Logika Induktif Sebab Akibat dalam
LOGIKA INDUKTIF: SEBAB-AKIBAT
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu dan Logika
Disusun oleh:
Hilwa Rizqia Luthfiani
190110140022
Muhamad Rizal Saputra
190110140044
Devi Novilia Nurhayati
190110140046
Angela
190110140050
Nadya Integralia
190110140134
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2015
A.
SEBAB-AKIBAT KONDISI MUTLAK DAN MEMADAI
Pengertian sebab-akibat, pertama-tama, terkandung makna bahwa yang satu
(sebab) itu mendahului yang lain (akibat), setidaknya secara logika atau dalam jalan
pikiran kita. Akan tetapi, tidak semua yang mendahului sesuatu yang lain merupakan
sebab dari yang lain itu. Hubungan antara sebab-akibat merupakan suatu hal yang
intrinsik, sehingga kalau yang satu (sebab) ada/tidak ada, maka yang lain (akibat)
juga pasti ada/tidak ada.
Dalam hubungan sebab-akibat, terdapat dua kondisi, yaitu kondisi mutlak dan
kondisi memadai. Yang disebut kondisi mutlak ialah sebab yang kalau tidak ada,
akibatnya juga tidak ada. Ini berarti bahwa akibat X hanya ada kalau ada sebab Y: X
hanya kalau Y. Adapun yang disebut kondisi memadai ialah sebab yang kalau ada,
akibatnya tentu ada: Jika X maka Y.
Contoh:
“R.P. adalah seorang penderita prosopagnosia, yaitu agnosia visual dengan
kesulitan spesifik dalam mengenali wajah-wajah, yang disebabkan oleh
kerusakan pada daerah visual cortex sekunder yang memediasi rekognisi
atribut tersebut.”
(Pinel, “Prosopagnosia,” dalam Biopsikologi: Edisi Ketujuh, 2009-‘195, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta. 2009.)
Dari kutipan di atas, kerusakan pada daerah visual cortex sekunder merupakan
kondisi mutlak dari prosopagnosia. Tanpa adanya kerusakan pada visual cortex
sekunder, tidak mungkin ada prosopagnosia. Sebaliknya jika seseorang menderita
prosopagnosia, maka terdapat kerusakan pada daerah visual cortex sekunder orang
tersebut. Dari adanya prosopagnosia baru dapat disimpulkan adanya kerusakan pada
visual cortex sekunder.
1.
Kerusakan pada visual cortex sekunder adalah kondisi mutlak. Kalau
seseorang menderita prosopagnosia (akibat Y), orang tersebut mengalami
kerusakan pada visual cortex sekunder (sebab X). Jadi: Y X.
2.
Kerusakan pada visual cortex sekunder adalah kondisi memadai. Kalau
seseorang mengalami kerusakan pada visual cortex sekunder (sebab X), maka
ia tentu menderita prosopagnosia (akibat Y). Jadi: X Y.
B.
METODE PERSAMAAN
Prinsip metode persamaan dirumuskan oleh Stuart Mill sebagai berikut:
“Apabila dua peristiwa atau lebih dari suatu gejala yang diteliti hanya mempunyai
satu faktor yang sama, maka satu-satunya faktor yang sama untuk semua peristiwa
itu ialah sebab (atau akibat) dari gejala tersebut.”
Contoh:
Ibu hamil A makan ikan, makan keripik pedas, minum susu ibu hamil, minum
alkohol, dan anaknya menderita fetal alcohol spectrum disorder (FASD)
setelah lahir.
Ibu hamil B makan rujak, makan sayuran, minum air kelapa, minum alkohol,
dan anaknya menderita fetal alcohol spectrum disorder (FASD) setelah lahir.
Ibu hamil C makan pisang, minum soda, makan junk food, minum alkohol,
dan anaknya menderita fetal alcohol spectrum disorder (FASD) setelah lahir.
Satu-satunya faktor yang sama dalam ketiga peristiwa di atas ialah minum alkohol.
Maka ‘minum alkohol’ adalah sebab dari anaknya menderita fetal alcohol spectrum
disorder (FASD) setelah lahir.
*) Fetal alcohol spectrum disorder (FASD) adalah sejumlah abnormalitas dan
masalah yang muncul pada anak dari ibu yang merupakan peminum alkohol berat
selama masa kehamilan. Abnormalitas tersebut meliputi facial deformities atau cacat
pada wajah dan cacat pada anggota tubuh dan jantung (Klingenberg & others, 2010).
Kebanyakan anak yang menderita FASD bermasalah dalam proses belajar dan banyak
yang tingkat intelegensinya berada di bawah rata-rata, sedangkan beberapa yang lain
memiliki keterbelakangan mental (Caley & others, 2008).
C.
METODE PERBEDAAN
Prinsip metode perbedaan dirumuskan oleh Stuart Mill sebagai berikut:
“Jika sebuah peristiwa yang mengandung gejala yang diselidiki dan sebuah
peristiwa lain tidak mengandungnya, semua faktor-faktornya sama kecuali satu,
sedangkan yang satu itu terdapat pada peristiwa pertama, maka faktor satu-satunya
yang menyebabkan kedua peristiwa itu berbeda adalah akibat atau sebab atau
bagian yang tidak terpisahkan dari sebab gejala tersebut.”
Contoh:
Ibu hamil A makan rujak, makan sayuran, minum air kelapa, minum alkohol,
dan anaknya menderita fetal alcohol spectrum disorder (FASD) setelah lahir.
Ibu hamil B makan rujak, makan sayuran, minum air kelapa, dan anaknya
tidak menderita fetal alcohol spectrum disorder (FASD) setelah lahir.
Semua faktor dalam kedua peristiwa di atas sama kecuali ‘minum alkohol’. Maka
‘minum alkohol’ adalah sebab dari anaknya menderita fetal alcohol spectrum disorder
(FASD) setelah lahir.
D.
METODE GABUNGAN
Stuart Mill merumuskan prinsip metode gabungan sebagai berikut:
“Jika pada dua peristiwa atau lebih dengan sebuah gejala, hanya terdapat sebuah
faktor yang sama; sedangkan pada dua peristiwa atau lebih yang tidak memiliki
gejala tersebut tidak ada persamaan yang satu dengan yang lain, kecuali tidak ada
faktor tersebut, maka faktor yang merupakan satu-satunya perbedaan diantara kedua
kelompok peristiwa tersebut merupakan akibat atau sebab atau bagian tak
terpisahkan dari sebab gejala tersebut.”
Contoh:
Ibu hamil A makan rujak, makan
Ibu hamil A makan rujak, makan
sayuran, minum air kelapa,
sayuran, minum air kelapa, minum
minum alkohol, dan anaknya
alkohol, dan anaknya menderita
menderita fetal alcohol spectrum
fetal alcohol spectrum disorder
disorder (FASD) setelah lahir.
(FASD) setelah lahir.
Ibu hamil C makan pisang,
Ibu hamil B makan rujak, makan
minum soda, makan junk food,
sayuran, minum air kelapa, dan
minum alkohol, dan anaknya
anaknya tidak menderita fetal
menderita fetal alcohol spectrum
alcohol spectrum disorder (FASD)
disorder (FASD) setelah lahir.
setelah lahir.
Susunan peristiwa di sebelah kiri adalah menurut metode persamaan, yang di sebelah
kanan menurut metode perbedaan. Karena dengan menggunakan kedua metode itu
secara terpisah sudah dapat dicapai konklusinya, maka konklusi itu dapat dianggap
lebih kuat apabila keduanya digunakan bersama-sama.
Maka ‘minum alkohol’ adalah sebab dari anaknya menderita fetal alcohol spectrum
disorder (FASD) setelah lahir.
E.
METODE VARIASI
Metode variasi didasarkan atas adanya suatu faktor yang bervariasi dalam suatu
peristiwa, dan adanya dalam peristiwa yang sama itu gejala yang juga bervariasi. Jika
variasi dari faktor tersebut sejalan dengan variasi gejala, maka faktor tersebut adalah
sebab dari gejala yang bersangkutan.
Contoh:
Ibu hamil A makan ikan, makan keripik pedas, minum susu ibu hamil, minum
alkohol secara rutin pada usia kandungan hingga minggu ke-4, dan anaknya
menderita fetal alcohol spectrum disorder (FASD) setelah lahir dengan ciriciri menderita kerusakan berupa luka di kelopak matanya.
Ibu hamil B makan rujak, makan sayuran, minum air kelapa, minum alkohol
secara rutin pada usia kandungan hingga minggu ke-9, dan anaknya menderita
fetal alcohol spectrum disorder (FASD) setelah lahir dengan ciri-ciri telinga
luarnya tidak berbentuk/berbentuk tidak beraturan.
Ibu hamil C makan pisang, minum soda, makan junk food, minum alkohol
secara rutin pada usia kandungan hingga minggu ke-20, dan anaknya
menderita fetal alcohol spectrum disorder (FASD) setelah lahir dengan ciriciri menderita keterbelakangan mental.
Maka, minum alkohol secara rutin adalah sebab dari anak terlahir dengan fetal
alcohol spectrum disorder (FASD) dengan abnormalitas secara fisik maupun mental.
F.
METODE RESIDU
Stuart Mill merumuskan prinsip metode residu sebagai berikut:
“Hapuslah dari suatu gejala bagian apa saja yang berdasarkan induksi-induksi
terdahulu (sebelumnya) sudah diketahui merupakan akibat dari antesenden-
antesenden tertentu, dan residu (sisa) gejala itu ialah akibat dari sisa
antesendennya.”
Contoh:
Ibu hamil A makan nasi goreng, ibu hamil B minum jus alpukat, ibu hamil C
makan pasta, dan anak ketiga-tiganya tidak menderita fetal alcohol spectrum
disorder (FASD) setelah lahir.
Ibu hamil D makan nasi goreng, minum jus alpukat, makan pasta, serta
minum alkohol, anaknya menderita fetal alcohol spectrum disorder (FASD)
setelah lahir.
Maka, minum alkohol adalah sebab dari anaknya menderita fetal alcohol spectrum
disorder (FASD) setelah lahir.
Referensi:
Pinel, John P.J. (2009). Biopsikologi: Edisi Ketujuh. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Santrock, John W. (2011). Child Development: Thirteenth Edition. New York:
McGraw-Hill.
Soekadijo, R.G. (1999). Logika Dasar: tradisional, simbolik, dan induktif. Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama.
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu dan Logika
Disusun oleh:
Hilwa Rizqia Luthfiani
190110140022
Muhamad Rizal Saputra
190110140044
Devi Novilia Nurhayati
190110140046
Angela
190110140050
Nadya Integralia
190110140134
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2015
A.
SEBAB-AKIBAT KONDISI MUTLAK DAN MEMADAI
Pengertian sebab-akibat, pertama-tama, terkandung makna bahwa yang satu
(sebab) itu mendahului yang lain (akibat), setidaknya secara logika atau dalam jalan
pikiran kita. Akan tetapi, tidak semua yang mendahului sesuatu yang lain merupakan
sebab dari yang lain itu. Hubungan antara sebab-akibat merupakan suatu hal yang
intrinsik, sehingga kalau yang satu (sebab) ada/tidak ada, maka yang lain (akibat)
juga pasti ada/tidak ada.
Dalam hubungan sebab-akibat, terdapat dua kondisi, yaitu kondisi mutlak dan
kondisi memadai. Yang disebut kondisi mutlak ialah sebab yang kalau tidak ada,
akibatnya juga tidak ada. Ini berarti bahwa akibat X hanya ada kalau ada sebab Y: X
hanya kalau Y. Adapun yang disebut kondisi memadai ialah sebab yang kalau ada,
akibatnya tentu ada: Jika X maka Y.
Contoh:
“R.P. adalah seorang penderita prosopagnosia, yaitu agnosia visual dengan
kesulitan spesifik dalam mengenali wajah-wajah, yang disebabkan oleh
kerusakan pada daerah visual cortex sekunder yang memediasi rekognisi
atribut tersebut.”
(Pinel, “Prosopagnosia,” dalam Biopsikologi: Edisi Ketujuh, 2009-‘195, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta. 2009.)
Dari kutipan di atas, kerusakan pada daerah visual cortex sekunder merupakan
kondisi mutlak dari prosopagnosia. Tanpa adanya kerusakan pada visual cortex
sekunder, tidak mungkin ada prosopagnosia. Sebaliknya jika seseorang menderita
prosopagnosia, maka terdapat kerusakan pada daerah visual cortex sekunder orang
tersebut. Dari adanya prosopagnosia baru dapat disimpulkan adanya kerusakan pada
visual cortex sekunder.
1.
Kerusakan pada visual cortex sekunder adalah kondisi mutlak. Kalau
seseorang menderita prosopagnosia (akibat Y), orang tersebut mengalami
kerusakan pada visual cortex sekunder (sebab X). Jadi: Y X.
2.
Kerusakan pada visual cortex sekunder adalah kondisi memadai. Kalau
seseorang mengalami kerusakan pada visual cortex sekunder (sebab X), maka
ia tentu menderita prosopagnosia (akibat Y). Jadi: X Y.
B.
METODE PERSAMAAN
Prinsip metode persamaan dirumuskan oleh Stuart Mill sebagai berikut:
“Apabila dua peristiwa atau lebih dari suatu gejala yang diteliti hanya mempunyai
satu faktor yang sama, maka satu-satunya faktor yang sama untuk semua peristiwa
itu ialah sebab (atau akibat) dari gejala tersebut.”
Contoh:
Ibu hamil A makan ikan, makan keripik pedas, minum susu ibu hamil, minum
alkohol, dan anaknya menderita fetal alcohol spectrum disorder (FASD)
setelah lahir.
Ibu hamil B makan rujak, makan sayuran, minum air kelapa, minum alkohol,
dan anaknya menderita fetal alcohol spectrum disorder (FASD) setelah lahir.
Ibu hamil C makan pisang, minum soda, makan junk food, minum alkohol,
dan anaknya menderita fetal alcohol spectrum disorder (FASD) setelah lahir.
Satu-satunya faktor yang sama dalam ketiga peristiwa di atas ialah minum alkohol.
Maka ‘minum alkohol’ adalah sebab dari anaknya menderita fetal alcohol spectrum
disorder (FASD) setelah lahir.
*) Fetal alcohol spectrum disorder (FASD) adalah sejumlah abnormalitas dan
masalah yang muncul pada anak dari ibu yang merupakan peminum alkohol berat
selama masa kehamilan. Abnormalitas tersebut meliputi facial deformities atau cacat
pada wajah dan cacat pada anggota tubuh dan jantung (Klingenberg & others, 2010).
Kebanyakan anak yang menderita FASD bermasalah dalam proses belajar dan banyak
yang tingkat intelegensinya berada di bawah rata-rata, sedangkan beberapa yang lain
memiliki keterbelakangan mental (Caley & others, 2008).
C.
METODE PERBEDAAN
Prinsip metode perbedaan dirumuskan oleh Stuart Mill sebagai berikut:
“Jika sebuah peristiwa yang mengandung gejala yang diselidiki dan sebuah
peristiwa lain tidak mengandungnya, semua faktor-faktornya sama kecuali satu,
sedangkan yang satu itu terdapat pada peristiwa pertama, maka faktor satu-satunya
yang menyebabkan kedua peristiwa itu berbeda adalah akibat atau sebab atau
bagian yang tidak terpisahkan dari sebab gejala tersebut.”
Contoh:
Ibu hamil A makan rujak, makan sayuran, minum air kelapa, minum alkohol,
dan anaknya menderita fetal alcohol spectrum disorder (FASD) setelah lahir.
Ibu hamil B makan rujak, makan sayuran, minum air kelapa, dan anaknya
tidak menderita fetal alcohol spectrum disorder (FASD) setelah lahir.
Semua faktor dalam kedua peristiwa di atas sama kecuali ‘minum alkohol’. Maka
‘minum alkohol’ adalah sebab dari anaknya menderita fetal alcohol spectrum disorder
(FASD) setelah lahir.
D.
METODE GABUNGAN
Stuart Mill merumuskan prinsip metode gabungan sebagai berikut:
“Jika pada dua peristiwa atau lebih dengan sebuah gejala, hanya terdapat sebuah
faktor yang sama; sedangkan pada dua peristiwa atau lebih yang tidak memiliki
gejala tersebut tidak ada persamaan yang satu dengan yang lain, kecuali tidak ada
faktor tersebut, maka faktor yang merupakan satu-satunya perbedaan diantara kedua
kelompok peristiwa tersebut merupakan akibat atau sebab atau bagian tak
terpisahkan dari sebab gejala tersebut.”
Contoh:
Ibu hamil A makan rujak, makan
Ibu hamil A makan rujak, makan
sayuran, minum air kelapa,
sayuran, minum air kelapa, minum
minum alkohol, dan anaknya
alkohol, dan anaknya menderita
menderita fetal alcohol spectrum
fetal alcohol spectrum disorder
disorder (FASD) setelah lahir.
(FASD) setelah lahir.
Ibu hamil C makan pisang,
Ibu hamil B makan rujak, makan
minum soda, makan junk food,
sayuran, minum air kelapa, dan
minum alkohol, dan anaknya
anaknya tidak menderita fetal
menderita fetal alcohol spectrum
alcohol spectrum disorder (FASD)
disorder (FASD) setelah lahir.
setelah lahir.
Susunan peristiwa di sebelah kiri adalah menurut metode persamaan, yang di sebelah
kanan menurut metode perbedaan. Karena dengan menggunakan kedua metode itu
secara terpisah sudah dapat dicapai konklusinya, maka konklusi itu dapat dianggap
lebih kuat apabila keduanya digunakan bersama-sama.
Maka ‘minum alkohol’ adalah sebab dari anaknya menderita fetal alcohol spectrum
disorder (FASD) setelah lahir.
E.
METODE VARIASI
Metode variasi didasarkan atas adanya suatu faktor yang bervariasi dalam suatu
peristiwa, dan adanya dalam peristiwa yang sama itu gejala yang juga bervariasi. Jika
variasi dari faktor tersebut sejalan dengan variasi gejala, maka faktor tersebut adalah
sebab dari gejala yang bersangkutan.
Contoh:
Ibu hamil A makan ikan, makan keripik pedas, minum susu ibu hamil, minum
alkohol secara rutin pada usia kandungan hingga minggu ke-4, dan anaknya
menderita fetal alcohol spectrum disorder (FASD) setelah lahir dengan ciriciri menderita kerusakan berupa luka di kelopak matanya.
Ibu hamil B makan rujak, makan sayuran, minum air kelapa, minum alkohol
secara rutin pada usia kandungan hingga minggu ke-9, dan anaknya menderita
fetal alcohol spectrum disorder (FASD) setelah lahir dengan ciri-ciri telinga
luarnya tidak berbentuk/berbentuk tidak beraturan.
Ibu hamil C makan pisang, minum soda, makan junk food, minum alkohol
secara rutin pada usia kandungan hingga minggu ke-20, dan anaknya
menderita fetal alcohol spectrum disorder (FASD) setelah lahir dengan ciriciri menderita keterbelakangan mental.
Maka, minum alkohol secara rutin adalah sebab dari anak terlahir dengan fetal
alcohol spectrum disorder (FASD) dengan abnormalitas secara fisik maupun mental.
F.
METODE RESIDU
Stuart Mill merumuskan prinsip metode residu sebagai berikut:
“Hapuslah dari suatu gejala bagian apa saja yang berdasarkan induksi-induksi
terdahulu (sebelumnya) sudah diketahui merupakan akibat dari antesenden-
antesenden tertentu, dan residu (sisa) gejala itu ialah akibat dari sisa
antesendennya.”
Contoh:
Ibu hamil A makan nasi goreng, ibu hamil B minum jus alpukat, ibu hamil C
makan pasta, dan anak ketiga-tiganya tidak menderita fetal alcohol spectrum
disorder (FASD) setelah lahir.
Ibu hamil D makan nasi goreng, minum jus alpukat, makan pasta, serta
minum alkohol, anaknya menderita fetal alcohol spectrum disorder (FASD)
setelah lahir.
Maka, minum alkohol adalah sebab dari anaknya menderita fetal alcohol spectrum
disorder (FASD) setelah lahir.
Referensi:
Pinel, John P.J. (2009). Biopsikologi: Edisi Ketujuh. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Santrock, John W. (2011). Child Development: Thirteenth Edition. New York:
McGraw-Hill.
Soekadijo, R.G. (1999). Logika Dasar: tradisional, simbolik, dan induktif. Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama.