan umum.

  2. Keadilan khusus, keadilan atas dasar kesamaan atau proporsionalitas. Keadilan ini dibedakan menjadi tiga macam yaitu: a.

  Keadilan distributif, keadilan yang secara proporsional yang diterapkan dalam lapangan hukum public secara umum.

  b.

  Keadilan komutatif, keadilan dengan mempersamakan antara prestasi dengan kontraprestasi.

  c.

  Keadilan Vindikatif, bahwa kejahatan harus setimpal dengan hukumannya.

  Seseorang dianggap adil apabila dipidana badan atau denda sesuai dengan besarnya hukuman yang telah ditentukan atas tindakan pidana yang dilakukan.

   c.

  : Keadilan menurut Notohamidjojo dibagi dua yaitu 1.

  Keadilan Kreatif, bahwa harus ada perlindungan kepada orang yang kreatif, yaitu setiap orang bebas bebas menciptkan sesuai dengan daya kreativitasnya.

2. Keadilan Protektif, keadilan yang memberikan pengayoman kepada setiap orang, yaitu perlindungan yang diperlukan dalam masyarakat.

  15 16 Ibid., Ibid,.

  2. Kepastian.

  Kepastian menurut Hans Kelsen dengan konsepnya (Rule of Law) atau Penegakan Hukum dalam hal ini mengandung arti: a.

  Hukum itu ditegakan demi kepastian hukum.

  b.

  Hukum itu dijadikan sumber utama bagi hakim dalam memutus perkara.

  c.

  Hukum itu tidak didasarkan pada kebijaksanaan dalam pelaksanaannya.

  d.

  Hukum itu bersifat dogmatic.

  3. Kegunaan.

  Teori kemanfaatan atau kegunaan Menurut Jeremy Bentham, sebagai pendukung teori kegunaan, bahwa tujuan hukum harus berguna bagi masyarakat untuk mencapai kebahagiaan sebesar-besarnya. Senada dengan Jeremy Bentham, John Stuart berpendapat bahwa tujuan hukum hendaknya untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan umat manusia.

  B.

  Teori Sistem Hukum (Legal Theory) Teori sistem hukum dari Lawrence M.Friedman menyatakan bahwa sebagai suatu sistem hukum dari sistem kemasyarakatan,

  

  maka hukum mencakup tiga komponen yaitu : 1. Substansi hukum (legal substance ); merupakan aturan-aturan, norma- norma dan pola prilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu termasuk produk yang

17 Teori sistem hukum dari Lawrence M.Friedman, Http.www.sribd.com diakses pada 20 Okteber 2012.

  dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu, mencakup keputusan yang mereka keluarkan atau aturan baru yang mereka susun.

  2. Struktur hukum (legal structure ); merupakan kerangka, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberikan semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan instansi-instansi penegak hukum. Di Indonesia yang merupakan struktur dari sistem hukum antara lain; institusi atau penegak hukum seperti advokat, polisi, jaksa dan hakim.

  3. Budaya hukum (legal culture ); merupakan suasana pikiran sistem dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum itu digunakan, dihindari atau disalahgunakan oleh masyarakat.

  Ketiga komponen di atas sangat memegang peranan penting dalam pelaksanaan penegakan hukum termasuk dalam memberikan perlindungan terhadap whistleblower dan justice collaborator. Perlindungan hukum yang diberikan harus memunyai dasar aturan yang harus dipahami oleh semua aparat penegak hukum sehingga kehadiran whistleblower dapat berkembang dan memberikan manfaat bagi masyarakat dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.

  Belum adanya aturan hukum yang spesifik mengatur tentang perlindungan hukum bagi whistleblower membuat para penegak hukum masih ragu-ragu menyatakan bahwa seseorang yang melaporkan suatu tindak pidana korupsi baik dilingkungan kerjanya atau yang dia ketahui adalah whistleblower dan perlu mendapatkan perlindungan.

  Komponen pertama tersebut yaitu substansi hukum sangat diperlukan untuk menjamin adanya suatu kepastian. Aturan-aturan tentang whistleblower harus dapat menjamin perlindungan terhadap dirinya sehingga sangat diperlukan peraturan perundang-undangan yang secara spesifik mengatur tentang perlindungan whistleblower. Dengan adanya paraturan secara spesifik yang mengatur perlindungan terhadap whistleblower sebagai komponen kedua maka aparat penegak hukum secara praktis tidak akan ragu-ragu untuk memberikan perlindungan kepada whistleblower.

  Selanjutnya komponen ketiga yang merupakan budaya hukum dapat mengikuti dengan sendirinya jika aturan perundang-undangan dan aparat penegak hukum dapat menjamin perlindungan hukum whistleblower. Dengan adanya perlindungan tersebut akan bermunculan para whistleblower yang akan memberikan informasi kepada aparat penegak hukum terutama kasus tindak pidana korupsi dan para pelaku korupsi merasa selalu diawasi oleh orang disekitarnya.

  C.

  Teori Perlindungan Hukum Teori perlindungan hukum ini bersumber dari teori hukum alam atau aliran hukum alam. Aliran ini dipelopori oleh Plato, Aristoteles (murid Plato), dan Zeno

  (pendiri aliran Stoic). Menurut aliran hukum alam menyebutkan bahwa hukum itu bersumber dari Tuhan yang bersifat universal dan abadi, serta antara hukum dan moral tidak boleh dipisahkan.

  Menurut Von Thomas Aquinas mengatakan bahwa hukum alam adalah cerminan dari undang-undang abadi (lex naturalis). Jauh sebelum lahirnya aliran sejarah hukum, ternyata aliran hukum alam tidak hanya disajikan sebagai ilmu pengetahuan, tetapi juga diterima sebagai prinsip-prinsip dasar dalam perundang- undangan. Keseriusan umat manusia akan kerinduan terhadap keadilan, merupakan hal yang esensi yang berharap adanya suatu hukum yang lebih tinggi dari hukum positif. Hukum alam telah menunjukkan, bahwa sesungguhnya hakikat kebenaran dan keadilan merupakan suatu konsep yang mencakup banyak teori. Berbagai anggapan dan pendapat para filosof hukum bermunculan dari masa ke masa. Pada abad ke-17, substansi hukum alam telah menempatkan suatu asas yang berisfat

   universal yang bisa disebut HAM.

  Menurut Fitzgerald, dia menjelaskan teori pelindungn hukum Salmond bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara . membatasi berbagai kepentingan di lain pihak Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia, sehingga hukum memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia yang perlu diatur dan

   dilindungi. 18 19 Marwan Mas, “Pengantar Ilmu Hukum” (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004), 116 20 Satijipto Raharjo, “Ilmu Hukum’, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), 53.

  Ibid., 69.

  Perlindungan hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat. Kesepakatan tersebut untuk mengatur hubungan prilaku antara anggota-anggota masyarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingan masyarakat.

  Menurut Satijipto Raharjo, perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu di berikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-

   hak yang diberikan oleh hukum.

  Menurut lili rasjidi dan I.B Wysa Putra berpendapat bahwa hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif

  

  dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan antisipatif. Pendapat Sunaryati Hartono mengatakan bahwa hukum dibutuhkan untuk mereka yang lemah dan belum kuat secara sosial, ekonomi dan politik untuk memperoleh keadilan

   sosial.

  Menurut pendapat Pjillipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum bagi

   rakyat sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan represif. 21 22 Ibid.,

  54 Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra, “Hukum Sebagai Suatu Sistem”, (Bandung, Remaja Rusdakarya, 1993), 118. 23 Sunaryati Hartono, “Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional”, (Bandung: Alumni, 1991), 55. 24 Phillipus M. Hadjon, “Perlindungan hukum Bagi Rakyat Indonesia”, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987), hal.2 . Perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah bersikap hati-hati dalam pengambilan keputusan berdasarkan diskresi, dan perlindungan yang represif bertujuan untuk menyelesaikan terjadinya sengketa, termasuk penangananya di

   lembaga peradilan.

2. Landasan Konsepsional

  Agar alur penelitian terarah dan konsisten diperlukan suatu definisi operasional untuk mempertegas ruang lingkup penelitian ini, yaitu sebagai berikut: a.

  Dalam penelitian ini yang disebut Pengungkap Fakta (Whistleblower) adalah istilah bagi karyawan, mantan karyawan atau pekerja, anggota dari suatu institusi atau organisasi yang melaporkan suatu tindakan yang dianggap melanggar ketentuan kepada pihak yang berwenang. Secara umum segala tindakan yang melanggar ketentuan berarti melanggar hukum, aturan dan persyaratan yang menjadi ancaman pihak publik atau kepentingan publik.

  Termasuk di dalamnya korupsi dan pelanggaran atas keselamatan kerja.

  Whistleblower merupakan saksi pengungkap fakta yang terlibat langsung

  

  sebagai pelaku kejahatan tindak pidana korupsi. Umumnya dalam istilah bahasa Inggris, orang yang mengungkapkan fakta kepada publik mengenai sebuah skandal, bahaya, malapraktik atau korupsi disebut sebagai 25 whistleblower . Orang yang bersiul, berceloteh, membocorkan atau

  Maria Alfons, “Implementasi Perlindungan Indikasi Geografis Atas Produk-produk Masyarakat Lokal Dalam Perspektif Hak Kekayaan Intelektual”, Ringkasan Disertasi Doktor, (Malang: Universitas Brawijaya, 2010), 18. 26 Anis Fauzan, Koordinator Forum Muda Indonesia, Opini, “WON Perempuan Muda yang Berani” 12 Desember 2011 pada WWW.Hukum.kompasiana.com mengungkapkan fakta terjadinya kejahatan, kekerasan atau pelanggaran

   disebut sebagai whistleblower atau seorang pengungkap fakta.

  b.

  Saksi Pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborator) adalah pelaku tindak pidana tertentu, tetapi bukan pelaku utama, yang mengakui perbuatannya dan bersedia bekerjasama menjadi saksi dalam proses peradilan dan mau menyebutkan bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti kuat yang sangat

   signifikan untuk mengungkap tindak pidana korupsi yang terjadi.

  c.

  Perlindungan hukum ( Besil Protection, Rechtsbercherming) adalah suatu perlindungan yang diberikan oleh undang-undang kepada subyek hukum mengenai hak dan kewajiban (substantif) termasuk perlindungan phisik dan

   mental yang bersifat preventif maupun yang bersifat refresif.

  d.

  Pengertian perlindungan dalam ilmu hukum adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman, baik fisik maupun mental kepada korban dan saksi dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun yang diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atas pemeriksaan sidang di

   pengadilan.

  G.

  Metode Penelitian 27 Mengadili Whistleblower, Uli Parlian Sihombing, Fulthoni AM, et Al Catatan Hukum terhadap Perkara Tindak Pidana Pencucian Uang dengan Terdakwa Vincentius Amin Sutanto, hal.,33. 28 29 Tempo.Com tentang Justice Colaborator. 30 April 2012 oleh Syailendra.

  Tan Kamello, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, Pendapat Tan Kamello disampaikan saat bimbingan tesis ini tanggal 15 Desember 2012 di Pasca Ilmu Hukum USU Medan. 30 Nur Wahyuni, makalah Pengertian Perlindungan hukum diterbitkan juni 08 2011 di id.shvoong.com. di askes pada 20 Oktober 2012.

  Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum

  

  dan norma-norma hukum. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach).

  1. Jenis, Pendekatan dan Sifat Penelitian Jenis penelitian ini merupakan jenis penelitian yuridis normatif, dilakukan dengan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach).

  Pendekatan peraturan perundang-undangan yaitu penelitian dengan menelaah berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan terhadap whistleblower atau saksi pengukap fakta dan Justice Collaborator.

  Sifat penelitian ini adalah deskriptif, yang ditujukan untuk menggambarkan dan menguraikan secara sistematis perlindungan bagi whistleblower dan Justice

  collaborator dihubungkan dengan teori-teori hukum dan peraturan perundang- undangan yang ada.

  2. Sumber Data Sumber data terdiri dari dua yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber pertama yaitu seperti prilaku masyarakat melalui penelitian. Data sekunder antara lain mencakup

31 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum hal.22, Kencana Prenada Group Cetakan Ke-5 Maret tahun 2009.

  dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud

   laporan, makalah, journal, catatan-catatan hukum dan lain sebagainya .

  Penelitian ilmu hukum normatif adalah pengkajian terhadap bahan-bahan hukum, yang bersumber dari data sekunder . Sumber data sekunder terdiri dari

   bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.

  1) Bahan hukum primer bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari paraturan perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan undang-undang dan putusan-putusan hakim, antara lain : a.

  Undang-Undang No.13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban b. SEMA No.4 Tahun 2011 Tentang Perlakuan Bagi Pelapor tindak Pidana

  (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice collaborator ).

  c.

  Peraturan Perlindungan Hukum Whistleblower di berbagai negara. 2)

  Bahan hukum sekunder digunakan untuk membantu memahami berbagai konsep hukum dalam bahan hukum primer, analisis bahan hukum primer dibantu oleh bahan hukum sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber jurnal, buku-buku, makalah serta karya ilmiah mengenai perlindungan terhadap 32 whistleblower dan justice collaborator. 33 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum,Hal.12., UI-Press 2006.

  Peter Mahmud Marzuki Op.Cit., hal.97

  3) Bahan hukum tertier diperlukan untuk berbgai hal dalam hal menjelaskan makna-makna kata dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, khususnya kamus-kamus hukum.

  3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini menggunakan teknik studi kepustakaan (library Research). Studi kepustakaan digunakan untuk mengumpulkan data skunder melalui pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, literatur-literatur, tulisan-tulisan pakar hukum dan studi dokumen serta putusan-putusan pengadilan yang ada hubungan dengan kajian dalam penelitian ini. Selain itu dalam penelitian ini juga akan dilakukan wawancara kepada pejabat atau pakar hukum yang berkompeten yang dapat

   dijadikan bahan hukum sekunder.

  4. Analisis Data Analisis terhadap data-data tersebut di atas menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif dan argumentative. Deskripsi berupa gambaran bahan-bahan hukum sebagaimana adanya kemudian dilanjutkan dengan evaluasi berupa penilaian terhadap bahan-bahan hukum tersebut. Bahan-bahan hukum tersebut diinterpretasikan dengan metode intepretasi hukum baik intepretasi gramatikal, intepretasi sistematik, intepretasi otentik, yang selanjutnya dianalisis berdasarkan

   teori-teori dan doktrin hukum yang relevan dikaitkan dengan permasalahan. 34 35 Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit. hal.165

Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Bandung Mandar Maju 2008.