BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah - Makna Tato pada Anggota Komunitas Tato (Studi Fenomenologi Makna Tato Pada Anggota Komunitas Black Cat Tattoo)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Konteks Masalah

  Banyaknya pemberitaan kriminal di berbagai media massa yang menyorot tajam pelaku kriminal dan berbagai tampilan yang dikenakannya, membuat publik semakin meyakini bahwa orang yang termasuk jahat adalah orang-orang yang ciri-ciri fisiknya seperti apa yang ditampilkan media massa tersebut. Salah satu yang banyak orang tahu adalah bahwa orang-orang kriminal itu dicirikan dengan adanya tato yang menempel di tubuh si pelaku kriminal. Hal tersebut menjadikan tato sebagai suatu yang buruk di mata publik. Tidak mengherankan bahwa pada akhirnya “masberto” alias manusia bertato yang hidup di suatu lingkungan masyarakat, mendapat perlakuan yang tidak mengenakkan, seperti dikucilkan, dicemooh, bahkan diusir dari lingkungan tersebut.

  Pada era Soeharto misalnya, di mana tato pernah mendapatkan citra yang negatif dari masyarakat. Pasalnya, saat itu operasi “Petrus” (penembakan misterius) sedang giat-giatnya dilakukan oleh aparat negara. Sasaran dari operasi “Petrus” ini adalah para preman, gali (gabungan anak liar), orang-orang yang dianggap berpotensi melakukan tindakan kriminal dan umumnya mereka yang bertato. Mereka diculik, dihajar, ditembak kemudian mayatnya di buang di berbagai tempat seperti di sungai, di tepi jalan, di perempatan dan ada juga di dekat pos siskamling. Tato yang awalnya merupakan wujud ekspresi diri dari penggunanya berubah menjadi sesuatu yang “lain” bagi negara. Negara pada saat itu beralasan bahwa penumpasan mereka didasari tujuan dari kontrol negara dalam rangka stabilitas keamanan yang dapat berdampak pada kontinuitas pembangunan negara.

  Masyarakat yang sangat memegang kuat norma-norma sosial dan budaya, seperti masyarakat tradisional umumnya bertentangan dengan kenyataan yang dianggap “tidak normal”, dalam hal ini adalah manusia bertato. Ketidaksamaan maupun ketidakserasian nilai dan ideologi di antara mereka, menjadi pendorong munculnya deviasi. Deviasi memiliki arti sebagai tindakan penyimpangan perilaku yang bertentangan dengan norma-norma masyarakat.

  Tidak hanya dianggap bertentangan dengan norma-norma sosial masyarakat, ternyata tato juga mendapat tentangan keras dari agama. Misalnya dalam islam, mengubah sesuatu pemberian Allah SWT cenderung dikutuk misalnya tato, operasi plastik, menyambung rambut dan mencukur alis. Namun banyaknya larangan dari berbagai pihak, tak menyurutkan hasrat muda-mudi masa kini untuk menghiasi tubuhnya dengan tato.

  Dijelaskan bahwa kata tato berasal dari bahasa Tahiti yakni “tattau” yang berarti menandai, dalam arti bahwa tubuh ditandai dengan menggunakan alat berburu yang runcing untuk memasukkan zat pewarna di bawah permukaan kulit. Proses penusukan jarum dengan tangan (manual) hingga kini masih terdapat di beberapa kebudayaan dunia seperti Samoa, Maori, Mentawai, Burma dan Thailand. Dalam bahasa Jawa, tato mempunyai makna yang nyaris sama meskipun berbeda, yakni kata “tatu” yang juga memiliki kesejajaran makna “luka” atau “bekas luka” yang menjadi sebuah tanda tertentu dengan kulit lainnya baik di tubuh sendiri maupun perbedaan tanda dengan tubuh milik orang lain (Olong, 2006: 84-85).

  Di Indonesia tato muncul dari masyarakat yang ada di pedalaman, biasa disebut dengan masyarakat primitif. Masyarakat primitif ini masih sangat dekat dengan unsur-unsur magis yang dipercaya lewat leluhurnya, misalnya suku Mentawai, suku Dayak dan masih banyak lagi. Bagi mereka tato memiliki makna, tanda, simbol dan fungsi yang berbeda-beda.

  Tato pada kaum perempuan suku Belu di Pulau Timor misalnya, tato dianggap sebagai simbol kecantikan yang diyakini dapat menarik lawan jenis. Karena penatoan yang dilakukan memakan biaya prosesi yang tidak sedikit, perayaan yang diadakan tersebut merupakan prestise tersendiri bagi yang mampu melakukannya. Uniknya, kaum perempuan suku Belu ini akan merasa malu jika tidak mentato tubuhnya karena kaum lelaki hanya akan memilih perempuan yang telah ditato.

  Seiring berjalannya waktu dan arus informasi yang semakin deras dengan segala macam perkembangan zaman yang selalu up to date, lambat laun eksistensi maupun identitas tato yang sesungguhnya mulai terkikis dan berubah menjadi sebuah trend di kalangan masyarakat kota besar terutama anak-anak muda. Anak- anak muda yang notabene selalu merasa penasaran dengan hal-hal baru, selalu ingin diperhatikan oleh lingkungan sekitarnya dengan apa yang ia miliki, sangat mudah terpengaruh oleh sesuatu yang belum dikenalnya dan dorongan untuk mencoba sering kali tidak terbendung. Pergaulan juga menjadi faktor penting dalam hal ini, biasanya bermula dari teman sebaya yang lebih dahulu mentato, akhirnya terpersuasi untuk mengikuti jejak temannya tersebut.

  Erikson menyebutkan, dalam siklus kehidupan manusia akan mengalami delapan siklus. Pertama, tahap sensor mulut. Kedua, tahap otot anal. Ketiga, tahap locomotus genetis. Keempat, periode laten. Kelima, pubertas atau remaja.

  

Keenam, dewasa muda/akil baligh. Ketujuh, dewasa. Kedelapan, dewasa dan

  masa tua. Dalam setiap peralihan yang disebut di atas, setiap manusia akan mengalami krisis identitas yang menimbulkan adanya kebutuhan dasar yang baru, kecemasan, kekhawatiran, resah, hingga ketakutan yang menyelimuti. Hal-hal tersebut jika tidak segera diatasi akan menyebabkan rusaknya kepribadian (Olong, 2006: 41).

  Telah disinggung di atas bahwa peran media massa dalam membentuk opini negatif masyarakat tentang tato sangat kuat. Namun di sisi lain, melalui media massa anak-anak muda juga menyerap, meniru gaya idolanya yang bertato. Artis ataupun band-band metal luar negeri misalnya, mereka kerap menunjukkan bagian tubuhnya yang bertato saat tampil di depan publik. Idola dalam hal ini adalah seseorang yang menjadi sumber inspirasi untuk menunjukkan jati diri. Tidaklah mengherankan jika mereka begitu keranjingan sehingga rela memperlakukan tubuh sebagai kanvas tato merupakan pengorbanan. Mereka rela menderita sakit demi menyerupai penampilan idolanya.

  Seperti yang diketahui bahwa mentato tubuh tidak hanya cukup bermodalkan rasa kesenangan dan keberanian. Hal yang terpenting saat akan memutuskan bertato adalah komitmen yang kuat pada diri sendiri. Tidak bisa begitu saja memperlakukan tubuh tanpa didasari rasa tanggung jawab. Setiap pengguna tato harusnya memikirkan secara matang mengenai keputusannya untuk bertato. Calon pengguna tato juga harus siap dengan resiko kesehatan yang akan dihadapi. Resiko itu bisa berupa iritasi kulit bahkan dalam jangka waktu lama bisa terkena kanker kulit. Selain itu, harus siap dengan keadaan lingkungan sekitarnya apabila suatu saat nanti timbul permasalahan karena tatonya itu. Pertimbangan ataupun keputusan yang tidak matang akan berujung pada penyesalan semata. Mulai dari desain tato yang harus benar-benar cocok, siapa tattoo artist nya, studio tatonya, alat-alatnya steril atau tidak, semua tidak bisa lepas dari perhatian calon pengguna tato.

  Perubahan tato ternyata tidak hanya pada identitasnya saja. Tato dahulunya mungkin hanya dimiliki oleh suku-suku primitif yang telah disebutkan di atas dan sejak era Orde Baru tato mengalami pergeseran nilai dan makna. Jika kembali ke masa lalu, Tato pada bagian tubuh mumi yang ditemukan di Mesir bermotifkan pola grafis yang sederhana dengan titik-titik yang saling berhubungan membentuk desain elips terletak di bagian bawah perut. Desain ini dimungkinkan bermakna sebagai lambang kesuburan pada seorang perempuan. Mumi perempuan tersebut bernama Amunet. Diperkirakan ia seorang pendeta perempuan yang bermadzhab pemuja Dewi Athor yang berkediaman di daerah Thebes. Tato pada masa lampau dalam setiap budaya yang berlainan, memiliki makna dan fungsi yang berbeda-beda pula (Olong, 2006: 99).

  Suku Maori di New Zealand misalnya, membuat tato yang berbentuk ukir- ukiran spiral pada wajah dan pantat. Menurut budaya mereka ini adalah tanda bagi keturunan yang baik. Pada abad 300-900 SM, tato dan berbagai perhiasan tubuh

(body adornment) lainnya berkembang pesat pada suku Maya, Inca dan Aztec.

Perhiasan tubuh ini pada umumnya berfungsi sebagai ritual. Di Sudan suku Nuer menggunakan tato untuk menandai ritus laki-laki. Pada perempuan masyarakat suku bangsa Kirdi dan Lobi, Afrika Tengah, terdapat tato berukuran kecil di bagian wajah, tepatnya di mulut membentuk desain segitiga yang disebut

  

wobaade. Tato ini bertujuan menghindarkan diri dari gangguan setan. Penatoan

pada bibir bagian atas bertujuan menghindarkan diri dari perdagangan budak.

  Suku Dai kuno percaya bahwa warna hitam dapat menghindarkan mereka dari serangan berbagai macam makhluk asing sehingga mereka menempatkan warna tersebut pada wajah sebagai rajah. Rajah pada laki-laki dianggap sebagai simbol keberanian, karena itu diletakkan di bagian tubuh yang mempunyai otot terkuat (Olong, 2006: 88-89).

  Namun saat ini, tato menjadi lebih dianggap moderen dan jauh dari kesan kuno. Mulai dari desain, alat, proses penatoannya dan makna tato itu pun turut berubah. Tato dalam masyarakat kekinian, terutama muda-mudi dimaknai sebagai kebebasan tanpa ada aturan yang membelenggu mereka (campur tangan pemerintah), sebagai ajang ekspresi diri dan sebagai wujud kecintaan kepada idolanya yang menggunakan tato. Tato semakin populer manakala peralatan yang digunakan untuk mentato semakin canggih dan mampu meminimalisir rasa sakit, kemudian teknik penghilangan tato muncul sebagai pilihan bagi mereka yang ingin menghapus ataupun mengganti tato yang sebelumnya dengan tato yang baru.

  Menjamurnya studio tato di kota-kota besar menunjukkan bahwa eksistensi tato perlahan sudah diterima oleh sebagian kalangan. Seiring dengan itu, bermunculan berbagai macam komunitas tato yang di dalamnya adalah para pengguna tato, baik seniman ataupun partisipan. Melalui komunitas yang mereka bentuk, mereka mampu menampilkan kreativitas yang dimiliki. Melalui kegiatan- kegiatan event, exhibition dan lain sebagainya, eksistensi mereka semakin terlihat dan sembari menegaskan bahwa tato saat ini bukan sesuatu yang negatif, bukan sesuatu yang kuno lagi, melainkan sebuah industri kreatif yang harus terus- menerus dikembangkan.

  Komunitas tato juga menjadi wadah untuk berinteraksi dengan pengguna tato lainnya. Berbagi ilmu, berbagi pengalaman serta menguatkan solidaritas di antara sesamanya. Dalam komunitas, mereka bebas menuangkan karya tanpa ada pengendalian dan pengawasan dari siapapun. Dijelaskan dalam buku Olong, komunitas merupakan sebuah fase logis dari keadaan/fase liminalitas, karena setiap orang pasti mengalami masuk menjadi sebuah entitas komunitas. Keadaan ini membuat subjek mengalami hubungan antarpribadi yang antistruktur. Menurut Turner, antistruktur merupakan fenomena di mana tidak hadirnya sebuah struktur sosial yang berlaku, dalam arti bahwa di dalam komunitas tersebut justru berlaku nilai-nilai kesamaan antarindividu (egalitarian). Hubungan yang terjadi adalah antar subjek, bukan antara subjek dan objek, bergerak ke satu tujuan dan eksistensial (Olong, 2006: 59).

  Meskipun memiliki visi misi yang sama tentang tato, tidak berarti setiap individu yang merupakan anggota komunitas memiliki makna dan pengalaman yang sama tentang tato. Setiap individu memiliki kisahnya tersendiri, bagaimana akhirnya ia bisa menjadi “masberto”. Pengalaman tersebut yang pada akhirnya menuntun mereka ingin seperti apa merefleksikannya. Perbedaan yang ada di antara mereka, lantas tidak menjadi masalah ketika bergabung menjadi suatu kelompok yang solid dalam suatu komunitas.

  Salah satu komunitas tato di Kota Medan yaitu Black Cat Tattoo. Black Cat Tattoo adalah sebuah studio tato, distro anak muda dan sebuah komunitas. Awalnya studio tato tempat mereka biasa berkumpul ini, memiliki tempat/ruangan yang kecil dan hanya bisa digunakan untuk tempat membuat tato. Namun seiring berjalannya waktu, sang pemilik studio tato, tattoo artist, sekaligus pendiri komunitas BCT ini, memutuskan membuka sebuah distro anak muda yang mengharuskan mereka untuk pindah ke tempat yang lebih luas lagi pada 2010 lalu, yang tidak jauh dari studio tato yang dulu.

  Menariknya, Black Cat Tattoo sudah cukup lama berdiri, tepatnya dari tahun 2002 hingga sekarang. Dalam kurun waktu tersebut, Black Cat Tattoo telah banyak memperoleh pengalaman serta perkembangan seputar tato yang selalu diikuti komunitas ini sehingga dengan itu peneliti yakin memperoleh data yang dibutuhkan dari masing-masing individu/anggota komunitas. Dengan lokasi yang cukup strategis yaitu di simpang jalan Dr. Mansyur dekat lampu merah, di mana juga banyak tempat tongkrongan anak-anak muda Kota Medan.

  Black Cat Tattoo juga termasuk komunitas yang aktif mengikuti tattoo

  event. Black Cat Tattoo sendiri, tergabung dalam komunitas besar bernama Sumut

  Tattoo Artist atau disingkat STA, di mana tak hanya komunitas mereka saja yang ada di situ. Komunitas tato lain yang ada di Sumut seperti Siong Bali Tattoo Studio, Topan Tattoo, Hen’z Tattoo Arts, Kevinto Tattoo, Sam Tattoo, Taurus Tattoo Binjai, Reno Tattoo, Dod Tattoo, Riveth Tattoo, Apin Tattoo, Inqbal Bastardx Tattoo, Jack Bandits Tattoo serta masih banyak lagi (www.medanmagazine.com).

  Saat peneliti melakukan pra penelitian ke sana, peneliti langsung berjumpa dengan pemiliknya yaitu Bang Pepen (nama akrab). Bang Pepen mengatakan bahwa ia sudah terjun ke dunia tato sejak tahun 1996. Ia juga memberi informasi kepada peneliti bahwa komunitas ini tidak memiliki jumlah anggota yang tetap, karena pada dasarnya komunitas ini tidak bersifat mengikat layaknya sebuah organisasi. Komunitas ini dibentuk atas dasar kesamaan hobi, minat dan pandangan terhadap tato itu sendiri. Komunitas tersebut merupakan tempat yang cocok untuk menyalurkan jiwa seni dan kreatif para pecinta tato.

  Peneliti dalam hal ini tidak memiliki tujuan untuk memberikan sebuah solusi terkait masalah tato, hanya penggambaran wacana dirasa peneliti jauh lebih penting untuk dapat dilihat masyarakat luas dalam memahami tato. Pemahaman yang baik mengenai tato, sedikitnya akan memberikan pengertian baru bagi orang-orang yang sadar bahwa tato ada dalam lingkungannya memiliki kandungan tersendiri untuk dimengerti. Baik buruknya pengguna tato, sebenarnya bukan menjadi sebuah tolok ukur. Pemahaman mengenai tato akan membantu masyarakat dan para pengguna tato untuk lebih memahami tato. Hanya yang perlu diingat, mentato adalah keputusan seumur hidup, untuk itu tato akan menceritakan mengenai apa, mengapa dan bagaimana makna tato tersebut melekat.

1.2 Fokus Masalah

  Masalah merupakan pokok dari suatu penelitian. Tujuan dari fokus masalah adalah untuk menghindari ruang lingkup penelitian yang terlalu luas, supaya masalah yang diteliti tidak meluas ke mana-mana. Dalam penelitian ini, peneliti ingin mengetahui lebih jauh pengalaman pengguna tato terhadap fenomena tato dan makna tato pada diri penggunanya di komunitas tersebut. Berdasarkan pemaparan konteks masalah di atas, maka peneliti merumuskan masalah sebagai berikut:

  1. Bagaimana individu pengguna tato di komunitas “Black Cat Tattoo” merefleksikan pengalamannya ?

2. Bagaimana pemaknaan tato pada individu pengguna tato di komunitas

  “Black Cat Tattoo”?

1.4 Tujuan Penelitian

  Tujuan adalah apa yang hendak kita capai. Dalam penelitian ini, peneliti memiliki tujuan penelitian sebagai berikut:

  1. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dan mengungkapkan tindakan individu pengguna tato di komunitas “Black Cat Tattoo” dalam merefleksikan pengalamannya.

  2. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dan mengungkapkan motif ataupun alasan dalam menggunakan tato.

  3. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dan mengungkapkan makna tato dari individu pengguna tato di komunitas “Black Cat Tattoo”.

1.5 Manfaat Penelitian

  Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah: 1.

  Secara teoritis, penelitian ini berguna untuk menambah pengetahuan serta memperluas wawasan peneliti mengenai studi fenomenologi dalam meneliti fenomena sosial yang ada dalam suatu komunitas.

  2. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat menarik peneliti lain untuk meneruskan penelitian di bidang Ilmu Komunikasi, khususnya mengenai makna tato pada penggunanya di suatu komunitas.

  3. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pikiran dan masukan kepada pihak-pihak yang membutuhkan pengetahuan yang berkenaan dengan penelitian ini.