PENGARUH KETERSEDIAAN BAHAN ORGANIK PADA DAYA PREDASI Mesocyclops aspericornis TERHADAP LARVA Aedes aegypti SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

DAYA PREDASI Mesocyclops aspericornis

TERHADAP LARVA Aedes aegypti

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran AMANDA ARTA M. SIMANJUNTAK

G0008196

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

A. Simpulan ......................................................................................... ......... 32

B. Saran .......................................................................................... ............... 32 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

ABSTRAK

Amanda Arta M. Simanjuntak, G0008196, 2011. Pengaruh Ketersediaan Bahan Organik pada Daya Predasi Mesocyclops aspericornis terhadap Larva Aedes aegypti. Skripsi Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Tujuan Penelitian: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ketersediaan bahan organik pada daya predasi Mesocyclops aspericornis terhadap Larva Aedes aegypti.

Metode Penelitian: Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorik dengan metode post-test only control group design, dilakukan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit (B2P2VRP), Salatiga, Jawa Tengah

pada bulan Agustus 2011. Objek penelitian larva Aedes aegypti instar I dan II. Objek penelitian dibagi menjadi 8 kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 23 larva. Teknik sampling yang digunakan adalah random sampling. Mesocyclops aspericornis terlebih dahulu dipuasakan selama satu hari dan dipelihara dalam rendaman bahan organik selama 3 hari, setelah itu baru dimasukkan larva Aedes aegypti. Pelihara selama 2 hari. Pengamatan dilakukan pada jam pertama, kedua, keempat, kedelapan, kedua puluh empat, dan keempat puluh delapan. Pengamatan dilakukan sebanyak 3 kali ulangan.

Hasil Penelitian: Hasil perhitungan uji statistik Anova dengan p = 0,048 (p<0,05) menunjukkan ada perbedaan signifikan pada jumlah larva Aedes aegypti yang tersisa pada kadar bahan organik I, II, II, dan IV. Hasil uji Post-Hoc antara kadar IV dengan kadar yang lain menunjukkan nilai p < 0,05 menunjukkan bahwa kadar IV memiliki perbedaan paling signifikan dibanding kadar lain.

Simpulan Penelitian: Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ketersediaan bahan organik secara statistik berpengaruh pada daya predasi Mesocyclops aspericornis terhadap larva Aedes aegypti. Ketersediaan bahan organik kadar tinggi justru menurunkan daya predasi Mesocylops aspericornis terhadap larva Aedes aegypti.

Kata Kunci: Daya predasi, Mesocyclops aspericornis, larva Aedes aegypti

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang menjadi fokus utama kesehatan internasional. Insidensi virus Dengue telah berkembang pesat di seluruh dunia akhir- akhir ini. Dua setengah milyar orang, yaitu dua perlima dari populasi dunia sekarang berisiko terkena virus Dengue. World Health Organization memperkirakan ada kurang lebih lima puluh juta infeksi Dengue setiap tahunnya di dunia (WHO, 2009).

Demam Berdarah Dengue juga merupakan penyakit endemis di Indonesia. Pada tahun 2010 telah dilaporkan sebanyak 2.603 kasus dengan kematian 35 orang di 12 Provinsi yakni : Bangka Belitung, Lampung, Banten, Jawa Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Nusa Tenggara Timur (Ditjen PP & PL, 2010).

Penanggulangan DBD seperti juga penyakit menular lain, dapat didasarkan atas pemutusan rantai penularan, dalam hal DBD ini komponen penularan terdiri dari virus Dengue, Aedes aegypti, dan manusia penderitanya. Manfaat penanggulangan penyakit DBD adalah pengurangan kesakitan, kematian, serta penderitaan individu dan keluarganya. Namun karena sampai

sekarang belum ditemukan obat/vaksinnya, maka salah satu penanggulangan penyakit DBD adalah dengan cara pencegahan penularannya, yaitu dengan memberantas vektornya. Pemberantasan vektor DBD stadium pradewasa relatif lebih mudah daripada stadium dewasanya. Pemberantasan stadium dewasa Aedes aegypti dapat dilakukan secara hayati atau kimiawi. Upaya secara kimiawi menggunakan insektisida, semakin lama justru menimbulkan resistensi nyamuk vektor. Jika dosis insektisida terus-menerus ditingkatkan, pada suatu saat akan membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan. WHO (1987) melaporkan bahwa di Karibia dan sekitarnya, jentik Aedes aegypti telah resisten terhadap Malathion, Fenitrothion, Fenthion, dan Temephos yang digunakan secara luas sejak tahun 1973. Melihat adanya resistensi pemakaian larvasida kimia yang dimasukkan ke dalam tempat penampungan air, termasuk air minum perlu mendapatkan perhatian yang seksama. Alternatif lain yang lebih berwawasan lingkungan perlu dipertimbangkan untuk mengendalikan vektor penyakit. Salah satu cara yang banyak diteliti dan dikembangkan adalah penggunaan predator jentik nyamuk dalam upaya pengendalian vektor secara hayati (Yuniarti & Widyastuti, 2000).

Mesocyclops adalah Cyclopoid Copepoda, dilaporkan sebagai predator jentik Aedes dan jentik nyamuk dari genus atau spesies lain.

Mesocyclops dapat bertahan hidup selama dalam penampungan air asalkan ada air dan suplai makanan (Marten, 1989).

Mesocyclops aspericornis merupakan salah satu jasad hayati yang terbukti efektif sebagai vektor kontrol yang digunakan untuk pengendalian jentik nyamuk malaria dan demam berdarah. Mesocyclops aspericornis memiliki tingkat predasi dan reproduksi yang tinggi dan mampu memakan berbagai macam organisme seperti: Algae, Rotifera, Copepoda yang lain, Protozoa, Chironomid, Oligochaeta, larva ikan, dan beberapa organisme akuatik yang lain (Williamson, 1991).

Mesocyclops aspericornis merupakan spesies Copepoda yang hidup bebas dan tersebar luas di danau air tawar, reservoir, parit, kolam, lubang

pohon, sumur dan liang/lubang kepiting. Menurut Williamson (1991) Copepoda juga ditemukan berlimpah pada rawa, tanah basah, air payau, empang, genangan air, dan beberapa spesies Copepoda dapat hidup pada celah atau di bawah sistem permukaan tanah.

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Yuniarti (1997) mengenai daya predasi dan reproduksi Mesocyclops aspericornis dilaporkan bahwa Mesocyclops aspericornis memiliki kemampuan makan terhadap jentik nyamuk Aedes aegypti pada tempat penampungan air (air ledeng) berkisar antara 77,77 - 99,34 % dan pada air sumur berkisar antara 97,32 – 100 % Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Yuniarti (1997) mengenai daya predasi dan reproduksi Mesocyclops aspericornis dilaporkan bahwa Mesocyclops aspericornis memiliki kemampuan makan terhadap jentik nyamuk Aedes aegypti pada tempat penampungan air (air ledeng) berkisar antara 77,77 - 99,34 % dan pada air sumur berkisar antara 97,32 – 100 %

Oleh karena hal tersebut di atas, penulis berkeinginan untuk mengendalikan faktor yang mempengaruhi daya predasi Mesocyclops aspericornis , di antaranya adalah ketersediaan bahan organik seperti kondisi di alam. Dalam penelitian kali ini penulis akan menggunakan media rendaman kangkung dan rendaman tinja kelinci dalam berbagai kadar selama beberapa hari untuk mengetahui efeknya pada daya predasi.

B. Rumusan Masalah

Apakah pengaruh ketersediaan bahan organik pada daya predasi Mesocyclops aspericornis terhadap larva Aedes aegypti?

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui pengaruh ketersediaan bahan organik pada daya predasi Mesocyclops aspericornis terhadap larva Aedes aegypti.

D. Manfaat Penelitian

1. Teoritik : Memperluas pengetahuan tentang pemberantasan vektor, khususnya secara hayati dengan menggunakan Mesocyclops aspericornis.

2. Praktis : Mesocyclops aspericornis diharapkan dapat sebagai salah satu alternatif pemberantasan vektor nyamuk Aedes aegypti sehingga dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari di lapangan dan supaya dapat diketahui media optimal untuk mengembangkan daya predasi Mesocyclops aspericornis.

BAB II LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Aedes aegypti

a. Klasifikasi Kingdom

: Aedes aegypti

( Reinert, 2004).

b. Morfologi Aedes yang berperan sebagai vektor penyakit semuanya tergolong Stegomyia dengan ciri-ciri tubuh bercorak belang hitam putih pada dada, perut, dan tungkai. Corak ini merupakan sisi yang menempel di luar tubuh nyamuk. Corak putih pada dorsal dada nyamuk berbentuk seperti siku yang berhadapan (Fitriasih, 2008).

Telur Aedes berukuran kecil (± 50 mikron), berwarna hitam, sepintas tampak bulat panjang dan berbentuk oval menyerupai torpedo, di bawah mikroskop, pada dinding luar (exochorion) telur nyamuk ini, tampak ada garis-garis yang membentuk gambaran menyerupai sarang lebah. Larva Aedes aegypti berbentuk lonjong, tampak seperti anyaman kasa pada dindingnya. Larva Aedes aegypti mempunyai sifon panjang dan bulunya satu pasang, sisir bergigi lateral, pelana tidak menutupi segmen anal (Juni Prianto, 1999).

1) Daur Hidup dan Habitat Perkembangan Aedes aegypti melalui berbagai perubahan bentuk (metamorphosis) : telur – jentik (larva) – kepompong (pupa) – nyamuk. Perkembangan dari telur menjadi jentik memerlukan 2 – 3 hari, dari jentik menjadi kepompong rata- rata 4 – 9 hari, dan dari kepompong sampai menetas menjadi nyamuk diperlukan waktu 7 – 14 hari (Hardjanto, 2009).

Nyamuk Aedes aegypti, seperti halnya Culicines lain, meletakan telur pada permukaan air bersih secara individual. Setiap hari nyamuk

Aedes betina dapat bertelur rata-rata 100 butir. Telur membutuhkan waktu satu sampai dua hari untuk menjadi larva (Pandujati, 2009).

Larva ini terbagi menjadi 4 stadium sebelum tumbuh menjadi pupa (Hoedojo, 1993). Stadium larva biasanya berlangsung 6 - 8 hari (Depkes RI, 1992). Dari stadium larva akan berubah menjadi pupa. Pupa ini tidak makan tapi masih memerlukan oksigen yang diambil melalui tabung pernapasan. Pupa ini sangat sensitif terhadap pergerakan air. Stadium ini berlangsung antara 2 - 3 hari dan akan tumbuh menjadi nyamuk dewasa (Soedarto, 1992). Pertumbuhan dari sejak telur keluar sampai menjadi nyamuk dewasa kira-kira mencapai 7 - 14 hari (Hardjanto, 2009).

c. Sifat Hidup Larva Setelah telur menetas tumbuh menjadi larva yang disebut larva stadium I (instar I). Kemudian larva stadium I ini melakukan 3 kali pengelupasan kulit (ecdysis atau moulting), berturut- turut menjadi larva stadium II, larva stadium III, dan larva stadium IV (Hoedojo, 1993).

Dalam air di wadah, larva Aedes bergerak sangat lincah dan aktif, dengan memperlihatkan gerakan-gerakan naik ke permukaan air dan turun ke dasar wadah secara berulang-ulang. Larva Aedes aegypti dapat hidup di wadah yang mengandung air ber-pH 5,8 – 8,6. Jentik dalam kondisi yang sesuai akan berkembang dalam waktu 6 – 8 hari dan akan Dalam air di wadah, larva Aedes bergerak sangat lincah dan aktif, dengan memperlihatkan gerakan-gerakan naik ke permukaan air dan turun ke dasar wadah secara berulang-ulang. Larva Aedes aegypti dapat hidup di wadah yang mengandung air ber-pH 5,8 – 8,6. Jentik dalam kondisi yang sesuai akan berkembang dalam waktu 6 – 8 hari dan akan

2. Pengendalian Vektor

Pemberantasan sebenarnya lebih tepat disebut pengendalian, tujuannya menekan populasi serangga vektor sampai berada di bawah batas kemampuannya dalam menularkan penyakit. Pengendalian nyamuk Aedes aegypti dapat dilakukan pada beberapa stadium, yaitu telur, larva, pupa, dan nyamuk dewasa (Soedarto, 1992).

Untuk stadium larva ada empat cara pengendalian, yaitu:

a. Cara Kimia

Cara pemberantasan larva Aedes aegypti menggunakan insektisida pembunuh larva lebih dikenal dengan istilah larvasida. Larvasida yang biasa digunakan antara lain temephos. Formulasi temephos yang digunakan adalah butiran. Dosis yang digunakan 1 ppm atau 10 gram untuk tiap 100 liter air. Larvasida temephos mempunyai efek residu 3 bulan. Selain itu dapat pula digunakan golongan insect growth regulator (Depkes RI, 2003).

b. Cara Biologi/Hayati

Menurut Jumar (1997), pengendalian hayati adalah pengendalian serangga dengan cara biologi, yaitu dengan memanfaatkan musuh- musuh alaminya (agensia pengendali biologi), seperti predator, parasit, dan patogen.

Beberapa keunggulan pengendalian hayati dalam Jumar (1997), antara lain:

1) Aman, tidak menimbulkan pencemaran lingkungan, tidak menyebabkan keracunan pada manusia dan ternak.

2) Tidak menyebabkan resistensi terhadap sasaran.

3) Musuh alami bekerja secara selektif terhadap inang atau mangsanya.

4) Bersifat permanen, untuk jangka panjang dinilai lebih murah apabila keadaan lingkungan telah stabil atau telah terjadi keseimbangan antara hama dengan musuh alaminya.

Selain itu ada beberapa kelemahan dalam pengendalian hayati, di antaranya (Jumar, 1997) :

1) Hasil sulit diprediksi dalam waktu singkat.

2) Diperlukan biaya yang cukup besar pada tahap awal baik untuk penelitian maupun untuk pengadaan sarana dan prasarananya.

3) Pembiakan masa di laboratorium kadang-kadang menghadapi kendala, karena musuh alami menghendaki kondisi lingkungan yang khusus.

4) Teknik aplikasi di lapangan belum banyak dikuasai.

c. Cara Fisik

Cara ini dikenal dengan kegiatan 3M, yaitu menguras bak mandi, bak WC, menutup tempat penampungan air rumah tangga, serta Cara ini dikenal dengan kegiatan 3M, yaitu menguras bak mandi, bak WC, menutup tempat penampungan air rumah tangga, serta

d. Cara Lingkungan

Cara ini dikenal dengan modifikasi lingkungan dan pengelolaan lingkungan. Modifikasi lingkungan antara lain dengan (Depkes RI, 2000):

1) Perbaikan saluran air

Apabila aliran dan sumber air tidak memadai dan hanya tersedia pada jam tertentu maka harus diperhatikan kondisi penyimpanan air pada berbagai jenis wadah. Suplai air minum yang tersedia dalam jumlah yang cukup, berkualitas baik, dan terus menerus sangatlah penting agar penyimpanan air yang dapat digunakan sebagai tempat perindukan larva dapat dikurangi.

2) Talang air atau tangki air bawah tanah dibuat antinyamuk Perindukan larva Aedes aegypti di talang air atau tanki air bawah tanah yang bangunannya terbuat dari batu harus dibuat antinyamuk. Sedangkan pengelolaan lingkungan dilakukan dengan mengeringkan instalasi penampungan air. Genangan air akibat kebocoran di ruang berdinding batu, pipa saluran, katup pintu air, 2) Talang air atau tangki air bawah tanah dibuat antinyamuk Perindukan larva Aedes aegypti di talang air atau tanki air bawah tanah yang bangunannya terbuat dari batu harus dibuat antinyamuk. Sedangkan pengelolaan lingkungan dilakukan dengan mengeringkan instalasi penampungan air. Genangan air akibat kebocoran di ruang berdinding batu, pipa saluran, katup pintu air,

a. Klasifikasi Kingdom

: Mesocyclops aspericornis

(Myers, 2008)

b. Morfologi Mesocyclops aspericornis berukuran 0,5 – 2,0 mm dan merupakan Copepoda yang hidup bebas (Yuniarti dkk., 1995). Tubuhnya bersegmen- segmen, terdiri atas segmen kepala dan dada yang menjadi satu (sefalotoraks) dan segmen abdomen (Upiek, 1998). Di bagian abdomen dilengkapi 5 pasang kaki, pada kepala terdapat mata median (Radiopoetro, 1996). Pada bagian anterior dilengkapi alat mulut dan antena, bagian posterior dilengkapi ekor (Upiek , 1998). Alat mulutnya dilengkapi dengan alat pemotong yang bergigi- gigi disebut gnathobasis (Radiopoetro, 1996). Yang betina membawa telur- telurnya di dalam dua kantung yang terletak di sebelah lateral dekat ujung abdomen (Borror et al., 1992).

Gambar 1. Morfologi Mesocyclops aspericornis (labs1.eol.org)

c. Daur Hidup dan Habitat Mesocyclops aspericornis mengalami reproduksi secara seksual. Baik jantan maupun betina dapat melakukan perkawinan satu kali atau lebih (Upiek, 1998).

Adapun siklus hidup atau metamorfosis Mesocyclops aspericornis, adalah sebagai berikut (Pennak, 1978) :

1) Telur: bentuk bulat bergerombol yang diletakkan pada oviseas atau kantung telur

2) Nauphillus I: tiga pasang bagian tubuh yang memendek diwakili oleh antena pertama, kedua, dan mandibel.

3) Nauphillus II: setelah masa pemberian makanan, mempunyai maksila tambahan.

4) Nauphillus VI: mempunyai semua bagian tubuh menyambung dengan pasangan lengan kedua.

5) Copepodid I: mempunyai empat ruas toraks, semua bagian tubuh menyambung dengan pasangan lengan keempat.

6) Dewasa: Mesocylcops aspericornis dewasa dapat bertahan hidup sampai 2,5 bulan. Untuk jantan lebih cepat mati karena bersifat kanibal. Mesocyclops aspericornis dewasa dapat kawin satu kali dan lebih.

Waktu yang dibutuhkan untuk mengalami siklus hidup yang sempurna, dari telur hingga telur lagi merupakan variabel yang tinggi tergantung dari spesies dan kondisi lingkungan, untuk Mesocyclops aspericornis berkisar 7 hingga 180 hari (Pennak, 1978).

Penelitian yang dilakukan oleh Yuniarti dkk. (1997) menunjukkan bahwa reproduksi Mesocyclops aspericornis paling tinggi diperoleh dari medium rendaman tinja marmut, diikuti oleh medium rendaman eceng gondok, dan rendaman jerami. Di daerah tropis dan subtropis, distribusi Mesocyclops tersebar luas terdapat dalam jumlah yang melimpah di danau air tawar, reservoir (tendon air), parit, kolam, lubang pohon, sumur, dan liang kepiting (Widyastuti, 1995). Mesocyclops aspericornis dilaporkan sebagai hewan pemakan Algae, Rotifera, Protozoa, Chorinomid, Ologochaeta, ikan kecil, dan beberapa organisme akuatik lainnya (Yuniarti, 1997).

d. Perilaku Mesocyclops aspericornis Sama seperti predator pada umumnya, Mesocyclops aspericornis sebagai predator bagi larva nyamuk (Jumar, 1997) juga memiliki ciri sebagai berikut:

1) Predator dapat memangsa semua tingkat perkembangan mangsa (telur, larva, nympha, pupa, dan imago). Dalam hal ini Mesocyclops aspericornis memangsa nyamuk pada masa larva instar I dan II awal.

2) Predator membunuh dengan cara memakan atau menghisap mangsanya dengan cepat.

3) Seekor predator memerlukan dan memakan banyak mangsa selama hidupnya.

Mesocyclops aspericornis memakan kurang lebih 15 larva per hari.

4) Predator membunuh mangsa untuk dirinya sendiri.

5) Kebanyakan predator bersifat karnivor, baik pada saat pradewasa maupun sesudah dewasa (imago) dan memakan jenis mangsa yang sama atau beberapa jenis mangsa.

6) Predator memiliki ukuran tubuh lebih besar dibandingkan tubuh mangsanya.

7) Dari segi perilaku makannya, ada predator yang mengunyah semua bagian tubuh mangsanya, begitu juga Mesocyclops aspericornis.

8) Metamorfosis predator ada yang sempurna dan ada juga yang tidak sempurna.

4. Peranan Mesocyclops aspericornis sebagai Pengendali Hayati Larva

Mesocyclops aspericornis sebagai pengendali hayati larva Aedes aegypti sudah dibuktikan dengan hasil penelitisan Yuniarti, dkk bahwa larva Aedes aegypti Mesocyclops aspericornis sebagai pengendali hayati larva Aedes aegypti sudah dibuktikan dengan hasil penelitisan Yuniarti, dkk bahwa larva Aedes aegypti

a. Perilaku aktif jentik nyamuk Aedes aegypti yang aktif, karena menurut monokov dalam Yuniarti, dkk (2000), Cyclopoida cenderung menangkap mangsa yang lebih aktif, sedangkan mangsa yang kurang aktif dapat dideteksi hanya setelah kontak.

b. Perilaku makan jentik Aedes aegypti bisa mengambil makanan di dasar, sedang Mesocyclops aspericornis yang hidup di dasar memungkinakan terjadinya kontak kedua organisme tersebut relatif tinggi.

Berdasarkan hasil penelitian-penelitian yang telah dilakukan berhubungan dengan keberhasilan Mesocyclops aspericornis dalam memangsa larva nyamuk Aedes aegypti, berarti bahwa Mesocyclops aspericornis sebagai predator larva nyamuk sangat berperan dan bermanfaat guna mengendalikan perkembangan nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor Dengue yang pada akhirnya akan menekan jumlah prevalensi penyakit Deman Berdarah Dengue.

B. Kerangka Pemikiran

C . Hipotesis

Ketersediaan bahan organik menurunkan daya predasi Mesocyclops aspericornis terhadap larva Aedes aegypti.

Mesocylops aspericornis

dipelihara di tempat penampungan air berisi bahan

organik

Larva Aedes aegypti

Faktor yang mempengaruhi:

1. Suhu udara

2. Suhu air

3. Air yang dipakai

4. pH

Kemampuan makan Mesocylops aspericornis

BAB III METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik dengan post test only group design

B. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit (B2P2VRP), Salatiga, Jawa Tengah

C. Subjek Penelitian

Subjek penelitian yang dipakai yaitu Mesocyclops aspericornis dan larva Aedes aegypti instar I atau II

D. Teknik Sampling

Pengambilan sampel dilakukan dengan cara random sampling

E. Identifikasi Variabel :

1. Variabel bebas : Jenis bahan oganik dan kadar bahan organik.

2. Variabel terikat : Jumlah larva Aedes aegypti yang tersisa

3. Variabel luar (pengganggu)

a. Terkendali :

1) Suhu udara dan suhu air

2) Air yang dipakai

3) pH 3) pH

F. Definisi Operasional Variabel

1. Variabel bebas

a. Jenis bahan organik Bahan organik yang digunakan adalah rendaman kangkung dan rendaman tinja kelinci yang mengandung sumber makanan alternatif bagi Mesocyclops aspericornis seperti Algae, Protozoa, dan Rotifera (Setyaningrum dkk., 2008). Skala : rasio

b. Kadar bahan organik Konsentrasi rendaman kangkung dan rendaman tinja kelinci yang digunakan masing-masing adalah 0%; 15%; 30%; dan 45%. Skala : interval

2. Variabel terikat Larva Aedes aegypti yang dipakai yaitu larva instar I atau II, berumur sekitar 1-3 hari, sebanyak 3000 ekor. Diperoleh dari hasil pemeliharaan dan pengembangan di laboratorium Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit (B2P2VR) Salatiga, Jawa Tengah. Skala

: rasio

3. Variabel luar (pengganggu)

a. Terkendali :

1. Suhu udara dan suhu air

Percobaan dilakukan pada suhu ruangan (kurang lebih 25 0 C).

Skala : interval

2. Air yang dipakai Pada penelitian ini menggunakan air ledeng

3. Ukuran panjang Mesocyclops aspericornis Berukuran panjang kurang lebih 1 mm Skala : interval

4. pH Percobaan dilakukan pada pH

b. Tidak terkendali: Kemampuan makan Mesocyclops aspericornis tergantung selera makan dan kondisi kesehatannya.

G. Alat dan Bahan

1. Wadah tempat pembiakan dari bahan plastik dengan volume 1 L

2. Pipet dengan diameter mulut pipet ± 4 mm untuk mengambil dan menghitung jentik Aedes aegypti dan Mesocyclops aspericornis.

3. Jentik nyamuk Aedes aegypti instar I atau II ditaruh ke dalam gelas-gelas plastik dengan pipet.

4. Dog food yang sudah dihaluskan dengan blender untuk makanan jentik nyamuk Aedes aegypti.

5. Mesocyclops aspericornis dewasa sebanyak 20 ekor yang dihitung secara manual dengan pipet, ditaruh dalam nampan plastik berisi air.

6. Rendaman kangkung dan rendaman tinja kelinci

H. Rancangan Penelitian

Eksperimen

M esocylopsa

spericornis

Pelih ara sela ma 3 hari

Larva Aedes aegypti

Bandingkan jumlah larva yang tersisa

850 ml air

+ 150 ml rendaman kangkung

550 ml air

+ 450 ml rendaman kangkung

700 ml air

+ 300 ml rendaman kangkung

1 L air

I. Cara Kerja

Penelitian dilakukan menurut metode Endah Setyaningrum (2008) yang dimodifikasi

1. Pembuatan media

a. Kangkung dan tinja kelinci dikeringkan kemudian ditimbang berat keringnya.

M esocylopsaspericornis

Pelih ara sela ma 3 hari

Larva Aedes aegypti

Bandingkan jumlah larva yang tersisa

850 ml air

+ 150 ml rendaman

tinja kelinci

550 ml air + 450 ml rendaman tinja kelinci

700 ml air

+ 300 ml rendaman tinja kelinci

1 L air

b. Bahan tersebut di atas yang sudah dikeringkan dipotong kecil-kecil kemudian masing-masing sebanyak 5 gram direndam ke dalam ember berisi 1 L akuades selama 4 hari.

c. Media siap digunakan untuk mengembangbiakkan Mescyclops aspericornis. Setiap jenis media dijadikan sebagai perlakuan.

2. Rendaman media yang telah disiapkan kemudian disaring dengan saringan biasa lalu diambil 150 ml, 300 ml, dan 450 ml .

3. Pada setiap wadah dimasukkan satu ekor Mesocyclops aspericornis dewasa betina tanpa kantung telur yang sudah dipuasakan terlebih dahulu selama satu hari. Pelihara selama 3 hari.

4. Lalu masukkan 25 ekor larva Aedes aegypti.

5. Wadah diletakkan pada suhu kamar 25 o

C dan pH 7

6. Dibiarkan selama 2 hari lalu jumlah jentik nyamuk yang tersisa dihitung pada jam pertama, kedua, keempat, kedelapan, dan kedua puluh empat, dan keempat puluh delapan.

7. Percobaan dilakukan sebanyak 3 kali ulangan (Munif, 1997). Penentuan jumlah ulangan berdasarkan rumus

Keterangan: n : jumlah ulangan t : jumlah kelompok perlakuan

(n-1)(t-1) > 15

Karena pada kelompok ini menggunakan 8 kelompok perlakuan, maka: (n-1)(t-1) > 15 (n-1)(8-1) > 15 7n > 22 n > 3,14 jadi untuk setiap kelompok, ulangan harus lebih dari 3,14. Dalam penelitian ini digunakan 3 kali ulangan dalam setiap kelompok.

J. Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis secara statistik dengan menggunakan Uji Analisis Varians (Anova) yang dilanjutkan dengan Post-Hoc test untuk mengetahui kemaknaan antar kadar dan uji t untuk mencari letak perbedaan antar jenis bahan organik (Subana dan Sudrajat, 2009).

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang menjadi fokus utama kesehatan internasional. Insidensi virus Dengue telah berkembang pesat di seluruh dunia akhir- akhir ini. Dua setengah milyar orang, yaitu dua perlima dari populasi dunia sekarang berisiko terkena virus Dengue. World Health Organization memperkirakan ada kurang lebih lima puluh juta infeksi Dengue setiap tahunnya di dunia (WHO, 2009).

Demam Berdarah Dengue juga merupakan penyakit endemis di Indonesia. Pada tahun 2010 telah dilaporkan sebanyak 2.603 kasus dengan kematian 35 orang di 12 Provinsi yakni : Bangka Belitung, Lampung, Banten, Jawa Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Nusa Tenggara Timur (Ditjen PP & PL, 2010).

Penanggulangan DBD seperti juga penyakit menular lain, dapat didasarkan atas pemutusan rantai penularan, dalam hal DBD ini komponen penularan terdiri dari virus Dengue, Aedes aegypti, dan manusia penderitanya. Manfaat penanggulangan penyakit DBD adalah pengurangan

kesakitan, kematian, serta penderitaan individu dan keluarganya. Namun karena sampai sekarang belum ditemukan obat/vaksinnya, maka salah satu penanggulangan penyakit DBD adalah dengan cara pencegahan penularannya, yaitu dengan memberantas vektornya. Pemberantasan vektor DBD stadium pradewasa relatif lebih mudah daripada stadium dewasanya. Pemberantasan stadium dewasa Aedes aegypti dapat dilakukan secara hayati atau kimiawi. Upaya secara kimiawi menggunakan insektisida, semakin lama justru menimbulkan resistensi nyamuk vektor. Jika dosis insektisida terus-menerus ditingkatkan, pada suatu saat akan membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan. WHO (1987) melaporkan bahwa di Karibia dan sekitarnya, jentik Aedes aegypti telah resisten terhadap Malathion, Fenitrothion, Fenthion, dan Temephos yang digunakan secara luas sejak tahun 1973. Melihat adanya resistensi pemakaian larvasida kimia yang dimasukkan ke dalam tempat penampungan air, termasuk air minum perlu mendapatkan perhatian yang seksama. Alternatif lain yang lebih berwawasan lingkungan perlu dipertimbangkan untuk mengendalikan vektor penyakit. Salah satu cara yang banyak diteliti dan dikembangkan adalah penggunaan predator jentik nyamuk dalam upaya pengendalian vektor secara hayati (Yuniarti & Widyastuti, 2000).

Mesocyclops adalah Cyclopoid Copepoda, dilaporkan sebagai predator jentik Aedes dan jentik nyamuk dari genus atau spesies lain. Mesocyclops dapat bertahan hidup selama dalam penampungan air asalkan ada air dan suplai makanan (Marten, 1989).

Mesocyclops aspericornis merupakan salah satu jasad hayati yang terbukti efektif sebagai vektor kontrol yang digunakan untuk pengendalian jentik nyamuk malaria dan demam berdarah. Mesocyclops aspericornis memiliki tingkat predasi dan reproduksi yang tinggi dan mampu memakan berbagai macam organisme seperti: Algae, Rotifera, Copepoda yang lain, Protozoa, Chironomid, Oligochaeta, larva ikan, dan beberapa organisme akuatik yang lain (Williamson, 1991).

Mesocyclops aspericornis merupakan spesies Copepoda yang hidup bebas dan tersebar luas di danau air tawar, reservoir, parit, kolam, lubang pohon, sumur dan liang/lubang kepiting (Brown dan Hendriksz, 1991). Menurut Williamson (1991) Copepoda juga ditemukan berlimpah pada rawa, tanah basah, air payau, empang, genangan air, dan beberapa spesies Copepoda dapat hidup pada celah atau di bawah sistem permukaan tanah.

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Yuniarti (1997) mengenai daya predasi dan reproduksi Mesocyclops aspericornis dilaporkan bahwa Mesocyclops aspericornis memiliki kemampuan makan terhadap jentik nyamuk Aedes aegypti pada tempat penampungan air (air ledeng) berkisar Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Yuniarti (1997) mengenai daya predasi dan reproduksi Mesocyclops aspericornis dilaporkan bahwa Mesocyclops aspericornis memiliki kemampuan makan terhadap jentik nyamuk Aedes aegypti pada tempat penampungan air (air ledeng) berkisar

Oleh karena hal tersebut di atas, penulis berkeinginan untuk mengendalikan faktor yang mempengaruhi daya predasi Mesocyclops aspericornis , di antaranya adalah ketersediaan bahan organik seperti kondisi di alam. Dalam penelitian kali ini penulis akan menggunakan media rendaman kangkung dan rendaman tinja kelinci dalam berbagai kadar selama beberapa hari untuk mengetahui efeknya pada daya predasi.

B. Rumusan Masalah

Adakah pengaruh ketersediaan bahan organik pada daya predasi Mesocyclops aspericornis terhadap larva Aedes aegypti?

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui pengaruh ketersediaan bahan organik pada daya predasi Mesocyclops aspericornis terhadap larva Aedes aegypti.

D. Manfaat Penelitian

1. Teoritik

Memperluas pengetahuan tentang pemberantasan vektor, khususnya secara hayati dengan menggunakan Mesocyclops aspericornis.

2. Praktis

Mesocyclops aspericornis diharapkan dapat sebagai salah satu alternatif pemberantasan vektor nyamuk Aedes aegypti sehingga dapat digunakan dalam kehiduapan sehari-hari di lapangan dan supaya dapat diketahui media optimal untuk mengembangkan daya predasi Mesocyclops aspericornis.

BAB II LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Aedes aegypti

a. Klasifikasi Kingdom

Spesies : Aedes aegypti

( Reinert, 2004).

b. Morfologi Aedes yang berperan sebagai vektor penyakit semuanya tergolong Stegomyia dengan ciri-ciri tubuh bercorak belang hitam putih pada dada, perut, dan tungkai. Corak ini merupakan sisi yang menempel di luar tubuh nyamuk. Corak putih pada dorsal dada nyamuk berbentuk seperti siku yang berhadapan (Fitriasih, 2008).

Telur Aedes berukuran kecil (± 50 mikron), berwarna hitam, sepintas tampak bulat panjang dan berbentuk oval menyerupai torpedo, di bawah mikroskop, pada dinding luar (exochorion) telur nyamuk ini, tampak ada garis-garis yang membentuk gambaran menyerupai sarang lebah. Larva Aedes aegypti berbentuk lonjong, tampak seperti anyaman kasa pada dindingnya. Larva Aedes aegypti mempunyai sifon panjang dan bulunya satu pasang, sisir bergigi lateral, pelana tidak menutupi segmen anal (Juni Prianto, 1999).

1. Daur Hidup dan Habitat Perkembangan Aedes aegypti melalui berbagai perubahan bentuk (metamorphosis) : telur – jentik (larva) – kepompong (pupa) – nyamuk. Perkembangan dari telur menjadi jentik memerlukan 2 – 3 hari, dari jentik menjadi kepompong rata- rata 4 – 9 hari, dan dari kepompong sampai menetas menjadi nyamuk diperlukan waktu 7 – 14 hari (Hardjanto, 2009).

Nyamuk Aedes aegypti, seperti halnya Culicines lain, meletakan telur pada permukaan air bersih secara individual. Setiap hari nyamuk

Aedes betina dapat bertelur rata-rata 100 butir. Telur membutuhkan waktu satu sampai dua hari untuk menjadi larva (Pandujati, 2009).

Larva ini terbagi menjadi 4 stadium sebelum tumbuh menjadi pupa (Hoedojo, 1993). Stadium larva biasanya berlangsung 6-8 hari (Depkes RI, 1992). Dari stadium larva akan berubah menjadi pupa. Pupa ini tidak makan tapi masih memerlukan oksigen yang diambil melalui tabung pernapasan. Pupa ini sangat sensitif terhadap pergerakan air. Stadium ini berlangsung antara 2-3 hari dan akan tumbuh menjadi nyamuk dewasa (Soedarto, 1992). Pertumbuhan dari sejak telur keluar sampai menjadi nyamuk dewasa kira-kira mencapai 7-14 hari (Hardjanto, 1997).

c. Sifat Hidup Larva Setelah telur menetas tumbuh menjadi larva yang disebut larva stadium I (instar I). Kemudian larva stadium I ini melakukan 3 kali pengelupasan kulit (ecdysis atau moulting), berturut- turut menjadi larva stadium II, larva stadium III, dan larva stadium IV (Hoedojo, 1993).

Dalam air di wadah, larva Aedes bergerak sangat lincah dan aktif, dengan memperlihatkan gerakan-gerakan naik ke permukaan air dan turun ke dasar wadah secara berulang-ulang. Larva Aedes aegypti dapat hidup di wadah yang mengandung air ber-pH 5,8 – 8,6. Jentik dalam kondisi yang sesuai akan berkembang dalam waktu 6 – 8 hari dan akan Dalam air di wadah, larva Aedes bergerak sangat lincah dan aktif, dengan memperlihatkan gerakan-gerakan naik ke permukaan air dan turun ke dasar wadah secara berulang-ulang. Larva Aedes aegypti dapat hidup di wadah yang mengandung air ber-pH 5,8 – 8,6. Jentik dalam kondisi yang sesuai akan berkembang dalam waktu 6 – 8 hari dan akan

2. Pengendalian Vektor

Pemberantasan sebenarnya lebih tepat disebut pengendalian, tujuannya menekan populasi serangga vektor sampai berada di bawah batas kemampuannya dalam menularkan penyakit. Pengendalian nyamuk Aedes aegypti dapat dilakukan pada beberapa stadium, yaitu telur, larva, pupa, dan nyamuk dewasa (Soedarto, 1990).

Untuk stadium larva ada empat cara pengendalian, yaitu:

a. Cara Kimia

Cara pemberantasan larva Aedes aegypti menggunakan insektisida pembunuh larva lebih dikenal dengan istilah larvasida. Larvasida yang biasa digunakan antara lain temephos. Formulasi temephos yang digunakan adalah butiran. Dosis yang digunakan 1 ppm atau 10 gram untuk tiap 100 liter air. Larvasida temephos mempunyai efek residu 3 bulan. Selain itu dapat pula digunakan golongan insect growth regulator (Depkes RI, 2003).

b. Cara Biologi/ Hayati

Menurut Jumar (1997), pengendalian hayati adalah pengendalian serangga dengan cara biologi, yaitu dengan memanfaatkan musuh- Menurut Jumar (1997), pengendalian hayati adalah pengendalian serangga dengan cara biologi, yaitu dengan memanfaatkan musuh-

Beberapa keunggulan pengendalian hayati dalam Jumar (1997), antara lain:

1. Aman, tidak menimbulkan pencemaran lingkungan, tidak menyebabkan keracunan pada manusia dan ternak.

2. Tidak menyebabkan resistensi terhadap sasaran.

3. Musuh alami bekerja secara selektif terhadap inang atau mangsanya.

4. Bersifat permanen, untuk jangka panjang dinilai lebih murah apabila keadaan lingkungan telah stabil atau telah terjadi keseimbangan antara hama dengan musuh alaminya.

Selain itu ada beberapa kelemahan dalam pengendalian hayati, di antaranya (Jumar, 1997) :

1. Hasil sulit diprediksi dalam waktu singkat.

2. Diperlukan biaya yang cukup besar pada tahap awal baik untuk penelitian maupun untuk pengadaan sarana dan prasarananya.

3. Pembiakan masa di laboratorium kadang-kadang menghadapi kendala, karena musuh alami menghendaki kondisi lingkungan yang khusus.

4. Teknik aplikasi di lapangan belum banyak dikuasai.

c. Cara Fisik

Cara ini dikenal dengan kegiatan 3M, yaitu menguras bak mandi, bak WC, menutup tempat penampungan air rumah tangga, serta mengubur barang-barang bekas seperti kaleng dan ban. Pengurasan tempat-tempat penampungan air perlu dilakukan secara teratur sekurang-kurangnya seminggu sekali agar nyamuk tidak dapat berkembang biak di tempat itu (Depkes RI, 2003).

d. Cara Lingkungan

Cara ini dikenal dengan modifikasi lingkungan dan pengelolaan lingkungan. Modifikasi lingkungan antara lain dengan (Depkes RI, 2000):

1. Perbaikan saluran air

Apabila aliran dan sumber air tidak memadai dan hanya tersedia pada jam tertentu maka harus diperhatikan kondisi penyimpanan air pada berbagai jenis wadah. Suplai air minum yang tersedia dalam jumlah yang cukup, berkualitas baik, dan terus menerus sangatlah penting agar penyimpanan air yang dapat digunakan sebagai tempat perindukan larva dapat dikurangi.

2. Talang air atau tanki air bawah tanah dibuat antinyamuk

Perindukan larva Aedes aegypti di talang air atau tanki air bawah tanah yang bangunannya terbuat dari batu harus dibuat antinyamuk. Sedangkan pengelolaan lingkungan dilakukan dengan Perindukan larva Aedes aegypti di talang air atau tanki air bawah tanah yang bangunannya terbuat dari batu harus dibuat antinyamuk. Sedangkan pengelolaan lingkungan dilakukan dengan

3. Mesocyclops aspericornis

a. Klasifikasi Kingdom

: Mesocyclops aspericornis

(Myers, 2008)

b. Morfologi

Mesocyclops aspericornis berukuran 0,5 – 2,0 mm dan merupakan Copepoda yang hidup bebas (Yuniarti dkk., 1995). Tubuhnya bersegmen-segmen, terdiri atas segmen kepala dan dada yang menjadi satu (sefalotoraks) dan segmen abdomen (Upiek, 1998). Di bagian abdomen dilengkapi 5 pasang kaki, pada kepala terdapat mata median (Radiopoetro, 1996). Pada bagian anterior dilengkapi alat mulut dan antena, bagian posterior dilengkapi ekor (Upiek , 1998).

Alat mulutnya dilengkapi dengan alat pemotong yang bergigi-gigi Alat mulutnya dilengkapi dengan alat pemotong yang bergigi-gigi

Gambar 1. Morfologi Mesocyclops aspericornis

c. Daur Hidup dan Habitat

Mesocyclops aspericornis mengalami reproduksi secara seksual. Baik jantan maupun betina dapat melakukan perkawinan satu kali atau lebih (Upiek, 1998).

Adapun siklus hidup atau metamorfosis Mesocyclops aspericornis , adalah sebagai berikut (Pennak, 1978) :

1. Telur: bentuk bulat bergerombol yang diletakkan pada oviseas atau kantung telur

2. Nauphillus I: tiga pasang bagian tubuh yang memendek diwakili oleh antena pertama, kedua, dan mandibel.

3. Nauphillus II: setelah masa pemberian makanan, mempunyai maksila tambahan.

4. Nauphillus VI: mempunyai semua bagian tubuh menyambung dengan pasangan lengan kedua.

5. Copepodid I: mempunyai empat ruas toraks, semua bagian tubuh menyambung dengan pasangan lengan keempat.

6. Dewasa: Mesocylcops aspericornis dewasa dapat bertahan hidup sampai 2,5 bulan. Untuk jantan lebih cepat mati karena bersifat kanibal. Mesocyclops aspericornis dewasa dapat kawin satu kali dan lebih.

Waktu yang dibutuhkan untuk mengalami siklus hidup yang sempurna, dari telur hingga telur lagi merupakan variabel yang tinggi tergantung dari spesies dan kondisi lingkungan, untuk Mesocyclops aspericornis berkisar 7 hingga 180 hari (Pennak, 1978).

Penelitian yang dilakukan oleh Yuniarti dkk. (1997) menunjukkan bahwa reproduksi Mesocyclops aspericornis paling tinggi diperoleh dari medium rendaman tinja marmut, diikuti oleh medium rendaman eceng gondok, dan rendaman jerami. Di daerah tropis dan subtropis, distribusi Mesocyclops tersebar luas terdapat dalam jumlah yang melimpah di danau air tawar, reservoir (tendon air), parit, kolam, lubang pohon, sumur, dan liang kepiting (Widyastuti, 1995). Mesocyclops aspericornis dilaporkan sebagai hewan pemakan Algae, Rotifera, Protozoa, Chorinomid, Ologochaeta, ikan kecil, dan beberapa organisme akuatik lainnya (Yuniarti, 1997).

d. Perilaku Mesocyclops aspericornis

Sama seperti predator pada umumnya, Mesocyclops aspericornis sebagai predator bagi larva nyamuk (Jumar, 1997) juga memiliki ciri sebagai berikut:

1. Predator dapat memangsa semua tingkat perkembangan mangsa (telur, larva, nympha, pupa, dan imago). Dalam hal ini Mesocyclops aspericornis memangsa nyamuk pada masa larva instar I dan II awal.

2. Predator membunuh dengan cara memakan atau menghisap

mangsanya dengan cepat.

3. Seekor predator memerlukan dan memakan banyak mangsa selama hidupnya. Mesocyclops aspericornis memakan kurang lebih 15 larva per hari.

4. Predator membunuh mangsa untuk dirinya sendiri.

5. Kebanyakan predator bersifat karnivor, baik pada saat pradewasa maupun sesudah dewasa (imago) dan memakan jenis mangsa yang sama atau beberapa jenis mangsa.

6. Predator memiliki ukuran tubuh lebih besar dibandingkan tubuh

mangsanya.

7. Dari segi perilaku makannya, ada predator yang mengunyah semua bagian tubuh mangsanya, begitu juga Mesocyclops aspericornis .

8. Metamorfosis predator ada yang sempurna dan ada juga yang

tidak sempurna.

4. Peranan Mesocyclops aspericornis sebagai Pengendali Hayati Larva

Mesocyclops aspericornis sebagai pengendali hayati larva Aedes aegypti sudah dibuktikan dengan hasil penelitisan Yuniarti, dkk bahwa larva Aedes aegypti paling disukai oleh Mesocyclops aspericornis sebesar 100% pada perbandingan

25:20 dibandingkan Culex queneuefasciatus (50,66%) dan Anopeles aconitus (27,33%). Kemampuan makan Mesocyclops aspericornis terhadap jentik nyamuk Aedes aegypti paling besar dengan asumsi sebagai berikut:

a. Perilaku aktif jentik nyamuk Aedes aegypti yang aktif, karena menurut monokov dalam Yuniarti, dkk (2000), Cyclopoida cenderung menangkap mangsa yang lebih aktif, sedangkan mangsa yang kurang aktif dapat dideteksi hanya setelah kontak.

b. Perilaku makan jentik Aedes aegypti bisa mengambil makanan di dasar, sedang Mesocyclops aspericornis yang hidup di dasar memungkinakan terjadinya kontak kedua organisme tersebut relatif tinggi.

Berdasarkan hasil penelitian-penelitian yang telah dilakukan berhubungan dengan keberhasilan Mesocyclops aspericornis dalam memangsa larva nyamuk Aedes aegypti, berarti bahwa Mesocyclops aspericornis sebagai predator larva nyamuk sangat berperan dan bermanfaat guna mengendalikan perkembangan nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor

Dengue yang pada akhirnya akan menekan jumlah prevalensi penyakit Deman Berdarah Dengue.

B. Kerangka Pemikiran

C . Hipotesis

Ketersediaan bahan organik mempengaruhi daya predasi Mesocyclops aspericornis terhadap larva Aedes aegypti.

Mesocylops aspericornis dipelihara selama 3 hari di tempat penampungan air berisi bahan organik dengan kadar bervariasi

Larva Aedes aegypti

Faktor yang mempengaruhi: - Suhu udara

- Suhu air - Air yang dipakai - pH

Daya predasi Mesocylops aspericornis

Jumlah larva yang tersisa

BAB III METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik dengan post test only group design

B. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit (B2P2VRP), Salatiga, Jawa Tengah

C. Objek Penelitian

Objek penelitian yang dipakai yaitu larva Aedes aegypti instar I atau II

D. Teknik Sampling

Pengambilan sampel dilakukan dengan cara random sampling

E. Identifikasi Variabel :

1. Variabel bebas

: Jenis bahan oganik dan kadar bahan

organik.

2. Variabel terikat

: Jumlah larva Aedes aegypti yang

tersisa

3. Variabel luar (pengganggu) Terkendali :

a. Suhu udara dan suhu air

b. Air yang dipakai

c. pH Tidak terkendali: Kemampuan makan Mesocyclops aspericornis

F. Definisi Operasional Variabel

1. Variabel bebas

a. Jenis bahan organik Bahan organik yang digunakan adalah rendaman kangkung dan rendaman tinja kelinci yang mengandung sumber makanan alternatif bagi Mesocyclops aspericornis seperti Algae, Protozoa, dan Rotifera (Setyaningrum dkk., 2008). Skala: rasio

b. Kadar bahan organik Konsentrasi rendaman kangkung dan rendaman tinja kelinci yang digunakan masing-masing adalah 0%; 15%; 30%; dan 45%. Skala

: interval

2. Variabel terikat

Larva Aedes aegypti yang dipakai yaitu larva instar I atau II, berumur sekitar 1-3 hari, sebanyak 3000 ekor. Diperoleh dari hasil pemeliharaan dan pengembangan di laboratorium Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit (B2P2VR) Salatiga, Jawa Tengah.

Skala : rasio

3. Variabel luar (pengganggu)

a. Terkendali :

1. Suhu udara dan suhu air Percobaan dilakukan pada suhu ruangan (kurang lebih

25 0 C). Skala : interval

2. Air yang dipakai Pada penelitian ini menggunakan air ledeng

3. Ukuran panjang Mesocyclops aspericornis Berukuran panjang kurang lebih 1 mm Skala : interval

4. pH Percobaan dilakukan pada pH 7 4. pH Percobaan dilakukan pada pH 7

Kemampuan makan Mesocyclops aspericornis tergantung selera makan dan kondisi kesehatannya.

G. Alat dan Bahan

1. Wadah tempat pembiakan dari bahan plastik dengan volume 1 L

2. Pipet dengan diameter mulut pipet ± 4 mm untuk mengambil dan menghitung jentik Aedes aegypti dan Mesocyclops aspericornis.

3. Jentik nyamuk Aedes aegypti instar I atau II ditaruh ke dalam gelas-gelas plastik dengan pipet.

4. Dog food yang sudah dihaluskan dengan blender untuk makanan jentik nyamuk Aedes aegypti.

5. Mesocyclops aspericornis dewasa sebanyak 20 ekor yang dihitung secara manual dengan pipet, ditaruh dalam nampan plastik berisi air.

6. Rendaman kangkung dan rendaman tinja kelinci

H. Rancangan Penelitian

Eksperimen

M esocylopsaspericornis

Pelih ara sela ma 3 hari

Larva Aedes aegypti

Bandingkan jumlah larva yang tersisa

850 ml air

+ 150 ml rendaman

kangkung

550 ml air

+ 450 ml rendaman

kangkung

700 ml air

+ 300 ml rendaman

kangkung

1 L air

I. Cara Kerja

Penelitian dilakukan menurut metode Endah Setyaningrum (2008) yang dimodifikasi

1. Pembuatan media

a. Kangkung dan tinja kelinci dikeringkan kemudian

ditimbang berat keringnya.

M esocylopsaspericornis

Pelih ara sela ma 3 hari

Larva Aedes aegypti

Bandingkan jumlah larva yang tersisa

850 ml air

+ 150 ml rendaman tinja kelinci

550 ml air

+ 450 ml

rendaman tinja kelinci

700 ml air

+ 300 ml rendaman tinja kelinci

1 L air

b. Bahan tersebut di atas yang sudah dikeringkan dipotong kecil-kecil kemudian masing-masing sebanyak 5 gram direndam ke dalam ember berisi 1 L akuades selama 4 hari.

c. Media siap digunakan untuk mengembangbiakkan Mescyclops aspericornis . Setiap jenis media dijadikan sebagai perlakuan.

2. Rendaman media yang telah disiapkan kemudian disaring dengan saringan biasa lalu diambil 150 ml, 300 ml, dan 450 ml .

3. Pada setiap wadah dimasukkan satu ekor Mesocyclops aspericornis dewasa betina tanpa kantung telur yang sudah dipuasakan terlebih dahulu selama satu hari. Pelihara selama 3 hari.

4. Lalu masukkan 25 ekor larva Aedes aegypti.

5. Wadah diletakkan pada suhu kamar 25 o

C dan pH 7

6. Dibiarkan selama 2 hari lalu jumlah jentik nyamuk yang tersisa dihitung pada jam pertama, kedua, keempat, kedelapan, dan kedua puluh empat, dan keempat puluh dua.

7. Percobaan dilakukan sebanyak 3 kali ulangan (Munif, 1997). Penentuan jumlah ulangan berdasarkan rumus

Keterangan: n : jumlah ulangan t : jumlah kelompok perlakuan

(n-1)(t-1) > 15

Karena pada kelompok ini menggunakan 8 kelompok perlakuan, maka: (n-1)(t-1) > 15 (n-1)(8-1) > 15 7n > 22 n > 3,14 jadi untuk setiap kelompok, ulangan harus lebih dari 3,14. Dalam penelitian ini digunakan 3 kali ulangan dalam setiap kelompok.

J. Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisa secara statistik dengan menggunakan Uji Analisa Varians (Anova) yang dilanjutkan dengan post-hoc test untuk mengetahui kemaknaan antar kadar dan uji t untuk mencari letak perbedaan antar jenis bahan organik (Subana dan Sudrajat, 2009).

BAB IV HASIL PENELITIAN