GAYA BAHASA SASTRA ANAK CARA ANAK MENUNJ

GAYA BAHASA SASTRA ANAK: CARA ANAK MENUNJUKKAN EKSPRESI
Oleh : Dina Nurmalisa
FKIP Universitas Pekalongan

Sastra merupakan fenomena sosial budaya. Fenomena tersebut diungkap oleh
manusia, baik dewasa maupun anak-anak diantaranya dalam bentuk karya sastra. Karya
sastra diartikan sebagai pelukisan kehidupan dan pikiran imajinatif ke dalam bentuk-bentuk
dan struktur bahasa. Oleh karena itu, karya sastra menjadi produk manusia yang paling
efektif. Bahasa merupakan alat utama untuk menjangkau karya sastra. Hal ini diartikan
bahwa bahasa menjadi filter pertama untuk memahami karya sastra. Bahasa dalam karya
sastra memiliki karakteristik yang berbeda dengan bahasa nonsastra. Dengan demikian,
bahasa sastra adalah bahasa yang terdapat dalam karya sastra dengan karakteristik sastra.
Merujuk pada batasan tersebut, seharusnya setiap karya sastra harus memiliki
karakteristik sastra, baik yang ditulis oleh orang dewasa, remaja maupun anak-anak. Pada
kenyataannya, bahasa dalam karya sastra yang ditulis oleh anak tidak demikian. Bahasa
karya sastra yang ditulis oleh anak menunjukkan adanya perbedaan dengan bahasa karya
sastra yang ditulis oleh orang dewasa. Hal ini ditemukan dalam karya sastra anak yang ditulis
oleh anak yang berupa kumpulan cerita pendek seri Kecil-Kecil Punya Karya.
Karya sastra yang mencerminkan perasaan dan pengalaman anak-anak yang dapat
dilihat dan dipahami oleh anak-anak disebut sebagai sastra anak. Beberapa batasan tentang
sastra anak pada akhirnya mengacu pada sastra yang ditujukan untuk anak-anak, baik yang


ditulis oleh anak-anak maupun orang dewasa. Sastra anak mengacu pada dunia anak, baik itu
kehidupannya, alur ceritanya, maupun bahasa yang digunakan (Nurgiyantoro, 2005)
Eksistensi karya sastra anak di tengah menjamurnya karya sastra dewasa dan remaja
menunjukkan bahwa anak-anak pun kini mulai andil dalam proses kreatif. Mereka tidak
hanya sebagai objek atau penikmat karya sastra tetapi juga menjadi subjek atau pengarang.
Akan tetapi, keterbatasan keterampilan anak dalam memilih kata, menunjukkan ekspresi, dan
memakai gaya bahasa tentu berbeda dengan keterampilan orang yang lebih dewasa. Hal ini
senada dengan yang disampaikan oleh Nurgiyantoro (2005:9) bahwa sastra anak memiliki
sejumlah keterbatasan baik yang menyangkut pengalaman kehidupan yang dikisahkan, cara
mengisahkan, maupun bahasa yang dipergunakan untuk mengekspresikan. Anak belum dapat
menjangkau dan memahami kosakata dan kalimat yang kompleks. Dengan kata lain, bahasa
sastra anak berkarakteristik sederhana, sederhana dalam kosakata, struktur, dan ungkapan.
Sastra sebagai fenomena sosial menampilkan kisah kehidupan dalam bentuk cerita.
Cerita disajikan dalam bentuk rekaan atau fiksi. Cerita fiksi ini memiliki kecenderungan
untuk ditiru dan dipahami oleh pembacanya, termasuk juga dalam cerita fiksi anak. Cerita
fiksi anak harus dapat memberikan pengalaman imajinasi. Hal itu mencakup berbagai segi,
misalnya pelibatan aspek emosi, pikiran, perasaan, saraf sensori, dan pengalaman moral,
serta diekspresikan dalam bentuk-bentuk kebahasaan yang juga dapat dipahami oleh anak.
Salah satu jenis cerita fiksi anak diantaranya dalam bentuk kumpulan cerpen KecilKecil Punya Karya (KKPK). KKPK adalah cerita anak yang ditulis oleh anak dan diterbitkan

oleh DAR! Mizan. KKPK menjadi wadah bagi anak untuk menunjukkan dirinya. Setiap anak
mempunyai cara masing-masing untuk mengekspresikan imajinasinya. Ekspresi imajinasi
tersebut disajikan melalui media bahasa yang menunjukkan karakteristik anak.

Karakteristik Bahasa Sastra Anak
Bahasa menjadi alat utama untuk menjangkau karya sastra. Bahasa karya sastra yang
ditulis oleh anak memiliki karakteristik unik yang berbeda dengan bahasa karya sastra pada
umumnya. Ciri kesederhanaan dan kelugasan dalam penyampaian maksud cerita tetap
melekat pada karya sastra anak yang diterbitkan oleh KKPK. Beberapa karakteristik bahasa
sastra yang ditemukan dalam kumpulan cerpen karya anak KKPK sebagai berikut.
1. Kecenderungan Menirukan Bunyi-bunyian
Anak-anak cenderung untuk meniru hal-hal yang dilihat, didengar, dan dirasakan.
Kecenderungan ini tampak pula dalam karya sastra yang dibuat oleh anak. Pada fase
perkembangan psikologis anak kecenderungan ini memang selalu muncul terutama pada
saat mereka bercerita. Hal ini juga disebabkan oleh pola ajar orang tua yang selalu
melisankan segala sesuatu untuk member gambaran tentang hal yang diceritakan
sehingga membantu anak dalam berimajinasi.
2. Pengulangan Kata
Ciri


kesederhanaan

anak

tampak

pada

pemakaian

kata.

Keterbatasan

perbendaharaan kata yang dimiliki oleh anak-anak menimbulkan pengulangan kata dalam
kalimat-kalimat yang disusun. Dalam karya sastra yang ditulis orang dewasa
pengulangan kata mengandung nilai estetis, tetapi dalam karya sastra anak tidak
demikian. Pemilihan letak kata yang diulang sering berada di tempat yang sama.
Demikian pula dengan pemakaian konjungsi. Konjungsi yang dipakai oleh anak-anak
juga terbatas. Biasanya berkisar pada pemakaian kata lalu dan tetapi.

3. Pemakaian Istilah Berbahasa Asing

Pengaruh budaya asing sangat tampak pada pemakaian bahasa. Banyak istilah
asing yang diserap ke dalam bahasa Indonesia dan menjadi kata bahasa Indonesia. Akan
tetapi, penyerapan ini lebih sering dipakai dalam penulisan karya ilmiah. Dalam karya
sastra anak, pengaruh bahasa asing ini juga sangat tampak. Hal ini disebabkan
pembelajaran terhadap kata bahasa asing sudah mulai dikenalkan sejak dini. Tidak jarang
anak usia delapan sampai sepuluh tahun sudah lancar berbahasa Inggris. Apalagi jika
mereka terbiasa berkomunikasi dengan bahasa tersebut dan sering mengakses referensi
yang menggunakan bahasa asing. Selain itu, pemakaian istilah berbahasa asing juga
mampu memberikan prestise bagi penulisnya.
4. Kecenderungan Budaya Kebarat-baratan
Dalam menciptakan karya sastra, anak-anak pasti membutuhkan imajinasi dan
khayalan yang kemudian direka-reka sehingga terbentuk sebuah cerita. Selain itu, anakanak juga membutuhkan referensi pengalaman atau peristiwa yang berkesan untuk
mereka. Pengalaman anak melihat, membaca, mendengar, bahkan mungkin mengalami
sendiri suatu peristiwa dapat memunculkan ide kreatif ketika menulis karya sastra.
Budaya kebarat-baratan tampaknya mulai mempengaruhi pengetahuan anak. Hal
ini bisa dilihat pada kecenderungan mereka meniru budaya barat yang disajikan dalam
karya sastra anak. Pengaruh ini disebabkan oleh maraknya karya sastra terjemahan yang
diminati anak-anak bahkan seringkali menjadi trendsetter bagi mereka. Tidak hanya pada

pemakaian istilah asing saja, tetapi juga pada pemilihan setting, nama tokoh, tema, dan
gaya bercerita. Dijumpai dalam kumpulan cerpen yang dijadikan objek penelitian ini
bahwa muncul latar tempat yang tidak bisa ditemukan di Indonesia. Latar yang bersifat

imajinasi pun muncul dan menyerupai tempat-tempat yang ada di karya sastra
terjemahan.
5. Pemakaian Huruf dan Tanda Baca yang Berlebihan
Emosi anak pada usia pertumbuhan seringkali diidentikkan dengan ungkapan
yang meledak-ledak. Ekspresi tersebut tampak pula pada KKPK. Sebagai karya sastra
yang ditulis oleh anak, tampilan KKPK inipun menyerupai emosi mereka.
a. Pemakaian huruf
Pengaruh emosi anak salah satunya tampak pada pemakaian huruf yang
berlebihan, baik pada huruf vokal maupun huruf konsonan. Pemakaian huruf yang
berlebihan pada dasarnya bukan sebuah masalah dalam penulisan karya sastra karena
bahasa sastra bersifat arbitrer. Akan tetapi, penulisan kata dengan huruf yang
berlebihan tersebut tentunya mempunyai maksud dan alasan tertentu.
Dalam karya sastra yang ditulis oleh anak, pemakaian huruf yang berlebihan
tersebut disebabkan oleh pengaruh emosional anak ketika menulis. Ekspresi mereka
dalam mengungkapkan sesuatu sering dilakukan secara berlebihan. Misalnya ketika
menuliskan ekspresi marah dengan berteriak. Maka penulisannya sering ditampilkan

dengan memakai huruf vokal lebih banyak dari seharusnya. Hal ini dimaksudkan agar
pembaca seolah ikut berteriak dan melakukan lakuan tokoh dalam cerita tersebut.
Pemakaian huruf konsonan yang berlebihan juga terdapat dalam karya sastra anak.
Misalnya

untuk

menirukan

bunyi

seperti

mendengung,

melengking,

dan

menggumam. Pemakaian huruf konsonan tersebut memberikan efek seolah pembaca

benar-benar mendengar atau merasakan hal yang digambarkan tersebut.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kecenderungan penggunaan huruf
yang berlebihan merupakan bagian dari cara anak berekspresi untuk menunjukkan
diri.
b. Pemakaian tanda baca

Tanda baca dalam penulisan berfungsi sebagai penanda bacaan. Dalam penulisan
karya sastra, tanda baca bisa memiliki fungsi lebih dari sekedar penanda bacaan saja.
Tanda baca bisa digunakan sebagai sarana ekspresi penulis. Contohnya pada tanda
baca seru (!). Tanda seru memberi efek keras, misalnya dalam sebuah percakapan.
Tanda baca seru (!) sering muncul dalam percakapan yang membutuhkan penegasan.
Akan tetapi, dengan munculnya tanda seru lebih dari satu, maka efek keras atau
penegasan yang sangat itu tampak pada kata tersebut.
Contoh lain pada pemakaian tanda baca titik satu (.). Tanda baca titik (.) biasanya
digunakan untuk mengakhiri sebuah kalimat. Tanda titik hanya dibubuhkan satu saja,
tetapi dalam penulisan karya sastra tanda titik bisa dibubuhkan lebih dari satu.
Biasanya ada tiga tanda titik yang diletakkan di belakang kata yang paling akhir.
Menurut (Kurniawan, 2009) tanda titik tersebut bisa diartikan sebagai sesuatu yang
tidak tersampaikan. Selain itu, pemakaian tanda baca titik yang lebih dari satu
tersebut digunakan untuk membuat jeda pelafalan dalam kalimat yang disusun.

Untuk mengakhiri kalimat tanya digunakan tanda baca tanya (?). Dalam penulisan
tanda tersebut hanya digunakan satu kali, tetapi pada penulisan karya sastra anak
untuk menegaskan pertanyaan tersebut sering memakai tanda tanya yang jamak. Hal
itu disebabkan adanya usaha untuk memberikan efek tertentu bagi pembacanya.
Penegasan rasa ingin tahu anak tampak pada pemakaian tanda baca tanya (?) yang
dibubuhkan lebih dari satu tersebut.
Pengaruh perkembangan emosional anak dapat dilihat dalam penulisan, baik
dalam pemakaian huruf maupun tanda baca yang berlebihan pada karya sastra anak.
Anak mempunyai kecenderungan ingin menunjukkan dirinya. Mereka berusaha
membahasakan ekspresinya dalam bentuk tulis ketika menciptakan karya sastra

dengan gaya khas mereka. Gaya bahasa sastra anak yang dibuat oleh anak ini juga
dipengaruhi oleh beberapa hal, (1) perkembangan emosi, (2) konsumsi bacaan, dan
(3) lingkungan. Dengan demikian, karya sastra yang dihasilkan oleh anak dapat
membantu orang tua mengamati perkembangan anak dan sekaligus mengubah
pendapat bahwa sebenarnya anak mampu berpikir lebih dari apa yang dibayangkan
oleh orang tua.

DAFTAR PUSTAKA
Kurniawan, Heru. 2009. Sastra Anak dalam Kajian Strukturalisme, Sosiologi, Semiotika, hingga

Penulisan Kreatif. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Sastra Anak: Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Musfiroh. 2008. Bahasa dan Sastra dalam berbagai Perspektif. Efendi (Ed).Yogyakarta : Tiara
Wacana.
Wiyatmi. 2011. “Fenomena Kecil-Kecil Punya Karya dalam Perkembangan Sastra Anak
Indonesia dan Sumbangannya bagi Pembentukan Karakter”. Makalah Seminar Sastra
Anak Universitas Negeri Yogyakarta.