HARI INI 39 TAHUN YANG LALU

1

HARI INI “39 TAHUN PERISTIWA MALARI”

Abstrak
39 Tahun yang lalu di Jakarta – kepulan asap menghitam, mobil-mobil
buatan Jepang di bakar; gedung-gedung yang ada hubungannnya dengan Jepang
seperti bangunan milik Astra Motor – dihancurkan. Pabrik minuman luar negeri
milik Coca-cola juga menemui nasib yang sama. Bahkan keesokan harinya masa
mulai merampok dan menjarah pusat-pusat pertokoaan di Pasar Senin.
Peristiwa 39 tahun ini dikenal sebagai Malapetaka 15 Januari 1974 yang
lebih popular di sebut Malari. Teka-teki apa yang sesungguhnya terjadi dan
siapa yang berada di balik huru-hara yang hampIr menghancurkan – sampai
sekarang ini masih tanda tanya besar.
Tulisan ini akan berusaha mengupas kemunculan tonggap penting
perubahan sikap Soeharto dalam memerintah Indonesia pasca Soekarno. Aksiaksi intik politik tersebut – yang diekspresikan melalui pelbagai cara seperti
sehari sebelumnya peristiwa ini terjadi – sekelompok mahasiswa berkumpul di
ujung timur lapangan udara Halim Perdakusuma tempat Perdana Menteri
Tanaka mendarat. Mereka membawa aneka atribut-termasuk poster-poster
yang menyerukan kebencian terhadap Jepang dan menolak modal
asingterutama yang didominasi pihak Jepang.

Inrik lain yang sudah menjadi rahasia umum – adanya friksi elit militer yang
tampak pada rivalitas Jenderal Soemitro dan Jenderal Ali Moertopo – dapat
disebut dengan permainan Jenderal Kalajengking ( scorpion general ) – pabila
diambil dari pandangan sejarahwan Asvi Marwan.
Lewat studi kepustakaan – tulisan ini mencoba untuk mengkaji asal-muasal
dan evolusi peristiwa nasional yang menginternasional. Malari ini merupakan
peristiwa berlabel protes sekelompok mahasiswa tetapi lakon sebenarnya
berfokus pada permainan Jenderal Kalajengking ( scorpion general ) yang
berending pada perubahan sikap Soeharto dalam memerintah Indonesia pasca
Soekarno.

Editor : Muhammad Alamsyah 1

2

HARI INI “39 TAHUN PERISTIWA MALARI”

BAGIAN PERTAMA
PENDAHULUAN


Pertarungan elit penguasa? [Foto: Syahrir Wahab/Tempo/14/12/1974]

Peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) suatu peristiwa demonstrasi
mahasiswa dan kerusuhan sosial yang terjadi pada 15 Januari 1974.
Peristiwa itu terjadi saat Perdana Menteri (PM) Jepang Kakuei Tanaka sedang
berkunjung ke Jakarta (14-17 Januari 1974). Mahasiswa merencanakan menyambut
kedatangannya dengan berdemonstrasi di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma.

A-12Karena dijaga ketat, rombongan mahasiswa
tidak berhasil menerobos masuk pangkalan udara. Tanggal 17 Januari 1974 pukul 08.00,
PM Jepang itu berangkat dari Istana tidak dengan mobil, tetapi diantar Presiden Soeharto
dengan helikopter dari Bina Graha ke pangkalan udara.

Editor : Muhammad Alamsyah 2

3

HARI INI “39 TAHUN PERISTIWA MALARI”

Massa tak bisa dibendung [Foto: Syahrir

Wahab/Tempo]Kedatangan Ketua Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), Jan
P. Pronk dijadikan momentum untuk demonstrasi antimodal asing. Klimaksnya,
kedatangan PM Jepang, Januari 1974, disertai demonstrasi dan kerusuhan.

Jenderal Soemitro mengundurkan diri [Foto:
Istimewa]Usai terjadi demonstrasi yang disertai kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan,
Jakarta berasap. Soeharto memberhentikan Soemitro sebagai Panglima Kopkamtib,
langsung mengambil alih jabatan itu. Jabatan Asisten Pribadi Presiden dibubarkan.
Kepala Bakin Soetopo Juwono digantikan oleh Yoga Sugama.

Mahasiswa dan tentara berhadap-hadapan
[Foto: Syahrir Wahab/Tempo]Dalam peristiwa Malari Jenderal Ali Moertopo menuduh
eks PSII dan eks Masyumi atau ekstrem kanan adalah dalang peristiwa tersebut. Tetapi
setelah para tokoh peristiwa Malari seperti Syahrir dan Hariman Siregar diadili, tidak
bisa dibuktikan bahwa ada sedikit pun fakta dan ada seorang pun tokoh eks Masyumi
yang terlibat di situ.

Editor : Muhammad Alamsyah 3

4


HARI INI “39 TAHUN PERISTIWA MALARI”

Jend. Soemitro didampingi Jend.Herman S.
Sudiro [Foto: Syahrir Wahab/Tempo]Belakangan ini barulah ada pernyataan dari
Jenderal Soemitro (almarhum) dalam buku Heru Cahyono, Pangkopkamtib Jendral
Soemitro dan Peristiwa Malari bahwa ada kemungkinan kalau justru malahan Ali
Moertopo sendiri dengan CSIS-nya yang mendalangi peristiwa Malari.

Editor : Muhammad Alamsyah 4

5

HARI INI “39 TAHUN PERISTIWA MALARI”

BAGIAN KEDUA
KELAHIRAN DAN EVOLUSI REZIM ORDE BARU1

A. Ciri-Ciri Pokok Kebijakan Orde Baru
1. Latar Belakang Lahirnya Orde Baru.

Surat Perintah Sebelas Maret (SP 11 Maret) merupakan dasar lahirnya suatu
pemerintahan yang kemudian disebut dengan nama orde baru. Surat perintah yang
beradasal dari Presiden Soekamo tanggal 11 Maret 1966 ditujukan kepada Letnan
Jenderal Soeharto yang bertugas atas nama presiden untuk mengambil tindakan guna
menjamin keamanan dan ketertiban negara.
Langkah-langkah yang diambil setelah adanya supersemar adalah
1. Membubarkan PKI dan ormasnya pada 12 Maret 1966.
2. Mengamankan menteri-menteri dalam Kabinet Dwikora yang terlibat dalam
G-30-S/PKI yaitu, (1) Soebandrio, (2) Dr. Chaerul Shaleh, (3) Ir. Setiadi Reksoprojo, (4)
Sumarjo, (5) Oei Tju Tat,SH, (6) Ir.Surachman, (7) Yusuf Muda Dalam, (8) Armunanto,
(9) Sutomo Marto Pradata, (10) A.Sastra Winata, SH., (11) Mayjen Achmadi, (12) Drs.
Mochammad Achadi, (13) Letkol. Syafei, (14) J.K. Tumakaka, (15) Mayjen Dr.
Soemarno.
3. Pengemban Supersemar, pada 18 Maret 1966 menunjuk beberapa menteri ad interim
guna mengisi pos-pos menteri yang kosong.
Langkah yang dilakukan Orde Baru adalah mengadakan pembersihan ditubuh
Kabinet Dwikora yang disempurnakan, yaitu dengan mengadakan sidang DPR-GR yang
dihadiri oleh ratusan mahasiswa yang membacakan nota politiknya. Pada 17 Mei 1966
DPR-GR berhasil menyusun kepengurusan DPR-GR dan berhasil membersihkan
anggotanya dengan memecat 65 anggota yang mewakili Partai Komunis Indonesia.

Sejak tanggal 22 Oktober 1965 sebenamya status keanggotaan DPR-GR yang
mendukung G-30-S/PKI dibekukan. Kabinet Dwikora mengalami beberapa kali
perombakan untuk menghilangkan pengaruh menteri yang diduga terlibat G-30-S/PKI.
Namun tuntutan terhadap pemerintah untuk melakukan perubahan politik terus
berlangsung, seperti aksi mahasiswa di gedung DPR-GR tanggal 2 Mei 1966. Sebagai
reaksi tekanan berbagai pihak, Presiden Soekamo secara sukarela menyampaikan pidato
pertanggungjawaban pada 22 Juni 1966, pada saat pelantikan pimpinan MPRS. Namun
pidato pertanggungjawaban yang berjudul "Nawaksara" itu tidak diterima MPRS.
Sejak pertengahan tahun 1966, perkembangan politik nasional semakin kompleks.
Melalui Tap MPRS No. XIII/MPRS/1966, Letjen Soeharto ditugasi untuk membentuk
Kabinet Ampera. Akibatnya dualisme kepemimpianan nasional mulai terjadi. Kabinet
Ampera dibentuk melalui Keppres No. 163 tanggal 25 Juli 1966 yang ditandatangani
Presiden Soekamo.
Selanjutnya MPRS mengadakan sidang. Pada 25 Juli 1966 Presiden Soekarno
melaksanakan Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966 tentang Kabinet Ampera dan
membubarkan Kabinet Dwikora. Kabinet Dwikora dibangan dalam tiga unsur yaitu (1)
Pimpinan kabinet: Presiden Soekamo;(2) Lima orang Menteri Utama yang merupakan
1
Bagian ini diadopsi dari tulisan Suwandi, S.Pd.,M.Pd - DINAMIKA PEMERINTAHAN ORDE
BARU


Editor : Muhammad Alamsyah 5

6

HARI INI “39 TAHUN PERISTIWA MALARI”
suatu presedium;(3) Anggota kabinet terdiri dari 24 menteri. Tugas pokok kabinet
Ampera disebut "Dwi Dharma" yaitu : (1) mewujudkan stabilitas politik (2) menciptakan
stabilitas ekonomi.
Kabinet Ampera dirombak pada tanggal 11 Oktober 1966, jabatan presiden tetap
Soekarno. Namun, Letnan Jenderal Soeharto diangkat sebagai perdana menteri yang
memiliki kekuasaan eksekutif dalam Kabinet Ampera yang disempumakan.
Melalui Sidang Istimewa pada 7-12 Maret 1967 , Majlis Permusyawaratan Rakyat
Sementara berhasil merumuskan ketetapan Nomor : XXXIII/MPRS/1967 yang berisi
hal-hal sebagai berikut:
(1)
Mencabut kekuasaan pemerintahan dari tangan Presiden Soekarno; (2)
Menarik kembali mandat MPRS dari Presiden Soekarno dengan segala kekuasaannya
sesuai UUD 1945;(3) Mengangkat pengemban Tap Nomor IX/MPRS/1966 tentang
supersemar itu sebagai pejabat presiden hingga terpilihnya presiden menurut hasil

pemilihan umum. Pada akhir Sidang Istimewa MPRS, 12 Maret 1967, Jenderal Soeharto
dilantik dan diambil sumpah oleh Ketua MPRS Jenderal TN1 Abdul Haris Nasution.
Masyarakat luas yang terdiri dari berbagai unsur seperti kalangan partai politik,
organisasi massa, perorangan, pemuda, mahasiswa, pelajar, kaum wanita secara kompak
membentuk kesatuan aksi dalam bentuk Front Pancasila untuk menghancurkan para
pendukung G30S/PKI yang diduga melakukan pemberontakan terhadap negara dengan
menuntut agar ada penyelesaian politik terhadap mereka yang terlibat dalam gerakan
pemberontakan tersebut. Kesatuan aksi ini kemudian terkenal dengan sebutan angkatan
66 antara lain Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), Kesatuan Aksi Pemuda
Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), Kesatuan Aksi
Wanita Indonesia (KAWI), dan lain-lain.
2. Perkembangan Kekuasaan Orde Baru
Dengan surat perintah 11 Maret 1966 Soeharto mengatasi keadaan yang serba tidak
menentu dan sulit terkendali sebagai dampak peristiwa G30S/PKI negara dilanda
instabilitas politik akibat tidak tegasnya kepemimpinan Presiden Soekarno dalam
mengambil keputusan atas peristiwa tersebut. Sementara partai-partai politik terpecah
belah dalam kelompok-kelompok yang saling bertentangan, antara penentang dan
pendukung kebijakan Presiden Soekarno.
Pada 20 Pebruari 1967 Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan pemerintahan
kepada Soeharto yang kemudian dikukuhkan di dalam Sidang Istimewa MPRS dalam

ketetapan nomor XXXIII/MPRS/1967 mencabut kekuasaan pemerintahan negara dari
Presiden Soekarno dan mengangkat Soeharto sebagai pejabat presiden Republik
Indonesia. Adanya ketetapan ini maka situasi konflik yang merupakan sumber
instabilitas politik nasional telah berakhir secara konstitusional.
Kondisi politik negara sudah mulai kondusif namun demikian kristalisasi Orde Baru
belum selesai maka diperlukan penataan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
dalam kerangka Orde Baru. Dengan demikian langkah awal diperlukan stabilitas
nasional yang dinamis untuk mendukung kehidupan politik yang berlandaskan Pancasila
dan UUD 1945. Kemudian dibuatlah suatu pengertian bahwa Orde Baru adalah tatanan
seluruh kehidupan rakyat, bangsa, dan negara yang diletakkan pada kemurnian
pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 atau sebagai koreksi terhadap penyelewenganpenyelewengan yang terjadi dimasa lampau.
Perjuangan rakyat seperti yang dikemukan para pelajar dan mahasiswa dalam
demonstrasi pada 8 Januari 1966 menuju gedung sekretariat negara dan dilajutkan pada
12 Januari 1966 berbagai kesatuan aksi yang tergabung dalam Front Pancasila
berdemonstrasoi di depan gedung DPR-GR yang menuntut penyelesaian stabilitas negara
Editor : Muhammad Alamsyah 6

7

HARI INI “39 TAHUN PERISTIWA MALARI”

pasca peristiwa G30S/PKI yang dikenal dengan Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura) yaitu: (1)
pembubaran PKI beserta organisasi massanya (2) pembersihan Kabinet Dwi Kora (3)
Penurunan harga-harga barang
Pada hakekatnya tuntutan rakyat tersebut merupakan keinginan rakyat yang
mendalam untuk melaksanakan kehidupan bernegara sesuai dengan aspirasi kehidupan
dalam situasi yang kongret. Kemudian direspon oleh MPRS dengan membuat keputusan
sebagai berikut: (1) Pengukuhan tindakan pengemban surat perintah sebelas maret yang
membubarkan PKI berserta ormas-ormasnya, dengan ketetapan nomor IV/MPRS/1966
dan nomor IX/MPRS/1966 (2) pelarangan faham dan ajaran Komunisme, Marxisme,
Leninsme di Indonesia, dengan ketetapan nomor XXV/MPRS/1966; (3) pelurusan
kembali tertib konstitusional berdasarkan Pancasila dan tertib hukum dengan ketetapan
nomor XX/MPRS/1966.
Usaha penataan kembali kehidupan politik pada awal 1968 dengan penyegaran
anggota DPR-Gotong Royong yang bertujuan untuk menumbuhkan hak-hak demokrasi
dan mencerminkan kekuatan-kekuatan yang ada dalam masyarakat. Komposisi anggota
DPR terdiri dari wakil-wakil partai politik dan golongan karya. Kemudian dilanjutkan
pada tahap penyederhanaan kehidupan kepartaian, keormasan, dan kekaryaan dengan
cara pengelompokan partai-partai politik dan golongan karya. Usaha ini dimulai tahun
1970 dengan mengadakan serangkaian konsultasi dengan pimpinan partai-partai politik.
Hasil konsultasi itu maka muncullah tiga kelompok di DPR yaitu: (1) Kelompok

Demokrasi Pembangunan yang terdiri dari partai politik PNI, Parkindo, Partai Katolik,
IPKI, dan Murba; (2) Kelompok Persatuan Pembangunan yang terdiri dari partai politik
Partai NU, Partai Muslimin Indonesia, PSII, dan Perti; (3) Kelompok organisasi profesi
seperti organisasi buruh, organisasi pemuda, organisasi petani dan nelayan, organisasi
seniman, dan lain-lain yang tergabung dalam kelompok Golongan Karya.
Sebagai negara berkedaulatan rakyat maka Orde Baru mulai menyiapkan
menghadapi pemilihan umum. Pada 23 Mei 1970, Presiden Soeharto dengan surat
keputusan nomor 43 telah menetapkan organisasi-organisasi yang dapat ikut serta dalam
pemilihan umum dan anggota DPR/DPRD yang diangkat. Organisasi politik yang dapat
ikut pemilihan umum yaitu partai politik yang pada waktu pemilihan umum sudah ada
dan diakui serta memiliki wakil di DPR/DPRD. Partai-partai itu adalah (1) Ikatan
Pendukung Kemerdekaan Indonesia; (2) Murba; (3) Nahdlatul Ulama; (4) Partai Islam
Persatuan Tarbiyah Islam; (5) Partai Katolik; (6) Partai Kresten Indonesia; (7) Partai
Muslimin Indonesia; (8) Partai Nasional Indonesia; (9) Partai Syarikat Islam Indonesia;
dan (10) organsiasi golongan karya yang dapat ikut serta dalam pemilihan umum adalah
Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar).
3. Kebijakan Pemerintah Orde Baru
Tujuan perjuangan Orde Baru adalah menegakkan tata kehidupan bernegara yang
didasarkan atas kemurnian pelaksanaan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
Sejalan dengan tujuan tersebut maka ketika kondisi politik bangsa Indonesia mulai stabil
untuk melaksanankan amanat masyarakat maka pemerintah mencanangkan
pembangunan nasional yang diupakan melalui program pembangunan jangka pendek dan
pembangunan jangka panjang. Pembangunan jangka pendek dirancang melalui
pembangunan lima tahun (Pelita) yang didalamnya memiliki misi pembangunan dalam
rangka mencapai tingkat kesejahteraan bangsa Indonesia.
Pada masa ini pengertian pembangunan nasional adalah suatu rangkaian upaya
pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat,
bangsa, dan negara. Pembangunan nasional dilakukan untuk melaksanakan tugas
mewujudkan tujuan nasioanl yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 yaitu
Editor : Muhammad Alamsyah 7

8

HARI INI “39 TAHUN PERISTIWA MALARI”
melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, meningkatkan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Dalam usaha mewujudkan tujuan nasional maka Majlis Permusyawaratan Rakyat sejak
tahun 1973-1978-1983-1988-1993 menetapkan garis-garis besar haluan negara (GBHN).
GBHN merupakan pola umum pembangunan nasional dengan rangkaian programprogramnya yang kemudian dijabarkan dalam rencana pembangunan lima tahun
(Repelita). Adapun Repelita yang berisi program-program kongkrit yang kakan
dilaksanakan dalam kurun waktu lima tahun, dalam repelita ini dimulai sejak tahun 1969
sebagai awal pelaksaan pembangunan jangka pendek dan jangka panjang. Kemudian
terkenal dengan konsep Pembangunan Jangka Panjang Tahap I (1969-1994) menurut
indikator saat itu pembangunan dianggap telah berhasil memajukan segenap aspek
kehidupan bangsan dan telah meletakkan landasan yang cukup kuat bagi bangsa
Indonesia untuk memasuki Pembangunan Jangka Panjang Tahap II (1995-2020).
Pemerintahan Orde Baru senantiasa berpedoman pada tiga konsep pembangunan
nasional yang terkenal dengan sebutan Trilogi Pembangunan, yaitu : (1) pemerataan
pembangunan dan hasil-hasilnya yang menuju pada terciptanya keadilan sosial bagi
seluruh rakyat; (2) pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi; dan (3) stabilitas nasional
yang sehat dan dinamis.
Konsekuensi dari pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi sbagi akibat pelaksanaan
pembangunan tidak akan bermakna apabila tidak diimbangi dengan pemerataan
pembangunan. Oleh karena itu sejak Pembangunan Lima Tahun Tahap III (1 April 197931 Maret 1984) maka pemerintahan Orde Baru menetapkan Delapan Jalur Pemerataan,
yaitu : (1) pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, khususnya pangan, sandang,
dan perumahan; (2) pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan
kesehatan; (3) pemerataan pembagian pendapatan; (4) pemerataan kesempatan kerja; (5)
pemerataan kesempatan berusaha; (6) pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam
pembangunan, khususnya bagi generasi muda dan kaum wanita; (7) pemerataan
penyebaran pembangunan di seluruh wilayah tanah air; dan (8) pemerataan kesempatan
memperoleh keadilan.
B. PROSES MENGUATNYA PERAN NEGARA PADA MASA ORDE

BARU
Berkuasanya Orde Baru ternyata menimbulkan banyak perubahan yang dicapai bangsa
Indonesia melalui tahapan pembangunan di segala bidang. Pemerintahan Orde Baru
berusaha meningkatkan peran negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
sehingga langkah-langkah yang diambil adalah mencapai stabilitas ekonomi dan politik.
Merujuk hasil Sidang Umum IV MPRS yang mengambil suatu keputusan untuk
menugaskan Jenderal Soeharto selaku pengembang Surat Perintah Sebelas Maret yang
sudah ditingkatkan menjadi ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 untuk membentuk
kabinet baru.
Kabinet baru diberi nama Kabinet Ampera yang merupakan singkatan dari Kabinet
Amanat Penderitaan Rakyat selanjutnya diberi tugas untuk menciptakan stabilitas politik
dan ekonomi sebagai persyaratan dalam melaksanakan pembangunan nasional. Tugas ini
yang dikelak terkenal dengan sebutan ”Dwi Darma Kabinet Ampera”. Sedangkan
program kerja terkenal dengan sebutan Catur Karya Kabinet Ampera, yaitu: (1)
memperbaiki kehidupan rakyat terutama dibidang sandang dan pangan; (2)
melaksanakan pemilihan umum dalam batas waktu seperti yang tercantum dalam
ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966 yaitu pada 5 Juli 1968;(3) Melaksanakan politik
Editor : Muhammad Alamsyah 8

9

HARI INI “39 TAHUN PERISTIWA MALARI”
luar negeri yang bebas aktif untuk kepentingan nasional, sesuai dengan Tap No.
XI/MPRS/1966; (4) melanjutkan perjuangan anti imperialisme dan kolonialisme dalam
segala bentuk dan manifestasinya.
Pada 21 Maret 1968 Jenderal Soeharto selaku Pejabat Presiden menyampaikan
laporan kepada Sidang Umum V MPRS Tahun 1968 tentang pelaksanaan Dwi Darma
dan Catur Karya Kabinet Ampera, yang dilaporkan pertama kali bahwa telah
dilaksanakan usaha mendudukkan kembali posisi, fungsi, dan hubungan antar lembaga
negara tertinggi sesuai dengan yang diatur dalam UUD 1945
C. PEMBANGUNAN NASIONAL INDONESIA MASA ORDE BARU
1. Stabilitas dan Rehabilitasi Ekonomi
Pada masa awal Orde Baru program khusus pemerintah semata-mata ditujukan
untuk menyelamatkan ekonomi nasional, dalam bentuk memberantas korupsi,
menyelamatkan keuangan negara dan mengamankan kebutuhan pokok pangan rakyat.
Dengan membumbung tinggi harga kebutuhan pokok pada awal 1966 dan tingkat inflasi
650 % setahun membuat pemerintah tidak dapat melaksanakan pembangunan dengan
segera, tetapi harus didahulukan dengan melaksanakan stabilisasi dan rehabilitasi
ekonomi.
Kemudian MPRS menggariskan tiga program yang harus dilaksanakan pemerintah
secara bertahap, yaitu program penyelamatan, program stabilisasi, dan program
pembangunan. Adapun program stabilisasi dan rehabilitasi merupakan program jangka
pendek dengan skala prioritas: (1) pengendalian inflasi; (2) pencukupan kebutuhan
pangan; (3) rahabilitasi prasarana ekonomi; (4) peningkaan kegiatan ekspor.
Oleh karena itu pemerintah mengeluarkan beberapa peraturan penting pada bulan
Oktober 1966 yang memuat pokok usaha, yaitu: (1) anggaran belanja yang berimbang
untuk menghilangkan salah satu sebab bagi inflasi yaitu difisit dalam anggaran belanja;
(2) pengekangan perluasan kredit untuk usaha-usaha produktif meliputi pangan, ekspor,
prasarana dan industri; (3) penundaan pembayaran utang-utang luar negeri serta usaha
untuk mendapatkan kredit baru; (4) penanaman modal asing guna memberi kesempatan
pada luar negeri untuk membuka alam Indonesia supaya membuka kesempatan kerja dan
membantu usaha peningkatan pendapatan nasional.
2. Pembangunan Sebelum Pelaksanaan Pembangunan Lima Tahun (Pelita)
Kebijakan yang dimulai sejak oktober 1966 hingga pertengahan tahun 1968 yaitu
kebijakan stabilisasi yang bersifat operasional penyelamatan dengan tujuan menertibkan
penggunaan keuangan negara.
Prioritas utama yang dilakukan dengan tindakan mengambil uang yang menjadi hak
negara dan menertibkan prosedur-prosedur keuangan.Hasil-hasil positif yang telah
dicapai oleh pemerintah sebagai berikut: (1) berhasil mengembalikan uang negara
sebesar US $ 9.571.586,33; Yen 145.381.442; dan Rp. 494.947.761,37; (2) dapat
mengembalikan emas seberat 1.005.403 kg; (3) berhasil pula mengembalikan perak
seberat 100 kg.
Tindakan pemerintah untuk perbaikan ekonomi adalah sebagai berikut: (1)
mengadakan operasi pajak diutamakan di kota-kota besar untuk meneliti sampai
sejauhmana perusahaan besar milik negara dan swasta memenuhi kewajiban bayar pajak;
(2) penghematan pengeluaran dibidang pemerintahan, khususnya untuk pengeluaran
yang konsumtif dan rutin serta penghapusan terhadap subsidi perusahaan-perusahaan; (3)
kredit bank dibatasi dan kredit impor dihapuskan. Kredit ekspor diberikan apabila bank
yakin akan terlangsungnya ekspor.
Editor : Muhammad Alamsyah 9

10

HARI INI “39 TAHUN PERISTIWA MALARI”
Usaha mencukupi kebutuhan pangan dilakukan pemerintah dengan memperhatikan
peningkatan produksi pangan di dalam negeri khususnya beras, untuk meningkatkan
produksi beras diselenggarakan bimbingan masal (bimas) dan intensifikasi masal (inmas)
yang meliputi perbaikan prasarana irigasi, penggunaan bibit unggul seperti jenis padi
PB-5 dan PB-8, penyediaan pupuk dan obat-obatan merupakan keharusan serta
penyuluhan penanaman padi secara teknis.
Dampak dari bimas dan inmas tersebut pada tahun 1967 produksi padi menunjukkan
kenaikan 3 % dan pada tahun 1968 naik menjadi 5 %. Peningkatan produksi pangan pada
tahun 1968 disebabkann oleh adanya perubahan kebijakan dalam penggunaan bea masuk
untuk berbagai macam tekstil dengan tujuan untuk memberikan proteksi pada produksi
dalam negeri.
Kemajuan ekonomi yang berhasil dicapai oleh pemerintah dari laju inflasi 650 %
menjadi 120 % pada tahun 1967. Pemerintah masih mengalami kesulitan mengelola
keuangan negara dampak dari utang-utang peninggalan Orde Lama yang mencapai US $
2,2 – 2,7 milyar sehingga kesulitan menurunkan laju inflasi ke titik yang lebih aman
dalam perekonomian Indonesia. Akibatnya situasi ekonomi dan keuangan masih
meprihatinkan, oleh karena itu pemerintah Orde Baru meminta kepada negara-negara
kreditor untuk menunda pembayaran utang-utang tersebut.
Pada tanggal 19-30 September 1966 di kota Tokyo-Jepang diadakan perundingan
Indonesia dengan para negara kreditor Perancis, Inggris, Italia, Jerman Barat, Belanda,
Amerika Serikat yang disponsori oleh Japang, pada kesempatan ini pemerintah Indonesia
mengemukakan bahwa devisa ekspor sebagai pembayaran utang, tetapi perlu untuk
mengimpor bahan-bahan baku, suku cadang, dan sebagainya agar keadaan ekonomi
Indonesia bisa menjadi lebih baik lagi. Para negara kreditor menanggapi dengan serius
apa yang telah dikemukakan pemerintah Indonesia maka perlu ditindaklanjuti dengan
pertemuan lagi dalam pertemuan di Paris-Perancis yang menghasilkan: (1) utang
Indonesia yang seharusnya dibayar tahun 1968 ditunda pembayarannya hingga tahun
1972-1978; (2) Utang yang seharusnya dibayar tahun 1969 dan 1970 dipertimbangkan
untuk ditunda pembayarannya dengan syarat yang sama lunaknya dengan utang-utang
yang seharusnya dibayar dalam tahun 1968. Perundingan antara Indonesia dengan para
kreditor itu kemudian dikenal dengan istilah Tokyo Club dan Paris Club.
Berdirinya IGGI (Inter Govermental Group fo Indonesia) bermula dari lanjutan
pertemuan Paris Cub antara Indonesia dengan para kreditor yang dilaksanakan di Kota
Amsterdam-Belanda pada 23-24 Pebruari 1967 pertemuan ini membicarkan kebutuhan
Indonesia akan bantuan luar negeri serta kemungkinan-kemungkinan memberi bantuan
dengan syarat lunak. Hasilnya memperoleh bantuan untuk melangsungkan pembangunan
dan penangguhan serta memberi keringanan syarat-syarat pembayaran kembali utangutang peninggalan Orde Lama.
Pinjaman-pinjaman dari luar negeri digunakan untuk tiga macam hal yang disebut
dengan Bukti Ekspor (BE), yaitu : (1) impor, (2) proyek-proyek pembangunan, dan (3)
pangan. Bukti Ekspor dapat digunakan untuk impor barang-barang ekonomi seperti suku
cadang, pupuk, dan obat hama. Bukti Ekspor untuk impor pangan memungkinkan devisa
pemerintah bisa digunakan untuk keperluan lain yang lebih produktif. Bukti Ekspor yang
diwujudkan dalam bentuk barang-barang konsumtif itu dijual oleh pemerintah dan
hasilnya dimasukkan dalam Anggaran Belanja Pemerintah dan kemudian dipakai untuk
anggaran pembangunan. Sehingga anggaran pembangunan dalam bentuk rupiah itu
berasal dari penjualan barang-barang konsumtif. Dengan demikian bantuan luar negeri
dismpaing untuk mengimpor barang-barang yang perlu dan hasil penjualannya dipakai
pula untuk membiayai pembangunan pula.
Editor : Muhammad Alamsyah 10

11

HARI INI “39 TAHUN PERISTIWA MALARI”

BAGIAN KETIGA
REKONSTRUKSI PERISTIWA MALARI

Menemui Kematian Karena Kekerasan 2
“Ibarat buah apel, tatkala masih hijau sulit memetiknya dari pohon.
Namun bila ia sudah ranum, akan jatuh sendiri ke tanah. Demikian pula
kaum muda, kematiannya datang karena kekerasan, sedangkan bagi mereka
yang tua, maut datang karena kematangan”.
kematangan”.

Demikian salah satu kalimat dalam pidato Cicero (106-43 SM). Dua puluh tahun
kemudian, dalam usia 63 tahun, tatkala duduk tenang di atas tandu di tepi pantai
‘menanti’ suruhan Marcus Antonius –yang telah memerintahkan untuk membunuh
Cicero– datang dan memisahkan kepala dari tubuhnya dengan satu tebasan pedang.
Sebenarnya beberapa saat sebelumnya ia telah naik kapal dan berniat meninggalkan
negerinya. Tapi ia berubah pikiran, membatalkan pelariannya, turun ke pantai
menjemput kematiannya. Ini terjadi setahun setelah Cicero membacakan Philippica,
sebuah pidatonya yang menyerang penguasa Roma yang baru, Marcus Antonius,
pengganti Julius Caesar.

Aksi mahasiswa tahun 1966 menumbangkan rezim Soekarno (Repro FACE)
Dalam perjuangan mahasiswa tahun 1966 menumbangkan rezim Soekarno,
sejumlah anak muda menemui kematiannya karena kekerasan. Beberapa nama tercatat,
Arief Rahman Hakim, Zainal Zakse dan Julius Usman. Dan pada aksi-aksi mahasiswa
1998, menjelang tumbangnya Soeharto, kembali beberapa anak muda tumbang dan
menemui kematian, dalam tragedi Trisakti dan Semanggi. Dan pada setiap peristiwa,
2

Bagian ini diadopsi dari sociopolitica ,7 Januari 2011

Editor : Muhammad Alamsyah 11

12

HARI INI “39 TAHUN PERISTIWA MALARI”
selalu terjadi bahwa pembunuhnya adalah ‘invisible hand’, Lalu, orang yang disangka
sebagai pembunuh (atau yang memerintahkan pembunuhan) seringkali lebih keras
daripada siapapun dalam melaknat ‘pembunuh terselubung’ itu. Sehingga, selamatlah
dia. Sementara itu, pembunuh yang sebenarnya senantiasa dilindungi oleh penguasa –
siapa pun dia sang penguasa itu. Selain kematian, diantara dua kurun waktu berakhirnya
dua tokoh kekuasaan itu, tercatat sejumlah tragedi yang menimpa para mahasiswa yang
merupakan representasi kaum muda. Dua tokoh kekuasaan itu sendiri, pada akhirnya
jatuh karena ‘kematangan’nya, ketika ia berkuasa dalam rentang waktu yang hampir tak
masuk akal lagi karena begitu lamanya.
A DAY AFTER YOUR ORDER, GENERAL!3

Ketika
para
penguasa
makin
mendewakan senjata dan kekuatan, dan menularkannya kepada para calon perwira muda,
jatuh korban di kalangan mahasiswa, Rene Louis Coenraad, dalam insiden Peristiwa 6
Oktober 1970 di depan kampus ITB. Sejumlah Taruna Akabri Kepolisian mengeroyok
Rene usai kekalahan mereka dalam pertandingan sepakbola beberapa saat sebelumnya.
Rene tertembak hingga tewas. Ironisnya, ini terjadi hanya sehari setelah Presiden
Soeharto pada perayaan hari ABRI 5 Oktober menyerukan kepada para prajurit untuk
tidak menyakiti hati rakyat. Seorang bintara dituduh sebagai pembunuhnya. Tapi bagi
para mahasiswa ada keyakinan yang tertanam bahwa pembunuh sebenarnya ada di antara
para calon perwira Angkatan 1970 itu, dan sang bintara hanyalah korban
pengkambinghitaman untuk menyelamatkan ‘perwira masa depan’ itu. Untuk kesekian
kalinya, kembali pembunuh yang sebenarnya dilindungi oleh kekuasaan. Peristiwa ini
menjadi Luka Pertama dalam hubungan mahasiswa dengan tentara Orde Baru dan
menjadi awal berakhirnya partnership ABRI-Mahasiswa yang pada tahun 1966 berhasil
menumbangkan rezim Soekarno yang pada tahun-tahun terakhir kekuasaannya makin
menjelma sebagai seorang diktator. Tetapi Jenderal Soeharto, penguasa baru yang
menggantikan sang diktator, hanya dalam beberapa tahun saja ternyata telah berubah
menjadi bagaikan Marcus Antonius yang tak senang terhadap kritik. Tatkala Soeharto
menunjukkan ketidaksenangannya pada kritik, justru para mahasiswa generasi baru yang
berangsur-angsur muncul menggantikan generasi perjuangan 1966, tampil menjadi
pengeritik-pengeritik awal bagi Soeharto.

3
Karikatur oleh Deandy Sudiana dan Julius Pour, repro Mingguan Mahasiswa
Indonesia.

Editor : Muhammad Alamsyah 12

13

HARI INI “39 TAHUN PERISTIWA MALARI”

Di tangan Soeharto, Orde Baru yang lahir untuk memperbaharui dan mereformasi
kekuasaan yang tidak demokratis dari rezim Orde Lama Soekarno, perlahan namun
teratur telah menjelma menjadi kekuasaan yang sama buruknya dengan yang
digantikannya, anti demokrasi dan anti kemanusiaan. Hanya saja, berbeda dengan
Soekarno, kekuasaan baru ‘lebih berhasil’ dalam mengembangkan kemajuan ekonomi.
Akan tetapi, bagi para mahasiswa, apalah artinya kemajuan ekonomi tanpa keadilan.
Nyatanya memang, sejalan dengan pertumbuhan ekonomi, korupsi pun bertumbuh
menjadi monster pelahap kekayaan negara.
SAMSON DAN DELILAH

Pada awalnya, orang masih berharap
Soeharto mampu memberantas korupsi. Mulai dari mahasiswa seperti Amien Rais di
tahun 1967 –mahasiswa sosial politik Gadjah Mada, Yogya– hingga sejumlah gerakan
mahasiswa awal tahun 1970-an seperti ‘Bandung Bergerak’ dan ‘Gerakan Akal Sehat’
dari Bandung serta Arief Budiman –mahasiswa psikologi Universitas Indonesia– dan
kawan-kawan dari Jakarta, senantiasa mengingatkan Soeharto terhadap gejala korupsi
yang bisa membahayakan bangsa. Tapi seperti kata Publius Syrus, memang ada orang
yang beruntung banyak menerima ‘nasehat’ namun sayangnya amat-amat sedikit
memanfaatkannya. Dalam hal korupsi, itulah Jenderal Soeharto. Menurut penggambaran
wartawan dan karikaturis muda dari Yogya, Julius Pour, di tahun 1968 pemerintahan
Soeharto ibarat Samson dalam mitologi Yunani yang rambutnya adalah persemayaman
sumber kekuatannya, digunting oleh Delilah sang kekasih –yang merupakan
pengibaratan dan personifikasi korupsi. Rezim Soeharto bukannya tidak mencoba
menunjukkan dari waktu ke waktu upaya yang ‘seolah-olah’ untuk memberantas korupsi.
Tapi rezimnya agaknya sudah ada dalam suatu stadium ‘tertentu’ karena cengkeraman
virus korupsi. Sehingga, ‘obat-obat’ yang diberikan tidaklah pernah menyembuhkan
korupsi. Memang ada juga obat yang lebih buruk dari penyakitnya sendiri. Itulah yang
diberikan oleh rezim.
Bersama tentara, Soeharto telah bergerak ke posisi diktator otoriter –dengan segala
perilaku korup yang memang merupakan kecenderungan kekuasaan. Maka, mahasiswa
bergerak mendekati kelompok-kelompok populis yang tertindas. Hingga pada satu titik,
Editor : Muhammad Alamsyah 13

14

HARI INI “39 TAHUN PERISTIWA MALARI”
kekuasaan digulingkan, setelah sang tertindas muncul sebagai ‘pendongkel’ yang babak
belur berlumuran darah ‘pengorbanan’.

BINATANG EKONOMI VS BINATANG POLITIK : SEBUAH
HUMOR ALA JEPANG4

Membakar boneka Haji Tokyo di kampus, 1973
Kritik mahasiswa tahun 1970-an juga diarahkan kepada aspek-aspek ketidakadilan
sosial dan ketidakadilan ekonomi. Salah satu yang disorot adalah masalah percukongan,
yaitu pola saling menguntungkan antara perorangan dalam kekuasaan dengan kalangan
cukong yang dikaitkan dengan segelintir tokoh dunia usaha dari kalangan etnis cina,
sehingga tak jarang menimbulkan letupan-letupan membahayakan beraroma rasial. Tapi
isu yang kemudian berkembang, yang bagaimanapun terkait tali temali percukongan,
adalah sikap anti Jepang. Kebencian bukan kepada manusia Jepang tetapi terhadap pola
perilakunya yang dalam keikutsertaannya pada kehidupan ekonomi Indonesia amat
mencerminkan ciri ‘economic animal’.

4

Posted on Januari 8, 2011 by sociopolitica

Editor : Muhammad Alamsyah 14

15

HARI INI “39 TAHUN PERISTIWA MALARI”

Namun adalah tidak mudah membuat orang Jepang
mengerti kenapa perilaku ekonomi mereka dalam penanaman modal di Indonesia sangat
tidak disukai.
Ketika para mahasiswa Bandung melakukan demonstrasi di Kedutaan Besar Jepang
di Jakarta, konsul Mogi yang menerima mahasiswa dengan penuh keheranan bertanya,
“Kenapa kami yang didemonstrasi?”.
Seorang Jepang juga pernah menjawab balik seorang tokoh mahasiswa Bandung,
bahwa kalau orang Jepang itu ‘binatang ekonomi’, maka orang Indonesia itu ‘binatang
politik’. Sebuah humor ala Jepang.
Tapi mahasiswa memang tak mempersalahkan orang Jepang saja, karena perilaku
mereka tak terlepas dari keleluasaan yang diberikan pemerintah sendiri berkat jasa-jasa
tokoh kekuasaan yang berfungsi sebagai ‘Dukun Jepang’. Kesimpulannya, ada tokohtokoh Indonesia yang juga tergolong ‘binatang ekonomi’, sekaligus ‘binatang politik’.
Dan pada suatu ketika, di salah satu kampus Bandung para mahasiswa membakar
‘boneka’ yang di dadanya dipasang tulisan “Dulu Haji Peking. Sekarang Haji Tokyo”.
Tempo hari, dalam perjuangan 1966 yang dijuluki Haji Peking adalah Waperdam H.
Soebandrio, sedang pada tahun 1973 yang mendapat julukan ‘Haji Tokyo’ adalah
Jenderal Soedjono Hoemardani.
MASYARAKAT SEBAGAI NARASUMBER MAHASISWA
Dalam gerakan-gerakan kritisnya, mahasiswa dengan cermat mengikuti
perkembangan situasi dari pers dan narasumber lainnya. Salah satu narasumber utama
mahasiswa adalah rakyat dan masyarakat sendiri. Karena kepentingan tugas perkuliahan
mereka para mahasiswa sering masuk desa dan bertemu dengan rakyat pedesaan. Dari
mahasiswa, masyarakat pedesaan menimba banyak informasi berguna dan ilmu
pengetahuan. Akan tetapi sebaliknya, mahasiwa pun memperoleh banyak informasi dari
masyarakat tentang perilaku para aparat pemerintahan, Mulai dari aneka ketidakberesan
dalam pembelian padi/beras petani hingga cara-cara paksa dalam program Keluarga
Berencana, serta berbagai tindak kekerasan dan ‘penindasan’ lainnya. Pada gilirannya,
para mahasiswa yang mendapat informasi di pedesaan ini menjadi narasumber bagi pers,
Editor : Muhammad Alamsyah 15

16

HARI INI “39 TAHUN PERISTIWA MALARI”

Mahasiswa di Akabri. Ketua DM Unpad Hatta Albanik bersama Mayjen Sarwo
Edhie Wibowo
Aktivis mahasiswa intra kampus juga menjalin komunikasi dengan kalangan
pengusaha domestik yang pada tahun 1970-an itu banyak ‘menderita’ dampak kebijakan
penanaman modal asing yang dijalankan pemerintah secara amat longgar. Dari kalangan
pengusaha domestik ini, mahasiswa mendapat banyak informasi tentang ketidakadilan
pemerintah kepada pengusaha domestik demi menarik modal asing. Mereka juga
menceritakan berapa banyak janji palsu yang tak pernah terwujud yang dilontarkan
kalangan kekuasaan, sekedar obat penawar sesaat namun pada waktu berikutnya
menambah lagi deretan penyakit dengan penyakit baru yang bernama ‘sakit hati’.
Di sela-sela komunikasi dengan berbagai pihak, para mahasiswa juga pernah terlibat
dalam upaya memperbaiki hubungan antara generasi muda dari kalangan perguruan
tinggi dengan generasi muda dari kalangan militer yang diwakili oleh Taruna-taruna
Akabri Magelang. Para mahasiswa menyambut gagasan Gubernur Akabri Mayjen Sarwo
Edhie Wibowo untuk suatu forum pertemuan. Tiga ratus lebih mahasiswa dari
Universitas Padjadjaran Bandung maupun Universitas Trisakti Jakarta, berkunjung ke
kampus Akabri di Magelang. Selain kegiatan pertandingan olah raga, diadakan pula
diskusi yang menarik tentang posisi dan peran generasi muda ABRI dan Non ABRI di
masa mendatang. Tapi program seperti ini tidak diapresiasi dengan baik oleh Panglima
Kopkamtib Jenderal Soemitro, dan program seperti ini tidak dilanjutkan lagi. Padahal
kegiatan ini mungkin bisa memperbaiki komunikasi antar generasi muda, apalagi pernah
terjadi Insiden Berdarah 6 Oktober 1970 antara mahasiswa Bandung dengan para taruna
Akabri Kepolisian Angkatan 1970
Untuk menambah wawasan dan referensi, para mahasiswa sering mengundang para
pembicara ahli berbagai bidang dan berbagai kalangan untuk tampil dalam diskusidiskusi di kampus. Mulai dari tokoh-tokoh seperti Jenderal Nasution sampai kepada
Profesor Soemitro Djojohadikusumo. Mahasiswa tak pernah gentar untuk dikait-kaitkan
dengan konotasi politik tertentu, seperti misalnya kalau mengundang Prof Soemitro, lalu
akan dikaitkan dengan PSI. Stigma PSI memang merupakan salah satu cap yang dengan
mudah dikaitkan pada aktivitas-aktivitas kampus. Diantara berbagai stigma lainnya.
Sampai sekarang pun dalam kehidupan politik di Indonesia masih selalu digunakan capcap stigma masalah dari waktu ke waktu. Ini berbahaya, karena dengan demikian
perkembangan politik Indonesia akan berputar-putar pada siklus yang sama sehingga
seakan-akan berlari di tempat. ABRI adalah salah satu institusi yang paling banyak
melontarkan cap-cap stigma kepada masyarakat, padahal ABRI sendiri memiliki begitu
Editor : Muhammad Alamsyah 16

17

HARI INI “39 TAHUN PERISTIWA MALARI”
banyak stigma-stigma masa lalu di mata masyarakat. Bahkan di lingkungan ABRI
sendiri, stigma-stigma semacam tuduhan stigma PSI sering dilekatkan kepada perwiraperwira tinggi intelektual yang memiliki daya pikir, daya kritis dan idealisme tinggi.
Sebetulnya mahasiswa merupakan kelompok yang potensial untuk menghilangkan
stigma-stigma itu dengan menempatkan diri sebagai jembatan komunikasi di antara
kelompok-kelompok yang ada di masyarakat.

Editor : Muhammad Alamsyah 17

18

HARI INI “39 TAHUN PERISTIWA MALARI”

ANTARA BANDUNG DAN JAKARTA5

ANTARA BANDUNG DAN JAKARTA. Tidak selalu harmonis: Hatta Albanik
(DM-UNPAD), Hariman Siregar (DM-UI) dan Komarudin (DM-ITB).
Pada bulan-bulan terakhir tahun 1973, setelah Peristiwa 5 Agustus 1973 di Bandung,
aktivitas mahasiswa yang berbasis kampus makin meningkat. Banyak pertemuan antar
kampus dilakukan. Baik itu di antara kampus-kampus Bandung sendiri, maupun dengan
kampus-kampus kota lain seperti Surabaya, Yogya, Bogor dan Jakarta. Selain
mahasiswa, kerap hadir eksponen-eksponen gerakan kritis lainnya yang ada di
masyarakat, baik itu kalangan budayawan maupun kaum intelektual.
Satu diantara pertemuan yang mendapat perhatian kalangan penguasa adalah
pertemuan di kampus ITB yang diberitakan pers sebagai ‘Pertemuan Orang-orang Tidak
Puas’. Pertemuan mahasiswa lainnya yang diamati kalangan kekuasaan adalah
pertemuan-pertemuan menjelang Peristiwa 15 Januari 1974, di kampus Universitas
Padjadjaran, yang dihadiri oleh pimpinan dewan-dewan mahasiswa yang sangat tidak
diharapkan penguasa untuk ‘terkonsolidasi’ yakni ITB, UI dan Unpad. Dalam pertemuan
itu hadir Hariman Siregar dari DM-UI, Komarudin dari DM-ITB dan Hatta Albanik dari
DM-Unpad selaku tuan rumah. Hadir pula beberapa pimpinan DM lainnya dari Bandung
maupun luar Bandung. Namun yang paling diamati kalangan intelejen adalah tiga orang
itu.

5

Posted on Januari 14, 2011 by sociopolitica
Editor : Muhammad Alamsyah 18

19

HARI INI “39 TAHUN PERISTIWA MALARI”

MAHASISWA 1974 DAN JENDERAL SOEHARTO. Guntingan berita foto Suara
Karya, pertemuan mahasiswa se-Indonesia dengan Presiden Soeharto, 11 Januari 1974.
Pada dasarnya seluruh kegiatan kritis mahasiswa itu digerakkan oleh suatu idealisme
yang sama. Karena itu, gerakan mahasiswa di satu kota dengan cepat diapresiasi oleh
mahasiswa dari kota lain dalam bentuk gerakan serupa. Tetapi perilaku dan perlakuan
dari para penguasa militer di setiap kota seringkali tidak sama. Semakin jauh dari
Jakarta, semakin represip.
Gerakan-gerakan mahasiswa kerapkali diekspresikan oleh gerakan mahasiswa di
Jakarta sebagai mengandung nuansa politik praktis, yang di masa lalu sering diartikan
sebagai power struggle di antara elite politik nasional. Gerakan mahasiswa di Bandung
lebih terlihat mengandung muatan politik praktis yang berkadar lebih rendah
dibandingkan dengan gerakan mahasiswa di Jakarta yang karena kedudukan mereka di
ibukota dengan mudah diberikan cap sebagai gerakan politik praktis. Umumnya gerakan
mahasiswa yang dianggap berhasil menumbangkan rezim kekuasaan, adalah bilamana
gerakan mahasiswa itu memadukan gerakan-gerakan mahasiswa power struggle praktis
di Jakarta dengan kekuatan-kekuatan pemikiran dan idealisme yang biasanya dilahirkan
gerakan mahasiswa di Bandung.

GERAKAN MAHASISWA YANG TERGELINCIR MENJADI KERUSUHAN.
Headline terakhir Mingguan Mahasiswa Indonesia mengenai Peristiwa 15 Januari 1974,
menjelang pembreidelan oleh penguasa.
Editor : Muhammad Alamsyah 19

20

HARI INI “39 TAHUN PERISTIWA MALARI”
Penguasa sebenarnya justru sangat memahami hal ini, sehingga selalu berusaha
meruntuhkan jalinan rantai yang menghubungkan Bandung dengan Jakarta. Kota-kota
perguruan tinggi lainnya seperti Yogya, Surabaya, Medan, Makassar dan Bogor dengan
sendirinya juga memiliki ciri-ciri tertentu yang bila berhasil dihubungkan dengan poros
Jakarta-Bandung, juga akan menjadi kekuatan dahsyat yang mampu merobohkan
kekuatan kekuasaan manapun yang menghalangi idealisme mahasiswa.
Kegagalan gerakan mahasiswa pada 15 Januari 1974 di Jakarta untuk mengganti
kekuasaan Soeharto terjadi karena putusnya jalinan rantai yang menghubungkan gerakan
mahasiswa Jakarta dan Bandung, sehingga dengan sendirinya memutuskan pula
hubungan dengan gerakan mahasiswa kota-kota utama perguruan tinggi lainnya. Satu
dan lain hal, itu terjadi karena timbulnya ‘kecurigaan’ yang besar terhadap figur Hariman
Siregar yang ‘permainan’ politiknya seringkali membingungkan pihak lawan maupun
kawan. Timbul pertanyaan atas dirinya: Bermain untuk siapakah dia ? Kesan seperti ini
yang tampaknya melatarbelakangi sikap tokoh-tokoh mahasiswa Bandung, Hatta
Albanik dan kawan-kawan di Bandung dan luar Jakarta, tak terkecuali Muslim
Tampubolon (Ketua Umum DM-ITB) yang terkesan tidak selalu ‘harmonis’ dengan
Hatta. Menarik bahwa saat itu, Ketua DM-ITB Komarudin, lebih banyak mewakili DMITB dalam komunikasi maupun kegiatan bersama dengan DM-UNPAD dibandingkan
Muslim Tampubolon.
Tidak bisa dipungkiri, pelbagai tuntutan mahasiswa Bandung, sangat mewarnai
keputusan politik yang dibuat pemerintah, seperti misalnya pembubaran Aspri, kebijakan
kredit untuk pengusaha dan investasi kecil, serta pembatasan gaya hidup mewah – seperti
yang antara lain dijadikan sindiran kontingen mahasiswa Bandung tentang banyaknya
bangunan tembok tinggi seperti penjara di Jakarta tetapi di dalamnya adalah istana,
tatkala berlangsung pertemuan 11 januari 1974 dengan Presiden Soeharto di Bina Graha.
Bahkan pemerintah Jepang sendiri pernah mengutus seorang pejabat dari OECF
(Overseas Economic Cooperative Fund) untuk menemui Hatta Albanik dan kawankawan yang dianggap representan gerakan mahasiswa anti modal Jepang, guna
memastikan bentuk bantuan dan kerjasama kebudayaan apa yang harus diberikan Jepang
agar mengurangi kesan buruk ‘economic animal’nya. Setelah penjajagan seperti itu,
Jepang kemudian melahirkan program-program bantuan dan kerjasama kebudayaan
Jepang-Indonesia. Bahkan program serupa kemudian diperluas, meliputi sejumlah negara
Asean lainnya, terutama Philipina dan Thailand yang gerakan mahasiswanya juga kuat
mengekspresikan sikap anti Jepang. Gerakan-gerakan anti Jepang memang berawal dari
mahasiswa Bandung yang banyak menerima keluhan pengusaha-pengusaha tekstil di
sekitar Bandung yang terpuruk oleh kehadiran modal Jepang. Gerakan ini kemudian
diekspresikan dengan ekstrim, radikal dan cukup vulgar oleh mahasiswa Jakarta,
sehingga terjadi huru hara besar 15 Januari 1974 –yang kemudian dijuluki sebagai
Malapetaka 15 Januari atau Malari, terutama oleh kalangan penguasa.
Memang tak bisa dipungkiri bahwa tangan-tangan kekuasaan ikut pula bermain
dalam menciptakan situasi yang radikal dan ekstrim pada peristiwa itu. Apalagi dalam
dimensi waktu dan ruang yang sama terjadi pertarungan internal unsur kekuasaan –
terutama antara kelompok Jenderal Ali Moertopo dengan kelompok Jenderal Soemitro.
Provokasi dari kalangan kekuasaan yang terlibat pertarungan internal telah menyebabkan
pecahnya kerusuhan (yang direncanakan) pada tanggal 15 Januari 1974. Jakarta hari itu
dilanda huru hara besar. Peristiwa tersebut telah cukup menjadi alasan bagi penguasa
untuk menindaki seluruh gerakan kritis, terutama yang dilancarkan para mahasiswa,
Editor : Muhammad Alamsyah 20

21

HARI INI “39 TAHUN PERISTIWA MALARI”
sebagai gerakan makar yang berniat menggulingkan Presiden Soeharto dan
pemerintahannya. Dan, pada masa-masa berikutnya penguasa ‘memiliki’ alasan
menjalankan tindakan-tindakan supresi untuk menekan dan ‘menjinakkan’ kampuskampus perguruan tinggi seluruh Indonesia. Penguasa ingin menjadikan kampus sekedar
‘campo vaccino’ atau padang penggembalaan lembu, tempat memelihara mahluk yang
berfaedah namun tak pandai melawan, layaknya para bangsawan Medici memperlakukan
rakyatnya sesuai isi kitab Niccolo Machiavelli.

SUPRESI MASUK KAMPUS

JENDERAL SJARIF THAYEB DAN DM-UNPAD. Mulanya bagaikan bapak
dengan anaknya. Tapi akhirnya, sang bapak membawa berbagai bentuk supresi masuk ke
kampus-kampus.
SETELAH Peristiwa 15 Januari 1974, memang terbuka jalan bagi rezim Soeharto
untuk ‘menindaki’ kampus yang selama ini menjadi sarang kebebasan dan gerakan kritis.
Sejumlah tindakan supresi diterapkan di kampus-kampus. Selain oleh tentara, tindakan
supresi itu terutama adalah melalui tangan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang
diangkat setelah Peristiwa 15 Januari oleh Soeharto, yakni Dr Sjarif Thajeb.

MAHASISWA BARU, SUMBER ASPIRASI BARU. 1974. Kampus perguruan
tinggi adalah ibarat sebuah sungai, airnya tak pernah berhenti mengarus. Selalu ada
pembaruan.
Semula, Dr Sjarif Thajeb, yang pernah duduk sebagai Menteri Perguruan Tinggi
Ilmu Pengetahuan di kabinet transisi Soekarno pada tahun 1965-1966, sempat menjadi
‘harapan’ bagi para mahasiswa, mengingat track recordnya sebagai orang yang ikut
Editor : Muhammad Alamsyah 21

22

HARI INI “39 TAHUN PERISTIWA MALARI”
menyokong lahirnya KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) –yang pada akhirnya
menjadi ujung tombak penggulingan rezim Soekarno.

BUKU ‘MENYILANG JALAN KEKUASAAN MILITER OTORITER’. Dalam
buku ini digambarkan bahwa Peristiwa 15 Januari 1974 adalah hasil dari pertarungan
kelompok-kelompok internal kekuasaan. Di satu pihak ada kelompok Jenderal Soemitro
yang kala itu digambarkan berambisi menjadi RI-1, dan pada sisi lain ada kelompok
Aspri di bawah Jenderal Ali Moertopo dan Jenderal Soedjono Hoemardani. Kelompok
Aspri ini dianggap ‘mewakili’ kepentingan ekonomi Jepang di Indonesia. Tidak heran
bila cetusan pertama menuju Peristiwa 15 Januari 1974 (Malari) berawal pada
demonstrasi mahasiswa Jakarta di bawah Hariman Siregar cs menentang kedatangan PM
Kakuei Tanaka ke Jakarta 14 Januari. Hariman dianggap punya kedekatan khusus
dengan Jenderal Soemitro. Tetapi sebaliknya, kelompok Ali Moertopo mengklaim bahwa
Hariman adalah tokoh binaan mereka. Anti modal asing, dengan demikian, tidak berada
pada urutan pertama tujuan gerakan, melainkan sebagai bagian ‘serangan’ kepada
Jenderal Ali Moertopo cs oleh Jenderal Soemitro. Namun, kelompok Ali Moertopo yang
sarat permainan dan pengalaman intelijen, bisa membelokkan gerakan mahasiswa
menjadi huru-hara sehingga akhirnya mendapat cap makar.
Akan tetapi, kata-kata baiknya yang senantiasa dilontarkannya dalam pertemuanpertemuan dengan para mahasiswa, ternyata terbukti omong kosong belaka, karena
bahkan ia menjadi salah satu mata pedang tindakan supresi di kampus-kampus.
Belakangan ia sering melontarkan kata-kata keras yang menekan mahasiswa dalam
pelbagai pertemuan. Karena itu, berkali-kali ia sempat bersitegang dengan para
mahasiswa. Bahkan tidak ada yang bisa menduga suasana pertemuan bapak-anak yang
pernah terjadi pada mulanya, di kemudian hari hampir berkembang jadi duel adu jotos
tatkala ia ingin memaksakan kehendaknya.
Tapi kampus memang tak pernah benar-benar bisa ditundukkan oleh kekuasaan
semata. Gerakan-gerakan kritis mahasiswa dengan berbagai cara tetap saja bisa
berlangsung, diantaranya dengan penyelenggaraan diskusi-diskusi ‘ilmiah’ di bawah
payung Tri Dharma Perguruan Tinggi. Sementara itu, sumber (daya) manusia bagi
kampus tak pernah habis, setiap tahun kampus memperoleh ‘darah segar’ berupa
Editor : Muhammad Alamsyah 22

23

HARI INI “39 TAHUN PERISTIWA MALARI”
mengalir masuknya mahasiswa baru yang pada waktunya membawakan lagi aspirasiaspirasi baru. Kampus perguruan tinggi adalah bagaikan sebuah sungai, airnya tak
pernah berhenti mengalir. Suatu proses yang tak kenal henti.
Sejarah mencatat, bahwa setelah gerakan-gerakan kritis mahasiswa 1970-1974,
kemudian muncul lagi gerakan perlawanan mahasiswa 1978 dan berikutnya gerakan
mahasiswa 1998 yang menjadi penyulut utama kejatuhan Soeharto. Entah kenapa hal
seperti itu selalu terjadi. Hati nurani bangsa ini tampaknya memang ada pada gerakangerakan mahasiswa ini. Dan entah sampai kapan.
Namun, ada satu hal yang jelas, semakin penguasa mengambil tempat berjauhan
dengan gerakan mahasiswa, maka itu berarti umut kekuasaan di tangan sang penguasa –
siapa pun dia, dalam kurun