Uraian tumbuhan meliputi, sistematika tumbuhan, nama daerah, morfologi tumbuhan, kandungan kimia tumbuhan, serta penggunaan tumbuhan. 2.1.1 Sistematika tumbuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan

  Uraian tumbuhan meliputi, sistematika tumbuhan, nama daerah, morfologi tumbuhan, kandungan kimia tumbuhan, serta penggunaan tumbuhan.

  2.1.1 Sistematika tumbuhan

  Sistematika tumbuhan jambu mete menurut Putra (2013): Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Sapindales Famili : Anacardiaceae Genus : Anacardium Spesies : Anacardium occidentale L.

  2.1.2 Nama daerah

  Penyebaran jambu mete di Indonesia sangat luas sehingga tumbuhan ini mempunyai banyak nama daerah misalnya: jambu erang, jambu monyet (Sumatera), jambu mede, jambu mete, jambu mente, jambu siki, jambu dwipa, jambu jipang, nyambu monyet (Jawa), nyambuk nyebet (Nusa Tenggara Barat), buwah monyet (Timor), jambu parang, jambu sempal, jhambu monyet (Kalimantan), jambu dare, jampu sereng, jampu tapesi (Sulawesi), buwa yaki kanoke, masapana, buwa yakis, buwa jaki, wo yakis, (Maluku) (Dalimartha, 2000).

  2.1.3 Morfologi tumbuhan

  Pohon tinggi 8-12 m, memiliki cabang dan ranting yang banyak. Batang melengkung, berkayu, bergetah, percabangan mulai dari bagian pangkalnya. Daun tunggal, bertangkai, panjang 4-22,5 cm, lebar 2,5-15 cm. Helaian daun berbentuk bulat telur sungsang, tepi rata, pangkal runcing, ujung rompang dengan lekukan

  Bunga majemuk, terletak di ketiak daun dan di ujung cabang, mempunyai daun pelindung berbentuk bulat telur dengan panjang 4-55 mm dan berwarna hijau muda. Mahkota bunga berbentuk runcing, saat masih muda berwarna putih setelah tua berwarna merah. Bunga berumah satu memiliki bunga betina dan bunga jantan (Dalimartha, 2000).

  Buahnya buah batu, keras, melengkung. Tangkai buahnya lama kelamaan akan menggelembung menjadi buah semu yang lunak, seperti buah peer, berwarna kuning, kadang-kadang bernoda merah rasanya manis agak sepat, banyak mengandung air, dan berserat. Biji bulat panjang, melengkung, pipih, warnanya coklat tua. Akarnya berupa akar tunggang dan berwarna cokelat (Dalimartha, 2000).

  2.1.4 Kandungan kimia tumbuhan

  Kulit kayu mengandung tanin yang cukup banyak, asam galat, dan gingkol katekin. Daun mengandung tanin-galat, flavonol, asam anakardiol, asam elegat, senyawa fenol, kardol, dan metil kardol. Buah mengandung protein, lemak, vitamin (A, B dan C), kalsium, fosfor, besi dan belerang (Dalimartha, 2000).

  Daun jambu mete mengandung senyawa flavonoid, terpenoid/steroid, tanin dan glikosida (Jayalakshmi, dkk., 2011).

2.1.5 Penggunaan tumbuhan

  Kulit batang jambu mete bisa digunakan sebagai obat penyembuh sariawan (Kusrini dan Ismardiyanto, 2003). Daun berkhasiat antiradang dan penurun kadar glukosa darah (Dalimartha, 2000), sebagai obat untuk diare, psoriasis, dyspepsia, batuk (Doss dan Thangavel, 2011), selain itu daun jambu (Sulistyawati dan Mulyati, 2009). Biji dapat digunakan sebagai penawar racun gigitan ular, kulit biji mengandung asam anakardat yang telah digunakan secara luas untuk mengobati pembengkakan gusi yang disebabkan oleh bakteri gram positif (Dahake, dkk., 2009).

2.2 Ekstraksi

  Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak larut menggunakan pelarut cair. Simplisia yang diekstraksi mengandung senyawa aktif yang dapat larut dan senyawa yang tidak dapat larut seperti serat, karbohidrat, protein dan lain-lain. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan kedalam golongan minyak atsiri, alkaloida, flavonoida dan lain-lain. Mengetahui senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dengan cara yang tepat (Ditjen POM, 2000).

  Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Ditjen POM, 1995).

2.2.1 Metode ekstraksi

  Menurut Ditjen POM (2000), ada beberapa metode ekstraksi: 1. Cara dingin

  Ekstraksi dengan cara dingin terdiri dari: a. Maserasi pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruang (kamar). Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukan yang kontinu (terus-menerus). Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya.

  b.

  Perkolasi Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur ruang. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak) terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1 – 5 kali bahan.

2. Cara panas

  Ekstraksi dengan cara panas terdiri dari: a. Refluks

  Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3 - 5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna.

  b.

  Soxhletasi

  Soxletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

  c.

  Digesti Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada 40-50°C.

  d.

  Dekok Dekok adalah infus dengan waktu yang lebih lama (30 menit) dan temperatur sampai titik didih air.

  Menurut Syamsuni (2006), infusa adalah ekstraksi simplisia nabati dengan

  o air pada suhu 90 C selama 15 menit.

2.3 Gel

  Gel kadang-kadang disebut jeli, merupakan sistem semi padat terdiri dari suspensi yang dibuat dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar, terpenetrasi oleh suatu cairan. Gel yang mempunyai massa terdiri dari jaringan partikel kecil yang terpisah, gel digolongkan sebagai sistem dua fase (misalnya Gel Aluminium Hidroksida). Gel sistem dua fase, jika ukuran partikel dari fase terdispersi relatif besar, massa gel kadang-kadang dinyatakan sebagai magma (misalnya Magma Bentonit) (Ditjen POM, 1995).

2.3.1 Keuntungan sediaan gel

  Beberapa keuntungan sediaan gel (Voigt, 1994) adalah sebagai berikut:

  • Kemampuan penyebarannya baik pada kulit
  • Efek dingin, yang dijelaskan melalui penguapan lambat dari kulit

  • Tidak ada penghambatan fungsi rambut secara fisiologis
  • Kemudahan pencuciannya dengan air yang baik
  • Pelepasan obatnya baik

2.3.2 Komponen dalam sediaan gel

  Kandungan sediaan gel yang digunakan yaitu:

   Aqupec HV-505

  Aqupec HV-505 merupakan golongan karbomer yang digunakan sebagai

  

gelling agent . Aqupec HV-505 berbentuk serbuk berwarna putih, bersifat

  higroskopis, tidak berbau dan tidak berasa. Konsentrasi yang digunakan sebagai gelling agent yaitu 0,5 – 2,0% (Rowe, dkk., 2009).

  2.3.2.2 Trietanolamin

  Trietanolamin merupakan cairan kental yang bening, tidak berwarna sampai kuning pucat dan memiliki bau amoniak yang lemah, bersifat sangat higroskopis, dan pH 10,5. Kelarutannya yaitu mudah larut dalam air, metanol, dan aseton. Trietanolamin digunakan sebagai bahan pengemulsi dengan konsentrasi 2% - 4%, menambah kebasaan, dan sebagai humektan (Rowe, dkk., 2009).

  2.3.2.3 Gliserin Gliserin pada umumnya digunakan sebagai humektan dan emolien.

  Gliserin memiliki ciri-ciri: larutan jernih, tidak bewarna, tidak berbau, kental, mempunyai rasa manis. Gliserin digunakan sebagai pembawa gel 5 – 15%, sebagai humektan < 30% (Rowe, dkk., 2009).

  2.3.2.4 Propilen glikol

  Propilen glikol banyak digunakan sebagai pelarut dan pembawa dalam pembuatan sediaan farmasi. Propilen glikol merupakan cairan jernih, tidak berwarna, manis, kental dan hampir tidak berbau. Propilen glikol larut dalam gliserin, air, alkohol, aseton, klorofom. Propilen glikol digunakan sebagai humektan ≈15% (Rowe, dkk., 2009).

2.3.2.5 Metil paraben

  Metil paraben berbentuk kristal tidak berwarna atau serbuk kristal putih; dalam benzen dan dalam karbon tetraklorida; mudah larut dalam etanol dan dalam

  °

  eter; larut dalam air 80

  C. Penggunaan dalam sediaan topikal sebanyak 0,02% - 0,3% sebagai antimikroba, efektif pada pH 4 - 8 (Rowe, dkk., 2009).

2.4 Jamur

2.4.1 Uraian jamur

  Jamur merupakan suatu mikroorganisme eukariotik yang mempunyai ciri- ciri spesifik yaitu mempunyai inti sel, memproduksi spora, tidak mempunyai klorofil, dapat berkembang biak secara seksual dan aseksual, beberapa jamur mempunyai bagian-bagian tubuh berbentuk filamen-filamen dan sebagian lagi bersifat uniseluler (Fardiaz, 1992).

  Jamur memerlukan kondisi kelembapan yang tinggi, persediaan bahan organik dan oksigen untuk pertumbuhannya. Semua fungi memperoleh zat gizi organiknya dengan absorpsi. Jamur mendapat zat gizinya dari berbagai sumber. Sebagian besar jamur adalah parasit yaitu mendapatkan nutrisi dengan menyerap zat gizi dari badan pejamu hidup, sebagian jamur adalah saprofit yaitu mendapatkan nutrisi dengan menyerap zat gizi dari materi organik mati, dan ada jamur yang mutualis yaitu dapat menyerap zat gizi dari pejamu, tetapi juga menguntungkan pejamu (Bresnick, 2003).

  Lingkungan yang hangat dan lembab mempercepat pertumbuhan jamur. Jamur tumbuh dengan baik pada kondisi lingkungan yang mengandung banyak gula dengan tekanan osmotik tinggi dan kondisi asam yang tidak menguntungkan bagi pertumbuhan bakteri. Jamur tumbuh dalam kisaran temperatur yang luas,

  o

  dengan temperatur optimal berkisar antara 22–30

  C. Spesies jamur patogenik

  o o

  30–37

  C. Beberapa jamur mampu hidup pada temperatur 0 C sehingga menyebabkan kerusakan produk yang disimpan pada penyimpanan dingin (Pratiwi, 2008).

2.4.2 Reproduksi jamur

  Jamur terdiri dari thallus yang tersusun dari filamen bercabang yang disebut hifa dan kumpulan dari hifa disebut miselium. Hifa tumbuh dari spora yang melakukan germinasi membentuk suatu tuba germ yang akan tumbuh terus membentuk filament yang panjang dan bercabang, kemudian seterusnya akan membentuk masa hifa yang disebut miselium (Pratiwi, 2008).

  Jamur bereproduksi baik secara aseksual dengan pembelahan, pembentukan tunas atau spora, maupun secara seksual dengan peleburan inti dari kedua induknya. Pada pembelahan, sel akan membagi diri membentuk dua sel yang sama besar, sedangkan pada pertunasan (budding), sel anak tumbuh dari penonjolan kecil pada sel induk. Spora jamur dibentuk dari hifa udara atau hifa aerial hypae, dan spora jamur dapat berupa spora seksual ataupun spora aseksual.

  Spora aseksual dibentuk oleh hifa dari satu individu jamur. Bila spora aseksual bergerminasi, spora tersebut akan menjadi jamur yang secara genetik identik dengan induknya. Spora seksual dihasilkan dari dua inti dengan tipe seks yang berlawanan dari satu spesies jamur yang sama (Pratiwi, 2008).

  2.4.3 Sistematika Microsporum canis

  Sistematika Microsporum canis menurut Berman (2012): Filum : Ascomycota Ordo Famili Genus : Microsporum Jenis : Microsporum canis

  Microsporum canis memiliki makrokonidia yang besar dan berdinding

  kasar. Spesies ini membentuk banyak makrokonidia yang terdiri dari 8-15 sel, berdinding tebal dan sering kali mempunyai ujung-ujung yang melengkung atau kail berduri. Microsporum canis merupakan penyebab penyakit Tinea kapitis. (Jawetz, dkk., 2007).

  2.4.4 Sistematika Trichophyton sp

  Sistematika Trichophyton sp menurut Berman (2012): Filum : Ascomycota Kelas : Euteromycota Ordo Famili Genus : Trichophyton Spesies : Trichophyton sp

  Trichophyton sp memiliki makronidia yang berdinding halus dan

  mikronidia yang berkarakteristik. Trichophyton sp dapat menginfeksi rambut, kulit, dan kuku. Penyakit yang disebabkan Trichophyton sp antara lain Tinea

  

pedis yang berlokasi di antara jari-jari kaki, Tinea cruris yang berlokasi di lipatan

  paha, Tinea barbae yang berlokasi di rambut janggut, dan Tinea unguium yang

2.5 Media Pertumbuhan Organisme

  Pembiakan mikroorganisme dalam laboratorium memerlukan media yang berisi zat hara serta lingkungan pertumbuhan yang sesuai bagi mikroorganisme.

  Menurut Lay (1996), media biakan dapat dikelompokkan dalam beberapa kategori, yaitu: a.

  Secara kimiawi, media biakan dibagi menjadi: 1.

  Media sintetik yaitu media yang kandungan dan isi bahan yang ditambahkan diketahui secara terperinci. Contoh: glukosa, kalium fosfat, magnesium fosfat dan magnesium sulfat.

  2. Media non-sintetik yaitu media yang menggunakan bahan yang terdapat di alam, bahan-bahan ini biasanya tidak diketahui kandungan kimia secara rinci. Contohnya: ekstrak daging, pepton dan kaldu daging.

  b.

  Berdasarkan kegunaannya, dapat dibedakan menjadi: 1.

  Media selektif adalah media biakan yang mengandung paling sedikit satu bahan yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang tidak diinginkan dan membolehkan perkembangbiakan mikroorganisme tertentu yang ingin diisolasi. Contohnya: Manitol salt agar, Potato dextrose agar

  dan Sabouraud agar.

  2. Media diferensial adalah media yang digunakan untuk membedakan kelompok mikroorganisme tertentu yang tumbuh pada media biakan. Bila mikroorganisme tumbuh pada media diferensial, maka dapat dibedakan kelompok mikroorganisme berdasarkan perubahan pada media biakan atau penampilan koloninya. Contohnya: Blue Lactose agar.

2.6 Uji Aktivitas Antimikroba

  Pengukuran aktivitas antimikroba dapat dilakukan dengan metode difusi atau dengan metode dilusi.

  a.

  Cara difusi Metode yang digunakan adalah cakram kertas, silinder gelas/logam dan pencetak lubang yang diletakkan pada media agar padat yang telah dicampurkan dengan mikroba uji dan zat yang bersifat antimikroba diteteskan ke dalam

  o

  pencadang kemudian diinkubasi pada suhu 37 C selama 18 – 24 jam. Selanjutnya diamati adanya area (zona) jernih di sekitar pencadang yang menunjukkan tidak adanya pertumbuhan mikroba (Dzen, dkk., 2003).

  b.

  Cara dilusi Metode ini digunakan untuk menentukan Kadar Hambat Minimum (KHM) dan Kadar Bunuh Minimum (KBM) dari zat antimikroba. Metode ini menggunakan satu seri tabung reaksi yang diisi media cair dan sejumlah mikroba uji. Tabung diuji dengan zat antimikroba yang telah diencerkan secara serial. Seri

  o

  tabung diinkubasi pada suhu ± 37 C selama 18 – 24 jam dan diamati terjadinya kekeruhan pada tabung. Selanjutnya biakan dari semua tabung yang jernih

  o

  diinokulasikan pada media agar padat, diinkubasikan pada suhu ± 36 C selama 18-24 jam. Lalu diamati ada tidaknya mikroba yang tumbuh (Dzen, dkk., 2003).