DESAIN KOLEKTOR SURYA BERBAHAN DASAR POLYMETHYL METHACRYLATE (PMMA) DENGAN BENTUK DASAR GABUNGAN DUA KERUCUT TERPANCUNG

DESAIN KOLEKTOR SURYA BERBAHAN DASAR POLYMETHYL METHACRYLATE (PMMA) DENGAN BENTUK DASAR GABUNGAN DUA KERUCUT TERPANCUNG

Disusun oleh : TATAG TRI LAKSONO WIBOWO

M0206072

SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Sains Fisika

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

Juli, 2011

commit to user

iii

PERNYATAAN SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “DESAIN KOLEKTOR SURYA BERBAHAN DASAR POLYMETHYL METHACRYLATE (PMMA) DENGAN

BENTUK DASAR GABUNGAN DUA KERUCUT TERPANCUNG ” belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga belum pernah ditulis atau dipublikasikan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Surakarta, 4 Juni 2011

Tatag Tri Laksono Wibowo

commit to user iv

PERNYATAAN PUBLIKASI

Sebagian dari skripsi saya yang berjudul “DESAIN KOLEKTOR SURYA BERBAHAN DASAR POLYMETHYL METHACRYLATE (PMMA) DENGAN BENTUK DASAR GABUNGAN DUA KERUCUT TERPANCUNG ” telah dipresentasikan dalam: Seminar Nasional Lontar Physics Forum (LPF) di Jurusan Pendidikan Fisika IKIP PGRI Semarang pada tanggal 2 Juli 2011 dengan judul “PENENTUAN NUMERICAL APERTURE

PADA PANDU GELOMBANG BERBAHAN DASAR POLYMETHYL METHACRYLATE (PMMA) DAN BERBENTUK DASAR TRAPESIUM ”

Surakarta, 4 Juli 2011

Tatag Tri Laksono Wibowo

commit to user

commit to user

vii

PERSEMBAHAN

Karya ini kupersembahkan dengan rasa syukurku kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW, serta ucapan terimakasih kepada :

 Keluarga tercinta  Almamaterku Universitas Sebelas Maret, tempat menimba semua pengalaman

dan ilmu.

 Bapak Ahmad Marzuki, S.Si., Ph. D.  Pembaca yang budiman.

commit to user

ix

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb. Alhamdulillahirobbil’alamin, sujud syukur saya persembahkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat sehat dan nikmat ilmu yang luar biasa sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan laporan skripsi dengan judul “Desain Kolektor Surya Berbahan Dasar Polymethyl Methacrylate (PMMA) Dengan Gabungan Dua Kerucut Terpancung ”.

Penulis menyadari bahwa dalam penelitian dan penulisan laporan penelitian ini, penulis mengalami berbagai macam kendala karena keterbatasan kemampuan penulis. Penulis menyadari bahwa dalam penelitian dan penyusunan laporan skripsi ini tidak bisa lepas dari bantuan berbagai pihak. Dengan rasa tulus ikhlas penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ahmad Marzuki, S.Si, Ph.D dan Drs. Hery Purwanto, M.Sc selaku dosen pembimbing I dan dosen pembimbing II yang selalu membimbing, memotivasi dan mengarahkan penulis dalam mengerjakan skripsi.

2. Utari, S.Si., M.Si. selaku pembimbing akademik yang banyak memberikan arahan dan rancangan dalam proses belajar..

3. Bapak dan Ibu dosen serta staff di Jurusan Fisika FMIPA UNS.

4. Team Optik 2011: Muklis, Joko, dan Sukron terimakasih untuk motivasi,

semangat dan bantuan yang diberikan selama mengerjakan skripsi.

5. Semua pihak yang telah membantu terselesaikannya penelitian ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Semoga Allah SWT memberikan balasan yang lebih baik atas kebaikan dan bantuan yang telah kalian berikan.Semoga laporan penelitian ini dapat memberi manfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.

Surakarta, Juli 2011

Penulis

commit to user

commit to user

viii

commit to user

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2. 2.1. Pemantulan pada cermin datar ................................................... 6 Gambar 2. 2.2. Pemantulan pada permukaan tidak rata ..................................... 7 Gambar 2. 3.1. Pembiasan Cahaya ..................................................................... 7 Gambar 2. 5.1. Gambar pemantulan total sempurna .......................................... 9 Gambar 2. 6.1. Daerah Penerimaan  mak ............................................................ 11 Gambar 2. 7.1. Spektrum Gelombang ................................................................ 12 Gambar 2. 8.1. Polarisasi Karena Pemantulan dan Pembiasan ......................... 13 Gambar 3.1. 1. Alat dan bahan yang digunakan untuk penelitian ..................... 17 Gambar 3.2. 1. Diagram alir penelitian Kolektor surya bentuk kerucut ............ 18 Gambar 3.3.1.4. Desain kerucut kolektor surya ............................................... 19 Gambar 3.3.3.1. Meja putar berskala derajat untuk mengukur reflektansi ........ 20 Gambar 3.3.3.2. Skema pengambilan data reflektansi sampel .......................... 21 Gambar 3.3.3.6.1. Skema pengukuran NA sampel ............................................ 23 Gambar 3.3.6.2. Posisi Datangnya Sinar Pada Permukaan Atas Kerucut .......... 24 Gambar 4. 1.1. Grafik Absorbansi UV-VIS PMMA ....................................... 25 Gambar 4. 1.2. Grafik Absorbansi FTIR PMMA ............................................... 26 Gambar 4. 2.1. Grafik Reflektansi PMMA laser merah ..................................... 27 Gambar 4. 2.2. Grafik Reflektansi PMMA laser hijau ....................................... 29 Gambar 4.3.1. Grafik Reflektansi PMMA mode TM dari 52°-58° .................... 30 Gambar 4.4.1. Skema jalannya sinar dalam sampel ........................................... 33 Gambar 4.4.2. Skema jalannya sinar dalam sampel pada setengah kerucut ....... 24

commit to user

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Indeks Bias Beberapa Medium yang berbeda .................................... 10 Tabel 4.4.1 Data Eksperimen NA PMMA. ......................................................... 33

commit to user

DESAIN KOLEKTOR SURYA BERBAHAN DASAR POLYMETHYL METHACRYLATE (PMMA) DENGAN BENTUK DASAR GABUNGAN DUA KERUCUT TERPANCUNG TATAG TRI LAKSONO WIBOWO

Jurusan Fisika, Fakultas MIPA, Universitas Sebelas Maret

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendesain kolektor surya berbahan dasar PMMA dengan bentuk gabungan dua kerucut terpancung. Terdapat dua bagian dari percobaan ini, yaitu : karakteristik bahan dan karasteristik Numerical Aperture . Diketahui PMMA memiliki transmitansi yang baik dalam rentang 400 nm – 600 nm. Meskipun reflektivitas yang meningkat dengan meningkatnya sudut dari kedua pola TE dan TM nilainya sangat rendah (±55 ). Dengan menerapkan persamaan sudut brewster untuk pemantulan pola TM, besarnya nilai indeks bias PMMA dapat di ketahui yaitu 1,492. Selanjutnya dari perbandingan antara perhitungan dan eksperimen Numerical Aperture diperoleh nilai yang kurang lebih sama, yaitu dengan selisih 0,01. Kata kunci : kolektor surya, transmitansi, reflektansi, indeks bias, NA.

commit to user

vi

DESIGN SOLAR COLLECTORS BASED POLYMETHYL METHACRYLATE (PMMA) COMBINED WITH BASIC FORM TWO TRUNCATED CONE TATAG TRI LAKSONO WIBOWO

Departement of Physics. Mathematical and Natural Sciences Faculty. Sebelas Maret University

ABSTRACT

This work was aimed to synthesize the PMMA solar collector having two truncated cone. there are two part of experiment: material characteristic and Numerical Aperture characterization. It is clear for the experiment the PMMA has a good transmittance within the range at 400 nm – 600 nm. Although its reflectivity increases with increasing the incident angle, its value both for TE and TM mode up to the incident angle (55 ) is very low. By applying brewster angle equation to TM mode reflectivity, the PMMA refraction index can

be calculated, its value is 1.492. Further from comparison between calculation and experiment of NA its value is approximately the same (0.01).

Keyword

: solar collector, absorbance, reflectance, refraction index, NA.

commit to user

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perkembangan pembangunan suatu negara identik dengan tingginya pemakaian energi. Semakin banyaknya kegiatan industri berarti semakin banyak pula konsumsi energi yang dibutuhkan. Secara tidak langsung proses tersebut akan mengakibatkan berkurangnya cadangan sumber energi terutama sumber energi fosil. Semakin berkurangnya cadangan sumber energi yang digunakan menjadikan harga energi terus meningkat, sehingga dana yang dikeluarkan untuk biaya produksi menjadi tinggi (Tobing, 2010).

Ketergantungan konsumsi dunia terhadap energi dari bahan bakar fosil akan menjadi ancaman tersendiri, antara lain: semakin menipisnya sumber-

sumber minyak bumi, meningkatnya polusi (CO 2 ) yang dihasilkan dari

penggunaan energi dari bahan bakar fosil tersebut sehingga akan memicu global warming. Dari banyaknya dampak negatif yang ditimbulkan dari pemakaian energi minyak bumi, perlu dicari sumber energi alternatif. Dalam upaya pencarian sumber energi baru sebaiknya memenuhi syarat yaitu menghasilkan jumlah energi yang cukup besar, ekonomis dan ramah lingkungan (Prasetyo, 1999).

Solusi yang mulai dirangkul dari permasalahan krisis energi adalah pemanfaatan energi dari matahari. Energi surya dari matahari merupakan sumber energi yang berjumlah sangat besar dan bersifat kontinyu dan tidak polutif. Energi surya telah dimanfaatkan di banyak belahan dunia dan jika dikembangkan secara tepat, energi ini berpotensi mampu menyediakan kebutuhan konsumsi energi dunia saat ini dalam waktu yang lebih lama. Jumlah energi surya dari matahari

adalah sekitar 1.369 Watt/m 2 (Musawir, 2005). Intensitas radiasi matahari akan

berkurang oleh penyerapan dan pemantulan oleh atmosfer saat sebelum mencapai permukaan bumi. Ozon di atmosfer menyerap radiasi dengan panjang gelombang pendek (ultraviolet) sedangkan karbondioksida dan uap air menyerap sebagian radiasi dengan panjang gelombang yang lebih panjang (infra merah). Selain

commit to user

pengurangan radiasi bumi langsung oleh penyerapan tersebut, masih ada radiasi yang dipancarkan oleh molekul-molekul gas, debu dan uap air dalam atmosfer. Walaupun pemanfaatan matahari sangat menguntungan bagi manusia, namun belum menjadi sumber yang primer bagi kebutuhan energi bagi dunia (Parasetyo, 1999).

Sinar matahari dapat digunakan secara langsung untuk memproduksi listrik atau untuk memanaskan bahkan untuk mendinginkan. Dalam pemanfaatan potensi energi surya, terdapat dua macam teknologi yang sudah diterapkan, yaitu teknologi energi surya termal dan energi surya fotovoltaik (proses merubah cahaya menjadi energi listrik). Energi surya termal pada umumnya digunakan untuk memasak (kompor surya), mengeringkan hasil pertanian (perkebunan, perikanan, kehutanan, tanaman pangan). Salah satu alat yang digunakan untuk kompor surya adalah kolektor surya parabolik. Desain tersebut masih memiliki kelemahan, yaitu proses memasak tidak bias dilakukan di dalam rumah, tetapi harus di teras atau di tempat terbuka serta masih memerlukan lintasan untuk mengikuti gerak matahari (Pattanasethanon, 2010). Kemudian pada energi surya fotovoltaik digunakan untuk memenuhi kebutuhan listrik. Alat yang digunakan dalam aplikasi energi surya fotovoltaik adalah sel surya. Selain harga yang terlalu tinggi, sel surya juga masih memiliki koefisien yang rendah (Green dkk, 2009).

Sebagai penyelesaian untuk mengatasi masalah diatas, maka dilakukan penelitian dengan tujuan membuat kolektor surya dengan bentuk limas pejal yang bekerja atas dasar prinsip pemantulan total sempurna, sehingga cahaya yang masuk dari sisi atas dapat difokuskan pada sisi bawah yang menciut yang nantinya menjadi divais untuk alternatif sumber energi yang efisien.

1.2. Perumusan Masalah

Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana optimalisasi energi matahari sebagai alternatif sumber energi yang efisien.

2. Bagaimana mendesain kolektor surya sesuai dengan karakteristik optik.

commit to user

1.3. BatasanMasalah

Permasalahan pada penelitian ini dibatasi pada:

1. Pajang gelombang sinar yang digunakan dalam penelitian ini adalah laser

hijau dengan λ = 532 nm dan laser merah dengan λ = 632 nm.

2. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Polymethyl Methacrylate.

3. Karakterisasi optik bahan dilakukan dengan pengujian absorbansi, reflektansi, indeks bias, dan mencari Numerical Aperture (NA).

4. Mengabaikan kotoran yang mengenai kolektor surya, seperti lumut.

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Menentukan koefisien absorbansi dan reflektansi dari PMMA.

2. Menentukan indeks bias PMMA.

3. Membandingkan NA yang diperoleh dari hasil eksperimen dengan NA yang diperoleh dengan tinjauan matematis.

1.5. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Dapat memberikan informasi mengenai indeks bias, koefisien absorbsi dan refleksi dari PMMA.

2. Dapat digunakan untuk meningkatkan jumlah energi yang dikumpulkan oleh sel surya.

3. Dapat digunakan sebagai salah satu alternatif yang digunakan untuk memecahkan permasalahan krisis energi.

1.6. Sistematika Penulisan

Laporan skripsi ini disusun dengan sistematika sebagai berikut:

Tinjauan Pustaka

BAB III

Metode Penelitian

commit to user

BAB IV

Hasil Penelitian dan Pembahasan

BAB V

Simpulan dan saran

Pada Bab I dijelaskan mengenai latar belakang penelitian, perumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta sistematika penulisan skripsi. Bab II tentang dasar teori. Bab ini berisi teori dasar dari penelitian yang dilakukan. Bab III berisi metode penelitian yang meliputi waktu, tempat dan pelaksanaan penelitian, alat dan bahan yang diperlukan, serta langkah- langkah dalam penelitian. Bab IV berisi tentang hasil penelitian dan analisa/ pembahasan yang dibahas dengan acuan dasar teori yang berkaitan dengan penelitian. Bab V berisi simpulan dari pembahasan di bab sebelumnya dan saran- saran untuk pengembangan lebih lanjut dari skripsi ini.

commit to user

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1.PMMA (Polymethyl Metacrylate)

Polymethyl metacrylate (PMMA) adalah polimer yang mengkilap dengan struktur teratur. PMMA dapat dibentuk melalui beberapa cara salah satunya dengan mencampurkan methyl metacrylate (MMA) dan benzoil perosida (BPO). MMA adalah cairan bening dan memiliki transparansi yang tinggi sedangkan BPO bebentuk serbuk dan fungsinya sebagai katalis (Setiawan, 2011). PMMA

mempunyai kerapatan 1,150-1,190 kg/m 3 , kurang dari setengah kerapatan kaca

dan mempunyai serapan air yang sangat rendah, indeks biasnya diantara 1,49 – 1,51 (www.plasticsinfo.co.za). PMMA adalah satu dari jenis termoplastik yang paling keras dan juga memiliki daya tahan kekerasan yang sangat tinggi.

Karakteristik utama material PMMA adalah warnanya yang bening transparan. Tidak hanya transparan, PMMA juga sedikit sekali menyerap sinar yang melalui material tersebut serta dapat meneruskan 92% cahaya tampak dengan tebal 3 mm. Disinilah letak perbedaan optis yang utama antara kaca dan PMMA. Walaupun lebih bening dari PMMA, kaca memiliki absorbansi yang lebih besar. Sehingga dapat disimpulkan semakin tebal kaca maka sifat transparannya semakin berkurang. Selain itu PMMA mudah untuk dibentuk, pada desain yang rumit sekalipun. Untuk perihal goresan, cara menghilangkannya sama dengan kaca yaitu dengan di polis atau dengan memanaskan permukaan (Setiawan, 2011).

PMMA banyak dimanfaatkan untuk berbagai hal. Dalam bidang transportasi PMMA telah digunakan sebagai kaca pesawat terbang. Bidang keamanan, digunakan Polisi sebagai tameng sebagai pengganti kaca yang anti pecah terhadap lemparan. Dalam dunia medispun PMMA telah digunakan sebagai pengganti lensa intraokular di mata ketika lensa asli telah dihapus pada penderita katarak (Meacock dkk, 2001) . Selain itu juga sebagai semen tulang yang digunakan untuk menempelkan implan dan untuk merombak kehilangan tulang serta digunakan untuk pembuatan gigi palsu (Elshereksi, 2009).

commit to user

Perbedaan yang lain antara kaca dan PMMA adalah:

1. Kaca lebih bersifat getas dibanding PMMA. PMMA lebih bersifat elastis,

sehingga secara teknis dapat bertahan pada hentakan tekanan dinamik air.

2. Kaca akan berlumut, sedangkan PMMA tidak.

3. PMMA memiliki daya tahan terhadap cuaca yang sangat tinggi. Sinar matahari tidak mudah mengubah PMMA menjadi kuning, atau membuatnya hancur.

4. Harga dan berat PMMA lebih ekonomis dan ringan dibandingkan dengan kaca (www.plasticsinfo.co.za).

2.2. Pemantulan

Ketika gelombang dari tipe apapun (gelombang bunyi atau gelombang cahaya) mengenai sebuah penghalang datar seperti misalnya sebuah cermin, kemudian gelombang-gelombang baru di bangkitkan dan bergerak menjauhi penghalang tersebut. Peristiwa ini disebut pemantulan (Tipler, 2001). Pemantulan cahaya dibedakan menjadi dua yaitu:

1. Pemantulan teratur, yaitu bila cahaya mengenai permukaan yang datar seperti ditunjukkan pada Gambar 2.1.

Gambar 2.2.1. Pemantulan Pada Cermin Datar (Serway dan Jerwat, 2004).

Cahaya dipantulkan membentuk suatu pola yang teratur. Sinar-sinar sejajar yang datang pada permukaan cermin dipantulkan sebagai sinar-sinar sejajar pula Akibatnya cermin dapat membentuk bayangan benda.

2. Pemantulan baur, yaitu bila cahaya mengenai permukaan yang tidak rata

seperti ditunjukkan pada Gambar 2.2.

commit to user

Gambar 2.2.2. Pemantulan pada permukaan tidak rata (Serway dan Jerwat, 2004).

Akibat dari permukaan yang tidak rata maka cahaya dipantulkan secara acak dan tidak beraturan. Hukum dasar dari pemantulan cahaya adalah: Sinar datang, garis normal, dan sinar pantul terletak pada satu bidang datar. Besarnya sudut datang θi sama dengan sudut pantul θi’. Akan tetapi hukum ini hanya berlaku untuk cermin datar.

2.3. Pembiasan

Sudut atau arah perambatan sinar cahaya diukur dengan mengacu ke garis normal bidang perbatasan antara kedua bahan. Garis normal adalah sebuah garis yang mengarah tegak lurus terhadap permukaan bidang perbatasan. Sudut yang dibentuk oleh arah sinar datang ke bidang perbatasan (terhadap garis normal) dan sudut yang dibentuk oleh arah sinar meninggalkan bidang perbatasan (terhadap garis normal) secara berturut-turut disebut sebagai sudut datang dan sudut bias sinar cahaya. Penjelasan dari kedua istilah ini dapat di lihat pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3.1. Pembiasan Cahaya (Serway dan Jerwat, 2004). Pada Gambar 2.3. menunjukkan bahwa sudut bias akan lebih kecil dari sudut datang ketika cahaya merambat dari bahan yang berindeks bias kecil ke bahan

udara

kaca

commit to user

lainnya yang berindeks bias lebih besar. Willebrord Snellius, seorang astronom berkebangsaan Belanda menemukan bahwa terdapat suatu hubungan matematis antara indeks bias kedua bahan dengan nilai sinus dari sudut-sudut sinar. Hukum Snellius menyatakan bahwa (Serway dan Jerwat, 2004):

n 1 sinθ 1 =n 2 sinθ 2 (2.1) Terdapat empat variabel matematika di dalam persamaan (2.1), dimana n 1 dan n 2

secara berturut-turut adalah nilai indeks bias bahan pertama dan indeks bias bahan

kedua , sedangkan θ 1 dan θ 2 secara berturut-turut adalah sudut datang dan sudut bias.

2.4.Indeks Bias

Kecepatan cahaya bergantung pada bahan tempat dimana ia merambat. Di dalam ruang hampa, cahaya merambat pada kecepatan maksimumnya yang

mendekati 3x10 8 m/s. Ketika cahaya merambat di dalam suatu material yang

bening dan jernih, kecepatannya akan turun sebesar suatu faktor yang dinamakan indeks bias . Sehingga untuk mengetahui indeks bias suatu material maka digunakan perbandingan antara kecepatan cahaya di udara hampa dengan kecepatan cahaya di material tertentu. Indeks bisa dapat di tulis dengan persamaan (Pane, 2010) :

( ) Dimana besar kecepatan cahaya di ruang hampa adalah 3 x 10 8 m/s.

Karena indeks bias sebenarnya merupakan nilai perbandingan (rasio) antara kecepatan cahaya di dalam ruang hampa terhadap kecepatan cahaya di dalam bahan, maka besaran indeks bias tidak memiliki satuan. Nilai indeks bias tidak pernah lebih kecil dari 1 dan untuk nilai indeks bias zat lain ditampilkan pada tabel 2.1.

commit to user

Tabel 2.1 Indeks bias beberapa medium yang berbeda (Serway dan Jerwat, 2004)

Medium

n=c/v

Udara Hampa

1,0000

Udara (pada STP)

Alkohol Etil

Kaca Kuarsa Lebur

1,46

Kaca Korona

1,52

Pemantulan Internal Total

Sudut perambatan sinar cahaya akan bertambah jika sinar memasuki sebuah bahan dengan indeks bias yang lebih kecil. Jika sudut datang sinar (di dalam bahan pertama) menuju bidang perbatasan terus diperbesar, akan tercapai suatu titik dimana sudut bias menjadi 90  dan sinar akan merambat sejajar dengan batas antar bidang (Arkundato, 2007). Sudut datang yang menyebabkan terjadinya hal ini disebut sebagai sudut kritis.

Gambar 2.4.1. Gambar pemantulan total sempurna (Serway dan Jerwat, 2004).

Udara Kaca

Pemantulan Internal Total

Sudut Kritis

Sumber Cahaya

commit to user

Sudut kritis dapat dihitung dengan mengambil nilai sudut bias sebesar 90  dan memasukkannya ke dalam persamaan Hukum Snellius :

n 1 sin θ 1 =n 2 sin θ 2 (2.3) Nilai dari sudut θ 2 digantikan dengan sudut 90  dan besarnya sin 90 adalah 1,

maka dari persamaan (2.1) dapat digunakan untuk menentukan besar sudut kritis dengan menjadikan persamaan sebagai berikut:

(2.5) Dari gambar 2.4. sinar datang dari medium rapat (kaca) ke medium kurang rapat (udara) maka sinar dibiaskan menjauhi garis normal. Sudut i c merupakan

sudut kritis. Bila sudut datang lebih besar dari sudut kritis, cahaya tidak dibiaskan melainkan dipantulkan dengan sempurna.

2.5. Tingkat Numerik (Numerical Aperture (NA))

Serat optik memiliki diameter yang sangat kecil (dalam ukuran micrometer), sehingga tidak bisa sembarangan dalam memasukkan cahaya ke dalam serat optik. Ada syarat yang harus dipenuhi agar cahaya dapat masuk ke dalam serat optik, yaitu cahaya datang harus dalam daerah kerucut penerimaan.

Kerucut penerimaan (cone of acceptance) adalah kisaran nilai sudut datang untuk sebuah sinar yang masuk ke dalam serat optik, yang masih memungkinkannya untuk dapat merambat di dalam inti hingga mencapai ujung output. Artinya, jika sebuah sinar masuk ke serat optik dengan sudut datang yang berada di luar kisaran ini, maka sinar tersebut tidak akan keluar dari ujung serat optik atau akan hilang di tengah jalan. Daerah kisaran sudut tersebut merupakan sebuah kerucut jika divisualisasikan dalam bentuk tiga-dimensi dan karena itulah disebut dengan ‘kerucut penerimaan’(Elliott, 2006).

commit to user

Gambar 2.6.1. Daerah penerimaan θ mak (Telkom, 2004) Dari gambar (2.6.1.) garis nomer dua adalah sinar datang yang menyebabkan terjadinya sudut kritis sehingga jarak dari normal sampai sinar datang nomer dua merupakan besarnya sudut maksimal. Numerical aperture dari serat optik adalah parameter yang mengukur kemampuan serat optik untuk mengumpulkan atau memerangkap cahaya.

Secara matematis untuk mendapatkan nilai numerical aperture dapat diperoleh dengan rumus: n 0 sinθ maks =n 1 sinθ 2 (2.6) karena θ 2 = 90°- θc , maka persamaan (2.6) menjadi n 0 sinθ maks =n 1 cos θ c (2.7) dengan menggunakan relasi trigonometri sin 2 θ c + cos 2 θ c =1, maka persamaan (2.7) dapat dinyatakan dalam bentuk:

n 1 sinθ maks =n 2 √

(2.8) nilai sinus dari sudut kritis adalah sebesar

(2.10) n 0 merupakan indeks bias udara pada ruang hampa, besarnya adalah 1. Maka persamaannya menjadi:

√( )

(2.11) Dan untuk menghitung sudut penerimaan menggunakan persamaan:

Sudut penerimaan = arcsin ( NA ) (2.12)

 max

n udara = 1

cladding

cladding

core n1

(Sudut kritis)

90 0

1 Cahaya yang masuk ke clading 2 2 Cahaya yang masuk dengan

sudut kritis

3 Cahaya yang mengalir ke dalam

core

 max

Daerah dimana sinar dapat diterima oleh serat optik

commit to user

2.6. Gelombang Elektromagnetik

Gelombang elektromagnetik adalah gelombang yang dihasilkan dari perubahan medan magnet dan medan listrik secara berurutan, dimana arah getar vektor medan listrik dan medan magnet saling tegak lurus. Spektrum optik (cahaya atau spektrum terlihat atau spektrum tampak) adalah bagian dari spektrum elektromagnetik yang tampak oleh mata manusia. Radiasi elektromagnetik dalam rentang panjang gelombang ini disebut sebagai cahaya tampak. Tidak ada batasan yang tepat dari spektrum optik. Mata normal manusia akan dapat menerima panjang gelombang dari 400 sampai 700 nm, meskipun beberapa orang dapat menerima panjang gelombang dari 380 nm sampai 780 nm (atau dalam frekuensi 790-400 terahertz). Mata yang telah beradaptasi dengan cahaya biasanya memiliki sensitivitas maksimum di sekitar 555 nm, di wilayah hijau dari spektrum optik. Warna pencampuran seperti pink atau ungu seperti pada Gambar 2.7.1 tidak terdapat dalam spektrum ini karena warna-warna tersebut hanya akan didapatkan dengan mencampurkan beberapa panjang gelombang.

Gambar 2.7.1 Spektrum Gelombang

2.8. Polarisasi karena Pemantulan dan Pembiasan

Peristiwa pemantulan dan pembiasan dapat menyebabkan terjadinya polarisasi (Gambar 2.8.1.). Polarsasi adalah peristiwa terserapnya sebagian atau seluruh arah getar gelombang. Gejala polarisasi hanya dapat dialami oleh gelombang transversal saja, sedangkan gelombang longitudinal tidak mengalami gejala polarisasi. Ketika cahaya jatuh pada bidang batas antara dua medium

dengan membentuk sudut datang terhadap garis normal, sebagian sinar akan dipantulkan dengan sudut pantul ( = ) dan sebagian lagi akan dibiaskan dengan sudut bias . Jika sinar bias dan sudut pantul membentuk sudut 90° yang

secara matematis , maka sinar pantul terpolarisasi linier. Sudut

commit to user

datang yang menghasilkan sinar pantul terpolarisasi disebut sudut polarisasi atau sudut Brewster ( ).

Gambar 2.8.1. Polarisasi Karena Pemantulan dan Pembiasan (Serway, 2004).

Hukum Snellius untuk menyatakan pembiasan adalah:

Oleh karena

Maka

Sehingga hukum Snellius diatas menjadi: (2.13)

Persamaan (2.12) disebut dengan hukum Brewster. Dalam penelitiaaan ini persamaan (2.12) akan digunakan untuk mencari indek bias PMMA dengan mengunakan metode reflektansi.

2.9. Reflektansi Dan Transmitansi

Perbandingan intensitas cahaya yang dipantulkan dengan cahaya yang datang disebut reflektansi (R), sedangkan perbandingan intensitas cahaya yang ditransmisikan dengan cahaya datang disebut transmitansi (T). Fresnel

ta 𝜃 𝑝

Sinar datang Sinar pantul

Sinar bias

Garis Normal

commit to user

menyelidiki dan merumuskan suatu persamaan koefisien refleksi dan koefisien transmisi yang dihasilkan oleh pemantulan dan pembiasan (Pedrotti, 1993).

Transmitansi dari bahan dapat dicari dengan membandingkan intensitas sinar laser setelah melalui bahan ( ) dengan intensitas sinar laser sebelum

mengenai bahan ( ).

(2.14)

Transmitansi juga dapat dikaitkan dengan koefisien absorbansi suatu bahan. Keterkaitan antara koefisien absorbsi dan transmitansi digambarkan oleh persamaan (2.13), dimana

adalah Transmitansi, adalah koefisien

absorbsi ( ), dan adalah ketebalan bahan ( )

(2.15)

Sedangkan Reflektansi (R) didefinisikan sebagai perbandingan antara intensitas pemantulan dengan intensitas sumber yang dapat ditulis:

(2.16)

2.10. Absorbansi

Absorbsi cahaya oleh suatu molekul merupakan bentuk interaksi antara gelombang cahaya/foton dengan atom/molekul. Absorbsi terjadi saat foton masuk bertumbukan langsung dengan atom-atom pada material dan menyerap energinya pada elektron atom. Foton mengalami perlambatan dan akhirnya berhenti, sehingga pancaran sinar yang keluar dari material berkurang dibandingkan saat masuk material. Abrobsi hanya terjadi ketika selisih kedua tingkat energi elektron tersebut (

) bersesuaian dengan energi cahaya datang. (2.17) Absorbansi menyatakan banyaknya cahaya yang diserap oleh bahan dari total cahaya yang dilewatkan pada bahan tersebut. Hubungan absorbansi dengan transmitansi dapat dinyatakan dengan persamaan

(2.18)

𝐴 𝑙𝑜𝑔 (𝑇) 𝑙𝑜𝑔

commit to user

Dimana adalah Absorbansi, adalah Transmitansi, adalah Intensitas cahaya keluar ( ), dan adalah Intensitas cahaya masuk ( ).

Persamaan (2.18) juga dapat dituliskan: (2.19)

Dengan mensubtitusikan persamaan (2.15) ke persamaan (2.19) besarnya intensitas cahaya setelah melewati bahan dapat dituliskan :

(2.20)

Dari persamaan (2.20) dapat diturunkan persamaan yang menyatakan koefisien absorbsi suatu bahan yang dihubungkan dengan transmitansi, yaitu:

(2.21) Dimana adalah koefisien absorbsi ( ), dan adalah ketebalan bahan ( ),

dan adalah Transmitansi. Dengan mensubtitusikan persaman (2.15) ke persamaan (2.19) sehingga diperoleh hubungan antara Absorbansi ( ), koefisien absorbsi ( ), dan ketebalan bahan ( ) yang dituliskan dengan persamaan:

(2.22) Dimana adalah koefisien absorbsi ( ), dan adalah ketebalan bahan ( ),

dan adalah Absorbansi.

𝑡l

(𝑇)

l (𝑇)

l( )

𝐴 𝑡l

commit to user

16

BAB III METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat

3.1.1. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Sub Laboratorium Optik Jurusan Fisika Fakultas MIPA Jurusan Fisika Fakultas MIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3.1.2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan selama 5 bulan, mulai bulan Februari 2011 sampai dengan Juni 2011.

3.2. Alat dan Bahan

3.2.1. Alat Penelitian

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian antara lain (Gambar 3.1) :

1. Osciloscope Digital Yokogawa

2. Large Area Visible Photo Receiver Model 2031

3. Sinar laser He-Ne merah (632 nm)

4. Sinar laser hijau (532 nm)

5. Spektrophotometer UV-VIS Lamda25

6. FTIR

7. Meja Putar berskala derajat

8. Alat Polish

9. Polish dengan grade 1000, 2400 dan 4000

10. Mesin bubut

11. Wadah sampel

3.2.2. Bahan Penelitian

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian antara lain :

1. Polymethyl metacrylate (PMMA)

2. Air kran

commit to user

(a)

(b)

(c)

(d)

(e)

(f)

(g)

(h)

2400 4000

1000

commit to user

Gambar 3.1.1. Alat dan bahan yang digunakan untuk penelitian kajian perambatan cahaya pada pandu gelombang makro berbentuk Kerucut (a) Potongan sampel tebal 2 mm, (b) Meja putar berskala derajat, (c) Photo Receiver, (d), Polish dengan grade 1000, 2400 dan 4000 (e) Sumber sinar laser merah, (f) Sumber sinar laser hijau, (g) Osciloscope Digital, dan (h) Sampel Kerucut.

3.3. Prosedur Penelitian

Perlakuan kerja dalam penelitian ini ditujukan untuk membuat kolektor surya dengan bentuk kerucut. Pada kolektor surya ini telah ditentukan sudut kemiringan dan tinggi dari sampel kerucut. Dari kemiringan dan tinggi akan digunakan untuk mengetahui sudut penerimaan (NA). Untuk mencapai tujuan di atas kegiatan penelitian ini di bagi menjadi dua tahap yaitu kajian secara matematis dan kajian secara eksperimen. Gambar 3.2 adalah diagram alir dari kegiatan penelitian ini.

Gambar 3.2.1. Diagram alir penelitian Kolektor surya bentuk kerucut

Pembuatan sampel

Pengukuran reflektansi

Pengukutan indeks bias

Perhitungan dan Pengukuran NA pada sampel

Pengkajian secara matematis

Perhitungan dengan Ms. Excel

Pengukuran Absorbansi

commit to user

Keterangan secara mendetil dari masing-masing langkah adalah sebagai berikut:

3.3.1. Pembuatan Sampel

Pada tahap ini dilakukan pembuatan sampel. Bahan yang dibutuhkan diantaranya Polymethyl metacrylate (PMMA) atau yang biasa dikenal dengan acrylic . PMMA pabrikan akan dipotong tipis dengan ketebalan ± 2 mm dan dibentuk kerucut dengan mesin bubut. Pemotongan PMMA tipis dilakukan untuk pengujian karasteristik absobansi, karasteristik reflektansi dan karasteristik indeks bias. Sedangkan model bentuk kerucut akan digunakan untuk pengujian NA. Model eksperimen berbentuk kerucut telah di tentukan ketinggiannya sebesar 8 cm dengan diameter permukaan ujung atas sebesar 1,6 cm dan permukaan ujung bawah berdiameter 0,8 cm. Pada bagian badan tepatnya 2 cm dari permukaan atas berdiameter 2 cm.

Gambar 3.3.1.1. Desain kerucut kolektor surya Sampel dibentuk dengan menggunakan mesin bubut. Karena permukaan sampel belum halus maka permukaan sampel harus dipolish. Proses polish dilakukan secara bertahap, yaitu dimulai dari grade 1000, 2400 dan diakhiri dengan grade 4000. Proses seperti ini dilakukan bertujuan agar mempercepat halusnya sampel. Untuk permukaan yang datar proses polish dapat dipermudah dengan menggunakan mesin polish.

3.3.2. Pengukuran Absorbansi

Sampel yang digunakan merupakan potongan tipis acrylic dengan tebal sampel ±2 mm. Ketika memasukkan sampel ke alat, harus di cuci dengan alkohol agar kondisi sampel bersih. Pada UV-VIS panjang gelombang yang digunakan pada pengukuran ini adalah 350 nm-800 nm. Data absorbansi yang di gunakan

1,6 cm 2 cm 6

8 cm

0,8 cm

commit to user

pada FTIR menggunakan Panjang gelombang Infra red. Pengolahan grafik yang dilakukan dengan menggunakan software Origin Pro 8.

3.3.3. Pengukuran Reflektansi

Pengukuran reflektansi pada penelitian ini dengan menggunakan potongan sampel, karena dalam pengukuran reflektansi hanya berlaku pada bidang datar. Pengukuran ini menggunakan meja putar berskala derajat yang akan digunakan untuk memvariasi sudut (Gambar 3.3.3.1).

Gambar 3.3.3.1. Meja putar berskala derajat untuk mengukur reflektansi

Perlakuan pada pengukuran Reflektansi adalah melewatkan laser (merah dan hijau) ke sampel PMMA. Pada laser hijau pengujian dilakukan dengan menambahkan polarisator, karena laser hijau belum terpolarisasi. Dari sampel PMMA ini selanjutnya sinar akan dipantulkan kembali oleh sampel PMMA kemudian ditangkap oleh photo receifer dan diukur intensitas sinar pantulnya dengan menggunakan osciloscope digital. Pengambilan data intensitas dilakukan terhadap variasi sudut datang. Variasi sudut datang yang digunakan adalah perubahan pergeseran sudut sebesar 5° dengan rentang 5°-85°. Skema proses pengambilan data digambarkan seperti pada Gambar 3.3.3.2.

commit to user

Osciloscope Digital

Gambar 3.3.3.2 Skema pengambilan data reflektansi sampel

Nilai reflektansi akan diperoleh dengan membandingkan intensitas sinar pantul dengan intensitas sumber, seperti yang telah disebutkan dalam tinjauan pustaka pada persamaan (2.15).

Pengukuran reflektansi dilakukan pada mode TE dan mode TM. Data antara sudut sinar datang dan intensitas sinar pantul ini dimasukkan dalam grafik. Pembuatan grafik dilakukan dengan menggunakan Software Origin Pro 8.

3.3.4. Pengukuran Indeks Bias

Pengukuran Indeks bias dapat dilakukan dengan menggunakan reflektansi mode TM. Untuk mendapatkan indeks bias yang lebih teliti dilakukan pengukuran ulang reflektansi pada rentang sudut 52°-58° dengan ketelitian 10’12”. Data reflektansi ini dibuat grafik dengan menggunakan software Origin Pro 8. Indeks bias ditunjukkan oleh nilai tangen dari sudut datang sinar laser yang memberikan nilai intensitas terkecil. Indeks bias dihitung dengan menggunakan persamaan sudut Brewster yang secara matematis seperti pada persamaan (2.12).

Dimana θ p adalah sudut datang sinar laser yang memberikan nilai intensitas terkecil, n 2 adalah indeks bias sampel, dan n 1 adalah indeks bias udara

commit to user

(n 1 =1,0003). Pada penelitian ini akan dicari indeks bias PMMA dengan cara mencari nilai θ p . Setelah θ p didapatkan, maka dapat digunakan persamaan (2.12) untuk menghitung indeks bias PMMA.

3.3.5. Kajian Matematis Pada Penentuan Numerical Aperture (NA)

Kajian matematis dalam penelitian ini dilakukan dengan mencari keterkaitan antara kemiringan kolektor dan tinggi kolektor dengan NA. Pada tahapan ini dicari rumus pencerminan dalam pandu gelombang sehingga dapat diketahui ketinggian untuk setiap pemantulan ke-i. Sudut-sudut tersebut dihubungkan dengan sudut sinar datang (θ i ) pada saat sebelum memasuki model kolektor. Setelah diketahui rumus dari pencerminan ke-i dan tinggi ke-m, NA dapat di cari dengan persamaan dari sudut kritis seperti pada persamaan (2.4.).

Nilai sudut kritis yang telah diketahui digunakan sebagai acuan perbandingan dengan sudut pemantulan ke-i. Ketika sudut pemantulan ke-i lebih besar maka sudut itu digunakan untuk mengetahui letak pemantulan terhadap tinggi sampel, jika posisi pemantulan lebih pendek atau sama dengan tinggi sampel maka nilai NA dapat diketahui.

3.3.6. Pengukuran Numerical Aperture (NA) Secara Eksperimen

Numerical Aperture merupakan parameter yang merepresentasikan sudut penerimaan maksimum dimana berkas cahaya masih bisa diterima dan merambat didalam kolektor surya. Secara matematis, besar sudut penerimaan (NA) sampel dapat dihitung dalam kaitannya dengan indek bias bahan, panjang sampel, lebar sampel, sudut kemiringan sampel.

commit to user

Gambar 3.3.6.1. Skema pengukuran NA sampel

Gambar 3.3.6.1. adalah skema pengambilan data NA sampel. Dalam penelitian ini langkah untuk menentukan NA adalah dengan cara meletakkan sampel diatas meja putar berskala derajat, kemudian menyinari masing – masing sampel dengan laser dan dicari sudut maksimum dimana sinar masih merambat dan memantul didalam sampel hingga keluar dari ujung sisi yang lain. Laser yang digunakan pada penelitian ini adalah laser hijau (λ = 532 nm) dan laser He-Ne merah (λ = 632 nm). Penggunaan dua laser ini dimaksudkan agar dapat mewakili spektrum cahaya yang sampai ke bumi yang dipancarkan oleh matahari.

Terdapat dua variasi posisi datangnya sinar yang dilakukan dalam menentukan NA secara eksperimen. Posisi pertama sinar berada pada permukaan kanan atas sampel. Selanjutnya posisi kedua datangnya sinar berada pada permukaan kiri atas sampel. Perlu dilakukan ketelitian yang tinggi dalam peletakkan sampel agar sinar dapat masuk lurus pada kerucut.

Laser

NA Kanan

NA Kiri

Sampel

Laser

commit to user

Gambar 3.3.6.2. Posisi Datangnya Sinar Pada Permukaan Atas Kerucut

Data yang diambil adalah besarnya sudut ketika sinar tidak lagi berada pada permukaan ujung bawah melainkan dibiaskan pada bagian samping atau badan. Data NA untuk setiap laser dari masing-masing sampel dimasukkan kedalam tabel dan dibandingkan dengan NA hasil perhitungan secara matematis.

commit to user

25

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam penelitian ini telah dilakukan beberapa karakterisasi optik dari PMMA (Polymethyl Methacrylate), antara lain karakteristik absorbsansi, karakteristik reflekstansi, karakteristik indeks bias dan karakteristik Numerical Aperture (NA). PMMA yang digunakan merupakan hasil dari produksi pabrik dibentuk menjadi potongan yang memiliki tebal ±2 mm dan potongan berbentuk kerucut.

Sampel berdiameter ± 2 mm digunakan untuk pengujian pada karakteristik absorbansi, karakteristik reflektansi dan karakteristik indeks bias. Sedangkan untuk pengujian NA tahap pertama menggunakan sampel berbentuk kerucut. Pada tahap kedua pengujian NA dilakukan secara teori matematis.

4. 1. Karakteristik Absorbansi PMMA

Pengujian pertama pada karakteristik absorbansi PMMA dilakukkan dengan menggunakan UV-Visible Spectrophotometer. Nilai yang dihasilkan pada pengujian ini merupakan hubungan antara panjang gelombang dengan absorbansi. Panjang gelombang yang digunakan adalah cahaya tampak dengan kisaran 350 nm – 800 nm.

Gambar 4. 1.1. Grafik Absorbansi UV-VIS PMMA

λ (nm)

commit to user

Absorbansi adalah perbandingan antara intensitas cahaya keluar dari medium dengan cahaya sebelum memasuki medium. Besarnya intensitas cahaya sebelum memasuki medium selalu lebih besar dari cahaya setelah melewati medium. Masing-masing medium memiliki nilai absorbansi yang berbeda-beda tergantung dari kerapatan medium.

Pada gambar 4.1.1. diketahui bahwa grafik mengalami penurunan drastis mulai dari panjang gelombang 350 nm dengan nilai absorbansi 1,36 sampai dengan panjang gelombang 388 nm dengan nilai absorbansi 0,30. Pada panjang gelombang 400 nm lintasan masih mengalami penurunan dengan selisih sangat kecil ±0,01. Grafik yang berpola seperti pada gambar 4.1.1. dapat diartikan bahwa PMMA akan mengalami absorbansi yang tinggi ketika dilewati panjang gelombang yang nilainya lebih kecil dari 350 nm. Sedangkan pada transmitansi yang tinggi berada pada rentang panjang gelombang 400 nm –800 nm.

Pengujian kedua pada karakteristik lapisan tipis absorbansi pada PMMA dengan menggunakan alat FTIR. Panjang gelombang yang digunakan sangat tinggi karena sumber cahaya yang digunakan adalah infra red. Rentang panjang gelombang yang digunakan adalah 25046,028 nm – 2499,772 nm. Rentang tersebut telah mengalami konversi panjang gelombang dari 1/λ yang memiliki satuan cm -1 menjadi λ dengan satuan nm. Perubahan satuan dilakukan untuk mempermudah

analisa ketika dibandingkan dengan grafik dari UV-VIS. Hasil dari pengujian absorbansi menggunakan FTIR dapat disajikan pada gambar 4.1.2.

Gambar 4. 1.2. Grafik Absorbansi FTIR PMMA

λ (nm)

commit to user

Pada gambar 4.1.2. dapat dilihat bahwa hampir di semua panjang gelombang memiliki nilai absorbansi yang tinggi. Sehingga dapat diartikan hampir semua infra red diserap oleh PMMA.

Spektrum radiasi matahari yang pancarannya sampai ke bumi memiliki rentang dari panjang gelombang 200 - 2600 nm (Pedrotti, 1993). Informasi yang diperoleh dari grafik 4.1.1. dan 4.1.2. termasuk dalam rentang spektrum matahari ke bumi. Dari kedua grafik tersebut disimpulkan bahwa bahan PMMA baik untuk rentang panjang gelombang cahaya tampak.

4. 2. Karakteristik Reflektansi PMMA

Pengukuran karakteristik reflektansi PMMA dilakukan dengan menggunakan meja putar berskala derajat. Hasil pengukuran reflektansi PMMA disajikan dalam Gambar 4.2.1.

Gambar 4. 2.1. Grafik Reflektansi PMMA laser merah

Perlakuan pada pengukuran karakteristik refleksi adalah mengetahui pemantulan dari penyinaran permukaan bahan PMMA dengan menggunakan laser untuk setuap panambahan sudut. Pengujian ini tidak tergantung dari tebal bahan melainkan sangat berpengaruh pada rata dan bersihnya bahan. Setingan awal alat

commit to user

adalah memposisikan laser pada sudut 0  dan pantulan dari sampel diarahkan tepat pada sumber sinar laser. Kemudian laser digerakkan ke kanan dengan variasi penambahan 5  sebagai variasi sudut datang. Terdapat dua cara penyinaran laser, yaitu secara TE (transverse electric) dan TM (tranverse magnetic). Penyinaran dalam mode TE laser diletakkan pada posisi vertikal dan mode tersebut hanya dapat melewati polarizer medan listrik. Sedangkan untuk penyinaran TM laser berada pada posisi hirisontal dan hanya dapatmelewati polarizer medan magnet. Pada Gambar 4. 2.1. posisi lintasan grafik dari TE diatas lintasan grafik dari TM. Hal tersebut bersesuaian dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti terdahulu (Kawate dkk, 2007).

Sebelum melakukan variasi sudut datang, sinar laser diarahkan terlebihdahulu ke photoreceiver. Fungsi dari photoreceiver adalah merubah intensitas sinar laser menjadi pulsa-pulsa listrik dengan ukuran daya (watt) yang selanjutnya di proses oleh osciloscope digital. Keluaran yang ditampilkan adalah

V avg yang berarti rata-rata tegangan yang diterima dari laser. Dari keluaran itulah nantinya reflektansi dapat di ketahui. Sesuai dengan tinjauan pustaka, reflektansi (R) didefinisikan sebagai perbandingan antara intensitas pemantulan dengan intensitas sumber yang dapat dicari nilainya dengan persamaan (2.15). Besarnya nilai I dapat di ketahui dari persamaan:

(4.2.1.)

Dengan I adalah intensitas (watt/m2), P adalah daya listrik (watt) dan A adalah luasan (m2). Kemudian dari keluaran tegangan tadi bisa untuk menentukan besarnya daya listrik dari persamaan:

(4.2.2.) Dengan V (volt) dan I A adalah arus listrik (ampere). Ketika persamaan (4.2.2.) di

subtitusikan ke persamaan (4.2.1) dan persamaan (4.2.1) di subtitusikan lagi ke persamaan (2.1.5.), maka persamaan menjadi:

(4.2.3.) Pada penggunaan laser hanya dilakukan dua variasi, yaitu laser hijau

dengan panjang gelombang 532 nm dan laser He-Ne merah dengan panjang

𝑅=

𝑉 𝑟 (𝑣𝑜𝑙𝑡)

𝑉 0 (𝑣𝑜𝑙𝑡)

𝐼=

𝑃 = 𝑉. 𝐼 𝐴

commit to user

gelombang 632 nm. Dari kedua laser itu diharapkan dapat mewakili spektrum cahaya tampak oleh matahari. Pada Gambar 4.2.1. merupakan hasil reflektansi dari laser merah dan terlihat bahwa nilai reflektansi untuk mode TE semakin meningkat jika sudut datang semakin besar. Untuk sudut awal yaitu 5  nilai reflektansi sebesar 3,680 dan untuk sudut 80  yang merupakan sudut terakhir yang masih bisa di pantulkan oleh PMMA memiliki nilai reflektansi sebesar 100,685. Untuk nilai reflektansi TM laser merah pada gambar 4.2.1. menunjukkan bahwa nilai reflektansi PMMA akan terus turun dari sudut 5° dengan nilai reflektansi 15,959 hingga sudut 55° dengan nilai reflektansi 0,315. Tetapi pada sudut 60° nilai reflektansi mulai mengalami peningkatan sampai dengan sudut 80  dengan nilai reflektansi 100,16. Dari grafik terlihat bahwa nilai reflektansi kurang dari sepuluh TE lebih kecil dari nilai reflektansi TM yang menunjukkan bahwa TM tidak selalu berada dibawah TE.

Gambar 4.2.2. Grafik Reflektansi PMMA laser hijau Untuk reflektansi TE dan TM laser hijau seperti pada gambar 4.2.2.

menunjukan tanda-tanda yang sama seperti pada reflektansi TE dan TM

commit to user

menggunakan laser merah. Hanya saja pada laser hijau nilai reflektansi TM lebih tinggi dari TE terletak pada skala kurang dari 20 .

4. 3. Pengukuran Indeks Bias PMMA

Kolektor surya yang dirancang memiliki prinsip yang sama dengan serat optik, yaitu memiliki core dan clading. Core yang dimaksud adalah bahan PMMA sedangkan udara sebagai clading. Dalam serat optik, salah satu variabel yang harus diketahui untuk melakukan pemantuan sempurna adalah perbedaan indeks bias antara core dengan clading. Maka dari itu terlihat bahwa pentingnya mengetahui karakteristik indeks bias pada PMMA.

Hasil pengukuran reflektansi PMMA untuk pengukuran indeks bias disajikan dalam Gambar 4.3.1.

Gambar 4.3.1. Grafik Reflektansi PMMA mode TM dari 52°-58°

Pada Gambar 4.3.1. adalah perbesaran sekaligus peningkatan sudut datang dengan ketelitian sudut datang sebesar 10’12” dari Gambar 4.2.1. Penggunaan rentang yang antara 52°-58° di sebabkan karena nilai minimum sudut pada

commit to user

Gambar 4.2.1 adalah sebesar 55°. Penentuan indeks bias hanya menggunakan laser merah, dikarenakan pada penggunaan laser hijau tidak stabil jika digunakan dalam waktu yang relatif lama. Pada gambar 4.3.1. terlihat bahwa grafik reflektansi PMMA untuk rantang sudut datang dari 52° hingga 58° membentuk lembah. Nilai refelektansi PMMA terendah yang diperoleh adalah 2,195 terjadi pada sudut 56° 10’12”.

Dengan mengingat hukum Brewster yang berada pada tinjauan pustaka persamaan (2.12). Dengan nilai θ p adalah 56° 10’12”, maka dapat dihitung indeks

bias PMMA (n 2 ). Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh indeks bias untuk

PMMA adalah 1,492. Besarnya nilai indeks bias dari hasil penelitian bersesuaian dengan literatur (www.plasticsinfo.co.za) bahwa besarnya indeks bias NA berkisar 1,49-1,51.

4. 4. Pengukuran Numerical Aperture

Pengukuran ini dibagi menjadi dua tahap, tahapan yang pertama yaitu pengukuran secara eksperimen sedangkan tahap yang kedua adalah pengukuran secara teori dari kajian matematis. Pada tahap eksperimen melakukan penyinaran dengan menggunakan meja berskala derajat. Sedangkan pada kajian matematis dalam penelitian ini dilakukan dengan mencari keterkaitan antara kemiringan kolektor dengan NA.

4.4.1. Pengukuran NA Secara Eksperimen

Pada pengukuran NA secara eksperimen, sinar datang diposisikan seperti pada gambar 3.3.6.2. Pada setiap titik terdapat dua data NA yang di ambil, yaitu data dengan sinar datang digeser ke arah kanan dari garis normal dan sinar datang digeser ke arah kiri dari garis normal. Pengukuran eksperimen didapat data sebagai berikut:

commit to user

Tabel 4.4.1 Data Eksperimen NA PMMA

Sampel

Posisi

Sinar Datang

Arah Putar

λ = 632nm

merah

λ = 532nm hijau

 mak

NA (sin  mak )

 mak NA (sin  mak ) Kerucut