BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Gambaran Dukungan Keluarga pada Klien Pengguna Napza di Panti Sosial Pamardi Putra Insyaf Sumatera Utara
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dukungan Keluarga
2.1.1 Defenisi Keluarga Menurut WHO (1996) Keluarga adalah anggota rumah tangga yang saling berhubungan melalui pertalian darah, adopsi atau perkawinan. Menurut Departemen
Kesehatan (1998), Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan. Adapun pendapat oleh Sayekti (1994) mengatakan bahwa keluarga adalah suatu ikatan atau persekutuan hidup atas dasar perkawinan antara orang dewasa yang berlainan jenis yang hidup bersama atau seseorang laki-laki atau seorang perempuan yang sudah sendirian dengan atau tanpa anak, baik anaknya sendiri atau adopsi, dan tinggal dalam sebuah rumah tangga (Setiadi, 2008).
2.1.2 Konsep Dukungan keluarga Dukungan keluarga merupakan suatu proses hubungan antara keluarga dengan lingkungan sosialnya (Friedman, 1998). Dukungan sosial adalah suatu keadaan yang bermanfaat bagi individu yang diperoleh dari orang lain yang dapat dipercaya, sehingga seseorang akan tahu bahwa ada orang lain yang memperhatikan, menghargai dan mencintainya (Cohen & Syme, 1996 dalam Setiadi, 2008). Anggota keluarga sangat membutuhkan dukungan dari keluarganya karena hal ini akan membuat individu menyediakan bantuan dan tujuan hidup yang ingin dicapai individu (Friedman, 1988).
Menurut Cohen dan Mc Kay (1984 dalam Niven, 2000) bahwa komponen- komponen dukungan keluarga adalah sebagai berikut :
1. Dukungan Emosional Dukungan emosional memberikan pasien perasaan nyaman, merasa dicintai meskipun saat mengalami suatu masalah, bantuan dalam bentuk semangat, empati, rasa percaya, perhatian sehingga individu yang menerimanya merasa berharga. Pada dukungan emosional ini keluarga menyediakan tempat istirahat dan memberikan semangat kepada pasien yang dirawat di rumah atau di panti. Jenis dukungan bersifat emosional atau menjaga keadaan emosi atau ekspresi. Jika stres mengurangi perasaan seseorang akan hal yang dimiliki dan dicintai maka dukungan dapat menggantikannya sehingga akan dapat menguatkan kembali perasaan dicintai tersebut. Apabila dibiarkan terus menerus dan tidak terkontrol maka akan berakibat hilangnya harga diri.
2. Dukungan Informasi Dukungan ini meliputi komunikasi dan tanggung jawab bersama, termasuk didalamnya memberikan solusi dari masalah yang dihadapi pasien baik di rumah atau rumah sakit jiwa, memberikan nasehat, pengarahan, saran atau umpan balik tentang apa yang dilakukan oleh seseorang. Keluarga dapat menyediakan informasi dengan menyarankan tempat, dokter, dan terapi yang baik bagi dirinya dan tindakan spesifik bagi individu untuk melawan dan pemberi informasi
3. Dukungan Nyata Dukungan ini meliputi penyediaan dukungan jasmaniah seperti pelayanan, bantuan finansial dengan menyediakan dana untuk biaya pengobatan, dan material berupa bantuan nyata (Instrumental Support/ Material Support), suatu kondisi dimana benda atau jasa akan membantu memecahkan masalah kritis, termasuk didalamnya bantuan langsung seperti saat seseorang membantu pekerjaan sehari-hari, menyediakan informasi dan fasilitas, menjaga dan merawat saat sakit serta dapat membantu menyelesaikan masalah. Pada dukungan nyata, keluarga sebagai sumber untuk mencapai tujuan praktis. Meskipun sebenarnya, setiap orang dengan sumber-sumber yang tercukupi dapat memberi dukungan dalam bentuk uang atau perhatian yang bertujuan untuk proses pengobatan. Akan tetapi, dukungan nyata akan lebih efektif bila dihargai oleh penerima dengan tepat. Pemberian dukungan nyata yang berakibat pada perasaan ketidakadekuatan dan perasaan berhutang, malah akan menambah stress individu.
4. Dukungan Pengharapan Dukungan pengharapan merupakan dukungan berupa dorongan dan motivasi yang diberikan keluarga kepada pasien. Dukungan ini merupakan dukungan yang terjadi bila ada ekspresi penilaian yang positif terhadap individu. Pasien mempunyai seseorang yang dapat diajak bicara tentang kepada pasien, penyemangat, persetujuan terhadap ide-ide atau perasaan pasien. Dukungan keluarga ini dapat membantu meningkatkan strategi koping pasien dengan strategi-strategi alternatif berdasarkan pengalaman yang berfokus pada aspek-aspek positif. Dalam dukungan pengharapan, kelompok dukungan dapat mempengaruhi persepsi pasien akan ancaman. Dukungan keluarga dapat membantu pasien mengatasi masalah dan mendefinisikan kembali situasi tersebut sebagai ancaman kecil dan keluarga bertindak sebagai pembimbing dengan memberikan umpan balik dan mampu membangun harga diri pasien.
2.1.3 Manfaat Dukungan Keluarga Smet (1994 dalam Sukoco, 2011) mengemukakan bahwa ada dua model peranan dukungan keluarga dalam kehidupan, yaitu model efek langsung (direct
effect ) dan model efek penyangga (buffer effect). Dalam efek langsung tetap
berpendapat bahwa dukungan sosial atau keluarga itu bermanfaat bagi kesehatan dan kesejahteraan tidak perduli banyaknya stres yang dialami seseorang. Menurut efek dukungan sosial yang positif sebanding di bawah intensitas-intensitas stres tinggi dan rendah. Contohnya, orang-orang dengan dukungan keluarga yang tinggi dapat memiliki penghargaan diri yang lebih tinggi yang membuat mereka tidak begitu mudah diserang stres. Sedangkan efek penyangga, dukungan keluarga mempengaruhi kesehatan dengan melindungi orang tersebut terhadap efek negatif dari stres berat. Fungsi yang bersifat melindungi ini hanya atau terutama efektif jika orang tersebut
Orang-orang dengan dukungan sosial atau keluarga yang tinggi mungkin akan kurang menilai situasi penuh stres (mereka tahu bahwa mungkin akan ada seorang yang dapat membantu mereka). Orang-orang dengan dukungan sosial atau keluarga akan mengubah respon mereka terhadap sumber stres (contohnya seorang teman pergi ke sahabatnya untuk membicarakan masalah tersebut). Wills (1985) dalam Friedman (1998) menambahkan bahwa baik efek-efek penyangga (dukungan sosial menahan efek-efek negatif dari stres terhadap kesehatan) dan efek-efek utama (dukungan sosial secara langsung mempengaruhi akibat-akibat dari kesehatan) pun ditemukan. Sesungguhnya efek-efek penyangga dan utama dari dukungan sosial terhadap kesehatan dan kesejahteraan boleh jadi berfungsi bersamaan. Secara lebih spesifik, keberadaan dukungan sosial yang adekuat terbukti berhubungan dengan menurunnya mortalitas, lebih mudah sembuh dari sakit dan dikalangan kaum tua, fungsi kognitif, fisik dan kesehatan emosi (Akhmadi, 2010).Kedua sudut pandang ini mempengaruhi dampak sumber stres.
2.1.4 Sumber dukungan keluarga
Dukungan sosial keluarga mengacu kepada dukungan sosial yang dipandang oleh keluarga sebagai sesuatu yang dapat diadakan untuk keluarga, tetapi anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan. Dukungan keluarga dapat berupa dukungan sosial kelurga internal, seperti dukungan dari suami/istri atau dukungan dari saudara kandung atau dukungan sosial keluarga eksternal (Akhmadi, 2010).
Menurut Feiring dan Lewis (1984 dalam Friedman 1998), ada bukti kuat dari hasil penelitian yang menyatakan bahwa keluarga besar dan keluarga kecil secara kualitatif menggambarkan pengalaman-pengalaman perkembangan. Anak-anak yang berasal dari keluarga kecil menerima lebih banyak perhatian daripada anak-anak dari keluarga yang besar. Selain itu, dukungan yang diberikan orangtua (khususnya ibu) juga dipengaruhi oleh usia (Akhmadi, 2010).
Faktor-faktor yang mempengaruhi dukungan keluarga lainnya adalah kelas sosial ekonomi orangtua. Kelas sosial ekonomi disini meliputi tingkat pendapatan, pekerjaan orang tua dan tingkat pendidikan. Dalam keluarga kelas menengah, suatu hubungan yang lebih adil mungkin ada, sementara dalam keluarga kelas bawah, hubungan yang ada lebih otoritas atau otokrasi. Selain itu orang tua dengan kelas sosial menengah mempunyai tingkat dukungan, afeksi dan keterlibatan yang lebih tinggi daripada orang tua dengan kelas sosial rendah (Akhmadi, 2010).
2.2 NAPZA
2.2.1 Pengertian NAPZA
NAPZA adalah singkatan untuk narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lain. Menurut UU RI Nomor 35 tahun 2009, narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan sampai setelah terjadi masalah. Ketergantungan zat menunjukkan kondisi yang parah dan sering dianggap sebagai penyakit (Stuart & Sundeen, 1998, dikutip dari Purba, dkk. 2010)
2.2.2 Jenis-Jenis NAPZA
NAPZA dapat dibagi ke dalam beberapa golongan yaitu: a. Narkotika, merupakan zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semisintetis yang menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan (Undang-Undang No. 35 tahun 2009).
b.
Psikotropika, Menurut Kepmenkes RI No. 996/MENKES/SK/VIII/2002, psikotropika adalah zat atau obat, baik sintesis maupun semisintesis yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Zat yang tergolong dalam psikotropika (Hawari, 2006) adalah stimulansia yang membuat pusat syaraf menjadi sangat aktif karena merangsang syaraf simpatis (Purba, dkk. 2010).
c.
Zat Adiktif Lainnya, merupakan zat, bahan kimia, dan biologi dalam bentuk tunggal maupun campuran yang dapat membahayakan kesehatan lingkungan hidup secara langsung dan tidak langsung yang mempunyai sifat karsinogenik, teratogenik, mutagenik, korosif dan iritasi. Bahan-bahan berbahaya ini adalah zat adiktif yang bukan termasuk ke dalam narkotika dan psikotropika, tetapi mempunyai pengaruh dan efek merusak fisik seseorang jika disalahgunakan (Wresniwiro dkk. 1999).
Adapun yang termasuk zat adiktif ini antara lain: minuman keras (minuman
%) seperti bir, green sand; minuman keras golongan B (kadar ethanol lebih dari 5% sampai 20%) seperti anggur malaga; dan minuman keras golongan C (kadar ethanol lebih dari 20% sampai 55%) seperti brandy, wine, whisky. Zat dalam alkohol dapat mengganggu aktivitas sehari-hari bila kadarnya dalam darah mencapai 0,5% dan hampir semua akan mengalami gangguan koordinasi bila kadarnya dalam darah 0,10 % (Marviana dkk. 2000). Zat adiktif lainnya adalah nikotin, votaile, dan solvent/inhalasia. (Purba, dkk. 2010)
2.2.3 Faktor Penyebab Penyalahgunaan NAPZA
Harboenangin (dikutip dari Purba, dkk. 2010) mengemukakan ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang menjadi pecandu narkoba yaitu faktor eksternal dan faktor internal.
a.
Faktor Internal 1)
Faktor Kepribadian Kepribadian seseorang turut berperan dalam prilaku ini. Hal ini lebih cenderung terjadi pada usia remaja. Remaja yang menjadi pecandu biasanya memiliki konsep diri yang negatif dan harga diri yang rendah. Perkembangan emosi yang terhambat, dengan ditandai oleh ketidakmampuan mengekspresikan emosinya secara wajar, mudah cemas, pasif, agresif, dan cenderung depresi, juga turut mempengaruhi. Selain itu, kemampuan untuk memecahkan masalah secara adekuat berpengaruh terhadap bagaimana ia mudah mencari pemecahan masalah dengan cara melarikan diri.
Intelegensia Hasil penelitian menunjukkan bahwa intelegensia pecandu yang datang untuk konseling di klinik rehabilitasi pada umumnya berada pada taraf di bawah rata- rata dari kelompok usianya.
3) Usia
Mayoritas pecandu narkoba adalah remaja. Usia pertama kali menggunakan NAPZA rata-rata 19 tahun. Menurut Rahmah (2008) bahwa usia remaja merupakan periode yang paling rawan terhadap penyalahgunaan NAPZA, karena masa remaja merupakan masa pencarian identitas diri, saat di mana remaja mulai muncul rasa penasaran, ingin tahu, serta ingin mencoba berbagai hal yang baru berisiko tinggi.
Alasan remaja menggunakan narkoba karena kondisi sosial, psikologis yang membutuhkan pengakuan, dan identitas dan kelabilan emosi; sementara pada usia yang lebih tua, narkoba digunakan sebagai obat penenang. Oleh karena itu, sangat mungkin jika semakin hari akan semakin bertambah jumlah pengedar dan pengguna NAPZA di kalangan anak-anak dan remaja.
4) Dorongan Kenikmatan dan Perasaan Ingin Tahu
Narkoba dapat memberikan kenikmatan yang unik dan tersendiri. Mulanya merasa enak yang diperoleh dari coba-coba dan ingin tahu atau ingin merasakan seperti yang diceritakan oleh teman-teman sebayanya. Lama kelamaan akan menjadi satu kebutuhan yang utama. Pemecahan Masalah Pada umumnya para pecandu narkoba menggunakan narkoba untuk menyelesaikan persoalan. Hal ini disebabkan karena pengaruh narkoba dapat menurunkan tingkat kesadaran dan membuatnya lupa pada permasalahan yang ada.
b.
Faktor Eksternal 1)
Keluarga Keluarga merupakan faktor yang paling sering menjadi penyebab seseorang menjadi pengguna narkoba. Rahmah (2008) mengemukakan bahwa gambaran pola asuh orang pada remaja pengguna NAPZA adalah kurangnya upaya kedua orang tua dalam menerapkan disiplin pada remaja sesuai dengan standar tingkah laku yang sudah dibuat sebelumnya, kurangnya kejelasan komunikasi antara orang tua dan remaja, tidak adanya dukungan dalam remaja anak.
2) Faktor Kelompok Teman Sebaya (Peer Group)
Kelompok teman sebaya dapat menimbulkan tekanan kelompok, yaitu cara teman-teman atau orang-orang seusia untuk mempengaruhi seseorang agar berprilaku seperti kelompok itu. Sinaga (2007) melaporkan bahwa faktor penyebab penyalahgunaan NAPZA pada remaja adalah teman sebaya (78,1 %). Hal ini menunjukkan betapa besarnya pengaruh teman kelompoknya sehingga remaja menggunakan narkoba. Faktor Kesempatan Ketersediaan narkoba dan kemudahan memperolehnya juga dapat disebut sebagai pemicu seseorang menjadi pecandu. Indonesia yang sudah menjadi tujuan pasar narkoba internasional, menyebabkan obat-obatan ini mudah diperoleh. Pengalaman feel good saat mencoba drugs akan semakin memperkuat keinginan untuk memanfaatkan kesempatan dan akhirnya menjadi pecandu.
4) Faktor Lingkungan Sekolah Lingkungan sekolah turut mendorong terjadinya penyalahgunaan NAPZA.
Sekolah yang kurang disiplin dan tidak tertib, sering tidak ada pelajaran pada waktu jam sekolah, pelajaran yang diberikan secara membosankan, guru yang kurang pandai mengajar dan kurang mampu berkomunikasi dengan siswa, serta sekolah tidak mempunyai fasilitas untuk menyalurkan kreatifitas siswa, merupakan ciri-ciri sekolah yang berisiko tinggi terhadap adanya penyalahgunaan NAPZA pada murid-muridnya.
2.2.4 Dampak Penyalahgunaan NAPZA
Penyalahgunaan NAPZA mempunyai dampak yang sangat luas baik bagi pemakainya (diri sendiri), keluarga, pihak sekolah (pendidikan), serta masyarakat, bangsa dan negara (Martono, 2006).
Bagi diri sendiri; Penyalahgunaan NAPZA dapat mengakibatkan terganggunya
fungsi otak dan perkembangan moral pemakainya, intoksikasi (keracunan), overdosis (OD) yang dapat menyebabkan kematian karena terhentinya pernapasan dan kesehatan, menurunnya nilai-nilai, dan masalah ekonomi dan hukum.
Bagi keluarga; Penyalahgunaan NAPZA dalam keluarga dapat mengakibatkan
suasana nyaman dan tentram dalam keluarga terganggu. Di mana orang tua akan merasa malu karena memiliki anak pecandu, merasa bersalah, dan berusaha menutupi perbuatan anak mereka. Stress keluarga meningkat, merasa putus asa karena pengeluaran yang meningkat akibat pemakaian narkoba atau melihat anak yang harus berulang kali dirawat bahkan mendekam di penjara.
Bagi pendidikkan atau sekolah; NAPZA akan merusak disiplin dan motivasi yang
sangat tinggi untuk proses belajar. Penyalahgunaan NAPZA berhubungan dengan kejahatan dan perilaku asosial lain yang mengganggu suasana tertib dan aman, rusaknya barang-barang sekolah dan meningkatnya perkelahian.
Bagi masyarakat, bangsa dan negara; Penyalahgunaan NAPZA mengakibatkan
terciptanya hubungan pengedar narkoba dengan korbannya sehingga terbentuk pasar gelap perdagangan NAPZA yang sangat sulit diputuskan mata rantainya. Masyarakat yang rawan narkoba tidak memiliki daya tahan dan kesinambungan pembangunan terancam. Akibatnya negara mengalami kerugian karena masyarakatnya tidak produktif, kejahatan meningkat serta sarana dan prasarana yang harus disediakan untuk mengatasi masalah tersebut.
Terdapat beberapa tingkat-tingkat pemakaian zat NAPZA terbagi menjadi 5 bagian, yaitu: a) Pemakaian coba-coba (experimental use) yang bertujuan hanya ingin mencoba memenuhi rasa ingin tahu. Sebagian pemakai erhenti menggunakannya dann sebagian lagi meneruskannya.
b) Pemakaian sosial (social use) yang bertujuan hanya untuk bersenang-senang (saat rekreasi atau santai). Sebagian pemakai tetap bertahan pada tahap ini, namun sebagian lagi meningkat ke tahap selanjutnya.
c) Pemakaian situasional (situasional use), pemakaian pada saat mengalami keadaan tertentu (ketegangan, kesedihan, kekecewaan).
d) Penyalahgunaan (abuse), pemakaian ini sebagai suatu pola penggunaan yang bersifat patologis/klinis (menyimpang), minimal satu bulan lamanya, dan telah terjadi gangguan fungsi sosial atau pekerjaannya.
e) Ketergantungan (dependence), telah terjadi toleransi dan gejala putus zat, bila pemakaian zat dihentikan atau dikurangi atau tidak ditambah dosisnya (Depkes, 2000).
Rehabilitasi Menurut Depkes (2001), rehabilitasi adalah upaya kesehatan yang dilakukan secara utuh dan terpadu melalui pendekatan nonmedis, psikologis, sosial dan religi agar pengguna NAPZA yang menderita sindroma ketergantungan dapat mencapai kemampuan fungsional seoptimal mungkin. Tujuannya pemulihan dan pengembangan pasien baik fisik, mental, sosial, dan spiritual. Sarana rehabilitasi yang disediakan harus memiliki tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan (Purba,dkk.
2010).
Menurut Hawari (2004) bahwa sesudah klien penyalahgunaan/ ketergantungan NAPZA menjalani program terapi (detoksifikasi) dan konsultasi medik selama satu minggu dan dilanjutkan dengan program pemantapan (pascadetoksifikasi) selama dua minggu maka yang bersangkutan dapat melanjutkan ke program berikutnya yaitu rehabilitasi. Lama rawat di unit rehabilitasi untuk setiap rumah sakit tidak sama karena tergantung pada jumlah dan kemampuan sumber daya, fasilitas, dan sarana penunjang kegiatan yang tersedia di rumah sakit (Purba, dkk.
2010).
Depkes (2001) menyatakan bahwa kenyataan menunjukkan bahwa mereka yang telah selesai menjalani detoksifikasi sebagai besar akan mengulangi kebiasaan menggunakan NAPZA, oleh karena rasa rindu (craving) terhadap NAPZA yang selalu terjadi. Dengan rehabilitasi diharapkan pengguna NAPZA dapat mempunyai motivasi kuat untuk tidak menyalahgunakan NAPZA lagi, mampu menolak tawaran penyalahgunaan NAPZA, pulih kepercayaan dirinya, hilang rasa rendah dirinya, mampu mengelola waktu dan berubah perilaku sehari-hari dengan baik, dapat dengan baik dalam pergaulan dengan lingkungannya (Purba, dkk. 2010).
2.4 Gambaran Dukungan Keluarga pada Pengguna NAPZA Pengguna NAPZA atau penyalahguna NAPZA adalah individu yang menggunakan narkotika atau psikotropika tanpa indikasi medis dan tidak dalam pengawasan dokter (BNN, 2003). Korban penyalahguna NAPZA atau pengguna NAPZA adalah orang yang menderita ketergantungan terhadap NAPZA yang disebabkan oleh penyalahgunaan NAPZA, baik atas kemauan sendiri maupun paksaan dari orang lain.
Berdasarkan penelitian Adisukarto (dalam Poerwandari, 2001) menunjukkan bahwa 47,7 % korban penyalahgunaan narkoba adalah remaja dan yang tidak bisa berkomunikasi dengan orang tua, memiliki kepercayaan dan harga diri yang rendah, suka mencari sensasi, control diri yang rendah serta sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan dan bergaul di lingkungan yang menyalahgunakan narkoba.
Alasan pertama individu menggunakan narkoba karena ingin mencoba, tergiur dengan tawaran teman dan lain sebagainya. Penyalahgunaan narkoba pada individu erat kaitanya dengan perasaan diterima sebagai anggota suatu kelompok, untuk mendapatkan pengalaman baru, untuk memelihara hubungan dengan kelompok, untuk menenangkan diri dari kecemasan dan untuk melarikan diri dari kegagalan. Akibat adanya perubahan psikologis tersebut, maka terjadi goncangan emosional dan individu tersebut mudah kecewa, mudah putus asa dan mudah tersinggung. dirinya mengalami stres karena tidak menemukan jalan keluar dan tidak ada seorang pun yang bisa dipercaya untuk menyelesaikan masalah mereka. Maka, individu sering “melarikan diri” dengan cara menggunakan narkoba. Individu beranggapan bahwa dengan melarikan diri ke narkoba akan menyelesaikan masalah yang dihadapinya.
Dengan keadaan diri individu yang lemah dan rentan terhadap stres maka diperlukan suatu cara yang dapat membantu mereka agar tidak terjerumus dalam penggunaan narkoba. Apabila mereka telah terjerumus maka diperlukan suatu tindakan yang dapat mengarahkan mereka keluar dari masalah. Dalam hal ini dapat dilakukan dengan cara memberikan pengarahan yaitu dengan dukungan keluarga. Oleh sebab itu, dukungan keluarga pada individu yang mengalami stres akan efektif karena pada saat ini individu tersebut sangat membutuhkan dukungan (seperti dukungan emosional) dan sangat berperan dalam kehidupan individu yang mengalami ketergantungan (Rahma Yurliani, 2008).