2.1. Pengetahuan 2.1.1. Definisi Pengetahuan - Tingkat Pengetahuan Ibu Hamil Terhadap Pemilihan Jenis Anestesi untuk Tindakan Seksio Sesarea di RSUP. H. Adam Malik Medan pada Tahun 2012

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Di dalam tinjauan teoritis ini akan dipaparkan tentang konsep-konsep terkait dengan pengetahuan, operasi seksio caesaria, dan jenis-jenis anestesi.

2.1. Pengetahuan

2.1.1. Definisi Pengetahuan

  Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan umumnya datang dari pengalaman, juga bisa didapat dari informasi yang disampaikan oleh guru, orang tua, teman, buku dan surat kabar. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2003). Menurut Setiawati (2008), yang mengutip dari Rogers (1974), pengetahuan adalah hasil dari proses pembelajaran dengan melibatkan indra penglihatan, pendengaran, penciuman, dan pengecap. Pengetahuan akan memberikan penguatan terhadap individu dalam setiap mengambil keputusan dan individu tersebut akan melakukan perubahan dengan mengadopsi prilaku.

  Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah ada dan tersedia dan sementara orang lain tinggal menerimanya. Pengetahuan adalah sebagai suatu pembentukan yang terus menerus oleh seseorang yang setiap saat mengalami reorganisasi karena adanya pemahaman-pemahaman baru. Pengetahuan bukanlah suatu barang yang dapat dipindahkan dari pikiran seseorang yang telah mempunyai pengetahuan kepada pikiran orang lain yang belum memiliki pengetahuan tersebut dan manusia juga dapat mengetahui sesuatu dengan menggunakan indranya (Budiningsih, 2005).

2.1.2. Tingkat Pengetahuan

  Menurut Notoatmodjo (2003), tingkatan pengetahuan di dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan yaitu: Tahu (Know) Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.

  Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang diterima. Oleh sebab itu tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.

  Memahami (Comprehension) Memahami diartikan sebagai kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterprestasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, memberi contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari. Aplikasi (Aplication) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada suatu atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.

  Analisis (Analysis)

  Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dalam menggambarkan atau membuat bagan, membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan sebagainya. Sintesis (Synthesis) Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru. Misalnya dapat menyusun, merencanakan, meringkas, menyesuaikan dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada. Evaluasi (Evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada (Notoatmodjo, 2003).

2.1.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

  Pengetahuan merupakan informasi dan penemuan yang bersifat kreatif untuk mempertahankan pemgetahuan baru, dimana perawat dapat menggunakan kemampuan rasional logis dan pemikiran kritis untuk menganalisis informasi yang diperoleh melalui pembelajaran tradisional, pencarian informasi, belajar dari pengalaman, penelitian ide terhadap disiplin ilmu lain, dan pemecahan masalah untuk menentukan terminologi tindakan keperawatan. Selain itu, perawat dapat menggunakan kemampuan penyelidikan ilmiah untuk mengidentifikasi dan menyelidiki masalah klinis, profesional atau pendidikan (Potter & Perry, 2005).

  Menurut Notoatmodjo (2003), menjelaskan beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan yaitu : Pendidikan

  Pendidikan adalah sebagai suatu usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah berlangsung seumur hidup, menurut batasan ini proses pendidikan tidak hanya sampai pada kedewasaan saja, melainkan tetap berlangsung seumur hidup. Pendidikan adalah suatu proses belajar yang berarti didalam pendidikan itu terjadi proses pertumbuhan, perkembangan, atau perubahan kearah yang lebih dewasa, baik dan matang pada diri individu, kelompok atau masyarakat. Melalui pendidikan seseorang akan memperoleh pengetahuan, apabila semakin tinggi tingkat pendidikan, maka hidup akan semakin berkualitas, dimana seseorang akan berfikir logis dan memahami informasi yang diperolehnya (Notoatmodjo, 2003).

  Pengembangan sistem pendidikan tinggi keperawatan sangat penting dan berperan dalam pengembangan pelayanan keperawatan profesional, pengembangan teknologi keperawatan, pembinaan kehidupan keprofesian, dan pendidikan keperawatan berkelanjutan yang dicapai melalui lulusan dengan kemampuan profesional. Langkah awal yang perlu ditempuh adalah penataan pendidikan keperawatan dan memberikan kesempatan kepada perawat untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Lulusan Akademi Keperawatan diharapkan dapat melanjutkan ke jenjang S1 keperawatan. Pendidikan tinggi keperawatan sebagai sarana mencapai profesionalisme keperawatan harus tetap dipacu. Kepedulian terhadap pengelolaan pendidikan tinggi mempunyai alasan karena keberhasilan pengembangan keperawatan di Indonesia di masa mendatang sangat bergantung pada penataan dan pengembangan pendidikan tinggi keperawatan (Nursalam, 2008). Pengalaman Pengalaman merupakan sumber pengetahuan atau pengalaman merupakan suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan. Oleh sebab itu, pengalaman pribadi dapat digunakan sebagai upaya memperoleh pengetahuan. Hal ini dilakukan dengan cara mengulang kembali pengalaman yang diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi. Pengalaman adalah sesuatu yang pernah dirasakan yang merupakan kesadaran akan sesuatu hal yang tertangkap oleh indera manusia. Sikap yang diperoleh dari pengalaman akan menimbulkan pengaruh langsung terhadap prilaku berikutnya yang direalisasikan hanya apabila kondisi dan situasi yang memungkinkan.

  Pengalaman belajar dan bekerja yang dikembangkan memberikan pengetahuan dan ketrampilan profesional serta pengalaman belajar selama bekerja akan dapat mengembangkan kemampuan mengambil keputusan yang merupakan manifestasi dari keterpaduan menalar secara ilmiah dan etik yang bertolak dari masalah nyata dalam bidang keperawatan (Notoatmodjo, 2003). Pekerjaan

  Pekerjaan dapat membawa suatu pengalaman, pengalaman belajar dalam bekerja yang dikembangkan memberikan pengetahuan dan ketrampilan profesional serta pengalaman. Pekerjaan merupakan suatu kegiatan atau aktifitas seseorang untuk memperoleh penghasilan guna memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Pekerja adalah mereka yang bekerja pada orang lain atau institusi, kantor, perusahaan dengan menerima upah atau gaji, baik berupa uang atau barang. Sedangkan lapangan kerja atau jabatan adalah suatu pekerjaan yang dilakukan atau di tugaskan pada seseorang (Notoatmodjo, 2003). Motivasi Motivasi merupakan dorongan keinginan yang berasal dalam diri seseorang untuk melakukan sesuatu dalam mencapai tujuan dan dapat dipengaruhi oleh orang lain atau lingkungan. Untuk merubah karakteristrik yang lama seperti nilai, sikap, kepercayaan dan pemahaman, maka perlu dukungan dan dorongan dari orang sekitarnya.

  Motivasi merupakan dorongan yang menyebabkan seseorang mengambil suatu tindakan. Motivasi dapat berasal dari motif sosial, tugas, atau fisik. Penyelesaian tugas sosial dan motivasi fisik menstimulasi seseorang untuk belajar. Motivasi sosial dibutuhkan untuk berhubungan, penampilan sosial, atau harga diri. Individu secara umum mencari orang lain untuk membandingkan pendapat, kemampuan, dan emosi dan penyelesaian tugas memotivasi didasari oleh kebutuhan seperti keberhasilan dan kompetensi maka pengetahuan yang diperlukan untuk mempertahankan diri menghasilkan stimulus yang lebih besar untuk belajar daripada pengetahuan yang hanya meningkatkan kesehatan. Strategi pengajaran menggambarkan hubungan yang penting dengan berbagai motivasi fisik (Potter & Perry, 2005). Informasi Informasi merupakan faktor yang mungkin mencakup ketrampilan dan sumber daya untuk melakukan prilaku kesehatan. Semakin banyak informasi yang diterima oleh seseorang maka semakin meningkat pula pengetahuan yang dimilikinya.Sumber informasi adalah data yang diproses kedalam suatu bentuk dan mempunyai nilai nyata. Salah satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan yang menjadi sumber informasi adalah lingkungan. Menurut berbagai penelitian lingkungan akan membentuk kepribadian seseorang dimana lingkungan yang banyak menyediakan informasi yang akan menambah pengetahuan seseorang (Potter & Perry, 2005).

2.1.4. Cara Memperoleh Pengetahuan

  Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek peneliti atau responden. Pengetahuan yang ingin kita ketahui dapat diukur dan disesuaikan dengan tingkatan tersebut di atas (Notoatmodjo, 2003).

2.2 Ibu Hamil

  Menurut Federasi Obstetri Ginekologi Internasional, kehamilan didefinisikan sebagai fertilisasi atau penyatuan dari spermatozoa dan ovum dan dilanjutkan dengan nidasi atau implantasi. Bila dihitung dari saat fertilisasi hingga lahirnya bayi, kehamilan normal akan berlangsung dalam waktu 40 minggu atau 10 bulan atau 9 bulan menurut kalender internasional. Kehamilan terbagi dalam 3 trimester, dimana trimester kesatu berlangsung dalam 12 minggu, trimester kedua 15 minggu (minggu ke-13 hingga ke-27), dan trimester ketiga 13 minggu (minggu ke-28 hingga ke-40) (Prawirohardjo,2009.p.213).

  Masa kehamilan adalah dimulai dari konsepsi sampai lahirnya janin. Lamanya hamil normal adalah 280 hari (40 minggu atau 9 bulan 7 hari) dihitung dari hari pertama haid terakhir (Sarwono,2008.p.89). Seorang ibu dapat didiagnosa hamil adalah apabila didapatkan tanda-tanda pasti kehamilan yaitu Denyut Jantung Janin (DJJ) dapat didengar dengan stetoskop laenec pada minggu 17-18, dapat dipalpasi (yang harus ditemukan adalah bagian-bagian janin jelas pada minggu ke-22 dan gerakan janin dapat dirasakan dengan jelas setelah minggu 24) dan juga dapat di Ultrasonografi (USG) pada minggu ke-6 (Kusmiyati et all 2008.p.97).

  Menurut Bagus Ida mengatakan tanda pasti hamil adalah ada atau terdapat gerakan janin dalam rahim (terlihat atau teraba gerakan janin dan teraba bagian- bagian janin), terdengar denyut jantung janin (didengar dengan stetoskop laenec, alat kardiotokografi atau EKG dan alat Doppler, dilihat dengan ultrasonografi, pemeriksaan dengan alat canggih, yaitu rontgen melihat kerangka janin,

  

ultrasonograf i) (Bagus Ida, 2005. p.126). Dengan disimpulkan bahwa Ibu hamil

  adalah seorang ibu dimulai masa kehamilan atau mulai dari konsepsi sampai lahirnya janin. Lamanya kehamilan normal adalah 280 hari atau 40 minggu, di hitung dari hari pertama haid terakhir dan dapat dilihat tanda pasti hamil yaitu ada gerakan janin dalam rahim (terlihat atau teraba gerakan janin dan teraba bagian bagian janin), terdengar denyut jantung janin (didengar dengan stetoskop laenec, alat kardiotokografi atau EKG dan alat Doppler) dilihat dengan ultrasonografi, pemeriksaan dengan alat canggih, yaitu rontgen melihat kerangka janin.

2.3. Seksio Sesarea

2.3.1. Definisi Seksio Sesarea

  Istilah seksio sesarea berasal dari bahasa latin “caedere” yang artinya “memotong”. Pengertian ini dapat dijumpai dalam hukum roma yaitu lex regia atau lex caesarea yang merupakan hukum yang menjelaskan bahwa prosedur tersebut dilakukan di akhir kehamilan pada seorang wanita yang dalam keadaan sekarat demi menyelamatkan calon bayinya (Cunningham et al, 2005). Seksio sesarea merupakan suatu proses insisi dinding abdomen dan uterus untuk mengeluarkan janin (Dorland, 2002).

  Seksio sesarea merupakan prosedur operasi yang dilakukan pada fetus pada akhir minggu ke-28 melalui penyayatan atau pengirisan pada dinding perut dan dinding rahim (Dutta, 2004). Seksio sesarea adalah suatu persalinan buatan, dimana janin yang dilahirkan melalui insisi atau penyayatan pada dinding perut dan dinding rahim dengan syarat rahim ibu dalam keadaan baik dan berat janin diatas 500 gram (Wiknjosastro, 2005)

2.3.2. Indikasi Seksio Sesarea

  Menurut Scott (2002) dalam Sinaga (2009), melahirkan dengan seksio sesarea sebaiknya dilakukan atas pertimbangan medis dengan memperhatikan kesehatan ibu maupun bayinya. Dengan maksud bahwa janin atau ibu dalam kadaan gawat darurat sehingga hanya dapat diselamatkan dengan persalinan seksio sesarea dengan tujuan untuk memperkecil timbulnya resiko pada ibu maupun bayinya. Menurut Cunningham, et al (2005), lebih dari 85 % persalinan seksio sesarea disebabkan oleh:

1. Riwayat seksio sesarea 2.

  Distosia persalinan dan kemacetan persalinan 3. Gawat janin 4. Letak sungsang

  Menurut Ricci (2001) indikasi persalinan seksio sesarea dibedakan berdasarkan beberapa faktor yaitu : Faktor ibu

  Indikasi yang paling sering terjadi yaitu, disproporsi Sefalo-pelvik yang merupakan ketidakseimbangan antara ukuran kepala bayi dengan ukuran panggul ibu (Decherney, Nathan, Goodwin, Laufer, 2007). Selain itu dapat juga disebabkan oleh disfungsi uterus, ruptura uteri, partus tak maju yang merupakan, persalinan yang berlangsung lebih dari 24 jam pada primipara, dan lebih dari 18 jam pada multipara yang terjadi meskipun terdapat kontraksi uterus yang kuat, janin tidak dapat turun karena faktor mekanis (Mochtar,1998). Faktor janin

  a. Gawat janin Keadaan gawat janin yang disertai dengan kondisi ibu yang kurang baik dianjurkan untuk dilakukan persalinan seksio sesarea. Jika ibu mengalami tekanan darah tinggi, kejang ataupun gangguan pada ari- ari maupun tali pusar dapat mengakibatkan gangguan aliran oksigen kepada bayi sehingga dapat menyebabkan kerusakan otak yang bahkan dapat menimbulkan kematian janin dalam rahim (Oxorn, 2003).

  b. Prolaps tali pusat Kejadian ini lebih sering terjadi jika tali pusar panjang dan jika plasenta letaknya rendah. Keadaan ini tidak mempengaruhi keadaan ibu secara langsung tetapi dapat sangat membahayakan janin karena tali pusat dapat tertekan antara bagian depan anak dan dinding panggul yang akan timbul asfiksia (Bratakoesuma, 2004).

  c. Malpresentasi janin Letak sungsang Bayi letak sungsang adalah letak memanjang dengan bokong sebagai bagian yang letaknya paling rendah (Bratakoesuma, 2004). Sekarang ini banyak kelainan letak bayi yang dilahirkan melalui persalinan seksio sesarea. Hal ini karena risiko kematian dan kecacatan yang timbul karena persalinan pervaginam jauh lebih tinggi. Secara teori penyebab kelainan ini dapat terjadi karena faktor ibu seperti kelainan bentuk rahim, letak plasenta yang rendah ataupun tumor jinak yang terdapat dalam rahim (Dewi, 2007). Letak Lintang Bayi letak lintang yaitu apabila sumbu memanjang janin menyilang sumbu memanjang ibu secara tegak lurus atau mendekati 90 derajat. Dalam kedaan normal yang cukup bulan bayi letak lintang tidak mungkin untuk dilahirkan secara spontan. Janin hanya dapat dilahirkan secara spontan jika janin prematur, sudah mati serta bila panggul ibu lebar (Bratakoesuma, 1998). Faktor plasenta

  a. Plasenta previa Letak plasenta yang ada di depan jalan lahir atau implantasi plasenta yang tidak normal yang dapat menutupi seluruhnya ataupun sebagian dari ostium internum sehingga dapat menghambat keluarnya bayi melalui jalan lahir (Chalik, 2008).

  b. Solusio plasenta Solusio plasenta merupakan keadaan terlepasnya sebagian atau seluruh plasenta yang letaknya normal dari perlekatannya diatas 22 minggu dan sebelum anak lahir (Mose, 2004). Pelepasan plasenta ini biasanya ditandai dengan perdarahan yang keluar melalui vagina, tetapi juga dapat menetap di dalam rahim, yang dapat menimbulkan bahaya pada ibu maupun janin. Biasanya dilakukan persalinan seksio sesarea untuk menolong agar janin segera lahir sebelum mengalami kekurangan oksigen ataupun keracunan oleh air ketuban, serta dapat menghentikan perdarahan yang dapat menyebabkan kematian ibu (Mochtar, 1998).

  Menurut Dutta (2004), indikasi persalinan seksio sesarea dibagi atas dua kategori yaitu: Indikasi absolut Apabila terjadi plasenta previa sentral, adanya Cephalopelvic Disproportion / CPD, adanya massa pada pelvis sehingga menyebabkan terjadinya penyumbatan, adanya kanker serviks, dan adanya obstruksi pada vaginal ( atresia, stenosis).

  Indikasi relatif Apabila ibu telah mengalami persalinan seksio sesarea sebelumnya, dijumpai adanya fetal distress, distosia, perdarahan antepartum, malpresentasi, gangguan tekanan darah ibu, serta adanya penyakit yang menyertai ibunya.

2.3.3. Jenis Seksio Sesarea

  Menurut Mochtar (1998) jenis operasi seksio sesarea yaitu: Seksio sesarea transperitonealis:

  a. Seksio sesarea klasik Seksio sesarea klasik atau korporal dilakukan dengan insisi memanjang pada korpus uteri kira-kira sepanjang 10 cm. Jenis seksio sesarea ini memiliki kelebihan berupa pengeluaran janin lebih cepat, tidak mengakibatkan kandung kemih tertarik, serta sayatan bisa diperpanjang proksimal atau distal. Namun metode persalinan seksio sesare ini dapat menyebabkan penyebaran infeksi intraabdominal yang lebih mudah karena tidak adanya reperitonealis yang baik.

  Serta lebih mudah terjadi ruptur uteri spontan pada persalinan berikutnya (Mochtar, 1998).

  b. Seksio sesarea ismika Seksio sesarea ismika atau profunda atau low cervical dengan insisi pada segmen bawah rahim kira-kira 10 cm. Persalinan seksio sesarea jenis ini memiliki kelebihan yaitu, penjahitan luka yang lebih mudah, penutupan luka dengan reperitonealisasi yang baik, dan perdarahan yang lebih sedikit, serta kemungkinan ruptur uteri spontan lebih kecil dibandingkan dengan seksio sesarea jenis klasik. Namun metode persalinan ini dapat menimbulkan luka yang dapat melebar ke kiri, kanan, dan bawah, sehingga menyebabkan arteri uterina putus sehingga dapat mengakibabkan perdarahan yang lebih banyak, serta keluhan postoperasi yang terjadi pada kandung kemih tinggi (Mochtar, 1998).

  Seksio sesarea ekstraperitonealis Tindakan persalinan ini dilakukan dengan insisi peritoneum, lipatan peritoneum didorong ke atas dan kandung kemih ke arah bawah atau ke garis tengah, kemudian uterus dibuka dengan insisi pada segmen bawah (Dorland, 2002). Namun pembedahan persalinan ini tidak banyak lagi dilakukan untuk mengurangi bahaya infeksi puerperal (Oxorn, 2003).

2.3.4. Komplikasi Tindakan Seksio Sesarea

  Komplikasi yang dapat terjadi setelah tindakan seksio sesarea menurut Mochtar (1998) yaitu:

  1. Infeksi puerperal (nifas) a.

  Ringan; dengan kenaikan suhu beberapa hari saja b. Sedang; dengan kenaikan suhu yang lebih tinggi, disertai dehidrasi dan perut sedikit kembung.

  c.

  Berat; dengan peritonitis, sepsis dan ileus paralitik. Hal ini sering kita jumpai pada partus yang terlantar, dimana sebelumnya telah timbul infeksi intrapartum karena ketuban yang telah pecah terlalu lama.

  2. Perdarahan yang dapat disebabkan oleh: a.

  Banyak pembuluh darah yang terputus dan terbuka b. Atonia uteri c. Perdarahan pada placental bed.

  3. Luka kandung kemih, emboli paru dan keluhan kandung kemih bila reperitonialisasi terlalu tinggi.

  4. Kemungkinan ruptura uteri spontan pada kehamilan mendatang.

2.4 Anestesi

  2.4.1 Definisi Anestesi

  Anestesi (pembiusan) berasal dari bahasa Yunani. An-“tidak, tanpa” dan

  

aesthesos , “persepsi, kemampuan untuk merasa”. Secara umum berarti suatu

  tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh (Wikipedia, 2008). Istilah Anestesia digunakan pertama kali oleh Oliver Wendell Holmes pada tahun 1948 yang menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena anestesi adalah pemberian obat dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri pembedahan. Sedangkan Analgesia adalah tindakan pemberian obat untuk menghilangkan nyeri tanpa menghilangkan kesadaran pasien (Latief, dkk, 2001).

  2.4.2 Sejarah Anestesi

  Dahulu sebelum anestesi dikenal, operasi harus dijalankan secepat mungkin untuk meminimalkan rasa sakit (Ismunandar, 2006). Rekor dunia untuk amputasi kaki dicapai dalam waktu 15 detik yang dilakukan oleh Dominique Larrey, ketua tim dokter pribadi Napoleon. Tahun 1800, Davy seorang ahli kimia yang sangat terkenal telah mempublikasikan bahwa zat kimia terterntu seperti oksida nitrogen dapat mempunyai efek bius. Walaupun dokter yang pertama kali menggunakan anestesi dalam praktiknya adalah Crawford Long, di Amerika Serikat, karena ia tidak pernah mempublikasikan, maka dalam sejarah Amerika Serikat menyebutkan bahwa penemu anestesi atau bius adalah William Morton karena Morton secara demonstratif telah menunjukkan cabut gigi tanpa rasa sakit di depan umum pada tahun 1846.

  Pada tahun 1848, di Inggris tercatat JY Simpson dan John Snow yang banyak mengembangkan anestesi (Ellis, 1994). Eter waktu itu banyak digunakan untuk membantu persalinan di Inggris. Sambil berpraktik sebagai dokter, Simpson dan asistennya banyak bereksperimen dengan bahan–bahan kimia untuk mencari anestesi yang efektif. Kadang mereka bereksperimen dengan diri mereka sendiri.

  Di dunia waktu itu, dan terutama di Inggris, banyak orang menganggap rasa sakit adalah bagian kodrat dari Tuhan, dan menggunakan anestesi berarti melawan kodrat itu. Namun, oposisi penggunaan anestesi berakhir setelah Ratu Victoria menggunakannya saat melahirkan Pangeran Leopold tahun 1853. Anestesi terhadap Ratu Victoria tersebut dilakukan oleh John Snow. Tindakan Ratu Victoria tersebut ternyata bisa mengubah pandangan umum tentang anestesi. Sehingga penggunaan anestesi pada prosedur bedah semakin lama semakin diperhitungkan (Ismunandar, 2006).

2.4.3 Klasifikasi Anestesi Obat bius memang diciptakan dalam berbagai sediaan dan cara kerja.

  Namun, secara umum obat bius atau istilah medisnya anestesi ini dibedakan menjadi tiga golongan yaitu anestesi lokal, regional, dan umum (Joomla, 2008).

  Anestesi Lokal Anestesi lokal adalah tindakan pemberian obat yang mampu menghambat konduksi saraf (terutama nyeri) secara reversibel pada bagian tubuh yang spesifik

  (Biworo, 2008). Pada anestesi umum, rasa nyeri hilang bersamaan dengan hilangnya kesadaran penderita. Sedangkan pada anestesi lokal (sering juga diistilahkan dengan analgesia lokal), kesadaran penderita tetap utuh dan rasa nyeri yang hilang bersifat setempat (lokal) (Bachsinar, 1992).

  Pembiusan atau anestesi lokal biasa dimanfaatkan untuk banyak hal. Misalnya, sulam bibir, sulam alis, dan liposuction, kegiatan sosial seperti sirkumsisi (sunatan), mencabut gigi berlubang, hingga merawat luka terbuka yang disertai tindakan penjahitan (Joomla, 2008).

  Anestesi lokal bersifat ringan dan biasanya digunakan untuk tindakan yang hanya perlu waktu singkat. Oleh karena efek mati rasa yang didapat hanya mampu dipertahankan selama kurun waktu sekitar 30 menit seusai injeksi, bila lebih dari itu, maka akan diperlukan injeksi tambahan untuk melanjutkan tindakan tanpa rasa nyeri (Joomla, 2008). Anestesi Regional

  Anestesi regional biasanya dimanfaatkan untuk kasus bedah yang pasiennya perlu dalam kondisi sadar untuk meminimalisasi efek samping operasi yang lebih besar, bila pasien tak sadar. Misalnya, pada persalinan Caesar, operasi usus buntu, operasi pada lengan dan tungkai. Caranya dengan menginjeksikan obat-obatan bius pada bagian utama pengantar register rasa nyeri ke otak yaitu saraf utama yang ada di dalam tulang belakang. Sehingga, obat anestesi mampu menghentikan impuls saraf di area itu.

  Sensasi nyeri yang ditimbulkan organ-organ melalui sistem saraf tadi lalu terhambat dan tak dapat diregister sebagai sensasi nyeri di otak. Dan sifat anestesi atau efek mati rasa akan lebih luas dan lama dibanding anestesi lokal. Pada kasus bedah, bisa membuat mati rasa dari perut ke bawah. Namun, oleh karena tidak mempengaruhi hingga ke susunan saraf pusat atau otak, maka pasien yang sudah di anestesi regional masih bisa sadar dan mampu berkomunikasi, walaupun tidak merasakan nyeri di daerah yang sedang dioperasi (Joomla, 2008).

  Anestesi Umum Anestesi umum (general anestesi) atau bius total disebut juga dengan nama narkose umum (NU). Anestesi umum adalah meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversibel (Miharja, 2009). Anestesi umum biasanya dimanfaatkan untuk tindakan operasi besar yang memerlukan ketenangan pasien dan waktu pengerjaan lebih panjang, misalnya pada kasus bedah jantung, pengangkatan batu empedu, bedah rekonstruksi tulang, dan lain- lain (Joomla, 2008).

  Cara kerja anestesi umum selain menghilangkan rasa nyeri, menghilangkan kesadaran, dan membuat amnesia, juga merelaksasi seluruh otot. Maka, selama penggunaan anestesi juga diperlukan alat bantu nafas, selain deteksi jantung untuk meminimalisasi kegagalan organ vital melakukan fungsinya selama operasi dilakukan (Joomla, 2008).

  Untuk menentukan prognosis (Dachlan. 1989) ASA (American Society of Anesthesiologists) membuat klasifikasi berdasarkan status fisik pasien pra anestesi yang membagi pasien kedalam 5 kelompok atau kategori sebagai berikut: ASA 1, yaitu pasien dalam keadaan sehat yang memerlukan operasi. ASA 2, yaitu pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik karena penyakit bedah maupun penyakit lainnya. Contohnya pasien batu ureter dengan hipertensi sedang terkontrol, atau pasien apendisitis akut dengan lekositosis dan febris. ASA 3, yaitu pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang diaktibatkan karena berbagai penyebab. Contohnya pasien apendisitis perforasi dengan septi semia, atau pasien ileus obstruksi dengan iskemia miokardium. ASA 4, yaitu pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung mengancam kehiduannya.

  ASA 5, yaitu pasien tidak diharapkan hidup setelah 24 jam walaupun dioperasi atau tidak. Contohnya pasien tua dengan perdarahan basis krani dan syok hemoragik karena ruptura hepatik. Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan mencantumkan tanda darurat (E = emergency), misalnya ASA 1 E atau III E.

  Stadium anestesi dibagi dalam 4 yaitu; Stadium I (stadium induksi atau eksitasi volunter), dimulai dari pemberian agen anestesi sampai menimbulkan hilangnya kesadaran. Rasa takut dapat meningkatkan frekuensi nafas dan pulsus, dilatasi pupil, dapat terjadi urinasi dan defekasi. Stadium II (stadium eksitasi involunter), dimulai dari hilangnya kesadaran sampai permulaan stadium pembedahan. Pada stadium II terjadi eksitasi dan gerakan yang tidak menurut kehendak, pernafasan tidak teratur, inkontinensia urin, muntah, midriasis, hipertensi, dan takikardia. Stadium III (pembedahan/operasi), terbagi dalam 3 bagian yaitu; Plane I yang ditandai dengan pernafasan yang teratur dan terhentinya anggota gerak. Tipe pernafasan thoraco-abdominal, refleks pedal masih ada, bola mata bergerak-gerak, palpebra, konjuctiva dan kornea terdepresi. Plane II, ditandai dengan respirasi thoraco-abdominal dan bola mata ventro medial semua otot mengalami relaksasi kecuali otot perut. Plane III, ditandai dengan respirasi regular, abdominal, bola mata kembali ke tengah dan otot perut relaksasi. Stadium IV (paralisis medulla oblongata atau overdosis),ditandai dengan paralisis otot dada, pulsus cepat dan pupil dilatasi. Bola mata menunjukkan gambaran seperti mata ikan karena terhentinya sekresi lakrimal (Archibald, 1966).

2.4.4 Obat-obat Anestesi dan Metode Pemberiannya

2.4.4.1 Obat-obat Anestesi Lokal

  Anestetika lokal atau zat-zat penghalang rasa setempat adalah obat yang pada penggunaan lokal merintangi secara reversibel penerusan impuls-impuls saraf ke SSP (Tjay, 2002). Luasnya daerah anestesi tergantung tempat pemberian larutan anestesi, volume yang diberikan, kadar zat dan daya tembusnya (Siahaan, 2000).

  Obat bius lokal mencegah pembentukan dan konduksi impuls saraf. Tempat kerjanya terutama di selaput lendir. Di samping itu, anestesi lokal menggangu fungsi semua organ dimana terjadi konduksi dari beberapa impuls.

  Artinya, anestesi lokal mempunyai efek yang penting terhadap susunan saraf pusat, ganglia otonom, cabang–cabang neuromuskular dan semua jaringan otot (Siahaan, 2000).

  Ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi untuk suatu jenis obat yang digunakan sebagai anestetika lokal, antara lain: tidak merangsang jaringan, tidak mengakibatkan kerusakan permanen terhadap susunan saraf, toksisitas sistemik yang rendah, efektif dengan jalan injeksi atau penggunaan setempat pada selaput lendir, mula kerjanya sesingkat mungkin dan bertahan untuk jangka waktu yang cukup lama, dapat larut dalam air dan menghasilkan larutan yang stabil, juga tahan terhadap pemanasan/sterilisasi (Tjay, 2002). Biworo (2008) juga menyatakan bahwa anestetika yang ideal adalah anestetika yang memiliki sifat antara lain tidak iritatif/merusak jaringan secara permanen, onset cepat, durasi cukup lama, larut dalam air, stabil dalam larutan, dan dapat disterilkan tanpa mengalami perubahan.

  Struktur dasar anestetika lokal pada umumnya terdiri dari suatu gugus- amino hidrofil (sekunder atau tersier) yang dihubungkan oleh suatu ikatan ester (alkohol) atau amida dengan suatu gugus aromatis lipofil (Tjay, 2002). Adanya ikatan ester sangat menentukan sifat anestesi lokal sebab pada degradasi dan inaktivasi di dalam tubuh, gugus tersebut akan dihidrolisis. Karena itu golongan ester umumnya kurang stabil dan mudah mengalami metabolisme dibandingkan golongan amida. Contohnya: Tetrakin, Benzokain, Kokain, dan Prokain. Senyawa amida contohnya adalah Dibukain, Lidokain, Mepivakain dan Prilokain. Senyawa lainnya contohnya fenol, Benzilalkohol, Etilalkohol, Etilklorida, dan Cryofluoran ( Siahaan, 2000).

  Cara pemberian anestesi lokal adalah dengan menginjeksikan obat-obatan anestesi tertentu pada area yang akan dilakukan sayatan atau jahitan. Obat-obatan yang diinjeksikan ini lalu bekerja memblokade saraf-saraf tepi yang ada di area sekitar injeksi sehingga tidak mengirimkan impuls nyeri ke otak (Joomla, 2008).

2.4.4.2 Obat-obat Anestesi Regional

  Metode pemberian Anestesi regional dibagi menjadi dua, yaitu secara blok sentral dan blok perifer (Latief, 2001).

  1. Blok Sentral (Blok Neuroaksial). Blok sentral dibagi menjadi tiga bagian yaitu anestesi Spinal, Epidural dan Kaudal (Latief, 2001).

  a. Anestesi Spinal

  Anestesi spinal merupakan tindakan pemberian anestesi regional ke dalam ruang subaraknoid. Hal-hal yang mempengaruhi anestesi spinal antara lain jenis obat, dosis obat yang digunakan, efek vasokonstriksi, berat jenis obat, posisi tubuh, tekanan intra abdomen, lengkung tulang belakang, usia pasien, obesitas, kehamilan, dan penyebaran obat (Abidin, 2008).

  b. Anestesi Epidural Anestesi epidural ialah blokade saraf dengan menempatkan obat pada ruang epidural (peridural, ekstradural) di dalam kanalis vertebralis pada ketinggian tertentu, sehingga daerah setinggi pernapasan yang bersangkutan dan di bawahnya teranestesi sesuai dengan teori dermatom kulit (Bachsinar, 1992).

  Ruang epidural berada di antara durameter dan ligamentun flavum. Bagian atas berbatasan dengan foramen magnum dan dibawah dengan selaput sakrogliseal. Anestesi epidural sering dikerjakan untuk pembedahan dan penanggulangan nyeri pasca bedah, tatalaksana nyeri saat persalinan, penurunan tekanan darah saat pembedahan supaya tidak banyak perdarahan, dan tambahan pada anestesia umum ringan karena penyakit tertentu pasien (Latief, 2001).

  c. Anestesi Kaudal Anestesi kaudal sebenarnya sama dengan anestesi epidural, karena ruang kaudal adalah kepanjangan dari ruang epidural dan obat ditempatkan di ruang kaudal melalui hiatus sakralis. Hiatus sakralis ditutupi oleh ligamentum sakrogsigeal tanpa tulang yang analog dengan ligamentum supraspinosum dan ligamentum interspinosum. Ruang kaudal berisi saraf sacral, pleksus venosus, felum terminale dan kantong dura (Latief, 2001).

  2. Blok Perifer (Blok Saraf) Anestesi regional dapat juga dilakukan dengan cara blok perifer. Salah satu teknik yang dapat digunakan adalah anestesi regional intravena. Anestesi regional intravena dapat dikerjakan untuk bedah singkat sekitar 45 menit. Melalui cara ini saraf yang dituju langsung saraf bagian proksimal. Sehingga daerah yang dipersarafi akan teranestesi misalnya pada tindakan operasi di lengan bawah memblok saraf brakialis. Untuk melakukan anetesi blok perifer harus dipahami anatomi dan daerah persarafan yang bersangkutan (Bachsinar, 1992).

2.4.4.3 Obat-obat Anestesi Umum

  Agar anestesi umum dapat berjalan dengan sebaik mungkin, pertimbangan utamanya adalah memilih anestetika ideal. Pemilihan ini didasarkan pada beberapa pertimbangan yaitu keadaan penderita, sifat anestetika, jenis operasi yang dilakukan, dan peralatan serta obat yang tersedia (Admin,2008).

  Sifat anestetika yang ideal antara lain mudah didapat, murah, tidak menimbulkan efek samping terhadap organ vital seperti saluran pernapasan atau jantung, tidak mudah terbakar, stabil, cepat dieliminasi, menghasilkan relaksasi otot yang cukup baik, kesadaran cepat kembali, tanpa efek yang tidak diinginkan (Gan, 1987). Obat anestesi umum yang ideal menurut Norsworhy (1993) mempunyai sifat-sifat antara lain : pada dosis yang aman mempunyai daya analgesik relaksasi otot yang cukup, cara pemberian mudah, mula kerja obat yang cepat dan tidak mempunyai efek samping yang merugikan. Selain itu obat tersebut harus tidak toksik, mudah dinetralkan, mempunyai batas keamanan yang luas, tidak dipengaruhi oleh variasi umur dan kondisi pasien.

  Obat-obatan anestesi yang umum dipakai pada pembiusan total adalah N2O, halotan, enfluran, isofluran, sevofluran, dan desfluran. Obat anestesi umum yang ideal haruslah tidak mudah terbakar, tidak meledak, larut dalam lemak, larut dalam darah, tidak meracuni end-organ (jantung, hati, ginjal), efek samping minimal, tidak dimetabolisasi oleh tubuh, dan tidak mengiritasi pasien (Kumala, 2008).

2.4.5 Pemilihan Teknik Anestesi pada Pasien

  Pemilihan teknik anestesi adalah suatu hal yang kompleks, memerlukan kesepakatan dan pengetahuan yang dalam baik antara pasien dan faktor–faktor pembedahan. Dalam beberapa kelompok populasi pasien, pembiusan regional ternyata lebih baik daripada pembiusan total. Blokade neuraksial bisa mengurangi resiko trombosis vena, emboli paru, transfusi, pneumonia, tekanan pernapasan, infark miokardial, dan gagal ginjal (Admin, 2007).

  Beberapa faktor yang mempengaruhi pemilihan anestesi antara lain: keterampilan dan pengalaman ahli anestesi dan ahli bedah, tersedianya obat dan peralatan, kondisi klinis pasien, waktu yang tersedia, tindakan gawat darurat atau efektif, keadaan lambung, dan pilihan pasien. Untuk operasi kecil (misalnya menjahit luka atau manipulasi fraktur lengan), jika lambung penuh, maka pilihan yang terbaik adalah anestesi regional. Untuk operasi besar gawat darurat, anestesi regional atau umum sangat kecil perbedaannya dalam hal keamanannya.

2.4.6 Komplikasi Anestesi dan Bahaya Anestesi

  2.4.6.1 Komplikasi Anestesi Komplikasi yang terjadi pada periode perioperatif dapat dicetuskan oleh tindakan anestesi sendiri dan atau kondisi pasien (Thaib, 1989). Komplikasi segera dapat timbul pada waktu pembedahan atau kemudian segera ataupun belakangan setelah pembedahan.

  Komplikasi anestesi dapat berakhir dengan kematian atau tidak diduga walaupun tindakan anestesi sudah dilaksanakan dengan baik (Thaib, 1989). Menurut Ellis & Campbell (1986), secara umum komplikasi anestesi yang sering dijumpai antara lain:

  1. Kerusakan Fisik Kerusakan fisik yang dapat terjadi sebagai komplikasi anestesi antara lain: pembuluh darah, intubasi, dan saraf superfisialis. a. Pembuluh Darah Kesalahan teknik dalam venapunksi dapat menyebabkan memar, eksavasasi obat yang dapat menyebabkan ulserasi kulit di atasnya, infeksi lokal, tromboflebitis serta kerusakan struktur berdekatan, terutama arteri dan saraf (Ellis & Campbell, 1986). Beberapa obat yang mencakup Benzodiazepin dan Propanidid menyebabkan tromboflebitis. Kanulasi vena yang lama lebih mungkin menyebabkan tromboflebitis dan infeksi.

  b. Intubasi Kerusakan sering terjadi pada bibir dan gusi akibat intubasi trachea oleh orang yang tidak berpengalaman. Kerusakan gigi geligi akan terjadi lebih serius jika disertai kemungkinan inhalasi fragmen yang diikuti oleh abses paru. Jika dibiarkan tidak terdeteksi, intubasi nasotrachea dapat menyebabkan epistaksis yang tak menyenangkan dan kadang–kadang sonde dapat membentuk saluran di bawah mukosa hidung, intubasi hidung sering memfraktura concha (Ellis & Campbell, 1986). Kerusakan pada struktur tonsila dan larynx (terutama pita suara) untungnya sering terjadi, tetapi penanganan mulut posterior struktur yang kasar menyokong sakit tenggorokan pasca bedah.

  c. Saraf Superfisialis Tekanan langsung terus menerus akan merusak saraf, seperti poplitea lateralis sewaktu mengelilingi caput fibulae, yang menyebabkan “foot drop”, fasialis sewaktu ia menyilang mandibula, yang menyebabkan paralisis otot wajah, ulnaris sewaktu ia menyilang epicondylus medialis, yang menyebabkan paralisis dan kehilangan sensasi dalam tangan serta nervus radialis sewaktu ia mengelilingi humerus di posterior, yang menyebabkan “wrist drop”. Pleksus brachialis dapat dirusak dengan meregangnya di atas caput humeri, jika lengan diabduksi atau rotasi eksternal terlalu jauh (Ellis & Campbell, 1986).

  2. Pernapasan Komplikasi pernapasan yang mungkin timbul termasuk hipoksemia yang tidak terdeteksi, atelektasis, bronkhitis, bronkhopneumonia, pneumonia lobaris, kongesti pulmonal hipostatik, plurisi, dan superinfeksi (Brunner & Suddarth, 2001).

  Yang paling ditakuti oleh para pekerja anestesi adalah obstruksi saluran pernapasan akut selama atau segera setelah induksi anestesi. Spasme Larynx dan penahanan napas dapat sulit dibedakan serta dapat timbul sebagai respon terhadap anestesi yang ringan, terutama jika saluran pernapasan dirangsang oleh uap anestesi iritan atau materi asing yang mencakup sekresi dan kandungan asam lambung (Ellis & Campbell, 1986). Intubasi yang gagal dapat menjadi mimpi buruk, bila mungkin terjadi aspirasi lambung, seperti pasien obstetri dan kedaruratan yang tak dipersiapkan.

  Gagal pernapasan terutama merupakan fenomena pasca bedah, biasanya karena kombinasi kejadian. Kelamahan otot setelah pemulihan dari relaksan yang tidak adekuat, depresi sentral dengan opioid dan zat anestesi, hambatan batuk dan ventilasi alveolus yang tak adekuat sekunder terhadap nyeri luka bergabung untuk menimbulkan gagal pernapasan restriktif dengan retensi CO2 serta kemudian narcosis CO2, terutama jika PO2 dipertahankan dengan pemberian oksigen.

  Gangguan pernapasan mendadak, terutama yang timbul kemudian adalah konvalesensi, biasanya sebagai akibat embolisme pulmonalis sekunder terhadap lepasnya thrombus dari vena pelvis atau betis. Thrombus vena profunda di tungkai dapat diduga, bila pasien mengeluh pembengkakan atau nyeri tekan otot betis (Ellis & Campbell, 1986). Embolisme pulmonalis bisa tampil sebagai hemoptisis atau sebagai kolaps generalisasi yang serupa dengan infark myocardium mayor, yang kadang–kadang sulit dibedakan.

  3. Kardiovaskuler Komplikasi kardiovaskuler yang dapat terjadi antara lain hipotensi, hipertensi, aritmia jantung, dan payah jantung (Thaib, 1989). Hipotensi didefinisikan sebagai tekanan darah systole kurang dari 70 mmHg atau turun lebih dari 25% dari nilai sebelumnya. Hipotensi dapat disebabkan oleh hipovolemia yang diakibatkan oleh perdarahan, overdosis obat anestetika, penyakit kardiovaskuler seperti infark miokard, aritmia, hipertensi, dan reaksihipersensivitas obat induksi, obat pelumpuh otot, dan reaksi transfusi.

  Hipertensi dapat meningkat pada periode induksi dan pemulihan anestesi. Komplikasi hipertensi disebabkan oleh analgesa dan hipnosis yang tidak adekuat, batuk, penyakit hipertensi yang tidak diterapi, dan ventilasi yang tidak adekuat (Thaib, 1989). Sementara faktor-faktor yang mencetuskan aritmia adalah hipoksia, hiperkapnia, tindakan intubasi, gangguan elektrolit, dan pengaruh beberapa obat tertentu.

  4. Hati Penyebab hepatitis pasca bedah dapat disebabkan oleh halotan. Insidens virus Hepatitis A aktif dalam populasi umum mungkin jauh lebih lazim, yang diperkirakan sekitar 100–400 per sejuta pada suatu waktu (Ellis & Campbell, 1986). Mungkin bahwa zat anestesi mengurangi kemanjuran susunan kekebalan dan membuat pasien lebih cenderung ke infeksi yang mencakup hepatitis virus.

  Anestesi Halotan berulang dalam interval 6 minggu mungkin harus dihalangi.

  5. Suhu tubuh Akibat venodilatasi perifer yang tetap ditimbulkan anestesi menyebabkan penurunan suhu inti tubuh. Selama pembedahan yang lama, terutama dengan pemaparan vesera, bisa timbul hipotermi yang parah, yang menyebabkan pengembalian kesadaran tertunda, pernapasan dan perfusi perifer tidak adekuat.

  Masalah pernapasan akan dirumitkan, jika kebutuhan oksigen meningkat sebagai akibat menggigil selama masa pasca bedah (Ellis & Campbell, 1986).

2.4.6.2 Bahaya Anestesi

  Bahaya utama anestesi dapat disebabkan banyak penyebab. Sebagian penyebab pada mulanya tidak berarti, tetapi jika bahaya tersebut tidak diperhatikan sama sekali, atau tidak diatasi dengan baik, maka bencana dapat terjadi (Bulto & Blogg, 1994). Bahaya lain mungkin tidak berbahaya tetapi merupakan sumber utama ketidaknyamanan, nyeri, atau iritasi terhadap penderita. Bahaya anestesi yang mungkin dapat terjadi antara lain:

  1. Kematian “dalam keadaan” atau “akibat anestesi” Kematian dalam keadaan “teranestesi” mungkin tidak sepenting kematian akibat anestesi, atau komplikasinya. Jika perdarahan masif yang terjadi selama pembedahan tidak dapat dikontrol, hal ini tentu saja termasuk kematian dalam keadaan teranestesi tetapi bukan akibat anestesi walaupun ahli anestesi telah mempunyai peran yang penting untuk berusaha mempertahankan hidup penderita dengan secepatnya melakukan transfusi darah (Bulto & Blogg, 1994).

  2. Bahaya anestesi yang dapat mematikan Kematian akibat anestesi mungkin disebabkan oleh hipoksia dan henti jantung yang saling terkait, pada kedua kasus kematian dapat disebabkan oleh gangguan penyediaan oksigen otak dan /atau jantung baik primer (yang disebabkan oleh hipoksia respiratorik) maupun sekunder (sebagai akibat terhentinya sirkulasi setelah henti jantung) (Bulto & Blogg, 1994).Bahaya lain akibat anestesi yang dapat mematikan karena anestesi adalah anafilaksis akut karena obat yang digunakan pada anestesi, dan hipertermia yang ganas.

  3. Hipoksia atau anoksia respiratorik selama anestesi Hipoksia atau anoksia terjadi selama anestesi akibat kegagalan sebagian atau total maupun hambatan terhadap penyediaan oksigen ke otak (Bulto &

  Blogg, 1994). Keadaan seperti ini dapat terjadi pada semua titik mulai dari sumber penyediaan oksigen, mesin anestesi, saluran pernapasan atas dan bawah, paru– paru, pembuluh darah utama sampai kapiler, dan akhirnya sampai kepada pemindahan oksigen ke dan dalam sel. Sebagian sel akan pulih dari hipoksia atau bahkan anoksia yang berlangsung dalam beberapa menit, tetapi pada otak akan terjadi kerusakan yang irreversibel setelah 4–6 menit kekurangan oksigen, demikian juga yang terjadi jika jantung berhenti dengan efektif (henti jantung) (Bulto & Blogg, 1994).

Dokumen yang terkait

Survei Tingkat Pengetahuan Tentang Asi Eksklusif Pada Ibu Hamil Yang Berkunjung Ke Poli Ibu Hamil RSUD. Dr. Pirngadi Medan, RSUP. H. Adam Malik Medan Dan Klinik Halim Fertility Center Medan

0 39 56

Tingkat Pengetahuan Ibu Hamil Terhadap Pemilihan Jenis Anestesi untuk Tindakan Seksio Sesarea di RSUP. H. Adam Malik Medan pada Tahun 2012

2 48 77

Pengetahuan Ibu Hamil tentang Pentingnya Asupan Nutrisi Selama Kehamilan di RSUP H. Adam Malik Medan

6 49 83

Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Hamil Terhadap Tindakan Senam Hamil

2 43 68

Tingkat Pengetahuan Ibu Hamil tentang Inisiasi Menyusu Dini di Poliklinik Ibu Hamil RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2010.

0 33 89

Gambaran Pengetahuan Ibu-ibu Hamil Tentang Imunisasi Tetanus Toxoid (TT) dan Tindakan Pengambilan Imunisasi TT di Poliklinik Ibu Hamil RSUP. Haji Adam Malik Tahun 2010

1 38 49

Gambaran Tingkat Pengetahuan Ibu Pasca Melahirkan Terhadap Pentingnya Pemberian ASI Eksklusif di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2010

0 47 75

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengetahuan 2.1.1. Definisi Pengetahuan - Tingkat Pengetahuan Penderita Dan Keluarga Penderita Tentang Kanker Payudara Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2013

0 0 19

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengetahuan 2.1.1. Definisi Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah seseorang - Pengetahuan Sikap dan Tindakan Wanita terhadap Kanker Payudara di Puskesmas Padang Bulan Medan Tahun 2012

0 0 19

Survei Tingkat Pengetahuan Tentang Asi Eksklusif Pada Ibu Hamil Yang Berkunjung Ke Poli Ibu Hamil RSUD. Dr. Pirngadi Medan, RSUP. H. Adam Malik Medan Dan Klinik Halim Fertility Center Medan

0 1 14