View of EKSPLORASI KENDALA TIM PPI DALAM PELAKSANAAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI DI RSUD LABUANG BAJI MAKASSAR

  371 EKSPLORASI KENDALA TIM PPI DALAM PELAKSANAAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI DI RSUD LABUANG BAJI MAKASSAR Ardian Adhiwijaya

  Kata kunci: Pencegahan, Pengendalian, Infeksi, kendala, komite PPI PENDAHULUAN

  Infeksi yang sering terjadi di rumah sakit adalah infeksi plebitis, ILO dan decubitus (Nugraheni, 2012). Sementara standar indikator infeksi nosokomial pada pasien rawat inap adalah 1,5% (Depkes RI, 2008). Hal ini menunjukkan bahwa kejadian infeksi dirumah sakit masih di atas standar yang telah ditetapkan.

  Menurut Depkes RI & PERDALIN (2008) berdasarkan hasil survey point prevalensi dari 11 rumah sakit di DKI Jakarta yang dilakukan oleh Perdalin Jaya dan Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. Dr. Sulianti Saroso Jakarta didapatkan angka infeksi nosokomial untuk Infeksi Luka Operasi (ILO) sebesar 18,9%, Infeksi Saluan Kemih (ISK) 15,1%, Infeksi Aliran Darah Primer (IADP) 26,4%, pneumonia 24,5% dan infeksi saluran nafas lain 15,1% serta infeksi lain 32,1%. Sebesar 9,8% pasien rawat inap menderita infeksi nosocomial (Anshar, 2013). Data dari Komite Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di RSUD Labuang Baji pada dari bulan Januari - Desember 2016 terjadi 150 kasus infeksi karena jarum infus dari 2.839 pemasangan infus, yaitu sekitar 5% angka kejadian phlebitis.

  (CDC) pada tahun 2011 memperkirakan setidaknya terdapat 722.000 pasien menderita infeksi nosokomial di Amerika Serikat. Sekitar 75.000 pasien di antaranya meninggal dunia selama perawatan di rumah sakit.

  Centers of Disease Control and Prevention

  Prevalensi di 55 rumah sakit dari 14 negara menunjukkan bahwa rata-rata 8,7% pasien dari rumah sakit tersebut mengalami HAIs (World Health Organization/WHO, 2002).

  atau infeksi nosokomial (Kemenkes, 2011). Infeksi ini bisa datangnya dari tubuh pasien sendiri, kontak dengan petugas kesehatan, peralatan medis yang terkontaminasi dan lingkungan (Saifuddin dkk, 2004).

  infection/HAIs

  Infeksi silang yang berasal dari rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan yang lain disebut healthcare associated

  kendala dalam penerapan PPI terbentuk dari tiga sub tema, yaitu: 1) kurang tersedianya sarana dan prasarana, 2) kesadaran petugas kesehatan yang masih kurang, 3) pencatatan kasus infeksi yang tidak berkelanjutan.

  1 , Elly L. Sjattar

  purposive. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam. Hasil penelitian menunjukkan

  Infeksi yang sering terjadi di rumah sakit adalah phlebitis, ILO dan decubitus bahkan 9,8% pasien rawat inap menderita infeksi nosocomial sementara standar indikator infeksi nosokomial pada pasien rawat inap adalah 1,5%. Hal ini menunjukkan bahwa kejadian infeksi dirumah sakit masih di atas standar yang telah ditetapkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi kendala tim PPI dalam pelaksanaan pencegahan dan pengendalian infeksi di RSUD Labuang Baji Makassar. Desain penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Subjek penelitian ini adalah 12 informan terdiri dari tiga orang IPCN dan sembilan orang IPCLN yang dipilih secara

  ABSTRAK

  Alamat korepondensi: ardianadw@stikesnh.ac.id/082197573313

  3 Departemen Biokimia, Fakultas Kedokteran, UNHAS

  2 PSMIK Fakultas Keperawatan, UNHAS

  1 STIKES Nani Hasanuddin

  3

  2 , Rosdiana Natsir

  Tingginya angka kejadian HAIs ini menandakan penurunan mutu pelayanan medis, memperpanjang lama rawat inap pasien dan bertambahnya biaya pelayanan kesehatan serta menjadi penyebab utama tingginya angka kesakitan dan kematian (Darmadi, 2008; Saifuddin dkk, 2004). Wigglesworth (2014) menyebutkan bahwa langkah Pencegahan dan Pengendalian Infeksi dasar (PPI dasar), diperlukan untuk mengurangi resiko penularan mikroorganisme dari yang diketahui atau tidak diketahui sumber infeksinya sehingga Komite PPI merupakan salah satu unsur penting yang wajib ada di Rumah Sakit, berdasarkan

  372

  Permenkes Nomor 8 Tahun 2015 tentang program pengendalian resistensi anti mikroba di RS (Permenkes, 2015).

  Hasil analisa data pada penelitian ini menunjukkan tema yang disusun dari beberapa sub tema dan menggambarkan kendala pelaksanaan pencegahan dan pengendalian infeksi dalam meningkatkan kualitas pelayanan di RSUD Labuang Baji Makassar yaitu: Tema

  8. Menggabungkan data yang muncul selama validasi ke dalam transkrip yang telah disusun peneliti berdasarkan penyataan informan.

  7. Melakukan validasi makna dengan informan dengan cara peneliti kembali ke informan untuk klarifikasi data hasil wawancara berupa transkrip yang telah dibuat untuk memberikan kesempatan kepada informan menambahkan informasi yang tidak ingin dipublikasikan dalam penelitian

  6. Mengintegrasikan hasil secara keseluruhan ke dalam bentuk deskripsi naratif mendalam tentang pelaksanaan pencegahan dan pengendalian infeksi

  5. Mengelompokkan makna tersebut ke dalam kelompok tema

  4. Menentukan makna setiap pernyataan yang penting dari setiap informan dan pernyataan yang berhubungan dengan pelaksanaan pencegahan dan pengendalian infeksi

  3. Memilih penyataan yang penting dan signifikan untuk dikelompokkan.

  2. Membaca kembali hasil transkrip wawancara yang ditemukan sebanyak 4-5 kali dari semua informan agar peneliti lebih memahami pernyataan-pernyataan informan tentang pelaksanaan pencegahan dan pengendalian infeksi.

  1. Mencatat data yang diperoleh yaitu hasil wawancara dengan informan mengenai pelaksanaan pencegahan dan pengendalian infeksi kemudian membuat transkripsi dengan mengubah rekaman suara menjadi bentuk tertulis secara verbatim

  Analisis data yang dilakukan pada penelitian ini yaitu dengan pendekatan fenomenologi yang dikembangkan oleh Colaizzi, 1978 (dikutip dalam Streubert & Carpenter, 2013) dengan proses sebagai berikut:

  Analisis data

  Tekhnik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan metode wawancara individual yang dilakukan secara mendalam (in depth interview) dengan orang yang terlibat dalam pelaksanaan pencegahan dan pengendalian infeksi yaitu anggota tim PPI yang terdiri dari IPCN dan IPCLN selama 60-90 menit.

  Pengumpulan data

  IPCLN) dengan jumlah 3 orang sebagai IPCN dan 30 orang sebagai IPCLN. Sementara yang menjadi informan sebanyak 12 orang (3 orang IPCN dan 9 orang IPCLN).

  Metode penelitian ini menggunakan desain kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Penelitian ini dilakukan di unit rawat inap RSUD Labuang Baji Makassar yang terdiri dari Sembilan ruang perawatan. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan informasi jawaban yang mendalam, terfokus, dan terarah tentang pelaksanaan pencagahan dan pengendalian infeksi yang dilakukan oleh tim PPI dalam meningkatkan mutu pelayanan di RSUD Labuang Baji Makassar. Populasi dalam penelitian ini adalah semua perawat yang tercatat sebagai anggota tim PPI (IPCN dan

  Lokasi, populasi dan sampel

  Berdasarkan fenomena diatas, peneliti tertarik untuk menggali lebih dalam terkait kendala tim PPI dalam pelaksanaan pencegahan dan pengendalian infeksi di RSUD Labuang Baji Makassar.

  Namun, diduga pelaksanaan pencegahan dan pengendalian infeksi belum optimal ditunjang oleh hasil penelitian Suarnianti, Martiana dan Damayanti (2016) yang menunjukkan bahwa di RSUD Labuang Baji masih terdapat 20% perawat tidak mencuci tangan setelah kontak dengan pasien, masih terdapat 23,3% perawat tidak menggunakan sabun pada saat mencuci tangan, masih terdapat 26,7% perawat menggunakan peralatan yang sudah terkontaminasi. Berbagai hal tersebut dapat meningkatkan potensi infeksi nosokomial di RSUD Labuang Baji Makassar. Ritchie & McIntyre (2015) menyebutkan bahwa beberapa alasan dari ketidakpatuhan petugas kesehatan dalam melakukan PPI yaitu karena tekanan waktu, dan adanya kegagalan dalam mematuhi aturan pencegahan dan pengendalian infeksi yang paling dasar.

  Control Nurse (IPCN) dan 30 orang Infection Prevention and Control Link Nurse (IPCLN).

  RSUD Labuang Baji Makassar adalah salah satu rumah sakit milik pemerintah kelas B yang telah memiliki Komite PPI sejak tahun 2015 dengan keanggotaan 33 orang yang terdiri dari 3 orang Infection Prevention and

BAHAN DAN METODE

HASIL PENELITIAN

  373

  Kendala dalam penerapan PPI dibentuk dari tiga sub tema kurang tersedianya sarana dan prasarana, kesadaran petugas kesehatan yang masih kurang, dan pencacatan kasus infeksi yang tidak berkelanjutan.

  1. Kurang tersedianya sarana dan prasarana Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 5 (lima) informan menyatakan kendala dalam pelaksanaan kegiatan adalah sarana yang disiapkan tidak berkesinambungan, terutama pada kantong sampah yang digunakan pada pemilihan sampah infeksius dan non infeksius. Kantong sampah yang harusnya ada memiliki warna sesuai dengan kategori sampah misalnya warna merah untuk sampah infeksius dan warna hitam untuk sampah non infeksius, namun distribusi kantong sampah tersebut tidak lancer sehingga pemilahan sampah di ruangan tidak maksimal.

  3 (tiga) informan juga menyatakan bahwa safety box untuk membuang jarum bekas suntik sangat kurang, sehingga kadang sampah jarum tidak masukkan dalam safety box, hal ini beresiko pada petugas, pasien, keluarga pasien maupun mahasiswa praktek untuk terkena infeksi karena adanya sampah jarum yang tidak disimpan dalam safety box. 2 (dua) informan juga menyatakan alat pelindung diri misal masker dan sarung tangan terbatas sehingga penggunaan pada tempat seharusnya tidak maksimal. Pernyataan informan diantaranya sebagai berikut :

  “kadang itu kendalanya kadang itu tersedianya sarana dan prasarana, kita kadang ke ruangan karena keterbatasan seperti contoh kecil kantong sampah plastic, itu contoh kecil. Kalau masu disebutkan semua ada banyak, penggunaan APD biasanya kadang, sudah bagus tapi tidak seperti yang diharapkan. Pemilahan sampah sudah bagus tapi belum seperti yang diaharapkan, biasanya ada yang tercampur-campur.

  (CN01/N)

  “… itu masih kurang karena alat APD juga masih terbatas. Jangankan APD yang biasa saja kantong sampah yang kuning hitam itukan biasa disediakan dan biasa kosong-kosong. Safety box yang biasanya ada, biasa diganti dengan jerigen karena habis”

  (CLN01/V)

  “kendalanya kalau sampah ituji biasa yang plastiknya bisa nda ada, kan biasa ada yang infeksius dan non infeksius warnanya apa, kurang anu mungkin alat sarana, kurang pengadaan, tidak tercover. (CLN04/Bi)

  2. Kesadaran petugas kesehatan yang masih kurang Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 5 (lima) informan menyatakan petugas kesehatan kurang paham tentang pekerjaan yang dilakukan tim PPI sehingga dukungan pekerjaan pun kurang, seperti pada pemilahan sampah banyak petugas kesehatan yang tidak memperhatikan tanda yang sudah diberikan pada tempat sampah untuk pemilahan sampah infeksius dan non infeksius. Sehingga sampah masih tercampur. 2 (dua) informan menyatakan bahwa hal ini terjadi karena persepsi petugas kesehatan tentang PPI yang berbeda-beda. Beberapa informan juga mengatakan tidak semua petugas ingin menerima pengetahuan baru yang diberikan, sehingga sulit untuk menyampaikan tugas-tugas PPI. Pernyataan informan diantaranya sebagai berikut :

  “banyak teman tidak sadar tentang terutama sampah, sampah masih sering digabung-gabung, jadi kalau pagi digabung sampah infeksius, botol minuman, saya jadi bingung, diatur kembali lagi, dikasi pindah lagi”

  (CLN05H)

  “tidak semua orang mau menerima kita kan? Jadi kalau misalnya kita masuk di instalasinya orang, kita harus siap-siap juga, mungkin ada yang menolak, tidak semua orang bisa menerima tapi karena basic yah harus tetap melakukan pekerjaan mau menerima mau tidak mau kita edukasi” (CN03/H) “eee yah, kembali lagi ke diri masing- masing. Meskipun kita sudah mengingatkan seperti itu tapi itu kadang mungkin saya tidak tahu alasannya apa? Apakah karena mungkin karena hilang, lupa, biarmi begini deh. Jadi kembali ke individu masing-masing” (CLN06/B) “biasa kalau kendalanya paling itu kalau mahasiswa sudah diberi tahu kadang-kadang salah lagi, sama dengan teman-teman juga biasanya dikasi Tanya biasa dia lupa lagi. Itu (ji) paling kendalanya. (CLN02/As)

3. Pencatatan

  374

  kasus infeksi tidak berkelanjutan Dari hasil penelitian ini didapatkan 6

  (enam) informan menyatakan bahwa pencatatan kejadian-kejadian infeksi kadang tidak terekam dalam form yang disiapkan oleh tim PPI, sehingga kajdian tersebut tidak terekam dalam form. Hal ini mengakibatkan data infeksi kurang lengkap dari ruangan, 3 (tiga) informan juga menyatakan bahwa hal ini terjadi karena masih kurangnya kerjasama petugas kesehatan untuk melaksanakan kegiatan PPI. Pernyataan informan diantaranya sebagai berikut :

  “.. disini kan kerja shift-shift, biasanya ada yang tidak terisi, jadi musti saya buka lagi semua, kapan anunya kejadiannya. Kalau pasien sudah pulang dan kebetulan saya libur dan itu biasa tidak terisi datanya, kapan aff pasien “atau mungkin pernah plebhit, ter aff atau tidak sedangkan status sudah disetor, saya tidak lagi bisa lihat datanya” (CL04/Bi) “Biasanya kalau dari segi pemahaman kan disini apalagi kalau ayng bangsal, masih ada maksudnya kalau dari pasien biasa belum mengerti bagaimana sebenarnya. Kalau dari rekan-rekan teman biasa masih ada yang kurang peduli misalnya untuk membantu kita melihat. Kan tidak selamanya kita 24 jam. Biasa ada yang terlewatkan. Untuk infusnya misalnya, apakah karena sudah terlalu sibuk ataukah dilupami yang mana pasien kemarin ini” (CLN01/V) “Laporan biasanya kendalanya ini kan tugasnya IPCLN kadang karena mungkin nda semua juga, nda setiap hari juga, lupa kasi masuk ini, jadi lupa juga kontrolnya, biasanya karena banyak pasien. Itulah gunanya saling mengingatkan” (CLN06/B) “Kendalanya juga kayak pencatatannya yang susah, kan kalau penggantian infus tidak selamanya saya ada di tempat dan kadang saya juga lupa. (CLN03/M) “kalau surveilans yang dibutuhkan itu persepsi dari IPCLN di ruangan masing-masing. Kan karena antara satu IPCLN dan IPCLN lainnya itu tidak sama persepsinya, misalnya plebhitis kadang beda-beda pemahamannya makanya biasa ada yang tinggi angka plebhitnya ada yang tidak, karena pemahamanya” (CN03/H)

  PEMBAHASAN

  Proses pelaksanaan pengendalian dan pencegahan infeksi di RSUD Labuang Baji secara umum sudah berjalan. Namun terdapat beberapa kendala yang dirasakan oleh tim PPI dalam menjalankan perannya sebagai IPCN maupun IPCLN. Kendala tersebut bersumber dari berbagai hal seperti kurang tersedianya sarana dan prasarana, kesadaran petugas yang masih kurang dan pencatatan kasus infeksi yang tidak berkelanjutan.

  Apabila membahas tentang sarana dan prasarana, beberapa informan mengeluhkan kantong plastik sampah infeksius yang selalu habis, safety box jarang tersedia dan keterbatasan APD. Kurang tersedianya sarana dapat menghambat pelaksanaan pencegahan dan pengendalian infeksi sehingga meningkatkan risiko penularan penyakit di rumah sakit. Seperti yang didapatkan oleh Nelwan, Madagi dan Boky (2017) bahwa dari segi kualitas, sarana prasarana dan fasilitas program PPI masih memadai, namun dari segi kecukupan program menemui kendala akibat kesalahan pihak tim PPI yang terlambat mengusulkan permintaan kepada pihak manajemen.

  Kendala lain yang bersumber dari pemberi pelayanan adalah kesadaran petugas kesehatan yang masih kurang. Hal ini terlihat dari pernyataan informan bahwa ada kalanya petugas kesehatan memiliki persepsi yang berbeda tentang PPI, kurangnya pemahaman petugas tentang PPI, masih terdapat petugas kesehatan yang belum memanfaatkan APD dan tidak semua petugas kesehatan ingin menerima edukasi tentang PPI. Hal ini terkait dengan kualitas dari Sumber Daya Manusia (SDM) tim PPI. Seperti yang didapatkan oleh Nelwan, Madagi dan Boky (2017) bahwa kualitas SDM pelaksana program Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) masih kurang akibat belum semua komite diikutsertakan dalam pelatihan yang disyaratkan dan sosialisasi yang masih jarang dibuat sehingga beberapa petugas sering lupa mematuhi Standar Operasional Prosedur (SOP). Sama halnya dengan yang terjadi di RSUD Labuang Baji Makassar. Masih terdapat beberapa informan yang belum mendapatkan pelatihan dasar PPI.

  Pada penelitian ini juga mendapatkan bahwa kendala dari pemberi pelayanan dalam melaksanakan PPI di RSUD Labuang Baji yaitu masalah pencatatan kasus infeksi yang tidak berkelanjutan dengan alasan susahnya pencatatan kasus, kurangnya kerjasama dari

  375

  petugas kesehatan dan data infeksi yang kurang lengkap. Beberapa IPCLN juga mengeluhkan adanya pekerjaan lain, sehingga tidak bisa full time/penuh waktu sehingga kurang maksimal dalam melaksanakan surveilans. Para IPCLN merangkap jabatan sebagai kepala ruangan dan ketua tim perawatan yang beban kerjanya sudah banyak, sehingga kurang sempurna dalam melakukan pengumpulan data. Selain itu, keterbatasan waktu yang tidak 24 jam berada bersama pasien yang menyebabkan ketidaklengkapan pelaporan.

  Waktu merupakan salah satu faktor yang sangat penting karena surveilans merupakan kegiatan yang sangat membutuhkan waktu dan menyita hampir separuh waktu kerja seorang IPCN/IPCLN. Seperti yang didapatkan oleh Zuhrotul & Satyabakti, (2013) bahwa ketepatan jumlah pelaporan infeksi mencapai 41% dan kelengkapan pengisian formulir surveilans hanya mencapai 36% dari keseluruhan pasien di rumah sakit yang terdaftar sehingga kurang menggambarkan keadaan yang sebenarnya dan belum memenuhi standar. Rendahnya angka tersebut dikarenakan memang ada beberapa pasien yang tidak terdata saat proses pengumpulan data surveilans. Hal tersebut dapat terjadi dikarenakan para IPCLN di lapangan merangkap tugas sebagai perawat yang notabene sangat sibuk sehingga tidak banyak waktu untuk mendata pasien ke dalam formulir surveilans. Ketidaktepatan pelaporan tersebut juga disebabkan karena kelalaian dari petugas kesehatan yang ada di lapangan.

  Kurangnya sumber daya, kelebihan beban kerja dan kendala waktu telah dilaporkan sebagai faktor utama yang mempengaruhi praktik pengendalian infeksi yang buruk di fasilitas layanan kesehatan di Nigeria (Adinma ED, Ezeama C, Adinma JI, Asuzu MC, 2009; Okechukwu EF, Modteshi C, 2012; Ogoina D, Pondei K, Chima G, et al., 2015) dan negara-negara lain di dunia (Kermode M, Jolley D, Langkham B, et al., 2005; Reda AA, Fisseha S, Mengistie B, Vandeweerd JM, 2010).

  KESIMPULAN

  Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan PPI di RSUD Labuang Baji Makassar sudah berjalan.Tim PPI meliputi

  IPCN dan IPCLN terlibat dalam pencegahan dan pengendalian infeksi. Namun, dalam pelaksanaan PPI terdapat beberapa kendala seperti kurang tersedianya sarana dan prasarana, kesadaran petugas yang masih kurang dan pencatatan kasus infeksi yang tidak berkelanjutan.

  SARAN

  Diharapkan agar pihak RSUD Labuang Baji membuat kebijakan/standar prosedur operasional untuk kegiatan diskusi untuk menetapkan strategi atau alternative pemecahan kendala yang ada bersama komite PPI dan dijadwal secara berkala dan melakukan sosialisasi terkait kebijakan yang dibuat kepada semua bagian agar tercipta satu bentuk pemahaman yang sama tentang pelaksanaan PPI.

DAFTAR PUSTAKA

  Adinma ED, Ezeama C, Adinma JI, Asuzu MC. (2009). Knowledge and practice of universal precautions against blood borne pathogens amongst house officers and nurses in tertiary health institutions in Southeast Nigeria. Niger J Clin Pract.12:398–402 CDC. (2011). Basic Infection Control and Prevention Plan for Outpatient Oncology Settings. United States: Centers of Disease Control and Prevention.

  Darmadi. (2008). Infeksi nosokomial problematika dan pengendaliannya. Jakarta: Salemba Medika. Depkes RI & PERDALIN. (2008). Pedoman manajerial pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit dan fasiltas pelayanan kesehatan lainnya. RSRI Prof. Dr. Sulanti Saroso, Jakarta.

  Depkes RI. (2008). Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit dan Fasilitas Kesehatan Lainnya. Jakarta Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2010). Petunjuk Praktis Surveilans Infeksi Rumah Sakit. Jakarta Kermode M, Jolley D, Langkham B, Thomas MS, Holmes W, Gifford SM. (2005). Compliance with

  Universal/Standard Precautions among health care workers in rural North India. Am J Infect Control. 33:27–33 Nelwan. Renatta M, Mandagi Chreisye K. F, Boky Harvani. 2017. Analisis Pelaksanaan Program Pencegahan Dan Pengendalian Infeksi Di RSUP Ratatotok Buyat Tahun 2017. (Online) https://ejournalhealth.com/index.php/medkes/article/viewFile/253/245. Diakses tanggal 06 November 2017.

  Nugraheni, R., Suhartono., & Winarni, S. (2012). Infeksi nosokomial di RSUD Kabupaten Wonosobo. Jurnal Kesehatan Masyarakat Indonesial, 11(1). 94- 100. Ogoina D, Pondei K, Chima G, Isichei C, Gidado S. (2015). Knowledge, attitude and practice of standard precautions of infection control by hospital workers in two tertiary hospitals in Nigeria. J Infect Prev. 16:16–

  22. Okechukwu EF, Modteshi C. (2012). Knowledge and practice of standard precautions in public health facilities in Abuja, Nigeria. Int J Infect Control. 8:1–7 Reda AA, Fisseha S, Mengistie B, Vandeweerd JM. (2010). Standard precautions: Occupational exposure and behavior of health care workers in Ethiopia. PLoS One. 5:e14420 Ritchie, L., & McIntyre, J. (2015). Standardising Infection Control Precautions. Nursing Time, 3 (38), 17 - 20. Saifuddin, A. B., Sumapraja, S,. Djajadilaga., & Santoso, B, I,. (2004). Panduan pencegahan infeksi untuk fasilitas pelayanan kesehatan dengan sumber daya terbatas. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono

  Prawirohardjo. Streubert, H. J., & Carpenter, D. R. (2013). Qualitatif Research in nursing: Advancing the humanistic imperative (book Online). https://books.google.co.id/books?isbn=0781796008 Suarnianti, Martiana, T., & Damayanti, N. A. (2016). Effects of Self-Justification on and Nurses’ Commitment to Reducing the Risk of Disease Transmission in Hospitals. Pakistan Journal of Nutrition, 15(4), 324-327.

  WHO. (2002). Prevention of Hospital-Acquired Infections A Practical Guide 2nd Edition. Departement of Communicable Disease, Surveilance and Response. (http : www.who.int/research/en/emc, diunduh tanggal 24 Juli 2017). Wigglesworth, N. (2014). National Model Policies for Infection Prevention and Control. Retrieved from http://www.hps.scot.nhs.uk Zuhrotul A & Satyabakti P. (2013). Surveilans Infeksi Daerah Operasi (IDO) Menurut Komponen Surveilans Di Rumah Sakit X Surabaya Tahun 2012. Jurnal Berkala Epidemiologi, Vol. 1, No. 2 September 2013: 254–

  265 376