Hukum Militer Analisa Kasus Pemukulan A

Analisa Kasus Pemukulan Anggota TNI kepada Warga Sipil
A. Deskripsi Kasus
Satuan A melaksanakan penugasan di daerah X. Daerah X terkenal sebagai
daerah yang rawan akan gerakan sepratis bersenjata. Oleh karenanya
pengamanan di daerah tersebut dilaksanakan dengan ketat. Pada suatu hari
kopral H pulang dari tugas rutin di daerah perbatasan daerah X. Kopral H adalah
prajurit yang berprestasi. Berkali-kali ia sukses dalam penugasan militer
sebelumnya. Di tengah jalan ia bertemu dengan orang mabuk yang berbuat onar
dengan menggganggu warga sekitar. Melihat kejadian tersebut, sang kopral
datang untuk menasehati dan mencegah agar orang mabuk tersebut tidak
berbuat onar lagi. Namun usaha sang kopral sia-sia, orang mabuk tersebut tidak
menghiraukan dan tetap mengganggu warga sekitar. Karena jengkel sang kopral
memukul orang tersebut hingga tewas. Hal ini mengakibatkan sang kopral
menjalani proses hukum. Analisis kasus tersebut dari perspektif hukum pidana
militer.
B. Analisa Kasus
Menurut Undang-Undang No. 34 Tahun 2004, Tentara Nasional Indonesia
(TNI) sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia mempunyai
tugas untuk melaksanakan kebijaksanan pertahanan negara untuk menegakkan
kedaulatan


negara,

mempertahankan

keutuhan

wilayah

dan

melindungi

keselamatan bangsa, menjalankan oprasi militer untuk perang dan oprasi militer
selain perang serat ikut aktif dalam tugas pemeliharaan perdamaian regional dan
internasional. Menurut Pompe, dua kriteria hukum pidana khusus yaitu orangorangnya yang khusus maksudnya subyeknya atau pelakunya. Contoh hukum
pidana militer dan yang kedua ialah perbuatannya yang khusus. 1 Dalam segi
hukum, anggota militer mempunyai kedudukan yang sama dengan anggota
masyarakat biasa, artinya sebagai warga negara baginya pun berlaku semua
aturan hukum yang berlaku, baik hukum pidana dan hukum perdata.
Kejahatan militer biasa (military crime) yaitu perbuatan seseorang militer yang

bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum militer yang diberi sanksi pidana,
misalnya melakukan tindak pidana penganiayaan. Tindak pidana tidak hanya
1 Andi Hamzah, Perkembang Hukum Pidana Khusus, Jakarta: Ragunan, 1991. hlm 1.

1

meliputi ruang lingkup tindak pembunuhan, pencurian, dan sebagainya, tetapi
juga berkembang ke dalam tindak pidana kekerasan terhadap suatu kelompok,
perseorangan, dan baik itu masyarakat sekitar bahkan sehingga menimbulkan
adanya

tindak

kekerasan

atau

penganiayaan

tindak


kekerasan

dalam

masyarakat sebenarnya bukan suatu hal yang baru tindak kekerasan sering
dilakukan bersama maupun sendiri. Tindak pidana tersebut dilakukan dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan, Sedangkan cara bagaimana kekerasan
dilakukan atau alat bukti apa yang dipakai, Masing-masing tergantung pada
kasus yang timbul.
Mengenai tindak pidana yang dibahas adalah tindak pidana terhadap tubuh
yang bisa disebut juga sebagai penganiayaan. Banyak beberapa model dan
macam penganiayaan telah dilakukan dikalangan masyarakat sehingga dapat
menimbulkan kematian. Dalam hal ini seorang TNI memukul warga sipil hingga
tewas dikarenakan korban dalam keadaan mabuk dan mengganggu warga
sekitar akibatnya pelaku yang emosi memukul korban hingga tewas. Berkenaan
hal itu, dalam KUHP sendiri telah mengatur tentang macam-macam dari
penganiayaan beserta akibat hukum apabila melakukannya, Pasal yang
menjelaskan tentang penganiayaan ini sebagian besar adalah Pasal 351 sampai
dengan Pasal 355 KUHP. Penganiayaan diartikan sebagai “perbuatan yang

dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atas luka pada tubuh
orang lain”.
1. Menurut H.R. (Hooge Raad), penganiayaan adalah Setiap perbuatan yang
dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka kepada
orang lain, dan semata-mata menjadi tujuan dari orang itu dan perbuatan tadi
tidak boleh merupakan suatu alat untuk mencapai suatu tujuan yang
diperkenankan.2
2. Menurut Doctrine mengartikan penganiayaan sebagai, setiap perbuatan yang
dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang
lain.
Berkaitan hal itu, dalam ketentuan UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara
Nasional Indonesia (“UU TNI”), tidak dibatasi apakah anggota TNI tersebut
sedang menjalankan tugas atau tidak, sedang menggunakan seragam atau tidak,
sehingga dapat diartikan bahwa sekalipun anggota TNI tersebut tidak dalam
2 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Cetakan VIII, Jakarta: Rineka Cipta, 1993, hlm 55.

2

menjalankan tugas ataupun tidak menggunakan seragam, tetap wajib untuk
mematuhi ketentuan mengenai TNI. Dan apabila sikap anggota TNI bertentangan

dengan tugas pokok TNI sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU TNI
yang menyatakan bahwa :
“Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan
keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia
dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.”
Mengenai kasus dari tindakan pemukulan yang dilakukan oleh TNI terhadap
warga sipil, pada dasarnya telah ditentukan sebagaimana diatur dalam Pasal 9
ayat (1) UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer sebagai berikut :
“Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer berwenang:
(1) Mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu
melakukan tindak pidana adalah:
a. Prajurit;
b. yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan Prajurit;
c. anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang
dipersamakan atau dianggap sebagai Prajurit berdasarkan undangundang;
d. seseorang yang tidak masuk golongan pada huruf a, huruf b, dan huruf c
tetapi atas keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman
harus diadili oleh suatu Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.”

Dengan demikian, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
di atas, setiap anggota TNI yang sedang bertugas atau tidak, yang melakukan
tindak pidana diadili di pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. Secara
khusus, aturan tindak pidana yang dilakukan oleh anggota TNI tertuang dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM). Namun demikian, pada
praktiknya ketentuan yang digunakan bagi anggota TNI yang melakukan tindak
pidana selama dikategorikan sebagai tindak pidana umum, tetap menggunakan
aturan yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (“KUHP”) akan
tetapi tetap diadili di Pengadilan Militer. Dalam hal ini, anggota TNI yang
melakukan pemukulan terhadap warga dapat dikenakan Pasal 351 ayat (1), ayat
(2), atau ayat (3) KUHP yang menyatakan sebagai berikut :
3

“(1) Penganiayaan dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua
tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya empat ribu lima ratus
rupiah.
(2) Jika perbuatan itu berakibat luka berat, yang bersalah dipidana dengan
pidana penjara selama-lamanya lima tahun.
(3) Jika perbuatan tersebut menyebabkan matinya orang, maka yang bersalah
dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun.”

Jika unsur-unsur dalam tindak pidana mengenai penganiayaan ataupun
tindak pidana lainnya yang dilakukan oleh anggota TNI, diharapkan didapati
putusan pengadilan militer maupun peradilan umum yang memenuhi keadilan
dan kepastian hukum bagi pelaku, korban, ataupun bagi penegakan hukum itu
sendiri.
Dalam kasus ini, dimana terdapat seorang warga sipil mabuk mengganggu
warga lain dan oleh sang kopral di tegur namun tak menghiraukannya karena
kesal sang kopral memukulnya hingga tewas. Dari hal tersenbut, sang kopral
dapat dikenakan Pasal 351 ayat (3) KUHP, yakni “Jika perbuatan tersebut
menyebabkan matinya orang, maka yang bersalah dipidana dengan pidana
penjara selama-lamanya tujuh tahun.” Dan dikarenakan sang kopral adalah
prajurit TNI dimana bahwasannya merupakan bagian dari suatu masyarakat
hukum yang memiliki peran sebagai pendukung terbentuknya budaya hukum di
lingkungan mereka. Kesadaran hukum di lingkungan TNI tidak dapat diharapkan
akan tegak jika prajurit TNI sebagai pendukung budaya hukum tidak memberikan
kontribusi dengan berusaha untuk senantiasa mentaati segala peraturan yang
berlaku serta menjadikan hukum sebagai acuan dalam berperilaku dan bertindak.
Pemahaman tentang kesadaran hukum perlu terus di tingkatkan sehingga
terbentuklah perilaku budaya taat hukum dalam diri masing-masing individu
prajurit TNI. Prinsip supermasi hukum yang menempatkan hukum diatas segala

tindakan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia harus terus menerus
disosialisasikan kepada seluruh prajurit TNI secara meluas sehingga dapat
menjadi perilaku budaya baik dalam kedinasan maupun kehidupan sehari-hari.
Peningkatan dan penegakan hukum bagi prajurit TNI perlu dijadikan sebagai
perioritas kebijakan dalam pembinaan personel TNI, karena kurangnya
pemahaman hukum di kalangan prajurit TNI merupakan salah satu penyebab

4

terjadinya pelanggaran hukum di samping pengaruh-pengaruh lainnya baik yang
bersifat internal maupun eksternal.
Apabila seorang militer telah melakukan tindak pidana penganiayaan artinya
prajurit TNI tersebut telah melanggar hukum disiplin militer dan hukum pidana
militer, hal tersebut akan membawa dampak buruk bagi kesatuan dimana prajurit
tersebut dinas, dan bagi instansi TNI, karena atas perbuatan yang dilakukannya
akan menimbulkan penilaian negatif oleh masyarakat terhadap instansi TNI. Oleh
karena adanya

sesuatu


keadaan

yang khas militer atau karena adanya

sesuatu sifat yang lain, sehingga diperlukan ancaman pidana yang lebih
berat, bahkan mungkin lebih berat dari ancaman pidana pada kejahatan semula
dengan pemberatan tersebut dalam pasal 52 KUHP. Alasan pemberatan
tersebut, adalah karena
Pidana

Umum

itu

ancaman

pidana dalam Undang-Undang Hukum

dirasakan kurang memenuhi keadilan, mengingat hal-hal


khusus yang melekat pada seseorang militer. Pasal 52 KUHP yang berbunyi :
“Jikalau seorang pegawai negeri (ambtenaar) melanggar kewajibannya yang
istimewa kedalam jabarannya karena melakukan kejahatan perbuatan yang
dapat dipidana, atau pada waktu melakukan perbuatan yang dapat dipidana
memakai kekuasaan, kesempatan, atau daya upaya yang diperoleh karena
jabatannya, maka pidananya boleh ditambah dengan sepertiganya.”
Jadi dapat disimpulkan bahwa dari kasus tersebut sang kopral di kenakan
Pasal 351 ayat (3) KUHP karena melakukan tindak pidana penganiayaan yang
mengakibatkan kematian walaupun pada dasarnya sang kopral telah menegur
korban yang dalam keadaan mabuk dan mengganggu masyarakat sipil namun
tidk dihiraukan oleh korban dan sang kopral tidak bisa menahan emosinya lalu
memukulnya hingga tewas. Dan selain itu, dikarenakan sang kopral merupakan
seorang TNI dalam perkenaannya memiliki suatu kekhasan militer dikenakan
pula Pasal 52 KUHP yang ancaman pidananya diperberat dengan ditambah
sepertiganya.
Dalam hal mewujudkan keadilan yang menjadi segala sumber pengharapan
manusia, hal ini sesuai dengan pembukaan Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia 1945 alinea ke IV, yang berbunyi :
“kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintahan Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah

darah indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
5

kehidupan bangsa, dan ikut melakukan ketertiban dunia berdasarkan
kemerdekaan, perdamai abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah
kemerdekaan bangsa Indonesia itu dalam suatu Undang.undang Dasar
Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik
Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhan
yang Maha Esa, kemanusian yang adil dan beradab, persatuan Indonesia,
dan

kerakyatan

yang

dipimpin

oleh

hikmat

kebijaksaan

dalam

permusyawaratan atau perwakilan, serta dengan mewujudkan suatau
keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia”
Pancasila sila ke 1 yakni ”Ketuhanan yang Maha Esa“ dan sila ke 2 yakni
“Kemanusian yang adil dan beradab”, artinya perbaikan moral serta kesadaran
hukum dari masyarakat maupun aparat penegak hukum merupakan salah satu
upaya untuk mewujudkan penegakan hukum (supremasi hukum), guna
menciptakan rasa adil, aman, dan tertib bagi seluruh Bangsa Indonesia, yang
berlandaskan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Guna mewujudkannya dibutuhkan
hukum sebagai sarana untuk menciptakan rasa adil, aman, dan tertib bagi
seluruh Bangsa Indonesia, yang berlandaskan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
karenanya dalam Pasal 1 ayat (3) amandemen ke IV Undang-Undang Dasar
1945 menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum, sehingga
semua tindakan harus berdasarkan atas hukum.
Hukum merupakan keseluruhan peraturan tingkah laku yang berlaku dalam
suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan dengan suatu sanksi.
Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal dan damai, tetapi dapat
terjadi juga karena pelanggaran hukum, maka hukum harus ditegakan. 3
Pengakuan Indonesia sebagai negara yang berdasaran atas hukum, maka
segala sesuatunya di dalam negara hukum ini harus berdasarkan atas hukum.
Mulai dari menetapkan perbuatan yang boleh dan yang tidak boleh sampai
dengan menentukan sanksi terhadap pelanggaran yang telah ditentukan.
Sebagai refieksi dari suatu negara hukum antara lain asa persamaan didalam
hukum dan pemerintahan the right of legal equality, hal mana jelas dalam Pasal
27 Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatakan “segala warga negara
bersama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya”.
3 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 1896, hlm. 37.

6

Ini berarti siapapun yang melakukan kejahatan apapun pangkat dan
jabatannya, apapun pekerjaannya, orang sipil atau orang militer dalam hal ini TNI
harus diminta pertanggung jawabannya dimuka pengadilan secara fair, jujur,
objektif, dan terbuka untuk umum. Untuk mewujudkan tujuan masyarakat yang
makmur, adil, tertib, damai dan sejahtera diberlakukan ketentuan-ketentuan yang
mengatur dalam segala asepk kehidupan masyarakat. Ketentuan itu merupakan
segala aturan-aturan hukum dan norma-norma yang hidup dan berlaku didalam
kehidupan masyarakat. Dan sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya,
apabila anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) melakukan tindak pidana, baik
tindak pidana umum maupun tindak pidana militer sebagaimana dalam KUHPM,
diadili oleh Peradilian Militer (SPPM), tetapi dengan keluarnya Ketetapan MPR RI
Nomor: VII/MPR/2000, khususnya Pasal 2 ayat (4) huruf a yang berbunyi, Prajurit
Tentara Nasional Indonesia tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal
pelanggaran kekuasaan peradilian militer.
Dapat dipahami bahwa hakikat dari tindak pidana penganiayaan yang
dilakukan oleh oknum militer terhadap warga sipil, bukan hanya sekedar
pelanggar ringan bagi seorang anggota TNI melainkan tindak pidana tersebut
adalah tindakan yang sangat berat dan sangat mencoreng nama baik lembaga
Tentara Nasional Indonesia (TNI) khususnya lembaga militer. Hal ini harus
dipahami oleh penegak hukum dilingkungan TNI, tepatnya dalam menjatuhkan
putusan atau sanksi terhadap anggotanya yang melakukan tindak pidana
penganiayaan terhadap warga sipil agar dapat dihukum secara adil serta
bermanfaat bagi kepentingan pembinaan kesatuan militer.
Setiap prajurit TNI harus tunduk dan taat terhadap ketentuan-ketentuan
hukum, yang berlaku bagi militer, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Militer (KUHPM), Peraturan Disiplin Militer (PDM) dan undang-undang Nomor. 31
Tahun 1997 tentang Hukum Acara Peradilan Militer. Peraturan hukum Militer
inilah yang diterapkan kepada tingkatan Tamtama, Bintara, maupun Perwira yang
melakukan suatu tindakan yang merugikan kesatuan, masyarakat dan negara
yang tidak terlepas dari peraturan lainnya yang berlaku juga bagi masyarakat
umum. Penyelesaian perkara pidana yang terjadi di lingkungan (ABRI) melewati
beberapa tahap/tingkatan sebagai berikut:4
4 Sugeng Subroto, Petunjuk Pelaksanaan tentang Bantuan Hukum di Lingkungan Dephan, Departemen
Pertahanan, hlm. 5

7

1. Tingkat penyidikan;
2. Tingkat penuntutan;
3. Tingkat pemeriksaan di persidangan;
4. Tingkat putusan
Tahapan-tahapan

tersebut

di

atas

hampir

sama

dengan

tahapan

penyelesaian perkara pidana di Peradilan Umum (Sistem Peradilan Pidana),
hanya saja aparat yang berwenang untuk menyelesaikan perkara, yang berbeda.
Jika dalam peradilan umum yang berhak menjadi penyidik adalah anggota
Kepolisisan Republik Indonesia atau Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi
wewenang khusus oleh undang-undang. Dalam hal terjadinya suatu tindak
pidana yang dilakukan oleh prajurit TNI baik angkatan darat, laut, dan udara,
maka Polisi Militer (POM) masing-masing wajib melakukan tindakan penyidikan
sesuai dengan tata cara dan prosedur yang diatur dalam KUHAP dan UndangUndang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Hukum Acara Peradilan Militer.
Oleh karenanya dalam menanggulangi hal tersebut diperlukan suatu upaya.
Upaya-upaya untuk menanggulangi tindak pidana yang dilakukan oleh
anggota TNI, yang tidak lain sebagai berikut :
Pertama, Penegakan hukum dalam organisasi TNI merupakan fungsi
komando dan menjadi salah satu kewajiban Komandan selaku pengambil
keputusan,

telah

menjadi

keharusan

bagi

para

Komandan

di

setiap

tingkat kesatuan untuk mencermati kualitas kesadaran hukum dan disiplin
para Prajurit TNI yang berada di bawah wewenang komandonya.
Kedua,

Peningkatan

profesionalisme prajurit TNI, untuk memelihara

tingkat profesionalisme Prajurit TNI agar selalu berada pada kondisi yang
diharapkan, salah satu upaya alternatif yang dilakukan adalah dengan tetap
menjaga dan meningkatkan kualitas moral Prajurit

melalui

pembangunan

kesadaran dan penegakan hukum.
Ketiga, Kepatuhan

terhadap

norma,

norma

hukum

yang

menjadi

landasan tingkah laku dan perbuatan Prajurit TNI diatur secara formal
dalam

berbagai

peraturan

perundang-undangan dan dalam ketentuan

hukum lainnya dan peran komandan menjadi
rangka

membangun

kesadaran

hukum

dan

sangat

penting

dalam

terselenggaranya fungsi

penegakan hukum yang efektif.

8

Keempat, Peningkatan kinerja aparat penegak hukum dalam struktur
organisasi TNI, kinerja aparat penegak hukum yang berada di dalam
struktur organisasi TNI tidaklah bersifat sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
Buku
9

Hamzah, Andi. Perkembang Hukum Pidana Khusus. Jakarta: Ragunan, 1991.
Moeljatno. Asas-asas Hukum Pidana. Cetakan VIII. Jakarta: Rineka Cipta, 1993.
Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty,
1896.
Subroto, Sugeng. Petunjuk Pelaksanaan tentang Bantuan Hukum di Lingkungan
Dephan, Departemen Pertahanan.

Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No.
73)
Undang-Undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer
Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia

10

Dokumen yang terkait

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN DAN PENDAPATAN USAHATANI ANGGUR (Studi Kasus di Kecamatan Wonoasih Kotamadya Probolinggo)

52 472 17

ANALISA BIAYA OPERASIONAL KENDARAAN PENGANGKUT SAMPAH KOTA MALANG (Studi Kasus : Pengangkutan Sampah dari TPS Kec. Blimbing ke TPA Supiturang, Malang)

24 196 2

PENERAPAN METODE SIX SIGMA UNTUK PENINGKATAN KUALITAS PRODUK PAKAIAN JADI (Study Kasus di UD Hardi, Ternate)

24 208 2

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25

A DESCRIPTIVE STUDY ON THE TENTH YEAR STUDENTS’ RECOUNT TEXT WRITING ABILITY AT MAN 2 SITUBONDO IN THE 2012/2013 ACADEMIC YEAR

5 197 17

A DISCOURSE ANALYSIS ON “SPA: REGAIN BALANCE OF YOUR INNER AND OUTER BEAUTY” IN THE JAKARTA POST ON 4 MARCH 2011

9 161 13

Analisa studi komparatif tentang penerapan traditional costing concept dengan activity based costing : studi kasus pada Rumah Sakit Prikasih

56 889 147

Analysis On Students'Structure Competence In Complex Sentences : A Case Study at 2nd Year class of SMU TRIGUNA

8 98 53