Sosial Budaya masa ibu nifas Mentawai

PERANAN LEMBAGA ADAT
TERHADAP PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUTAN
DI DESA KATURAI KECAMATAN SIBERUT SELATAN
KEPULAUAN MENTAWAI KABUPATEN PADANG PARIAMAN
Syaiful Azman. SE, M.Si
ABSTRAK
Terkendalanya berbagai pelaksanaan pembangunan di berbagai daerah
Indonesia, pada umumnya disebabkan berbagai aspek non tekhnis, dimana
perencanaan yang telah disusun sering mengabaikan aspek sosial dan
budaya. Kondisi ini terjadi karena perencanaan pembangunan yang
dilaksanakan lebih cenderung kearah kearah Top Down Planning, sehingga
terjadi disintegrasi dalam masyarakat, ketidaksiapan budaya lokal dalam
menerima intervensi yang akhirnya memunculkan konflik
antara
masyarakat dengan pelaksana pembangunan (kontraktor) dan pemerintah.
Dengan bercermin kepada
berbagai permasalahan ini, maka untuk
pembangunan yang akan dilaksanakan pada masa mendatang khususnya
terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir harus memasukan berbagai
aspek sosial dan budaya dalam perencanaan. Apabila dalam era reformasi
seperti sekarang ini, faktor-faktor tersebut masih tetap diabaikan, maka

konflik tersebut akan semakin terbuka.

I. PENDAHULUAN
Pulau Siberut merupakan pulau yang terbesar dari 4 (empat) pulau yang terdapat
di Kepulauan Mentawai dengan luas ( 4.097 Km2. Secara geografis Pulau Siberut berada
diantara 0055’ dan 3020’ lintang selatan dan 98031’ dan 100040’ bujur timur dengan
puncak tertinggi ( 400 M dari permukaan laut dan jaraknya dari kota Padang ( 85 Km.
Secara administratif Pulau Siberut ini termasuk dalam wilayah Kabupaten Padang
Pariaman, terdiri dari 2 Kecamatan Induk dan 1 Kecamatan Perwakilan serta 23 Desa.
selanjutnya penduduk Pulau Siberut menyebar mulai dari pantai sampai ke pedalaman
(mengikuti aliran sungai).
Satu dari sekian desa yang berada di daerah pantai adalah Desa Katurai
(Kecamatan Siberut Selatan). Desa Katurai ini mempunyai 4 Dusun, yaitu Dusun Tiop,
Dusun Sarausau, Dusun Tolaulago dan Dusun Malilimok, ke empat dusun tersebut berada
dipinggir Teluk Katurai. Terbentuknya Dusun-dusun ini karena adanya Proyek PKMT
(Pembinaan Kesejahteraan Masyarakat Terasing) oleh Departemen Sosial pada tahun
1980. Sebagai komunitas masyarakat adat, biarpun mereka tempat tinggal mereka
berjauhan mereka masih terikat dengan kesukuan (clan). Kondisi tersebut membuat
mereka memiliki hubungan kekerabatan cukup kuat.
Desa Katurai sebelumnya terkenal dengan keindahan alamnya, dimana pada

Teluk Katurai dihiasi oleh ekosistim terumbu karang yang beraneka ragam serta biota laut
lainnya. Selanjutnya di sepanjang pantai teluk ini terdapat ekosistim hutan mangrove

1

yang cukup lebat dan disamping itu ditengah-tengah Teluk Katurai dijumpai beberapa
pulau-pulau kecil yang juga ditumbuhi oleh mangrove.
Pada saat ini kondisi ekosistim tersebut telah jauh berubah, karena sebahagian
habitat yang ada pada Teluk Katurai telah rusak akibat berbagai aktivitas manusia dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk mengantisipasi agar kerusakan tersebut jangan
sampai kronis maka sangat diperlukan sekali pengelolaan terhadap sumberdaya pesisir
yang belum punah agar tetap tetap lestari.
II. GAMBARAN UMUM KEHIDUPAN MASYARAKAT
2.1. Pola Pemukiman.
Bagi masayarakat Mentawai, khususnya masyarakat Desa Katurai Kampung lebih
diartikan sebagai tempat pemukiman. Ini sangat berbeda bila dibandingkan dengan
daerah lainnya di Kabupaten Padang Pariaman, dimana kampung juga berfungsi sebagai
penghasil bahan makanan tambahan dengan memanfaatkan lahan kosong disekitar rumah
mereka dengan menanam berbagai jenis tanaman yang dapat menyokong hidup mereka.
Kampung di Desa Katurai hanyalah sekumpulan rumah yang berhalaman sempit,

karena jarak antara rumah saling berdekatan. Halaman rumah kelihatan sangat gersang
karena tidak ditanami tanaman pelindung ataupun tanaman pekarangan.
Rumah penduduk berbentuk rumah panggung yang didirikan diatas lahan yang
sempit. Arah rumah tersebut pada umumnya menghadap kearah laut. Diantara rumahrumah yang ada terdapat rumah besar (Uma). Uma ini disamping berfungsi sebagai
tempat tinggal juga berfungsi sebagai tempat dilakasanakannya upacara-upacara adat.
Pada umumnya di Kecamatan Siberut Selatan dalam satu Kampung biasanya
ditemui hanya satu uma, tetapi pada Desa Katurai ditemui beberapa uma. Terdapatnya
beberapa uma pada desa ini disebabkan pada Desa Katurai terdapat beberapa suku yang
tinggal bersama, anggota tiap suku tinggal mengelompok.
Adanya pengaruh dari pembentukan desa-desa oleh pemerintah, telah merubah
pola pemukiman secara tradisionil, tetapi struktur uma masih tetap sebagai dasar-dasar
yang dihormati. Disamping itu dengan adanya perubahan tersebut telah menimbulkan
pergeseran dalam menggunakan atau mengolah tanah dan hak untuk mengeksploitasi
sumberdaya alam. Pada saat ini uma tersebut tidak dibangun lagi, karena adanya larangan
dari pemerintah menganut agama Arat Sabulangan (Percaya kepada kekuatan roh-roh).
Rumah-rumah yang dibangun oleh penduduk sangat jauh berbeda bila
dibandingkan dengan rumah penduduk yang berada didaratan Kabupaten Padang
Pariaman, dimana rumah hanya memiliki dua pintu, yaitu pada muka dan belakang tanpa
mempunyai jendela. Rumah tersebut dibangun dengan konstruksi/bahan bangunan
sebagai berikut :






Atap dari rumbia
Tiang dan rangka rumah dari kayu yang keras
Dinding dari kulit kayu karai/rumbia
Lantai dari kulit kayu aribuk yang disusun.

2

Perumahan penduduk yang terpencar-pencar menyulitkan pemerintah untuk membangun
sarana dan prasarana yang dibutuhkan masyarakat.
2.2. Tipe Aktifitas Ekonomi Masyarakat.
Sistim perekonomian masyarakat Desa Katurai lebih maju bila dibandingkan dengan
dengan desa-desa yang berada dipedalaman, ini disebabkan oleh beberapa hal antara
lain :




Jarak desa relatif lebih dekat dengan Ibu Kecamatan.
Terletak dipinggir laut dengan tersedianya berbagai jenis sarana transportasi, yaitu
perahu dayung dan speed boat.

Masyarakat telah Terbiasa melakukan transaksi langsung yang dilakukan oleh
Pedagang ke Desa Teluk Katurai tanpa melalui pasar.
Uang sebagai alat pengatur nilai dan sebagai penetapan harga relatif telah
berfungsi sama sekali, walaupun sebahagian kecil masih terdapat sistim barter. Sistim
barter yang dilakukan oleh masyarakat tersebut masih dalam batas kewajaran, karena
dari segi pandangan mereka saling menguntungkan.
Aktifitas ekonomi terlihat dengan jelas apabila adanya kapal yang datang dari
Kota Padang ke Kecamatan Siberut Selatan (Muara Siberut), dimana disepanjang Teluk
Katurai terlihat berbagai kesibukan. Pemandangan ini sangat berbeda bila dibandingkan
pada hari-hari biasa, masyarakat terlihat membawa hasil pertanian mereka untuk dijual
kepada pedagang yang telah menunggu di Pasar Muara Siberut. Setelah transaksi
dilakukan, biasanya masyarakat akan belanjakan lagi kepada berbagai kebutuhan mereka,
untuk menabung belum terfikirkan oleh mereka, sehingga lembaga keuangan seperti BRI
Unit Desa dalam operasionalnya sulit dalam menghimpun dana masyarakat.
Aktifitas ekonomi masyarakat tersebut hanya berlangsung dua kali dalam

seminggu sesuai dengan jadwal kapal yang datang dari Kota Padang. Disamping itu
aktifitas ekonomi juga terlihat bila ada kapal-kapal barang yang datang langsung ke desa
Katurai untuk membeli hasil-hasil pertanian masyarakat, seperti : kopra, minyak nilam
serta hasil hutan lainnya. Kondisi tersebut tidak mempengaruhi aktifitas masyarakat
sehari-hari.
2.3. Akses Masyarakat Dengan Lingkungan.
Masyarakat Desa Katurai dalam kehidupan sehari-hari mempunyai akses
langsung terhadap lingkungan, yaitu dengan memanfaatkan lingkungan disekitarnya guna
memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, penduduk Desa Katurai memanfaatkan
lingkungan disekitar mereka tersebut untuk :
2.3.1. Pertanian.
Masyarakat pada umumnya memiliki ladang dengan pola menetap, dimana ladang
tersebut akan digunakan secara terus menerus. Jenis tumbuhan yang mereka tanam
disesuaikan dengan kondisi tanah, pada tanah lembab dan basah mereka tanam keladi dan
sagu, sedangkan pada tanah kering mereka akan tanami dengan pisang, nilam serta

3

tanaman lainnya. Dalam mengusahakan ladangnya mereka lebih memperioritaskan

kepada kebutuhan pokok mereka, seperti sagu, sedangkan pisang dan keladi digunakan
sebagai makanan tambahan.
Dalam mengolah ladangnya masyarakat tidak mengenal teknologi, seperti pupuk,
pestisida dll. Masyarakat dalam mengusahakan ladangnya secara alami, ini terlihat pada
awal mereka membuka ladang. Dalam pembuatan ladang, hutan ditebang, setelah
beberapa lama tanpa adanya pembakaran saresah tanah tersebut kemudian ditanami
tumbuhan yang di ingini diantara pohon pohon yang telah ditebang. Penguraian saresah
menjadi mineral terjadi perlahan-lahan sehingga tanah akan tetap subur untuk jangka
waktu lama.
2.3.2. Perternakan.
Hewan ternak pada umumnya yang ditemukan di Desa Katurai adalah; babi, ayam
dan itik, sedangkan sapi dan kerbau relatif hampir tidak ditemui. Dalam mengusahakan
perternakan terlihat tidak adanya kesungguhan dari penduduk. Dalam waktu senggang
masyarakat lebih senang berburu kehutan untuk mendapatkan hewan buruan. Ternak
yang mereka miliki jarang untuk dikonsumsi. Dan hewan-hewan tersebut akan
dikonsumsi pada saat pesta/acara adat. Hewan-hewan tersebut juga berfungsi sebagai alat
tukar dan pembayar denda (tulo). Untuk memenuhi kebutuhan protein hewani sehari-hari
masyarakat lebih memilih untuk mengkonsumsi ikan laut dan kepiting yang hidup
dimangrove.
Lingkungan disamping memberikan manfaat untuk memenuhi kebutuhan hidup

mereka, masyarakat juga sangat mempercayai bahwa pada lingkungan bergentayangan
roh-roh yang menetap pada pohon-pohon besar dan mereka juga menganggap tabu untuk
memburu jenis-jenis hewan tertentu yang hidup dihutan.
III. PERUMUSAN MASALAH.
Desa Katurai memang terletak disepanjang pantai Teluk Katurai, tetapi akses
langsung dari masyarakat setempat terhadap sumberdaya laut sangat kurang. Bagi
masyarakat laut berfungsi sekedar untuk memenuhi kebutuhan protein hewani dan
disamping itu laut berfungsi sebagai sarana transportsi yang paling efektif.
Kondisi tersebut diatas kalau dihubungkan dengan sumberdaya laut dan
sekitarnya tidak signifikan, karena telah terjadi pengrusakan lingkungan yang cukup
serius, seperti rusaknya ekosistem terumbu karang dan ekosistem hutan mangrove.
Rusaknya ekosistem terumbu karang sebagai akibat dari pemboman dan penggunaan
potasium cyanida oleh nelayan pendatang untuk mendapatkan ikan yang lebih banyak.
Sedangkan rusaknya ekosistem hutan mangrove akibat tecemarnya laut di Teluk Katurai,
karena adanya pabrik sagu yang membuang limbahnya langsung kelaut. Sagu yang
diproduksi oleh pabrik tersebut bukan untuk komsumsi masyarakat setempat tetapi untuk
kebutuhan lainnya.
Melihat kepada permasalahan yang ada di Desa Katurai perlu segera dilaksanakan
pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan dengan melibatkan berbagai pihak, terutama
sekali dengan mengfungsikan lembaga adat setempat.


4

IV. TINJAUAN KONSEPTUAL.
4.1. Ruang Lingkup dan Pengertian.
4.1.1. Sistem Sosial.
Menurut Robert. MZ. Lawang sistem sosial merupakan sejumlah kegiatan atau
sejumlah orang yang saling berhubungan (timbal balik) yang saling mendukung, dimana
hubungan tersebut sifatnya konstan.Sistem sosial ini diciptakan oleh manusia,
dipertahankan malah diubah oleh manusia itu sendiri dan oleh karena itu sistem sosial
mempengaruhi prilaku manusia.
Dari pengertian tersebut perlu diperhatikan bahwa : setiap sitem sosial selalu
mempertahankan batas-batas yang memisahkan dan membedakannya dari lingkungan
serta mempertahankan keseimbangan dari kegiatan-kegiatan yang memungkinkan terus
bertahan dan beroperasi.
4.1.2. Lembaga Lokal.
Lembaga lokal merupakan bahagian dari sistem sosial. Yang dimaksud lembaga
lokal adalah ; lembaga yang tumbuh dan berkembang dari dan dalam sebuah masyarakat
di wilayah tertentu (Yusny Saby. 1998). Lembaga Lokal bervariasi sesuai dengan
kelompok masyrakat dan daerah masing-masing. Diantara lembaga tersebut ada yang

mewakili kesamaan dan ada pula yang bertolak belakang.
Lembaga Lokal ini modelnya ada yang berbentuk organisasi dan non organisasi,
ada yang bersumber dari kepercayaan sebuah agama, ada pula yang sekedar warisan
budaya turun temurun. Namun semua itu telah diakui sebagai lembaga yang dihormati
oleh masyarakat.
Perbedaan lembaga lokal yang bersumber pada agama dengan yang bersumber
dari adat istiadat susah untuk dipisahkan dengan jelas, sebab pada dasarnya setiap prilaku
kelompok masyarakat yang sudah bertahan lama, apa itu sakral atau tidak dapat ditelusuri
asal usulnya dari kepercayaan atau agama masyarakat tersebut. Lambat laun praktek yang
sakral (suci) itu di daerah menjadi profon (duniawi), atau mungkin saja prilaku/lembaga
bersama itu disatu tempat atau lingkungan masyarakat dianggap sakral sedangkan
ditempat lain dikatakan profon.
4.1.3. Lembaga Adat.
Lembaga Adat merupakan satu dari sekian banyak lembaga lokal yang terdapat
dalam suatau masyarakat. Lembaga Adat ini terbentuk atas keinginan masyarakat
berdasarkan atas nilai-nilai budaya/adat.
Lembaga Adat ini dapat berbentuk organisasi formal ataupun informal, di
Sumatera Barat misalnya LKAAM (Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau) dan
budaya kerei (dukun) di Kepulauan Mentawai.
Lembaga Adat ini dapat berfungsi sebagai :


5

 Menjaga keutuhan masyarakat.
 Kontrol sosial.
 Memenuhi kebutuhan masyarakat.
4.1.4. Hak Ulayat Laut.
Hak ulayat laut (marine tenure) mengacu kepada seperangkat hak dan kewajiban
timbal balik yang muncul yang berhubungan dengan kepemilikan yang nyata. Hak
kepemilikan (property rights) ini berkonotasi memiliki (to own), memasuki (to acsess)
dan memanfaatkan (to us). Baik konotasi memiliki, memasuki dan memanfaatkan tidak
hanya mengacu kepada suatu wilayah penangkapan (fishing ground) tetapi juga mengacu
kepada teknik-teknik penangkapan, peralatan yang digunakan dan sumberdaya yang
dtangkap/dikumpulkan (Wahyono, dkk,1993).
Selanjutnya Wahyono juga menjelaskan bahwa hak ulayat laut adalah suatu sistim
dimana beberapa orang atau kelompok orang memanfaatkan wilayah laut, mengatur
tingkat dan derajat eksploitasi terhadap wilayah tersebut sehingga dengan demikian
melindungi dari eksploitasi yang berlebihan (over eksploitation).
Dari uraian diatas hak ulayat laut dapat diartikan sebagai seperangkat aturan atau
prektek manajemen laut dan sumberdaya yang terkandung didalamnya. Perangkat aturan
hak ulayat laut ini menyangkut siapa yang memiliki hak atas suatu wilayah, jenis
sumberdaya dan teknik pengeksploitasian sumberdaya tersebut.
4.2. Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan.
4.2.1. Kebudayaan.
Banyak orang mengartikan kebudayaan sebagai suatu kesenian ; seni tari, seni
drama, seni lukis, seni patung dll. Padahal kebudayaan itu mempunyai pengertian yang
lebih luas, sebab kebudayaan meliputi semua hasil dari cipta, karsa dan karya manusia,
baik yang materil maupun yang non materil (M. Hakim Nyak Pha. 1995). Kebudayaan
materil adalah hasil cipta dan karsa yang berwujud benda atau alat pengolah sumberdaya
alam, gedung, jalan dll. Sedangkan kebudayaan non materil adalah hasil cipta dan karsa
yang berwujud kebiasaan-kebiasaan atau adat istiadat, kesusilaan, ilmu pengetahuan,
keyakinan dll.
Didalam suatu masyarakat, kebudayaan disuatu pihak dipengaruhi oleh
masyarakat. Tetapi dilain pihak masyarakat dipengaruhi oleh kebudayaan, misalnya
masyarakat Suku Mentawai karena tidak ada pakaian tato dijadikan sebagai pengganti
pakaian. Jadi jelaslah kebudayaan adalah suatu hasil cipta pada hidup bersama yang
berlansung dalam kurun waktu yang cukup lama.
Dengan hasil budaya manusia terjadi pola kehidupan, dan pola kehidupan inilah
yang menyebabkan hidup bersama menjadi langgeng dan dengan pola kehidupan ini pula
dapat mempengaruhi cara berfikir dan gerak sosial manusia.
4.2.2. Masyarakat dan lingkungan.
Manusia merupakan bagian dari alam semesta, namun alam adalah satu-satunya
makhluk hidup yang mempunyai kelebihan yaitu akal dan bahasa bila dibandingkan
6

dengan makhluk hidup lainnya. Dengan akal dan bahasa itulah manusia mampu
menghubungkan dirinya dengan alam sekitarnya seperti dengan benda mati, hidup
apalagi dengan sesama manusia.
Manusia tidak dapat mempertahankan eksistensinya tanpa hidup bermasyarakat.
Tingkah laku, tabiat dan kebiasaan-kebiasaan manusia tumbuh karena ia hidup
bermasyarakat. Manusia disamping memerlukan pangan, sandang dan perumahan masih
memerlukan harga diri, kehormatan, rasa kasih sayang dll.
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya manusia tersebut harus beradaptasi dengan
lingkungan sekitarnya. Adaptasi lingkungan akan menumbuhkan manusia untuk berfikir
dan merenung dan lebih jauh akan menimbulkan persepsi, apresiasi, konsep dan fantasi.
Pada giliran berikutnya lingkungan bahkan mampu membentuk dan menimbulkan emosi.
Lingkungan mempunyai andil dalam melakukan perubahan budaya dan nilai-nilai dari
suatu masyarakat atau bangsa.
4.3. Pendekatan Lembaga Adat Dalam Perencanaan Pembangunan.
Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) merupakan suatu lembaga
perencana di daerah. Sebelumnya dalam menyusun program-program pembangunan
belum melibatkan berbagai lembaga lokal yang terdapat pada masing-masing daerah,
sehingga dalam pelaksanaan pembangunan terdapat berbagai kendala dan permasalahan
pada umumnya disebabkan oleh faktor non teknis, seperti ganti rugi tanah, adanya proyek
yang tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat serta permasalahan lainnya.
Pada era reformasi ini dalam dalam menyusun suatu program pembangunan
keberadaan lembaga adat telah dikut sertakan, ini terlihat dari Temu Karya, Rakorbang
(Rapat Koordinasi Pembangunan) Tingkat II dan Rakorbang Tingkat I, dimana pada
waktu acara tersebut unsur-unsur lembaga adat dihadirkan untuk diminta masukan yang
berkaitan dengan sosial budaya masyarakat setempat yang akan dijadikan lokasi
pembangunan. Sehingga dengan menghadirkan unsur-unsur lembaga adat pembangunan
yang dilaksanakan akan dapat berjalan sesuai dengan jadwal dan sasaran yang ditetapkan.
Pendekatan yang telah ditempuh oleh Pemerintah Daerah seperti tersebut diatas,
karena Lembaga Adat yang merupakan bagian dari lembaga lokal telah teruji
eksistensinya dalam menyelesaikan berbagai permasalahan dalam masyarakat. Untuk itu
seyogianyalah Pemerintah Daerah untuk dapat mempertahankan, mengayomi serta
memberdayakannya, diantaranya adalah melibatkan lembaga adat dalam perencanaan
pembangunan. Mengingat sejumlah lembaga adat telah teruji dan terbukti dapat menjaga
moral masyarakat.
Dalam pemberdayaan lembaga lokal ini, sejumlah negara di dunia ; seperti Cina,
Jepang, Korea dan negara lainnya telah menerapkan konsep ini, sehingganya keberadaan
lembaga tersebut telah memberikan sugesti dalam berbagai pelaksanaan pembangunan.
V. Tinjauan Empiris.
5.1. Lembaga Adat Sebagai Sitem Tebuka.
Berbagai kehidupan didunia ini merupakan sistem terbuka. Lembaga adat
merupakan satu bentuk sitem sosial masyarakat yang bersifat terbuka yang mempunyai
7

karekteristik sebagai berikut :
1. Impor Energi.
Terbentuknya suatu lembaga adat sangat dipengaruhi oleh stimulan dari lingkungan
sekitarnya. Dan pihak-pihak lain diluar lembaga tersebut sangat dibutuhkan bagi
kelansungan fungsi lembaga adat itu sendiri, sebab tidak ada satupun sistem sosial
yang mampu menghidupi dirinya sendiri tanpa bantuan dari luar.
2. Memiliki Prosesing input menjadi out-put
Lembaga adat akan menciptakan berbagai aturan dalam segi kehidupan, tujuannya
tidal lain adalah demi terciptanya suatu keseimbangan, baik antara sesama anggota
masyarakat maupun antara masyarakat dengan lingkungan.
3. Mempunyai tujuan atau out-put
Lembaga adat selalu bertujuan atau menghasilkan out-put bagi lingkungan sekitarnya,
baik berupa hasil pemikiran maupun berupa bentuk fisik, seperti pembangunan balai
adat.
4. Mempunyai Pola Aktivitas yang bersifat Siklis.
Berbagai out-put yang dihasilkan oleh lembaga adat, harus memberikan suatu
kepuasan kepada masyarakat, sehingga kepuasan masyarakat itu akan menambah
eksisitensi lembaga adat itu sendiri ditengah masyarakatnya.
5. Membentuk Suatu Struktur yang Hirarkie.
Lembaga adat yang terdiri dari berbagai komponen. Komponen-komponen tersebut
secara struktural membentuk suatu hirarkie, seperti : dalam masyarakat mentawai
yang terdiri dari berbagai suku akan membentuk suatu lembaga adat.
6. Entropi Negatif.
Lembaga adat akan tumbuh dan berkembang apabila keberadaanya/ eksistensi sangat
dibutuhkan oleh masyarakatnya (entropinya rendah). Entropi ini harus diupayakan
serendah mungkin.
7. Input Informasi, Umpan Balik Negatif dan Proses Koding.
Berbagai peraturan-peraturan yang dibuat oleh lembaga adat dalam pelaksanaannya
harus dikontrol, sehingga bisa dijadikan umpan balik bagi lembaga adat tersebut
untuk menyeleksi input yang masuk sebagai bahan pertimbangan (koding) untuk
membuat berbagai keputusan pada masa mendatang.
8. Keseimbangan Dinamis (steady state) dan Homeostasis.
Lembaga adat selalu berupaya mempertahankan eksistensinya sebagai lembaga yang
dibutuhkan masyarakat pada kondisi tertentu, sehingga lembaga adat sebagai sistem
sosial dapat berfungsi sebagaimana dengan yang telah digariskan. Proses homeostasis
akan berlangsung dalam pelaksanaan lembaga adat bila memiliki kemampuan
membentengi diri dari pengaruh luar, seperti intervensi pemerintah, budaya asing.
9. Diferensiasi
Berbagai elemen-elemen yang ada dalam lembaga adat akan menyatu dan akan
menjadi suatu struktur yang sangat terdeferensiasi. Selanjutnya lembaga adat yang
berkembang akan melakukan peningkatan kinerja dan eloborasi peran para

8

anggotanya dengan spesialisasi fungsi yang lebih beragam.
5.2. Pendekatan lembaga adat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan
Untuk pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan pendekatan lembaga adat
dipandang efektif dan efesien dalam penerapannya. Pendekatan ini lebih berpeluang bila
dibandingkan dengan pendekatan lainnya, karena dalam lembaga adat telah memuat ideide dan gagasan manusia dalam suatu masyarakat dan pada gilirannya akan memberikan
jiwa kepada masyarakat itu. Gagasan tersebut selalu berkaitan erat dalam membentuk dan
menjadi suatu sistim, sehingga dalam masyarakat tersebut akan terlihat berbagai aturan,
seperti interaksi antara sesama manusia dan manusia dengan lingkungan sekitarnya.
Dengan multidimensinya peran dari pada lembaga adat, maka untuk pengelolaan
sumberdaya pesisir dan lautan pendekatan lembaga adat dipandang penting, mengingat
sumberdya pesisir dan lautan secara fisik dan biologisnya jauh lebih rumit bila
dibandingkan dengan sumberdaya alam lainnya, misalnya dalam penetapan batas-batas
wilayah. Dalam hal ini bukan mengecilkan arti pendekatan lainnya.
Desa Katurai yang terdiri dari 4 (empat) Dusun, dimana keseluruhan dusun
tersebut berada disepanjang pantai Teluk Katurai, dimana pada kondisi saat sekarang ini
telah terjadi pengrusakan sumberdaya alamnya baik yang berada didaratan maupun yang
dilautan. Pada daratan kerusakan ini terjadi akibat adanya perusahaan pemegang HPH
(Hak Pengusahaan Hutan) dalam operasionalnya terdapat berbagai pelanggaran tehadap
peraturan yang berlaku. Kerusakan pada sumberdaya pesisir dan lautan akibat ulah dari
manusia dalam menjalan berbagai aktivitas kehidupan.
Kerusakan yang menyolok pada sumberdaya pesisir dan lautan terlihat adanya
kerusakan ekosistim hutan mangrove dan ekosistim terumbu karang. Kerusakan
ekosistim hutan mangrove disebabkan adanya pabrik sagu yang membuang limbah
langsung kelaut, sedangkan kerusakan pada ekosistim terumbu karang karena adanya
nelayan-nelayan pendatang, dimana untuk mendapatkan ikan dengan jumlah banyak telah
melakukan tindakan pengrusakan terhadap ekosistim terumbu karang dengan cara
pemboman dan penggunaan potasium cyianida.
Untuk mengatasi kondisi seperti tersebut diatas Pemerintah Daerah Tingkat II
Padang Pariaman telah memerintahkan kepada Dinas/Instansi terkait seperti, Camat,
Koramil, Polsek dan Kamla untuk melakukan pengawasan tetapi usaha ini belum
menampakan hasil. Belum berhasilnya usaha yang telah dilaksanakan Pemerintah Daerah
dalam mengantisipasi pelanggaran-pelanggaran tersebut, karena Pemerintah Daerah
sebelum adanya Pokok-pokok Reformasi Pembangunan tidak melibatkan keberadaan
lembaga adat yang ada di Desa Katurai seperti Kepala Suku dan Kerei. Kepala Suku dan
Kerei di Desa Katurai sangat berperan dalam mengatur tatanan masyarakatnya, baik
antara sesama manusia maupun dengan lingkungan. Padahal dalam masyarakat Desa
Katurai telah terdapat suatu aturan yang diyakini yaitu tentang adaptasi masyarakat
dengan lingkungan melalui berbagai kepercayaan yang dianut masyarakat.
Sebelum adanya larangan dari pemerintah (tahun 1955) menganut paham
animisme yaitu percaya roh-roh (Arat-Sabulangan), dan sampai saat sekarang walaupun
mereka telah menganut berbagai agama, tetapi mereka masih mempercayainya seperti :

9

 Roh laut (Tai Kabagat Koat), yaitu roh yang memberikan hasil laut seperti ikan dan
menimbulkan badai badai serta gelombang.
 Roh hutan dan gunung (Tai Kaleleu), yaitu roh yang memberikan hasil bumi,
binatang dan segala sesuatu yang tumbuh.
 Roh urang-urang (Tai Ka Manua), yaitu roh yang menimbulkan hujan angin dan
tanda-tanda dilangit.
Adat yang dianut berkaitan erat dengan Arat Sabulangan sehingga kepercayaan adat
dan agama merupakan bentuk yang menyatu, dimana pada saat ini acara adat masih
dipakai dimasing-masing dusun, meskipun terdapat perbedaan dalam pelaksanaannya.
Disamping kepercayaan terhadap roh-roh masyarakat juga sangat taat dan tunduk
Kepala Suku (Ritoma). Dalam kehidupan bermasyarakat Rimota berfungsi sebagai :





Menentukan batas ladang, kebun dan hutan milik warga.
Mengurus penggunaan tanah
Menyelesaikan perselisihan menyangkut harta dan perkelahian.
Mengurus upacara adat, perkawinan dan agama.

Selanjutnya di Desa Katurai terdapat suatu keunikan dimana, Kerei tidak hanya
berfungsi sebagai dukun, tetapi juga pemuka masyarakat. Semua pembicaraan atau apa
yang diperintahkan Kerei selalu diikuti oleh masyarakat. Kerei seolah-olah bisa
menentukan hitam atau putih yang harus dipilih masyarakatnya (Yongki Salmeno, 1993).
Apa saja kegiatan yang akan dilakukan, masyarakat selalu meminta petunjuk dari
sang Kerei. Jika Kerei memerintah semua orang harus bekerja, tidak ada yang bisa
membantah atau mengubah keputusan tersebut. Walaupun dari segi status Ritoma lebih
tinggi bila dibandingkan dengan Kerei, tetapi dalam kehidupan sehari-hari Kerei lebih
berpengaruh bila dibandingkan Ritoma. Meskipun demikian dalam melaksanakan
fungsinya tidak pernah terjadi pertententangan (dualisme) diantara keduanya.
Dengan adanya struktur pemerintahan baru dari organisasi sosial masyarakat
seperti dusun dan desa telah disusun organisasi sosial uma tradisionil dalam bentuk
lembaga-lembaga suku yaitu Parukat Panutubut Uma (PPU) yang terdiri dari setiap
pemimpin suku (Sikautet Uma) yang mewakili keluarga (lalep) yang disebut Sikauma
atau anggota suku.
Tujuan dibentuknya PPU adalah untuk melerai pertengkaran antara suku terhadap
penggunaan sumberdaya alam dan masalah-masalah sosial. Disamping itu setiap adanya
berbagai permasalahan, maka PPU akan berperan dalam mencarikan solusinya.
Dari gambaran diatas terlihat begitu besarnya peranan dari lembaga adat (Ritoma,
Kerei dan PPU) di Desa Katurai, maka dalam perencanaan pengelolaan sumberdaya
pesisir dan lautan sesuai dengan semangat Pokok-pokok Reformasi Pembangunan
keberadaan lembaga adat ini perlu menjadi perhatian oleh Pemerintah Daerah dan
apabila hal ini terabaikan mustahil pembangunan yang dilaksanakan akan berhasil
sesuai dengan tujuan yang diharapkan.

10

5.3. Bentuk-bentuk Hak Ulayat Laut.
Bentuk-bentuk hak ulayat laut (marine tenure) berbeda pada setiap komunitas
nelayan. Di Jepang konsep hak ulayat laut yang disebut fishery right dan mendapat
tempat secara formal. Fishery right dianggap sebagai konsensi perairan, semacam hak
untuk mengelola suatu wilayah perairan untuk kepentingan perikanan. Pertimbangannya
sederhana, bahwa dengan adanya hak ulayat laut itu, maka para nelayan atau usahawan
perikanan akan bertanggung jawab terhadap kelanjutan sumberdaya di wilayah itu.
Penangkapan ikan hanya boleh bagi anggota yang mengorganisir fishery right, sementara
nelayan luar yang bukan sebagai anggota tidak diperkenankan melakukan kegiatan
penangkapan ikan di wilayah fishery right.
Berbeda dengan Indonesia (Maluku) hak ulayat laut yang disebut dengan sasi.
Sasi ini dihidupkan melalui kelembagaan adat yang dikepalai oleh pemuka-pemuka adat
disebut Kewang Laut. Sasi ini menetapkan larangan penangkapan ikan berdasarkan jenis
ikan dan jarak dari desa. Terlarang menangkap ikan yang berada dalam daerah sasi
dengan menggunakan jenis alat tangkap apapun, terkecuali dengan jala dan itupun harus
dilakukan dengan berjalan kaki dan tidak boleh berperah. Persyaratan bgai orang yang
mempergunakan jala hanya pada batas kedalaman air setinggi pinggang orang dewasa.
Pada daerah lain juga dikenakan aturan sasi dengan menetapkan kawasan untuk
penggunaan alat tangkap berupa jaring. Selain itu sasi dapat diterapkan oleh tokoh adat
jika terdapat persengketaan dalam proses penangkapan ikan (Kissya, 1993)
Kondisi tersebut diatas sangat jauh berbeda bila dibandingkan dengan aturan yang
terdapat di Desa Katurai. Pada Desa Katurai tidak terdapat suatu aturan mengenai hak
ulayat laut, tetapi semua orang dapat mengambil hasil laut, bukan untuk perorangan.
Masyarakat tidak mau menangkap ikan lebih banyak walaupun mereka tahu bahwa masih
banyak ikan yang masih bisa mereka tangkap, sebab mereka meyakini bahwa dengan
memanfaatkan sumberdaya laut secara berlebihan, maka roh penguasa laut (Tai Kabagat
Koat) akan marah dan mereka meyakini kalau roh tersebut marah, maka bala akan
menimpa mereka. Itulah pelajaran lain yang diwariskan oleh leluhur mereka. Untuk
mengeksploitasi sumberdaya laut tidak boleh serakah, cukup untuk sekedar kebutuhan
(Yongki Salmeno, 1993).
Adanya kepercayaan tersebut, maka masyarakat Desa Katurai dalam
memanfaatkan sumberdaya lautnya selalu berhati-hati. Tetapi sebaliknya kondisi ini
bertentangan dengan nelayan-nelayan pendatang, dimana mereka melakukan over
eksploitation, sehingga terjadi pengrusakan terhadap ekosistim sumberdaya lautnya.
Budaya yang telah dijalani oleh masyarakat ini perlu menjadi pemikiran dalam
pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan.
VI. PEMBAHASAN MASALAH.
Desa Katurai yang terletak disepanjang Teluk Katurai memiliki wilayah pesisir
yang sangat luas, dan kaya akan sumberdaya alam hayati dan non hayati. Secara umum
masyarakat Desa Katurai dalam memanfaatkan sumberdaya tersebut selalu menjaga
11

kesimbangan, dimana mereka dalam memanfaatkan sumberdaya tersebut hanya sebatas
untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya. Khusus dalam pemenuhan kebutuhan
protein hewani mereka disamping memanfaatkan hewan ternak yang dimiliki, mereka
juga memanfatkan sumberdaya laut, seperti ; ikan dan kepiting mangrove. Walaupun
mereka mengetahui hasil dari sumberdaya laut mereka berlimpah, tetapi mereka tidak
menggantungkan hidup mereka dilaut, mereka lebih mengutamakan untuk mengusahakan
pada sektor pertanian dengan mengusahakan ladang dan hasil hutan lainnya.
Sebetulnya dengan berbagai aturan dan pola hidup yang demikian dari masyarakat
Desa Katurai, konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) sudah
diterapkan sejak dari awal, tetapi justru yang terjadi adalah sebaliknya. Dimana pada
Teluk Katurai terdapat pengrusakan dan pencemaran sumberdaya laut yang melewati
batas toleransi.
Secara geografis, dan faktor alam teluk katurai merupakan daerah yang sangat
strategis untuk sektor perikanan dan sektor pariwisata, dimana pada teluk ini dengan
ombaknya yang cukup tenang, dengan ekosistim hutan mangrove disepanjang pantainya
dan dasarnya lautnya terdapat ekosistim terumbu karang, sehingga memiliki potensi
untuk dikembangkan dan menjadi asset daerah dalam meningkatkan penerimaan
keuangan daerah.
Dengan telah terjadinya pengrusakan dan pencemaran tersebut perlu segera
dilaksanakan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan secara terpadu dengan
melibatkan berbagai pihak. Dari pemerintah Daerah yaitu melalui Dinas/Instansi terkait,
sedangkan dari pihak masyarakat adalah melalui Lembaga Lokal terutama sekali
Lembaga Adat dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Langkah-langkah yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan
Pokok-pokok Reformasi tersebut masih terdapat berbagai kelemahan terutama dari segi
hukum seperti Undang-undang Lingkungan Hidup. Walau berapapun beratnya sanksi
yang diberikan kepada orang yang melanggar Undang-undang tersebut, tetapi dalam
pelaksanaan dilapangan belum diiringi dengan pengawasan sebagaimana mestinya dan
bahkan tidak tertutup kemungkinan aparat penegak hukum sendiri yang melakukan
pelanggaran, seperti yang terjadi di Kecamatan Siberut Selatan adanya oknum dari aparat
keamanan yang melindungi orang-orang yang melakukan kegiatan yang menyalahi
Undang-undang Lingkungan Hidup dan bahkan oknum aparat itu sendiri yang menjual
potasium Cyianida. Dengan kondisi tersebut bagaimana supremasi hukum bisa ditegakan.
Mengingat telah disetujuainya Undang-undang tentang pembentukan Kepulauan
Mentawai menjadi Kabupaten yang otonom, maka tentu dengan sendirinya wilayah
pesisir akan menjadi pusat pembangunan. Kondisi tentu dapat dipastikan karena
Kepulaun Mentawai yang terdiri dari pulau-pulau kecil, sehingga kawasan pesisir
merupakan daerah yang strategis untuk dijadikan sebagai tempat pengembangan sentrasentara ekonomi.
Untuk itu dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan sangat perlu unsur
lembaga adat ini dimasukan dalam perencanaan program-program pembangunan, karena
keberadaan Lembaga Adat ini sangat dihormati, khususnya di Desa Katurai. Sebagai
contoh bagaimana peraturan-peraturan yang telah ada ditinjau kembali dan dilakukan
perbaikan-perbaikan dengan memasukan unsur-unsur adat yang bisa disinkronkan dengan
12

peraturan-peraturan itu sendiri, sehingga dalam pelaksanaannya Lembaga Adat
mempunyai suatu kekuatan dan mempunyai eksistensi di tengah-tengah masyarakat. Hal
tersebut dapat diwujudkan melalui Peraturan Daerah (PERDA).
VII. PENUTUP.
7.1. Kesimpulan.
Dari uraian terdahulu dapat disimpulkan sebagai berikut :


Masyarakat Desa Katurai secara tradisionil telah menerapkan konsep
pembangunan berkelanjutan (susteinable development), dimana dalam
memanfaatkan sumberdaya alamnya masyarakat selalu memperhatikan
kesimbangan, sesuai dengan aturan leluhur yang turun temurun serta sesuai dengan
kepercayaan yang mereka anut.



Kerusakan sumberdaya alam, khususnya sumberdaya pesisir dan lautan di Desa
Katurai disebabkan nelayan-nelayan pendatang dan lemahnya pengawasan.
Disamping itu dalam pengelolaan yang dilaksanakan unsur lembaga lokal, terutama
lembaga adat belum dilibatkan dalam perencanaan.

7.1. Kesimpulan.
Agar dalam pelaksanaan pembangunan dapat terlaksana sesuai dengan rencana
yang telah ditetapkan dan sesuai dengan aspirasi masyarakat, maka dalam perencanaan
pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan perlu dilaksanakan sebagai berikut :


Mengakui keberadaan lembaga adat dalam masyarakatnya sendiri dan membina
serta melibatkannya dalam penyusun program-program pengelolaan yang akan
dilaksanakan.



Produk-produk hukum (PERDA) yang dibuat oleh DPRD Tingkat II bersama
Pemerintah Daerah yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan
lautan harus memperhatikan aspek-aspek sosial dan budaya, dan sebelumnya harus
dilakukan Loka Karya dengan melibatkan seluruh Dinas Instansi terkait termasuk
Lembaga Adat yang terdapat di daerah yang bersangkutan.

13

Daftar Pustaka
Adiwibowo Soeryo, Catatan Perkuliahan Mata Ajaran Sistim Sosial Budaya-Hukum
Masyarakat Pesisir.(SPL. 521)
Dauhuri Rokhmin dkk, Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara
Terpadu, PT. Pradnya Paramita, Jakarta 1996.
Hakim Muhammad Nyak Pha, Kelembagaan, Materi Diklat TMPP, Kerja sama
Bappenas, Depdagri dan Unversitas Syiah Kuala, Darussalam Banda Aceh,
1995.
Hakim Muhammad Nyak Pha, Faktor Sosial Budaya Dalam Perencanaan, Materi
Diklat TMPP, Kerja sama Bappenas, Depdagri dan Unversitas Syiah Kuala,
Darussalam Banda Aceh, 1999.
MZ. Lawang Robert, Pengantar Sosiologi Modul 1-5, Karunika Universitas Terbuka,
Jakarta 1986.
Mega Strukturindo Consultant. PT, Perencanaan Tapak Kawasan dan RTBL Siberut
Selatan Sumatera Barat, 1999.
Persoon Gerrard dan Schefold Reimar, Pulau Siberut, Bharata Karya Aksara : Jakarta,
1985.
Salmeno Yongki, Menyusuri Pelosok Mentawai, Puspa Swara : Jakarta, 1994.
Saby Yusny, Pembangunan Nasional dan Peranan Lembaga Lokal, Materi Diklat TMPP,
Kerja sama Bappenas, Depdagri dan Unversitas Syiah Kuala, Darussalam Banda
Aceh, 1998.
Warsilah Henny dan Wahyono Ary, F Aspek Sosial Budaya Pada Strategi
Pengembangan dan Pengelolaan Ekosistim Pulau-Pulau Kecil Di Sulawesi
Utara, Pusat Penelitian dan Pengembangan Masyarakat dan Kebudayaan
LIPIMateri Diklat TMPP, Kerja sama Bappenas, Depdagri dan Unversitas Syiah
Kuala, Darussalam Banda Aceh, 1999.

14

15