GENERAL AGREEMENT ON TRADE IN SERVICES (GATS) DAN KEDAULATAN HUKUM DI BIDANG EKONOMI Mahmul Siregar Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara mahmulsyahoo.co.id Abstract - General Agreement on Trade In Services (Gats) dan Kedaulatan Hukum di Bidang

  

GENERAL AGREEMENT ON TRADE IN SERVICES (GATS) DAN KEDAULATAN

HUKUM DI BIDANG EKONOMI

Mahmul Siregar

  Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

  

Abstract

As an international obligation GATS will influence the measures that affect trade in services taken by the Government. However, the GATS do not eliminate the sovereignty of Indonesian law to regulate economic activities (trade in services) through national law. GATS is carried out with due regard to national interests, national objectives, and level of need and the level of economic development of member countries. Mechanism of protection through specific of commitment (SOC) is remaining to give authority to the Government to establish the requirements and special restrictions in trade in services by using domestic regulations. In order that measures taken by the government is consistent with the GATS it is necessary to synchronize and regulatory reform, one of them by using the regulatory assessment impact approach. In addition, it is need to continue the efforts to improve business climate for improving the competitiveness of the domestic services industry.

  Keywords : GATS, trade in services, souvereignty

A. Pendahuluan

  General Agreement on Trade in Services (GATS) merupakan sebuah kesepakatan yang

  mengikat secara hukum terhadap seluruh Negara anggota WTO. Tujuan GATS sesuai Deklarasi

  

Punta del Este adalah untuk membentuk suatu kerangka multilateral dari prinsip dan aturan

  

  tentang perdagangan jasa. GATS dibentuk dengan sasaran utama untuk mewujudkan liberalisasi perdagangan jasa internasional secara bertahap (progressive liberalization) melalui pengaturan terhadap tindakan-tindakan (measures) sesuai ketentuan Pasal 1 ayat (1) GATS yang berbunyi: “ This agreement applies to measures by Member affecting trade in services”. Pasal XVIII GATS mendefinisikan measures meliputi seluruh tindakan yang diambil oleh Negara-negara anggota baik dalam bentuk law, regulation, rule, procedure, decision, administrative action maupun

   bentuk lainnya yang berdampak pada perdagangan jasa. 1 2 GATT, GATT Activities 1986 : An Annual Review of the Work of the GATT, (Geneva : Juni 1987), hal. 26.

  Pengertian perdagangan jasa (trade ini services) meliputi perdagangan jasa yang dilakukan dengan cara :

(1). jasa yang diberikan dari suatu wilayah negara ke wilayah negara lainnya (cross border), misalnya jasa yang

mempergunakan media telekomunikasi ; (2). jasa yang diberikan dalam suatu wilayah negara kepada konsumen dari

negara lain (consumption abroad), misalnya turisme; 3. jasa yang diberikan melalui kehadiran badan usaha suatu

negara dalam wilayah negara lain (commercial presence), misalnya pembukaan kantor cabang asing ; 4. jasa yang

diberikan oleh warga negara suatu negara dalam wilayah negara lain (presence of natural person), misalnya jasa

konsultan, pengacara dan akuntan. (Syahmin AK., Hukum Dagang International: Dalam Kerangka Studi Analisis, GATS menjadi sebuah subjek yang banyak dibicarakan dalam perdagangan internasional. Sebahagian memaknai GATS secara appriori sebagai upaya negara-negara maju (kaya) untuk membuka selebar-lebarnya pintu perdagangan jasa di negara-negara berkembang dengan cara mempengaruhi pembuatan kebijakan atau peraturan di negara-negara tersebut. Liberalisasi sektor jasa memalui GATS sering dipandang sebagai cara-cara mutakhir negara- negara maju untuk membuka paksa pasar jasa di negara-negara berkembang. Perbedaan level

  

playing field antara service supplier dari negara maju dan negara sedang berkembang, maka yang

  termarjinalkan dalam proses persaingan di sektor jasa ini adalah service supplier dari negara- negara sedang berkembang.

  GATS akan berpengaruh terhadap kedaulatan internal negara-negara anggota dalam menentukan hukum (peraturan perundang-undangan) di sektor jasa. Negara-negara harus menyesuaikan peraturan domestiknya agar tidak bertentangan dengan GATS, karena dapat berakibat pada lahirnya sengketa dari peraturan-peraturan domestik yang bertentangan GATS. Namun, benarkah GATS menghilangkan kedaulatan internal (dalam arti kemampuan mengatur) negara-negara anggota terhadap aktivitas ekonomi di sektor perdagangan jasa yang berada di wilayah yurisdiksinya ?

B. Permasalahan

  Pasal 1 ayat (2) Perjanjian Pembentukan WTO menegaskan bahwa, ”This Agreements and

  

associated legal instruments inluded in Annexes 1, 2 and 3 are integral parts of this Agreement, binding

on all members.” Dengan demikian GATS sebagai salah satu annex dari Perjanjian Pembentukan

  WTO adalah mengikat secara hukum bagi Indonesia yang meratifikasinya berdasarkan UU No.

  7 Tahun 1994 tentang Ratifikasi Perjanjian Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement on Establishing the World Trade Organization). Masalahnya apakah keberadaan GATS tersebut lantas menghilangkan secara perlahan-lahan kedaulatan hukum suatu negara seperti Indonesia untuk mengatur kegiatan ekonomi (perdagangan jasa) di wilayah terirorialnya ? Apakah liberalisasi sektor jasa berdasarkan GATS tersebut menyebabkan kedaulatan internal di bidang ekonomi ditundukkan pada suatu kesepakatan internasional ?

  Terkait dengan hal tersebut, tulisan ini akan mencoba menganalisis dan memaparkan tiga persoalan pokok, yakni : (1). eksistensi kedalatan hukum di bidang ekonomi dari suatu Negara peratifikasi GATS ; (2). Bagaimana mengantisipasi agar measure yang diambil oleh Pemerintah di Indonesia tidak menjadi permasalahan hukum ketika dihadapkan dengan GATS, dan (3). Apa yang harus dilakukan untuk menghadapi liberalisasi di sektor jasa tersebut.

C. Pembahasan

1. Kedaulatan Hukum Negara Merdeka di Bidang Ekonomi

   Hukum internasional sejak lama mengakui kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi dari

  suatu negara dan hal tersebut berarti di atas kedaulatan itu tidak ada lagi kekuasaan yang lebih

  

  tinggi. Kedaulatan pada dasarnya mengandung dua aspek. Pertama, aspek internal yaitu berupa kekuasaan tertinggi untuk mengatur segala sesuatu yang ada atau terjadi di dalam batas-batas wilayahnya. Kedua, aspek eksternal yaitu kekuasaan tertinggi untuk mengadakan hubungan dengan anggota masyarakat internasional, maupun mengatur segala sesuatu yang ada atau terjadi di luar wilayah negara itu tetapi sepanjang masih ada kaitannya dengan

  

  kepentingan negara itu. Dari kedaulatan inilah kemudian lahir jurisdiksi negara; yaitu hak, kekuasaan atau kewenangan suatu negara untuk mengatur, menetapkan dan memaksakan hukum yang dibuat negara itu sendiri.

  Kedaulatan negara untuk mengatur dan menentuntukan sendiri kegiatan ekonomi di wilayah yurisdiksinya sudah sejak lama diterima dalam hukum internasional. Kedaulatan yang permanen ini dijamin pelaksanaannya dalam Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) No. 3281 (XXIX) tanggal 12 Desember 1974 tentang Charter of Economic Rights and

  Duties of State . Article 2 (1) Resolusi ini menyebutkan : “Every state has and shall freely exercise full permanen sovereignty, including possession, use

   and disposal, over all its wealth, natural resources and economic activities”

  Konsep kedaulatan permanen negara yang dalam resolusi ini menyangkut sumber daya alam dan aktifitas-aktifitas ekonomi, sebenarnya merupakan perluasan dari konsep kedaulatan negara yang diberikan oleh Resolusi Majelis Umum PBB No. 1803 (XVII) tahun 1962 yang

  

  hanya mencakup masalah yang berkaitan dengan sumber daya alam. Oleh karena perluasan ini juga mencakup hak kedaulatan negara mengatur sendiri kegiatan ekonomi di wilayah

  3 4 I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, (Bandung: Mandar Maju, 1990), hal. 294 5 Ibid. th United Nations, General Assembly Resolution, December 12 1974, No. 3281 (XXIX). teritorialnya, maka resolusi ini dapat menjadi alasan pembenar bagi negara untuk membatasi

   kegiatan ekonomi warga negara asing maupun perusahaan asing di wilayah hukum mereka.

  Kedaulatan permanen atas sumber daya alam dan kegiatan ekonomi dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 2.2 Charter of Economic Rights and Duties of State sebagai berikut :

  2. Each State has the right :

  (a) To regulate and exercise authority over foreign investment within its national jurisdiction in accordance with its laws and regulations and in conformity with its national objectives and priority. No State shall be compelled to grant preferential treatment to

   foreign investment ;

  Jadi sebenarnya tindakan negara berkembang untuk menerapkan pembatasan- pembatasan tertentu bagi aktivitas perusahaan asing mempunyai dasar hukum secara internasional. Hanya saja dalam praktek penerapannya terdapat variasi dari segi ketat tidaknya batasan-batasan tersebut. Sornarajah menyatakan bahwa tingkatan dari ketat atau tidaknya hambatan tersebut sangat dipengaruhi oleh kecenderungan dalam ideologi, rasa nasionalisme

   dan perubahan dalam arah kebijakan industri.

  International Law Association pada Kongres di Seoul pada tahun 1986 menerima dengan

  suara bulat bahwa kedaulatan negara atas sumber daya alam dan kegiatan-kegiatan ekonomi di wilayah hukum mereka merupakan asas hukum internasional yang harus dipatuhi oleh negara- negara. Konsep mana sebenarnya telah lama dikemukakan oleh Jean Bodin yang menegaskan

  

  bahwa sovereignty as the absolute and perpetual power bagi suatu negara. Seperti juga dikemukakan oleh Oppenheim-Lauterpacht bahwa kedaulatan adalah konsep yang sangat fundamental dalam suatu negara. Hanya dengan adanya kedaulatanlah suatu negara dikatakan merdeka. Tanpa kedaulatan yang harus dihormati oleh negara lain, maka tidak ada artinya

  

  suatu negara. Persyaratan negara yang harus memiliki capacity to enter in to relation with other

   states hanya dapat dipenuhi jika negara memiliki kedaulatan.

  7 8 Ibid., Hal. 243 nd 9 United Nations, General Assembly Resolution, December,12 , 1974, No. 3281 (XXIX). 10 M. Sornarajah, The International Law on Foreign Investment, (Cambridge University Press, 1994), hal. 3 Jean Bodin, Six Books of the Commenwealth, dikutip dalam Kenneth Kiplagat, “An Institutional and

Structural Model for SuccessfulEconomic Integration in Developing Countries”, Texas International Law Journal,

Winter (1994), Hal. 2 11 12 Oppenheim – Lauterpacht, International Law ; A Tratise, Vol.1, (Longmans, 1967), Hal. 118.

  Perhatikan Pasal 1 Konvensi Monteideo, 1933 tentang unsur-unsur sebuah Negara. Unsur keempat yang

harus ada dalam sebuah Negara adalah capacity to enter into relation with other state. Kapasitas ini tidak mungkin Namun patut dipahami pula bahwa sebesar apapun penghormatan hukum internasional terhadap kedaulatan suatu negara, bukanlah berarti pelaksanaan kedaulatan tersebut tidak mempunyai batasan-batasan. Salah satu batasan dalam pelaksanaan kedaulatan adalah kewajiban negara pemilik kedaulatan yang ditetapkan berdasarkan perjanjian-perjanjian internasional. Seperti disebutkan dalam Article 4 Charter of Economic Rights and Duties of State sebagai berikut :

  “…every State is free to choose the form of organization of its foreign economic relations and and to enter into bilateral and multilateral arrangement consistent with its international obligations and with the need of international economic co-operation.

  Kedaulatan negara untuk menata sendiri kegiatan pelaku usaha asing di wilayah hukumnya harus memperhatikan kewajiban-kewajiban internasional dari negara tersebut.

  

2. Kedaulatan Hukum Negara di Bidang Ekonomi dalam Kesepakatan Umum dalam

Perdagangan Jasa (General Agreement on Trade in Services)

  2.1. GATS mempengaruhi kedaulatan internal Negara-negara anggota

  Pasal 1 ayat (1) GATS yang berbunyi: “ This agreement applies to measures by Member

  

affecting trade in services” . Pasal XVIII GATS mendefinisikan measures meliputi seluruh tindakan

  yang diambil oleh Negara-negara anggota baik dalam bentuk law, regulation, rule, procedure,

decision, administrative action maupun bentuk lainnya yang berdampak pada perdagangan jasa.

Tindakan pemerintah untuk mengatur perdagangan jasa baik dalam bentuk law, regulation, rule,

  

procedure, decision, administrative action maupun bentuk lainnya tidak boleh bertentangan

  dengan GATS. Measure yang berdampak pada perdagangan jasa yang bertentangan dengan GATS dapat melahirkan tuntutan hukum dari Negara-negara anggota lainnya. Akan tetapi, Negara-negara anggota menerima disiplin tersebut lebih dikarenakan merasa perlu dalam rangka memaksimalkan manfaat kerjasama internasional yang berbasis ketentuan (rule base

  

system). Komitmen GATS dimaksudkan untuk melindungi masyarakat atau mencapai akses

  universal (misalnya dalam telekomunikasi dan penyediaan air bersih) diberlakukan tanpa

   memperhatikan nasionalitas pemasok.

  Negara-negara yang meratifikasi GATS akan menjadikan ketentuan GATS tersebut sebagai international obligation yang wajib dipatuhi oleh negara dalam pergaulan bangsa-bangsa 13 Zulkarnain Sitompul, “Domestic Regulation dan Perbaikan Iklim Usaha”, makalah disampaikan pada

  

acara Training for Trainers Mengenai Seluk Beluk Perdagangan Jasa WTO/GATS, diselenggarakan oleh Kementerian beradab. Hal ini sesuai dengan Article 4 Charter of Economic Rights and Duties of State yang menyebutkan : “…every State is free to choose the form of organization of its foreign economic relations

  

and and to enter into bilateral and multilateral arrangement consistent with its international obligations

and with the need of international economic co-operation.”

  2.2. GATS dilaksanakan dalam kerangka kepentingan nasional dan tingkat kebutuhan ekonomi negara anggota Berdasarkan preambule GATS dapat dipahami bahwa liberalisasi perdagangan sektor jasa yang ingin diwujudkan melalui GATS harus dimaknai dalam konteks liberalisasi secara bertahap (liberalisasi progresif) yang ditempuh melalui serangkaian perundingan multilateral dengan tetap menghormati kepentingan nasional Negara anggota. Dalam konteks ini liberalisasi perdagangan jasa tidak demi hukum berlaku secara agresif untuk seluruh sektor jasa, akan tetapi ditentukan secara bertahap melalui perundingan dengan tetap mengakui adanya keadaan asitmetris pada tingkat pembangunan di berbagai Negara yang merupakan kepentingan khusus, terutama bagi Negara-negara berkembang. Keadaan asimetris pada tingkat pembangunan ekonomi negara-negara memungkinkan negara-negara anggota GATS untuk mengatur secara khusus persyaratan-persyaratan tertentu dalam perdagangan jasa yang disesuaikan dengan komitmen yang diberikan oleh negara tersebut.

  GATS masih membenarkan adanya proteksi oleh pemerintah terhadap perdagangan jasa domestik melalui schedule of commitment dan specificic of commitment (SOC) yang dibuat masing-masing negara sesuai dengan keadaan negara tersebut yang kemudian dirundingkan dengan mitra dagangnya. Negara yang membuat SOC tersebut tunduk pada ketentuan GATS dengan disertai suatu kondisi, pembatasan, dan persyaratan sebagaimana tercantum dalam

  

  . SOC diatur pada Bagian III yang terpisah dari Bagian II GATS yang komitmennya itu merupakan general obligations. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa schedule of

commitments bukan merupakan automatic obligation, tetapi merupakan suatu specific obligation.

  Artinya yang menjadi kewajiban adalah sesuai dengan yang tercantum dalam SOC negara yang bersangkutan.

  Pendekatan yang dipergunakan dalam pembuatan SOC adalah bersifat campuran sebagai hasil kompromi dalam menentukan cakupan GATS sebagaimana telah dijelaskan di 14 Lihat lebih lanjut John H. Jackson, et.all, Legal Problem of International Economic Relation, (St. Paul : West atas. Positive list dipergunakan di dalam membuka sektor/sub-sektor maupun transaksi kepada

  

foreign services supplier . Artinya hanya sektor/sub-sektor/transaksi yang dibuat dalam SOC itu

  saja yang dapat dimasuki oleh foreign services supplier sesuai dengan persyaratan atau pembatasan yang ada dengan mendapat perlindungan penuh dari GATS. Pendekatan ini dikenal dengan nama “up-down approach”. Sebaliknya, pendekatan negative list dipergunakan ketika negara tersebut menyatakan komitmennya di bidang market acces dan national treatment. Untuk market acces, komitmen tersebut dinyatakan dalam bentuk terms, limitations, and

  

conditions . Contohnya adalah untuk bentuk pendirian perusahaan joint ventures, modal pihak

  asing maksimal sebesar 49%. Untuk national treatment, dinyatakan dalam bentuk conditional and

  

qualifications , misalnya pihak asing hanya dapat mendirikan hotel bintang 5 ; suatu ketentuan

  yang tidak berlaku bagi pengusaha nasional. Pendekatan ini dikenal dengan nama “bottom up

  

approach ”. Sementara itu, additional commitments dinyatakan dalam bentuk suatu understaking

(pernyataan) yang biasanya menyangkut suatu kualifikasi profesional, standar, dan perizinan.

  Liberalisasi bertahap tersebut dilakukan dengan mewajibkan semua anggota WTO untuk melakukan putaran negosiasi secara berkesinambungan yang dimulai paling lambat lima tahun sejak berlakunya Perjanjian WTO (sejak 1 Januari 1995). Negosiasi tersebut harus dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan measures yang berdampak buruk terhadap perdagangan jasa. Meskipun demikian, proses liberalisasi harus dilakukan dengan tetap menghormati kepentingan nasional dan tingkat pembangunan masing-masing (Pasal XIX ayat (1) dan (2) GATS).

  2.3. Kemampuan Mengatur dalam Domestic Regulation

  Pasal VI GATS tentang Domestic Regulation mengakui kewenangan Negara untuk menetapkan measures terhadap sector-sektor jasa yang dinyatakan dalam specific of commitment Negara tersebut. Pasal ini memberikan kewenangan mengatur kepada Negara-negara, khususnya untuk menetapkan persyaratan dan prosedur, standar lisensi dan persyaratan perizinan terhadap bidang usaha jasa yang masuk dalam daftar komitmen khusus Negara tersebut.

  Hanya saja yang diperlu diperhatikan adalah ketentuan-ketentuan domestik tersebut

  

  harus dilaksanakan dalam cara yang wajar, objektif dan tidak memihak. Khusus terhadap peraturan domestic (domestic regulation) yang berkenaan dengan persyaratan dan prosedur, standar lisensi dan persyaratan perijinan harus dipastikan bahwa : (a). didasarkan pada kriteria yang objektif dan transparan, (b). tidak lebih berat daripada yang semestinya untuk menjamin kualitas jasa-jasa, dan (c). dalam hal prosedur perizinan bukan merupakan hambatan dalam supply jasa-jasa.

  2.3.1. Qualification Requirement Setiap Negara anggota harus menjamin bahwa ketentuan-ketentuan tentang qualification

  

requirement harus transparan, relevan dan tidak dijadikan sebagai hambatan terselubung

  terhadap pemasok jasa. Dalam konteks ini penolakan terhadap permohonan pemasok jasa harus diberitahukan dilengkapi dengan alasan penolakan dan selanjutnya diberikan kesempatan untuk melakukan perbaikan permohonan. Dalam melakukan penilaian, harus dipertimbangkan pengalaman professional, keanggotaan pada organisasi profesi sebagai tambahan atas kualifikasi akademis yang dimiliki pemohon. Negara-negara anggota juga berkewajiban untuk memastikan bahwa biaya permohonan untuk memperoleh ijin adalah biaya yang wajar.

  2.3.2. Qualification Procedure Ketentuan tentang qualification procedure harus sederhana dan apabila dimungkinkan pemohon hanya berurusan dengan satu otoritas. Setiap penilaian dan ujian yang harus diikuti oleh pemohon dilakukan dalam interval waktu yang wajar dan proses permohonan diselesaikan dalam waktu yang tidak terlalu lama.

  2.3.3. Licensing Requirement Klausula penting dalam licensing requirement adalah tentang persyaratan residensi. Apabila ada persyaratan residensi untuk mendapatkan lisensi maka persyaratan tersebut harus sekecil mungkin dapat digunakan sebagai alat untuk menghambat usaha.

  2.3.4. Licensing Procedure Ketentuan ini bersama dengan ketentuan licencing requirement dimaksudkan untuk menjamin tersedianya pemasok jasa yang berkualitas melalui mekanisme perijinan. Proses perijinan harus tidak dijadikan sebagai alat untuk menghambat masuk pasar (barrier to entry).

  2.3.5. Technical Standard Penerapan technical standard harus secara transparan dan berdasarkan kriteria objektif.

  

Tehnical standard harus diberitahukan kepada seluruh masyarakat. Untuk sector jasa yang telah

  memiliki standar internasional, Negara anggota diminta agar menggunakan standar internasional sebahagian atau seluruhnya.

  2.3.6. Prior Comment Memberikan kesempatan kepada setiap pihak yang berkepentingan untuk memberikan masukan atas setiap rancanangan ketentuan yang mengatur qualification requirement,

  qualification procedure, licensing requirement, licensing procedure dan technical standard. Komentar

  yang diberikan tersebut diharapkan tercermin secara substantive dalam ketentuan yang dikeluarkan. Terdapat jangka waktu yang wajar antara dikeluarkannya suatu ketentuan

   dengan diberlakukannya secara efektif ketentuan tersebut.

3. Sinkronisasi Hukum dan Penerapan Regulatory Impact Assetment Sebuah Kebutuhan

  Harmonisasi hukum sangat penting dilakukan untuk menghindari adanya tuntutan dari Negara lain terhadap regulasi di sector jasa yang ada dengan alasan bertentangan dengan GATS. Terlebih lagi karena kondisi regulasi di Indonesia yang sangat banyak baik yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat, daerah otorita maupun pemerintah daerah. Dalam suatu kajian yang dikeluarkan oleh Bank Dunia pada tahun 2008 yang mengukur objektif regulasi bisnis dan penegakannya di 178 Negara menunjukkan gambaran yang tidak menggembirakan bagi Indonesia. Berdasarkan indikator kemudahan berusaha untuk Negara-negara di Asia Tenggara, Indonesia menduduki peringkat ke-20, untuk indikator memulai usaha menduduki peringkat ke-25 (lebih buruk dari seluruh Negara ASEAN), untuk perijinan Indonesia berada

  

  pada posisi 17, dan untuk indicator contract enforcement berada pada posisi 20. Analisis KPPOD menunjukkan mengarah pada suatu kesimpulan bahwa regulasi masih menjadi hambatan terpenting bagi dunia usaha di Indonesia. Sebesar 31 % hambatan berusaha berasal dari masalah kelembagaan, antara lain peraturan daerah 25 %, penegakan hukum 17 %,

   pelayanan birokrasi 15 %.

  Sejak tahun 2001 Indonesia memberlakukan kebijakan otonomi daerah. Penyelenggaraan pemerintahan diserahkan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah terutama di tingkat kabupaten/kota. Transisi dramatis ini, merupakan tonggak positif dari demokrasi, namun juga telah menimbulkan masalah yang bersifat administratif dan diiringi dengan kebijakan insentif yang keliru. Dalam kenyataannya, dengan diterapkan kebijakan tersebut iklim bisnis mengalami kemunduran secara signifikan karena dua alasan utama: (1) Pemerintah Daerah memberlakukan sejumlah regulasi untuk meningkatkan Pendapatan Asli 16 17 Zulkarnain Sitompul, op.cit, hal. 18 Ibid., hal. 5 Daerah (PAD) tanpa memperhatikan dampaknya terhadap perekonomian dan pelayanan publik, dan (2) banyak Peraturan Daerah (Perda) yang tidak konsisten dengan undang-undang

   atau peraturan di tingkat nasional.

  Kondisi seperti diuraikan diatas, apabila terus berlanjut maka dapat menggambarkan potensi masalah hukum bagi Indonesia terkait dengan pelaksanaan GATS secara umum, khususnya terkait dengan ketentuan domestic regulation. Untuk itulah perlu dilakukan secara berkelanjutan reformasi regulasi dan sinkronisasi hukum baik secara vertical maupun horizontal untuk menemukan regulasi-regulasi yang menghambat dunia usaha dan tidak konsisten dengan kewajiban internasional Indonesia sedangkan untuk regulasi baru perlu diterapkan secara konsisten analisis regulatory impact assestment (RIA).

  Secara konseptual RIA merupakan proses review regulasi baik existing maupun proponed

  

regulation yang terdiri dari 7 langkah analisis sebagai berikut : (1). Perumusan masalah yang

  jelas (2). Identfikasi tujuan dikeluarkannya regulasi ; (3). Analisis alternative tindakan untuk menemukan alternative tindakan paling efektif menyelesaikan masalah. Dengan cara ini belum tentu regulasi menjadi pilihan utama menyelesaikan masalah ; (4). Analisis biaya dan manfaat ; (5). Pemilihan tindakan ; (6). Strategi implementasi dan (7). Konsultasi public pada setiap tahapan. RIA dengan demikian akan dapat mengurangi lahirnya peraturan-peraturan yang tidak efektif atau memberatkan dunia usaha.

  Terkait dengan GATS dan Domestic Regulation, Kementerian Keuangan telah mencoba menjabarkan intisari domestic regulation yang didapat dipergunakan untuk analisis simulasi terhadap regulasi yang berpotensi tidak konsisten dengan GATS dan domestic regulation

  

(terlampir) . Upaya ini harus didukung oleh sosialisasi secara terus menerus mengenai GATS,

domestic regulation , dan RIA terutama kepada para pembuat peraturan baik di tingkat pusat,

  daerah otoritas dan pemerintah daerah.

4. Hal-hal yang perlu diperhatikan

  Berikut ini dipaparkan beberapa hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan persiapan menghadapi GATS. 1. mengidentifikasi sektor usaha secara akurat 19 Berdasarkan Data Kementerian Keuangan tahun 2008, terlihat bahwa sebanyak 2431 atau sebesar 30 %

  peraturan daerah dibatalkan karena tidak disertai dengan analisis ekonomi yang komprehensif dan sebanyak 3414

  Mengingat liberalisasi sektor jasa berdasarkan GATS berlangsung secara progresif (bertahap) dan dimungkinkannya perlindungan terhadap industri jasa domestik melalui SOC, maka sangat diperlukan adanya upaya untuk mengidentifikasi sektor-sektor usaha jasa secara komprehensif. Hal ini sangat diperlukan untuk penyusunan komitmen dan komitmen spesifik terutama dalam penetapan persyaratan-persyaratan tertentu bagi pelaku usaha jasa asing. Sama seperti pada saat penyusunan tariff bea masuk sebagai instrument proteksi bagi industri dalam negeri, maka identifikasi terhadap seluruh sector jasa harus dilakukan secara komprehensif untuk mendapatkan data yang akurat. Upaya identifikasi ini harus dilakukan dengan menggunakan pendekatan multistakeholder terutama melibatkan pelaku usaha jasa atau asosiasi pelaku usaha jasa di Indonesia.

  2. memperbaiki iklim usaha di Indonesia Perbaikan iklim usaha mutlak diperlukan agar pelaku usaha domestik mampu mempersiapkan daya saing yang lebih baik. Perbaikan iklim usaha disini diartikan secara luas meliputi seluruh faktor yang mempengaruhi iklim usaha di Indonesia, antara lain : (1). Faktor kinerja perekonomian nasional, meliputi kinerja ekspor impor, investasi, ketenagakerjaan, dan stabilitas harga; (2). Factor efisiensi kelembagaan, meliputi : perbaikan kebijakan pengelolaan keuangan dan fiscal, reformasi regulasi terkait iklim usaha di Indonesia dan memperbaiki sistim koordinasi kelembagaan, (3). Factor efisiensi usaha yang meliputi upaya peningkatan produktifitas, pasar tenaga kerja dan manajerial, dan (4). Perbaikan secara berkelanjutan infrastruktur baik infastruktur fisik, teknologi dan infrastruktur dasar.

  3. memperbaiki iklim investasi Perbaikan iklim investasi secara menyeluruh dapat meliputi upaya-upaya meningkatkan economic opportunity, political stability dan legal certainty. Selain faktor politik ekonomi dan politik, faktor lain yang menjadi pertimbangan bagi investor untuk menanamkan modalnya adalah masalah kepastian dan prediktabilitas hukum. Pendapat senada

  

  dikemukakan oleh Paul V. Horn dan Henry Gomez sebagai berikut : “ In making foreign investment a number of important points are to be taken into 20 consideration. The Investor is concerned, first, with the safety of his investment and,

  Paul V. Horn and Henry Gomez, International Trade Principles and Practices, Fourth Edition, (New Jersey :

  second, with the return which it yields. The factors having a direct bearing on these

  considerations may be classified as follows : (1). Political stability and financial integrity in the borrowing or host country; (2) purpose for which the investment is made ; (3) laws pertaining to capital and taxation, attitude towards foreign investment, and other aspects of the investment climate of the host country; (4) future potential and economic growth of the country where the investment is made; (5) exchange restrictions pertaining to the remission of profits and with-drawal of the initial investment.” Berdasarkan pandangan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa bila suatu negara ingin menjadi tujuan investasi, maka hukum terkait prosedural dan kegiatan investasi harus dapat menciptakan kepastian. Namun berbeda dengan kondisi ideal tersebut, hampir setiap kajian mengenai iklim investasi di Indonesia menempatkan ketidakpastian hukum sebagai faktor yang menghambat pertumbuhan investasi baik asing maupun dalam negeri, baik investasi langsung (direct investment) maupun portfolio investment. Studi Bank Dunia yang dipublikasikan tahun 2005 mencatat bahwa pada tataran perusahaan (firm level) ditemukan sejumlah hambatan investasi yang masuk dalam kategori instabilitas makro-ekonomi, kebijakan dan regulasi yang tidak pasti dan tingginya tingkat korupsi. Masalah lainnya meliputi rendahnya atau sulitnya akses terhadap pembiayaan, rendahnya supplay energi listrik, rendahnya skill tenaga kerja, regulasi bidang ketenagakerjaan, dan sejumlah persoalan terkait desentralisasi kewenangan

   investasi pada tingkat pemerintahan daerah.

  Pemerintah Indonesia telah melakukan sejumlah upaya reformasi yang cukup strategis dengan mengadopsi lebih banyak reformasi fiscal, liberalisasi perdagangan, reformasi sektor keuangan, perpajakan, ketenagakerjaan dan reformasi regulasi bisnis. Namun yang menjadi permasalahan adalah adanya jurang (gap) antara political will Pemerintah dengan implementasi

   di lapangan, termasuk adanya gap antara peraturan dengan kenyataan penerapannya.

  4. memperkuat sistim hukum Sistim hukum yang efektif akan memperluas kesempatan berusaha dan mampu mengundang investasi asing. Sebaliknya pengalaman menunjukkan tidak efektifnya hukum telah menghancurkan ekonomi Asia yang semula dipandang sebagai sebuah keajaiban. Para ahli berkesimpulan bahwa sistim hukum dari Negara-negara yang terkena krisis tersebut 21 Roy Nixon, “Improving the Investment Climate in APEC Economies”, the Australian Treasury, Foreign Investment and Trade Policy Division, 2005, hlm. 59.

  

  merupakan salah satu faktor yang memberikan kontribusi. Penyebabnya adalah liberalisasi akan berjalan efektif apabila hukum mampu menjamin bahwa distorsi yang disebabkan oleh persaingan dan akumulasi modal dapat dijaga dalam batas-batas tertentu sehingga kompatibel

   dengan pertumbuhan dan social cohesion.

  5. peningkatan kapasitas pelaku usaha domestik Upaya peningkatan kapasitas dan kompetensi pelaku usaha domestic, khususnya

  UMKM dalam berbagai aspek harus segera dilakukan secara berkelanjutan. Upaya ini dapat dilakukan dengan berbagai program peningkatan kapasitas dan kompetensi, baik melalui pelatihan-pelatihan, pendidikan, akses terhadap informasi dan teknologi, akses terhadap pembiayaan dan lain-lain.

  6. sosialisasi berkelanjutan Sosialisasi berkelanjutan dilakukan terhadap seluruh pemangku kepentingan, khususnya terhadap pembuat peraturan dan kebijakan baik di tingkat pusat, daerah otorita maupun pemerintah daerah. Karena sengketa GATS yang potensial muncul berasal dari kebijakan yang dibuat pemerintah (pusat, otorita maupun pemerintah daerah).

  7. upaya lain-lain

  Bagian ini dibuat mengingat masih banyaknya hal-hal yang perlu diperhatikan, antara lain melaksanakan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik dan pemerintahan yang bersih, mempermudah prosedur perijinan, memperbaiki kualitas layanan publik, membuka akses terhadap sumber pembiayaan, memperkuat proses demokrasi, reformasi regulasi, penegakan hukum, menciptakan kondisi persaingan usaha yang sehat, pemberantasan korupsi, dan lain sebagainya sampai kepada peningkatan kualitas pendidikan.

D. Kesimpulan

  Pelaksanaan GATS sebagai sebuah international obligation ini akan berpengaruh terhadap

measures yang diambil oleh pemerintah yang mempengaruhi perdagangan jasa internasional.

23 Barry Metzger, dalam Katharina Pistor dan Philip A. Wellon, et.all, The Role of Law and Legal Institutions in

  Asian Economic, (New York : Oxford University Press, 1999), dikutip dalam Zulkarnain Sitompul, op.cit, hal. 8 24 Hendrik Spruyt, “New Institutionalism and International Relation” dalam Ronen (ed.), Global Political

  Namun tidak berarti bahwa disiplin terkait measures tersebut akan menghilangkan kedaulatan hukum Indonesia untuk mengatur perdagangan jasa di wilayah yurisdiksinya. Kedaulatan hukum Indonesia terhadap dihormati dalam kerangka GATS mengingat pelaksanaan GATS tersebut secara prinsip didasarkan pada kepentingan nasional dan tingkat kebutuhan pembangunan ekonomi Negara-negara anggota.

  Eksistensi kedaulatan internal dalam GATS juga terlihat dari prinsip liberalisasi progresif (bertahap), perlindungan terhadap industri jasa domestik SOC, juga secara khusus mengatur tentang domestic regulation yang memungkinkan Negara-negara untuk mengatur secara khusus komitmen-komitmen spesifik yang diajukannya.

  Agar pelaksanaan kedaulatan hukum tersebut tidak menghasilkan measures yang bertentangan dengan GATS yang berakibat pada tuntutan hukum dari Negara anggota lain, maka perlu dilakukan identifikasi sector-sektor jasa kompetitif dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan terkait, sinkronisasi peraturan perundang-undangan terkait perdagangan jasa, melakukan reformasi regulasi dengan menggunakan pendekatan regulation

  

impact assestment. Di samping itu perlu dilakukan upaya-upaya mewujudkan prinsip-prinsip

  tata pemerintahan yang baik dan pemerintahan yang bersih, upaya-upaya konkrit dalam perbaikan iklim usaha di Indonesia, memperkuat sistim hukum perbaikan iklim investasi, sosialiasi secara berkelanjutan, pembukaan akses pembiayaan, peningkatan kapasitas services

  

supplier domestic, penyederhanaan ijin dan prosedur, memperluas dan mempermudah

  kesempatan berusaha, penegakan hukum persaingan usaha yang sehat dan upaya-upaya lain yang dapat meningkatkan daya saing industri jasa nasional. Jika tidak, maka industri jasa nasional tidak akan siap menghadapi persaingan sektor jasa yang semakin terbuka.

Dokumen yang terkait

Perkembangan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Tahun 1954 – 2003

1 55 95

Aspek Hukum Pelarangan Ekspor Mineral Mentah Terkait Dengan Prinsip-Prinsip General Agreement On Tariffs And Trade (Gatt)

2 86 156

Aspek Hukum Pelarangan Ekspor Mineral Mentah Terkait Dengan Prinsip-Prinsip General Agreement On Tariffs And Trade (Gatt)

7 60 147

Anita Kamilah Dosen Program Magister Ilmu Hukum dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Suryakancana E-mail: anita.kamilahyahoo.co.id Yuyun Yulianah Dosen Fakultas Hukum Universitas Suryakancana E-mail: yuyunyuliana01gmail.com ABSTRAK - LAND TENURE SYSTEM DA

0 0 21

KEDAULATAN DI BIDANG INFORMASI DALAM ERA DIGITAL: TINJAUAN TEORI DAN HUKUM INTERNASIONAL Tri Andika Abstrak - KEDAULATAN DI BIDANG INFORMASI DALAM ERA DIGITAL: TINJAUAN TEORI DAN HUKUM INTERNASIONAL

0 0 10

BAB II SEJARAH FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2.1 Latar Belakang Perencanaan Berdirinya Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara - Perkembangan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Tahun 1954 – 2003

0 1 11

Perkembangan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Tahun 1954 – 2003

0 0 14

BAB II LARANGAN EKSPOR MINERAL MENTAH BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA A. Aspek Hukum Pertambangan di Indonesia - Aspek Hukum Pelarangan Ekspor Mineral Mentah Terkait Dengan Prinsip-Prinsip General Agreement On Tariffs And Trade (Gatt

0 0 37

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Aspek Hukum Pelarangan Ekspor Mineral Mentah Terkait Dengan Prinsip-Prinsip General Agreement On Tariffs And Trade (Gatt)

0 0 33

ASPEK HUKUM PELARANGAN EKSPOR MINERAL MENTAH TERKAIT DENGAN PRINSIP-PRINSIP GENERAL AGREEMENT ON TARIFFS AND TRADE (GATT) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-Syarat dalam Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

0 0 12