PERANAN HUKUM TERHADAP NORMA SOSIAL MAKA

PERANAN HUKUM TERHADAP NORMA SOSIAL
MAKALAH

Sebagai syarat memenuhi tugas mata kuliah : Pengantar Ilmu Hukum
Dosen Pengampu: Mabarroh Azizah, S.H.I,. M.H.

Disusun oleh:
1. Hattal Janah
2. Mochamad Syafrudin
3. Nailal Fauzi AL Akhsan

1717302063
1717302074
1717302081

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
JURUSAN ILMU-ILMU SYARI’AH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PURWOKERTO
2018
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam realitanya, manusia adalah makhluk yang tidak dapat hidup sendiri
dimanapun ia berada. Secara naluriah, manusia selalu hidup bersama dengan sesamanya
dalam suatu masyarakat. Karena hanya dengan hidup bermasyarakat, manusia dapat
mempertahankan hidupnya. Hal ini disebabkan kebutuhan hidup manusia hanya akan
terwujud dan terpenuhi apabila manusia hidup berdampingan dengan manusia lainnya.
Sehingga makna hidup bermasyarakat sangat besar bagi manusia lainnya dalam
kehidupan bermasyarakat, kemungkinan terjadinya konflik dalam masyarakat ini
memaksa untuk perlunya diadakan suatu norma-norma dalam kehidupan bermasyarakat
sebagai pedoman dalam bertingkah laku, yang kemudian disebut sebagai norma sosial.
Jika kita berbicara tentang ilmu hukum secara tidak langsung juga berkenaan
dengan norma. Hukum menurut seorang penganut paham positivis “Van Kan” adalah
keseluruhan aturan hidup yang bersifat memaksa untuk melindungi kepentingan manusia
di dalam masyarakat.1 Teori hukum membentuk konsep-konsep hukum yang relevan
dalam rangka pelaksanaan tugas dogmatik hukum yaitu deskripsi, sistemasi, dan
interpretasi, norma pasti bertumpu pada konsep-konsep hukum tertentu yang telah
disediakan sebelumnya sebagai hasil pengolahan teori hukum.2 Yang menjadi objek ilmu
hukum ialah norma (kaidah baik) yang ditetapkan atau dipositifkan oleh rule-making

authority maupun yang diakui atau diterima begitu saja dalam pergaulan hidup manusia.
Norma adalah aturan atau pedoman perilaku dalam suatu kelompok tertentu.
Norma berisi petunjuk-petunjuk untuk hidup, dimana di dalamnya terdapat perintah atau
larangan bagi manusia untuk berperilaku sesuai dengan aturan yang ada, sehingga
tercipta sebuah kondisi yang disebut keteraturan dan ketertiban. Hukum sebagai aturan
ataupun pedoman yang ada terlebih dahulu sebelum adanya ilmu sosial yang didalamnya
menyangut tentang norma sosial (kaidah penataan kehidupan manusia), tentunya hukum
lahir supaya norma-norma (kaidah penataan kehidupan manusia) dapat ditangani secara
sistematis.3 Kebiasaan merupakan sumber hukum yang ada di dalam kehidupan sosial
masyarakat dan dipatuhi sebagai nilai-nilai hidup yang positif. Kebiasaan menjadi peran
penting dalam pembentukan hukum di suatu masyarakat.
1 Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), hlm. 20.
2 Titon Slamet Kurnia, dkk, Pendidikan Hukum, Ilmu Hukum dan Penelitian Hukum di Indonesia, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 103-104.
3 Ibid, hlm. 90.

Hukum ada karena adanya sebuah hubungan antara individu dengan individu
lainnya yang tidak mungkin dalam hidup bersama tidak adanya aturan atau pedoman
berkehidupan bersama. Pastilah dipastikan jika tidak ada hukum, efek yang terjadi dalam
masyarakat akan kacau dan tidak beraturan. Karena kepentingan individu satu dengan

lainnya jelas terbentur. Setelah ada hukum nantinya bagi yang melanggar pasti terdapat
sanksi yang harus ditempuh olehnya. Eksistensi sanksi inilah yang memberikan peranan
penting bagi terciptanya masyarakat yang mempunyai cita-cita tercapainya sebuah
keadilan, ketenteraman, kenyamanan di dalam suatu kelompok masyarakat tertentu.
Karena adanya sanksi memberikan rasa aman bagi mereka yang secara bersama-sama
menjalankan hidup bersama. Tentunya terbentuknya hukum ini karena adanya
kemampuan individu atau kelompok untuk melaksanakan kemauannya meskipun harus
menghadapi pihak lain yang menentangnya, yang biasa disebut demgan kekuasaan.
Kemampuan untuk dapat melaksanakan keinginan tersebut disebabkan oleh kekuatan
fisik, keunggulan psikologis, atau kemampuan intelektual. Dalam makalah ini akan
dipaparkan tentang

apa yang telah disinggung diatas, tentunya untuk menambah

khazanah keilmuan dalam mengerti benar akan hukum sebagai norma sosial maupun
eksisten-eksistensi yang berkaitan dengannya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana peranan hukum dan eksistensi-eksistensi yang berkaitan dengannya
terhadap norma sosial yang ada di dalam masyarakat?


BAB II
PEMBAHASAN
A. Eksistensi Hukum dalam Hidup Bermasyarakat serta Arti Penting Hukum dalam
Kedua Aspek Manusia
Hukum tidak dapat diketahui pasti sejak kapan ia ada. Jika mengikuti ungkapan
klasik seorang Filsuf Romawi (Cicero) yang berbunyi “ubi societas ibi ius” yang berarti

hukum ada sejak masyarakat ada.4 Dengan demikian dapat diketahui bahwasannya
masyakat juga tidak dapat diketahui secara pasti kapan ada. Namun, dilihat dari segi
historis tidak pernah dijumpai adanya kehidupan manusia secara soliter di luar bentuk
hidup bermasyarakat.
Hidup bermasyarakat merupakan modus survival bagi makhluk manusia, artinya
hanya dalam hidup bermasyarakat manusia dapat melangsungkan hidupnya. Hal ini
berarti manusia tidak mungkin hidup secara atomistis dan soliter. Tidak dapat. Disamping
itu tidak ada catatan sejarah sejak kapan manusia mulai dapat berbicara yang dapat
dipahami oleh sesamanya. Teori Evolusi Darwin sekalipun tidak dapat menerangkan
sejak fase evolusi manakah manusia mulai dapat mengembangkan bentuk komunikasi
lewat simbol-simbol arbitrer yang disebut bahasa. Jenis mamalia yang mendekati
manusia pun tidak dapat berbicara. Hala ini berarti antara manusia dan mamalia yang lain
memang tidak pernah satu moyang. Masing-masing diciptakan secara spontan oleh Sang

Pencipta. Dengan kemampuan berbicara bisa dibangun komunikasi antara sesama
manusia dalam lingkungannya. Melalui komunikasi semacam inilah manusia dapat
mengekspresikan perasaannya kepada sesamanya dan hal ini juga mempererat pola hidup
bersama. Seorang ahli juga pernah mengemukakan pendapatnya, yaitu Filsuf Aristoteles.
Dikataknnya istilah ’’Zoon Politicon’’, yang artinya manusia pada dasarnya merupakan
manusia mahluk yang suka bermasyarakat.5
Dengan demikian, dalam hidup bermasyarakat manusia terdapat dua aspek, yaitu
aspek fisik dan aspek eksistensial. Aspek fisik merujuk kepada hakikat manusia sebagai
makhluk yang secara ragawi benar-benar hidup. Adapun aspek eksistensial berkaitan
dengan keberadaannya yang berbeda dengan makhluk hidup lainnya.6 Sebagai makhluk
hidup secara fisik, untuk mempertahankan kehidupannya seperti makan, minum,
melindungi diri dan lain sebagainya. Akan tetapi untuk mempertahankan eksistensinya
manusia bukan hanya membutuhkan sarana-sarana fisik semacam itu. Jika untuk
melangsungkan

keturunan,

manusia

membutuhkan


aktifitas

seksual,

untuk

mempertahnkan eksistensinya, manusia membutuhkan cinta kasih. Pada tingkat
keamanan fisik ada gangguan berupa kelaparan, penyakit, dan lain sebagainya,
4 Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), hlm. 20.
5 Siti Khasinah, “Hakikat Manusia Menurut Pandangan Islam dan Barat”. Jurnal Ilmiah DIDAKTIKA. Vol. XIII
No.2, 2013, hlm. 297.
6 Christiani Widowati, “Hukum Sebagai Norma Sosial Memiliki Sifat Mewajibkan”. Jurnal Hukum . Vol.4 No.1,
2005, hlm. 155.

sedangkan pada tingkat keamanan eksistensial berupa rasa takut, diasingkan, kesepian,
dan lain sebagainya.
Dari aspek eksistensial manusia yang tadi disebutkan membutuhkan cinta dan kasih
dan keinginan untuk tetap eksis dalam kebersamaan; menggerakkkan akal pikiran
manusia


untuk

menciptakan

pranata-pranata

(aturan-aturan)

dalam

kehidupan

bermasyarakat. Pranata adalah aturan-aturan yang dibentuk oleh sebuah masyarakat yang
bersifat mengikat. Tujuannya terbagi menjadi dua hal, yaitu:
a. Untuk mengatur kehidupan ritual (mengatur hubungan antara manusia dengan sesuatu
diluar dirinya).
b. Untuk menjamin kehidupan yang teratur antara manusia dalam masyarakat
(dibentuklah norma yang dituangkan dalam aturan-aturan yang konkret, baik tertulis
maupun tidak tertulis yang kemudian disebut dengan hukum.

Dari proses bermasyarakat kemudian akan memunculkan hak dan kewajiban dari
masing masing individu dalam masarakat. Berdasarkan teori kehendak (Wilsmacht
Theori), hak adalah kehendak yang diperlengkap dengan kekuatan dan diberi oleh tata
tertib hukum kepada seseorang. Teori itu dianut oleh Bernhard Winscheid. Sedangkan
kewajiban merupakan beban yang diberikan oleh hukum kepada subjek hukum. 7 Antara
hak dan kewajiban ini harus seimbang dengan kata lain hak dan kewajiban harus selaras,
tidak dapat berdiri masing-masing untuk menjamin tidak terjadi benturan kewajiban antar
individu dan masyarakat itulah yang mengharuskan hadirnya hukum. Dengan hadirnya
hukum, diharapkan akan menjadikan kehidupan dalam masyarakat menjadi kondusif.
Dari situ dapat ditarik kesimpulan bahwa didalam setiap kelompok masyarakat akan
hidup hukum yang berfungsi mengatur kehidupan baik diinginkan maupun tidak
diinginkan keberadaan hukum oleh masyarakat, sudah pasti sistem hukum akan terbentuk
dalam masyarakat. Oleh sebab itu, disetiap kelompok masyarakat mempunyai karakter
hukum masing masing.
Kaum positivis, seperti John Austin dan H.J.A. Hart memandang bahwa hukum
sebagai aturan yang dibuat oleh penguasa. Meskipun Hart juga mengemukakan masalah
moral, ia tetap saja seorang positivis karena ia menangkap makna moral dari segi
kebutuhan fisik manusia yang diamati.8 Sebagaimana telah dikemukakan bahwa hidup
bermasyarakat manusia mempunyai dua aspek, yaitu aspek fisik dan aspek eksistensial
manusia. Hukum sebagai produk budaya timbul dan berkembang bukan sekedar

7 Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 90.
8 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Prenada Media Group, 2016), hlm. 56.

memenuhi aspek fisik, melainkan juga untuk memenuhi aspek eksistensial manusia
dalam hidup bermasyarakat. Perlunya aturan, Hart berpangkal dari pandangan bahwa
manusia dalam hidup bermasyarakat melakukan kelaziman-kelaziman tertentu, yang
kemudian kelaziman itu di generalisasi. Berdasarkan generalisasi-generalisasi yang nyata
mengenai hakikat manusia dan dunia tempat manusia itu hidup dapat ditunjukkan bahwa
sepanjang dipandang baik, ada aturan tingkah laku tertentu yang harus diadopsi oleh
organisasi sosial apabila ia ingin bertahan.
Aturan-aturan itu pada kenyataannya menjadi unsur bersama dalam hukum dan
moralitas konvensional bagi semua masyarakat yang pada titik tertentu dapat dibedakan
dari sarana kontrol sosial lainnya. Pikiran Hart tersebut menunjukkan bahwa hukum
berpangkal dari sesuatu yang bersifat empiris. Prinsip-prinsip tingkah laku yang
mempunyai dasar kebenaran elementar mengenai kemanusiaan, lingkungan alamnya, dan
tujuannya oleh Hart disebut minimum content of natural law. Minimum content of natural
law inilah yang menjadi alasan manusia untuk menaati aturan yang dibuat manusia guna
melanjutkan hidup bermasyarakat.9 Yang disebut moral dalam kerangka pikir Hart adalah
nalar yang berdasarkan pada minimum content of natural law, sehingga seseorang tidak
melanggar aturan yang dibuat oleh masyarakat dalam rangka mempertahankan kehidupan

masyarakat.
Minimum content of natural law yang diungkapkan Hart mencangkup berbagai hal,
yaitu:10
a. Human Vulnerability, yaitu manusia sebagai makhluk yang rentan.
Maksudnya apa yang ditentukan baik pada moral maupun hukum sebagian
besar tidak terdiri dari tindakan-tindakan yang harus dilakukan melainkan
terdiri atas larangan-larangan. Larangan yang sangat penting dalam kehidupan
sosial adalah larangan membunuh dan membuat orang lain terluka. Larangan
demikian disebabkan secara fisik, manusia merupakan makhluk yang sangat
rentan. Jika mengabaikan hal ini maka tidak ada artinya ajaran “jangan
membunuh” yang merupakan nalar yang paling menentukan hukum dan
moral.
b. Apporoximate Equality, yaitu adanya keadaan yang hampir sama antara satu
manusia dan manusia lainnya. Walupun manusia dikatan berbeda satu sama
9 Ibid., hlm. 57.
10 Ibid., hlm. 57-60.

lain dari segi kekuatan fisik, kecekatannya, dan bahkan kapasitas
intelektualnya, akan tetapi pada kenyatannya tidak ada seorang pun yang
secara fisik jauh lebih kuat dari yang lain sehingga tanpa bantuan orang lain,

orang tersebut mampu menundukkan dan menguasai orang lain dalam waktu
yang lama. Bahkan orang yang paling kuat sekalipun perlu tidur dan pada saat
tidur itulah ia kehilangan kekuatannya.
c. Limited Altruism, yaitu altruism terbatas. Maksudnya manusia bukan setan
yang dikuasai oleh keinginan saling membinasakan dan bukan pula egois
tanpa peduli akan kelangsungan hidup dan kesejahteraan sesamanya. Akan
tetapi, manusia bukan juga malaikat. Manusia adalah makhluk yang berada
pada dua kutub ekstrem tersebut yang memungkinkan adanya sistem
pengekangan.
d. Limited Resources, yaitu terbatasnya sumber daya. Maksudnya tidak dapat
dipungkiri bahwa manusia butuh pangan, sandang, dan papan yang semua ini
tidak terrsedia secara melimpah melainkan harus diperoleh karena jumlahnya
terbatas.
e. Limited Understanding and Strength of will, yaitu terbatasnya pemahaman
dan daya kemauan. Sederhannya aturan memang harus ditaati, akan tetapi
pemahaman mengenai kepentingan jangka panjang dan daya kemauan yang
baik untuk menaati aturan dengan berbagai motivasi-motivasi tersebut tidak
sama pada setiap anggota masyarakat.
B. Hukum dan Kebiasaan
Memang sering kali pada masyarakat primitif kebiasaan diidentikan dengan hukum.
Hal itu disebabkan sebelum lahirnya antropologi modern, awal kehidupan bermasyarakat
dipelajari berdasarkan spekulasi yang abstrak dan bukan pada penelitian lapangan atas
masyarakat primitif. Sebagai suatu norma sosial, hukum, merupakan suatu produk
budaya. Oleh karena merupakan suatu produk budaya, hukum hadir dalam masyarakat
dalam bentuk budaya apapun. Pada masyarakat primitif pun sudah dijumpai hukum.
Malinowsky menegaskan bahwa pada suatu masyarakat primif hukum timbul dari
kebutuhan masyarakat. Gagasan itu terungakap bahwa ketika masyarakat tertentu hidup
bersama, masyarakat tersebut menghasilkan pola tingkah laku tertentu. 11 Anggotaanggota masyarakat harus memenuhi kebutuhan fisik, biologis, dan sosial sehingga
11 Hilman Hadikusuma, Pengantar Antropologi Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1992), hlm. 48.

mereka harus berusaha untuk bekerjasama dengan sesamanya dalam suatu kehidupan
bermasyarakat. Seorang anggota masyarakat tidak bebas bertindak melainkan harus
mengingat apa yang di bolehkan oleh kelompoknya. Kebutuhan yang bermacam-macam
dari setiap anggota masyarakat harus diselaraskan dengan kebutuhan kelompok.
Semuanya tidak mungkin dikerjakan sendiri, melainkan harus dikerjakan bersama-sama.
Dengan demikian hukum bereksistensi sebagai hasik kerjasama suatu masyarakat. Oleh
karena hidup bermasyarakat merupakan modus survival bagi manusia, hukum merupakan
suatu yang inheren dengan kehidupan masyarakat.
Kebiasaan merupakan tindakan yang selalu dilakukan dan dipelihara oleh
sekelompok orang. Tindakan tersebut dapat berupa ritual, dalam rangka peristiwa penting
dalam kehidupan manusia, seperti kelahiran, perkawinan, kematian, dan juga dapat
berupa sekedar norma pergaulan, seperti berpakaian, memberi hadiah, dan lain
sebagainya. Pelanggaran suatu peristiwa penting menimbulkan reaksi masyarakat
terhadap si pelanggar. Pada masyarakat primitif pelanggar tersebut dapat diasingkan dari
masyarakatnya. Norma demikian merupakan norma kebiasaan. Norma kebiasaan dapat
juga berupa aturan untuk harta perkawinan, hak asuh anak dan pengalihan hak milik
karena kematian.12
Studi yang menarik adalah studi masyarakat Indian Cheynne yang dilakukan oleh
Llewlyn dan Hoebel. Mereka mempunyai postulat bahwa dalam setiap masyarakat
terdapat tiga unsur, yaitu kelompok, keinginan yang berbeda, dan gugatan-gugatan
anggota kelompok satu terhadap kelompok yang lainnya juga terhadap kelompok itu
sendiri. Apabila kelompok itu ingin menjadi suatu masyarakat, masalah-masalah itu harus
diselesaikan. Llewlyn dan Hoebel secara tepat menyatakan bahwa untuk menyelesaikan
masalah itu tidak akurat digunakan kebiasaan mores.13
M.m.djojodiguno hukum adat dijelaskan olehnya bahwa ‘’hukum adat memandang
masyarakat sebagai paguyuban artinya sebagai satu hidup bersama, dimana manusia
memandang sesamanya sebagai tujuan, dimana perhubungan- perhubungan manusia
menghadapi sesama manusia dengan segala perasaannya, dengan segala sentimenya,
sebagai cinta, benci, simpati, antipasti, dan lain sebagainya yang baik dan yang kurang
baik. Selaras dengan pandanganya atas masyarakat maka dihadapilah oleh hukum adat
manusia itu dengan kepercayaan sebagai orang yang bertabiat anggota masyarakat.
12 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu….., hlm. 51.
13 Ibid., hlm. 52.

Artinya sebagai manusia yang menghargai benar berhubungan damai dengan sesama
manusia, oleh karenanya sedia untuk menyelesaikan segala perselisihan dengan
kerukunan, dengan perdamaian, dengan kompromis, artinya tidak sebagai satu masalah
pengadilan yang berdasarkan soal benar salahnya satu peristiwa yang bersifat represif,
melainkan sebagai satu masalah kerukunan yang ditujukan kepada tercapainya satu
perhubungan damai didalam masa datang dan oleh karenanya bersifat teleologis.
Perbedaan pandangan atas masyarakat dan manusia itu menimbulkan pula perbedaan sifat
mengenai soal yang sangat penting dalam pengetahuan hukum, yaitu soal kepastian
hukum dan keadilan hukum.”14 Hukum kebiasaan terjadi tanpa perlu adanya formalitas
atau tanpa perlu ditetapkan oleh mereka yang mempunyai kedudukan politis lebih tinggi.
Menurut pandangan ini, hukum pada masyarakat primitif bukan timbul dari
kebiasaan-kebiasaan yang bersifat sengketa, melainkan merupakan praktik-praktik seharihari yang didasarkan atas pertimbangan rasional memberi dan menerima dalam suatu
pergaulan sosial. Pandangan demikian mengasumsikan bahwa pada masyarakat primitif,
hukum tidak dipaksakan dari atas tetapi tumbuh dari bawah sebagai hasil dari hubungan
kerjasama diantara anggota anggota masyarakat.
Untuk timbulnya hukum kebiasaan itu diperlukan syarat-syarat tertentu, yaitu:15
a. Harus ada perbuatan atau tindakan yang semacam dalam keadaan yang sama dan
harus selalu diikuti oleh umum. Maksudnya seluruh rakyat tidak usah ikut
menimbulkan kebiasaan itu, melainkan hanyalah golongan golongan orang yang
berkepentingan saja. Kebiasaan-kebiasaan setempat dibentuk oleh penduduk
tempat itu; kebiasaan dalam lapangan perdagangan dibentuk oleh para pedagang,
kebiasaan yang ada dalam bidang sewa menyewa dibentuk oleh si penyewa dan
orang yang menyewa.
b. Harus ada keyakinan

hukum

dari

pada

golongan

orang-orang

yang

berkepentingan. Keyakinan hukum ini dalam bahasa latin diisebut “Opinion Juris
Seu Neces Sitatis’’. Keyakinan hukum ini mempunyai dua arti, yaitu:
1. Keyakinan hukum dalam arti material, artinya suatu keyakinan bahwa suatu
hukum, atau keyakinan bahwa suatu aturan itu membuat hukum yang baik.
Jadi yang dilihat isinya, apakah isi suatu aturan itu baik atau tidak.

14 Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi….., hlm. 75-76.
15 Hartono Hadisoeprapto, Pengantar Tata Hukum indonesia, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1998), hlm. 17-18.

2. Keyakina hukum dalam arti formil, artinya orang yakin bahwa aturan itu harus
diikuti dengan taat dan dengan tidak dengan mengingat akan nilai daripada isi
aturan tadi.
C. Hukum dan Norma Sosial Lainnya
Disamping hukum, terdapat norma sosial lainnya yaitu agama, moral, dan etika
tingkah laku. Norma-norma itu memberi petunjuk, tongkat, pengarah tentang bagaimana
manusia bertingkah laku dan mempertahankan eksistensinya dalam kehidupan
bermasyarakat. Hukum dan norma sosial lainnya tersebut dapat dibedakan dari berbagai
segi, yaitu segi tujuan adanya norma itu, wilayah pengaturannya, asal mengikatnya, dan
isi norma tersebut. Dalam perbincangan ini manusia sebagai figur sentral yang diatur
ditempatkan sebagai makhluk yang dualistis. Dilihat dari hubungan manusia dan manusia
lainnya, manusia dapat dibedakan menjadi manusia pribadi dan sebagai komponen dalam
kehidupan sosial. Dalam kaitannya dengan manusia sendiri, manusia juga mempunyai
dua aspek, yaitu aspek batiniyah dan lahiriyah. Meskipun norma-norma itu merupakan
norma sosial, sasaran pengaturan norma masing-masing hanya menitikberatkan kepada
salah satu aspek manusia, aspek pribadi manusia atau aspek sosial saja, aspek batiniyah
atau aspek lahiriyah saja, namun keduanya mempunyai implikasi yang sangat erat.
Hukum menitikberatkan kepada pengaturan aspek manusia sebagai makhluk sosial
dan aspek lahiriyah manusia. Diliat dari segi tujuannya, norma hukum diadakan dalam
rangka mempertahankan bentuk kehidupan bermasyarakat sebagai mode survival.
Meskipun hukum adakalanya mengatur kehidupan manusia sebagai pribadi, pengaturan
tersebut dimaksudkan dalam rangka individu itu dalam berinteraksi dengan individu
lainnya atau antara individu dengan kelompok. Dilihat dari segi isi dan wilayah
diaturnya, hukum mengatur tingkah laku lahiriyah manusia. Ulpianus menyatakan
bahwasannya: “Tidak seorangpun yang dipidana karena berpikir.” Dalam bahasa Belanda
dikenal ungkapan “gedachten zijn tolvrij”, yang artinya orang bebas berpikir asal jangan
diucapkan. Oleh karena sasaran pengaturan hukum adalah tingkah laku lahiriyah
manusia, hukum tidak akan bertindak manakala tindakan seseorang tersebut tidak
melanggar aturan hukum, meskipun batin orang tersebut sebenarnya ingin melakukan
tindaklan yang melanggar hukum. Namun demikian, tidak dapat disangkal bahwa hukum
juga adakalnya memasuki wilayah batin seseorang. Dilihat dari segi asal kekuatan

mengikatnya, hukum mempunyai kekuatan mengikat karena ditetapkan oleh penguasa
atau berkembang dari praktik-praktik yang telah diterima oleh masyarakat.16
D. Eksistensi dari Sanksi
Pada hakikatnya tatanan keagamaan, kesopanan, kesusilaan, dan kebiasaan, sebelum
diresepsi sebagai hukum, kekuasaannya tidak sama kuatnya dengan kekuasaan hukum
(E.utrech,1961:18). Adapun yang menjadi sebab adanya perbedaan kekuasaan diantara
bermacam-macam tatanan itu adalah perbedaan legitimasi sanksinya.17
Yang dapat memberi atau memaksakan sanksi terhadap pelanggaran kaidah hukum
adalah penguasa, karena dalam penegakan hukum jika ada hal pelanggaran menjadi
monopoli penguasa. Penguasa mempunyai kekuasaan

untuk memaksakan sanksi

terhadap pelanggaran kaidah hukum. Hakikat kekuasaan tidak lain adalah kemampuan
seseorang untuk memaksakan kehendaknya kepada orang lain.
Adapun yang dimaksud dengan sanksi adalah akibat sesuatu perbuatan atau suatu
reaksi dari pihak lain (manusia atau organisasi sosial) atas sesuatu perbuatan.
(E.utrech,1961:18).18 Umumnya yang dianggap merupakan perbedaan yang menonjol
antara tatanan hukum dan tatanan masyarakat lainnya ialah sanksinya. Pandangan seperti
ini persis dengan karakteristik pandangan kaum positivis. 19 Menurut mereka sebagian
besar teori hukum baik secara eksplisit maupun implisit, bahwa yang membedakan
norma hukum dan norma lainya adalah sanksi. Walaupun sanksi tatanan hukum bersifat
memaksa tidak berarti bahwa sanksi atas pelanggaran terhadap tatanan masyarakat lainya
sama sekali tidak memaksa, karena sanksi masyarakat meskipun bersifat teguran, ataupun
celaan dirasakan juga sebagai tekanan atau paksaan sehingga orang akan merasa tidak
senang untuk melanggarnya.
Kesadaran atau ketaatan orang kepada tatanan hukum bukanlah semata mata hanya
didasarkan pada sanksi yang bersifat memaksa, melainkan juga karena didorong alasan
keagamaan dan kesusilaan.
Secara tegas L.J.van Apeldoorn menyatakan bahwa sanksi bukan elemen yang
esensial dalam hukum, melainkan elemen tambahan. Menurutnya ajaran yang
menyatakan bahwa ciri hukum terletak pada sanksi adalah suatu yang kontradiktif
terhadap dirinya sendiri. Kemudian juga ia menyatakan bahwa hukum suatu negara
16 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu….., hlm. 77-79.
17 Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar Ilmu…., hlm. 23.
18 Ibid., hlm. 23.
19 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu….., hlm. 67.

dalam banyak hal merupakan penuangan dari asas-asas dan norma-norma agama, moral,
dan sosial yang didukung kesadaran masyarakat. 20 Meskipun pada setiap pelanggaran
norma hukum pada dasarnya dikenakan sanksi hukum, tetapi juga ada dalam normanorma hukum tertentu yang tidak dikenakan sanksi. Hal itu merupakan pengecualian
hukum. Hal itu dimungkinkan karena adanya alasan pembenaran dan perbuatanperbuatan tersebut pada hakikatnya merupakan pelanggaran norma hukum, tetapi tidak
dikenakan sanksi atau tidak dijatuhi hukuman karena pelaku pelanggaran dibebaskan dari
kesalahan.21 Adapun alasan pembenaran atau menghapus anasir melawan hukum seperti:
a. Keadaan Darurat (Noodtoestand)
Keadaan darurat merupakan pertentangan antara kepentingan hukum(conflict
Van rechtsbelangen) atau suatu pertentangan antara kepentingan hukum dan
kewajiban hukum (conflict Van rechtsbelangen rechtaplicht) dan pertententangan
antara kewajiban hukum(conflict Van rechtaplicht).
b. Pembelaan Diri Secara Darurat (Noodweer)
Pembelaan secara darurat merupakan salah satu alasan untuk dikecualikan
dari hukuman sebagai mana yang telah disebut dalam pasal 49 ayat (1)
KUHP.”Barang siapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan,karena ada
serangan atau ancaman ketika itu yang melawan hukum,terhadap diri sendiri
maupun orang lain,terhadap kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri
maupun orang lain, tidak dipidana”.
Unsur unsur atau elemen yang harus

dipenuhi dalam pasal 49 ayat (1)

KUHP,menurut Utrecht didalam bukunya Hukum Pidana 1 ialah sebagai berikut:
1. Adanya suatu serangan
2. Serangan diadakan sekonyong-konyong, atau suatu ancaman yang kelak akan
dilakukan.
3. Serangan itu melawan hukum.
4. Serangan itu dilakukan terhadap diri sendiri ,diri orang lain,kehormatan diri
orang lain,harta benda sendiri,atau harta benda orang lain.
5. Pembelaan terhadap serangan itu perlu diadakan yakni pembelaan itu bersifat
darurat.
20 Ibid., hlm. 71.
21 Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar Ilmu….., hlm. 26.

6. Alat yang dipakai untuk membela atau cara membela harus setimpal.
(E.Utrecht, 1958:364).
c. Melaksanakan Perintah Undang-Undang (Wettelijk Voorschrift)
Dalam pasal 50 KUHP ditentukan: ”barang siapa melakukan perbuatan untuk
melaksanakan ketentuan undang-undang tidak dipidana” Contoh,seorang polisi
mengawal tahanan kemudian tahanan itu memberontak dan kabur karena dalam
pengejaran tersebut tahanan sulit ditangkap dan tidak kunjung menyerahkan diri
maka polisi menembaknya dan tahanan itupun tewas. Walaupun ketentuan hukum
tidak membenarkan polisi untuk menembak mati,namun dalam hal ini tindakan
polisi tersebut dapat dibenarkan.
d. Melaksanakan Perintah Jabatan yang Sah (Bevoegdgezag)
Dalam pasal 51 ayat (1) kUHP (kitab undang undang hukum pidana)
ditentukan: “Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melakukan perintah
jabatan, perintah yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana”.
E. Hukum dan Kekuasaan
Jika kita terjun kedalam kenyataan kehidupan sehari-hari maka kita dapat benar
menyaksikan hal-hal yang diuraikan pada bagian terdahulu, yaitu yang membicarakan
tentang hukum sebagai institusi sosial. Di situ kita melihat, bahwa bekerjanya hukum itu
memang tidak dapat dilepaskan dari pelayanan yang diberikannya kepada masyarakat(di
sekelilingnya).
Singkat kata hukum itu tidak bekerja menurut ukuran dan pertimbangannya sendiri,
melainkan dengan memikirkan dan mempertimbangkan apa yang baik untuk
dilakukannya bagi masyarakat. Diatas, pertimbangan seperti ini muncul dalam bentuk
persoalan tentang bagaimana membuat keputusan yang pada akhirnya bisa memberikan
sumbangan terhadap efisiensi produk masyarakatnya.
Untuk menjalankan pekerjaan seperti itu, hukum membutuhkan suatu kekuatan
pendorong. ia membutuhkan kekuasaan. Kekuasaan ini memberikan kekuatan kepadanya
untuk menjalankan fungsi hukum22, seperti misalnya sebagai kekuatan pengintegrasian

22 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 146.

atau pengkoordinasi proses-proses dalam masyarakat. kita bisa mengatakan bahwa
hukum tanpa kekuasaannya tinggal sebagai keinginan-keinginan atau ide-ide belaka.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan\
Manusia adalah mahluk yang tidak dapat hidup sendiri dimana pun ia berada(mahluk
sosial). Hidup bermasyarakat merupakan modus survival bagi makhluk manusia, artinya
hanya dalam hidup bermasyarakat manusia dapat melangsungkan hidupnya.
Dalam mengelola kehidupannya seperti berinteraksi satu dengan yang lainnya ia
membutuhkan suatu aturan. Eksistensi hukum sangatlah penting guna menjadikan
ketertiban, keadilan, dan kesejahteraan. Dalam menjalankan hukum dibutuhkan suatu
kekuasaan. Kekuasaan tersebut berguna sebagai kekuatan pendorong terlaksananya
hukum.

DAFTAR PUSTAKA
Mas, Marwan. 2004. Pengantar Ilmu Hukum. Bogor: Ghalia Indonesia.
Arrasjid, Chainur. 2001. Dasar-dasar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Soekanto, Soerjono. 1999. Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: PT Grafindo Persada.
Mahmud Marzuki, Peter. 2016. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Prenada Media Group.
Hadikusuma, Hilman. 1992. Antropologi Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Rahardjo, Satjipto. 2001. Ilmu Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Hadisoeprapto, Hartono. 1998. Pengantar Tata Hukum Indonesia. Yogyakarta: Liberty
Yogyakarta.
Slamet Kurnia, Titon. 2013. Pendidikan Hukum, Ilmu Hukum, dan Penelitian Hukum di
Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Widowati, Christiani. 2005. “Hukum Sebagai Norma Sosial Memiliki Sifat Mewajibkan”, Jurnal
Hukum. Vol.4, No.1.
Khasinah, Siti. “Hakikat Manusia Menurut Pandangan Islam dan Barat”, Jurnal Ilmiah
DIDAKTIKA. Vol. XIII, No.2.