HUBUNGAN ANTARA FREKUENSI KONTROL DENGAN TINGGI BADAN PADA PASIEN TALASEMIA MAYOR SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

BADAN PADA PASIEN TALASEMIA MAYOR SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Adelia Kartikasari G0008190 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Perbandingan Pemberian Iron Chelating Agent..................................... 16 Tabel 2. Kategori dan Ambang Batas Tinggi Badan Berdasarkan Indeks PB/U

dan TB/U................................................................................................ 28 Tabel 3. Karakteristik Sampel Penelitian............................................................. 43 Tabel 4. Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin....................................... 44 Tabel 5. Distribusi Sampel Berdasarkan Umur.................................................... 45 Tabel 6. Distribusi Sampel Berdasarkan Frekuensi Kontrol dan Tinggi Badan.. 45 Tabel 7. Hasil Analisis dengan Uji Chi Square.................................................... 50

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kerangka Pemikiran .......................................................................... 32 Gambar 2. Rancangan Penelitian ........................................................................ 36 Gambar 3. Distribusi Sampel Berdasarkan Frekuensi Kontrol pada Jenis Kela-

min Laki-laki ..................................................................................... 46

Gambar 4. Distribusi Sampel Berdasarkan Frekuensi Kontrol pada Jenis Kela-

min Perempuan...................................................................................47

Gambar 5. Distribusi Sampel Berdasarkan Kategori Tinggi Badan pada Jenis

Kelamin Laki-laki...............................................................................48

Gambar 6. Distribusi Sampel Berdasarkan Kategori Tinggi Badan pada Jenis

Kelamin Perempuan..........................................................................49

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1.

Surat Keterangan Telah Menyelesaikan Penelitian di RSUD Dr. Moewardi

Lampiran 2.

Tabel Sampel Penelitian

Lampiran 3.

Kurva Pertumbuhan (Z-score) WHO 2005 pada Sampel Penelitian

Lampiran 4.

Rerata Umur Sampel Berdasarkan Frekuensi Kontrol Lampiran 5.

Rerata Umur Sampel Berdasarkan Tinggi Badan

Lampiran 6.

Hasil Analisis Statistik dengan Uji Chi Square

Adelia Kartikasari, G0008190, 2011. Hubungan antara Frekuensi Kontrol dengan Tinggi Badan pada Pasien Talasemia Mayor

Tujuan: Banyak faktor yang mempengaruhi tinggi badan pada pasien talasemia mayor, seperti kadar hemoglobin dan kadar feritin. Kedua hal tersebut dapat dipantau pada saat pasien talasemia melakukan kontrol di rumah sakit. Pasien yang sering melakukan kontrol memiliki kadar hemoglobin dan feritin yang normal, sedangkan pasien yang jarang kontrol memiliki kadar hemoglobin yang rendah dan kadar feritin yang tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan antara frekuensi kontrol dengan tinggi badan pada pasien talasemia mayor.

Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Subyek penelitian adalah pasien talasemia mayor yang menjalani terapi di Bagian Ilmu Kesehatan Anak (IKA) RSUD Dr. Moewardi. Teknik pengambilan sampel menggunakan consecutive sampling. Data penelitian diperoleh dari pengukuran tinggi badan dan data rekam medik tentang frekuensi kontrol pada bulan April 2010 sampai bulan Maret 2011. Analisis statistik menggunakan uji Chi Square.

Hasil: Dari total 34 jumlah sampel dengan rentang usia 4 – 16 tahun, yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sebanyak 28 sampel yang terdiri atas 17 pasien dengan frekuensi sering kontrol dan 11 pasien dengan frekuensi jarang kontrol. Dari 17 pasien dengan frekuensi sering kontrol, didapatkan 11 pasien dengan kategori tinggi badan normal dan 6 pasien dengan kategori tinggi badan pendek, sedangkan dari 11 pasien dengan frekuensi jarang kontrol, didapatkan 3 pasien dengan kategori tinggi badan normal dan 8 pasien dengan kategori tinggi badan pendek. Hubungan antara frekuensi kontrol dengan tinggi badan pada pasien talasemia mayor menghasilkan nilai p = 0.053.

Simpulan: Tidak terdapat hubungan antara frekuensi kontrol dengan tinggi badan pada pasien talasemia mayor (p = 0.053).

Kata kunci : frekuensi kontrol, tinggi badan, talasemia mayor

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu penyakit kelainan darah yang cukup ditakuti orang adalah talasemia. Penyakit turunan yang dibawa oleh genetik resesif orang tua ini dapat berakibat fatal apabila tidak ditangani dengan serius. Apalagi, talasemia merupakan penyakit yang akan dibawa penderitanya sejak dari masa kanak-kanak hingga tua. Talasemia tidak dapat disembuhkan, tetapi penderitanya dapat memperbaiki kualitas hidupnya (Hoffbrand et al., 2005; Hassan dan Alatas, 2007).

Talasemia adalah suatu penyakit yang disebabkan karena tidak terbentuk atau kurangnya sintesis rantai globin α atau β akibat mutasi DNA. Apabila penurunan sintesis terjadi pada rantai α, maka disebut talasemia α, sedangkan apabila penurunan sintesis terjadi pada rantai β, maka kelainannya disebut talasemia β. Karena sintesis rantai globin tidak seimbang, maka kompleks hemoglobin (Hb) yang terbentuk tidak stabil sehingga menyebabkan hemolisis yang akan menimbulkan gejala anemia (Schwartz, 2005; Bakta, 2007).

Menurut distrib usi geografisnya, talasemia α sering dijumpai di Asia Tenggara, sedangkan talasemia β banyak dijumpai di Mediterania, Timur Tengah, India, Pakistan dan Asia. Berdasarkan gambaran klinisnya, talasemia β dibagi lagi menjadi talasemia β major yang membutuhkan transfusi seumur hidup, talasemia intermedia, dan talasemia minor atau trait yang asimptomatik (Hoffbrand et al.,

2005; Lanzkowsky, 2005; Bakta, 2007). Indonesia merupakan salah satu negara dengan risiko tinggi talasemia. Prevalensi pembawa sifat talasemia di Indonesia berkisar 3-8%, maka apabila dimisalkan prevalensinya 5% saja dan angka kelahiran 23 per 1000 dari 240 juta penduduk, akan terdapat 3000 bayi baru lahir dengan talasemia setiap tahun. Melihat tingginya prevalensi talasemia di Indonesia, maka talasemia merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius (Kementrian Kesehatan RI, 2010).

Untuk mengatasi masalah talasemia, diperlukan manajemen perawatan standar bagi pasien talasemia yang meliputi skrining talasemia dengan tes DNA, diagnosis talasemia dengan Hb elektroforesis, penatalaksanaan berupa transfusi darah dan terapi dengan iron chelating agent serta memonitoring keadaan pasien dengan teknik pencitraan (Vichinsky et al., 2009). Skrining talasemia yang dilakukan bertujuan untuk menentukan prognosis, terapi yang sesuai serta mencegah bertambahnya kasus talasemia dengan konseling keluarga (Nelson et al. , 2000). Setelah dilakukan skrining kemudian pasien yang dicurigai menderita talasemia diperiksa dengan Hb elektroforesis untuk menentukan apakah pasien menderita talasemia alfa atau beta. Apabila pasien terdiagnosis menderita talasemia beta, kemudian ditentukan pula apakah pasien masuk dalam kategori mayor, intermedia atau minor karena penatalaksanaan masing-masing kategori berbeda. Pada pasien talasemia mayor, akan timbul manifestasi berupa anemia akibat ketidakmampuan tubuh untuk mengkompensasi penurunan hemoglobin akibat eritropoiesis yang inefektif. Hal tersebut bila tidak ditangani dengan baik

dapat menyebabkan wajah pucat, hepatosplenomegali, keterlambatan pubertas, gangguan pertumbuhan serta ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sehari- hari (Nelson et al., 2000; Hoffbrand et al., 2005; Permono et al., 2005). Untuk mengatasi hal tersebut, maka penatalaksanaan yang harus dilakukan adalah dengan memberikan transfusi sel darah merah. Transfusi yang dilakukan tergantung dari kadar hemoglobin pasien sebelum transfusi, jika kadar Hb ≥ 9-9,5 gr/dl, maka tranfusi diberikan tiap interval 3 sampai 4 minggu, tetapi bila kadar Hb pasien < 9 gr/dl, maka transfusi diberikan tiap interval 2 sampai 3 minggu sekali atau dengan menambah volume transfusi (Vichinsky et al., 2009). Transfusi yang dilakukan bersifat terus-menerus karena penyebab dari talasemia tidak dapat disembuhkan. Hal ini dapat berdampak buruk bagi pasien talasemia, salah satunya adalah gangguan pertumbuhan. Gangguan pertumbuhan ini dapat terjadi karena tiap 500 ml darah yang diberikan kira-kira mengandung 200 mg besi yang dapat menumpuk pada kelenjar endokrin dan hipofisis anterior sehingga dapat mengganggu produksi hormon pertumbuhan (Kowdley dan Kaplan, 1998; Mehta dan Hoffbrand, 2008). Untuk mengontrol dampak buruk ini, maka setiap 6 bulan sekali pasien diharuskan datang ke rumah sakit dan melakukan evaluasi total transfusi yang didapat. Dari hasil kontrol tersebut, dapat diperkirakan dampak- dampak yang dapat terjadi sehingga akibat buruk dapat diminimalisir.

Gangguan pertumbuhan pada pasien talasemia dapat diketahui dengan pengukuran tinggi badan dan dicocokkan dengan tinggi badan anak normal dengan menggunakan standar pertumbuhan (Z-Score) dari WHO. Pengukuran dilakukan

rutin setiap bulan untuk mengetahui sedini mungkin terjadinya gangguan pada pertumbuhan. Apabila gangguan pertumbuhan tersebut disebabkan transfusi yang terus-menerus, maka penatalaksanaan yang tepat adalah dengan memberikan terapi berupa iron chelating agent yang dapat meningkatkan ekskresi besi melalui urin dan tinja (Brittenham et al., 1994). Awal dan waktu pemberian obat ini didasarkan atas tiga hal, yaitu jumlah total transfusi yang didapat, kadar feritin dan konsentrasi besi hati dengan pemeriksaan biopsi hati (Prabhu et al., 2009). Monitoring pemberian iron chelating agent diperlukan untuk mencegah efek samping yang dapat timbul.

Mengingat banyaknya dampak buruk yang dapat timbul pada pasien talasemia, salah satunya adalah gangguan pertumbuhan, maka diperlukan frekuensi kontrol yang teratur minimal satu bulan sekali untuk mencegah hal tersebut terjadi.

Dari uraian yang telah disebutkan di atas, maka penulis ingin meneliti apakah tinggi badan pasien talasemia yang dipengaruhi oleh peningkatan eritropoiesis dan penumpukan besi pada kelenjar hipofisis anterior berhubungan dengan frekuensi kontrol pada pasien talasemia mayor.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian: Adakah hubungan antara frekuensi kontrol dengan tinggi badan pada pasien talasemia mayor?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara frekuensi kontrol dengan tinggi badan pada pasien talasemia mayor di RSUD Dr. Moewardi Surakarta.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan akan dapat menambah wawasan tentang hubungan antara frekuensi kontrol dengan tinggi badan pasien talasemia mayor.

2. Manfaat praktis

Data dan hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan untuk melakukan penelitian selanjutnya.

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Talasemia

a. Definisi Talasemia Sindrom talasemia merupakan sekelompok kelainan hematologi yang diwariskan secara autosomal resesif, akibat adanya kelainan sintesis rantai polipeptida α atau β hemoglobin manusia (Schwartz, 2005).

Menurut Nelson et al. (2000), talasemia diartikan sebagai suatu keadaan anemia hipokromik herediter dengan berbagai derajat keparahan. Kelainan genetik yang dapat menyebabkan terjadinya talasemia meliputi delesi total atau parsial gen rantai globin dan substitusi, delesi, atau insersi nukleotida .

Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan talasemia adalah suatu kelainan genetik yang diturunkan secara autosomal resesif. Kelainan terjadi pada globin yang terdapat dalam hemoglobin. Fungsi dari hemoglobin tersebut adalah sebagai penyuplai oksigen ke jaringan tubuh. Adanya mutasi pada gen pembentuk globin menyebabkan penurunan atau tidak terbentuknya rantai α atau β sehingga hemoglobin yang

terbentuk tidak sempurna. Hal ini menyebabkan peningkatan destruksi eritrosit atau hemolisis oleh makrofag dari sistem retikuloendotelial, terutama di hati, limpa dan sumsum tulang (Bakta, 2007). Karena terbentuk tidak sempurna. Hal ini menyebabkan peningkatan destruksi eritrosit atau hemolisis oleh makrofag dari sistem retikuloendotelial, terutama di hati, limpa dan sumsum tulang (Bakta, 2007). Karena

b. Etiologi Talasemia Talasemia terjadi akibat dari defek genetik pada hemoglobin. Adanya mutasi pada gen globin, baik α maupun β menyebabkan

hemoglobin yang terbentuk tidak normal. Karena hemoglobin yang terbentuk tidak sempurna, maka eritrosit yang terbentuk juga tidak normal sehingga terjadi proses penghancuran eritrosit sebelum waktunya. Hemolisis terutama terjadi pada sel makrofag dari sistem retikuloendotelial terutama pada lien, hepar dan sumsum tulang. Peningkatan penghancuran eritrosit menyebabkan penurunan kadar hemoglobin yang akan mengakibatkan anemia. Untuk mengkompensasi kebutuhan eritrosit, maka sumsum tulang akan meningkatkan aktivitasnya untuk memproduksi eritrosit dalam jumlah cukup (Nelson et al. , 2000; Hoffbrand et al., 2005; Bakta, 2007).

c. Klasifikasi Talasemia Menurut Nelson et al. (2000) dan Bakta (2007), talasemia diklasifikasikan menjadi:

1) Talasemia α Talasemia α terjadi karena penurunan sintesis rantai globin α

akibat kelainan genetik berupa delesi pada gen α. Kelainan ini banyak

(Permono et al., 2005). Berdasarkan jumlah gen yang tidak ada atau tidak aktif, maka terdapat empat bentuk talasemia α yang berbeda. Delesi gen globin α tunggal menyebabkan silent carrier talasemia α

(Lanzkowsky, 2005). Manifestasi yang timbul biasanya tidak ada, kemungkinan hanya mikrositosis ringan. Bentuk talasemia seperti ini didapatkan di Amerika dan Afrika dengan prevalensi sebesar 25%. Pasien dengan carrier talasemia dapat dikenali pada saat lahir oleh

adanya sej umlah kecil hemoglobin Bart (γ 4 ) pada elektroforesis. Individu yang kekurangan dua gen globin α menunjukkan

gambaran anemia mikrositik ringan dan pada umumnya menyerupai pasien dengan ciri talasemia β. Pada saat lahir ditemukan mikrositosis dan hemoglobin Bart dengan jumlah sedang. Hemoglobin Bart menghilang pada umur 3-6 bulan dan pemeriksaan elektroforesis hemoglobin sesudah umur tersebut menunjukkan keadaan normal. Namun demikian, mikrositosis menetap seumur hidup. Individu ini disebut sebagai pengemban bakat talasemia α (Nelson et al., 2000).

Delesi tiga gen globin α menyebabkan ketidakseimbangan antara sintesis rantai α dan β. Akumulasi rantai β yang berlebih menyebabkan pembentukan hemoglobin inklusi H (β 4 ). Hasil laboratorium yang ditemukan pada kelainan ini adalah anemia mikrositik hipokrom dengan Hb 7 - 11 gr/dl, sferositosis serta retikulositosis dan splenomegali. Penyakit ini dikenal sebagai penyakit Delesi tiga gen globin α menyebabkan ketidakseimbangan antara sintesis rantai α dan β. Akumulasi rantai β yang berlebih menyebabkan pembentukan hemoglobin inklusi H (β 4 ). Hasil laboratorium yang ditemukan pada kelainan ini adalah anemia mikrositik hipokrom dengan Hb 7 - 11 gr/dl, sferositosis serta retikulositosis dan splenomegali. Penyakit ini dikenal sebagai penyakit

Jika delesi terjadi pada semua gen globin α disertai tidak adanya sama sekali sintesis rantai α, maka terjadi kelainan hidrops fetalis

yang dapat menyebabkan eritoblastosis fetalis berat dengan lahir mati atau kematian segera pasca lahir. Kelainan ini merupakan bentuk talasemia α yang paling berat. Pada saat lahir, elektroforesis

hemoglobin menunjukkan hemoglobin Bart (γ 4 ) dan hemoglobin embrional. Biasanya pada wanita hamil yang janinnya terdeteksi

kelainan ini dianjurkan untuk menghentikan kehamilan karena kesehatan ibu terancam dengan mengandung janin yang hidropik (Nelson et al., 2000; Permono et al., 2005).

2) Talasemia β Talasemia β terjadi karena penurunan sintesis rantai globin β

akibat kelainan genetik, biasanya akibat point mutation pada gen globin β yang menyebabkan produksi rantai β terhenti atau berkurang.

Jika pembentukan rantai β terhenti maka disebut varian β o , tetapi apabila masih ada sintesis rantai β maka disebut varian β + . Talasemia β dibagi lagi berdasarkan gambaran klinisnya, yaitu talasemia β major

yang tergantung pada transfusi darah, talasemia intermedia, dan talasemia trait atau minor yang merupakan bentuk heterozigot yang asimptomatik (Bakta, 2007).

Talasemia mayor merupakan bentuk homozigot dari talasemia β dengan gejala anemia berat. Berdasarkan gambaran klinisnya, dapat dibedakan menjadi dua, yaitu yang mendapat transfusi baik dan yang tidak mendapat transfusi dengan baik. Apabila pasien talasemia mayor mendapat transfusi secara teratur, maka anak akan tumbuh normal sampai dekade ke 4 - 5. Setelah itu, akan timbul gejala iron overload yang dapat menumpuk di organ-organ tubuh yang dapat berakibat fatal. Sedangkan pada pasien talasemia mayor yang tidak mendapatkan transfusi akan timbul anemia yang khas, yaitu Cooley’s anemia. Gejala-gejala pucat, anemia, kurus dan hepatosplenomegali akan timbul pada saat berumur 3 - 6 bulan. Selanjutnya dapat terjadi gangguan pada tulang, tulang tengkorak, dan pertumbuhan (Hoffbrand et al., 2005; Bakta, 2007).

Pasien talasemia mayor membutuhkan transfusi darah secara berulang untuk mencegah efek dari anemia. Transfusi berulang dapat menyebabkan peningkatan kadar besi di dalam tubuh. Besi yang menumpuk di organ-organ tubuh dapat berakibat fatal. Penumpukan besi pada kelenjar endokrin dan hipofisis anterior dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan, sedangkan penumpukan besi pada jantung dapat menyebabkan gagal jantung, aritmia, miokarditis, perikarditis dan infark miokard yang

sebesar 71 % (Prabhu et al., 2009). Untuk mengukur kadar besi dalam tubuh, dilakukan pemeriksaan biopsi hati untuk menilai konsentrasi besi di hati. Kadar besi hati sebesar 15 mg/gr berat kering hati merupakan faktor risiko terjadinya gangguan jantung. Untuk menurunkan kadar besi dalam tubuh, diperlukan terapi pengikat besi. Terapi biasanya dimulai apabila satu atau lebih dari kriteria di bawah ini terpenuhi: (1) Pasien telah menerima transfusi darah 100 ml/kg atau kurang

lebih 10 - 15 unit pada anak dengan berat badan 15 kg. (2) Serum feritin > 1000 ng/dl. (3) Konsentrasi besi hati (diukur 1 tahun setelah transfusi regular)

> 7 mg/gr berat kering hati.

(Prabhu et al., 2009).

b) Talasemia intermedia

Kasus talasemia dengan hemoglobin 7 - 10 gr/dl yang tidak membutuhkan transfusi secara teratur disebut talasemia intermedia (Lanzkowsky, 2005). Talasemia intermedia dapat disebabkan oleh talasemia β homozigot dengan produksi Hb F yang lebih dari biasanya, atau dengan defek genetik pada sintesis rantai β.

Manifestasi klinis yang terlihat adalah deformitas tulang, hepatosplenomegali dan iron overload (Bakta, 2007).

Talasemia minor merupakan bentuk heterozigot yang asimptomatik. Orang-orang dengan talasemia minor tidak menunjukkan gejala klinis sama sekali. Diagnosis ditegakkan dengan gambaran darah mikrositik hipokrom (Mean Corpuscular Volume dan Mean Corpuscular Hemoglobin sangat rendah) serta anemia ringan dengan kadar Hb 10 - 15 gr/dl meskipun jumlah eritrosit tinggi. Penegakan diagnosis pasti kelainan ini dengan

didapatkan kadar Hb A 2 yang tinggi. Pentingnya penegakan diagnosis talasemia minor adalah memungkinkannya dilakukan konseling pranatal pada pasangan yang memiliki sifat pembawa talasemia (Hoffbrand et al., 2005).

d. Manifestasi Klinis Talasemia Menurut Nelson et al. (2000), Hoffbrand et al. (2005) dan Permono et al. (2005), manifestasi klinis pasien talasemia mayor adalah sebagai berikut:

1) Anemia berat terlihat pada umur 3 - 6 bulan setelah kelahiran.

2) Ekspansi masif sumsum tulang di muka dan tengkorak menyebabkan wajah yang khas pada pasien talasemia.

3) Wajah terlihat pucat akibat anemia.

4) Limpa dan hati membesar akibat destruksi eritrosit, hemopoiesis ekstramedular dan hemosiderosis.

kelainan endokrin sekunder.

e. Diagnosis Talasemia Menurut Hoffbrand et al. (2005) dan Hassan dan Alatas (2007), diagnosis talasemia ditegakkan berdasarkan hal-hal berikut:

1) Analisis hemoglobin sebagai tes diagnostik utama dalam menentukan jenis talasemia

2) Gejala klinis seperti pucat, anemia, hepatosplenomegali.

3) Analisis DNA untuk diagnosis pranatal.

4) Gambaran darah tepi untuk melihat bentuk, warna dan kematangan sel-sel darah.

5) Pemeriksaan radiologis terlihat brush appearance.

f. Penatalaksanaan Talasemia

1) Transfusi darah Terapi yang diberikan secara teratur adalah transfusi sel darah merah untuk mempertahankan kadar Hb di atas 12 gr/dl dan tidak melebihi 15 gr/dl (Mansjoer et al., 2000). Transfusi darah pertama kali diberikan bila kadar hemoglobin < 7 gr/dl (Permono et al., 2005). Sebelum melakukan transfusi yang pertama kali, status besi dan asam folat pasien harus diukur terlebih dahulu. Setelah itu, transfusi dilakukan setiap 1 bulan sekali tergantung dari hasil pengukuran kadar hemoglobin. Jika kadar Hb ≥ 9 - 9,5 gr/dl, maka tranfusi diberikan tiap interval 3 sampai 4 minggu, tetapi bila kadar Hb pasien < 9 gr/dl,

dengan menambah volume transfusi. Sel darah merah yang ditransfusikan sebanyak 5ml/kg/jam dengan kadar Hb setelah transfusi tidak boleh lebih dari 15 gr/dl. Pada pasien dengan anemia sedang (Hb < 5 gr/dl) atau gangguan jantung, rata-rata transfusi harus dikurangi 2 ml/kg/jam dari dosis standar untuk mencegah kelebihan cairan. Apabila dibutuhkan, dapat diberikan diuretik, misalnya furosemid untuk mengatasi kelebihan cairan yang terjadi. Sedangkan pada pasien dengan insufisiensi jantung, kadar Hb tinggi pre-transfusi (10 - 12 gr/dl), harus diseimbangkan dengan volume transfusi yang rendah tiap

1 sampai 2 minggu sekali. Setiap 6 bulan sekali, total transfusi yang didapat harus dievaluasi dengan menghitung total darah yang didapat (cc) dan dibagi rata-rata berat badan dalam 6 bulan terakhir (cc/kg/tahun). Jika total transfusi yang didapat > 200 cc/kg/tahun, maka perlu dieksplorasi lebih lanjut tentang kemungkinan efek yang timbul akibat transfusi yaitu kemungkinan terjadinya hipersplenisme dan kadar besi berlebih di dalam tubuh karena setiap 500 ml darah kira-kira mengandung 200 mg besi (Hoffbrand et al., 2005; Permono et al. , 2005).

2) Asam folat Asam folat diberikan 5 mg/hari secara teratur untuk membantu produksi sel darah merah (Meadow dan Newell, 2005).

Penumpukan besi pada organ-organ tubuh sangat berbahaya, terutama pada jantung yang dapat berakibat kematian. Pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan pemberian obat kelasi besi yang dapat mengekskresikan besi melalui urin. Tujuan konservatif pemberian obat pengikat besi ini adalah untuk mempertahankan konsentrasi simpanan besi hati sekitar 3,2 - 7 mg/gr berat kering jaringan hati. Menurut Prabhu et al. (2009) dan Vichinsky et al. (2009), pemberian awal obat kelasi besi didasarkan atas:

a) Pengukuran konsentrasi besi hati dengan pemeriksaan biopsi hati 2 tahun setelah pemberian transfusi > 7 mg/gr berat kering hati. Jika biopsi hati tidak dapat dilakukan, maka pengukuran kadar feritin dapat dijadikan marker kadar besi dalam tubuh.

b) Setelah 1 atau 2 tahun pemberian transfusi sel darah merah.

c) Kadar feritin dalam tubuh > 1000 ng/dl.

Obat-obatan yang termasuk dalam iron chelating agent adalah deferoksamin, deferasirox dan deferiprone. Perbandingan pemberian ketiga obat tersebut adalah sebagai berikut:

Agen

Cara pemberian

Jadwal pemberian

Dosis

Deferoksamin

Infus: intravena/

subkutan

8 – 24 jam/hari, 5-7 hari/minggu

30 – 60 mg/kgBB

Deferasirox

Oral

1 x/hari

20 - 40 mg/kg BB

Deferiprone

Oral

3x/hari

75-100 mg/kg BB Sumber: Kowdley dan Kaplan (1998) dan Vichinsky et al. (2009)

Pemberian iron chelating agent harus dievaluasi dengan monitoring kadar feritin tiap 2 -3 bulan sekali, konsentrasi besi hati tiap 6 bulan sekali dan fungsi jantung tiap 6 bulan sekali.

Pemberian obat ini secara terus-menerus dapat menimbulkan toksisitas yang bermacam-macam. Toksisitas yang terjadi dapat dicegah dengan pemeriksaan sederhana, diantaranya pengukuran beban besi tubuh secara langsung dan teratur dengan tujuan mempertahankan kadar besi hati antara 3 - 7 mg/kg berat kering jaringan hati. Bila konsentrasi besi tidak dapat diukur secara teratur, dapat menggunakan indeks toksisitas dengan menghitung rata-rata dosis harian obat (dalam mg/kg) dibagi konsentrasi feritin serum (dalam mg/kg) setiap 6 bulan. Indeks toksisitas ini tidak boleh melebihi 0,025.

Splenektomi dapat dilakukan pada pasien dengan splenomegali akibat eritropoiesis ekstramedular. Indikasi terpenting splenektomi adalah meningkatnya kebutuhan transfusi lebih dari 200 ml/kgPRC/tahun yang menunjukkan keadaan hipersplenisme (Permono et al., 2005). Splenektomi harus ditunda sampai pasien berumur > 6 tahun karena tingginya risiko infeksi berbahaya pasca splenektomi. Tujuan dari splenektomi adalah memperbaiki ketahanan hidup eritrosit yang berasal dari transfusi, mengurangi kebutuhan darah dan mempunyai pengaruh yang baik pada kelebihan besi (Mentzer, 2007).

5) Transplantasi sumsum tulang Transplantasi sumsum tulang alogenik memberikan prospek kesembuhan yang permanen. Tingkat keberhasilannya adalah sekitar 80% pada pasien yang mendapatkan terapi kelasi besi secara baik tanpa disertai adanya fibrosis hati. Donor pada transplantasi tersebut adalah saudara kandung yang memiliki Human Leucocyte Antigen (HLA) yang sesuai. Kegagalan biasanya terjadi karena kematian akibat infeksi (Hoffbrand et al., 2005; Permono et al., 2005).

g. Prognosis Pasien yang patuh menjalani transfusi dan agen kelasi besi, diperkirakan mempunyai harapan hidup sampai umur 30 tahun atau lebih, sedangkan pasien yang tidak patuh biasanya meninggal saat remaja

2. Frekuensi Kontrol

Menurut Permono et al. (2005) dan Vichinsky et al. (2009), pasien talasemia memerlukan standar manajemen perawatan yang tepat supaya kesehatan pasien selalu dapat dikontrol. Kontrol yang diperlukan bagi pasien talasemia mayor meliputi:

a. Kontrol/monitoring kadar hemoglobin Pasien yang telah terdiagnosis menderita talasemia mayor diharuskan kontrol rutin 1 bulan sekali untuk mengukur kadar hemoglobin dalam darah. Kadar normal hemoglobin pada anak-anak adalah 10 - 16 gr/dl (Sutedjo, 2008). Apabila pada awal kontrol, setelah pasien terdiagnosis, kadar hemoglobin menunjukkan < 7 gr/dl (menunjukkan ketidakmampuan tubuh untuk mengkompensasi

eritropoiesis inefektif), maka pasien tersebut mulai diberikan terapi berupa transfusi sel darah merah untuk mencegah dampak-dampak buruk akibat anemia kronis, misalnya gangguan jantung, hipertensi pulmoner, disfungsi organ dan gangguan pertumbuhan (Nelson et al., 2000; Vichinsky et al., 2009). Target dari pemberian transfusi ini adalah untuk mempertahankan kadar hemoglobin pre-transfusi antara 9 - 10 gr/dl Setelah pemberian awal transfusi, pasien diharuskan kontrol 1 bulan sekali untuk mengevaluasi kadar hemoglobin. Transfusi regular yang eritropoiesis inefektif), maka pasien tersebut mulai diberikan terapi berupa transfusi sel darah merah untuk mencegah dampak-dampak buruk akibat anemia kronis, misalnya gangguan jantung, hipertensi pulmoner, disfungsi organ dan gangguan pertumbuhan (Nelson et al., 2000; Vichinsky et al., 2009). Target dari pemberian transfusi ini adalah untuk mempertahankan kadar hemoglobin pre-transfusi antara 9 - 10 gr/dl Setelah pemberian awal transfusi, pasien diharuskan kontrol 1 bulan sekali untuk mengevaluasi kadar hemoglobin. Transfusi regular yang

b. Kontrol/monitoring kadar feritin Pemberian transfusi secara terus-menerus pada pasien talasemia mayor dapat menimbulkan peningkatan kadar besi dalam tubuh (Nelson et al. , 2000). Besi tersebut akan menumpuk pada organ-organ tubuh dan dapat berakibat fatal. Oleh karena itu, kadar feritin pada pasien talasemia mayor diukur setiap 3 bulan sekali untuk mengetahui kadar besi dalam tubuh. Kadar feritin > 1000 ng/dl setelah 1 atau 2 tahun pemberian transfusi, mengindikasikan kadar besi yang tinggi dalam tubuh. Hasil pengukuran tersebut menunjukkan bahwa pasien tersebut membutuhkan iron chelating agent . Setelah pemberian awal iron chelating agent tersebut, kadar feritin pasien tetap diukur setiap 3 bulan sekali. Apabila kadar feritin lebih > 1000 ng/dl (tanpa harus menunggu setelah 1 atau 2 tahun transfusi), maka pemberian obat tersebut dilanjutkan sesuai indikasi (Vichinsky et al., 2009).

Setiap 1 bulan sekali, tinggi badan dan berat badan pasien talasemia diukur untuk mengevaluasi kemungkinan terjadinya keterlambatan pertumbuhan. Setelah diukur, tinggi badan pasien dicocokkan dengan tinggi badan anak normal dengan umur yang sama menggunakan indikator Z-Score dari WHO 2005 (Kementrian Kesehatan RI, 2011). Setelah 1 tahun, kecepatan pertumbuhan juga dihitung untuk mendeteksi adanya gangguan pertumbuhan.

d. Kontrol/monitoring total transfusi yang didapat Menurut Permono et al. (2005) dan Vichinsky et al. (2009), setiap

6 bulan sekali, total transfusi yang didapat oleh pasien talasemia mayor harus dievaluasi dengan menghitung total darah yang didapat (cc) dan dibagi rata-rata berat badan dalam 6 bulan terakhir (cc/kg/tahun). Jika total transfusi yang didapat > 200 cc/kg/tahun, maka perlu dieksplorasi lebih lanjut tentang kemungkinan adanya pembesaran limpa (hipersplenisme). Untuk mengatasi keadaan hipersplenisme, dapat dilakukan penatalaksanaan berupa splenektomi (Permono et al., 2005).

e. Kontrol/monitoring efek samping pemberian iron chelating agent

1) Pemeriksaan audiogram Pemeriksaan audiogram digunakan untuk mengetahui adanya gangguan pendengaran. Pemeriksaan ini dilakukan setiap tahun atau bila timbul keluhan (Permono et al., 2005).

Pemeriksaan retina bertujuan untuk mengetahui adanya kelainan pada penglihatan. Pemeriksaan ini dilakukan setiap tahun atau bila timbul gejala (Vichinsky et al., 2009).

3) Pemeriksaan kreatinin dan Blood Urea Nitrogen (BUN)

Kreatinin merupakan produk akhir dari metabolisme kreatin otot dan kreatin fosfat (protein), disintesis dalam hati dan diekskresikan dalam urin. Pemeriksaan kreatinin serum berguna untuk mengevaluasi fungsi glomerulus. Nilai normal kreatinin pada anak-anak dalam darah sebesar 0,4 - 1,2 mg/dl. Peningkatan kadar tersebut menunjukkan penurunan fungsi ginjal dan penyusutan masa otot rangka (Sutedjo, 2008).

Blood Urea Nitrogen (BUN) merupakan produk akhir dari metabolisme protein, dibuat oleh hati dan diekskresikan melalui urin. Perbandingan normal antara BUN dan kreatinin adalah 10:1. Nilai rasio yang lebih tinggi menjadi petunjuk adanya gangguan prerenal (Sutedjo, 2008).

Kontrol kadar kreatinin dan BUN ini penting bagi pasien talasemia untuk mengevaluasi fungsi ginjal. Gangguan ginjal yang sering terjadi disebabkan karena penumpukan besi pada ginjal yang berakibat rusaknya ginjal (Sutedjo, 2008). Kontrol atau monitoring kadar kreatinin dan BUN dilakukan setiap 3 bulan sekali.

Skrining fungsi kelenjar endokrin mulai dilakukan pada saat pasien berumur 5 tahun, setelah mendapat transfusi selama 3 tahun kemudian kontrol setiap 1 tahun sekali, atau bila ada gejala yang timbul (Vichinsky et al., 2009).

3. Tinggi Badan (TB)

Tinggi badan merupakan ukuran antropometrik kedua yang terpenting setelah berat badan. Keuntungan indikator tinggi badan adalah pengukurannya obyektif dan dapat diulang, alat dapat dibuat sendiri, murah dan mudah dibawa, merupakan indikator yang baik untuk gangguan pertumbuhan fisik yang terjadi di masa lampau (Soetjiningsih, 2007).

a. Faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi badan Menurut Soetjiningsih (2007), penyakit akut berat dan penyakit kronis dapat menghambat pertumbuhan anak. Namun keterlambatan pertumbuhan pada penyakit kronis lebih sulit dikoreksi daripada penyakit akut. Selain itu terdapat pula faktor-faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan, yaitu:

1) Faktor genetis Tinggi badan seseorang dipengaruhi oleh genetik orang tua, sehingga orang tua yang tinggi memiliki kecenderungan anak yang tinggi pula. Rumus prediksi tinggi akhir anak sesuai dengan potensi 1) Faktor genetis Tinggi badan seseorang dipengaruhi oleh genetik orang tua, sehingga orang tua yang tinggi memiliki kecenderungan anak yang tinggi pula. Rumus prediksi tinggi akhir anak sesuai dengan potensi

TB anak perempuan =

cm 8,5

ibu TB cm) 13 - ayah - (TB ±

TB anak laki-laki =

cm 8,5

ayah TB cm) 13 ibu (TB ±

Keterangan: 13 cm adalah rata-rata selisih tinggi badan antara orang dewasa laki-laki dan perempuan di Inggris, dan 8,5 cm adalah nilai absolut tentang tinggi badan. Apabila seorang anak dapat mencapai tinggi badan antara rentang angka terendah dan tertinggi, maka secara medis tidak diperlukan tindakan (Soetjiningsih, 2007).

2) Faktor hormon Hormon-hormon yang mempengaruhi pertumbuhan adalah:

a) Hormon pertumbuhan hipofisis mempengaruhi pertumbuhan jumlah sel tulang.

b) Hormon tiroid mempengaruhi pertumbuhan dan kematangan tulang. Hormon yang dihasilkan dari kelenjar tiroid seperti TRH (Thyroid Releasing Hormon) sudah diproduksi janin sejak minggu ke-12. Pengaturan oleh hipofisis sudah terjadi minggu ke-13. Kadar hormon ini makin meningkat sampai sejak minggu ke-24, kemudian menjadi konstan. Salah satu hormon yang dihasilkan kelenjar tiroid adalah hormon pertumbuhan (growth hormon), oleh karena itu adanya kelainan pada kelenjar tiroid dapat menyebabkan b) Hormon tiroid mempengaruhi pertumbuhan dan kematangan tulang. Hormon yang dihasilkan dari kelenjar tiroid seperti TRH (Thyroid Releasing Hormon) sudah diproduksi janin sejak minggu ke-12. Pengaturan oleh hipofisis sudah terjadi minggu ke-13. Kadar hormon ini makin meningkat sampai sejak minggu ke-24, kemudian menjadi konstan. Salah satu hormon yang dihasilkan kelenjar tiroid adalah hormon pertumbuhan (growth hormon), oleh karena itu adanya kelainan pada kelenjar tiroid dapat menyebabkan

c) Hormon kelamin pria di testis dan kelenjar suprarenalis, sedangkan pada wanita terdapat di kelenjar suprarenalis. Hormon-hormon tersebut merangsang pertumbuhan dan kematangan tulang dalam jangka waktu yang tidak lama.

3) Faktor lingkungan Menurut Supariasa et al. (2002), faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan adalah:

a) Gizi

Gizi dipengaruhi oleh asupan makanan sehari-hari. Bahan pembangun tubuh seperti karbohidrat, protein, lemak, mineral dan vitamin sangat berpengaruh terhadap status gizi anak.

b) Penyakit

Beberapa penyakit kronis dan kelainan kongenital dapat mempengaruhi pertumbuhan anak, misalnya talasemia mayor. Menurut Saxena (2003), pasien talasemia mayor memiliki karakteristik tinggi badan yang abnormal, pertumbuhan yang lambat, dan keterlambatan perkembangan seksual yang disebabkan karena kadar Hb yang rendah, serum feritin yang tinggi dan terapi dengan iron chelating agent yang tidak optimal. Berdasarkan penelitian Saxena tersebut, keterlambatan pertumbuhan terjadi pada anak laki-laki dengan umur > 11 tahun dengan indeks TB/U Beberapa penyakit kronis dan kelainan kongenital dapat mempengaruhi pertumbuhan anak, misalnya talasemia mayor. Menurut Saxena (2003), pasien talasemia mayor memiliki karakteristik tinggi badan yang abnormal, pertumbuhan yang lambat, dan keterlambatan perkembangan seksual yang disebabkan karena kadar Hb yang rendah, serum feritin yang tinggi dan terapi dengan iron chelating agent yang tidak optimal. Berdasarkan penelitian Saxena tersebut, keterlambatan pertumbuhan terjadi pada anak laki-laki dengan umur > 11 tahun dengan indeks TB/U

c) Toksin atau zat kimia

Beberapa obat seperti talidomid, fenitoin dan obat-obatan kanker yang diminum ibu saat kehamilan dapat menyebabkan kelainan bawaan. Pada ibu hamil yang menderita keracunan logam berat, misalnya makan ikan yang terkontaminasi merkuri dapat menyebabkan mikrosefali. Penyakit yang disebabkan karena mengkonsumsi ikan yang mengandung merkuri yang tinggi di Jepang dikenal dengan penyakit Minamata.

d) Radiasi

Pengaruh radiasi pada bayi sebelum berumur 18 minggu dapat mengakibatkan kematian, kerusakan otak, mikrosefali dan cacat bawaan lainnya.

e) Stres

Ibu yang selama hamil mengalami stres dapat mempengaruhi tumbuh kembang janin yaitu berupa cacat bawaan dan kelainan kejiwaan.

f) Sosial ekonomi

Biasanya ukuran bayi yang lahir dari golongan orang tua dengan keadaan sosial ekonomi yang kurang lebih rendah Biasanya ukuran bayi yang lahir dari golongan orang tua dengan keadaan sosial ekonomi yang kurang lebih rendah

b. Pengukuran tinggi badan Pengukuran tinggi badan pada anak 2 tahun atau kurang adalah dengan posisi berbaring menggunakan infantometer. Pengukuran ini memerlukan bantuan dari orang lain untuk memegang kepala anak agar alat tetap menempel pada ubun-ubun. Anak di atas umur 2 tahun diukur pada posisi berdiri dengan menggunakan alat stadiometer atau microtoise . Tujuan pengukuran adalah untuk mendapat catatan jarak tinggi dari permukaan puncak kepala hingga telapak kaki. Posisi standar kepala secara rutin dipakai pada bidang horizontal (Frankfurt plane) melewati bagian eksternal meatus telinga. Sebelum diukur, subjek diminta untuk menarik nafas dalam dan berdiri tegak untuk meluruskan tulang pada kelainan kifosis atau lordosis (Narendra et al., 2002). Menurut Supariasa et al. (2002), cara mengukur dengan menggunakan microtoise dengan ketelitian 0,1 cm adalah sebagai berikut:

1) Tempelkan microtoise pada dinding yang lurus datar setinggi tepat 2

meter. Angka 0 (nol) pada lantai yang datar rata.

2) Lepaskan sepatu atau sandal.

3) Anak harus berdiri tegak seperti siap sempurna dalam baris-berbaris, kaki lurus, tumit, pantat, punggung dan kepala bagian belakang harus menempel pada dinding dan muka menghadap lurus dengan pandangan ke depan.

harus lurus menempel pada dinding.

5) Baca angka pada skala yang tampak pada lubang dalam gulungan mikrotoise. Angka tersebut menunjukkan tinggi anak yang diukur.

Sedangkan cara mengukur tinggi badan anak umur 2 tahun atau kurang dengan infantometer adalah sebagai berikut:

1) Alat pengukur diletakkan di atas meja atau tempat datar.

2) Bayi ditidurkan lurus di dalam alat pengukur, kepala diletakkan hati-

hati sampai menyinggung bagian atas alat pengukur.

3) Bagian alat pengukur sebelah bawah kaki digeser sehingga tepat menyinggung telapak kaki bayi dan skala pada sisi alat pengukur dapat dibaca.

Apabila pengukuran dilakukan di lapangan, pengukur tidak mungkin menggunakan stadiometer yang ditempelkan pada dinding. Biasanya digunakan stadiometer yang portable, alat pengukur panjang (infantometer) yang portable atau antropometer. Pada pengukuran tinggi badan, diperlukan dua orang pengukur, seorang mengatur posisi dan memberi instruksi pada subjek, yang lain memegang, memeriksa posisi dan mengatur alat pengukur (Narendra et al., 2002).

c. Interpretasi pengukuran tinggi badan Untuk menentukan status tinggi badan seseorang, digunakan indeks antropometri dengan cara membandingkan panjang badan dengan umur (PB/U) atau tinggi badan dengan umur (TB/U). Menurut Supariasa et al.

sebagai berikut:

1) Keuntungan:

a) Dapat memberikan gambaran riwayat gizi masa lampau.

b) Dapat dijadikan indikator sosial ekonomi penduduk.

2) Kerugian:

a) Memerlukan data umur yang akurat.

b) Tidak dapat menggambarkan keadaan gizi saat ini.

c) Sering terjadi kesalahan pada pembacaan skala ukur. Berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan RI tahun 2010, standar antropometri yang digunakan di Indonesia mengacu pada standar World Health Organization (WHO) tahun 2005 yaitu menggunakan Z-Score. Hasil pengukuran tinggi badan yang didapat, kemudian diplotkan pada kurva pertumbuhan (growth chart) WHO 2005 sesuai dengan umur yang dihitung dalam bulan. Kategori dan ambang batas tinggi badan berdasarkan indeks PB/U dan TB/U adalah sebagai berikut:

Tabel 2. Kategori dan Ambang Batas Tinggi Badan Berdasarkan Indeks

PB/U dan TB/U.

Kategori status tinggi badan

Ambang Batas (Z-Score)

Sangat pendek

< -3 Standar Deviasi (SD)

Pendek

-3 sampai dengan < -2 SD

Normal

-2 sampai dengan 2 SD

Tinggi

> 2 SD Sumber: Kementrian Kesehatan RI (2011) > 2 SD Sumber: Kementrian Kesehatan RI (2011)

1) Umur dihitung dalam bulan penuh.

2) Ukuran panjang badan (PB) digunakan untuk anak umur 0 - 24 bulan yang diukur telentang. Bila anak diukur dengan posisi berdiri, maka hasil pengukurannya dikoreksi dengan menambahkan 0,7 cm.

3) Ukuran tinggi badan (TB) digunakan untuk anak umur di atas 24 bulan dengan posisi berdiri. Bila anak diukur dengan posisi telentang, maka hasil pengukurannya dikoreksi dengan mengurangkan 0,7 cm.

4. Hubungan antara Frekuensi Kontrol dengan Tinggi Badan pada Pasien Talasemia Mayor

Salah satu manifestasi klinis dari pasien talasemia mayor adalah gangguan pertumbuhan. Gangguan pertumbuhan dapat diketahui dengan mengukur tinggi badan dan mencocokkannya dengan tinggi badan pada anak normal yang umurnya sama. Berdasarkan Keputusan Kementrian Kesehatan RI, indikasi tinggi badan menurut umur yang digunakan adalah standar antropometri WHO tahun 2005 (Kementrian Kesehatan RI, 2011).

Gangguan pertumbuhan pada pasien talasemia dapat disebabkan karena eritropoiesis inefektif dan kadar besi berlebih yang akan menumpuk di kelenjar hipofisis anterior akibat dari terapi transfusi secara terus-menerus (Permono et al., 2005). Untuk mencegah terjadinya hal tersebut, diperlukan monitoring atau kontrol keadaan pasien secara rutin. Waktu kontrol yang

Vichinsky et al. (2009) adalah sebagai berikut:

a. Setiap 1 bulan sekali untuk mengevaluasi kadar hemoglobin pre- transfusi, melakukan transfusi sel darah merah dan mengukur kadar hemoglobin post-transfusi serta mengukur tinggi badan.

b. Setiap 3 bulan sekali untuk mengevaluasi kadar feritin.

c. Setiap 6 bulan sekali untuk mengevaluasi total transfusi yang didapat.

d. Setiap 1 tahun sekali untuk mengevaluasi kemungkinan efek samping dari pemberian iron chelating agent Manfaat dari kontrol rutin ini adalah untuk mengetahui secara dini gangguan yang dapat terjadi, misalnya gangguan pertumbuhan. Gangguan pertumbuhan ini dapat diketahui dengan mengukur tinggi badan pasien talasemia rutin setiap bulannya. Untuk mengatasi penyebab gangguan pertumbuhan pada pasien talasemia mayor berupa eritropoiesis inefektif, terapi yang dapat diberikan berupa transfusi darah (Permono et al., 2005). Untuk memonitoring efek jangka panjang transfusi berupa kadar besi berlebih yang juga dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan, maka setiap

3 bulan sekali pasien diukur kadar feritinnya. Apabila kadar feritin tinggi, terapi yang dapat diberikan berupa iron chelating agent. Dengan pemberian obat ini, besi berlebih yang menumpuk pada kelenjar endokrin dan kelenjar hipofisis anterior yang dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan dapat diekskresikan keluar dari tubuh (Brittenham et al., 1994). Untuk mengetahui efektivitas dari iron chelating agent, maka tiap 3 bulan sekali diukur kadar 3 bulan sekali pasien diukur kadar feritinnya. Apabila kadar feritin tinggi, terapi yang dapat diberikan berupa iron chelating agent. Dengan pemberian obat ini, besi berlebih yang menumpuk pada kelenjar endokrin dan kelenjar hipofisis anterior yang dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan dapat diekskresikan keluar dari tubuh (Brittenham et al., 1994). Untuk mengetahui efektivitas dari iron chelating agent, maka tiap 3 bulan sekali diukur kadar

Keterangan:

: dilakukan penelitian

: tidak dilakukan penelitian

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

Tidak terjadi anemia kronis

Pertumbuhan normal

Anemia kronis

Gangguan pertumbuhan

Tidak terjadi anemia kronis

Pertumbuhan

normal

Anemia kronis

Gangguan pertumbuhan

Sering Kontrol

Jarang Kontrol

Sering Kontrol

Jarang Kontrol

Kadar Hb normal

Kadar Hb rendah

Kadar Hb normal

Kadar Hb rendah

Talasemia Mayor

Transfusi sel darah merah secara terus- menerus

Peningkatan kadar besi dalam tubuh

Eritropoiesis inefektif

Dari kerangka berpikir dan tinjauan pustaka di atas, dikemukakan hipotesis yaitu terdapat hubungan antara frekuensi kontrol dengan tinggi badan pada pasien talasemia mayor.

BAB III METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat observasional analitik dengan pendekatan cross- sectional . Dalam studi analitik cross-sectional, observasi dilakukan sekali dan dalam waktu yang bersamaan sehingga tidak ada follow-up (Ghazali et al., 2002).

B. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei – Juni 2011 di Bagian Ilmu Kesehatan Anak (IKA), RSUD Dr. Moewardi, Surakarta.

C. Subjek Penelitian

Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah pasien talasemia mayor dengan rentang usia < 18 tahun yang menjalani terapi di Bagian Ilmu Kesehatan Anak (IKA) RSUD Dr. Moewardi, Surakarta.

D. Teknik Sampling

Metode pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan consecutive sampling, yaitu semua subjek yang datang dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi diikutsertakan dalam penelitian sampai jumlah subjek yang diperlukan terpenuhi (Sastroasmoro, 2002). Jumlah sampel yang dipilih pada penelitian

adalah semua subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi (total sampling). 1. Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah: a. Pasien talasemia mayor yang berobat di RSUD Dr. Moewardi selama kurun waktu penelitian. b. Mendapat persetujuan dari orangtua atau wali. 2. Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah: a. Umur ≥ 18 tahun b. Data rekam medik tentang frekuensi kontrol pada bulan April 2010 – Maret

2011 tidak lengkap.

E. Rancangan Penelitian

Gambar 2. Skema Penelitian

Pasien talasemia mayor di

RSUD Dr. Moewardi

Sampel memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi

Riwayat kontrol

Sering

Jarang

Pengukuran tinggi

Uji Chi Square

Normal Pendek

Pengukuran tinggi badan

Kategori tinggi badan berdasarkan Z-Score

Kategori tinggi badan berdasarkan Z-Score

F. Variabel Penelitian

1. Variabel Bebas : Frekuensi kontrol. 2. Variabel Terikat : Tinggi badan pada pasien talasemia mayor.

G. Definisi Operasional Variabel Penelitian

1. Pasien talasemia mayor adalah pasien yang menunjukkan gejala klinis berat seperti anemia berat, pucat, hepatosplenomegali, dan pertumbuhan terganggu yang telah terdiagnosis oleh Bagian Ilmu Kesehatan Anak (IKA) RSUD Dr. Moewardi.

2. Frekuensi kontrol adalah waktu kedatangan pasien talasemia mayor ke Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr. Moewardi untuk melakukan kontrol. Frekuensi kontrol didapat dari data rekam medik tentang berapa kali pasien datang untuk melakukan kontrol.. Frekuensi kontrol pada penelitian ini dibagi menjadi 2, yaitu sering dan jarang. Sampel masuk ke dalam kategori sering apabila pada bulan April 2010 - Maret 2011 sampel melakukan kontrol > 8 x, sedangkan jarang apabila pada pada bulan April 2010 - Maret 2011 sampel melakukan kontrol < 8 x. Variabel frekuensi kontrol pada penelitian merupakan skala ordinal.