BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Gambaran Pasien Hirschprung Disease Pada Anak Usia 0-15 Bulan di RSUP Dr.Pirngadi Medan Pada Tahun 2008-2012

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

  2.1 Sejarah

  Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Herald Hirschsprung pada tahun 1886, namun patofisiologi terjadinya penyakit ini tidak diketahui secara jelas hingga tahun 1938, Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa kelainan ini disebabkan oleh gangguan peristaltik dibagian distal usus akibat defisiensi ganglion. Herald Hirschsprung melaporkan secara jelas gambaran klinis penyakit ini, yang pada saat itu diyakininya sebagai suatu megakolon kongenital. Dokter bedah asal Swedia ini melaporkan kematian 2 orang pasiennya masing-masing usia 8 dan 11 bulan yang menderita konstipasi kronis, malnutrisi dan enterokolitis. Teori yang berkembang saat itu adalah diyakininya faktor keseimbangan syaraf sebagai penyebab kelainan ini, sehingga pengobatan diarahkan pada terapi obat obatan dan simpatektomi. (Swenson,1990)

  2.2 Anatomi

  Kolon (usus besar) memiliki panjang 3-5 kaki sekum yang paling lebar diameternya adalah 7,5-8.5 cm, bagian sigmoid paling sempit panjangnya hanya 2,5 cm. otot longitudinalis luar bekoluasen kedalam 3 tenia koli yang berbeda yang dimulai pada apendiks dan berakhir pada rektum, haustra koli adalah kantung keluar kolon asenden dan desenden letaknya retroperoneal,transversal,sigmoid sekum letaknya intraperitoneal dan omentum melekat pada kolon transversum (Schwartz, 2004)

  Sumber : http://medicastore.com/images/anatomi_usus_besar.jpg

Gambar. 2.1 Anatomi kolon

Pasokan Arteri Mesentrika inferior mendrainase kolon desenden,sigmoid,rectum memasuki limpa

  yang lainnya mengikuti arteri. mesentrika superior bergabung dengan vena splenika untuk membantu vena porta. (Schwartz, 2004)

  Limfatik

  Berasal dari dalam submukosa dan muskularis mukosa mengikuti dari pasokan arteri. (Schwartz, 2004)

  Persarafan

  Pada dasarnya prinsip kerja dari persarafan simpatis dan parasimpatis adalah saraf simpatis menghambat dan parasimpatis merangsang. Kolon tidak ikut berperan dalam proses pencernaan makanan maupun absorpsi makanan. Bila isi usus halus mencapai sekum maka semua zat makanan telah di absorpsi dan semua akan cair dan selama perjalanan didalam kolon isinya menjadi makin padat karena terjadi proses reabsorbsi. Proses ini akan berakhir ketika mencapai rektum dan akan terbentuk peses. Peristaltik kolon membutuhkan waktu yang lama untuk mencapai

  flexura sigmoid. (Pearce,E.2008 )

2.3 Histologi Kolon

  Usus besar terdiri atas membran mukosa tanpa adanya lipatan kecuali pada bagian distalnya (rectum). Vili usus tidak di jumpai pada bagian usus ini. Kelenjar usus berukuran panjang dan di tandai dengan banyaknya sel goblet dan sel absorptive dan sedikit sel enteroendokrin. Sel penyerapnya berbentuk silindris dengan mikrovili pendek dan tak teratur. Usus besar disesuaikan dengan fungsi utamanya yaitu sebagai absorpsi air, pembentukan masa tinja dan produksi mukus. Mukus adalah jel berhidrasi tinggi yang tidak hanya melumasi permukaan usus, namun juga menutupi bakteri dan zat renik lain. Absorpsi air berlangsung pasif dan mengikuti transport aktif natrium yang keluar dari permukaan basal sel-sel epitel . Di dalam lamina propia banyak dijumpai sel limfoid dan nodul yang sering kali menyebar sampai kedalam submukosa. Banyaknya jaringan limfoid ini berkaitan dengan banyaknya bakteri didalam usus besar. (Junquera,L.C.2007)

   Sumber : Junquera,Luis carlos, 2007

Gambar 2.2 Histologi Kolon

  2.4 Definisi

  Penyakit Hirschsprung (HD) adalah gangguan yang kompleks yang dihasilkan karena tidak adanya ganglion sel-sel di dinding usus yang menyebabkan obstruksi fungsional dan dilatasi usus proksimal sehingga dapat mempengaruhi segmen. (Monajemzadeh,M.2011). HD disebabkan oleh abnormalnya persarafan usus, dimulai dari sfingter anal internal dan memperluas ke proksimal sehingga dapat melibatkan seluruh usus. ( Kliegman,R.1999) Konstipasi merupakan masalah umum di antara anak dan hanya sebagian kecil diketahui dari pasien penyebab organik untuk kasus konstipasi, bahkan konstipasi dianggap sebagai suatu masalah proses perkembangan pencernaan ataupun masalah dalam proses menyusui. Konstipasi pada HD didefinisikan pada neonatus sebagai kegagalan keluarnya mekonium dalam 48 jam pertama kehidupan dan anak-anak yang lebih tua mengalami konstipasi dengan gejala konsistensi tinja yang menurun. Persentase anak dengan konstipasi yang disertai HD hanya sedikit ditemukan pada anak usia 12 bulan keatas. Penyakit Hirschsprung adalah kelainan anomali yang jarang ditemukan dan serta kelainan kongenital dari sistem saraf enterik (ENS) yang terjadi dengan rata-rata kejadian 1/5000 kelahiran hidup. Hal ini ditandai oleh tidak adanya ganglia enterik sepanjang saluran usus bagian distal, yang di akibatkan oleh kegagalan migrasi neural vagal sel di dalam usus. Hirschprung memiliki kompleks masalah utama pada genetik keluarga, yang ditandai dengan insidensi dominan pada laki-laki. (Rusmini,M,.2013)

  2.5 Etiologi

  Sistem saraf enterik (ENS) terdiri dari neuron dan sel glial dalam dinding saluran pencernaan. Hal ini bertanggung jawab untuk mengatur pergerakan usus, fungsi kekebalan tubuh, sekresi luminal, dan aliran darah selama pengembangan. (Wallace S,A.2011). Pembentukan ENS yang fungsional membutuhkan koordinasi dari banyak proses, termasuk, migrasi, proliferasi, dan diferensiasi sel prekursor dalam saluran pencernaan. Namun kegagalan pembentukan sel neural sepanjang saluran pencernaan di daerah kolon menyebabkan bagian tertentu tidak memiliki neuron enterik karena neuron enterik sangat penting untuk pergerakan usus. Selain peran gen amat penting dalam proses pembentukan sel saraf penelitian (Wallace S,A.2011 ) tentang Genetic interactions and modifier genes in

  Hirschsprung's disease menjelaskan ada beberapa gen yang berperan dalam

  terjadinya HD ini antara lain : GDNF/RET-GFRα1

   GDNF adalah protein yang disekresikan dari superfamili TGF- β s . GDNF akan berikatan dengan reseptor glycosylphosphatidylinsoitol-linked. Kompleks dari

  GDNF- GFRα1 kemudian mengikat dan mengaktifkan reseptor transmembran tirosin kinase. Terjadinya mutasi pada pengkodean jalur GDNF/RET-

  GFRα1 ini terjadi sekitar 50% dari keluarga yang pernah terdiagnosis HD. (Wallace S,A.2011 )

   SRY (Sex determining region Y) 10 (SOX10) merupakan mobilitas faktor dari transkripsi kelompok tinggi penentu jenis kelamin dalam keluarga. Mutasi di SOX10 dapat menyebabkan sekitar 5% kasus HD dan di ikuti oleh sindrom (Waardenburg-Shah tipe 4 (WS4)). Beberapa pasien sindrom WS4 dengan mutasi SOX10 juga menderita dysmyelination dari sistem saraf pusat dan perifer. SOX10 dinyatakan dengan migrasi sel pial neural enterik. (Wallace S,A.2011 )

  SOX10

   PHOX2B juga merupakan faktor transkripsi oleh sel neural enterik. Penelitian telah mengaitkan mutasi di PHOX2B dengan HD dan di ikuti oleh sindrom kongenital hipoventilasi pusat (CCHS). Penyebab utama mutasi adalah seringnya terjadinya ekspansi pada imunogen lemah (Polialanin). (Wallace S,A.2011 )

PHOX2B

   ZFHX1B adalah faktor homeodomain dari transkripsi zinc, sehingga jika terjadi mutasi di ZFHX1B dan juga berhubungan dengan sindrom Mowat-Wilson telah terbukti menghasilkan HD dengan beragamnya tingkatan lokasi terjadinya dibagian usus besar. (Wallace S,A.2011 )

ZFHX1B

   Endotelin 3 (ET-3) adalah peptida yang disekresikan oleh mesenkim usus. (ET-3) mendapat sinyal melalui reseptor endotelin reseptor B (EDNRB), yang dihasilkan pada migrasi sel neural enterik. Jika terjadi mutasi di ET3 dan Endotelin reseptor B menyebabkan sekitar 5% terjadinya kasus HD. Mutasi pada ET3-dan EDNRB terkait HD juga muncul pada sindrom sindrom Wardenburg-Shah. (Wallace S,A.2011)

ENDOTHELIN SIGNALLING PATHWAY

2.6 Patofisiologi Hirschsprung dapat terjadi dibagian kolon asending ataupun sigmoid.

  Tidak adanya ganglion penting seperti myenteric (Auerbach) dan pleksus

submukosa (Meissner) sehingga mengurangi peristaltik usus dan fungsinya.

Mekanisme yang tepat yang mendasari perkembangan penyakit Hirschsprung sampai saat ini masih belum diketahui (idiopatik) meskipun ada keterlibatan gen dalam hal terjadinya Hirschprung disease. (Lee,S. 2012) Sel ganglion enterik berasal dari puncak saraf. Selama perkembangan normal, neuroblasts ditemukan di usus kecil pada minggu ke-7 kehamilan dan akan mencapai usus besar pada minggu ke-12 kehamilan. Salah satu kemungkinan etiologi penyakit Hirschsprung adalah kecacatan dalam migrasi neuroblas sehingga menyebabkan kegagalan turunnya neuroblast untuk berada di lokasinya yaitu di usus besar. Selain itu, terjadi kegagalan neuroblas untuk bertahan hidup, berkembang biak juga dapat menyebabkan gagalnya neuroblast turun kearah usus besar. (Lee,S. 2012)

  Tiga saraf pleksus usus seperti pada bagian submukosa (yaitu, Meissner) pleksus intermuskuler (Auerbach) pleksus mukosa pleksus kecil. Semua pleksus ini terintegrasi dan halus terlibat dalam semua aspek fungsi usus, termasuk absorbsi, sekresi, motilitas, dan aliran darah. Motilitas yang normal terutama di bawah kendali neuron intrinsik. meskipun kehilangan persarafan ekstrinsik. Ganglia ini mengontrol kontraksi dan relaksasi otot polos, dengan relaksasi yang mendominasi. Pada pasien dengan penyakit Hirschsprung, sel ganglion tidak hadir, yang mengarah ke peningkatan dalam usus yaitu persarafan ekstrinsik. Persarafan dari kedua sistem kolinergik dan sistem adrenergik adalah 2-3 kali dari persarafan normal. Adrenergik (rangsang) sistem diperkirakan mendominasi atas kolinergik (penghambatan) sistem, yang menyebabkan peningkatan tonus otot polos. Dengan hilangnya saraf intrinsik enterik penghambatan, nada peningkatan yang terlindung dan menyebabkan ketidakseimbangan kontraktilitas otot polos, peristaltik yang tidak terkoordinasi, dan obstruksi fungsional. (Lee,S. 2012)

2.7 Manifestasi Klinis

  Karakteristik gejala yang terlihat pada pasien HD adalah kesulitan dalam proses pengeluaran feses yang berlangsung beberapa hari pertama kehidupan karena terjadinya obstruksi usus besar. HD mungkin terjadi di dalam periode neonatal dan sangat berbahaya. bahaya yang mungkin adalah kematian dari perforasi sekum atau usus besar serta terjadinya malnutrisi akibat obstruksi usus (Ziai,M,1983) Penyakit Hirschsprung pada pasien yang lebih tua harus dibedakan dari penyebab lain dari distensi perut dan sembelit kronis. Sejarah sering mengungkapkan meningkatnya kesulitan pada buang air besar yang dimulai pada 1 minggu pertama kehidupan itulah salah satu kunci untuk mendiagnosis HD. Keadaan masa tinja besar juga dapat diraba di bagian kiri bawah perut, tetapi pada pemeriksaan dubur rektum biasanya kotoran peses tidak ditemukan. Pada neonatus, penyakit hirschsprung harus dibedakan dari sindrom mekonium stekeker,ileus obstruktif,dan atresia usus. (Kliegman,R 1999 ) Pemeriksaan rektal menunjukkan keadaan normal namun biasanya diikuti dengan keluarnya kotoran peses berbau busuk dan juga bercampur gas. Serangan intermiten obstruksi usus juga berhubungan dengan nyeri dan demam.

  2.8 Pemeriksaan Fisik

  Bayi yang baru lahir jarang dilakukan pemeriksaan fisik secara lengkap seperti inspeksi, palpasi,perkusi dan auskultasi sehingga pemeriksaan fisik pada kasus HD sering dilakukan setelah beberapa jam kemudian, pada penilaian inspeksi (melihat) sering terlihat perut buncit yang membesar tanpa diketahui sebelumnya. Pemeriksaan perkusi dan auskultasi pada pasien HD sering di dengar suara berisi suatu masa ataupun kontraksi usus yang meningkat namun pada anak-anak, perut buncit dan di tambah tidak mengeluarkan mekonium (kotoran pertama) dapat dipertimbangkan bahwa penyebabnya adalah Hirschprung disease. (Lee,S. 2012)

  2.9 Diagnosa

  Kegagalan keluarnya tinja menyebabkan dilatasi dari usus proksimal dan ditambah dengan terjadinya distensi abdomen. Sebagian usus melebar sehingga meningkatkan tekanan intraluminal.Hal ini memungkinkan terjadinya penyebaran bakteri yang dapat menyebabkan enterocolitis dan sepsis. (Kliegman,R 1999 )

  Tabel 2.1: Membedakan fitur Penyakit Hirschsprung Disease dan konstipasi Fungsional (Kliegman,R 1999 )

  VARIABEL FUNGSIONAL HIRSCPRUNG DISEASE SEJARAH Onset Sembelit Setelah 2 tahun baru lahir Encopresis umum sangat langka Gagal tumbuh luar biasa mungkin Enterokolitis tak satupun mungkin Pelatihan usus Paksa biasa tak satupun PEMERIKSAAN distensi abdomen luar biasa umum Berat badan kurang normal normal Kontraksi Anal normal meninggi Pemeriksaan rektal di ampula ampula kosong Malnutrisi tak satupun tak satupun LABORATORIUM

manometri anorektal Relaksasi sfingter internal relaksasi spinkter atau peningkatan

menyebabkan Distensi tekanan rektum biopsi rektal normal Tidak ada sel ganglion Barium enema tidak ada zona transisi Tertunda evakuasi (> 24 jam)

2.9.2 Radiologi Pada pemeriksaan radiologi akan terlihat bangunan haustrae sepanjang kolon.

  mulai dari distal kolon desenden sampai sigmoid,. Dalam keadaan normal garis- garis haustrae dapat terlihat dan di ikuti dengan jelas dan serta saling berkesinambungan. Lebar kolon berubah secara perlahan mulai dari sekum (±8,5 cm) sampai sigmoid (± 2,5 cm) dan panjang kolon bervariasi setiap individu, berkisar antara 91-125 cm bahkan lebih. (Rasad,S 2007 ) Diagnosis radiografi penyakit Hirschsprung didasarkan pada adanya bagian transisi antara usus bagian proksimal yang melebar dan kolon bagian distal yang mengeecil karena disebabkan oleh nonrelaxation dari usus aganglionik. bagian transisi ini biasanya tidak terjadi pada 1-2 minggu kelahiran. Evaluasi radiologis harus dilakukan dengan persiapan untuk mencegah dilatasi bagian aganglionik (Kliegman,R 1999)

Gambar 2.3. : Radiografi perut menunjukkan loop melebar usus. Kontras enema menunjukkan karakteristik "zona transisi" Penyakit Hirschsprung, yaitu transisi antara recto menyempit. sumber

  

Gambar 2.4 : (a) barium kontras ganda Gambar 2.5 : HD dengan segmen anteroposterior enema radiografi aganglionik dari bagian atas rektum

  menunjukkan rektum agak menyempit pada pria berusia 19 tahun. (a, b) dua dan persimpanganrectosigmoid (panah) kontras barium enema radiografi dengan kolon sigmoid membesar (SC). menunjukkan bagian atas melebar (b) reseksi spesimen seluruh kolon dari rektum dan persimpangan menunjukkan dilatasi rectosigmoid dengan fecaloma kolon sigmoid dan kolon ascending (panah). Segmen kolon lain memiliki nondilated, diameter normal. (c, d) Kontras melintang usus ,dan kolon desendens. bahan-melintang ditingkatkan CT scan menunjukkan melebar dengan penuh proksimal bagian atas rektum dan persimpangan rectosigmoid (panah di c) dengan zona transisi dan menyempit rektum distal (panah di

d). Distal rektum juga tampaknya

  Sumber : Kim, H.J.2008

2.9.3 Laboratorium

  Pada pemeriksaan darah rutin,tes ini untuk memastikan bahwa berapa kadar hematokrit untuk sebelum dilakukannya operasi dan jumlah trombositnya. Syarat dilakukannya operasi nilai-nilai darah rutin tersebut harus berada dalam rentang referensi normal.sedangkan, untuk pemeriksaan koagulasi diperoleh untuk memastikan bahwa apakah ada gangguan pembekuan yang terjadi dan itu dilakukan sebelum operasi. (Lee,S.2012)

2.10 Penatalaksanaan

  2.10.1 Farmakologi

  Tujuan umum perawatan medis antara lain : 1.

  Untuk mengobati komplikasi dari penyakit Hirschsprung disease 2. Memonitor tindakan sementara sampai bedah rekonstruksi terjadi 3. Memonitor fungsi usus setelah operasi rekonstruksi agar berjalan dengan baik

  Manajemen komplikasi HD diarahlan kepada pemantauan kembali cairan normal dan keseimbangan elektrolit, mencegah distensi usus yang berlebih, dan mengelola komplikasi seperti sepsis,dekompresi nasogastrik, pemberian antibiotik intravena termasuk tatalaksana awal pada kasus ini. (Lee,S 2012)

  9.10.2 Bedah

   Manajemen bedah untuk HD bertujuan memotong sebagian usus aganglionik dan merekonstruksi kembali ke usus yang normal, dengan cara membawa usus turun ke anus sambil menjaga sfingter yang normal,hal ini dilakukan pertama kali oleh Swenson dan Bill yang menggambarkan operasi untuk HD dengan menghapus aganglionik usus dengan menarik keluar usus ke anus pada tahun 1948. Pendekatan bedah berubah secara bertahap dari tahap tarik-melalui tanpa kolostomi pada 1980-an. Hal ini ternyata menjadi menguntungkan bagi pasien dan

  Transabdominal operation karena lebih sedikit waktu yang dibutuhkan untuk rawat inap. Telah ada pengembangan yang signifikan untuk teknik operasi dan diagnostik alat yang digunakan pada tatalaksana kasus HD, dulu tindakan istilah operasi minimal digunakan untuk setiap prosedur untuk pasien dengan operasi terbuka tradisional. Namun pada saat ini tindakan operatif bisa saja melibatkan laparoskopi, endoskopi atau pembedahan dengan bantuan komputer dan biasanya dapat mengurangi trauma bedah untuk pasien, selain itu keuntungan yang didapat pemulihan lebih cepat dan waktu rawat inap di rumah sakit menjadi minimal. (Gunnarsdottir,2011)

   Tindakan ini dilakukan dengan memberi sayatan melingkar di mukosa rektum sekitar 5 mm di atas garis dentate, untuk membuat permukaan datar di submukosa, kemudian lakukan pemotongan dibagian permukaan submukosa diatas garis dentate sepanjang usus yang akan keluar, selain itu perhatikan resiko terjadinya cedera pada struktur panggul., laporan kegiatan TERPT menggunakan potongan otot pendek tanpa myectomy telah terbukti menguntungkan. Setelah panjang pemotongan tercapai, dinding otot dubur dibagi menjadi beberapa bagian dengan cara rektum dimobilisasi keluar melalui anus, selanjutnya adalah cara membagi bagian vaskular kecil sepanjang rektum dan usus besar . biopsi diambil dari makroskopik usus ganglionik yang normal hal ini bertujuan untuk menentukan tingkat reseksi usus besar sebelum penjahitan penyambungan akhir.. prosedur TERPT juga dapat mengurangi risiko merusak struktur panggul serta lebih murah dan waktu pemulihan lebih cepat setelah operasi.(Gunnarsdottir, 2011)

  Total Transanal Endorectal Pull-Through (TERPT)

  Gambar. 2.6 a. lubang anus.

  Gambar. 2.7.b. Menyayat mukosa sekitar 5 mm di atas garis dentate. belah antara submucosa dan melingkar dengan lapisan otot.

  Gambar. 2.8.c. Potong lapisan otot di atas kulit panggul. Dan siap dilakukan pembedahan serta mobilisasi rektum dan sigmoid usus.

  Gambar. 2.9.d. Memobilisasi sampai normoganglionic usus tercapai

   L

  Laparoscopic assisted Pull-Through

  aporan untuk tindakan endorectal laparoscopic assisted pull-through untuk HD pertama kali diterbitkan oleh Georgeson et al pada tahun 1995. Prosedur ini dilakukan dengan memasukkan jarum 4-5 mm sekita 30 ° di bagian kanan atas tepat di bawah pinggir hati untuk mendapatkan pneumoperitoneum kemudian memasukan jarum varess di umbilikus. memasukan 2 mm trocars 4-5 satu di nagian kanan bawah dan satu di sebelah kiri di bagian atas perut. terkadang tambahan trocar diperlukan pada supra pubik untuk traksi usus yang lebih baik selama pembedahan laparoskopi dari rektum. kemudian dilakukan mobilisasi penuh pada usus yang aganglionik dan kemudian lakukan diseksi pada rektum dari mukosa dubur dengan cara yang sama seperti dijelaskan di atas. Keuntungan utama dari pendekatan laparoskopi adalah untuk mudahnya pengambilan biopsi seromuscular untuk identifikasi awal kolon normal ganglionik. (Gunnarsdottir, 2011)

   Gejala obstruktif ringan dapat dikelola oleh langkah-langkah yang mudah seperti diet, mengkonsumsi obat pencahar. namun gejala yang lebih parah dengan serangan berulang dapat menyebabkan enterokolitis berulang. Beberapa anak butuh stimulasi dubur atau irigasi untuk proses awal buang air besar. Namun jika tidak diketahui apa penyebab dari obstruktif , gejala dapat disebabkan ada masalah pada sfingter internal, yang bisa menjadi indikasi untuk injeksi intra sphincterik toksin botulinum. Metode ini pertama kali dijelaskan oleh Langer pada tahun 1997 botulinum sebuah toksin yang disuntikkan ke dalam sfingter internal dalam keadan anastesi umum. Dosis yang diberikan sangat bervariasi, sekita 15- 120 unit biasanya setelah 3-4 bulan. Pasien yang di suntik menunjukkan hasil yang sangat baik. penelitian melaporkan bahwa 80% dari pasien menanggapi injeksi pertama, tetapi 69% diperlukan suntikan kedua. Jumlah penerimaan ke rumah sakit untuk obstruktif gejala menurun secara signifikan (Gunnarsdottir, 2011)

  Botolinium Injection

   Pada pasien yang respon pada pemberian toksin botulinum, tetapi tidak ingin melanjutkan dengan suntikan toksin botolinum yang berulang, myectomy adalah pilihan. (Wildhaber dkk) melaporkan hasil setelah myectomy posterior atau myotomy di 32 pasien dengan gejala obstruktif setelah TERPT. Operasi itu dilakukan dalam kurun waktu 3 tahun dan membutuhkan waktu sekitar 8,6 tahun untuk menindaklanjuti hasil operasi. Tingkat respon tergantung pada indikasi untuk melakukan myectomy tersebut. 75% pasien dengan enterokolitis berulang tidak mengalami gejala lagi dan sekitar 60% dari pasien dengan sembelit kronis melakukan myectomy. Di sisi lain, hanya 17% pasien dengan sisa aganglionosis dan sembelit yang membaik (Gunnarsdottir,2011) Redo Pull-Through

  Myectomy

   Pasien dengan gejala obstruktif persisten dan enterokolitis jarang untuk kembali dilakukannya redo pull-through. Karena tindakan tersebut atas indikasi terjadinya aganglionosis kembali, terjadi striktur parah, dan melebarnya usus, Tindakan pencegahan seharusnya dilakukan sebelum mempertimbangkan redo

  pull-through . Teknik yang berbeda telah diusulkan untuk prosedur redo

  tergantung pada operasi pasien sebelumnya dan juga keputusan yang diambil oleh ahli bedah. (Gunnarsdottir, 2011) Management of Total Colonic Aganglionosis

   Total colonic Aganglionosis (TCA) terjadi pada 2-15% pasien dengan

  aganglionosis. Umumnya seluruh usus besar mengalami aganglionik dan sebagian dari usus kecil juga dapat terlibat. TCA telah digambarkan berbeda klinis, radiologis, dan histologis dari rectosigmoid. TCA telah dikaitkan dengan angka kematian yang tinggi dan morbiditas dari penyakit segmen pendek. Beberapa metode bedah telah diusulkan untuk TCA, seperti prosedur Martin-Duhamel, Prosedur Swenson, dan pullthrough endorectal. (Gunnarsdottir,2011)

2.11. Komplikasi

  Komplikasi potensial untuk operasi kompleks terkait dengan penyakit Hirschsprung mencakup seluruh spektrum komplikasi dari tindakan bedah gastrointestinal. Komplikasi termasuk peningkatan insiden enterokolitis pasca operasi dengan prosedur Swenson, sembelit setelah perbaikan Duhamel, dan diare dan inkontinensia dengan prosedeur Soave. (Lee,S 2012) Secara umum, komplikasi kebocoran anastomosis dan pembentukan striktur (5-15%), obstruksi usus (5%), abses pelvis (5%), infeksi luka (10%), dan membutuhkan re-operasi kembali (5%). seperti prolaps atau striktur.

  Kemudian, komplikasi yang terkait dengan manajemen bedah penyakit Hirschsprung termasuk enterocolitis, gejala obstruktif, inkontinensia, sembelit kronis (6-10%), dan perforasi. (Lee,S 2012)

   Enterokolitis menyumbang morbiditas dan mortalitas yang signifikan pada pasien dengan penyakit Hirschsprung. Hasil enterokolitis dari proses inflamasi pada mukosa dari usus besar atau usus kecil. Sebagai penyakit berlangsung, lumen usus menjadi penuh dengan eksudat fibrin dan berada pada peningkatan risiko untuk perforasi. Proses ini dapat terjadi di kedua bagian aganglionik dan ganglionik usus. transisi. Pasien mungkin hadir pasca operasi dengan distensi perut, muntah, sembelit atau indikasi obstruksi yang sedang berlangsung.Obstruksi mekanik dapat dengan mudah didiagnosis dengan rektal digital dan barium enema. (Lee,S 2012)

  Enterokolitis

   Jarang terjadi dan mungkin karena kesalahan patologis, reseksi tidak memadai, atau hilangnya sel ganglion setelah di tarik keluar. (Lee,S 2012) Internal sphincter achalasia

  Aganglionosis Persistent

   Dapat mengakibatkan obstruksi persisten. Hal ini dapat diobati dengan sfingterotomi internal intrasphincteric toksin botulinum, atau nitrogliserin pasta. Sebagian besar kasus akan menyelesaikan pada usia 5 tahun. (Lee,S 2012)

   Hal ini mungkin hasil dari fungsi sfingter normal, ataupun kesalahan dalam tindakan operasi sehingga penurunan sensasi, atau inkontinensia sekunder. Secara umum manometri anorectal dan USG harus membantu dalam membedakan antara diagnosa ini. (Lee,S 2012)

  Inkontinensia