Ketahanan Pangan Dalam Pembangunan Perta
KETAHANAN PANGAN
DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN
“Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pembangunan Pertanian”
Disusun Oleh :
Kelompok 3
Wendi Irawan D
150310080137
Miswinda
150310080143
Eva Riani
150310080145
Deria Hadianisa
150310080147
Rijal Aizz
150310080159
Dwi Hapsari
150310080160
Dityo Gunarto
150310080164
Januar Irvansyah
150310080168
Karnati
150310080174
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2010
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum, wr, wb..
Pertama-tama kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Tuhan Yang
Maha Esa, atas berkat rakhmat dan ridhoNya kami dapat menyusun dan menyelesaikan tugas
untuk Mata Kuliah Pembangunan Pertanian ini dengan maksimal dan tepat waktu.
Selaku penyusun makalah ini kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari
para pembaca sehingga makalah ini dapat tersaji menjadi lebih baik dan sesuai dengan yang
diharapkan.
Atas perhatian dan waktunya, kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Wassalamu’alaikum, wr, wb.
Jatinangor,
Desember 2010
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Sejak kritis multidimensi tahun 1997, kemampuan Indonesia untuk memenuhi sendiri
kebutuhan pangan bagi penduduk terus menurun. Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa
untuk memenuhi kebutuhan pangan bagi bangsa Indonesia yang jumlahnya lebih dari 210 juta
jiwa. Indonesia harus mengimpor bahan pangan seperti beras 2 juta ton, jagung lebih dari 1 juta
ton, kedelai lebih dari 1 juta ton, kacang tanah lebih dari 0,8 juta ton, gula pasir 1,6 juta ton,
ternak hidup setara 82 ribu ton, daging 39 ribu ton, susu dan produknya 99 ribu ton per tahun.
Selama kurun waktu 1997-2001, produktivitas padi menurun 0,38% per tahun, juga beberapa
komuditas pangan, pada periode ini juga terjadi pertumbuhan permintaan pangan yang terus
meningkat dan tidak diikut peningkatan produksi.Kenyataan ini menunjukkan bahwa kebutuhan
pangan tidak mampu dipenuhi dari produksi nasional. Sebagai akibatnya, kebutuhan pangan
harus dipenuhi dari impor. Hal ini merupakan kondisi yang tidak baik karena impor menguras
banyak devisa serta tidak strategis bagi kepentingan ketahanan pangan nasional dalam jangka
panjang (BKP, 2006). Kesenjangan antara ketersediaan dan konsumsi ini merupakan indikasi
lemahnya daya akses rumah tangga terhadap pangan. Disisi penyediaan pangan, walaupun saat
ini volumenya mencukupi, namun saat ini Indonesia menghadapi tantangan yang cukup serius
yaitu laju percepatan konsumsi, terutama didorong oleh pertumbuhan penduduk yang lebih cepat
dibadingkan laju pertumbuhan produksi. (BKP, 2006).
1.2
Tujuan
Tujuan adanya makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Pembangunan
Pertanian. Dimana dengan adanya tugas ini kami diharapkan dapat lebih
mengetahui dan
memahami masalah mengenai ketahan pangan dalam pembangunan pertanian di Indonesia.
1.1
Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan makalah ini adalah dengan mengambil literature di berbagai
bersumber dari media internet.
BAB II
PEMBAHASAN
DEFINISI
Undang-Undang Pangan No.7 Tahun 1996 memberikan definisi ketahanan pangan
sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari
tersedianya pangan secara cukup, baik dari jumlah maupun mutunya, aman, merata dan
terjangkau. Sementara USAID (1992) mendefinisikan ketahanan pangan sebagai satu kondisi
dimana masyarakat pada satu yang bersamaan memiliki akses yang cukup baik secara fisik
maupun ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dietary dalam rangka untuk peningkatan kesehatan
dan hidup yang lebih produktif. Perbedaan mendasar dari dua definisi ketahanan pangan tersebut
yaitu pada UU No 7/1996 menekankan pada ketersediaan, rumah tangga dan kualitas (mutu)
pangan. Sedangkan pada definisi USAID menekankan pada konsumsi, individu dan kualitas
hidup. FAO (1997) mendefinisikan ketahanan pangan sebagai situasi di mana semua rumah
tangga mempunyai akses baik fisik maupun ekonomi untuk memperoleh pangan bagi seluruh
anggota keluarganya, dan di mana rumah tangga tidak beresiko mengalami kehilangan kedua
akses tersebut. Hal ini berarti konsep ketahanan pangan mencakup ketersediaan yang memadai,
stabilitas dan akses terhadap pangan-pangan utama. Determinan dari ketahanan pangan dengan
demikian adalah daya beli atau pendapatan yang memadai untuk memenuhi biaya hidup (FAO,
1996).
Berdasarkan pengertian dan konsep tersebut di atas maka beberapa ahli sepakat bahwa
ketahanan pangan minimal mengandung dua unsur pokok yaitu ”ketersediaan pangan dan
aksesibilitas masyarakat terhadap pangan”. Salah satu unsur tersebut tidak dipenuhi maka
suatu negara belum dapat dikatakan mempunyai ketahanan pangan yang baik (Arifin, 2004).
Walaupun pangan tersedia cukup di tingkat nasional dan regional, tetapi jika akses individu
untuk memenuhi kebutuhan pangannya tidak merata, maka ketahanan pangan masih dikatakan
rapuh. Akses terhadap pangan, ketersediaan pangan dan resiko terhadap akses dan ketersediaan
pangan tersebut merupakan determinan yang esensial dalam ketahanan pangan (Von Braun et al,
1992).
KONSEP KETAHANAN PANGAN
Indonesia menerima konsep ketahanan pangan, yang dilegitimasi pada Undang-undang
pangan Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan Undang-Undang ini ditindaklanjuti dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. Indonesia memasukkan
mutu, keamanan, dan keragaman sebagai kondisi yang harus terpenuhi dalam pemenuhan
kebutuhan pangan penduduk secara cukup, merata dan terjangkau.
Ketahanan pangan minimal harus dua unsur pokok, yaitu ketersediaan dan aksebelitas
masyarakat terhadap pangan (Bustanul Arifin, 2004). Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996
tentang pangan :
a. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air baik yang diolah
maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan dan minuman bagi
konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan dan bahan lain
yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan atau pembuatan makanan dan
minuman.
b. Pangan olahan adalah makanan atau minuman hasil proses dengan cara atau metode
tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan.
c. Sistem pangan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pengaturan, pembinaan,
dan atau pengawasan terhadap kegiatan atau proses produksi pangan dan peredaran pangan
sampai dengan siap dikonsumsi manusia.
d. Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari
kemungkinan cemaran kimia, biologis dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan
dan membahayakan kesehatan manusia.
e. Mutu pangan adalah nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan pangan, kandungan
gizi, dan standart perdagangan terhadap bahan makanan, makanan dan minuman.
f. Gizi pangan adalah zat atau senyawa yang terdapat dalam pangan yang terdiri atas
karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral serta turunnya yang bermanfaat bagi
pertumbuhan dan kesehatan manusia.
g. Kemasan pangan adalah bahan yang digunakan untuk mewadahi atau membungkus
pangan, baik yang bersentuhan langsung dengan pangan maupun yang tidak.
h. Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin
dari tersedianya pangan yang cukup.
INDIKATOR KETAHANAN PANGAN
Berdasarkan definisi ketahanan pangan dari FAO (1996) dan UU RI No. 7 tahun 1996,
yang mengadopsi definisi dari FAO, ada 4 komponen yang harus dipenuhi untuk mencapai
kondisi ketahanan pangan yaitu:
1. Kecukupan ketersediaan pangan
Ketersediaan pangan dalam rumah tangga yang dipakai dalam pengukuran mengacu pada
pangan yang cukup dan tersedia dalam jumlah yang dapat memenuhi kebutuhan konsumsi rumah
tangga. Penentuan jangka waktu ketersediaan makanan pokok di perdesaan biasanya dilihat
dengan mempertimbangkan jarak antara musim tanam dengan musim tanam berikutnya (Suharjo
dkk, 1985:45).
Sebagai contoh, di daerah dimana penduduknya mengkonsumsi beras sebagai makanan
pokok digunakan cutting point 240 hari sebagai batas untuk menentukan apakah suatu rumah
tangga memiliki persediaan makanan pokok cukup/tidak cukup. Penetapan cutting point ini
didasarkan pada panen padi yang dapat dilakukan selama 3 kali dalam 2 tahun. Pada musim
kemarau, dengan asumsi ada pengairan, penduduk dapat musim tanam gadu, yang berarti dapat
panen 2 kali dalam setahun. Tahun berikutnya, berarti musim tanam rendeng, dimana penduduk
hanya panen 1 kali setahun karena pergantian giliran pengairan. Demikian berselang satu tahun
penduduk dapat panen padi 2 kali setahun sehingga rata-rata dalam 2 tahun penduduk panen padi
sebanyak 3 kali.
Dengan demikian kondisi ketersediaan pangan dapat diukur sebagai berikut:
Jika persediaan pangan rumah tangga >240 atau =240 hari, berarti pesediaan pangan
rumah tangga cukup
Jika persediaan pangan rumah tangga antara 1 - 239 hari, berarti pesediaan pangan rumah
tangga kurang cukup
Jika rumah tangga tidak punya persediaan pangan, berarti pesediaan pangan rumah
tangga tidak cukup.
2. Stabilitas ketersediaan
Stabilitas ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga diukur berdasarkan kecukupan
ketersediaan pangan dan frekuensi makan anggota rumah tangga dalam sehari. Satu rumah
tangga dikatakan memiliki stabilitas ketersediaan pangan jika mempunyai persediaan pangan
diatas cutting point (240 hari) dan anggota rumah tangga dapat makan 3 (tiga) kali sehari sesuai
dengan kebiasaan makan penduduk di daerah tersebut.
Dengan asumsi bahwa di daerah tertentu masyarakat mempunyai kebiasaan makan 3 (tiga)
kali sehari, frekuensi makan sebenarnya dapat menggambarkan keberlanjutan ketersediaan
pangan dalam rumah tangga. Dalam satu rumah tangga, salah satu cara untuk mempertahankan
ketersediaan pangan dalam jangka waktu tertentu adalah dengan mengurangi frekuensi makan
atau mengkombinasikan bahan makanan pokok (misal beras dengan ubi kayu). Penelitian yang
dilakukan PPK-LIPI di beberapa daerah di Jawa Barat juga menemukan bahwa mengurangi
frekuensi makan merupakan salah satu strategi rumah tangga untuk memperpanjang ketahanan
pangan mereka (Raharto, 1999; Romdiati, 1999).
Lebih lanjut, kombinasi antara ketersediaan makanan pokok dengan frekuensi makan sebagai
indikator kecukupan pangan, menghasilkan indikator stabilitas ketersediaan pangan yang dapat
dilihat pada tabel berikut:
Kecukupan ketersediaan
pangan
Frekuensi makan anggota rumah tangga
> 3 kali
2 kali
1 kali
> 240 hari
Stabil
Kurang stabil
Tidak stabil
1 -239 hari
Kurang stabil
Tidak stabil
Tidak stabil
Tidak stabil
Tidak stabil
Tidak stabil
Tidak ada persediaan
Tabel 1 : Penetapan indikator stabilitas ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga
3. Aksesibilitas/keterjangkauan terhadap pangan
Indikator aksesibilitas/keterjangkauan dalam pengukuran ketahanan pangan di tingkat rumah
tangga dilihat dari kemudahan rumahtangga memperoleh pangan, yang diukur dari pemilikan
lahan serta cara rumah tangga untuk memperoleh pangan. Akses yang diukur berdasarkan
pemilikan lahan dikelompokkan dalam 2 (dua) kategori:
Akses langsung (direct access), jika rumah tangga memiliki lahan sawah/ladang
Akses tidak langsung (indirect access) jika rumah tangga tidak memiliki lahan
sawah/ladang.
Cara rumah tangga memperoleh pangan juga dikelompokkan dalam 2 (dua) kateori yaitu
produksi sendiri dan membeli.
Dari pengukuran indikator aksesibilitas ini kemudian diukur indikator stabilitas ketersedian
pangan yang merupakan penggabungan dari stabilitas ketersediaan pangan dan aksesibilitas
terhadap pangan. Indikator stabilitas ketersediaan pangan ini menunjukkan suatu rumah tangga
apakah : (1) mempunyai persediaan pangan cukup, (2) konsumsi rumah tanga normal dan
(3) mempunyai akses langsung tarhadap pangan
Indikator kontinyuitas ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga dapat dilihat dalam tabel
berikut.
Akses terhadap
pangan
Akses langsung
Akses tidak
langsung
Stailitas ketersediaan pangan rumah tangga
Stabil;
Kurang stabil
Tidak stabil
Kontinyu
Kurang kontinyu
Tidakkontinyu
Kurang kontinyu
Tidak kontinyu
Tidak kontinyu
Tabel 2.: Penetapan indikator kontinyuitas ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga
4. Kualitas/Keamanan Pangan
Kualitas/keamanan jenis pangan yang dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan gizi.
Ukuran kualitas pangan seperti ini sangat sulit dilakukan karena melibatkan berbagai macam
jenis makanan dengan kandungan gizi yang berbeda-beda., sehingga ukuran keamanan pangan
hanya dilihat dari ‘ada’ atau ‘tidak’nya bahan makanan yang mengandung protein hewani
dan/atau nabati yang dikonsumsi dalam rumah tangga. Berdasarkan kriteria ini rumah tangga
dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori, yaitu:
1. Rumah tangga dengan kualitas pangan baik adalah rumah tangga yang memiliki pengeluaran
untuk lauk-pauk berupa protein hewani dan nabati atau protein hewani saja.
2. Rumah tangga dengan kualitas pangan kurang baik adalah rumah tangga yang memiliki
pengeluaran untuk lauk-pauk berupa protein nabati saja.
3. Rumah tangga dengan kualitas pangan tidak baik adalah rumah tangga yang tidak memiliki
pengeluaran untuk lauk-pauk berupa protein baik hewani maupun nabati.
Keempat indikator ini merupakan indikator utama untuk mendapatkan indeks ketahanan
pangan. Ukuran ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dihitung bertahap dengan cara
menggambungkan keempat komponen indikator ketahanan pangan tersebut, untuk mendapatkan
satu indeks ketahanan pangan.
Kontinyuitas
ketersediaan
pangan
Kulaitas/keamanan pangan: Konsumsi protein hewani dan/atau nabati
Kontinyu
Kurang
kontinyu
Protein hewani dan
nabati/protein hewani
saja
Protein nabati saja
Tidak ada konsumsi
protein hewani, dan
nabati
Tahan
Kurang tahan
Tidak tahan
Kurang tahan
Tidak tahan
Tidak tahan
Tidak tahan
Tidak tahan
Tidak kontinyu Tidak tahan
Tabel 4 : Indeks ketahanan pangan rumah tangga
Berdasarkan matrik tersebut, maka rumah tangga dapat dibedakan menjadi tiga kategori,
yaitu:
1. Rumah tangga tahan pangan adalah rumah tangga yang memiliki persedian pangan
/makanan pokok secara kontinyu (diukur dari persediaan makan selama jangka masa satu
panen dengan panen berikutnya dengan frekuensi makan 3 kali atau lebih per hari serta
akses langsung) dan memiliki pengeluaran untuk protein hewani dan nabati atau protein
hewani saja
2. Rumah tangga kurang tahan pangan adalah rumah tangga yang memiliki:
Kontinuitas pangan/makanan pokok kontinyu tetapi hanya mempunyai pengeluaran
untuk protein nabati saja
Kontinuitas ketersdiaan
pangan/makanan
kurang
kontinyu
dan
mempunyai
pengeluaran untuk protein hewani dan nabati
3.
Rumah tangga tidak tahan pangan adalah rumah tangga yang dicirikan oleh:
Kontinyuitas keterrsediaan pangan kontinyu, tetapi tidak memiliki pengeluaran untuk
protein hewani maupun nabati
Kontinyuitas keterrsediaan pangan kontinyu kurang kontinyu dan hanya memiliki
pengeluaran untuk protein hewani atau nabati, atau tidak untuk kedua-duanya.
Kontinyuitas keterrsediaan pangan tidak kontinyu walaupun memiliki pengeluaran
untuk protein hewani dan nabati
Kontinyuitas keterrsediaan pangan tidak kontinyu dan hanya memiliki pengeluaran
untuk protein nabati saja, atau tidak untuk kedua-duanya.
KASUS- KASUS MENGENAI KETAHANAN PANGAN
Issue – Issue dalam Ketahanan Pangan
Rendahnya laju peningkatan produksi pangan dan terus menurunnya produksi di
Indonesia antara lain disebabkan oleh: (1) Produktivitas tanaman pangan yang masih rendah dan
terus menurun; (2) Peningkatan luas areal penanaman-panen yang stagnan bahkan terus menurun
khususnya di lahan pertanian pangan produktif di pulau Jawa. Kombinasi kedua faktor di atas
memastikan laju pertumbuhan produksi dari tahun ke tahun yang cenderung terus menurun.
Untuk mengatasi dua permasalahan teknis yang mendasar tersebut perlu dilakukan upaya-upaya
khusus dalam pembangunan pertanian pangan khususnya dalam kerangka program ketahanan
pangan nasional.
Berikut beberapa upaya yang dilakukan oleh pemerintah, diantaranya :
1. Upaya Meningkatkan Produktivitas Tanaman Pangan
Faktor dominan penyebab rendahnya produktivitas tanaman pangan adalah (a) Penerapan
teknologi budidaya di lapangan yang masih rendah; (b) Tingkat kesuburan lahan yang terus
menurun (Adiningsih, S, dkk., 1994), (c) Eksplorasi potensi genetik tanaman yang masih belum
optimal (Guedev S Kush, 2002). Maka dilakukan beberapa upaya agar permasalahan tersebut
dapat teratasi, diantaranya :
Memberikan subsidi teknologi kepada petani dan melibatkan stakeholder dalam melakukan
percepatan perubahan (Saragih, 2003). Subsidi teknologi yang dimaksud adalah adanya modal bagi
petani untuk memperoleh atau dapat membeli teknologi produktivitas dan pengawalannya
sehingga teknologi budidaya dapat dikuasai secara utuh dan efisien sampai tahap pasca panennya.
Soil Management untuk mengembalikan kesuburan tanah dengan memasukkan berbagai
ragam mikroba pengendali yang mempercepat keseimbangan alami dan membangun bahan
organik tanah, kemudian diikuti dengan pemupukan dengan jenis dan jumlah yang tepat
dan berimbang serta teknik pengolahan tanah yang tepat.
2. Upaya Menambah Perluasan Lahan Pertanian Baru
Lahan kering di Indonesia sebesar 11 juta hektar yang sebagian besar berupa lahan tidur dan
lahan marginal sehingga tidak produktif untuk tanaman pangan. Di Pulau Jawa yang padat
penduduk, rata-rata pemilikan lahan usaha tani berkisar hanya 0,2 ha/KK petani. Namun, banyak
pula lahan tidur yang terlantar. Ada 300.000 ha lahan kering terbengkelai di Pulau Jawa dari
kawasan hutan yang menjadi tanah kosong terlantar. Masyarakat sekitar hutan dengan desakan
ekonomi dan tuntutan lapangan kerja tidak ada pilihan lain untuk memanfaatkan lahan-lahan
kritis dan lahan kering untuk usaha tani pangan seperti jagung, padi huma dan kedelai serta
kacang tanah. Secara alamiah hal ini membantu penambahan luas lahan pertanian pangan,
meskipun disadari bahwa produktivitas di lahan tersebut masih rendah, seperti jagung 2,5 – 3,5
ton/ha dan padi huma 1,5 ton/ha dan kedelai 0,6 – 1,1 ton/ha, tetapi pemanfaatannya berdampak
positif bagi peningkatan produksi pangan.
Melihat kenyataan di atas maka solusi terbaik adalah: (1) pemerintah sebaiknya
memberikan ijin legal atas hak pengelolaan lahan yang telah diusahahan petani yaitu semacam
HGU untuk usaha produktif usaha tani tanaman pangan sehingga petani dapat memberikan
kontribusi berupa pajak atas usaha dan pemanfaatan lahan tersebut, (2) memberikan bimbingan
teknologi budidaya khususnya untuk menerapkan teknologi organik dan Bio/hayati guna
meningkatkan kesuburan lahan dan menjamin usaha tani yang berkelanjutan dan ramah
lingkungan dan (3) Melibatkan stakeholder dan swasta yang memiliki komitmen menunjang
dalam sistem Agribisnis tanaman pangan sehingga akan menjamin kepastian pasar, sarana input
teknologi produktivitas dan nilai tambah dari usaha tani terpadunya. Pengelolaan lahan kering
untuk pertanian dapat dilakukan dengan menerapkan teknologi produktivitas organik agar
memberikan kontribusi yang nyata bagi peningkatan produksi pangan dan kesejahteraan
masyarakat. Sebagai contoh jika 150.000 ha lahan ini digunakan untuk budidaya Jagung jika
dengan tambahan teknologi produktivitas organik dapat menghasilkan rata-rata 6,5 ton/ha yang
dilakukan dengan 2 kali MT maka akan terjadi penambahan produksi sebesar: 1,95 juta ton
jagung, berarti akan mensubstitusi lebih dari 60% impor Jagung. Multiple effek dari usaha tani
tanaman pangan ini sangat berarti dalam upaya meningkatkan kesejahteraan petani dan
masyarakat sekitar dan bagi kepentingan nasional.
3. Mencapai Swasembada Pangan 2003 – 2010 Untuk Mewujudkan Kemandirian Dan
Ketahanan Pangan Nasional
Kebijakan Impor pangan yang menonjol sebagai program instant untuk mengatasi
kekurangan produksi justru membuat petani semakin terpuruk dan tidak berdaya atas sistem
pembangunan ketahanan pangan yang tidak tegas. Akibat over suplai pangan dari impor
seringkali memaksa harga jual hasil panen petani menjadi rendah tidak sebanding dengan biaya
produksinya sehingga petani terus menanggung kerugian. Hal ini menjadikan bertani pangan
tidak menarik lagi bagi petani dan memilih profesi lain di luar pertanian, sehingga ketahanan
pangan nasional menjadi rapuh.
Yang perlu ditekankan adalah: peningkatan produktivitas dan penerapan teknologi
bio/hayati organik, perluasan areal pertanian pangan dan optimalisasi pemberdayaan sumber
daya pendukung lokalnya, kebijakan tataniaga pangan dan pembatasan impor pangan, pemberian
kredit produksi dan subsidi bagi petani pangan, pemacuan kawasan sentra produksi dan
ketersediaan silo untuk stock pangan sampai tingkat terkecil dalam mencapai swasembada
pangan di setiap daerah. Untuk itu pemacuan peningkatan produksi pangan nasional harus
ditunjang dengan kesiapan dana, penyediaan lahan, teknologi, masyarakat dan infrastrukturnya
yang dijadikan sebagai kebijakan ketahanan pangan nasional.
Beberapa komoditas yang menjadi perhatian utama dalam pencapaian swasembada pangan:
Padi
Dalam kurun waktu satu dasa warsa ke depan Indonesia harus mampu mandiri dalam
memenuhi kebutuhan pangan bagi masyarakat-nya. Dengan asumsi pertumbuhan penduduk ratarata per tahun 1,5 % dan impor beras sekitar 1,5 - 2 juta ton pada tahun 2003 dan produksi dalam
negeri sekitar 52 juta ton, maka untuk mencapai swasembada pada tahun 2010 diperlukan trend
peningkatan produksi sebesar 1,8 – 2,1 % pertahun. Peningkatan ini sangat rasional dan dapat
dilakukan dengan melihat potensi produk-tivitas yang dapat ditingkatkan dan potensi
ketersediaan lahan baru yang dapat dibuka seperti lahan pasang surut, lebak dan lahan kering
untuk padi (Suprihatno, dkk, 1999; Irianto, Gatot, dkk., 2002).
Jagung
Pada tahun 2002 impor jagung mencapai 2,2 juta ton dan sejak tahun 2000 pertumbuhan
produksinya menunjukkan trend yang cenderung negatif. Melihat potensi yang ada bahwa hal
upaya memacu produksi jagung dalam 10 tahun kedepan masih dapat dilakukan, bahkan
sekalipun untuk dapat mencapai surplus (ekspor). Dengan menciptakan tingkat pertumbuhan
produksi 2 % sampai 6,5 % per tahun maka pada tahun 2010 Indonesia akan dapat mengekspor
jagung. Hal ini sangat rasional untuk dapat diwujudkan dan dicapai mengingat masih banyak
lahan tidur dan lahan kering potensial yang dapat dimanfaatkan secara optimal untuk dapat
meningkatkan produksi jagung. Peluang penerapan teknologi produktivitas Bio hayati organic
dan penerapan benih hibrida untuk meningkatkan produktivitas dari rata-rata 3,5 ton/ha menjadi
lebih dari 6,5 ton/ha di lahan tersebut masih sangat rasional apalagi agribisnis jagung telah
didukung dengan tersedia dan kesiapan stakeholder dari hulu sampai hilirnya.
Kedelai
Upaya mendongkrak produksi kedelai memang berat mengingat ada sekitar 70 % kebutuhan
kedelai dipenuhi dari impor. Terus membanjirnya impor kedelai tahun 2000 memiliki dampak
yang tragis bagi petani kedelai dan untuk dapat mencapai imbangan impor harus ada perlakuan
khusus dengan mengembalikan kepercayaan petani kembali bertanam kedelai. Upaya
perimbangan impor dan pertumbuhan produksi kedelai jika produksi dapat terus ditingkatkan
secara linear dari 13 % di tahun 2003 terus tumbuh meningkat hingga 20 % pada tahun 2010.
Selama dasawarsa ke depan (2003 – 2013), yang rasional dilakukan adalah menekan impor
dengan substitusi dari produksi dalam negeri sampai tinggal 10 – 20 % impor. Hal ini relevan
dengan kondisi saat ini dan dapat terjadi jika ada pengaturan tata niaga untuk kepastian harga
yang layak saat petani panen raya dan menciptakan produktivitas kedelai yang tinggi sehingga
menurunkan biaya produksinya per satuan hasil.
Menerapkan kebijakan tata niaga kedelai, pembatasan impor (tarif bea masuk) dan
insentif/subsidi bagi petani produsen dipandang perlu pada komoditas ini karena merupakan
komoditi hajat hidup orang banyak (Inkopti, 2001), jika memang keputusan kemandirian pangan
sebagai keputusan politik untuk ketahanan pangan. Persoalan teknologi produktivitas kedelai dan
lahan sebenarnya bukan lagi sebagai permasalahannya, hanya saja jika petani tidak diberikan
subsidi teknologi, produktivitasnya tetap rendah (< 1,2 ton/ha) dan biaya produksi per satuan
produk menjadi tinggi sehingga ke depannya tidak dapat bersaing dipasaran bebas. Upaya ini
perlu dilakukan dengan dengan menerapkan kebijakan yang simultan untuk merangsang
pertumbuhan tinggi baik dengan melibatkan stakeholder pelaku bisnis kedelai dari hulu hingga
hilir, teknologi, petani, perbankan dan pemerintah.
Harus diciptakan kondisi yang kondusif untuk memberikan perlindungan pada petani.
menciptakan dan mewujudkan kemandirian pangan nasional agar lebih ditekankan pada peran
petani serta stakeholder yang mengawal sistem produksi dari keterjaminan penyediaan teknologi,
sarana produksi hingga industri hilirnya. Fasilitas kebijakan yang memberikan kemudahan petani
pangan mendapatkan subsidi teknologi, mekanisasi dan fasilitasi penunjang budidaya (seperti
infrastruktur untuk pertanian seperti irigasi dan jalan, dan kredit produksi), perlindungan pasar
serta kebijakan impor terbatas diperlukan untuk kembali menggairahkan pertanian pangan.
Dalam hal ini perlu adanya rencana dan pedoman yang jelas dan sistematis sebagai
komitmen bagi stakeholder khususnya dari pemerintah melalui Departemen Pertanian dan
departemen terkait dalam mewujudkan kemandirian pangan nasional yang tangguh sebagai
keputusan nasional yang didukung oleh pemerintah daerah sebagai pelaksana di lapangan.
Upaya menciptakan kemandirian pangan dengan mengembangkan produksi sumber
pangan alternatif substitusi pangan impor dilakukan seiring dengan pemacuan tiga komoditi
pangan utama di atas. Sumber pangan karbohidrat yang dapat dimanfaatkan untuk substitusi
pangan impor seperti kentang, jagung putih dan umbi-umbian. Mengembangkan sumber pangan
alternatif ini justru memiliki nilai ekonomis tinggi karena disamping produktivitas per hektarnya
tinggi, pangan tersebut sebagai bahan baku industri. Dengan keragaman sumber bahan pangan
yang dikonsumsi dan dapat diproduksi di dalam negeri diharapkan dapat menekan impor pangan
secara nyata dan mengurangi ketergantungan pangan dari luar negeri sehingga ketahanan dan
kemandirian pangan nasional semakin mantap.
Diversifikasi Pangan
Isu Diversifikasi di Meruya, Jakarta Barat
Isu diversifikasi pangan secara nasional telah mulai digalakkan di Indonesia sejak tahun
2004. IPB (Institut Pertanian Bogor) sempat membentuk Tim 4 untuk mengonsepkan
diversifikasi pangan Nasional. Konsumsi beras di Indonesia yang mencapai 130/kap/th
menjadikan Indonesia konsumen beras tertinggi di dunia. Sementara Jepang hanya 45 kg,
Malaysia 80 kg dan Thailand 90 kg.
Dalam rangka memperingati Hari Pangan sedunia yang jatuh tanggal 16 Oktober,
dirayakan secara sederhana oleh umat Paroki Maria Kusuma Karmel, Meruya Jakarta Barat,
Minggu 31 Oktober, dengan mengadakan propaganda diversifikasi pangan. Seusai Perayaan
Ekaristi, jemaat diajak untuk mengonsumsi bahan sajian non-beras, berupa umbi-umbian,
jagung,
kacang
rebus
dan
pisang.
Dengan kampanye diversifikasi pangan, Romo, pemimpin perayaan Ekaristi mendorong
solidaritas umat untuk memperhatikan sesama warga Indonesia yang juga berkekurangan
pangan. Penderitaan itu makin bertambah karena bencana alam turut memperparah keadaan.
"Dunia tidak hanya membutuhkan ketahanan pangan untuk menjadi aman secara
kuantitas tetapi keamananan pangan pun menjadi teramat penting. Dengan konsumsi makanan
non-beras, yang umumnya tanpa intervensi pupuk kimia, bahan makanan non-beras menjadi
salah satu penjamin kesehatan manusia modern," demikian seorang aktivis di Kusuma Karmel,
Jakarta Barat mengingatkan.
Analisis :
Dalam kasus tersebut diatas masalah diversifikasi pangan yang terjadi di daerah Meruya,
Jakarta Barat merupakan hal yang sangat baik dilakukan, mengingat akan Indonesia yang telah
mengalami berbagai masalah dalam hal ketahahanan pangan.
Pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi manusia untuk dapat mempertahankan
hidup dan karenanya kecukupan pangan bagi setiap orang setiap waktu merupakan hak azasi
yang layak dipenuhi. Berdasar kenyataan tersebut masalah pemenuhan kebutuhan pangan bagi
seluruh penduduk setiap saat di suatu wilayah menjadi sasaran utama kebijakan pangan bagi
pemerintahan suatu negara.
Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar menghadapi tantangan yang
sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduknya.
Oleh karena itu kebijakan (pemantapan) ketahanan pangan menjadi isu sentral dalam
pembangunan serta merupakan fokus utama dalam pembangunan pertanian. Peningkatan
kebutuhan pangan seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan peningkatan kesempatan
kerja bagi penduduk guna memperoleh pendapatan yang layak agar akses terhadap pangan
merupakan dua komponen utama dalam perwujudan ketahanan pangan. Kebijakan pemantapan
ketahanan pangan dalam hal ini termasuk di dalamnya adalah terwujudnya stabilitas pangan
nasional.
Kebijakan dan strategi serta rencana program aksi diversifikasi pangan dilaksanakan
dengan tujuan :
a. Menyadarkan masyarakat agar dengan sukarela dan atas dasar kemampuannya sendiri
melaksanakan diversifikasi pangan dan meningkatkan pengetahuannya,
b. Mengurangi ketergantungan terhadap beras dan pangan impor dengan meningkatkan
konsumsi pangan, baik nabati maupun hewani dengan meningkatkan produksi pangan lokal
dan produk olahannya.
Beberapa upaya percepatan diversifikasi pangan dalam jangka pendek adalah :
Internalisasi, sosialisasi, promosi dan publikasi rencana aksi diversifikasi pangan;
Peningkatan ketersediaan pangan berbasis pada potensi sumberdaya wilayah yang
berwawasan lingkungan;
Peningkatan kemampuan dan kapasitas sumberdaya manusia dalam pengembangan
diversifikasi produktivitas;
Pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan diversifikasi pangan;
Peningkatan akses pangan dalam pemantapan ketahanan pangan keluarga;
Pengembangan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi; dan
Pemantauan kegiatan diversifikasi pangan dalam pemantapan ketahanan pangan.
Kelembagaan Pangan
KELEMBAGAAN KETAHANAN PANGAN DI LAHAN KERING
(Kasus Ketahanan pangan Desa-Desa Lahan Kering di Kabupaten Lombok Timur)
Karakteristik Petani Lahan Kering
Sistem usahatani lahan kering umumnya cukup komplek. Berbagai usaha dilakukan
petani mulai dari on farm, of farm dan non farm. Seluruh kegiatan tersebut dilakukan petani guna
memenuhi kebutuhan hidup selama satu tahun dan memanfaatkan waktu luang yang tersisa
setelah musim tanam selesai. Di bidang on farm yaitu dalam hal budidaya tanaman, petani
umumnya tidak bertanam secara monokultur tetapi lebih banyak bertanam secara tumpangsari.
Jenis tanaman yang ditumpangsarikan umumnya yang memiliki umur panen berbeda atau
tanaman tersebut sengaja ditanam dengan waktu tanam yang berbeda sehingga waktu panennya
berbeda pula. Teknik bertanam ini merupakan strategi petani untuk mendapatkan sumber
pendapatan berkesinambungan selama satu tahun disamping mengurangi resiko kegagalan panen
karena ketidak pastian curah hujan.
Kegiatan petani pada musim hujan dilahan kering teralokasi dalam satu waktu tertentu
sehingga sering terjadi kekurangan tenaga kerja. Kegiatan harus dilakukan dengan cepat dan
waktu yang tepat untuk mengatisipasi keterbatasan curah hujan akibatnya petani sering
melakukan satu dua pekerjaan dalam waktu yang bersamaan. Lebih lanjut hal ini menyebabkan
posisi tawar tenaga kerja menjadi tinggi pada saat-saat tertentu sehingga biaya produksi di lahan
kering menjadi relatif tinggi.
Sistem kelembagaan pertanian di lahan kering belum berkembang dan memperlihatkan
dinamika kerja yang dikehendaki, petani umumnya belum tergabung dalam kelompoktani yang
aktif. Lembaga finansial, lembaga alsintan, lembaga sarana produksi, lembaga pasca panen dan
lembaga pengolahan hasil umumnya belum terbentuk di lahan kering. Kelembagaan penyuluhan
dalam menangani lahan kering tidak sebaik yang dilakukan dalam menangani lahan sawah irigasi
sehingga informasi terknologi yang diperoleh petani lahan kering relatif sangat terbatas.
Perilaku Ketahanan Pangan
Salah satu upaya pemecahan pemenuhan kebutuhan pangan rumah tangga dalam kondisi
seperti tersebut di atas adalah menjual ternak untuk membeli beras. Ternak yang dipandang
sebagai usaha sampingan dan dipelihara secara tidak intensif menjadi sangat penting artinya
disamping sebagai ternak kerja maka dalam kondisi rawan pangan rumah tangga menjadi
tabungan hidup. Ternak besar dijual untuk memenuhi kebutuhan uang yang cukup besar
sedangkan ternak kecil dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari termasuk membeli beras.
Ternak yang umum dipelihara petani antara lain sapi, kambing dan ayam.
Upaya lain yang dilakukan petani adalah beralih melakukan kegiatan off farm yaitu
bekerja sebagai buruhtani menjadi sangat penting artinya dalam rangka ketahanan pangan
keluarga. Kegiatan berburuhtani tidak saja dilakukan antar agroekosistem dalam satu desa yaitu
petani yang berasal dari daerah lahan kering menjadi buruhtani di daerah lahan sawah irigasi,
tetapi sampai keluar desa, kecamatan dan kabupaten dalam satu pulau dan luar pulau bahkan
keluar propinsi. Pekerjaan yang umum dilakukan yaitu sebagai buruh panen padi dengan imbalan
upah dalam bentuk hasil panen padi. Padi yang diterima dari bekerja sebagai buruhtani disimpan
untuk menjaga ketahanan pangan keluarga.
Kegiatan lain dalam menjaga ketahanan pangan keluarga yaitu melakukan pekerjaan di
luar pertanian (non farm) sebagai buruh bangunan/tukang, tukang ojek, kusir cidomo, kerajinan,
bakulan hasil pertanian membuat batu bata dan TKI. Penduduk yang bekerja di luar sektor
pertanian disamping karena kegagalan panen juga secara umum disebabkan oleh faktor ekonomi
rumah tangga sebagai akibat dari keterbatasan lahan pertanian dan kurangnya lapangan
pekerjaan serta peluang untuk mengembangkan usaha dengan kekuatan modal sendiri yang
sangat terbatas. Disamping itu tidak dapat dipungkiri tingkat upah yang tinggi di luar negeri
menjadi daya tarik tersendiri bagi petani dengan harapan nantinya cepat membayar hutang yang
ditinggalkan sebagai akibat kegagalan panen di daerah asal.
TKI yang bekerja di luar negeri tidak semuanya berhasil beberapa orang justru membawa
permasalahan seperti tidak bisa menutup hutang yang dipinjam untuk berangkat ke luar negeri.
Sedangkan bagi yang berhasil sudah mampu mengirim uang untuk biaya hidup kelurga yang
ditinggal atau untuk membangun rumah dan membeli tanah sawah. Kenyataan yang terjadi saat
ini yaitu sebagian besar penghasilan TKI digunakan untuk membangun rumah dan kawin tetapi
hanya sebagian kecil yang mengalokasikan pendapatannya untuk usaha-usaha yang bersifat
produktif dibidang pertanian maupun usaha lainnya.
Harapan lain petani dalam menjaga ketahanan pangan rumah tangganya adalah
melakukan pinjaman pada tetangga, bahkan pinjaman dalam bentuk ijon-pun tidak segan-segan
diterima petani dari para pelepas uang. Jaminan untuk menadapat pinjaman ijon biasanya
tanaman vanili, coklat, kopi dalam kondisi sedang berbunga atau berbuah muda, akibatnya,
sudah tentu maka harga yang diterima petani menjadi sangat rendah. Anak sapi yang masih
berada dalam kandungan diijonkan petani di desa Sajang untuk memperoleh uang dalam rangka
ketahanan pangan rumah tangga
Pengeluaran untuk pangan meliputi beras, lauk pauk, makanan kecil, minyak goreng,
gula, kopi, teh dan lain-lain, sedangkan pengeluaran non pangan meliputi penerangan, sabun,
odol, alat rumah tangga, pakaian, transportasi, pendidikan, rokok/tembakau, perbaikan rumah
dan pajak bumi dan bangunan. Pengeluaran rumah tangga untuk pangan mencapai lebih dari
50%, menunjukkan bahwa tingkat ketahanan pangan rumah tangga petani di wilayah lahan
kering relatif rendah. Hasil kajian Sri Hastuti et al (2005) tentang pola
pendapatan dan
pengeluaran terhadap ketahanan pangan rumah tangga di desa Sambelia yang merupakan desa
lahan kering dataran rendah menjelaskan bahwa pengeluaran petani miskin untuk pangan
mencapai 54,27 % artinya ketahanan pangan rumah tangga relatif rendah.
Dalam
Usahatani
Luar Pertanian
Luar
Usahatani
Pemasukan rumah tangga
Pendapatan
Rumah tangga
Pengeluaran untuk
pangan
Pengeluaran non
pangan
(51,86 %)
(48,14 %)
Gambar pemasukan dan pengeluaran rumah tangga petani miskin desa lahan kering di Lombok
Timur
Kebijakan Ketahanan Pangan
Dengan penduduk lebih dari 215 juta jiwa, Indonesia saat ini membutuhkan bahan
pangan pokok sekurangkurangnya 53 juta ton beras, 12,5 juta ton jagung dan 3,0 juta ton
kedelai. Ketersediaan bahan pangan pokok ini sekarang sudah di ambang krisis. Di satu sisi,
tingkat produktivitas sudah sampai pada taraf stagnan dan bahkan menurun. Di sisi lain, luas
areal pertanian pangan terus mengalami penurunan. Data Sensus Pertanian 2003 menunjukkan
terjadinya laju konversi lahan sawah yang sangat mencengangkan. Selama periode 2000-2002
konversi lahan sawah mencapai 563.000 hektar atau rata-rata sekitar 188.000 hektar per tahun.
Dengan luas sawah 7,75 juta hektar pada tahun 2002, pengurangan luas sawah akibat konversi
lahan mencapai 7,27% selama 3 tahun atau rata-rata 2,42% per tahun.
Dampak konversi lahan sawah terhadap masalah pangan lebih merugikan disbanding
dampak faktor lainnya seperti kekeringan, banjir, dan serangan hama/penyakit. Konversi lahan
sawah bersifat irreversible karena tidak mungkin
lagi dikembalikan ke kondisi semula.
Dampaknya pada masalah ketersediaan pangan bersifat permanent atau tetap terasa dalam
jangka panjang meskipun konversi lahan baru tidak terjadi lagi. Sementara pada peristiwa
kekeringan, banjir, dan serangan hama/penyakit, masalah pangan yang ditimbulkannya
bersifat temporer, artinya masalah itu hanya muncul ketika peristiwa tersebut terjadi (Irawan
2005).
Kenyataan konversi lahan ini merupakan gejalah yang menunjukkan dua hal yang
lebih
besar dalam kebijakan
pangan
kita. Pertama, bahwa kebijakan ketahanan pangan
ternyata tidak cukup hanya berbicara mengenai peningkatan produktivitas demi menjamin
ketersediaan pangan. Kedua, bahwa ternyata mustahil membicarakan persoalan
ketahanan
pangan tanpa mengindahkan pula aspek keagrariaan yang mendasarinya. Konteks Keagrariaan
Pendekatan
ketahanan pangan
konvensional yang
hanya menekankan
ketersediaan dan
aksesibilitas pangan telah gagal untuk mempersoalkan bagaimana pangan itu diproduksi, dari
mana pangan itu berasal, dan sejauh manakah hak rakyat atas sumberdaya produktif untuk
menghasilkan pangannya bisa dijamin. Di negara-negara pasca-kolonial yang mewarisi struktur
agraria yang timpang, penyebab utama rawan pangan justru adalah lemahnya akses terhadap
tanah untuk memproduksi pangan.
Dalam konteks ketimpangan ini, pelaksanaan Revolusi Hijau memang
sukses
meningkatkan produktivitas per unit lahan, namun pada saat yang sama ia juga menyebabkan
terjadinya guremisasi dan bahkan buruhisasi petani. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan
produktivitas itu ternyata hanya mampu dilakukan dan dinikmati oleh segelintir petani kaya
saja, sementara kebanyakan petani miskin dan berlahan sempit kian terlempar dari lahan dan
usahataninya sendiri. Pengalaman di Indonesia menunjukkan bawa meskipun Revolusi Hijau
berhasil meningkatkan produksi pangan (padi) pada lahan-lahan pertanian secara nasional,
namun hal itu gagal mendorong sistem pangan lokal yang kuat dan berkelanjutan. Artinya,
kebijakan itu bukan ditujukan untuk memperkuat sistem pangan lokal yang telah berkembang
sebelumnya, misalnya dengan memperkuat akses masyarakat terhadap sumber-sumber agraria,
teknologi lokal, sistem kelembagaan pangan, system pengembangan infrastruktur yang berbasis
petani, sistem perdagangan lokal, atau sistem pengelolaan cadangan pangan seperti lumbung.
Berbagai sub-sistem dalam sistem pangan rakyat bukannya semakin kuat tetapi justru
semkin terpinggirkan oleh kebijakan pangan yang sentralistik selama Orde Baru (Witoro 2003).
Berbicara mengenai konteks struktur agraria di Indonesia, setidaknya terdapat tiga jenis
ketimpangan menyangkut penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria, yaitu:
(1) ketimpangan dalam hal struktur “pemilikan” dan “penguasaan” tanah;
(2) dalam hal “peruntukan” tanah; dan
(3) dalam hal incompatibility menyangkut persepsi dan konsepsi mengenai agraria.
Persoalan ketimpangan pertama, yang sudah disinggung di depan, dewasa ini terus
menunjukkan
kecenderungan
peningkatan sebagaimana bisa dicermati dari table berikut
(Hardiyanto 1998).
Distribusi Luas Usaha Tani di Indonesia 1973-199
Luas
Usaha
Tani
(hektar)
1973
%
%
Usaha
Area
1983
Ratarata
luas
(hektar)
Tani
%
%
Usaha
Area
1993
Ratarata
luas
(hektar)
Tani
%
%
Usaha
Area
Ratarata
luas
(hektar)
Tani
< 0,50
45,6
11,9
0,26
40,8
10,2
0,26
48,5
15,6
0,17
0,50-1,9
42,8
41,0
0,95
44,9
40,3
0,94
39,6
49,2
0,90
2,00-4,9
9,4
26,6
2,78
11,9
30,9
2,72
10,6
37,3
3,23
5,00 +
2,1
20,5
9,45
2,4
18,6
8,11
1,3
12,9
11,9
Jumlah
----
15,9 juta
17,9 juta
usahatani
Jumlah
area
----
16,7 juta
15,4 juta
Rata-rata
luas
usaha tani
----
1,05 hektar
0,74 hektar
Ketimpangan
kedua, yakni masalah
peruntukan
lahan, terlihat dari belum kuatnya
political will dan paradigma pembangunan yang berpihak pada sektor pertanian pertanian.
Inilah yang menjelaskan terjadinya konversi lahan-lahan pertanian ke nonpertanian dengan laju
kecepatan yang sangat tinggi. Adapun
ketimpangan
ketiga menyangkut perbedaan atau
benturan persepsi dan konsepsi, yaitu antara pranata dan praktik pengusaan dan pengelolaan
tanah/sumber agraria pada sekelompok komunitas lokal dengan konsep-konsep hukum positif.
Ketimpangan terjadi ketika tata cara penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria
yang bersumber dari hokum positif seringkali menafikan apa yang telah lama dipraktikkan dan
dikenal oleh komunitas lokal. Dengan memperhatikan tiga konteks ketimpangan ini, maka
kebijakan
pangan
di masa depan
tidak bisa dilakukan
tanpa mengindahkan persoalan
keagrariaan. Tanpa menjalankan program pembaruan agraria secara komprehensif, maka
kecenderungan guremisasi dan buruhisasi petani akan terus berlanjut, konversi lahan pertanian
juga akan tetap terjadi, dan ketahanan pangan yang diinginkan tidak akan pernah tercapai. Di
sinilah
terletak
tantangan
dari komitmen
Program Pembaruan Agraria Nasional yang
disampaikan pemerintah baru-baru ini melalui alokasi 8,15 juta hektar lahan untuk rakyat.
Pertanyaannya, sejauh manakah komitmen tersebut benar benar bisa diarahkan untuk menjawab
ketiga ketimpangan yang disampaikan di depan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan pengertian dan konsep yang ada maka beberapa ahli sepakat bahwa
ketahanan pangan minimal mengandung dua unsur pokok yaitu ”ketersediaan pangan dan
aksesibilitas masyarakat terhadap pangan”. Menurut Arifn, jika salah satu unsur tersebut tidak
dipenuhi maka suatu negara belum dapat dikatakan mempunyai ketahanan pangan yang baik.
Beberapa komponen yang harus dipenuhi untuk mencapai kondisi ketahanan pangan
yaitu : kecukupan ketersediaan pangan, stabilitas ketersediaan pangan tanpa fluktuasi dari musim
ke musim atau dari tahun ke tahun, aksesibilitas/keterjangkauan terhadap pangan dan
kualitas/keamanan pangan.
Salah satu upaya yang dilakukan agar tercapainya ketahanan pangan yaitu menciptakan
dan mewujudkan kemandirian pangan nasional agar lebih ditekankan pada peran petani serta
stakeholder yang mengawal sistem produksi dari keterjaminan penyediaan teknologi, sarana
produksi hingga industri hilirnya. Fasilitas kebijakan yang memberikan kemudahan petani
pangan mendapatkan subsidi teknologi, mekanisasi dan fasilitasi penunjang budidaya (seperti
infrastruktur untuk pertanian seperti irigasi dan jalan, dan kredit produksi), perlindungan pasar
serta kebijakan impor terbatas diperlukan untuk kembali menggairahkan pertanian pangan.
DAFTAR PUSTAKA
Handoyo, Rudi. 2007. KETAHANAN PANGAN (I). http://idur.wordpress.com/ (diakses pada
tanggal 12 Desember 2010).
Ahsan, Maulana. 2008. KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA DI PERDESAAN:
KONSEP DAN UKURAN Tim penelitian ketahanan pangan dan kemiskinan
dalam
konteks
demografi
Puslit
Kependudukan
–LIPI.
http://webcache.googleusercontent.com/ (diakses pada tanggal 12 desember
2010).
Anonim. 2010. Hari Pangan Sedunia: Isu Diversifikasi Pangan. Jakarta : Kabar Indonesia.
http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/ ( diakses pada tanggal 11
Desember 2010).
DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN
“Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pembangunan Pertanian”
Disusun Oleh :
Kelompok 3
Wendi Irawan D
150310080137
Miswinda
150310080143
Eva Riani
150310080145
Deria Hadianisa
150310080147
Rijal Aizz
150310080159
Dwi Hapsari
150310080160
Dityo Gunarto
150310080164
Januar Irvansyah
150310080168
Karnati
150310080174
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2010
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum, wr, wb..
Pertama-tama kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Tuhan Yang
Maha Esa, atas berkat rakhmat dan ridhoNya kami dapat menyusun dan menyelesaikan tugas
untuk Mata Kuliah Pembangunan Pertanian ini dengan maksimal dan tepat waktu.
Selaku penyusun makalah ini kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari
para pembaca sehingga makalah ini dapat tersaji menjadi lebih baik dan sesuai dengan yang
diharapkan.
Atas perhatian dan waktunya, kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Wassalamu’alaikum, wr, wb.
Jatinangor,
Desember 2010
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Sejak kritis multidimensi tahun 1997, kemampuan Indonesia untuk memenuhi sendiri
kebutuhan pangan bagi penduduk terus menurun. Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa
untuk memenuhi kebutuhan pangan bagi bangsa Indonesia yang jumlahnya lebih dari 210 juta
jiwa. Indonesia harus mengimpor bahan pangan seperti beras 2 juta ton, jagung lebih dari 1 juta
ton, kedelai lebih dari 1 juta ton, kacang tanah lebih dari 0,8 juta ton, gula pasir 1,6 juta ton,
ternak hidup setara 82 ribu ton, daging 39 ribu ton, susu dan produknya 99 ribu ton per tahun.
Selama kurun waktu 1997-2001, produktivitas padi menurun 0,38% per tahun, juga beberapa
komuditas pangan, pada periode ini juga terjadi pertumbuhan permintaan pangan yang terus
meningkat dan tidak diikut peningkatan produksi.Kenyataan ini menunjukkan bahwa kebutuhan
pangan tidak mampu dipenuhi dari produksi nasional. Sebagai akibatnya, kebutuhan pangan
harus dipenuhi dari impor. Hal ini merupakan kondisi yang tidak baik karena impor menguras
banyak devisa serta tidak strategis bagi kepentingan ketahanan pangan nasional dalam jangka
panjang (BKP, 2006). Kesenjangan antara ketersediaan dan konsumsi ini merupakan indikasi
lemahnya daya akses rumah tangga terhadap pangan. Disisi penyediaan pangan, walaupun saat
ini volumenya mencukupi, namun saat ini Indonesia menghadapi tantangan yang cukup serius
yaitu laju percepatan konsumsi, terutama didorong oleh pertumbuhan penduduk yang lebih cepat
dibadingkan laju pertumbuhan produksi. (BKP, 2006).
1.2
Tujuan
Tujuan adanya makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Pembangunan
Pertanian. Dimana dengan adanya tugas ini kami diharapkan dapat lebih
mengetahui dan
memahami masalah mengenai ketahan pangan dalam pembangunan pertanian di Indonesia.
1.1
Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan makalah ini adalah dengan mengambil literature di berbagai
bersumber dari media internet.
BAB II
PEMBAHASAN
DEFINISI
Undang-Undang Pangan No.7 Tahun 1996 memberikan definisi ketahanan pangan
sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari
tersedianya pangan secara cukup, baik dari jumlah maupun mutunya, aman, merata dan
terjangkau. Sementara USAID (1992) mendefinisikan ketahanan pangan sebagai satu kondisi
dimana masyarakat pada satu yang bersamaan memiliki akses yang cukup baik secara fisik
maupun ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dietary dalam rangka untuk peningkatan kesehatan
dan hidup yang lebih produktif. Perbedaan mendasar dari dua definisi ketahanan pangan tersebut
yaitu pada UU No 7/1996 menekankan pada ketersediaan, rumah tangga dan kualitas (mutu)
pangan. Sedangkan pada definisi USAID menekankan pada konsumsi, individu dan kualitas
hidup. FAO (1997) mendefinisikan ketahanan pangan sebagai situasi di mana semua rumah
tangga mempunyai akses baik fisik maupun ekonomi untuk memperoleh pangan bagi seluruh
anggota keluarganya, dan di mana rumah tangga tidak beresiko mengalami kehilangan kedua
akses tersebut. Hal ini berarti konsep ketahanan pangan mencakup ketersediaan yang memadai,
stabilitas dan akses terhadap pangan-pangan utama. Determinan dari ketahanan pangan dengan
demikian adalah daya beli atau pendapatan yang memadai untuk memenuhi biaya hidup (FAO,
1996).
Berdasarkan pengertian dan konsep tersebut di atas maka beberapa ahli sepakat bahwa
ketahanan pangan minimal mengandung dua unsur pokok yaitu ”ketersediaan pangan dan
aksesibilitas masyarakat terhadap pangan”. Salah satu unsur tersebut tidak dipenuhi maka
suatu negara belum dapat dikatakan mempunyai ketahanan pangan yang baik (Arifin, 2004).
Walaupun pangan tersedia cukup di tingkat nasional dan regional, tetapi jika akses individu
untuk memenuhi kebutuhan pangannya tidak merata, maka ketahanan pangan masih dikatakan
rapuh. Akses terhadap pangan, ketersediaan pangan dan resiko terhadap akses dan ketersediaan
pangan tersebut merupakan determinan yang esensial dalam ketahanan pangan (Von Braun et al,
1992).
KONSEP KETAHANAN PANGAN
Indonesia menerima konsep ketahanan pangan, yang dilegitimasi pada Undang-undang
pangan Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan Undang-Undang ini ditindaklanjuti dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. Indonesia memasukkan
mutu, keamanan, dan keragaman sebagai kondisi yang harus terpenuhi dalam pemenuhan
kebutuhan pangan penduduk secara cukup, merata dan terjangkau.
Ketahanan pangan minimal harus dua unsur pokok, yaitu ketersediaan dan aksebelitas
masyarakat terhadap pangan (Bustanul Arifin, 2004). Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996
tentang pangan :
a. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air baik yang diolah
maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan dan minuman bagi
konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan dan bahan lain
yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan atau pembuatan makanan dan
minuman.
b. Pangan olahan adalah makanan atau minuman hasil proses dengan cara atau metode
tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan.
c. Sistem pangan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pengaturan, pembinaan,
dan atau pengawasan terhadap kegiatan atau proses produksi pangan dan peredaran pangan
sampai dengan siap dikonsumsi manusia.
d. Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari
kemungkinan cemaran kimia, biologis dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan
dan membahayakan kesehatan manusia.
e. Mutu pangan adalah nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan pangan, kandungan
gizi, dan standart perdagangan terhadap bahan makanan, makanan dan minuman.
f. Gizi pangan adalah zat atau senyawa yang terdapat dalam pangan yang terdiri atas
karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral serta turunnya yang bermanfaat bagi
pertumbuhan dan kesehatan manusia.
g. Kemasan pangan adalah bahan yang digunakan untuk mewadahi atau membungkus
pangan, baik yang bersentuhan langsung dengan pangan maupun yang tidak.
h. Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin
dari tersedianya pangan yang cukup.
INDIKATOR KETAHANAN PANGAN
Berdasarkan definisi ketahanan pangan dari FAO (1996) dan UU RI No. 7 tahun 1996,
yang mengadopsi definisi dari FAO, ada 4 komponen yang harus dipenuhi untuk mencapai
kondisi ketahanan pangan yaitu:
1. Kecukupan ketersediaan pangan
Ketersediaan pangan dalam rumah tangga yang dipakai dalam pengukuran mengacu pada
pangan yang cukup dan tersedia dalam jumlah yang dapat memenuhi kebutuhan konsumsi rumah
tangga. Penentuan jangka waktu ketersediaan makanan pokok di perdesaan biasanya dilihat
dengan mempertimbangkan jarak antara musim tanam dengan musim tanam berikutnya (Suharjo
dkk, 1985:45).
Sebagai contoh, di daerah dimana penduduknya mengkonsumsi beras sebagai makanan
pokok digunakan cutting point 240 hari sebagai batas untuk menentukan apakah suatu rumah
tangga memiliki persediaan makanan pokok cukup/tidak cukup. Penetapan cutting point ini
didasarkan pada panen padi yang dapat dilakukan selama 3 kali dalam 2 tahun. Pada musim
kemarau, dengan asumsi ada pengairan, penduduk dapat musim tanam gadu, yang berarti dapat
panen 2 kali dalam setahun. Tahun berikutnya, berarti musim tanam rendeng, dimana penduduk
hanya panen 1 kali setahun karena pergantian giliran pengairan. Demikian berselang satu tahun
penduduk dapat panen padi 2 kali setahun sehingga rata-rata dalam 2 tahun penduduk panen padi
sebanyak 3 kali.
Dengan demikian kondisi ketersediaan pangan dapat diukur sebagai berikut:
Jika persediaan pangan rumah tangga >240 atau =240 hari, berarti pesediaan pangan
rumah tangga cukup
Jika persediaan pangan rumah tangga antara 1 - 239 hari, berarti pesediaan pangan rumah
tangga kurang cukup
Jika rumah tangga tidak punya persediaan pangan, berarti pesediaan pangan rumah
tangga tidak cukup.
2. Stabilitas ketersediaan
Stabilitas ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga diukur berdasarkan kecukupan
ketersediaan pangan dan frekuensi makan anggota rumah tangga dalam sehari. Satu rumah
tangga dikatakan memiliki stabilitas ketersediaan pangan jika mempunyai persediaan pangan
diatas cutting point (240 hari) dan anggota rumah tangga dapat makan 3 (tiga) kali sehari sesuai
dengan kebiasaan makan penduduk di daerah tersebut.
Dengan asumsi bahwa di daerah tertentu masyarakat mempunyai kebiasaan makan 3 (tiga)
kali sehari, frekuensi makan sebenarnya dapat menggambarkan keberlanjutan ketersediaan
pangan dalam rumah tangga. Dalam satu rumah tangga, salah satu cara untuk mempertahankan
ketersediaan pangan dalam jangka waktu tertentu adalah dengan mengurangi frekuensi makan
atau mengkombinasikan bahan makanan pokok (misal beras dengan ubi kayu). Penelitian yang
dilakukan PPK-LIPI di beberapa daerah di Jawa Barat juga menemukan bahwa mengurangi
frekuensi makan merupakan salah satu strategi rumah tangga untuk memperpanjang ketahanan
pangan mereka (Raharto, 1999; Romdiati, 1999).
Lebih lanjut, kombinasi antara ketersediaan makanan pokok dengan frekuensi makan sebagai
indikator kecukupan pangan, menghasilkan indikator stabilitas ketersediaan pangan yang dapat
dilihat pada tabel berikut:
Kecukupan ketersediaan
pangan
Frekuensi makan anggota rumah tangga
> 3 kali
2 kali
1 kali
> 240 hari
Stabil
Kurang stabil
Tidak stabil
1 -239 hari
Kurang stabil
Tidak stabil
Tidak stabil
Tidak stabil
Tidak stabil
Tidak stabil
Tidak ada persediaan
Tabel 1 : Penetapan indikator stabilitas ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga
3. Aksesibilitas/keterjangkauan terhadap pangan
Indikator aksesibilitas/keterjangkauan dalam pengukuran ketahanan pangan di tingkat rumah
tangga dilihat dari kemudahan rumahtangga memperoleh pangan, yang diukur dari pemilikan
lahan serta cara rumah tangga untuk memperoleh pangan. Akses yang diukur berdasarkan
pemilikan lahan dikelompokkan dalam 2 (dua) kategori:
Akses langsung (direct access), jika rumah tangga memiliki lahan sawah/ladang
Akses tidak langsung (indirect access) jika rumah tangga tidak memiliki lahan
sawah/ladang.
Cara rumah tangga memperoleh pangan juga dikelompokkan dalam 2 (dua) kateori yaitu
produksi sendiri dan membeli.
Dari pengukuran indikator aksesibilitas ini kemudian diukur indikator stabilitas ketersedian
pangan yang merupakan penggabungan dari stabilitas ketersediaan pangan dan aksesibilitas
terhadap pangan. Indikator stabilitas ketersediaan pangan ini menunjukkan suatu rumah tangga
apakah : (1) mempunyai persediaan pangan cukup, (2) konsumsi rumah tanga normal dan
(3) mempunyai akses langsung tarhadap pangan
Indikator kontinyuitas ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga dapat dilihat dalam tabel
berikut.
Akses terhadap
pangan
Akses langsung
Akses tidak
langsung
Stailitas ketersediaan pangan rumah tangga
Stabil;
Kurang stabil
Tidak stabil
Kontinyu
Kurang kontinyu
Tidakkontinyu
Kurang kontinyu
Tidak kontinyu
Tidak kontinyu
Tabel 2.: Penetapan indikator kontinyuitas ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga
4. Kualitas/Keamanan Pangan
Kualitas/keamanan jenis pangan yang dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan gizi.
Ukuran kualitas pangan seperti ini sangat sulit dilakukan karena melibatkan berbagai macam
jenis makanan dengan kandungan gizi yang berbeda-beda., sehingga ukuran keamanan pangan
hanya dilihat dari ‘ada’ atau ‘tidak’nya bahan makanan yang mengandung protein hewani
dan/atau nabati yang dikonsumsi dalam rumah tangga. Berdasarkan kriteria ini rumah tangga
dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori, yaitu:
1. Rumah tangga dengan kualitas pangan baik adalah rumah tangga yang memiliki pengeluaran
untuk lauk-pauk berupa protein hewani dan nabati atau protein hewani saja.
2. Rumah tangga dengan kualitas pangan kurang baik adalah rumah tangga yang memiliki
pengeluaran untuk lauk-pauk berupa protein nabati saja.
3. Rumah tangga dengan kualitas pangan tidak baik adalah rumah tangga yang tidak memiliki
pengeluaran untuk lauk-pauk berupa protein baik hewani maupun nabati.
Keempat indikator ini merupakan indikator utama untuk mendapatkan indeks ketahanan
pangan. Ukuran ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dihitung bertahap dengan cara
menggambungkan keempat komponen indikator ketahanan pangan tersebut, untuk mendapatkan
satu indeks ketahanan pangan.
Kontinyuitas
ketersediaan
pangan
Kulaitas/keamanan pangan: Konsumsi protein hewani dan/atau nabati
Kontinyu
Kurang
kontinyu
Protein hewani dan
nabati/protein hewani
saja
Protein nabati saja
Tidak ada konsumsi
protein hewani, dan
nabati
Tahan
Kurang tahan
Tidak tahan
Kurang tahan
Tidak tahan
Tidak tahan
Tidak tahan
Tidak tahan
Tidak kontinyu Tidak tahan
Tabel 4 : Indeks ketahanan pangan rumah tangga
Berdasarkan matrik tersebut, maka rumah tangga dapat dibedakan menjadi tiga kategori,
yaitu:
1. Rumah tangga tahan pangan adalah rumah tangga yang memiliki persedian pangan
/makanan pokok secara kontinyu (diukur dari persediaan makan selama jangka masa satu
panen dengan panen berikutnya dengan frekuensi makan 3 kali atau lebih per hari serta
akses langsung) dan memiliki pengeluaran untuk protein hewani dan nabati atau protein
hewani saja
2. Rumah tangga kurang tahan pangan adalah rumah tangga yang memiliki:
Kontinuitas pangan/makanan pokok kontinyu tetapi hanya mempunyai pengeluaran
untuk protein nabati saja
Kontinuitas ketersdiaan
pangan/makanan
kurang
kontinyu
dan
mempunyai
pengeluaran untuk protein hewani dan nabati
3.
Rumah tangga tidak tahan pangan adalah rumah tangga yang dicirikan oleh:
Kontinyuitas keterrsediaan pangan kontinyu, tetapi tidak memiliki pengeluaran untuk
protein hewani maupun nabati
Kontinyuitas keterrsediaan pangan kontinyu kurang kontinyu dan hanya memiliki
pengeluaran untuk protein hewani atau nabati, atau tidak untuk kedua-duanya.
Kontinyuitas keterrsediaan pangan tidak kontinyu walaupun memiliki pengeluaran
untuk protein hewani dan nabati
Kontinyuitas keterrsediaan pangan tidak kontinyu dan hanya memiliki pengeluaran
untuk protein nabati saja, atau tidak untuk kedua-duanya.
KASUS- KASUS MENGENAI KETAHANAN PANGAN
Issue – Issue dalam Ketahanan Pangan
Rendahnya laju peningkatan produksi pangan dan terus menurunnya produksi di
Indonesia antara lain disebabkan oleh: (1) Produktivitas tanaman pangan yang masih rendah dan
terus menurun; (2) Peningkatan luas areal penanaman-panen yang stagnan bahkan terus menurun
khususnya di lahan pertanian pangan produktif di pulau Jawa. Kombinasi kedua faktor di atas
memastikan laju pertumbuhan produksi dari tahun ke tahun yang cenderung terus menurun.
Untuk mengatasi dua permasalahan teknis yang mendasar tersebut perlu dilakukan upaya-upaya
khusus dalam pembangunan pertanian pangan khususnya dalam kerangka program ketahanan
pangan nasional.
Berikut beberapa upaya yang dilakukan oleh pemerintah, diantaranya :
1. Upaya Meningkatkan Produktivitas Tanaman Pangan
Faktor dominan penyebab rendahnya produktivitas tanaman pangan adalah (a) Penerapan
teknologi budidaya di lapangan yang masih rendah; (b) Tingkat kesuburan lahan yang terus
menurun (Adiningsih, S, dkk., 1994), (c) Eksplorasi potensi genetik tanaman yang masih belum
optimal (Guedev S Kush, 2002). Maka dilakukan beberapa upaya agar permasalahan tersebut
dapat teratasi, diantaranya :
Memberikan subsidi teknologi kepada petani dan melibatkan stakeholder dalam melakukan
percepatan perubahan (Saragih, 2003). Subsidi teknologi yang dimaksud adalah adanya modal bagi
petani untuk memperoleh atau dapat membeli teknologi produktivitas dan pengawalannya
sehingga teknologi budidaya dapat dikuasai secara utuh dan efisien sampai tahap pasca panennya.
Soil Management untuk mengembalikan kesuburan tanah dengan memasukkan berbagai
ragam mikroba pengendali yang mempercepat keseimbangan alami dan membangun bahan
organik tanah, kemudian diikuti dengan pemupukan dengan jenis dan jumlah yang tepat
dan berimbang serta teknik pengolahan tanah yang tepat.
2. Upaya Menambah Perluasan Lahan Pertanian Baru
Lahan kering di Indonesia sebesar 11 juta hektar yang sebagian besar berupa lahan tidur dan
lahan marginal sehingga tidak produktif untuk tanaman pangan. Di Pulau Jawa yang padat
penduduk, rata-rata pemilikan lahan usaha tani berkisar hanya 0,2 ha/KK petani. Namun, banyak
pula lahan tidur yang terlantar. Ada 300.000 ha lahan kering terbengkelai di Pulau Jawa dari
kawasan hutan yang menjadi tanah kosong terlantar. Masyarakat sekitar hutan dengan desakan
ekonomi dan tuntutan lapangan kerja tidak ada pilihan lain untuk memanfaatkan lahan-lahan
kritis dan lahan kering untuk usaha tani pangan seperti jagung, padi huma dan kedelai serta
kacang tanah. Secara alamiah hal ini membantu penambahan luas lahan pertanian pangan,
meskipun disadari bahwa produktivitas di lahan tersebut masih rendah, seperti jagung 2,5 – 3,5
ton/ha dan padi huma 1,5 ton/ha dan kedelai 0,6 – 1,1 ton/ha, tetapi pemanfaatannya berdampak
positif bagi peningkatan produksi pangan.
Melihat kenyataan di atas maka solusi terbaik adalah: (1) pemerintah sebaiknya
memberikan ijin legal atas hak pengelolaan lahan yang telah diusahahan petani yaitu semacam
HGU untuk usaha produktif usaha tani tanaman pangan sehingga petani dapat memberikan
kontribusi berupa pajak atas usaha dan pemanfaatan lahan tersebut, (2) memberikan bimbingan
teknologi budidaya khususnya untuk menerapkan teknologi organik dan Bio/hayati guna
meningkatkan kesuburan lahan dan menjamin usaha tani yang berkelanjutan dan ramah
lingkungan dan (3) Melibatkan stakeholder dan swasta yang memiliki komitmen menunjang
dalam sistem Agribisnis tanaman pangan sehingga akan menjamin kepastian pasar, sarana input
teknologi produktivitas dan nilai tambah dari usaha tani terpadunya. Pengelolaan lahan kering
untuk pertanian dapat dilakukan dengan menerapkan teknologi produktivitas organik agar
memberikan kontribusi yang nyata bagi peningkatan produksi pangan dan kesejahteraan
masyarakat. Sebagai contoh jika 150.000 ha lahan ini digunakan untuk budidaya Jagung jika
dengan tambahan teknologi produktivitas organik dapat menghasilkan rata-rata 6,5 ton/ha yang
dilakukan dengan 2 kali MT maka akan terjadi penambahan produksi sebesar: 1,95 juta ton
jagung, berarti akan mensubstitusi lebih dari 60% impor Jagung. Multiple effek dari usaha tani
tanaman pangan ini sangat berarti dalam upaya meningkatkan kesejahteraan petani dan
masyarakat sekitar dan bagi kepentingan nasional.
3. Mencapai Swasembada Pangan 2003 – 2010 Untuk Mewujudkan Kemandirian Dan
Ketahanan Pangan Nasional
Kebijakan Impor pangan yang menonjol sebagai program instant untuk mengatasi
kekurangan produksi justru membuat petani semakin terpuruk dan tidak berdaya atas sistem
pembangunan ketahanan pangan yang tidak tegas. Akibat over suplai pangan dari impor
seringkali memaksa harga jual hasil panen petani menjadi rendah tidak sebanding dengan biaya
produksinya sehingga petani terus menanggung kerugian. Hal ini menjadikan bertani pangan
tidak menarik lagi bagi petani dan memilih profesi lain di luar pertanian, sehingga ketahanan
pangan nasional menjadi rapuh.
Yang perlu ditekankan adalah: peningkatan produktivitas dan penerapan teknologi
bio/hayati organik, perluasan areal pertanian pangan dan optimalisasi pemberdayaan sumber
daya pendukung lokalnya, kebijakan tataniaga pangan dan pembatasan impor pangan, pemberian
kredit produksi dan subsidi bagi petani pangan, pemacuan kawasan sentra produksi dan
ketersediaan silo untuk stock pangan sampai tingkat terkecil dalam mencapai swasembada
pangan di setiap daerah. Untuk itu pemacuan peningkatan produksi pangan nasional harus
ditunjang dengan kesiapan dana, penyediaan lahan, teknologi, masyarakat dan infrastrukturnya
yang dijadikan sebagai kebijakan ketahanan pangan nasional.
Beberapa komoditas yang menjadi perhatian utama dalam pencapaian swasembada pangan:
Padi
Dalam kurun waktu satu dasa warsa ke depan Indonesia harus mampu mandiri dalam
memenuhi kebutuhan pangan bagi masyarakat-nya. Dengan asumsi pertumbuhan penduduk ratarata per tahun 1,5 % dan impor beras sekitar 1,5 - 2 juta ton pada tahun 2003 dan produksi dalam
negeri sekitar 52 juta ton, maka untuk mencapai swasembada pada tahun 2010 diperlukan trend
peningkatan produksi sebesar 1,8 – 2,1 % pertahun. Peningkatan ini sangat rasional dan dapat
dilakukan dengan melihat potensi produk-tivitas yang dapat ditingkatkan dan potensi
ketersediaan lahan baru yang dapat dibuka seperti lahan pasang surut, lebak dan lahan kering
untuk padi (Suprihatno, dkk, 1999; Irianto, Gatot, dkk., 2002).
Jagung
Pada tahun 2002 impor jagung mencapai 2,2 juta ton dan sejak tahun 2000 pertumbuhan
produksinya menunjukkan trend yang cenderung negatif. Melihat potensi yang ada bahwa hal
upaya memacu produksi jagung dalam 10 tahun kedepan masih dapat dilakukan, bahkan
sekalipun untuk dapat mencapai surplus (ekspor). Dengan menciptakan tingkat pertumbuhan
produksi 2 % sampai 6,5 % per tahun maka pada tahun 2010 Indonesia akan dapat mengekspor
jagung. Hal ini sangat rasional untuk dapat diwujudkan dan dicapai mengingat masih banyak
lahan tidur dan lahan kering potensial yang dapat dimanfaatkan secara optimal untuk dapat
meningkatkan produksi jagung. Peluang penerapan teknologi produktivitas Bio hayati organic
dan penerapan benih hibrida untuk meningkatkan produktivitas dari rata-rata 3,5 ton/ha menjadi
lebih dari 6,5 ton/ha di lahan tersebut masih sangat rasional apalagi agribisnis jagung telah
didukung dengan tersedia dan kesiapan stakeholder dari hulu sampai hilirnya.
Kedelai
Upaya mendongkrak produksi kedelai memang berat mengingat ada sekitar 70 % kebutuhan
kedelai dipenuhi dari impor. Terus membanjirnya impor kedelai tahun 2000 memiliki dampak
yang tragis bagi petani kedelai dan untuk dapat mencapai imbangan impor harus ada perlakuan
khusus dengan mengembalikan kepercayaan petani kembali bertanam kedelai. Upaya
perimbangan impor dan pertumbuhan produksi kedelai jika produksi dapat terus ditingkatkan
secara linear dari 13 % di tahun 2003 terus tumbuh meningkat hingga 20 % pada tahun 2010.
Selama dasawarsa ke depan (2003 – 2013), yang rasional dilakukan adalah menekan impor
dengan substitusi dari produksi dalam negeri sampai tinggal 10 – 20 % impor. Hal ini relevan
dengan kondisi saat ini dan dapat terjadi jika ada pengaturan tata niaga untuk kepastian harga
yang layak saat petani panen raya dan menciptakan produktivitas kedelai yang tinggi sehingga
menurunkan biaya produksinya per satuan hasil.
Menerapkan kebijakan tata niaga kedelai, pembatasan impor (tarif bea masuk) dan
insentif/subsidi bagi petani produsen dipandang perlu pada komoditas ini karena merupakan
komoditi hajat hidup orang banyak (Inkopti, 2001), jika memang keputusan kemandirian pangan
sebagai keputusan politik untuk ketahanan pangan. Persoalan teknologi produktivitas kedelai dan
lahan sebenarnya bukan lagi sebagai permasalahannya, hanya saja jika petani tidak diberikan
subsidi teknologi, produktivitasnya tetap rendah (< 1,2 ton/ha) dan biaya produksi per satuan
produk menjadi tinggi sehingga ke depannya tidak dapat bersaing dipasaran bebas. Upaya ini
perlu dilakukan dengan dengan menerapkan kebijakan yang simultan untuk merangsang
pertumbuhan tinggi baik dengan melibatkan stakeholder pelaku bisnis kedelai dari hulu hingga
hilir, teknologi, petani, perbankan dan pemerintah.
Harus diciptakan kondisi yang kondusif untuk memberikan perlindungan pada petani.
menciptakan dan mewujudkan kemandirian pangan nasional agar lebih ditekankan pada peran
petani serta stakeholder yang mengawal sistem produksi dari keterjaminan penyediaan teknologi,
sarana produksi hingga industri hilirnya. Fasilitas kebijakan yang memberikan kemudahan petani
pangan mendapatkan subsidi teknologi, mekanisasi dan fasilitasi penunjang budidaya (seperti
infrastruktur untuk pertanian seperti irigasi dan jalan, dan kredit produksi), perlindungan pasar
serta kebijakan impor terbatas diperlukan untuk kembali menggairahkan pertanian pangan.
Dalam hal ini perlu adanya rencana dan pedoman yang jelas dan sistematis sebagai
komitmen bagi stakeholder khususnya dari pemerintah melalui Departemen Pertanian dan
departemen terkait dalam mewujudkan kemandirian pangan nasional yang tangguh sebagai
keputusan nasional yang didukung oleh pemerintah daerah sebagai pelaksana di lapangan.
Upaya menciptakan kemandirian pangan dengan mengembangkan produksi sumber
pangan alternatif substitusi pangan impor dilakukan seiring dengan pemacuan tiga komoditi
pangan utama di atas. Sumber pangan karbohidrat yang dapat dimanfaatkan untuk substitusi
pangan impor seperti kentang, jagung putih dan umbi-umbian. Mengembangkan sumber pangan
alternatif ini justru memiliki nilai ekonomis tinggi karena disamping produktivitas per hektarnya
tinggi, pangan tersebut sebagai bahan baku industri. Dengan keragaman sumber bahan pangan
yang dikonsumsi dan dapat diproduksi di dalam negeri diharapkan dapat menekan impor pangan
secara nyata dan mengurangi ketergantungan pangan dari luar negeri sehingga ketahanan dan
kemandirian pangan nasional semakin mantap.
Diversifikasi Pangan
Isu Diversifikasi di Meruya, Jakarta Barat
Isu diversifikasi pangan secara nasional telah mulai digalakkan di Indonesia sejak tahun
2004. IPB (Institut Pertanian Bogor) sempat membentuk Tim 4 untuk mengonsepkan
diversifikasi pangan Nasional. Konsumsi beras di Indonesia yang mencapai 130/kap/th
menjadikan Indonesia konsumen beras tertinggi di dunia. Sementara Jepang hanya 45 kg,
Malaysia 80 kg dan Thailand 90 kg.
Dalam rangka memperingati Hari Pangan sedunia yang jatuh tanggal 16 Oktober,
dirayakan secara sederhana oleh umat Paroki Maria Kusuma Karmel, Meruya Jakarta Barat,
Minggu 31 Oktober, dengan mengadakan propaganda diversifikasi pangan. Seusai Perayaan
Ekaristi, jemaat diajak untuk mengonsumsi bahan sajian non-beras, berupa umbi-umbian,
jagung,
kacang
rebus
dan
pisang.
Dengan kampanye diversifikasi pangan, Romo, pemimpin perayaan Ekaristi mendorong
solidaritas umat untuk memperhatikan sesama warga Indonesia yang juga berkekurangan
pangan. Penderitaan itu makin bertambah karena bencana alam turut memperparah keadaan.
"Dunia tidak hanya membutuhkan ketahanan pangan untuk menjadi aman secara
kuantitas tetapi keamananan pangan pun menjadi teramat penting. Dengan konsumsi makanan
non-beras, yang umumnya tanpa intervensi pupuk kimia, bahan makanan non-beras menjadi
salah satu penjamin kesehatan manusia modern," demikian seorang aktivis di Kusuma Karmel,
Jakarta Barat mengingatkan.
Analisis :
Dalam kasus tersebut diatas masalah diversifikasi pangan yang terjadi di daerah Meruya,
Jakarta Barat merupakan hal yang sangat baik dilakukan, mengingat akan Indonesia yang telah
mengalami berbagai masalah dalam hal ketahahanan pangan.
Pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi manusia untuk dapat mempertahankan
hidup dan karenanya kecukupan pangan bagi setiap orang setiap waktu merupakan hak azasi
yang layak dipenuhi. Berdasar kenyataan tersebut masalah pemenuhan kebutuhan pangan bagi
seluruh penduduk setiap saat di suatu wilayah menjadi sasaran utama kebijakan pangan bagi
pemerintahan suatu negara.
Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar menghadapi tantangan yang
sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduknya.
Oleh karena itu kebijakan (pemantapan) ketahanan pangan menjadi isu sentral dalam
pembangunan serta merupakan fokus utama dalam pembangunan pertanian. Peningkatan
kebutuhan pangan seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan peningkatan kesempatan
kerja bagi penduduk guna memperoleh pendapatan yang layak agar akses terhadap pangan
merupakan dua komponen utama dalam perwujudan ketahanan pangan. Kebijakan pemantapan
ketahanan pangan dalam hal ini termasuk di dalamnya adalah terwujudnya stabilitas pangan
nasional.
Kebijakan dan strategi serta rencana program aksi diversifikasi pangan dilaksanakan
dengan tujuan :
a. Menyadarkan masyarakat agar dengan sukarela dan atas dasar kemampuannya sendiri
melaksanakan diversifikasi pangan dan meningkatkan pengetahuannya,
b. Mengurangi ketergantungan terhadap beras dan pangan impor dengan meningkatkan
konsumsi pangan, baik nabati maupun hewani dengan meningkatkan produksi pangan lokal
dan produk olahannya.
Beberapa upaya percepatan diversifikasi pangan dalam jangka pendek adalah :
Internalisasi, sosialisasi, promosi dan publikasi rencana aksi diversifikasi pangan;
Peningkatan ketersediaan pangan berbasis pada potensi sumberdaya wilayah yang
berwawasan lingkungan;
Peningkatan kemampuan dan kapasitas sumberdaya manusia dalam pengembangan
diversifikasi produktivitas;
Pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan diversifikasi pangan;
Peningkatan akses pangan dalam pemantapan ketahanan pangan keluarga;
Pengembangan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi; dan
Pemantauan kegiatan diversifikasi pangan dalam pemantapan ketahanan pangan.
Kelembagaan Pangan
KELEMBAGAAN KETAHANAN PANGAN DI LAHAN KERING
(Kasus Ketahanan pangan Desa-Desa Lahan Kering di Kabupaten Lombok Timur)
Karakteristik Petani Lahan Kering
Sistem usahatani lahan kering umumnya cukup komplek. Berbagai usaha dilakukan
petani mulai dari on farm, of farm dan non farm. Seluruh kegiatan tersebut dilakukan petani guna
memenuhi kebutuhan hidup selama satu tahun dan memanfaatkan waktu luang yang tersisa
setelah musim tanam selesai. Di bidang on farm yaitu dalam hal budidaya tanaman, petani
umumnya tidak bertanam secara monokultur tetapi lebih banyak bertanam secara tumpangsari.
Jenis tanaman yang ditumpangsarikan umumnya yang memiliki umur panen berbeda atau
tanaman tersebut sengaja ditanam dengan waktu tanam yang berbeda sehingga waktu panennya
berbeda pula. Teknik bertanam ini merupakan strategi petani untuk mendapatkan sumber
pendapatan berkesinambungan selama satu tahun disamping mengurangi resiko kegagalan panen
karena ketidak pastian curah hujan.
Kegiatan petani pada musim hujan dilahan kering teralokasi dalam satu waktu tertentu
sehingga sering terjadi kekurangan tenaga kerja. Kegiatan harus dilakukan dengan cepat dan
waktu yang tepat untuk mengatisipasi keterbatasan curah hujan akibatnya petani sering
melakukan satu dua pekerjaan dalam waktu yang bersamaan. Lebih lanjut hal ini menyebabkan
posisi tawar tenaga kerja menjadi tinggi pada saat-saat tertentu sehingga biaya produksi di lahan
kering menjadi relatif tinggi.
Sistem kelembagaan pertanian di lahan kering belum berkembang dan memperlihatkan
dinamika kerja yang dikehendaki, petani umumnya belum tergabung dalam kelompoktani yang
aktif. Lembaga finansial, lembaga alsintan, lembaga sarana produksi, lembaga pasca panen dan
lembaga pengolahan hasil umumnya belum terbentuk di lahan kering. Kelembagaan penyuluhan
dalam menangani lahan kering tidak sebaik yang dilakukan dalam menangani lahan sawah irigasi
sehingga informasi terknologi yang diperoleh petani lahan kering relatif sangat terbatas.
Perilaku Ketahanan Pangan
Salah satu upaya pemecahan pemenuhan kebutuhan pangan rumah tangga dalam kondisi
seperti tersebut di atas adalah menjual ternak untuk membeli beras. Ternak yang dipandang
sebagai usaha sampingan dan dipelihara secara tidak intensif menjadi sangat penting artinya
disamping sebagai ternak kerja maka dalam kondisi rawan pangan rumah tangga menjadi
tabungan hidup. Ternak besar dijual untuk memenuhi kebutuhan uang yang cukup besar
sedangkan ternak kecil dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari termasuk membeli beras.
Ternak yang umum dipelihara petani antara lain sapi, kambing dan ayam.
Upaya lain yang dilakukan petani adalah beralih melakukan kegiatan off farm yaitu
bekerja sebagai buruhtani menjadi sangat penting artinya dalam rangka ketahanan pangan
keluarga. Kegiatan berburuhtani tidak saja dilakukan antar agroekosistem dalam satu desa yaitu
petani yang berasal dari daerah lahan kering menjadi buruhtani di daerah lahan sawah irigasi,
tetapi sampai keluar desa, kecamatan dan kabupaten dalam satu pulau dan luar pulau bahkan
keluar propinsi. Pekerjaan yang umum dilakukan yaitu sebagai buruh panen padi dengan imbalan
upah dalam bentuk hasil panen padi. Padi yang diterima dari bekerja sebagai buruhtani disimpan
untuk menjaga ketahanan pangan keluarga.
Kegiatan lain dalam menjaga ketahanan pangan keluarga yaitu melakukan pekerjaan di
luar pertanian (non farm) sebagai buruh bangunan/tukang, tukang ojek, kusir cidomo, kerajinan,
bakulan hasil pertanian membuat batu bata dan TKI. Penduduk yang bekerja di luar sektor
pertanian disamping karena kegagalan panen juga secara umum disebabkan oleh faktor ekonomi
rumah tangga sebagai akibat dari keterbatasan lahan pertanian dan kurangnya lapangan
pekerjaan serta peluang untuk mengembangkan usaha dengan kekuatan modal sendiri yang
sangat terbatas. Disamping itu tidak dapat dipungkiri tingkat upah yang tinggi di luar negeri
menjadi daya tarik tersendiri bagi petani dengan harapan nantinya cepat membayar hutang yang
ditinggalkan sebagai akibat kegagalan panen di daerah asal.
TKI yang bekerja di luar negeri tidak semuanya berhasil beberapa orang justru membawa
permasalahan seperti tidak bisa menutup hutang yang dipinjam untuk berangkat ke luar negeri.
Sedangkan bagi yang berhasil sudah mampu mengirim uang untuk biaya hidup kelurga yang
ditinggal atau untuk membangun rumah dan membeli tanah sawah. Kenyataan yang terjadi saat
ini yaitu sebagian besar penghasilan TKI digunakan untuk membangun rumah dan kawin tetapi
hanya sebagian kecil yang mengalokasikan pendapatannya untuk usaha-usaha yang bersifat
produktif dibidang pertanian maupun usaha lainnya.
Harapan lain petani dalam menjaga ketahanan pangan rumah tangganya adalah
melakukan pinjaman pada tetangga, bahkan pinjaman dalam bentuk ijon-pun tidak segan-segan
diterima petani dari para pelepas uang. Jaminan untuk menadapat pinjaman ijon biasanya
tanaman vanili, coklat, kopi dalam kondisi sedang berbunga atau berbuah muda, akibatnya,
sudah tentu maka harga yang diterima petani menjadi sangat rendah. Anak sapi yang masih
berada dalam kandungan diijonkan petani di desa Sajang untuk memperoleh uang dalam rangka
ketahanan pangan rumah tangga
Pengeluaran untuk pangan meliputi beras, lauk pauk, makanan kecil, minyak goreng,
gula, kopi, teh dan lain-lain, sedangkan pengeluaran non pangan meliputi penerangan, sabun,
odol, alat rumah tangga, pakaian, transportasi, pendidikan, rokok/tembakau, perbaikan rumah
dan pajak bumi dan bangunan. Pengeluaran rumah tangga untuk pangan mencapai lebih dari
50%, menunjukkan bahwa tingkat ketahanan pangan rumah tangga petani di wilayah lahan
kering relatif rendah. Hasil kajian Sri Hastuti et al (2005) tentang pola
pendapatan dan
pengeluaran terhadap ketahanan pangan rumah tangga di desa Sambelia yang merupakan desa
lahan kering dataran rendah menjelaskan bahwa pengeluaran petani miskin untuk pangan
mencapai 54,27 % artinya ketahanan pangan rumah tangga relatif rendah.
Dalam
Usahatani
Luar Pertanian
Luar
Usahatani
Pemasukan rumah tangga
Pendapatan
Rumah tangga
Pengeluaran untuk
pangan
Pengeluaran non
pangan
(51,86 %)
(48,14 %)
Gambar pemasukan dan pengeluaran rumah tangga petani miskin desa lahan kering di Lombok
Timur
Kebijakan Ketahanan Pangan
Dengan penduduk lebih dari 215 juta jiwa, Indonesia saat ini membutuhkan bahan
pangan pokok sekurangkurangnya 53 juta ton beras, 12,5 juta ton jagung dan 3,0 juta ton
kedelai. Ketersediaan bahan pangan pokok ini sekarang sudah di ambang krisis. Di satu sisi,
tingkat produktivitas sudah sampai pada taraf stagnan dan bahkan menurun. Di sisi lain, luas
areal pertanian pangan terus mengalami penurunan. Data Sensus Pertanian 2003 menunjukkan
terjadinya laju konversi lahan sawah yang sangat mencengangkan. Selama periode 2000-2002
konversi lahan sawah mencapai 563.000 hektar atau rata-rata sekitar 188.000 hektar per tahun.
Dengan luas sawah 7,75 juta hektar pada tahun 2002, pengurangan luas sawah akibat konversi
lahan mencapai 7,27% selama 3 tahun atau rata-rata 2,42% per tahun.
Dampak konversi lahan sawah terhadap masalah pangan lebih merugikan disbanding
dampak faktor lainnya seperti kekeringan, banjir, dan serangan hama/penyakit. Konversi lahan
sawah bersifat irreversible karena tidak mungkin
lagi dikembalikan ke kondisi semula.
Dampaknya pada masalah ketersediaan pangan bersifat permanent atau tetap terasa dalam
jangka panjang meskipun konversi lahan baru tidak terjadi lagi. Sementara pada peristiwa
kekeringan, banjir, dan serangan hama/penyakit, masalah pangan yang ditimbulkannya
bersifat temporer, artinya masalah itu hanya muncul ketika peristiwa tersebut terjadi (Irawan
2005).
Kenyataan konversi lahan ini merupakan gejalah yang menunjukkan dua hal yang
lebih
besar dalam kebijakan
pangan
kita. Pertama, bahwa kebijakan ketahanan pangan
ternyata tidak cukup hanya berbicara mengenai peningkatan produktivitas demi menjamin
ketersediaan pangan. Kedua, bahwa ternyata mustahil membicarakan persoalan
ketahanan
pangan tanpa mengindahkan pula aspek keagrariaan yang mendasarinya. Konteks Keagrariaan
Pendekatan
ketahanan pangan
konvensional yang
hanya menekankan
ketersediaan dan
aksesibilitas pangan telah gagal untuk mempersoalkan bagaimana pangan itu diproduksi, dari
mana pangan itu berasal, dan sejauh manakah hak rakyat atas sumberdaya produktif untuk
menghasilkan pangannya bisa dijamin. Di negara-negara pasca-kolonial yang mewarisi struktur
agraria yang timpang, penyebab utama rawan pangan justru adalah lemahnya akses terhadap
tanah untuk memproduksi pangan.
Dalam konteks ketimpangan ini, pelaksanaan Revolusi Hijau memang
sukses
meningkatkan produktivitas per unit lahan, namun pada saat yang sama ia juga menyebabkan
terjadinya guremisasi dan bahkan buruhisasi petani. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan
produktivitas itu ternyata hanya mampu dilakukan dan dinikmati oleh segelintir petani kaya
saja, sementara kebanyakan petani miskin dan berlahan sempit kian terlempar dari lahan dan
usahataninya sendiri. Pengalaman di Indonesia menunjukkan bawa meskipun Revolusi Hijau
berhasil meningkatkan produksi pangan (padi) pada lahan-lahan pertanian secara nasional,
namun hal itu gagal mendorong sistem pangan lokal yang kuat dan berkelanjutan. Artinya,
kebijakan itu bukan ditujukan untuk memperkuat sistem pangan lokal yang telah berkembang
sebelumnya, misalnya dengan memperkuat akses masyarakat terhadap sumber-sumber agraria,
teknologi lokal, sistem kelembagaan pangan, system pengembangan infrastruktur yang berbasis
petani, sistem perdagangan lokal, atau sistem pengelolaan cadangan pangan seperti lumbung.
Berbagai sub-sistem dalam sistem pangan rakyat bukannya semakin kuat tetapi justru
semkin terpinggirkan oleh kebijakan pangan yang sentralistik selama Orde Baru (Witoro 2003).
Berbicara mengenai konteks struktur agraria di Indonesia, setidaknya terdapat tiga jenis
ketimpangan menyangkut penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria, yaitu:
(1) ketimpangan dalam hal struktur “pemilikan” dan “penguasaan” tanah;
(2) dalam hal “peruntukan” tanah; dan
(3) dalam hal incompatibility menyangkut persepsi dan konsepsi mengenai agraria.
Persoalan ketimpangan pertama, yang sudah disinggung di depan, dewasa ini terus
menunjukkan
kecenderungan
peningkatan sebagaimana bisa dicermati dari table berikut
(Hardiyanto 1998).
Distribusi Luas Usaha Tani di Indonesia 1973-199
Luas
Usaha
Tani
(hektar)
1973
%
%
Usaha
Area
1983
Ratarata
luas
(hektar)
Tani
%
%
Usaha
Area
1993
Ratarata
luas
(hektar)
Tani
%
%
Usaha
Area
Ratarata
luas
(hektar)
Tani
< 0,50
45,6
11,9
0,26
40,8
10,2
0,26
48,5
15,6
0,17
0,50-1,9
42,8
41,0
0,95
44,9
40,3
0,94
39,6
49,2
0,90
2,00-4,9
9,4
26,6
2,78
11,9
30,9
2,72
10,6
37,3
3,23
5,00 +
2,1
20,5
9,45
2,4
18,6
8,11
1,3
12,9
11,9
Jumlah
----
15,9 juta
17,9 juta
usahatani
Jumlah
area
----
16,7 juta
15,4 juta
Rata-rata
luas
usaha tani
----
1,05 hektar
0,74 hektar
Ketimpangan
kedua, yakni masalah
peruntukan
lahan, terlihat dari belum kuatnya
political will dan paradigma pembangunan yang berpihak pada sektor pertanian pertanian.
Inilah yang menjelaskan terjadinya konversi lahan-lahan pertanian ke nonpertanian dengan laju
kecepatan yang sangat tinggi. Adapun
ketimpangan
ketiga menyangkut perbedaan atau
benturan persepsi dan konsepsi, yaitu antara pranata dan praktik pengusaan dan pengelolaan
tanah/sumber agraria pada sekelompok komunitas lokal dengan konsep-konsep hukum positif.
Ketimpangan terjadi ketika tata cara penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria
yang bersumber dari hokum positif seringkali menafikan apa yang telah lama dipraktikkan dan
dikenal oleh komunitas lokal. Dengan memperhatikan tiga konteks ketimpangan ini, maka
kebijakan
pangan
di masa depan
tidak bisa dilakukan
tanpa mengindahkan persoalan
keagrariaan. Tanpa menjalankan program pembaruan agraria secara komprehensif, maka
kecenderungan guremisasi dan buruhisasi petani akan terus berlanjut, konversi lahan pertanian
juga akan tetap terjadi, dan ketahanan pangan yang diinginkan tidak akan pernah tercapai. Di
sinilah
terletak
tantangan
dari komitmen
Program Pembaruan Agraria Nasional yang
disampaikan pemerintah baru-baru ini melalui alokasi 8,15 juta hektar lahan untuk rakyat.
Pertanyaannya, sejauh manakah komitmen tersebut benar benar bisa diarahkan untuk menjawab
ketiga ketimpangan yang disampaikan di depan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan pengertian dan konsep yang ada maka beberapa ahli sepakat bahwa
ketahanan pangan minimal mengandung dua unsur pokok yaitu ”ketersediaan pangan dan
aksesibilitas masyarakat terhadap pangan”. Menurut Arifn, jika salah satu unsur tersebut tidak
dipenuhi maka suatu negara belum dapat dikatakan mempunyai ketahanan pangan yang baik.
Beberapa komponen yang harus dipenuhi untuk mencapai kondisi ketahanan pangan
yaitu : kecukupan ketersediaan pangan, stabilitas ketersediaan pangan tanpa fluktuasi dari musim
ke musim atau dari tahun ke tahun, aksesibilitas/keterjangkauan terhadap pangan dan
kualitas/keamanan pangan.
Salah satu upaya yang dilakukan agar tercapainya ketahanan pangan yaitu menciptakan
dan mewujudkan kemandirian pangan nasional agar lebih ditekankan pada peran petani serta
stakeholder yang mengawal sistem produksi dari keterjaminan penyediaan teknologi, sarana
produksi hingga industri hilirnya. Fasilitas kebijakan yang memberikan kemudahan petani
pangan mendapatkan subsidi teknologi, mekanisasi dan fasilitasi penunjang budidaya (seperti
infrastruktur untuk pertanian seperti irigasi dan jalan, dan kredit produksi), perlindungan pasar
serta kebijakan impor terbatas diperlukan untuk kembali menggairahkan pertanian pangan.
DAFTAR PUSTAKA
Handoyo, Rudi. 2007. KETAHANAN PANGAN (I). http://idur.wordpress.com/ (diakses pada
tanggal 12 Desember 2010).
Ahsan, Maulana. 2008. KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA DI PERDESAAN:
KONSEP DAN UKURAN Tim penelitian ketahanan pangan dan kemiskinan
dalam
konteks
demografi
Puslit
Kependudukan
–LIPI.
http://webcache.googleusercontent.com/ (diakses pada tanggal 12 desember
2010).
Anonim. 2010. Hari Pangan Sedunia: Isu Diversifikasi Pangan. Jakarta : Kabar Indonesia.
http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/ ( diakses pada tanggal 11
Desember 2010).