Analisis Sosiologis Cerita Komik “Abandon the Old in Tokyo” karya Yoshihiro Tatsumi

(1)

ANALISIS SOSIOLOGIS CERITA KOMIK “ABANDON THE OLD IN TOKYO” KARYA YOSHIHIRO TATSUMI

YOSHIHIRO TATSUMI NO SAKUHIN NO “ABANDON THE OLD IN TOKYO” TO IU MANGA NO SHAKAIGAKU TEKINA BUNSEKI

SKRIPSI

Skripsi Ini Diajukan Kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan Untuk Melengkapi Salah satu Syarat

Ujian Sarjana Dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang

Oleh:

JUWITA CAROLYN DAMANIK NIM : 090708044

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013


(2)

ANALISIS SOSIOLOGIS CERITA KOMIK “ABANDON THE OLD IN TOKYO” KARYA YOSHIHIRO TATSUMI

YOSHIHIRO TATSUMI NO SAKUHIN NO “ABANDON THE OLD IN TOKYO” TO IU MANGA NO SHAKAIGAKU TEKINA BUNSEKI

SKRIPSI

Skripsi Ini Diajukan Kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan Untuk Melengkapi Salah satu Syarat

Ujian Sarjana Dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang Oleh:

JUWITA CAROLYN DAMANIK NIM : 090708044

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Nandi. S

NIP : 1960 0822 1988 03 1 002 NIP : 1960 0403 1991 03 1 001 Drs. Amin Sihombing

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013


(3)

Disetujui oleh :

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan

Departemen Sastra Jepang Ketua Departemen,

NIP : 19600919 1988 03 1 001 Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum


(4)

PENGESAHAN Diterima oleh :

Panita ujian Fakultas Ilmu Budaya Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Sastra dalam bidang Ilmu Sastra Jepang pada Fakultas Sastra

Pada Hari : Tanggal : Pukul :

FAKULTAS ILMU BUDAYA Dekan,

NIP : 195110131976031001 Dr. Syahron Lubis, M.A

Panitia Ujian


(5)

KATA PENGANTAR

Berkat rahmat Allah Bapa Yang Maha Esa dan berkat kasih dan karunia putra-Nya, Tuhan Yesus Kristus, usaha dan kerja keras, serta dukungan dari berbagai pihak akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini berjudul “Analisis Sosiologis Cerita Komik “Abandon the Old in Tokyo” karya Yoshihiro Tatsumi adalah salah syarat untuk dapat menyelesaikan Program Studi Sastra Jepang-Sarjana (S1) Fakultas Ilmu Budaya Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, baik dari segi isi dan uraiannya yang disebabkan keterbatasan pengetahuan dan pengalaman yang penulis miliki.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan selesai tanpa bantuan dan dukungan dari pihak lain. Maka, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti perkuliahan pada Program Studi Sastra Jepang-Sarjana (S1) Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M. Hum, selaku Ketua Jurusan Sastra Jepang Program S1 Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Drs. Nandi. S., selaku Dosen Pembimbing I yang telah dengan rela hati membaca dan mengoreksi juga memberi masukan kepada penulis di sela-sela waktunya yang sibuk.


(6)

4. Bapak Drs. Amin Sihombing, selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan arahan di sela-sela waktunya yang sibuk demi perbaikan dan penyempurnaan skripsi ini.

5. Bapak/Ibu Dosen Sastra Jepang juga Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang telah bersusah payah memberikan ilmu yang dimiliki kepada penulis selaku mahasiswi Sastra Jepang (S1) selama masa perkuliahan.

6. Kepada Bapakku tercinta, Robinson Damanik, SH dan Mama, Ir. Rosmadelina Purba, M.P dan adikku tersayang Yanmahesa Damanik yang sudah mendoakan dan memberikan dukungan materil dan moril terus-menerus kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini adalah bukti untuk Bapak dan Mama bahwa penulis sudah bisa bertanggung jawab dan dewasa untuk menyelesaikan satu masalah. Mom, Dad, I’m not your little girl anymore.

7. Juga kepada keluarga besar Damanik, inang tua, bapak tua, bang Petrus, kak Eva, si kecil Selena, kak Krista, Bang Richie, si cantik Cecil, keponakanku Nicholas dan Christian dan tak lupa juga Kakakku tersayang Julia Damanik dan suaminya juga si kecil yang masih di dalam perut, terima kasih atas dukungan dan doanya yang tidak putus-putus.

8. Kepada sahabat-sahabatku yang tidak tergantikan, Birdy Rael Paulinka Sinaga, Emanuella Yanita Sinuhaji, Erik Setiawan, Febro Star Harefa, Johan Bimbo Sinaga, Lasmaria Magdalena Sitorus, Rohana Uli Pakpahan dan Zivo Loise Sembiring yang tidak pernah berhenti memberi dukungan, masukan, sindirian yang membangun, waktu luang untuk mendengar di


(7)

saat galau dan meminjamkan laptop di saat penulis benar-benar membutuhkan. I can’t reach this path without you all. Skripsi ini adalah pembuktian atas sebuah kerja keras yang didukung dari orang-orang terdekat walau begitu banyak tragedi yang terjadi di dalamnya.

9. Kepada mahasiswa-mahasiswi stambuk 2009 Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang sudah memberikan semangat dengan keceriaan dan tawa yang mereka miliki kepada penulis. どうも あ りがとうございます。

10.Kepada temanku Edy Sakra Damanik dan Veny Octaviani Marpaung, SE yang sudah susah payah memberikan informasi-informasi yang berguna dan membantu untuk penyempurnaan skripsi ini.

11.Tak lupa kepada Toshi dan pengganti sementara Toshi yang jasanya sudah sangat besar dan bang Joko yang sudah repot mengurus segala berkas untuk kelancaran skripsi ini.

Penulis menyampaikan rasa terima kasih sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu proses pembuatan skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap Tuhan Yang Maha Esa membalas segala kebaikan kepada orang-orang yang telah disebutkan sebelumnya atas bantuan dan dukungan yang diberikan.

Medan, Juni 2013

Penulis


(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan ... 7

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori ... 8

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 12

1.6 Metode Penelitian... 13

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KOMIK, SOSIOLOGI SASTRA, MASYARAKAT PEKERJA JEPANG PASCA PERANG DUNIA II DAN RIWAYAT HIDUP YOSHIHIRO TATSUMI 2.1 Komik ... 14

2.1.1 Setting/latar ... 16

2.1.2 Penokohan ... 17

2.2 Sosiologi Sastra ... 18

2.3 Kehidupan Pekerja Pasca Perang Dunia II 2.3.1 Keadaan Perekonomian Jepang Pasca Perang Dunia II ... 21

2.3.2 Kehidupan Sosial Pekerja Pasca Perang Dunia II ... 25

2.3.3 Hubungan Pekerja dengan Masyarakat ... 39

2.3.4 Hubungan Pekerja dengan Atasan ... 42

2.3.5 Hubungan Pekerja dengan Rekan Kerja ... 45

2.3.6 Hubungan Pekerja dengan Orang tua ... 47

2.3.7 Keluarga Kelas Pekerja ... 52

2.4 Riwayat Hidup Yoshihiro Tatsumi ... 56 BAB III ANALISIS SOSIOLOGIS CERITA KOMIK ABANDON


(9)

3.1 Ringkasan Cerita... 59

3.2 Analisis Sosiologis Cerita 3.2.1 Hubungan Pekerja dengan Masyarakat ... 60

3.2.2 Hubungan Pekerja dengan Atasan ... 70

3.2.3 Hubungan Pekerja dengan Rekan Kerja ... 77

3.2.4 Hubungan Pekerja dengan Orang tua ... 80

3.2.5 Keluarga Kelas Pekerja ... 89

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan ... 94

4.2 Saran ... 97 DAFTAR PUSTAKA

ABSTRAK


(10)

ABSTRAK

ようし

,

要旨

ョシヒロ たつみ

,辰巳の

さくひん

,作品の「Abandon the Old in Tokyo」とい

まんが

,漫画の

しゃかいがくてき

,社会学的な

ぶんせき ,分析

Abandon the Old in Tokyo」の まんが

,漫画はヨシヒロ

たつみ ,辰巳

さくひん

,作品の げきが

,劇画のストリーム( げき

,劇 てき

,的な まんが

,漫画)であ る 。

げきが ,劇画

ひと

,一 つ の ス ト リ ー ム

まんが

,漫画 の

かきがた ,書方 が

げんじつ ,現実

てき ,的と

おとな ,大人

はなし

,話である。 「Abandon the Old in

Tokyo」の まんが

,漫画 は

とうきょう

,東京 で 1 9 7 0 ねん

,年 に にほん

,日本

ろうどうしゃ

,労働者の

せいかつ

,生活を

びょうしゃ

,描写した。 たつみ

,辰巳は19 70

ねん ,年に

ろうどうしゃ

,労働者の

げんじつ ,現実

せいかつ

,生活を

はんえい

,反映し て、

かれ

,彼 らは

まいにち ,毎日

たぼう

,多忙 で、たまには

にんげんどうし

,人間同士 と

かぞく

,家族を

しゃかいか

,社会化しなかった。 たつみ

,辰巳 は 1 9 7 0

ねん

,年 に

にほん ,日本 の

こうどけいざいはってんきかん

,高度経済発展期間に

あつりょく

,圧力がある い

,生き て い る

みやこ ,都 の

ろうどうしゃ

,労働者

かいきゅう

,階級 の

せいかつ


(11)

えが

,描 い た 。 こ の

たつみ

,辰巳 の

さくひん

,作品 は た だ

だいにじせかいたいせんご

,第二次世界大戦後の

けいざいじょうしょう

,経済上昇する た め に 、

まいにち ,毎日

しごと

,仕事 し て ば か り い る

ろうどうしゃ

,労働者 の

げんじつせいかつ

,現実生活を えか

,描 いた。 まんが

,漫画での

しゅじんこう

,主人公 は

とうきょうと

,東京都 の

せいかつ

,生活 で

たぼう

,多忙 で

はたら

,働 い て、

しゃかいてき

,社会的な

せいかつ

,生活から こりつ

,孤立された ほと

,人 ぼと

,マであ った。

たつみ

,辰巳 が えが

,描 い た「Abandon the Old in Tokyo」 と い

う まんが

,漫画における は

,八 たつ

,つ

たんぺん

,短編のようなものであった。それ はOccupied, Abandon the Old in Tokyo, The Washer, Beloved Mongkey, Unpaid,

The Hole, Forked RoadとEelであった。その

しゅじんこう

,主人公 を つう

,通 じ て 、

たつみ

,辰巳 は と く に

ろうどうしゃ

,労働者 に たい

,対 して さ

,差 が たか

,高 い と

,言うことについての いか

,怒りを あらわ

,表したかった。 まんが

,漫画を

ぶんせき

,分析するために、

しゃかいがく

,社会学

ぶんせき ,分析 を

つか

,使 う 。

しゃかいがくぶんせき

,社会学分析 は

ぶんがくさくひん

,文学作品 が

しゃかい

,社会の

はんえい

,反映という いみ

,意味である。「Abandon the Old in

Tokyo」の まんが

,漫画での1970 ねん

,年の

ろうどうしゃ

,労働者の

せいかつ ,生活

だいにじせかいたいせんご

,第二次世界大戦後 の

ろうどうしゃ


(12)

げんじつせいかつ

,現実生活を ひかく

,比較したあとで、ヨシヒロ たつみ

,辰巳は 1 9 7 0

ねん

,年 の

ろうどうしゃ

,労働者 の

げんじつせいかつ

,現実生活 を

びょうしゃ

,描写したという

けつろん

,結論ができた。 だいにじせかいたいせんご

,第二次世界大戦後 の

こうどけいざいはってんきかん

,高度経済発展期間 の

けっか

,結果 と し て は

とうきょう

,東京 を ふく

,含 み, ほか

,他 の

だいとし

,大都市 も

はってん

,発展 してき た 。

とうきょう

,東京 は

ろうどうしゃ

,労働者 で い っ ぱ い に な っ た 。 し か し、

にほん

,日本 の

こうどけいざいはってんきかん

,高度経済発展期間 が

しゃかい ,社会 ふくし

,福祉に したが

,従うのはなかった。 だいにじせかいたいせんご

,第二次世界大戦後 に「 いえ

,家」の

たいけい ,体系

が「

かくかぞく

,各家族」に か

,変わた。「

かくかぞく

,各家族」の なか

,中に、おば

あ さ ん か お じ い さ ん の けんり

,権利 が な

,無 く な っ て 、 とく

,特 に まご

,孫 を

きょういく

,教育 す る こ と で あ っ た 。「

かくかぞく

,各家族」 なか

,中 に 、

お かあ

,母 さ ん が こども

,子供 を

きょういく

,教育 し た 。 そ れ に、「 いえ

,家」

の けんり

,権利になお したが

,従うがないから、 おんな

,女の ちい

,地位が つよ

,強くな った。「

かくかぞく

,各家族」も「まいほうむしゅぎ」 か

,価が ふ

,増えていた。

「ま い ほ う む し ゅ ぎ」は 、 ま ず じぶん

,自分 の かぞく

,家族 の

じゅよう ,需要


(13)

せんこう

,先行 し た 。 そ の こと

,事 は 、

ろうじん

,老人 の ちい

,地位 が も っ と も

のこ

,残された。

せいねん

,青年も、

りょうしん

,両親は かぞく

,家族の

せきにん ,責任 じ ゃ な い を

かんが

,考 え た 。 そ の いけん

,意見 は「

かくかぞく

,各家族 」

そんざい

,存在、

にほんじん

,日本人の

しょうひか

,消費化、

しゃかいふくし

,社会福祉 がなかったから

,出 てきた。そのほか、ひと,人びと,マ はせま,狭 いアパート にす,住んでいたので、「

いえ ,家」

がいねん

,概念を き

,決める

かのうせい

,可能性が

なく、

ろうじん

,老人を のこ

,残されている

けいこう

,傾向があった。 いそが

,忙しく はたら

,働いたので、

ろうどうしゃ

,労働者が こりつ

,孤立させ るようになった。

ろうどうしゃ

,労働者がただ

どりょう

,同僚とコミュニケーショ ンをやるだけであった。

たぼう

,多忙で、

いっぱんしゃかい

,一般社会をあまりコ

ミュニケーションができないので、 かれ

,彼らはバーとカンブル ば

,場によ く

ほうもん

,訪問した。にほんじん,日本人はグループてき,的でい,生きていて、そのた めに

かれ

,彼らはその

しゃかい

,社会で

じゅうじゅう ,重々

はたら

,働かなければなら ない。もし、

かれ

,彼らは はたら

,働かなければ、 ひと

,一つのグループの なか

,中 で

,生きなかったので、もっと こりつ

,孤立になると かん


(14)

ABSTRAK

ANALISIS SOSIOLOGIS CERITA KOMIK “ABANDON THE OLD IN

TOKYO”KARYA YOSHIHIRO TATSUMI

“Abandon the Old in Tokyo” adalah cerita komik beraliran gekiga (manga yang dramtis) karya Yoshihiro Tatsumi. Gekiga adalah salah satu aliran dalam menulis komik yang lebih bersifat nyata dengan cerita yang lebih dewasa. Komik “Abandon the Old in Tokyo” menceritakan tentang kehidupan para pekerja Jepang Tokyo pada tahun 1970. Tatsumi merefleksikan kehidupan nyata para pekerja Jepang Tokyo pada tahun 1970 dimana mereka setiap harinya hanya sibuk bekerja dan jauh dari sosialisasi dengan sesama dan keluarga.


(15)

Tatsumi menceritakan kehidupan kelas pekerja ibukota yang hidup penuh tekanan di masa pertumbuhan ekonomi pesat Jepang pada tahun 1970-an. Komik karya Tatsumi ini memberi gambaran realistis kehidupan kelas pekerja yang setiap harinya hanya bekerja untuk meningkatkan perekonomian pasca Perang Dunia II. Tokoh di dakan komik adalah orang-orang yang sibuk bekerja dalam kehidupan megapolitan Tokyo dan terasing dari kehidupan sosial.

Seperti yang digambarkan Tatsumi pada 8 cerita pendek di dalam komik “Abandon the Old in Tokyo” yaitu, Occupied, Abandon the Old in Tokyo, The Washer, Beloved Mongkey, Unpaid, The Hole, Forked Road dan Eel. Melalui tokoh yang dibuatnya, Tatsumi ingin mengungkapkan kemarahannya tentang diskriminasi yang semakin meningkat.

Untuk menganalisis komik, digunakan metode sosiologis. Analisis sosiologis bertolak bahwa, karya sastra adalah cerminan masyarakat. Setelah membandingkan kehidupan nyata pekerja Jepang di masa pasca Perang Dunia II (1950-1980) dengan kehidupan pekerja Jepang tahun 1970 yang ada pada komik Abandon the Old in Tokyo, disimpulkan bahwa, Yoshihiro Tatsumi menceritakan kehidupan nyata pekerja pada tahun 1970.

Akibat pertumbuhan ekonomi pesat setelah Perang Dunia II, kota-kota besar termasuk Tokyo ikut berkembang. Tokyo menjadi penuh sesak dengan para pekerja. Namun, pertumbuhan ekonomi pesat Jepang tidak diikuti dengan peningkatan kesejahteraan sosial.

Pasca Perang Dunia II, sistem ie berubah menjadi kaku kazoku. Di dalam keluarga inti, wewenang nenek atau kakek menjadi hilang termasuk dalam


(16)

mendidik cucu. Di dalam keluarga inti, ibulah yang mendidik anak. Selain itu, posisi wanita semakin kuat, karena tidak tunduk lagi kepada wewenang ie. Kaku kazoku telah membuat nilai maihōmushugi meningkat. Maihōmushugi adalah keinginan untuk pertama-tama mendahulukan kebutuhan keluarga sendiri. Hal-hal tersebut membuat posisi orang tua lanjut usia semakin tertinggal. Generasi muda pun, menganggap orang tua bukanlah tanggungan keluarga. Anggapan itu muncul, karena munculnya kaku kazoku, perilaku konsumtif orang Jepang dan kesejahteraan sosial yang tidak ada. Selain itu, orang-orang tinggal di apartemen sempit,, sehingga tidak mungkin memberlakukan konsep ie dan membuat orang tua lanjut usia cenderung ditinggalkan.

Kesibukan bekerja membuat para pekerja menjadi terasing. Pekerja hanya berkomunikasi dengan rekan kerjanya. Akibat rasa frustasi dari pekerjaan dan sedikit berkomunikasi dengan sesama, mereka pergi ke klub malam dan tempat-tempat perjudian. Orang Jepang adalah masyarakat yang hidup di dalam kelompok., sehingga mereka bekerja keras di perusahaannya. Apabila mereka tidak bekerja, mereka merasa lebih terasing karena tidak hidup lagi di dalam satu kelompok.


(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Karya sastra adalah media untuk penyampaian “pemahaman” tentang kehidupan dengan caranya sendiri. Karya sastra dapat diibaratkan “potret” atau “sketsa” kehidupan tetapi agak sedikit berbeda dengan kenyataan karena terdapat pendapat dan pandangan penulis dari mana dan bagaimana ia melihat kehidupan tersebut. Gagasan-gagasan yang muncul ketika menggambarkan karya sastra itu dapat membentuk pandangan orang tentang kehidupan itu sendiri (Melanie Budianta, dkk, 2008:20).

Karya sastra sebagai penggambaran dunia dan kehidupan manusia. Kriteria utama yang dikenakan pada karya sastra adalah “kebenaran” penggambaran, atau apa yang ingin digambarkan pengarang ke dalam karyanya. Melalui penggambaran tersebut pembaca dapat menangkap gambaran seorang pengarang mengenai dunia sekitarnya, apakah itu sudah sesuai dengan hati nuraninya atau belum (Pradopo, 2003: 26). Dari pendapat tersebut bahwa karya sastra merupakan penggambaran kehidupan manusia dalam dunia nyata yang disampaikan oleh penulis melalui karya sastra tulisan.

Hubungan keterkaitan antara karya sastra dengan masyarakat mengundang banyak penelitian terhadapnya. Pendekatan yang umum dilakukan terhadap hubungan karya sastra dan masyarakat adalah mempelajari karya sastra sebagai


(18)

dokumen sosial, sebagai potret kenyataan sosial (Rene Wellek & Austin Warren, 1995:122). Karya sastra dianggap dapat mengungkapkan keadaan sosial budaya maupun semangat zaman yang ada pada sebuah masyarakat dalam kurun waktu tertentu. Oleh karena itu, banyak penelitian yang mencoba mengungkapkan keadaan sosial budaya suatu masyarakat melalui karya sastra. Fungsi karya sastra sebagai dokumen sosial dapat ditemukan pada kesusasteraan manapun di berbagai macam masyarakat dunia.

Komik merupakan salah satu sajian yang ditawarkan dalam dunia sastra yang menarik hati para peminat sastra. Tidak hanya itu, komik mampu memikat banyak orang diseluruh dunia, baik dari kalangan anak-anak, remaja bahkan juga orangtua. Menurut Marcel Bonneff (1998:25), komik adalah salah satu produk akhir dari hasrat manusia untuk menceritakan pengalamannya, yang dituangkan dalam gambar dan tanda, yang mengarah kepada suatu pemikiran dan perenungan.

Komik harus dipahami sebagai dokumen yang tidak boleh dibatasi artinya oleh pandangan berdasarkan baik-buruknya. Untuk memahami masyarakat yang menghasilkannya, semua komik dinilai sama, tidak ada yang tidak bagus atau pun buruk. Dibandingkan dengan karya sastra yang lain, komik memiliki beberapa kelebihan karena kurang menonjolkan kepribadian penulisnya. Penulis berusaha untuk lebih banyak mengungkapkan orisinalitasnya melalui gambar dan bukan cerita (Marcel Bonneff, 1998:5).

Komik atau dalam bahasa Jepang disebut manga (漫画), berkembang dimulai dari zaman Edo, yang pada saat itu bentuk manga masih sangat sederhana dan tidak serumit penampilan manga modern. Katshushika Hokusai seorang


(19)

pelukis dan pemahat kayu, menciptakan istilah “Hokusai Manga”. Sketsa Hokusai adalah sekumpulan sketsa yang berdasarkan tema tertentu yang dibuat seniman Jepang. Tema-tema dari sketsa tersebut antara lain berupa pemandangan, hewan dan tumbuhan juga gambaran kehidupan sehari-hari. Kemudian manga terus berkembang dengan bertambahnya orang Jepang yang membuatnya hingga terbentuk sebagai buku komik yang ada saat itu masih berupa urutan gambar yang merupakan sebuah cerita dengan narasi sebagai penjelasan cerita di samping gambar. Kemudian manga terus-menerus mengalami perkembangan dan penyempurnaan gambar dan cerita sehingga menyajikan cerita yang lebih kompleks dan sangat imajinatif karena sasaran pasar manga saat itu adalah

anak-anak

8.html).

Hingga pada tahun 1950-an, muncullah aliran alternatif penulisan komik gekiga yaitu sebuah genre baru komik yang mengambil latar belakang kisah dari kehidupan nyata. “Gekiga” adalah istilah ciptaan Tatsumi yang menggambarkan konsep komik yang berisi cerita dan gaya yang lebih dewasa daripada manga biasanya yang imajinatif

Gekiga diterjemahkan secara harfiah sebagai “manga yang dramatis”. Gekiga saat ini dikategorikan sebagai graphic novel sebagai bentuk lanjutan dari komik dengan jalan ceritanya yang lebih kompleks dan lebih panjang dan sering membidik pembaca dewasa/matang. Berbeda dengan majalah/buku komik yang banyak dikenal, sebuah graphic novel biasanya dijilid dengan menggunakan bahan yang lebih tahan lama. Topiknya dapat mencakup koleksi-koleksi cerita pendek, atau kumpulan terbitan-terbitan buku komik yang sebelumnya telah diterbitkan yang kemudian diterbitkan lagi dalam sebuah edisi tunggal yang besar


(20)

Yoshihiro Tatsumi yang merupakan pelopor gekiga ingin keluar dari jalur konvensional penulisan komik dan memenuhi permintaan dari pembaca dewasa. Tatsumi yang merupakan seorang komikus yang baru berkecimpung di dalam dunia manga dan banyak dipengaruhi film berusaha menampilkan penggunaan teknik perfilman dengan realisme suram dan mencoba mengeksplorasikan pemikiran yang lebih kompleks yang memikat pembaca. Tatsumi belajar dari Tezuka Osamu yang menciptakan “Tetsuwan Atomu” (Astro Boy) dan membuat Tatsumi muda berkarir di komik 4 kotak bertema dunia yang suram. Karya Tatsumi memang kerap menceritakan kelas pekerja yang harus berjuang hidup di Jepang masa pasca Perang Dunia II. Ia berkaca pada keluarga serta lingkungannya yang gagal merasakan melambungnya perekonomian Jepang selepas Perang Dunia II. Tatsumi ingin membahas masalah faktual dalam karyanya

Salah satu karya Tatsumi yang berjudul Abandon the Old in Tokyo (2006) atau judul aslinya Tōkyō Ubasuteyama menceritakan kehidupan masyarakat kelas pekerja ibukota yang hidup penuh tekanan di masa kenaikan pertumbuhan ekonomi pesat pada tahun 1970-an. Salah satu hal yang membuat karya Tatsumi istimewa adalah gambaran realistis tentang kehidupan masyarakat yang tenggelam dalam kesibukan kerja untuk meningkatkan perekonomian pasca Perang Dunia II, tetapi sama sekali tidak merasakan proses modernisasi itu sendiri.

Komik Abandon the Old in Tokyo adalah sebuah refleksi penggambaran masyarakat Jepang di tahun 1970 atau pasca Perang Dunia II di saat Jepang berusaha mati-matian untuk meningkatkan pertumbuhan ekonominya setelah


(21)

jatuh di masa perang. Masa perubahan kondisi Jepang tahun 1970 benar-benar membuat negara-negara lain takjub.

Pabrik dan gedung-gedung pencakar langit dibangun di Tokyo seperti Sunshine 60 dan konstruksi bandara baru yang kontroversial di Narita sehingga mengakibatkan peningkatan penduduk hingga sekitar 11 juta (dalam lingkungan metropolitan). Jaringan kereta bawah tanah dan komuter Tokyo menjadi salah satu yang tersibuk di dunia karena semakin banyak orang yang pindah ke wilayah Toky

Berkaitan dengan perkembangan drastis ibukota sebagai latar, tokoh cerita yang diangkat adalah orang-orang yang sibuk bekerja dalam kehidupan megapolitan Tokyo dan terasing dari kehidupan sosial. Pembangunan ekonomi dianggap lebih penting daripada bagaimana cara hidup yang benar. Kekecewaan, keegoisan, kemerosotan moral, sikap kebarat-baratan seolah menenggelamkan masyarakat khususnya kelas pekerja di dalam modernisasi yang pesat. Gambar-gambar yang terdapat di dalam komik menunjukkan adegan kehidupan nyata tetapi juga imajinatif dari tokoh utamanya dalam delapan cerita pendek yaitu, Occupied, Abandon the Old in Tokyo, The Washer, Beloved Mongkey, Unpaid, The Hole, Forked Road dan Eel. Permasalahan inilah yang diangkat oleh Tatsumi dalam Abandon the Old in Tokyo. Melalui komik tersebut, terlihat bahwa Yoshihiro Tatsumi berusaha mengungkapkan bagaimana keadaan masyarakat Jepang pada zaman pasca Perang Dunia II. Melalui tokoh-tokoh fiksi yang dibuatnya, Tatsumi ingin memproyeksikan kemarahannya tentang diskriminasi dan ketidaksamaan yang menjadi-jadi di masyarakat. Untuk mengetahui kehidupan sosial masyarakat Jepang khususnya kelas pekerja pada tahun 1970, maka penulis akan membahasnya melalui skripsi yang berjudul : “Analisis


(22)

Sosiologis Cerita Komik Abandon the Old in Tokyo Karya Yoshihiro Tatsumi”.

1.2 Rumusan Masalah

Masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan. Sastrawan biasanya mengungkapkan kehidupan manusia dan masyarakat melalui emosi, secara subjektif dan evaluatif. Sastra juga memanfaatkan pikiran intelektualitas, tetapi tetap didominasi oleh emosionalitas. Begitu juga dengan karya sastra berupa komik Abandon the Old in Tokyo karya Yoshihiro Tatsumi. Di dalam komik ini banyak menunjukkan kehidupan sosiologis masyarakat Jepang pada zaman pasca Perang Dunia II, yaitu mengenai kehidupan masyarakat Jepang yang tenggelam di dalam kemodernisasian, sehingga menimbulkan banyak penyimpangan pada hubungan antar masyarakat.

Komik ini menunjukkan kehidupan sosiologi masyarakat kelas pekerja pada zaman pasca Perang Dunia II, yaitu bagaimana hubungan antara individu dengan individu dalam suatu masyarakat baik dalam satu strata ataupun berbeda strata. Jika dihubungkan dengan kenyataan masa lalu yang pernah terjadi, ada banyak persamaan antara kehidupan sosial masyarakat Jepang khususnya kelas pekerja pada kehidupan nyata tahun 1950-1980 dengan kehidupan sosial kelas pekerja pasca Perang Dunia II yang diceritakan pada komik Abandon the Old in Tokyo. Maka, masalah-masalah tersebut akan diuraikan dalam pertanyaan berikut :


(23)

1. Bagaimana kehidupan masyarakat Jepang khususnya kelas pekerja dalam kehidupan sehari-hari pada pasca Perang Dunia II (1950-1980)?

2. Bagaimana kehidupan masyarakat Jepang khususnya kelas pekerja pada pasca Perang Dunia II tepatnya pada tahun 1970 yang digambarkan pada komik Abandon the Old in Tokyo?

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Agar penelitian lebih terarah dan teratur maka ruang lingkup pembahasan harus dibatasi. Hal ini dimaksudkan agar masalah penelitian tidak menjadi terlalu luas dan berkembang jauh, sehingga penulisan bisa dilakukan lebih terfokus.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis hanya akan membatasi ruang lingkup penelitian yang difokuskan kepada kehidupan kelas pekerja sebagai tokoh yang diceritakan pada komik ini terutama dilihat dari caranya bersosialisasi dengan masyarakat luas, hubungan para kelas pekerja dengan atasannya dan rekan kerja, keadaan keluarga kelas pekerja dan hubungannya dengan anggota keluarga yang lain. Oleh karena itu, penelitian hanya difokuskan kepada analisis kehidupan masyarakat yang ditinjau dari sudut sosiologisnya yang terdapat di dalam 8 cerita pendek yang terkumpul pada komik Abandon the Old in Tokyo.

Cara pembahasan yang akan dilakukan adalah mengambil cuplikan-cuplikan dialog pembicaraan tokoh dalam teks asli yaitu bahasa Inggris yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, kemudian dianalisis.


(24)

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1. Tinjauan Pustaka

Sosiologi sastra menurut Ratna (2003 : 2), yaitu pengalaman terhadap totalitas karya yang disertai aspek-aspek kemasyarakatan yang terkandung di dalamnya. Sosiologi sastra mewakili kesimbangan antara dua komponen, yaitu sastra dan masyarakat. Oleh karena itu, analisis sosiologis memberikan perhatian yang besar terhadap fungsi-fungsi karya sastra, karya sastra sebagai produk masyarakat tertentu.

Zerafta dalam fananie (2001 : 133) mengatakan bahwa bentuk dan isi karya sastra sebenarnya memang lebih banyak diambil dari fenomena sosial dibandingkan dengan seni yang lain, kecuali film. Karenanya, karya sastra seringkali tampak terikat dengan momen khusus dalam sejarah masyarakat. Dalam hal ini, karya-karya mempunyai suatu fungsi pewahyuan dalam pengertian mencakup aspek-aspek kehidupan sosial, ekonomi, atau pun budaya. Itulah sebabnya, karya sastra dapat merupakan pencarian dan sekaligus ungkapan pengertian dan esensinya.

Menurut Soekanto (1982 : 23), objek kajian dalam sosiologi adalah masyarakat yang dilihat dari sudut antar manusia dan proses yang timbul dari hubungan manusia dan masyarakat. Mac Iver dan Page dalam soekanto (1982 : 22) mengatakan bahwa masyarakat adalah suatu sistem dari kebiasaan dan tata-cara, dari wewenang dan kerjasama antara berbagai kelompok dan penggolongan, dari pengawasan tingkah-laku serta kebebasan-kebebasan manusia. Keseluruhan


(25)

yang berubah ini kita sebut masyarakat. Masyarakat merupakan jalinan hubungan sosial.

Di dalam komik Abandon the Old in Tokyo ini dapat dilihat masyarakat yang mengalami perubahan karena didesak oleh perkembangan zaman yang drastis dan mengakibatkan masalah yang kompleks bagi masyarakat yang mengalaminya.

2. Kerangka Teori

Dalam sebuah penelitian diperlukan satu teori pendekatan yang menjadi suatu acuan penulis untuk menganalisis karya sastra tersebut. Penulis menggunakan pendekatan sosiologis dan semiotik dalam menganalisis karya sastra ini.

Pendekatan sosiologis bertolak dari pandangan bahwa karya sastra adalah pencerminan kehidupan masyarakat. Jadi melalui sastra, pengarang mencoba mengungkapkan suka-duka kehidupan masyarakat yang mereka ketahui secara jelas. Jadi, bertolak dari pandangan itu maka kritik sastra lebih banyak menggunakan segi-segi sosial kemasyarakatan yang terdapat pada karya sastra tersebut, mempersoalkan segi-segi yang menunjang pembinaan dan pengembangan tata kehidupan.

Menurut Mahayana (2005: 337), sastra sebagai dokumen sosial, cerminan situasi sosial, gambaran sosio-historis dan semangat zamannya. Bukan berarti bahwa karya sastra itu adalah objek sosiologi itu sendiri. Sebaliknya, sosiologi


(26)

adalah alat untuk menafsirkan karya sastra dengan maknanya yang sekunder dengan menghubungkan pemahaman dan pemaknaan unsur-unsur intrinsik karya itu dan mengaitkan dengan unsur ekstrinsik.

Wellek dan Warren dalam Semi (1995 : 111) membuat klasifikasi singkat sebagai berikut :

1. Sosiologi pengarang : yakni yang mempermasalahkan tentang status sosial, ideologi politik, dan lain-lain yang menyangkut diri pengarang;

2. Sosiologi karya sastra : yakni mempermasalahkan tentang suatu karya sastra; yang menjadi pokok telaahan adalah tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan atau amanat yang hendak disampaikannya;

3. Sosiologi sastra : yang mempermasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosial karya sastra terhadap masyarakat.

Teori tersebut diperkuat dengan teori yang dibuat oleh Ian Watt dalam Damono (1984 : 3) yang melihat hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra dengan masyarakat. Telaah sosiologis suatu karya sastra mencakup tiga hal :

1. Konteks sosial pengarang, yakni yang menyangkut posisi sosial masyarakat pembaca, termasuk di dalamnya faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi si pengarang sebagai perseorangan di samping mempengaruhi isi karya sastranya.

2. Sastra sebagai cermin masyarakat, yang ditelaah adalah sampai sejauh mana sastra dianggap sebagai pencerminan keadaan masyarakat.

3. Fungsi sosial sastra, dalam hal ini ditelaah sampai seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial dan sampai seberapa jauh nilai sastra


(27)

dipengaruhi oleh nilai sosial dan sampai seberapa jauh pula sastra dapat berfungsi sebagai alat hibur dan pendidikan terhadap masyarakat pembaca. Hoed dalam Nurgiantoro (1998 : 40) mengatakan bahwa semiotik adalah ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain yang dapat berupa pengalaman, pikiran, gagasan dan lain-lain. Tanda-tanda itu dapat berupa gerakan anggota badan, gerakan mata, mulut, bentuk tulisan, warna, bendera, bentuk dan potongan rumah, pakaian, karya seni, sastra, lukisan, patung, film, tari, musik, dan lain-lain yang berada di sekitar kehidupan kita.

Mengenai hubungan karya sastra dengan tanda, Ratna (2004: 117) mengungkapkan sastra dalam bentuk karya sastra atau naskah mengandung banyak tanda-tanda, sesuatu yang lain yang diwakilinya, sebagai tanda-tanda non verbal. Makna tanda-tanda bukanlah miliknya sendiri, tetapi berasal dari konteks di mana ia diciptakan, dimana ia tertanam. Tanda ini dikirimkan (sender), yang bisa berarti penulis, kepada penerima (receiver), yaitu pembaca. Oleh sebab itu, pemahaman suatu karya sastra tidak bisa dilepaskan dari kenyataannya di luarnya, yaitu masyarakat di mana karya itu lahir. Hubungan antara penulis, karya sastra dan pembaca menyediakan pemahaman mengenai tanda yang sangat kaya. Kemampuan pengarang untuk menuangkan ide dan pengalaman yang dia peroleh dari masyarakat ke dalam karya sastra dan juga kemampuan pembaca untuk bisa memahami atau menginterpretasikan tulisan dan maksud pengarang lewat karyanya menentukan nilai sebuah karya sastra.

Penelitian karya sastra dengan pendekatan sosiologis tidak terlepas dari kondisi sosial atau kehidupan masyarakat. Demikian halnya dengan karya sastra,


(28)

memiliki kaitan yang erat dengan kehidupan masyarakat, karena karya sastra lahir dari masyarakat. Dengan kata lain, penelitian karya sastra dapat dilakukan dengan penelitian sosiologis.

Dalam skripsi ini, penulis akan melakukan penelitian dengan menggunakan pendekatan sosiologis berdasarkan teori “sosiologi karya sastra” (Wellek & Warren) dan teori “sastra sebagai cermin masyarakat” (Watt). Sementara itu, pendekatan semiotika digunakan untuk menganalisis tanda. Melalui pendekatan sosiologis dan semiotik, penulis berusaha untuk mengungkapkan apa yang tersirat dalam komik Abandon the Old in Tokyo.

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui kehidupan masyarakat Jepang khususnya kelas pekerja dalam kehidupan sehari-hari pada pasca Perang Dunia II (1950-1980). 2. Untuk mengetahui bagaimana kehidupan masyarakat Jepang khususnya

kelas pekerja pada pasca Perang Dunia II tepatnya pada tahun 1970 yang digambarkan pada komik Abandon the Old in Tokyo.

2. Manfaat Penelitian

1. Dapat menambah pengetahuan keadaan Jepang pasca Perang Dunia II khususnya pada pertumbuhan ekonomi pesat Jepang (1950-1980) melalui komik Abandon the Old in Tokyo karya Yoshihiro Tatsumi.


(29)

2. Dapat menambah wawasan mengenai kehidupan sosiologis masyarakat Jepang dan pengaruh modernisasi terhadap masyarakat Jepang melalui komik Abandon the Old in Tokyo.

1.6 Metode Penelitian

Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif dalam pendekatan sosiologis dan cakupan kualitatif. Menurut Koentjaraningrat (1976 : 30), penelitian yang berifat deskriptif yaitu memberikan gambaran yang secermat mungkin mengenai individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu. Metode deskriptif juga merupakan metode yang menggambarkan keadaan atau objek penelitian yang dilakukan berdasarkan fakta-fakta atau sebagaimana adanya dan dipakai untuk memecahkan masalah dengan cara mengumpulkan, menyusun, mengklasifikasikan, mengkaji, dan menginterpretasikan data.

Data yang digunakan untuk penelitian ini adalah komik Abandon the Old in Tokyo karya Yoshihiro Tatsumi yang diterbitkan oleh Drawn and Quarterly Publication yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi pustaka atau (library reserach), yaitu dengan menelusuri sumber-sumber kepustakaan dan buku-buku juga referensi berkaitan dengan masalah. Data diperoleh dari jurnal, artikel, buku dan berbagai situs internet.


(30)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP KOMIK, SOSIOLOGI SASTRA, MASYARAKAT PEKERJA JEPANG PASCA PERANG DUNIA II DAN

RIWAYAT HIDUP YOSHIHIRO TATSUMI

2.1 Komik

Komik atau dalam bahasa Jepang disebut manga adalah salah satu bentuk karya sastra yang terdapat di Jepang.

“Manga are comics created in Japan, or by Japanese creators in the Japanese language, conforming to a style developed in Japan in the late 19th century” (en.wikipedia.org/wiki/Manga). Artinya :

Manga adalah komik yang diciptakan di Jepang, atau ditulis oleh orang Jepang dalam bahasa Jepang, sesuai dengan gaya yang dikembangkan di Jepang pada akhir abad 19.”

Istilah manga ditulis dengan kanji (漫画), dalam hiragana (まんが), dalam katakana (マンガ) adalah kata dalam bahasa Jepang untuk komik dan kartun. Manga adalah istilah untuk komik yang diciptakan oleh orang Jepang.

Di Jepang, manga dibaca oleh berbagai usia. Cerita manga juga bermacam-macam seperti petualangan, percintaan, olahraga dan permainan, drama sejarah, komedi, fiksi ilmiah dan fantasi, misteri, detektif dan horor.

Manga mengalami sejarah panjang dalam perkembangannya. Agama Buddha masuk sekitar abad VI-VII ke Jepang dan mengawali sejarah manga. Para


(31)

pendeta Buddha membuat lukisan gulung yang menggambarkan banyak kisah. Lukisan gulung ini menggunakan banyak simbol untuk menandai perubahan waktu, misalnya sakura berbunga, daun mapel atau simbol-simbol lain yang biasanya dimengerti orang Jepang. Simbol-simbol itu kemudian tersusun dan membentuk sebuah cerita. Hokusai Katsushika (1760-1849), adalah seorang seniman yang telah menerbitkan 15 volume gambar-gambarnya dan merupakan orang pertama yang menciptakan kata manga di Jepang.

Manga berkembang di Jepang secara perlahan-lahan, tetapi perkembangan manga yang paling menonjol, disaat masuknya armada laut Amerika yang dipimpin oleh Komodor Perry (1853) dan membawa pengaruh Barat ke budaya Jepang dan membuat sebuah terobosan dalam manga oleh Ozama Tezuka (1928-1989). Ozama mendapat gelar “The God of Manga” dan membawa inspirasi kepada manga modern.

Manga memang pada awalnya diperuntukkan bagi anak-anak. Namun, pada pertengahan 1950-an, Yoshihiro Tatsumi yang merupakan seorang penulis komik pemula dan berguru kepada Ozama Tezuka, ingin menulis cerita yang lebih nyata dan merefleksikan kehidupan yang sehari-hari dilihatnya. Sehingga, Yoshihiro Tatsumi membuat aliran baru dalam pembuatan komik yaitu gekiga. Gekiga dalam arti harfiahnya adalah “manga yang dramatis”. Dalam karyanya, Yoshihiro Tatsumi menceritakan tentang kehidupan sehari-hari yang dialaminya terutama tentang kehidupan masyarakat Jepang setelah Perang Dunia II. Tatsumi melihat masyarakat Jepang bekerja keras untuk meningkatkan perekonomian Jepang terutama pada tahun 1970 tetapi perlahan-lahan melupakan diri sendiri dan


(32)

bersosialisasi dengan orang lain. Dengan aliran baru yang dibuat Tatsumi, ia berhasil merebut pasar manga (Website NUANSA Juli-September 2011).

2.1.1 Setting/latar

Menurut Abrams dalam fananie (2001: 97), setting merupakan satu elemen pembentuk cerita yang penting, karena elemen tersebut akan dapat menentukan situasi umum sebuah karya. Walaupun setting dimaksudkan untuk mengidentifikasi situasi yang tergambar dalam cerita, keberadaan elemen setting hakikatnya tidaklah hanya sekedar menyatakan di mana, kapan atau bagaimana situasi peristiwa berlangsung, melainkan berkaitan juga dengan gambaran tradisi, karakter, perilaku sosial dan pandangan masyarakat pada waktu cerita ditulis. Dari kajian setting akan diketahui sejauh mana kesesuaian dan korelasi antara perilaku dan watak tokoh dengan kodisi masyarakat, situasi sosial dan pandangan masyarakatnya.

Menurut Sumardjo dalam Fananie (2001:76), setting yang berhasil haruslah terintegrasi dengan tema, watak, gaya, implikasi atau kaitan filosofisnya. Dalam hal ini tentu setting haruslah mampu membentuk tema dan plot tertentu yang dalam dimensinya terkait tempat, waktu, daerah dan orang-orang tertentu dengan watak-watak tertentu akibat situasi lingkungan atau zamannya, cara hidup, dan cara berpikirnya.

Menurut Abrams dalam Fananie (2001:99), untuk mengetahui ketepatan setting dalam sebuah karya dapat dilihat dari beberapa indikator meliputi :


(33)

1. General locale atau latar tempat/latar peristiwa.

2. Historical time atau latar waktu/latar sejarah.

3. Social circumstance atau latar sosial.

Jika indikator tersebut diterapkan dalam telaah setting sebuah karya sastra, bukan berarti bahwa persoalan yang dilihat hanya sekedar tempat terjadinya peristiwa, saat terjadinya peristiwa dan situasi sosialnya melainkan juga kaitannya dengan perilaku masyarakat dan watak para tokohnya sesuai dengan situasi pada karya sastra tersebut diciptakan.

2.1.2 Penokohan

Cerita terbentuk karena ada tokoh-tokoh di dalamnya. Tokoh dalam sebuah cerita sangat memegang peranan penting. Tokoh adalah salah satu unsur penggerak cerita yang memiliki watak yang berkembang sesuai dengan tingkat kedewasaan manusia. Jalan cerita dapat diikuti melalui tindak tanduk tokoh cerita (Fananie, 2001: 86). Tokoh tidak hanya berfungsi untuk membentuk sebuah cerita tetapi juga berperan untuk menampilkan ide, motif, plot dan tema. Dengan adanya tokoh, konflik dapat terbentuk baik oleh tokoh antagonis maupun tokoh protagonis.

Walaupun permunculan karakter tokoh tidak dapat dilepaskan dari rangkaian peristiwa, karakter tokoh dapat diekspresikan dengan bermacam-macam cara seperti menggunakan tampilan fisik atau dengan cara berpikir dan berperilaku si tokoh.


(34)

Melalui penggunaan fisik, pengarang mengungkapkan melalui gambaran fisik tokoh termasuk di dalamnya ciri-ciri khusus. Pengarang menguraikan secara rinci perilaku, latar belakang, keluarga, kehidupan tokoh pada bagian awal cerita. Tokoh-tokoh cerita dideskripsikan sendiri oleh pengarang yang artinya, pengaranglah yang menganalisis watak tokoh-tokohnya. Sementara dengan cara berpikir dan berperilaku si tokoh, karakter akan dibangun dari cara berpikir, cara pengambilan keputusan dalam menghadapi suatu peristiwa, perjalan karir dan hubungannya dengan tokoh-tokoh lain. Biasanya pengarang mencoba menggambarkan tokoh utama melalui dialog antar tokoh dan kemudian membuat satu presentasi state of mind tahap demi tahap yang dihubungkan dengan peristiwa. Watak tokoh diungkapkan pengarang mengalir seirama dengan situasi yang dihadapi para tokoh. Melalui dialog-dialog dikemukakan pengarang, pembaca akan mengetahui sejauh mana moralitas, mentalitas dan pemikiran, watak dan perilaku tokohnya (Fananie, 2001: 90).

2.2 Sosiologi Sastra

Sastra menyajikan “kehidupan” dan “kehidupan” sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial, walaupun karya sastra juga “meniru” alam dan dunia subyektif manusia. Sastra dikaitkan dengan situasi tertentu, atau dengan sistem politik, ekonomi dan sosial tertentu. Penelitian dilakukan untuk menjabarkan pengaruh masyarakat terhadap sastra dan kedudukan sastra dalam masyarakat (Rene Wellek dan Austin Warren, 1995: 109).


(35)

Seniman menyampaikan kebenaran sejarah dan sosial. Karya sastra merupakan “dokumen karena merupakan monumen” (“document because they are monuments”). Sastra membawa “sifat mewakili zaman” dan “kebenaran sosial” dianggap sebagai sebab dan hasil kehebatan nilai artistik suatu karya sastra (Rene Wellek dan Austin Warren, 1995: 111).

Hubungan sastra dengan masyarakat yang bersifat deskriptif (bukan normatif) dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

1. Sosiologi pengarang, profesi pengarang dan institusi sastra. Masalah yang berkaitan adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial, status pengarang dan ideologi pengarang yang terlihat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra.

2. Isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan yang berkaitan dengan masalah sosial.

3. Permasalahan pembaca dan dampak sosial karya sastra. Sejauh mana sastra ditentukan atau tergantung dari latar sosial, perubahan dan perkembangan sosial (Rene Wellek dan Austin Warren, 1995: 111).

Pendekatan yang umum dilakukan terhadap hubungan sastra dengan masyarakat adalah mempelajari sastra sebagai dokumen sosial, sebagai potret kenyataan sosial. Sebagai dokumen sosial, sastra dipakai untuk menguraikan ikhtisar sejarah sosial, namun sastra hanya berkaitan secara tidak langsung dengan situasi ekonomi, politik dan sosial yang kongkret (Rene Wellek dan Austin Warren, 1995: 126).


(36)

Kebenaran sosial mendukung kompleksitas dan koherensi karya sastra, sehingga menaikkan nilai artistik dari karya sastra tersebut, namun sastra yang bersifat sosial hanya merupakan satu ragam sastra dari banyak ragam lainnya. Sifat sosial bukan merupakan inti teori sastra, kecuali bila hanya beranggapan bahwa sastra pada dasarnya adalah “tiruan” hidup dan kehidupan sosial. Tetapi, sastra jelas bukan pengganti sosiologi atau politik, karena sastra mempunyai tujuan dan alasan keberadaannya sendiri (Rene Wellek dan Austin Warren, 1995: 132).

Ian Watt dalam Damono (1984: 3) membuat klasifikasi masalah sosiologi sastra:

1. Konteks sosial pengarang, yakni yang menyangkut posisi sosial masyarakat pembaca, termasuk di dalamnya faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi si pengarang sebagai perseorangan di samping mempengaruhi isi karya sastranya.

2. Sastra sebagai cermin masyarakat, yang ditelaah adalah sampai sejauh mana sastra dianggap sebagai pencerminan keadaan masyarakat.

3. Fungsi sosial sastra, dalam hal ini ditelaah sampai seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial dan sampai seberapa jauh nilai sastra dipengaruhi oleh nilai sosial dan sampai seberapa jauh pula sastra dapat berfungsi sebagai alat hibur dan pendidikan terhadap masyarakat pembaca.

Ian Watt dalam Damono (1984: 4) mengatakan sastra sebagai cermin masyarakat, sampai sejauh mana sastra dapat dianggap sebagai mencerminkan keadaan masyarakat. Pengertian “cerminan” di sini sangat kabur dan oleh


(37)

karenanya banyak disalahtafsirkan dan disalahgunakan. Yang terutama mendapat perhatian adalah, sastra mungkin tidak dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ia ditulis, sebab banyak ciri-ciri masyarakat yang ditampilkan dalam karya sastra itu sudah tidak berlaku lagi pada waktu ia ditulis, sifat “lain dari yang lain” seorang pengarang sering mempengaruhi pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya, genre sastra sering merupakan sikap sosial suatu kelompok tertentu dan bukan sikap sosial seluruh masyarakat, sastra yang berusaha menampilkan keadaan masyarakat secermat-cermatnya mungkin saja tidak bisa dipercaya sebagai cermin masyarakat. Demikian juga sebaliknya, karya sastra sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan masyarakat secara teliti barangkali masih dapat dipergunakan sebagai bahan untuk mengetahui keadaan masyarakat. Pandangan sosial pengarang harus diperhatikan apabila menilai karya sastra sebagai cermin masyarakat.

2.3 Kehidupan Pekerja Jepang Pasca Perang Dunia II

2.3.1 Keadaan Perekonomian Jepang Pasca Perang Dunia II

Pada akhir Perang Dunia II ekonomi Jepang hancur luluh. Jepang dihadapkan dengan kelaparan karena sektor pertanian hampir hancur, kebanyakan kembali bermigrasi ke daerah pedesaan dan mengerjakan apa saja agar menghasilkan beberapa sen untuk membeli semangkuk nasi.

Namun, kekalahan pada Perang Dunia II bagaikan “pembukaan kedua” bagi Jepang setelah seabad lalu Jepang meningkatkan kekayaan bangsa dan


(38)

memperkuat angkatan bersenjatanya untuk mengejar bangsa-bangsa Barat yang semakin cepat maju. Setelah menolak adanya kekuatan militer, Jepang memusatkan perhatiannya khusus hanya pada usaha menambah kekayaan dengan secepat-cepatnya. Dibandingkan dengan pembesaran angkatan bersenjata sebelum perang, maka anggaran belanja militer kecil sehingga, investasi negara dianjurkan untuk mengembangkan basis produksi dan perlahan-lahan perekonomian Jepang tumbuh.

Edwin O. Reischauer (1981: 270), mengatakan bahwa Jepang memusatkan perhatian kepada perkembangan ekonomi setelah kalah perang dan menimbulkan pertumbuhan ekonomi yang mengejutkan.

Once the change in occupation policies and the outbreak of the Korean war in 1950 had started the economy rolling it continued to pick up speed, and in the mid-fifties it raced past the prewar peak levels established two decades earlier and maintained for the next decade and half an average rate of growth of close to 10 % percent a year in real terms-that is, after discounting inflation. This was a speed of economic expansion no major country had ever approached before.”

Artinya :

“Di saat terjadinya politik okupasi dan pecahnya perang Korea di tahun 1950, menjadi awal perputaran ekonomi yang melaju pesat dan pada pertengahan tahun 50-an, perekonomian melampaui peringkat puncak dari perekonomian sebelum Perang Dunia II yang tidak dapat dicapai dua dekade sebelumnya dan akan bertahan hingga dua dekade berikutnya yang setengah dari peringkat rata-rata dari pertumbuhan ekonomi mendekati 10% setiap tahunnya setelah pemotongan inflasi. Hal ini adalah sebuah perkembangan pesat ekonomi yang belum pernah dihadapi oleh negara non adikuasa sebelumnya.”

Kesempatan besar bagi Jepang diperoleh ketika pecah perang Korea pada tahun 1950. Untuk kegiatan perang ini, Amerika Serikat memerlukan Jepang


(39)

untuk menyediakan perlengkapan militer karena tidak dapat dilayani sepenuhnya oleh industri Amerika sendiri. Keadaan ini juga menimbulkan permintaan dari banyak negara di dunia yang dimanfaatkan oleh Jepang.

Setelah perang Korea berakhir, perekonomian Jepang mengalami stagnasi dan ekspor menjadi berkurang. Kemudian Jepang mengadakan perubahan dari suatu rekonstruksi kuantitatif menjadi perubahan teknologi yang berlangsung dari 1950 hingga awal 1960. Pada masa ini, industri-industri dasar berfungsi sebagai penentu untuk modernisasi peralatan. Perluasan dari pasaran domestik memungkinkan penggunaan peralatan baru dan pendirian industri baru, kemajuan pesat dalam pemakaian teknologi dari luar mempengaruhi perluasan ekspor, perbaikan teknik dalam industri yang memungkinkan pengurangan impor. Pemerintah juga berperan penting dalam modernisasi perlatan berupa pemberian petunjuk mengenai modernisasi industri dasar.

Setelah Perang Dunia II, industri Jepang tidak hanya menghasilkan barang-barang dalam jumlah besar, tetapi juga semakin tinggi kualitasnya. Sejak tahun 1960-an, barang-barang optik Jepang merebut pasaran dunia termasuk di Jerman yang sebelumnya adalah negara produksi utama. Selain itu, ada juga barang elektronik, sepeda motor, arloji bahkan kapal laut.

Dalam kurun waktu yang biasanya disebut pertumbuhan tinggi/pesat, PNB Jepang tumbuh dengan rerata 10% setahun dan dalam tahun 1968 menyusul Republik Federal Jerman dan menduduki tempat kedua di dunia setelah Amerika Serikat. Yang mendukung pertumbuhan ini secara ekstern ialah perdagangan dunia yang meningkat 3 kali lipat dalam masa 1955-1970 (rerata pertumbuhan


(40)

7,6% setahun) dan juga faktor domestik seperti kenaikan 22% dalam investasi pabrik dan peralatan dari tahun 1951 sampai 1973 yang mendorong kebutuhan domestik dan pada akhirnya mendorong pertumbuhan yang pesat (Nakamura Takafusa, 1985: 82).

Yang mendasari pertumbuhan pesat adalah stabilitas hubungan manajemen-karyawan yang berbeda dengan Amerika Serikat dan Inggris Raya. Dalam dekade pasca Perang Dunia II perusahaan-perusahaan mempunyai tujuan yang sama, sehingga mempererat hubungan manajemen dan karyawan yang didorong pula oleh sistem senioritas dan kesempatan bekerja seumur hidup yang sudah ada.

Menurut standar internasional, perusahaan pemerintah modern Jepang yang sangat besar merupakan suatu lembaga yang sangat sukses. Perusahaan itu berhasil bukan karena suatu kesetiaan mistis kelompok yang terkandung dalam watak bangsa Jepang. Tetapi, karena rasa ikut memiliki dan rasa bangga pekerja, yang percaya bahwa hari depan mereka diurus dengan baik oleh perusahaan. Kebanggaan dan kemantapan yang dimiliki orang Jepang karena rasa persaudaraan dalam sebuah perusahaan besar membantu menstabilkan proses politik dan memberikan kesabaran pada masyarakat luas.

Perdana Mentri Ikeda Hayato sadar akan pentingnya pertumbuhan ekonomi dan mengejarnya melalui rencana yang menganjurkan standar hidup nasional yang lebih tinggi dan kesempatan bekerja penuh melalui pertumbuhan mantap yang maksimal. Rencana ini sebenarnya tidak tepat sasaran sebagai kebijakan untuk mencapai pertumbuhan pesat, tetapi penting bagi dampak


(41)

psikologis positif yang luas bukan saja bagi masyarakat dunia usaha tetapi juga bagi penduduk pada umumnya. Contoh pengaruh ini adalah kenaikan tinggi dalam investasi pabrik dan peralatan dalam tahun 1961, yang mengakibatkan ledakan ekonomi yang belum pernah terjadi setelah investasi-investasi besar-besaran dalam tahun 1960 dan juga kenaikan upah (13,8%) yang tinggi yang diperoleh dalam ofensif buruh musim semi dalam tahun 1961. Pertumbuhan yang luar biasa itu meningkatkan Jepang dari peringkat keenam/ketujuh dalam GNP yang berarti setingkat dengan Italia, ke peringkat ketiga sesudah Amerika Serikat dan Uni-Soviet-hanya dalam waktu 10 tahun (Tadashi Fukutake, 1988: 31).

Namun, pemerintahan Jepang bukanlah suatu pemerintahan demi rakyat. Pertumbuhan ekonomi dinyatakan sebagai sasaran utama, kebutuhan modal didahulukan dengan mengalahkan kesejahteraan rakyat dan kesejahteraan sosial. Dengan kata lain, pemerintah berusaha untuk meningkatkan GNP terlebih dahulu dan sebelum hal tersebut terlaksana, sebagian besar rakyat yang termasuk kelas bawah harus menanggung kemiskinan.

2.3.2 Kehidupan Sosial Pekerja Pasca Perang Dunia II

Sepintas, kemakmuran Jepang disaat pertumbuhan ekonomi pesat setelah Perang Dunia II, tampak semakin mencolok. Tetapi, masalah-masalah kemiskinan sosial juga bermunculan. Penyakit-penyakit sosial masyarakat Jepang menggambarkan apa yang disebut struktur ganda ekonomi dan sistem keamanan sosial yang terbelakang. Pertumbuhan ekonomi merupakan satu-satunya tujuan nasional yang paling penting dengan mengesampingkan semua pertimbangan


(42)

lainnya. Pertumbuhan ekonomi tersebut memacu industrialisasi menjadi semakin cepat lagi dan mengakibatkan perkembangan kota-kota besar secara tidak seimbang dan tidak terencana. Kepincangan-kepincangan dalam kehidupan di kota besar seperti Tokyo dibiarkan berlarut-larut dan oleh sebab itu industrialisasi serta urbanisasi maju dengan cara yang tidak terkendali (Tadashi Fukutake, 1988: 84).

Penghapusan golongan samurai adalah salah satu kebijakan dari Meiji Tenno yang diteruskan sampai selesai Perang Dunia II yang menciptakan saluran-saluran baru untuk mobilitas sosial dan dengan demikian menciptakan sarana yang diperlukan untuk pengembangan industri modern, tetapi tetap mempertahankan status tradisional. Buyarnya sistem kelas feodal ternyata berguna untuk merangsang hasrat rakyat untuk menaiki tangga sosial. Stratifikasi sosial terbuka terbukti menilai sangat penting dan mendorong terjadinya perkembangan ekonomi.

Kelas atas yang berkuasa sebelum perang secara garis besar terdiri dari golongan kapitalis kaya, para pemilik tanah luas, politikus-politikus dan pejabat-pejabat tinggi. Kedudukan mereka kokoh karena didukung oleh sistem kekaisaran. Yang erat berkaitan dengan kelompok atas ini adalah pengusaha-pengusaha menengah dan kecil sebagai pemilik pabrik-pabrik kecil dan toko-toko besar. Para pemilik tanah berukuran menengah dan kecil merupakan kelas menengah kecil yang berada tepat di atas kelas petani, pekerja, pedagang-pedagang kecil, dan golongan pengrajin. Kelas menengah baru yang berupa karyawan pemerintah, pegawai dalam perusahaan-perusahaan besar, guru-guru dan para pekerja profesional lainnya jumlahnya lebih kecil daripada kelas menegah lama tetapi


(43)

tetap menjadi satu keseluruhan struktur kelas pelapisan sosial. Sesungguhnya kelas menengah baru itu memainkan peranan perantara diantara kelas yang berkuasa dengan menengah lama (Tadashi Fukutake, 1988: 32).

Tabel 3.1 Struktur Kelas (%)

1950 1955 1960 1965 1970 1975

-Kapitalis 1.9 2.0 2.7 3.6 5.0 5.9

-Orang-orang yang melayani keamanan 0.9 1.1 1.1 1.2 1.2 1.4

-Bekerja pada perusahaaan milik sendiri Pertanian, Perhutanan dan Perikanan Pertambangan, Pabrik-pabrik angkutan dan perhubungan

Penjualan Karyawan/jasa

Profesional dan ahli teknik

58.9 44.6 6.2 6.2 0.9 1.0 53.2 37.7 6.2 7.0 1.5 0.9 45.7 30.6 6.2 6.2 1.6 1.0 38.3 23.0 6.2 5.9 1.9 1.2 34.8 18.1 7.3 5.5 2.3 1.6 29.4 12.7 6.8 5.2 2.6 2.1 -Golongan pekerja Pegawai bergaji Pekerja produktif Pekerja nonproduktif 38.2 11.9 20.0 4.3 43.6 12.5 22.4 6.8 50.5 14.2 27.8 7.8 56.9 17.0 29.2 9.3 59.0 18.3 29.3 10.1 63.3 21.3 28.2 11.5

-Tidak dipekerjakan 2.0 1.9 0.7 1.4 1.3 2.3

Sumber : Fukutake, hlm. 33

Tabel disusun berdasarkan beberapa sensus yang menunjukkan bahwa kelas orang gajian, terutama pegawai berjumlah 10% lebih sedikit. Susunan kelas seperti ini tentu saja disebabkan oleh adanya fakta bahwa jumlah penduduk yang bekerja di bidang pertanian masih besar bila pekerja-pekerja dalam keluarga ikut dihitung, jumlah mereka mencapai 45% dari seluruh penduduk. Tetapi, perubahan-perubahan yang terjadi kemudian mengakibatkan penurunan yang terus-menerus dalam proporsi orang-orang yang bekerja di bidang pertanian,


(44)

kehutanan dan perikanan. Ini disertai oleh menurunnya proporsi pengusaha perorangan yang mandiri dari 60% pada tahun 1950 menjadi kurang dari 30% pada tahun 1970, sedangkan “kelas pekerja” meningkat dari hanya di bawah 40% menjadi lebih 60%. Sementara kelas orang gajian hampir menjadi dua kali lipat, dari hanya 10% lebih sedikit menjadi hampir 20%, pekerja produktif meningkat dari 20% menjadi 30% dan mereka yang bekerja di bidang industri perdagangan dan pelayanan serta para pekerja yang tidak produktif pada umumnya menjadi hampir tiga kali lipat.

Struktur kelas yang ditunjukkan oleh tabel, menampilkan adanya beberapa gelintir kapitalis di tempat teratas disusul oleh kelas menengah lama yang terdiri dari para pengusaha mandiri terutama petani (10% lebih sedikit dari jumlah keseluruhan) dan pemilik toko serta pekerja industri pelayanan (kurang dari 10%). Kelas menengah baru yang terdiri dari kelas orang gajian (sekitar 20%) dan sejumlah kecil ahli teknik spesialis dan akhirnya kelas pekerja (sekitar 40%) (Tadashi Fukutake, 1988: 32-33). Golongan menengah baru berkembang dan mencakup banyak penduduk dan semakin banyak buruh bekerja dalam pabrik-pabrik, maka baik pegawai maupun buruh kasar muncul sebagai massa yang terlepas dari komunitas-komunitas tradisional. Seperti yang diutarakan oleh Soerjono Soekanto (1983: 70), salah satu akibat lain dari proses industrialisasi adalah munculnya kelas-kelas sosial baru di dalam masyarakat sehingga, stratifikasi sosial pun berubah. Bertambahnya penduduk di wilayah perkotaan menumbuhkan suatu kelas pekerja yang baru yang sebenarnya tidak mempunyai kekuasaan maupun prestise tertentu.


(45)

Lapisan atas dan lapisan bawah kelas pekerja tidak dapat begitu saja disatukan sebagai “pekerja”. Perbedaan antara golongan menengah baru yang berupa pegawai-pegawai dengan kelas pekerja yang menggunakan tenaga fisiknya telah semakin menipis karena status pegawai semakin menurun dan gaji bagi kelas pekerja semakin meningkat. Tetapi, masih terdapat kesenjangan antara mereka bahkan, diantara kelompok tenaga kerja fisik pun, tingkatan gaji mereka di perusahaan-perusahaan gabungan besar dan mereka yang bekerja pada perusahaan-perusahaan menengah dan kecil telah semakin mendekat menuju kesamaan, tetapi keduanya masih dianggap sebagai kelompok-kelompok yang berlainan.

Produktivitas tenaga kerja yang semakin tinggi nampaknya menyebabkan berkurangnya peningkatan relatif pekerja-pekerja produktif. Tetapi, pekerja non produktif yang bekerja di bidang penjualan dan pelayanan dengan cepat meningkat jumlahnya. Mereka juga “pekerja”, tetapi mereka tidak dapat dimasukkan di dalam kelas yang sama seperti tenaga kerja produktif. Kelompok ketiga adalah pegawai-pegawai pelayanan umum. Mereka secara relatif merupakan kelompok besar, tetapi juga tidak dapat disamakan dengan dua golongan yang lain.

Menurut Fukutake (1988: 36), golongan yang paling kurang beruntung adalah para pekerja pada perusahaan-perusahaan kecil, pekerja yang tidak dipekerjakan, orang-orang setengah umur dan lanjut usia yang kembali lagi masuk menjadi pekerja. Mereka merupakan lapisan terendah dalam masyarakat. Mereka mencakup 2,4% dari seluruh rumah tangga (masih 12 orang diantara 1000) yang hidup dengan bantuan pemerintah atau berada dalam lapisan ambang yang


(46)

mungkin sewaktu-waktu jatuh. Penduduk yang termasuk kelas-kelas ini merupakan golongan terbawah diantara kelas.

Para pemimpin Jepang sesudah Perang Dunia II memusatkan perhatian kepada pertumbuhan ekonomi, kemudian pada upah dan konsumsi dan selanjutnya pada pembiayaan untuk kesejahteraan. Menjelang tahun 1973 hanya 20% dari pembiayaan umum di Jepang diperuntukkan bagi tunjangan-tunjangan sosial. Jepang pasca Perang Dunia II tepatnya setelah pertumbuhan ekonomi pesat, Jepang masih berdiri di tengah-tengah antara negara-negara maju dan bangsa-bangsa yang sedang berkembang dengan menggabungkan aspek keduanya (Sayidiman Suryohadiprojo, 1982: 89). Inilah salah satu bangsa yang memiliki kemampuan paling besar untuk berindustri di dunia yang berakar dalam suatu sistem yang memungkinkan terjadinya upah yang tidak mencukupi (meskipun upah nominal terus-menerus naik) atau malah tidak ada jaminan untuk meningkatkan mutu lingkungan dan tingkat keselamatan sosial yang rendah yang timbul dari sikap belum dewasa. Berbagai macam alat listrik yang berjejal di dalam ruang-ruang tempat tinggal yang sempit, televisi yang jumlahnya hanya diungguli oleh Amerika, merupakan ciri Jepang modern.

Menurut Buku Tahunan Statistik Tenaga Kerja keluaran Internasional Labor Organization (tahun 1977), waktu kerja Jepang dalam seminggu adalah 40,2 jam. Jika orang menghitung sepenuhnya waktu lembur yang tidak dilaporkan, maka pekerja Jepang biasa bekerja rata-rata tiga atau empat jam lebih banyak seminggunya. Akan tetapi, meskipun demikian minggu kerja totalnya masih dalam deretan negara-negara Eropa Barat. Kerajinan orang Jepang


(47)

melampaui jam kerja buruh negara industri lainnya. Pada tahun 1978, jam kerja buruh Jepang rata-rata adalah 2146 jam (Sayidiman Suryohadiprojo, 1982 :89).

Asuransi sosial di Jepang memiliki sejarah yang sangat pendek. Asuransi merupakan suatu sistem yang diharapkan dapat memberikan penghasilan yang terjamin untuk mengimbangi hilangnya penghasilan yang disebabkan oleh usia lanjut, ketidakmampuan bekerja, kecelakaan di tempat kerja, penyakit akibat tugasnya, pengangguran dan juga untuk membayar biaya-biaya perawatan kesehatan bila orang mengalami cedera atau jatuh sakit. Tetapi, di negara Jepang terdapat kerangka simpang siur yang mengurus asuransi tunjangan kesejahteraan, tunjangan nasional, asuransi kesehatan nasional, asuransi pengangguran, asuransi ganti rugi kecelakaan pekerja, asuransi pelaut dan segala macam himpunan keuntungan timbal-balik (milik para karyawan negara tingkat pusat dan daerah, karyawan perusahaan-perusahaan pemerintah, guru-guru sekolah swasta, karyawan organisasi pertanian, kehutanan dan perikanan). Semuanya didirikan pada waktu yang berlainan dan berbeda-beda sifat dan pelayanan yang mereka lakukan. Tetapi, sistem tunjangan di Jepang secara keseluruhan baru saja dibentuk dan pembagian keuntungan baru dibayarkan mulai tahun 1971. Asuransi itu diawali oleh asuransi tunjangan tahunan pekerja tahun 1942, tetapi didirikan sebagai sarana untuk mengumpulkan dana bagi kepentingan pembiayaan militer dan bukan kesejahteraan pekerja. Taraf tunjangan tahunan itu sangat rendah, tetapi dalam pemilihan tahun 1972 sistem tunjangan tahunan itu menjadi inti perdebatan. Dengan peninjauan kembali undang-undang perpajakan tahun 1973, taraf tunjangan tahunan itu dinaikkan dan dilaksanakan sistem tunjangan tahunan menurut indeks. Hasilnya sekarang, tunjangan tahunan kesejahteraan itu adalah


(48)

sekitar 130.000 yen sebulan. Tunjangan tahunan nasional yang pada permulaan besarnya adalah 2000 yen sebulan juga telah meningkat menjadi 24.000 yen untuk pasangan suami-istri, setelah pasangan itu membayar saham tunjangan tahunan kesejahteraan selama jangka waktu yang telah ditentukan (Tadashi Fukutake, 1988: 172-173).

Ditambah lagi, Jepang berkembang terus-menerus dan mendorong tumbuhnya kota semakin banyak dan semakin besar. Di Kota-kota besar padat penduduk seperti Tokyo, harga tanah tinggi karena kebijakan tanah secara resmi kurang memadai. Kota-kota sudah mendekati batas kemampuan menerima pertambahan penduduk. Pada hakikatnya Jepang tetap merupakan masyarakat pedesaan, sebab sistem politik dan ciri dasar kecenderungan politiknya yang dominan masih bersifat pedesaan.

Kota-kota inti seperti Tokyo semakin berkembang dan menimbulkan kepincangan penduduk tidak hanya pada taraf nasional tetapi juga pada taraf lokal. Akhirnya, beberapa kota yang sangat besar beserta pinggirannya terutama Tokyo sungguh sesak karena terlalu padat penduduknya. Golongan pekerja yang jumlahnya membengkak tinggal secara berjejal-jejalan dalam apartemen-apartemen kecil yang didirikan secara pribadi dan terletak disana-sini di daerah-daerah perkotaan-perkotaan kuno/tersebar dalam kompleks-kompleks apartemen dan daerah-daerah pemukiman baru. Mereka membayar sewa tinggi untuk apartemen-apartemen satu kamar dalam bangunan kayu kecil. Dalam perkembangan Tokyo yang tidak terencana dan teratur, para penghuni bermukim diantara lokasi-lokasi industri dan mereka langsung terkena jelaga yang dihembuskan ke luar dari cerobong-cerobong pabrik. Masyarakat yang tidak


(49)

mampu membeli tanah atau menyewa apartemen, tinggal di kota yang lebih kecil di dekat Tokyo, tetapi mereka tetap bekerja di Tokyo sehingga menyebabkan Tokyo yang penuh sesak dengan orang-orang pengelaju yang naik kereta api pada jam-jam sibuk.

Ditambah lagi, karena harga tanah sangat mahal, rakyat perorangan hampir tidak mungkin mampu mendirikan rumah sendiri. Pada tahun 1950 perbandingan penduduk yang memiliki rumah adalah lebih dari 80% dan menurun drastis sampai kurang dari separuhnya menjadi 60%. Proyek perumahaan pemerintah semakin diperlukan, tetapi hanya mencapai tidak lebih dari 45% dari peningkatan tahunan dalam jumlah unit-unit tempat tinggal. Unit tempat tinggal standar dalam proyek perumahan rakyat adalah “2 DK”ruang sempit yang mungkin mendorong terjadinya peralihan menuju keluarga inti. Ruang seluas itu dapat memberikan ruang makan terpisah dari ruang-ruang tidur, tetapi untuk kamar tidur terpisah bagi anak-anak, sementara anak-anak itu semakin lama semakin dewasa. Meskipun terjadi peningkatan taraf konsumsi yang dirangsang oleh pertumbuhan ekonomi, orang-orang Jepang tidak memiliki lingkungan hidup yang memadai di tempat yang paling penting bagi mereka secara pribadi seperti rumah tinggal mereka (Tadashi Fukutake, 1988: 167).

Masyarakat Jepang pasca Perang Dunia II tepatnya pada pertumbuhan pesat ekonomi juga membuat masyarakat menjadi masyarakat yang konsumtif. Dengan didukung oleh pertumbuhan ekonomi dan didorong oleh TV serta pertunjukan-pertunjukan iklan-iklan di media massa, tingkat konsumsi terus-menerus didorong untuk meningkat. Banyak orang yang terdorong membeli mobil untuk digunakan pada waktu senggang dalam liburan padahal sesungguhnya,


(50)

mereka terpaksa tinggal dalam ruang-ruang sempit yang penuh sesak seperti dalam perumahan rakyat. Meskipun Jepang memiliki kekuatan ekonomi yang besar, namun masyarakat sulit untuk menabung untuk dapat berpindah dari perumahan rakyat ke rumah milik sendiri. Demikianlah rakyat lalu membeli mobil dan pergi bertamasya pada masa-masa libur untuk melupakan frustasi mereka (Tadashi Fukutake, 1988: 12). Ekonomi yang sangat maju dan konsumsi massa menyebabkan perkembangan penuh masyarakat massa. Pegawai dan buruh kasar meningkat sangat besar bersamaan dengan penurunan jumlah pengusaha mandiri dan pekerja keluarga. Ditambah lagi, perbedaan-perbedaan antara pegawai dengan buruh kasar telah berkurang semenjak perang. Kedua golongan itu tidak ada yang memiliki harapan untuk memperoleh jaminan sosial jangka panjang, tetapi keduanya mempunyai penghasilan cukup untuk membiayai konsumsi besar-besaran dalam masyarakat industri maju.

Ekonomi Jepang yang tumbuh pesat itu telah sangat mengubah pola-pola konsumsi dalam kehidupan sehari-hari. Sebelum perang, orang Jepang menganggap berbelanja untuk konsumsi itu sebagai suatu sifat buruk, tetapi hal tersebut menjadi lumrah setelah pertumbuhan ekonomi pesat. Pengeluaran biaya tinggi untuk konsumsi dapat dibenarkan atau bahkan membawa gengsi. Jaminan sosial yang rendah tingkatannya itu mendorong orang-orang Jepang untuk menabung dan hidup sederhana. Tetapi, teknik-teknik pemasaran yang maju telah merangsang kecenderungan orang membelanjakan uang lebih banyak untuk barang-barang konsumsi, suatu kecenderungan yang muncul secara keseluruhan.

Yang paling mencolok adalah meningkatnya pengeluaran untuk konsumsi di daerah-daerah pedesaan. Suasana konsumsi massa tingkat tinggi juga sudah


(51)

menyebar sampai ke desa-desa. Berbagai perubahan dalam pola-pola konsumsi berjalan begitu cepat sehingga menimbulkan kekacauan dalam gaya hidup. Misalnya, terdapat penghuni kompleks perumahan umum yang padat (dua kamar dan satu dapur) yang memiliki mobil yang hanya digunakan untuk apartemen yang berupa satu ruang berukuran 6 mat (kira-kira 9’ x 12’) yang penuh sesak dengan perabotan dan perkakas, sehingga hampir tidak ada tempat lagi bagi setiap orang untuk tidur. Jepang menyamai negara-negara terkemuka di dunia dalam hal pemerataan barang-barang konsumsi tahan lama, namun masih tetap terdapat kemiskinan lingkungan material. Meskipun Jepang setelah pertumbuhan ekonomi pesat memiliki sepersepuluh aset residensial Amerika Serikat dan kira-kira sepertiga aset Jerman Barat, namun tidak diragukan lagi bahwa lingkungan hidupnya sangat tidak memadai (Tadashi Fukutake, 1988: 134).

Menurut Tadashi Fukutake (1988: 12), perpaduan antara perumahan rakyat yang tidak mencukupi dan kepemilikan kendaraan secara pribadi menggambarkan secara jelas keadaan pada umumnya dalam masyarakat Jepang modern. Tidak mungkin orang membangun kebudayaan konsumen yang menjamin adanya rasa aman bagi orang-orang berusia lanjut kalau rata-rata pekerja tidak dapat membeli rumah meskipun menggunakan seluruh penghasilan pensiunannya. Nilai-nilai setelah pertumbuhan ekonomi pesat, telah menjurus tajam menuju maihōmushugi (“rumahku-isme), yang mencukupi suatu keinginan untuk pertama-tama mendahulukan keluarga sendiri dan pemenuhan kebutuhan. Penduduk dengan tingkat upah rendah yang mengejar pemenuhan keinginan sesaat, mencari jalan keluar sementara dari kenyataan-kenyataan hidup dengan salah satu bentuk perjudian atau dalam bentuk hiburan-hiburan lainnya.


(52)

Pembaharuan-pembaharuan teknik telah meningkatkan mekanisasi kerja dalam pabrik-pabrik yang besar. Dalam industri berat, mesin-mesin dimasukkan untuk menggeser tenaga kerja, memaksa mereka menyesuaikan gerakan mereka dengan mesin-mesin itu. Kerja tangan telah sangat berkurang tetapi sebaliknya, buruh terpaksa melakukan pekerjaan yang membosankan yaitu mengawasi bekerjanya proses mesin otomatis. Sehingga, buruh mengalami kesulitan mendapat kepuasan di dalam pekerjaannya. Bila seorang buruh berminat terhadap pekerjaannya dan merasakannya sebagai hal yang menyenangkan biasanya hal ini tidak disebabkan oleh pekerjaan itu sendiri, tetapi karena upah yang diterimanya memuaskan atau karena gengsi yang diperoleh dari pekerjaan itu. Demikianlah, seorang buruh cenderung mengalami masa keterasingan-ditinggalkan (Tadashi Fukutake, 1988: 115).

Penggunaan komputer dan cepatnya perubahan menuju mesin-mesin otomatis telah memaksa pekerjaan semakin dirasionalisasikan. Menurut salah satu pandangan, penerangan hasil-hasil teknologi maju tampak memerlukan pengetahuan dan latihan tingkat tinggi, dengan demikian mendorong berkembangnya spesialisasi pekerjaan. Tetapi, jumlah ahli-ahli teknik yang benar-benar mengurus pabrik otomatis sangat kecil bila dibandingkan dengan sejumlah besar buruh yang harus tunduk kepada mesin-mesin, melakukan kegiatan penuh yang terus berulang-ulang atau hanya mengawasi kegiatan mesin-mesin. Pekerjaan sederhana itu diulangi terus-menerus menurut irama mesin. Kerja hanya menjadi sarana untuk memperoleh upah demi memenuhi kebutuhan hidup. Buruh harus menangani dengan setia giliran proses memproduksi yang disodorkan kepadanya dengan ban berjalan menjadi tidak lebih daripada sebuah roda gigi


(53)

dalam suatu mesin besar. Buruh yang jumlahnya banyak sekali ini dapat sampai kehilangan kepribadiannya sebagai manusia. Mereka tidak mempunyai harapan untuk dapat memelihara identitas mereka sebagai manusia di tempat-tempat kerja mereka. Kerja tangan sudah sangat berkurang tetapi sebaliknya, buruh terpaksa melakukan pekerjaan yang membosankan yaitu mengawasi bekerjanya proses mesin otomatis. Saat bekerja, buruh dipaksa untuk tidak memalingkan pandangannya dari jarum-jarum pengukur barang walaupun sebentar yang membuat mereka terasing dari hubungan-hubungan manusiawi yang wajar. Buruh lebih mengalami kelelahan mental daripada fisik (Tadashi Fukutake, 1988: 116).

Buruh seperti itu harus mencari kesegaran di luar pekerjaannya. Sehingga, sering kali buruh mencoba menemukan kembali identitas pribadinya dengan bersenang-senang atau berjudi. Jam kerja pabrik-pabrik di Jepang masih lebih panjang daripada jam kerja di negeri-negeri maju lainnya, meskipun pada awal tahun 1979 jam kerja itu telah diturunkan menjadi 41,1 jam yang berarti berkurang 7 jam di rata-rata jam kerja tahun 1960 yang lamanya adalah 48,1 jam. Kerja 5 hari seminggu mulai dilaksanakan kira-kira tahun 1970 dan memberikan dua hari libur penuh setiap minggu. Perbaikan persyaratan kerja akan membebaskan buruh sampai taraf tertentu dari keterasingan yang dideritanya sementara ia bekerja. Tetapi, tidak ada perbaikan-perbaikan untuk lebih mendekatkan buruh kepada naungan keluarga mereka tetapi kebijakan pemerintah hanya menyediakan kesempatan-kesempatan untuk menebus kembali frustasi yang ditimbulkan oleh suasana kerja dengan hiburan-hiburan di waktu senggang saja, sehingga masalah identitas pribadi disaat bekerja itu tidak terpecahkan. Menurut survei yang dilakukan oleh Kementrian Tenaga Kerja pada tahun 1974,


(54)

dengan mempertimbangkan rata-ratanya secara keseluruhan, buruh merasakan bahwa kehidupan ini paling berharga pada saat mereka sedang mencurahkan perhatian kepada pekerjaan mereka dan pada saat mereka memperoleh pengakuan dari orang lain karena pekerjaannya itu (Tadashi Fukutake, 1988: 120).

Tabel 3.2 Perubahan Sikap terhadap Pekerjaan (%)

1962 1970 Karena pekerjaan adalah tugas manusia, maka saya bekerja

sebanyak waktu yang tersedia 16.2 11.0

Pekerjaan adalah suatu kesenangan 9.6 8.3

Bekerja adalah bekerja; bermain adalah bermain 41.2 39.6

Bekerja adalah sarana untuk mencari nafkah 6.7 4.6

Saya senang bekerja, tetapi rekreasi juga penting 21.6 28.6

Saya mau melakukan yang saya inginkan dan bilamana saya

inginkan 1.6 4.4

Tidak ada kesimpulan atau tanpa jawaban 3.2 3.6

Sumber: Fukutake, hlm. 119

Dari tabel tersebut dapat dianalisis bahwa terlihat penurunan yang menonjol dalam jumlah orang-orang yang menganggap pekerjaan itu sebagai suatu kewajiban dan peningkatan orang-orang yang berpendapat pentingnya rekreasi. Tambahan pula meskipun persentase orang-orang yang ingin melakukan apa yang mereka kehendaki bila mereka menghendakinya adalah masih sedikit jumlahnya, namun jumlah mereka yang mementingkan sikap seperti itu meningkat cukup banyak. Hasil-hasil survei kemudian oleh Pusat Riset tersebut tidak ditunjukkan dalam tabel karena pertanyaannya sendiri telah berubah, tetapi hasil survei tahun 1976 dapat diringkaskan seperti berikut: tujuh persen dari responden menganggap pekerjaan mereka sebagai sesuatu yang menjamin


(55)

kehidupan, mereka yang menikmati kehidupan santai tetapi lebih menekankan pentingnya bekerja berjumlah 43%, mereka yang mementingkan baik kehidupan santai maupun pekerjaan adalah 30%, mereka yang lebih berminat pada kehidupan santai daripada bekerja berjumlah 11% dan mereka yang menumpahkan perhatiannya hanya untuk kehidupan santai berjumlah 4%. Dalam survei tahun 1975 oleh Kantor Perdana Menteri, 46% dari responden mengatakan bahwa mereka merasakan pemenuhan diri (a sense of fulfillment) bila berada bersama keluarganya. Angka ini jauh melebihi jumlah mereka yang merasa menghayati pemenuhan diri sebesar-besarnya bila mereka sedang mencurahkan perhatian mereka pada pekerjaannya yaitu 33% (Tadashi Fukutake, 1988: 119-120).

2.3.3 Hubungan Pekerja dengan Masyarakat

Pada saat mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat yaitu antara tahun 1950-1980, Jepang sebenarnya masih berdiri ditengah-tengah antara negara-negara maju dan bangsa-bangsa yang sedang berkembang dengan menggabungkan aspek-aspek dari keduanya. Jepang adalah salah satu bangsa yang memiliki kemampuan paling besar untuk berindustri di dunia yang berakar pada suatu sistem yang memungkinkan terjadinya upah yang tidak mencukupi dan tidak ada jaminan untuk meningkatkan mutu lingkungan dan tingkat keselamatan sosial sangat rendah.

Kerangka sosial tradisional masyarakat semakin lemah disertai dengan berhamburnya penduduk meninggalkan tempatnya. Masyarakat kapitalis yang


(1)

b. Hubungan pekerja dengan atasan terjalin hanya atas dasar keuntungan bagi kelompok yang dalam hal ini adalah perusahaan.

c. Komunikasi yang akrab terjadi diantara pekerja yang memiliki jabatan yang sama.

d. Interaksi pekerja dengan anggota keluarga semakin kecil karena kesibukan bekerja. Terutama hubungan pekerja dengan orangtua. Karena orangtua tidak lagi dianggap sebagai tanggungan anak, akhirnya orangtua banyak yang ditelantarkan.

e. Keadaan keluarga kelas pekerja berubah dari ie menjadi kaku-kazoku dan kedudukan wanita semakin kuat sebagai seorang individu dan tidak lagi terikat dengan ie.

4. Melalui komik Abandon the Old in Tokyo bisa dilihat pemerintah Jepang hanya sibuk meningkatkan GNP negaranya demi mengembalikan nama baik Jepang setelah kalah Perang Dunia II. Namun, pemerintah lupa untuk meningkatkan kesejahteraan sosial dan kualitas lingkungan. Pemerintah lupa bahwa rakyat membutuhkan jaminan sosial dari pemerintah.

5. Perubahan sistem ie (keluarga dengan garis keturunan) menjadi kaku kazoku (keluarga inti) yang ditetapkan pemerintah sebagai norma telah membawa dampak kepada masyarakat. Perubahan ie menjadi kaku kazoku

membuat peranan nenek/kakek menjadi tidak ada, karena orang tua tidak lagi memiliki hak untuk hidup dengan anak laki-laki sulungnya dan kakek atau nenek tidak lagi memiliki wewenang untuk mendidik cucunya, karena


(2)

keluarga inti, prestise keluarga ditunjukkan dengan keadaan ekonomi keluarga, sehingga nilai maihōmushugi (“rumahku-isme”) yaitu, mencukupi suatu keinginan untuk pertama-tama mendahulukan keluarga sendiri semakin kuat.

6. Masyarakat Jepang adalah masyarakat yang menjunjung tinggi kelompok daripada individu. Pada masa pertumbuhan ekonomi pesat (1950-1980), perusahaan adalah salah satu tempat untuk menunjukkan fungsi seseorang di dalam kelompok. Pekerja bekerja di perusahaan bukan hanya untuk mendapatkan uang tetapi juga untuk mendapatkan pengakuan sebagai anggota satu kelompok. Karena itu, pekerja rela bekerja keras untuk meningkatkan nama baik kelompoknya.

7. Kesibukan bekerja membuat para pekerja lupa berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya termasuk keluarga. Pekerja hanya memfokuskan diri berinteraksi dengan lingkungan kerja untuk diakui dalam satu kelompok yang tidak bisa menghalau rasa kesepian dan jenuh terhadap pekerjaannya. Apalagi bagi kaum buruh yang jarang menjalin komunikasi dengan rekan kerjanya. Karena rasa frustasi dari pekerjaan dan kurangnya komunikasi dengan sesama karena kesibukan kerja, pekerja akhirnya melampiaskan rasa frustasi dan rasa kesepian ke klub-klub malam dan perjudian.

8. Orangtua lanjut usia dan orang cacat semakin tertinggal karena tidak adanya undang-undang yang secara tegas melindungi mereka. Ditambah lagi, generasi yang menganggap orangtua bukanlah tanggungan keluarga


(3)

semakin banyak. Anggapan itu didukung oleh konsep keluarga inti yang diterapkan oleh pemerintah dan perilaku konsumtif orang Jepang walaupun biaya hidup sangat mahal. Selain itu, tempat tinggal tidak memadai untuk menampung satu keluarga besar, sehingga orang tua yang tidak produktif dan menambah biaya pun, akhirnya cenderung ditelantarkan.

4.2 Saran

1. GNP memang penting untuk meningkatkan perekonomian Jepang dan usaha-usaha untuk meningkatkannya pun tidak boleh ditinggalkan, tetapi peningkatan GNP haruslah berjalan sama baiknya dengan peningkatan kesejahteraan sosial masyarakat. Seharusnya, GNP dimanfatkan juga untuk kesejahteraan masyarakatnya, sehingga peningkatan GNP dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sejalan.

2. Pemerintah juga harus menetapkan undang-undang yang tegas untuk melindungi orang-orang yang sangat miskin, jompo dan orang-orang cacat. Karena, setiap orang harusnya tumbuh menuju usia lanjut tanpa menyesal bahwa ia telah hidup begitu lama dan orang-orang yang mengalami cacat mental atau fisik harusnya dapat hidup dengan wajar. Jepang seharusnya menjadi masyarakat yang benar-benar bisa menjamin kehidupan setiap orang baik mereka yang bekerja ataupun tidak dapat bekerja, sehingga terwujud satu kehidupan yang sejahtera dan berbudaya.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Bonneff, Marcel. 1998. Komik Indonesia. Jakarta : Gramedia Kepustakaan Populer.

Budianta, Melani dkk. 2008. Membaca Sastra. Jakarta : Indonesia Tera Anggota IKAPI.

Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra : Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Fananie, Zainuddin. 2001. Telaah Sastra. Surakarta : Muhammadiyah University Press.

Fukutake, Tadashi. 1988. Masyarakat Jepang Dewasa Ini. Jakarta : Gramedia.

Koentjaraningrat. 1976. Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : Gramedia.

Mahayana, S. Maman. 2005. Sembilan Jawaban Sastra Indonesia. Jakarta : Bening Publishing.

Nakane, Chie. 1981. Masyarakat Jepang. Jakarta : Penerbit Sinar Harapan.

Nurgiantoro, Burhan. 1998. Teori Pengkajian Fiksi.Yogyakarta : Gajah Mada University Press.

Parinduri, Nur Ilyani. Analisis Sosiologis terhadap Novel Musashi Karya Eiji Yoshikawa. (Skripsi Sarjana). Medan : FIB USU.


(5)

Pradopo, Rachmat Djoko. 2003. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Reischauer, Edwin O. 1981. JAPAN : The Story of a Nation. Tokyo : Charles E Tuttle Company.

Saso, Mary dan Stuart Kirby. 1982. Japanese Industrial Competition to 1990. Massachusetts : Abt Books Cambridge, Massachusetts.

Soekanto, Soerjono. 1982. Sosiologi : Suatu Pengantar. Jakarta : CV. Rajawali.

Soekanto, Soerjono. 1983. Pribadi dan Masyarakat. (Suatu Tinjauan Sosiologis).

Bandung : Penerbit Alumni.

Suryohadiprojo, Sayidiman. 1982. Manusia dan Masyarakat Jepang Dalam Perjoangan Hidup. Jakarta : Penerbit UI Press & Pustaka Bradjaguna.

Takafusa, Nakamura 1985. Perkembangan Ekonomi Jepang Moderen. Singapura : Kementerian Luar Negeri Jepang.

Tatsumi, Yoshihiro. 2006. Abandon the Old in Tokyo. Montreal : Drawn and Quarterly Publication.

Vogel, Ezra. F. 1982. Jepang Jempol : Pelajaran Untuk Amerika Serikat. Jakarta : Penerbit Sinar Harapan.

Widyahartono, Bob. 2003. Belajar dari Jepang : Keberhasilan Sebagai Negara Industri Maju Asia. Jakarta : Salemba Empat.


(6)

Wellek, Rene & Austin Warren, 1995. Teori Kesusastraan. Jakarta : Gramedia.

Diakses tanggal 10 November 2012.

November 2012.

Diakses tanggal 10

November 2012.

en.wikipedia.org/wiki/Manga. Diakses tanggal 15 Maret 2013.