IMPLEMENTASI ETIKA PROFESI GUNA MENDUKUN

IMPLEMENTASI ETIKA
PROFESI GUNA MENDUKUNG
REVOLUSI MENTAL DALAM
RANGKA TERWUJUDNYA
PROFESIONALISME POLRI
Polisi secara garis besar di seluruh dunia, mempunyai tugas
yang relative sama yaitu maintance order dan fight crime.
Polisi dibentuk dalam rangka mengatur atau menjaga agar
kepentingan individu atau pemenuhan hak-hak individu dalam
pelaksanaannya tidak bertentangan atau merugikan hak atau
kepentingan orang lain. Polisi dilengkapi dengan kewenangan
yang diatur oleh undang-undang. Kewenangan adalah
kewajiban dan tanggung jawab yang bukan sekedar bagian
dari profesi melainkan bagian dari moralitas aparat yang
pendekatannya adalah untuk menjembatani, melayani,
melindungi sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas hidup
masyarakat. Pendekatan ini sangat sesuai dengan tugas pokok
Polri yang menurut UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia, Pasal 13 menyatakan dengan
tegas bahwa tugas pokok Polri adalah memelihara keamanan
dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum dan

memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
kepada masyarakat.
Masyarakat menuntut Polri bekerja secara professional dalam
pelaksanaan tugas pokoknya. Profesional dalam arti mampu

melaksanakan penegakan hukum dengan memperhatikan
aspek keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, mampu
memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan
kepada masyarakat dengan baik, sehingga tercipta ketertiban
dan ketentraman dalam masyarakat. Produk dari polisi adalah
rasa aman, dan keamanan warga masyarakat yang terwujud
dan terpelihara sehingga mereka dapat melakukan berbagai
aktivitasnya. Kondisi dan situasi yang aman dan tertib akan
mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, karena
dapat bekerja dengan tenang dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya.
Polisi bukan pekerjaan, polisi adalah sebuah profesi yang
melekat pada setiap tindakan kapanpun dan dimanapun, yang
bersumber dari hati nurani. Polri membuat kode etik profesi
yang bertujuan untuk membentuk suatu budaya organisasi

Polri, yang berdasarkan pada nilai-nilai kehidupan dalam
rangka mencapai visi dan misi organisasi. Nilai-nilai tersebut
tertuang dalam pedoman hidup Polri yaitu Tribrata.Tribrata
memuat nilai-nilai etika profesi yang dijadikan pedoman bagi
anggota Polri dalam melaksanakan tugasnya, sehingga polisi
bertindak sesuai dengan jati dirinya sebagai pelindung,
pengayom dan pelayan masyarakat bukan bertindak
sebaliknya.
Polri adalah suatu institusi yang mempunyai potensi atau
kemampuan yang sangat besar dalam berpartisipasi
menunjang keberhasilan pembangunan nasional.
Pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan
kesejahteraan bagi rakyat Indonesia. Rendahnya kepercayaan

masyarakat terhadap Polri menjadi suatu permasalahan dalam
mendorong pembangunan nasional. Kepercayaan terhadap
Polri yang rendah disebabkan oleh kinerja Polri yang belum
profesional dan perilaku anggota Polri yang masih belum
sesuai dengan masyarakat. Sikap dan perilaku tersebut
memperlukan suatu perubahan yang cepat (Revolusi) agar

Polri dapat menjadi bagian dari masyarakat dan bekerja sama
mewujudkan tujuan pembangunan nasional.
Menyingkapi persoalan tersebut, penulis akan membahas dari
segi mentalitas atau nilai-nilai kepribadian personil Polri yang
saat ini masih jauh dari karakter yang sepatutnya dimiliki oleh
Polri. Karakter personel Polri yang diharapkan adalah karakter
sebagaimana yang tertuang dalam kode etik profesi Polri yang
mampu memberikan perlindungan, pengayoman dan
pelayanan masyarakat.

Karakter Polri karakter bangsa Indonesia

Perkembangan etika suatu bangsa tidak dapat terlepas sejarah
dan budaya suatu bangsa tersebut. Budaya adalah cermin
sebuah kepribadian bangsa.Dengan melihat kebiasaan atau
perilaku yang tumbuh dan berkembang dalam aktifitas
kehidupan sehari-hari masyarakat suatu bangsa maka dapat
disimpulkan bagaimana nilai-nilai yang dianut dan berkembang
dalam masyarakat bangsa tersebut. Menurut Parsudi Suparlan
(2004) kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia

sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami
dan menginterprestasikan lingkungan dan pengalamannya,

serta menjadi landasan bagi tingkah lakunya. Dengan demikian
kebudayaan merupakan serangkaian aturan-aturan, petunjukpetunjuk, rencana-rencana, dan strategi-strategi yang terdiri
atas serangkaian model-model kognitif. Para pendukung
kebudayaan tersebut menggunakan secara selektif apa yang
dirasakan sebagai yang terbaik atau paling cocok untuk
dijadikan pedoman dalam menginterprestasi gejala-gejala yang
penuh makna. Dan untuk mewujudkan tindakan dalam
menghadapi lingkungannya dan memanfaatkan sumber daya
yang terkandung didalamnya untuk pemenuhan kebutuhan
hidup sebagaimana layaknya manusia ataupun sebagai
tanggapan-tanggapan atas stimuli atau rangsanganrangsangan yang berasal dari lingkungannya.
Pada dasarnya budaya suatu bangsa merupakan hasil
interprestasi nilai-nilai para leluhur pendiri bangsa yang
senantiasa mencari kebenaran, keselarasan dan keseimbangan
kehidupan antara manusia, alam dan makhluk hidup lainnya.
Nilai-nilai tersebut bersendikan pada kebenaran yang menjadi
landasan kehidupan bagi masyarakatnya dalam tumbuh dan

berkembang menyingkapi lingkungannya. Nilai-nilai tersebut
bila sudah diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari
maka dinamakan sebagai kepribadian suatu bangsa. Dalam
perkembangan selanjutnya kepribadian ini perkembangan
sesuai dengan kemajuan peradaan suatu bangsa. Kepribadian
bangsa Indonesia yang terlihat saat ini sebenarnya berbeda
dengan kepribadian manusia asli Indonesia. Menurut Muctar
Lubis (2001) ciri-ciri manusia Indonesia adalah:

1.

Hipokritis alias munafik. Berpura-pura, lain di muka lain
dibelakang, merupakan sebuah ciri utama manusia
Indonesia sudah sejak lama, sejak mereka dipaksa kekuatankekuatan dari luar untuk menyembunyikan apa yang
sebenarnya dirasakannya atau dipikirkannya ataupun yang
sebenarnya dikehendakinya, karena takut akan
mendapatkan ganjaran yang membawa bencana bagi
dirinya.

2.


Segan dan enggan bertanggung jawab atas
perbuatannya, putusannya, kelakuannya, pikirannya dan
sebagainya. “ Bukan saya” adalah kalimat yang cukup
popular di mulut manusia Indonesia. Atasan menggeser
tanggung jawab tentang suatu kesalahan, sesuatu yang
tidak beres, sesuatu yang tidak baik, satu kegagalan pada
bawahannya menggesernya ke yang lebih bawah lagi, dan
demikian seterusnya.

3.

Berjiwa feodal, meskipun salah satu tujuan revolusi
kemerdekaan Indonesia adalah membebaskan manusia
Indonesia dari feodalisme, tetapi feodalisme dalam bentukbentuk baru makin berkembang dalam diri dan masyarakat
Indonesia..

4.

Masih percaya takhayul. Dulu dan sekarang juga, masih

ada yang demikian, manusia Indonesia percaya bahwa batu,
gunung, pantai, sungai, danau, karang, pohon, patung,
bangunan, keris, pisau, pedang, itu punya kekuatan gaib,
keramat, dan manusia harus mengatur hubungan khusus
dengan ini semua.

5.

Karena sikapnya yang memasang roh, sukma, jiwa, tuah
dan kekuasaan pada segala benda alam di sekelilingnya,

maka manusia Indonesia dekat pada alam. Dia hidup lebih
banyak dengan naluri, dengan perasaannya, dengan
perasaan-perasaan sensualnya, dan semua ini
mengembangkan daya artistic yang besar dalam dirinya
yang dituangkan dalam segala rupa ciptaan artistic dan
kerajinan yang indah-indah dan serba aneka macamnya,
variasinya, warna-warninya.
6.


Watak yang lemah, manusia Indonesia berkarakter kurang
kuat karena lemah mempertahankan dan memperjuangkan
keyakinannya. Dia mudah, apalagi jika dipaksa, dan demi
untuk “survive” bersedia mengubah keyakinannya.

7.

Boros, manusia Indonesia sekarang itu tidak hemat, dia
bukan “economic animal” .malahan dia pandai
mengeluarkan terlebih dahulu penghasilan yang belum
diterimanya, atau yang tidak pernah akan diterimanya.

8.

Manusia Indonesia lebih suka tidak bekerja keras, kecuali
kalau terpaksa. Gejalanya hari ini adalah cara-cara banyak
orang ingin menjadi “miliuner seketika” atau dengan mudah
mendapat gelar sarjana, sampai memalsukan atau membeli
gelar sarjana, supaya segera dapat pangkat, dan dari kedudukannya berpangkat cepat bias menjadi kaya.


9.

Manusia Indonesia kini sudah jadi orang kurang sabar,
tukang menggerutu. Tetapi menggerutunya tidak berani
secara terbuka, hanya jika dalam rumahnya, antara kawankawannya yang sepaham atau sama perasaannya dengan
dia.

10. Manusia Indonesia juga cepat cemburu dan dengki
terhadap orang lain yang dilihatnya lebih dari dia. Orang
kurang senang melihat orang lebih maju, lebih kaya, lebih

berpangkat, lebih berkuasa, lebih pintar, lebih terkenal dari
dirinya, akibatnya spion melayu jadi laku, laporan-laporan
mereka gunakan untuk menjatuhkan orang yang tidak
disukai atau disenangi.
11. Manusia Indonesia dapat dikatakan sebagai manusia yang
sok, kalau berkuasa mudah mabuk kuasa, kalau kaya mudah
mabuk harta. Pepatah Jawa mengatakan “kacang lali kulite”
maksudnya adalah seseorang yang lupa asal-usulnya
setelah mendapatkan keinginannya, apa yang diperolehnya

adalah miliknya sendiri karena hasil kerja kerasnya padahal
untuk memperoleh apa yang diraihnya tersebut karena
mendapatkan bantuan dari orang lain, pendeknya lupa budi.
12. Manusia Indonesia juga tukang tiru. Kepribadian kita
sudah terlalu lemah. Kita tiru kulit –kulit luar yang
mempesonakan kita. Meniru adalah sifat dasar manusia ,
namun bila mata telah terbutakan bahwa apa yang ditiru
tidak sepantasnya dilakukan namun tetap di contoh itulah
yang tidak benar.
13. Manusia Indonesia cenderung bermalas-malasan, akibat
alam kita yang begitu murah hati, untuk hidup dan
memperhitungkan hidup hanya dari hari ke hari. Kita masih
kurang rajin menyimpan untuk hari depan dan berhitung
jauh ke depan. Kondisi alam Indonesia yang kaya raya
seharusnya sebagai anugerah dari Tuhan untuk bangsa
Indonesia sehingga kita dapat hidup sejahtera, namun ketika
kekayaan alam yang begitu melimpah dibiarkan saja atau
diambil tanpa perhitungan, yang terjadi adalah kemiskinan
didalam negara yang kaya, bagaikan “tikus mati dilumbung
padi”


14. Manusia Indonesia adalah sikap tidak atau kurang peduli
dengan nasib orang selama tidak mengenai dirinya sendiri
atau orang yang dekat padanya. Maka orang merasa dirinya
tidak tersangkut dan berkepentingan terhadap orang lain.
Kita seakan tidak punya hati nurani mengenai nasib orang
lain.
Berbagai karakteristik bangsa Indonesia tersebut berpengaruh
pada budaya organisasi yang dianut di Polri. Sebuah Adegium
menyebutkan bahwa perilaku personel kepolisian adalah
cermin dari budaya masyarakatnya. Apabila karakter
masyarakat nya baik maka begitu pula karakter personel
kepolisian, hal ini berlaku juga sebaliknya.
Perilaku dalam suatu organisasi ditentukan oleh nilai-nilai yang
di anut dan dipedomani oleh anggota organisasi.Perilaku yang
berulang-ulang ini yang di sebut dengan budaya. Budaya yang
ada dalam organisasi kepolisian tidak akan jauh berbeda
dengan budaya yang ada dalam masyarakat karena faktor
hubungan yang salaing mempengaruhi. Menurut Cushway dan
Lodge (2000) budaya organisasi merupakan sistem nilai
organisasi dan akan mempengaruhi cara pekerjaan dilakukan
dan cara para karyawan berperilaku. Dapat disimpulkan bahwa
yang dimaksud dengan budaya organisasi di sini adalah sistem
nilai organisasi yang dianut oleh anggota organisasi, yang
kemudian mempengaruhi cara bekerja dan berperilaku dari
para anggota organisasi. Sedangkan menurut Reiner (2000)
budaya polisi adalah sebagai berikut : Cop culture – that is, the
value, norms, attitudes and informal professional rules that
guide plice behavior – is seen neither as monolithic nor

universal, there is a concensus among researchers that certain
similaritiesin cop culture are discernible in widely-differing
police forces throughout the world. The culture of the police –
the values, norms, perspectives and craft rules that inform
their conduct – is neither monolithic , universal nor unchanging.
There are differences of outlook within police forces, according
to such individual variables as personality, generation, or
career trajectory and structured variations according to rank,
assignment and specialization.
Kepribadian organisasi Polri yang terbentuk dalam pengaruh
budaya masyarakat Indonesia yang ada saat ini tentunya tidak
jauh berbeda, karena budaya kepolisian sendiri adalah produk
dari masyarakat.Merubah nilai-nilai yang sudah mengakar
dalam masing-masing individu yang menjadi budaya kolektif
tentu tidak mudah, namun berarti tidak mungkin. Perubahan
kultur ke arah yang lebih baik akan bisa terjadi bila sudah
terbentuk motivasi untuk berubah ada dan dengan sendirinya
dengan motifvasi perubahan itu akan terbentuk sistem
perubahan. Perubahan budaya ke arah yang lebih baik secara
nyata berbentuk pada perilaku yang bemoral.Moralmerupakan
landasan dasar dalam menjalankan atau
melahirkanprofesi.Di dalam menjalankan profesi agar tetap
berada pada kerangka nilai-nilai moral diperlukan aturan
perilaku (code of conduct) berupa etika.
Membicarakan moral tidak terlepas dari masalah etika, bahkan
kebanyakan orang mengidentikkan kedua hal tersebut sebagai
satu rangkaian pengertian, maksudnya etika berarti moral atau
sebaliknya,karena memang keduanya tidak bisa dipisahkan.

Etika adalah nilai-nilai dalam norma moral yang menjadi
pegangan bagi manusia secara individu maupun kelompok
dalam berperilaku. Dengan pengertian ini maka lebih jelasnya
bahwa etika lebih spesifik dari pada moral karena moral berarti
membuat batas yaitu baik dan buruk atau bermoral
dan immoral.Etika terdiri dari nilai-nilai moral yang bisa
terlihat dalam berperilaku yang dapat terlihat dalam kehidupan
sehari-hari misalnya jujur, rendah hati, dan berbagai sifat
kepribadian lainnya.
Pengaturan bagi para pemegang profesi agar berperilaku
sesuai dengan harapan organisasi dan untuk mengetahui apa
yang harus dikerjakan atau larangan dalam melakukan satu
profesi tersebut maka di buat kode etik profesi. Kode etik
profesi adalah suatu tuntunan , bimbingan atau pedoman
moral atau kesusilaan untuk suatu profesi tertentu atau
merupakan daftar kewajiban dalam menjalankan suatu profesi
yang disususn oleh para anggota profesi itu sendiri dan
mengikat mereka dalam mempraktekannya (Liliana : 2003).
Sehingga dalam organisasi kepolisian, kode etik profesi polri
digunakan sebagai code of conduct pertama-tama digunakan
sebagai sarana untuk pedoman dan penuntun perilaku anggota
Polridalam menjalankan profesi kepolisian, dan kedua untuk
menentukan apakah terjadi maadministrasi (pelanggaran etika)
dalam menjalankan profesi. (Sadjijono: 2003)
Kepolisian Negara Republik Indonesia, dalam mengatur para
anggotanya merumuskan Kode etik profesi polri dalam
Peraturan Kapolri No 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi
Polri. Kode etik profesi kepolisian meliputi 4 kelompok moral

yakni : pertama, etika kepribadian adalah sikap moral anggota
Polri terhadap profesinya di dasarkan pada panggilan ibadah
sebagai umat beragama; kedua,etika kenegaraan adalah sikap
moral anggota Polri yang menjujung tinggi landasan dan
konstitusional Negara Republik Indonesia yaitu Pancasila dan
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
ketiga , etika kelembagaan adalah sikap moral anggota Polri
terhadap institusi yang menjadi wadah pengabdian dan patut
di junjung tinggi sebagai ikatan lahir dan batin dari semua
insan Bhayangkara dengan segala martabat dan
kehormatannya; dan keempat, etika dalam hubungan dengan
masyarakat adalah sikap moral anggota Polri yang senantiasa
memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat.
Kode etik profesi Polri digunakan dalam rangka menunjang
tercapainya visi organisasi Polri.Tujuan penyelenggaraan
kepolisian di Indonesia adalah untuk mewujudkan keamanan
dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan
ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hokum,
terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan
kepada masyarakat serta terbinanya ketentraman masyarakat
dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.Perumusan kode
etik profesi Polri berpedoman pada pedoman hidup Polri yaitu
Tribrata.Tribrata menjiwai kode etik profesi Polri maknanya
adalah nilai-nilai moral yang ada dalam Tribrata tertuang dalam
kode etik profesi polri tersebut. Tribrata sendiri masih berupa
falsafah hidup atau mengandung nilai-nilai yang berisi
kebaikan yang sepatutnya dijlakukan oleh segenap anggota
Polri dalam mengemban profesi kepolisian di Indonesia, namun

belum mampu memberikan suatu keterikatan secara lahiriah,
atau lebih mudahnya bila ada anggota tidak mengamalkan
falsafah yang terkandung dalam Tribrata maka tidak ada
konsekuensi tindakan dari organisasi. Agar mampu mengikat
secara lahiriah dalam menjalankan profesi kepolisian maka
dirumuskan kode etik profesi Polri yang mengandung nilai-nilai
Tribrata, apabila ada anggota yang tidak menjalankan
ketentuan-ketentuan yang ada dalam kode etik profesi Polri
tersebut maka akan menerima konsekuensi yang terdapat
dalam kode etik yang tertuang dalam Peraturan Kapolri No Pol :
14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Polri.
Pembinaan Karakter sebagai revolusi mental Polri

Upaya pembinaan karakter Polri sesuai yang sesuai
dengan Tri Brata dan Catur Prasetya sehingga dapat
meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi Polri
dapat dilaksanakan dalam berbagai tahapan sebagai berikut:
1.

Proses Rekruitment Personil Polri

Anggota polisi diambil dari pribadi-pribadi terpilih dari warga
masyarakat itu sendiri, dengan proses seleksi yang ketat.
Seleksi ini mengisyaratkan bahwa para anggota polisi
mempunyai kepribadian, kemampuan dan nilai lebih
dibandingkan warga masyarakat kebanyakan sehingga
diharapkan para personel polisi nantinya dapat dipercaya oleh
masyarakat. Kebijakan awal yang di ambil dalam proses
rekruitment anggota polisi pada awal pembentukan kepolisian
modern di Inggris in perlu diperhatikan, karena personil setelah
di terima akan bertugas kembali ke dalam masyarakat semula.

Dalam pemolisian modern dikenal suatu program istilah
pemolisian masyarakat, dalam program ini menekankan
kepada kemitraaan polisi dengan masyarakat dalam
membangun keamanan dan ketertiban dalam
wilayahnya.Kebijakan penempatan personel kepolisian dalam
program pemolisian masyarakat di atas adalah local job for
local boy, maksudnya adalah penempatan personil kepolisian
yang mengutamakan anggota kepolisian dari asal daerah
personil tersebut berasal. Kebijakan ini didasari pemikiran
bahwa dengan menempatkan personil kepolisian dari asal
daerahnya diharapkan personil tersebut telah menguasai
kondisi dan situasi daerah tersebut, mengerti budaya yang
berkembang dalam masyarakatnya sehingga mampu menjalin
kerjasama dengan baik dengan warga masyarakat dan tercapai
tujuan dari program tersebut.
Ketika kebijakan local job for local boy dilaksanakan, terjadi
sebuah sirkulasi atau perputaran pada personel kepolisian dari
warga masyarakat biasa, masuk menjadi anggota kepolisian
dan kembali lagi ke warga masyarakat semula. Dalam
kehidupan masyarakat yang masih erat hubungan sosialnya,
masing-masing warga mempunyai reputasi yang terbentuk
dalam kebiasaan perilaku yang nampak dalam individu
tersebut, reputasi inilah yang menjadi brand
untukmembedakan individu yang satu dengan yang lain. Ketika
suatu saat warga masyarakat yang mempunyai label sebagai
warga yang mempunyai reputasi buruk dalam masyarakatnya
diterima menjadi polisi dan kembali ke warganya dengan
status sosial sebagai seorang yang dijadikan panutan tentu

tidak sepenuhnya berjalan dengan baik. Persepsi masyarakat
yang sudah terbentuk kepada seseorang seringkali akan
melekat lama, bahkan ketika seseorang sudah berubah
pandangan masyarakat belum juga mengalami perubahan.
Berdasarkan analisa diatas maka perlunya pengecekan ulang
reputasi etika di mata masyarakat sekitarnya bagi seorang
calon personil pada saat akan masuk dalam pendidikan Polri
sebagai syarat kelulusannya. Pada saat era Orde Baru
kegiatan pengecekan terhadap personil yang akan masuk
menjadi angggota ABRI ini adalah hal yang lumrah dilakukan
namun berbeda fokusnya yaitu pengecekan yang dilakukan
oleh intelijen ABRI melalui aparat Koramil kepada calon yang
akan masuk atau keluarganya tersangkut benang merah
organisasi terlarang apakah tidak, sedangkan yang dimaksud
penulis di sini adalah reputasi calon dalam masyarakat
sehingga nantinya setelah dikembalikan ke dalam masyarakat
mendapatkan apresiasi warga, sehingga didapatkan calon
personil Polri yang dapat dijadikan panutan warga. Pengecekan
ini dilakukan oleh Bhabinkamtibmas setempat dengan
mewancarai warga sekitar tempat tinggalnya.
Menyangkut penerimaan personel Polri agar mendapatkan
calon yang baik maka, sosialisasi kepada siswa-siswa terbaik
dalam sekolah agar lebih digalakkan. Kebijakan penerimaan
personel Polri saat ini yang mengedepankan penerimaan yang
transparan, dengan melibatkan berbagai lembaga
independent, perlu mendapatkan apresiasi karena merupakan
komitmen Polri dalam reformasi birokrasi menuju good
governance. Sosialisasi yang baik dan proses yang transparan

akan menghilangkan fenomena “menembak diatas kuda”
dalam proses rekruitmen personel Polri.
1.

Lembaga Pendidikan Polri

Fungsi pendidikan adalah membentuk pola pikir, keahlian,
kekuatan dan kemampuan yang diperlukan sesuai dengan
kebutuhan organisasi.Ketika Polri mendidik para calon anggota
polisi materi yang diajarkan adalah materi yang mendukung
pelaksanaan tugas daripada profesi Polri.Kode etik profesi Polri
pertama kali diperkenalkan kepada para siswa dalam materi
pelajaran etika kepolisian.Berdasarkan pengalaman penulis
etika kepolisian yang diajarkan dalam pendidikan hanya
sebatas sebagai pengetahuan saja, bukan mendalami atau
membudayakan nilai-nilai etika kepolisian tersebut dalam
kehidupan sehari-hari di lembaga pendidikan.
Lembaga Pendidikan Polri adalah sebuah lembaga yang
diharapkan mampu mencetak calon-calon polisi yang
professional sehingga mampu menjalankan tugas kepolisian
nanti pada saat bertugas, yang didasari etika kepolisian
dengan berlandaskan kepada Tribrata. Lembaga Pendidikan
Polri adalah pintu pertama membentuk karakter peserta
didiknya. Sudah sepantasnya sebagai “kawah candradimuka”
proses penanaman karakter menjadi prioritas yang tentunya
ada perimbangan antara kompetensi pengetahuan yang
dimilikinya. Tradisi buruk dunia pendidikan Polri yang
merupakan suatu bentuk aplikasi sistem militer selama 32
tahun sangatterasa.Bukan menjadi rahasia umum lagi di
Indonesia pada lembaga pendidikan kedinasan mempunyai
tradisi kekerasan antar senior-yunior atau pengasuh-peserta

didik ketika kekerasan ini menjadi sebuah tradisi maka nilai
yang timbul adalah budaya feodal yang mengisyaratkan
kekuasaan sebagai nomer satu. Setelah lulus pendidikan maka
jiwa feodal ini yang menjiwai kinerjanya, yang pada akhirnya
menjadi pejabat pemerintahan yang minta dilayani bukan
menjadi pelayan masyarakatnya.
Sudah sepantasnya Polri me- reinfenting kembali lembaga
pendidikan yang ada saat ini dengan kurikulum yang
menyeimbangkan karakter yang berisi 13 (tiga belas) nilai
luhur yang terkandung dalam Tribrata. Proses penanaman nilainilai luhur tribrata harus dimulai dari dunia pendidikan, karena
lembaga pendidikan mempunyai otoritas untuk menyeleksi
peserta didik, apabila tidak sesuai dengan kebutuhan
organisasi maka dapat dikeluarkan. Otoritas ini sudah
sepantasnya lebih dimanfaatkan karena apabila nanti setelah
lulus baru di pecat proses dan biayanya akan lebih mahal.
Penanaman nilai-nilai luhur menjadi sebuah budaya ada
beberapa tahap yang harus dilewati yaitu dipaksakan,
terpaksa, bisa, biasa dan menjadi budaya. Mengacu pada hal
ini maka peserta didik dipaksakan menjalankan nilai-nilai yang
ada dalam Tribrata dengan didukung sistem pembelajaran
yang sapantasnya harus dilakukan, nantinya akan merasa
terpaksa daripada kehilangan kesempatan menjadi polisi,
selebihnya peserta didik akan bisa menjalankan nilai-nilai luhur
dan kemudian menjadi biasa melaksanakannya yang pada
akhirnya menjadi budaya.
1.

Peran Pemimpin Polri

Kepemimpinan Polri mempunyai pengaruh yang besar dalam
implementasi etika para anggotanya. Unsur-unsur dasar
kepemimpinan menurut Kunarto (1997) adalah 1).
Kemampuan mempengaruhi orang lain, 2). Dalam
kepemimpinan harus ada posisi yang memimpin (atasan) dan
yang di pimpin (bawahan), 3). Upaya untuk mempengaruhi
dilaksanakan dengan proses komunikasi, 4). Upaya untuk
mempengaruhi bertujuan untuk memotivasi dan
menggerakkan orang lain, dan 5). Menggerakkan orang lain
berkepentingan langsung dengan tujuan yang harus di capai
oleh sekelompok atau organisasi. Berdasarkan unsur-unsur
kepemimpinan di atas, serasa mudah dipahami, begitu mudah
dihafalkan, tetapi pada kenyataannya organisasi kepolisian
pada saat ini mengalami krisis kepemimpinan, sehingga tujuan
organisasi sulit terwujud, gerak dan langkah yang tidak
seirama, banyak permasalahan internal yang menjadi beban
dalam melaksanakan tugas pokoknya.
Ketika organisasi polri yang mengalami krisis kepemimpinan
seperti saat ini, tentunya tidak mudah terlaksana personil
kepolisian yang beretika karena figure yang dijadikan teladan
dan contoh tidak ada.Organisasi Polri saat ini membutuhkan
lebih dari sekedar pemimpin, melainkan pemimpin yang
efektif.Pemimpin yang efektif menyumbangkan dan
mewariskan hasil, pemimpin yang tidak efektif menyedot
hasil.Pemimpin yang efektif memfokuskan pikirannya untuk
kegiatan-kegiatan produktif dan mendapatkan respek dari
bawahan serta pengikut-pengikutnya.Sebaliknya, pemimpin
yang tidak efektif kehilangan respek dan setiap hari hanya

disibukkan mengurus konflik dan kekuasaannya. Ketika
Pimpinan Polri sudah tidak efektif lagi dan sudah kehilangan
respek dari anggotanya, sehingga organisasi tidak berjalan
sebagaimana yang diharapkan, dalam organisasi kepolisian
yang masih kental sifat kemiliterannya adalah mustahil bila
anggotanya “menggulingkan” dalam arti nyata, berdemo minta
Kapolres turun yang tentunya juga sangat tidak elegan apabila
dilihat oleh masyarakat. Disinilah perlunya kearifan seorang
pimpinan ketika merasa kepemimpinannya sudah tidak efektif
untuk mundur dengan baik-baik daripada terkena seleksi alam
dengan mendapatkan “kasus”. Sayangnya budaya mundur dari
jabatan di Indonesia belum ada, karena masih menghubungkan
jabatan dengan materi, bukan dengan kehormatan seperti di
negara Jepang.
Para pemimpin di setiap level di kepolisian harus menyadari
bahwa mereka adalah sebagai rolemodel bagi anggotanya.
Kemajuan Polri di masa yang akan datang tidak terlepas dari
langkah apa yang di ambil para pimpinan pada saat ini,
sebagai rolemodel pemimpin harus bisa menjaga
kepemimpinannya efektif. Kepemimpinan efektif adalah
pemimpin yang kata-kata dan perintahnya diikuti oleh banyak
orang. Dalam budaya organisasi kepolisian saat ini banyak
anggota yang dalam bahasa gaul di kenal “dramaqueen” yang
artinya sebagai sosok anggota yang penjilat, mengatakan
didepan pimpinan baik, dibelakang ngomong sebaliknya, kerja
kalau dilihat oleh pimpinan pada saat tidak dilihat maka kerja
semaunya, dalam kondisi seperti ini tentunya menanyakan
keefektifan kepemimpinan secara langsung akan sulit,

sehingga perlu penelitian lebih lanjut tentang kepemipinannya
agar mendapatkan fakta yang sebenarnya.
Untuk menjadi seorang pemimpin yang hebat dan efektif tidak
harus bekerja terlalu keras, cukup beri arahan yang strategis
yang bermutu, dan kawal dengan segala kerendahan hati,
integritas, dan tata kelola yang baik.Selebihnya semua elemen
akan bekerja secara otomatis. Eishenhower pada saat ditanya
tentang keberhasilannya memenangkan perang di Eropa
mengatakan bahwa memberikan tujuan yang jelas dan ingin
dicapai adalah lebih penting daripada memberikan cara-cara
untuk mencapai tujuan, biarkan para komandan berinovasidi
lapangan yang untuk mencapai tujuan tersebut. Di sini dapat
kita lihat bahwa pemimpin harus percaya pada anak buahnya
dalam melakukan pekerjaan yang kita berikan, dengan
kepercayaan yang tumbuh antara pimpinan dan bawahan akan
timbul teamwork yang kuat. Teamwork adalah kekuatan
utama dalam organisasi untuk mencapai tujuan organisasi.
Pemimpin yang efektif perlu mempunyai otoritas yang kuat
sebagai modal untuk membuat perubahan dalam organisasi
Polri, 2 (dua) hal yang harus dibangun oleh seorang pemimpin
yaitu karakter dan kompetensi. Bahkan Stephen Covey
menyebutkan, leadership is nothing than what a person is
andwhat a person does. What a person isterlihat dari karakter
yang dimiliki orang tersebut yang hanya bisa didapat dari
pengalaman dan didikan keluarga di masa kecil. Karakter tidak
bisa dibohongi karena itulah jati diri manusia yang
sebenarnya.Sedangkan what a person does tercermin dari
kompetensi yang dimilikinya. Kompetensi ini didapat dari orang

lain, dari guru, buku, dan sekolah. Ia dapat dipelajari dan dilatih
agar terus berkembang menjadi suatu kekuatan. Kompetensi
akan tampak pada hasil atau output suatu
kegiatan.Kompetensi dan karakter adalah sebuah kesatuan
yang tidak dapat dipisahkan. Orang berkompetensi tanpa
karakter adalah penipu.Sedangkan karakter tanpa kompetensi
adalah penggerutu.Gabungan keduanya melahirkan manusia
yang unggul, dicintai dan menjadi modal besar bagi
perubahan.
Pemimpin yang efektif bukanlah orang yang semata-mata
dicintai atau dihormati. Pemimpin yang efektif adalah
pemimpin yang mampu membuat pengikut-pengikutnya do the
right things. Pemimpin efektif adalah pemimpin yang
bertanggungjawab .Bertanggung jawab adalah karakter
seorang pemimipin yang efektif. Ketika seorang pimpinan akan
melakukan suatu perubahan dalam organisasinya, ada dua
kemungkinan resiko berhasil dan resiko gagal, seringkali dalam
kepolisian ketika kerjanya berhasil maka dengan lantang akan
mengatakan bahwa ini adalah hasil kerjanya ketika gagal
bahwa itu kesalahan orang lain. Berani mengambil resiko
terhadap apa yang dilakukan serta bertanggung jawab
terhadap apa yang akan terjadi adalah modal untuk melakukan
sebuah perubahan.
Joseph White mengatakan bahwa pemimpin besar, bukanlah
seorang pekerja tekun. Ia adalah seorang besar yang memiliki
kemampuan “helicopter view”. Tugas seorang pemimpin
bukanlah mengerjakan hal-hal teknis, melainkan menciptakan
tiga kondisi.Pertama, bangun aspirasi yang

mungkin mendukung.Kedua, dapatkan orang-orang bagus
(great leader).Dan ketiga, bawa energi besar ke tengah-tengah
mereka dan bangun antusiasme untuk bergerak.Seringkali
dalam organisasi kepolisian seorang pimpinan masih
membicarakan hal yang bersifat teknis, bukan sebuah strategi
untuk melakukan sebuah perubahan.Perubahan hanya bisa di
awali oleh dukungan anak buah yang mempunyai motivasi
untuk berubah, agar mempunyai motivasi inilah peranan
seorang pemimpin untuk membangunnya. Pembahasan
kepemimpinan efektif di atas adalah sebagai acuan model
kepemimpinan yang mampu menanamkan nilai-nilai Tribrata
dalam pembinaan etika profesi Polri dikewilayahan. Tanpa
figure kepemimpinan yang efektif proses implementasi etika
profesi etika Polri tidak akan tercapai, karena pimpinan adalah
sebagai central dan motor penggerak praktik etika profesi
kepolisian.
1.

Pembinaan Etika kepolisian

Penggambaran kepemimpinan yang disampaikan penulis
diatas sebagai tokoh central dan motor penggerak praktik etika
kepolisian dalam konteks sebagai teladan dan contoh perilaku
anggotanya, tidak akan oprimal tanpa progress yang nyata
pimpinan untuk membudayakan praktik etika kepolisian di
kesatuan kewilayahan. Progress yang jelas adalah progress
yang mengaplikasikan dengan manajemen yang jelas. Dalam
merubah dan membudayakan sesuatu yang berbeda dari
sebelumnya mengharuskan standar nyata yang terukur,
maksudnya pada dibuat terlebih dahulu indikator yang jelas
etika yang harus dilaksanakan dan etika yang

dijalankan.Menurut Deming sebuah program hendaknya
terdapat PDCA (Plan-Do-Check-Action).
Aplikasi PDCA dalam membudayakan praktik etika profesi
adalah perencanaan sejauh mana target etika profesi
dijalankan, praktik etika itu di dalam menjalankan tugas pokok
kepolisian, pengawasan sejauh mana perilaku anggota
dilapangan dilaksanakan evaluasi dan perubahan bila ada
permasalahan yang terakhir laksanakan evaluasi tersebut,
secara berkesinambungan karena merubah budaya bukan
sesuatu yang mudah memperlukan waktu bertahun-tahun. Inti
dari suksesnya manajemen ini adalah konsistensi
pelaksanaannya, tanpa konsistensi program membudayakan
praktik etika profesi ini tidak berjalan sebagai mana mestinya.
Penjelasan ini masih terasa begitu umum untuk lebih
mudahnya, penulis gambarkan dalam praktik kepolisian
sehari-hari sebagai berikut;
1.

Pimpinan kewilayahan dan perwira staf merumuskan
sejauh mana nilai-nilai luhur Tribrata yang akan di tanamkan
kepada anggota, hal ini adalah membuat sebuah
perencanaan yang didalamnya meliputi stadar nilai-nilai
etika dalam tugas masing-masing fungsi disesuaikan dengan
bidang atau tugas pokoknya secara khusus dan secara
umum nilai-nilai etika yang harus dilaksanakan semua
anggota

2.

Setelah rencana dibuat tanamkan nilai-nilai luhur Tribrata
sebagai pedoman etika Polri dalam setiap kesempatan para
perwira bertemu dengan anak-buahnya, mulai dari apel pagi
maupun rapat-rapat yang dilaksanakan baik rutin maupun

insidentil. Proses pemahaman anggota terhadap nilai-nilai ini
sangat penting agar mereka memahami apa yang boleh
dikerjakan dan apa yang tidak boleh dikerjakan, yang
tentunya para pimpinan atau perwira staf ini terlebih dahulu
memberikan contoh praktik etika profesi kepolisian tersebut.
3.

Pengawasan dan evaluasi pelaksanaan praktik etika
profesi dapat dilaksanakan dengan cara melihat langsung
perilaku anggota dalam melaksanakan tugasnya dan dengan
melakukan wawancara langsung terhadap masyarakat yang
bersentuhan langsung dengan petugas tersebut. Apabila
terjadi kendala dicari permasalahan apa yang mejadi
hambatan pelaksanaan praktik etika profesi Polri tersebut, di
ambil solusi agar dapat di aplikasikan.

4.

Melaksanakan kembali evaluasi yang sudah ditetapkan
hal ini dilakukan secara berulang-ulang dan konsisten
sehingga semakin lama terjadi peningkatan dalam praktik
etika profesi ini. Pada dasarnya perilaku dipengaruhi oleh
psikologis seseorang yang berkaitan dengan watak maka
lebih bagusnya dalam setiap evaluasi sebelum menaikkan
target pada proses selanjutnya dilakukan pengetesan
psikologis bagi para anggota yang tidaak mampu
menjalankan standar etika yang sudah ditetapkan, hasil
pengetesan psikologi ini dijadikan acuan untuk
mengumpulkan secara khusus anggota yang “bermasalah”
dengan proses penanaman nilai-nilai etika profesi secara
berbeda dan mendapatkan perhatian secara lebih khusus
dari yang lainnya karena mempunyai akar permasalahan
yang lebih kompleks. Akr permasalahan ini yang dijadikan
diskusi bimbingan agar bisa diambil solusinya oleh para

perwira sehingga pada nantinya akan terlepas dari masalah
yang dialaminya dan mampu menjalankan praktik etika
profesi yang telah disepakati.
Pembinaan etika kepolisian di tingkat kewilayahan tentunya
sangat tidak mudah karena nilai-nilai yang budaya organisasi
yang ada saat ini (sudah dijelaskan penulis di atas) sudah
sedemikian mengakar, nilai-nilai keduniawian telah tertanam
dalam sanubari personil kepolisian yang ada saat ini, namun
praktik etika profesi ini bukan tidak mungkin dilaksanakan
apabila para pimpinan mempunyai komitmen yang sama,
karena persoalan saat ini adalah para pimpinan dengan kondisi
budaya organisasi seperti saat ini merasa di untungkan
sehingga tidak mau melakukan perubahan, namun kita harus
memahami kemajuan teknologi yang disertai kebebasan
memperoleh informasi akan menuntut perubahan itu untuk
dilaksanakan, apabila tidak melakukan perubahan maka akan
tergilas oleh perubahan itu sendiri
1.

Penegakan Etika Profesi Polri

Penegakan etika profesi adalah mekanisme terakhir pembinaan
etika profesi kepolisian. Pada prinsipnya pemberian hukuman
adalah sarana yang seyogyanya tidak ingin dilaksanakan,
karena penghukuman akan terjadi bila adanya pelanggaran
kode etik prefesi kepolisian, padahal pelanggaran bukan
menjadi sebuah harapan. Harapannya adalah semua anggota
melaksanakan etika profesi secara benar sehingga dapat
melaksanakan tugasnya secara professional sesuai dengan
harapan masyarakat.

Dari segi keadilan hendaknya penegakan etika profesi polri
harus dapat mengakomodir keadilan bagi pelanggar, korban
akibat pelanggaran etika profesi anggota tersebut (bila ada),
serta keadilan bagi masyarakat (organisasi Polri). Keadilan di
sini diartikan bahwa penghukuman bagi pelanggar etika profesi
mempertimbangkan keadilan pada semua pihak yang terkait,
contohnya bila ada anggota polisi melakukan penyimpangan di
jalan dengan bentuk penyuapan uang damai tilang dari
seorang pelanggar lalulintas, dalam proses penegakan etika
profesi hukuman yang diberikan tentunya memperhatikan:
pertama, keadilan bagi pelanggar etika profesi apakah pada
kasus tersebut antara anggota polisi dengan pelanggar
lalulintas menghendaki penyelesaian semacam itu atau tidak,
sehingga anggota tersebut tidak disudutkan sebagai pelaku
tunggal. Kedua, keadilan bagi korban pungli oleh oknum
anggota tersebut apakah hukuman yang diberikan kepada
anggota tersebut sesuai dengan harapan si pelapor karena
berbagai pertimbangan si pelapor juga mempunyai andil
proses penyuapan atau pungli itu terjadi dan tentunya dalam
hal ini si pelapor juga salah dalam hukum positif. Ketiga,
keadilan dalam masyarakat (organisasi Polri) yang dimaksud
disini adalah bahwa hukuman yang diberikan dengan
penyimpangan pungli dijalan misalnya dengan jumlah uang
yang di dapat apakah wajar si pelanggar mendapatkan
hukuman tersebut.
Dari segi kemanfaatan adalah penegakan hukum etika profesi
tersebut bermanfaat bagi pelanggar agar tidak mengulangi
perbuatan yang dilakukan dan menjadi contoh bagi yang lain

agar tidak melakukan pelanggaran etika profesi yang sama.
Dalam bidang kemanfaatan ini adalah dengan melihat sejauh
mana tindakan pelanggaran oleh oknum anggota tersebut
merugikan organisasi pada khususnya dan kerugian
masyarakat pada umumnya, dengan melihat sejauh mana
dampak yang ditimbulkan sebuah perbuatan pelanggaran
tersebut maka menjadi berat-ringannya hukuman yang
diberikan.
Dari segi kepastian hukum, penegakan hukum etika profesi
kepolisian hendaknya mencerminkan kapabilitas organisasi
Polri. Kapabilitas di sini dimaksudkan bahwa sebagai sebuah
organisasi, Polri tidak membiarkan terjadinya sebuah
pelanggaran etika profesi yang sudah ditetapkan sehingga
setiap pelanggaran yang terjadi mendapatkan hukuman yang
jelas. Di mata masyarakat kapabilitas ini juga menjadi tolok
ukur kepercayaan masyarakat terhadap Polri. Saat ini
masyarakat tidak percaya kepada pada kapabilitas Polri hal ini
ditandai dengan siding kode etik yang dilaksanakan oleh Polri
terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh anggota, persepsi
masyarakat adalah bahwa terjadi “perlindungan” kepada
pelanggar etika profesi Polri.Kepastian hukum juga menjadi
pedoman kepada pelanggar etika profesi Polri apakah dirinya
masih mempunyai kesempatan berkarir di kepolisian atau
tidak.
Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan terkait revolusi mental melaui
implementasi etika profesi Polri di atas maka dapat
disimpulkan sebagai berikut:

1.

Kepribadian personil Polri saat ini di pengaruhi oleh
budaya organisasi dan budaya masyarakat yang ada,
sehingga satu sama lain saling keterkaitan saling
mempengaruhi, budaya organisasi Polri adalah produk dari
budaya masyarakat yang mengalami perubahan sesuai
dengan dinamika masyarakat indonesia

2.

Pembinaan dan penanaman nilai-nilai moral etika profesi
kepolisian sehingga dapat diparaktikkan oleh para personil
kepolisian dimulai dari proses rekruitment personil Polri
dengan mencari calon personil Polri yang terbaik di
masyarakat, Lembaga Pendidikan Polri sebagai tempat
pengemblengan karakter yang mencerminkan nilai-nilai
moral etika kepolisian, peran pemimpin sebagai tauladan
dan mampu melaksanakan pembinaan etika kepolisian di
kewilayahan serta penegakan etika profesi Polri dengan
prinsip keadilan, kemanfaatan dan kepastian hokum

Saran

Reformasi birokrasi dalam bidang kultural kearah yang lebih
baik bukan suatu yang mudah, memperlukan waktu bertahuntahun dan memperlukan tindakan nyata bukan sekedar
wacana. Tindakan nyata ini walaupun kecil apabila dilakukan
secara terarah dan terukur akan membawa perubahan yang
besar. Berberapa saran yang perlu dipertimbangkan dalam
rangka revolusi mental melalui implementasi nilai-nilai etika
profesi adalah sebagai berikut :
1.

Kesediaan Pimpinan Polri untuk memulai perubahan,
diawali mengubah gaya hidup ke yang lebih sederhana,
dapat dijadikan teladan bagi anak buahnya, karena saat ini
Polri mengalami krisis kepemimpinan untuk dijadikan figure

2.

Me-reinventing peran Lembaga Pendidikan Polri sabagai
penanaman budaya organisasi kepolisian dengan nilai-nilai
luhur Tribrata sebagai sendinya,.

3.

Merubah standar penerimaan calon personil kepolisian
dengan melihat segi latar belakang karakter dalam
bermasyarakat bukan hanya mengutamakan postur fisik dan
pengetahuan, karena pengetahuan tanpa karakter akan
membawa kepada kehancuran profesi kepolisian.

4.

Penegakan etika profesi Kepolisian dengan menggunakan
prinsip keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum yang
dilakukan oleh para personil yang memang bersih dan

capable di bidang pengamanan profesi Kepolisian.
Advertisements
SHARE THIS:



Twitter



Facebook4



Google


RELATED

revolusi mentalIn "Catatan Kritis"
MODEL PEMOLISIAN DALAM MENANGANI KONFLIK HUBUNGAN INDUSTRIALIn
"Proposal"
PROFESI PENEGAK HUKUM DAN POLRI SEBAGAI PENEGAK HUKUMIn "Tugas Kuliah"

yogaputraprimasetya
Author archive Author website
July 1, 2015
Tulisan Mandiri
Previous postNext post

Leave a Reply
KALENDER

July 2015

M

T

W

T

F

S

« JUN

AUG »

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

16

17

18

19

20

21

22

23

24

25

26

27

28

29

30

31

PENA NEWS



S

An error has occurred; the feed is probably down. Try again
later.
CREATE A FREE WEBSITE OR BLOG AT WORDPRESS.COM.
UP ↑